Selasa, 07 April 2009

Mengembalikan Ekonomi ke Dasar Negara

Membaca judulnya saja; Ekonomi Konstitusi, buku ini sudah menjelaskan bahwa yang akan dibahas di dalamnya adalah soal ekonomi yang terkait konstitusi atau konstitusi yang mengatur ekonomi.

Di buku yang ditulis keroyokan oleh beberapa orang yang menamakan diri ekonom muda ini, -beberapa telah dikenal karena komentar-komentar kritisnya di media dan sisanya adalah muka-muka baru- disebutkan bahwa pembangunan ekonomi seharusnya dilandaskan pada dasar negara.

Titik tolak penulisan buku ini jelas adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) pasal 33 yang menyebutkan kekayaan alam harus dikelola negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Kebijakan ekonomi sedari awal seharusnya diarahkan untuk melayani kepentingan nasional. Namun kata “nasional” oleh para pengambil dan pemutus kebijakan ekonomi dipreteli dan maknanya dibonsai. Bahkan beberapa kebijakan jelas-jelas tidak memasukkan rakyat –khususnya rakyat miskin sebagai pihak seharusnya yang menerima manfaat.

Ekonom-ekonom muda itu membeberkan kekeliruan dari para pengambil kebijakan khususnya di bidang ekonomi selama hampir 43 tahun. Misspolicy itu dapat dilihat pada kebijakan sumber daya manusia hingga sumber daya alam, dari kebijakan pembangunan infrastruktur sampai kebijakan energi, dari kebijakan pangan hingga pengelolaan perusahaan negara.

Akibatnya, di tingkat persaingan global daya saing Indonesia di dunia ambruk dan di dalam negeri kesenjangan sosial dan kemiskinan melonjak.

Indonesia sebagai negara dengan sumber daya melimpah seharusnya bisa bersikap sebagai “penguasa” atas sumber daya yang dimilikinya. Namun pengambil kebijakan bidang ekonomi malah terkesan memberi tempat pada propaganda-propaganda semisal market friendly, equal level of playing field yang dinilai lebih banyak membuat Indonesia tidak berdaulat atas kekayaannya sendiri.

Pemerintah lalu meliberalisasi habis-habisan pasar dalam negeri dan memperlakukan investor asing sama atau bahkan lebih istimewa dengan kebijakan-kebijakan neo-liberalisme. Pemerintah takut pada, yang di buku ini dinamakan, mitos-mitos para fundamentalis pasar yang sama bahayanya dengan para fundamentalis agama.

Ironi itu sudah terjadi sejak 1967 sejak UU Penanaman Modal Asing terbit dan tetap terjadi sampai UU Migas terbit tahun 2001.

Meski kritis namun satu dua bagian dari buku ini kadang membingungkan. Contoh pada halaman 99, penulis mungkin ingin menjelaskan bahwa strategi Jepang dalam memberi bantuan kepada Indonesia adalah dengan ‘memaksa’ Indonesia untuk memperbanyak jalan raya. Tujuannya agar Jepang tetap dapat melempar produk otomotifnya ke Indonesia.

Namun jika MRT Jakarta dilaksanakan perusahaan Jepang maka Jepang nyaris sebagai penguasa moda transportasi Indonesia. Bukankah jika MRT direalisasikan justru Jepang akan ‘sedikit’ dirugikan akibat berkurangnya konsumsi kendaraan yang disebabkan orang beralih ke transportasi massal?

Sebagai kritik, buku ini cukup lengkap menjelaskan karut marut kebijakan dan pilihan kebijakan dari pemerintah apalagi menjelang pembentukan pemerintahan baru. Buku ini lumayan penting bagi aktivis atau sarjana ekonomi pembangunan karena sebagian besar data yang ditampilkan adalah data terkini, meski tak jarang di beberapa tempat terdapat kesalahan ketik.

Tampilan data dan grafik pada buku ini seharusnya bisa dipoles lebih menarik lagi mengingat buku ini dimaksudkan untuk menjelaskan betapa sebagian kebijakan yang diambil pemerintah merupakan kebijakan yang cenderung keliru.

Syarif Fadilah, Wartawan Ekonomi


Judul : Ekonomi Konstitusi
Editor : Soegeng Saryadi, Iman Sugema
Kontributor : Hendri Saparini, Iman Sugema, Revrisond Baswir, Nunung Nuryartono, Ichsanuddin Noorsyi, Triana Anggraenie, Adi Setiyanto, M. Iqbal Irfany, Tony Irawan
Penerbit :
Tahun : Cetakan I Februari 2009
Tebal : xv + 362 halaman
Harga :