Kamis, 11 November 2010

Sulitnya Mengatur Suku Bunga

Sejak 2009, semua orang yang memiliki hubungan dengan perbankan terus menerus berharap agar suku bunga bisa turun. Harapan itupun berlanjut sepanjang tahun ini. Namun, seperti juga tahun lalu, tahun inipun suku bunga tidak banyak bergerak.
Penyebab yang paling utama adalah suku bunga acuan (BI Rate) yang menjadi pedoman pengenaan bunga perbankan masih bergeming di level 6,50 persen. Tingkat tersebut sudah bertahan sebanyak 15 bulan sejak penurunan terakhir 25 basis poin Agustus tahun lalu.
Maka tidaklah mengherankan jika suku bunga kredit juga tidak kunjung mau turun. Bahkan perbankan sudah terlihat enggan menurunkan bunga kredit ketika Bank Indonesia menurunkan bunga acuannya sepanjang semester pertama 2009.
Berdasarkan data BI hingga September, suku bunga kredit sepanjang tahun ini turun rata-rata sebesar 100 basis ponin atau 1 persen di kisaran 13 persen. Sementara suku bunga deposito 1 bulan rata-rata tertimbang telah turun 37 basis poin di level 6,72.
Jika mau diperas lagi, suku bunga kredit konsumsi lebih signifikan penurunannya dibanding bunga kredit investasi ataupun modal kerja. Suku bunga kredit konsumsi turun sebesar 157 basis poin sementara pada kredit investasi dan kredit modal kerja hanya turun 83 basis poin dan 75 basis poin.
Namun demikian suku bunga kredit konsumsi masih lebih tinggi karena berada di level 14,75 persen sedangkan bunga kredit investasi 12,40 persen dan kredit modal kerja sebesar 13,00 persen.
Persoalan suku bunga ini telah menjadi concern utama bank sentral pasca krisis global yang disebabkan oleh ledakan subprime mortgage di AS pada 2008 lalu. Sesudah krisis keuangan global itu, berkali-kali otoritas meminta kepada pengelola perbankan untuk menurunkan suku bunga karena kondisi likuiditas dinilai sudah dalam tahap aman.
Saat krisis 2008, likuiditas sektor keuangan memang menjadi super ketat karena perbankan enggan melepas dananya karena terancam krisis. Perbankan juga menawarkan suku bunga tinggi kepada nasabah agar nasabah tidak mencairkan dananya, ditambah embel-embel gimmick hadiah yang menggiurkan. Penyalur kredit pun ikut mengetat. Karenanya BI pun mahfum jika perbankan tidak mau menurunkan suku bunga meski saat itu BI Rate beberapa kali diturunkan.
Namun setelah krisis mereda ternyata perbankan tetap enggan menurunkan suku bunga ke level yang wajar jika dibandingkan dengan BI Rate. Oleh karena itu, BI sempat mengumpulkan bankir-bankir untuk mencari jalan keluar agar persoalan tingginya suku bunga bisa terpecahkan.
Pada triwulan ketiga 2009, pengelola 14 bank umum nasional yang berkumpul telah bersepakat bahwa mereka akan menurunkan suku bunga hingga ke level 50 basis poin dari level BI Rate. Saat itu BI Rate sudah berada di level 6,50 persen, artinya kredit perbankan seharusnya sudah ada di level 7 persen.
Tetapi apalah mau dikata, karena kesepakatan tersebut tidak berisi sanksi yang tegas terutama dari otoritas, pernyataan 14 bank itu hanya menjadi macan kertas. Pada September 2009, suku bunga kredit perbankan masih bertengger di kisaran 15 persen, lebih dari dua kali lipat tingkat bunga acuan yang seharusnya jadi pedoman perbankan.
Di masa yang sama, bank-bank hanya menurunkan suku bunga deposito saja karena tercatat kisarannya mendekati level BI Rate, yaitu sebesar 7,43 persen, 7,38 persen, 7,16 persen, 6,87 persen sepanjang September hingga Desember 2009.
Para peminjam tentu berpikir dua kali untuk mencari pinjaman ke bank karena kondisi tersebut. Ironisnya lagi pengusaha yang tadinya ingin membuka atau memperluas usahanya urung menjalankan rencananya itu. Akibatnya potensi pergerakan sektor riil menjadi terhambat yang ujung-ujungnya pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan.
Pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam produk domestik bruto (PDB) sepanjang kuartal ketiga mencapai 6,35 persen. Angka itu berada di bawah consensus pasar yang memprediksi PDB tumbuh mencapai 6,35 persen.
Menurut ekonom Citigroup Johanna Chua, pertumbuhan ekonomi tiga bulan yang berakhir September terbilang mengecewakan. Citigroup sendiri memperkirakan PDB bisa menyentuh level 6,2 persen. Padahal pada kuartal sebelumnya ekonomi bisa tumbuh 6,2 persen. “Kami memprediksi, BI akan mulai menaikkan suku bunga secara bertahap mulai kuartal I 2011,” kata Johanna dalam siaran resmi Citigroup.
Melihat prestasi ekonomi yang kurang membaik, bank sentral tentu tidak tinggal diam. Pada Oktober lalu, BI menyiapkan langkah serius untuk mengarahkan bank menurunkan suku bunga pinjamannya lewat mekanisme pasar. Caranya, regulator akan mewajibkan seluruh bank mengumumkan suku bunga utamanya atau prime lending rate kepada masyarakat melalui media massa.
Tingkat suku bunga utama adalah istilah yang diterapkan di banyak negara dengan tingkat bunga referensi yang digunakan oleh bank. Istilah ini awalnya untuk menunjukkan tingkat bunga bank yang dipinjamkan kepada pelanggan pilihan, yaitu mereka yang memiliki kredibilitas tinggi. Prime lending rate didapatkan dari tingkat bunga kredit dikurangi premi risiko.
Kebijakan itu bertujuan agar masyarakat bisa melihat bank mana yang memberikan suku bunga kompetitif sehingga kemudian pengusaha bisa memilih bank yang menawarkan tingkat suku bunga kredit paling rendah.
Dengan begitu meningkatnya permintaan kredit pada bank yang memberikan bunga kompetitif akan diikuti oleh bank lain, tentunya jika bank tersebut tidak ingin ditinggal nasabah.
Namun lagi-lagi, bankir-bankir berkilah. Kata mereka, penetapan bunga kredit adalah hasil negosiasi antara nasabah bank yang bersangkutan dengan pihak manajemen bank. Lagi pula, tambah mereka lagi, pemberitahuan itu sudah dilakukan bank di kantor-kantor layanan dengan menempelkan tingkat bunga di papan-papan pengumuman.
"Jangan masalahkan prime lending rate, kita ambil saja contoh papan deposit, apa semua komplain? Tidak kan? Menurut saya lebih baik BI instruksikan saja semua DPK (dana pihak ketiga) bunganya tidak boleh diberikan lebih dari LPS Rate karena sudah cukup meng-cover tingkat suku bunga kredit oleh bank nantinya," kata salah satu bankir BUMN.
Kalau sudah begini, siap-siap saja menghadapi tingkat bunga kredit yang tidak kunjung turun meskipun bank sentral melotot pada bankir agar menurunkannya. Tapi diancam sanksi saja masih tak gentar, bagaimana kalau cuma dipelototi.

Kamis, 28 Oktober 2010

Mati Seribu, Tumbuh Satu

BI berencana menghilangkan tiga nol di belakang nilai nominal rupiah dalam program redenominasi. Rencana tersebut sudah melalui riset panjang selama enam tahun. Meskipun begitu, BI dinilai akan kesulitan pada tahap sosialisasi.



Coba bayangkan jika uang Rp100 ribu yang Anda miliki, nilainya dinyatakan susut menjadi Rp100? Tentu Anda akan panik dan tidak terima kenyataan itu. Tetapi bagaimana kalau barang-barang atau jasa-jasa yang tadinya seharga Rp100 ribu, kini bisa dibeli dengan harga Rp100? Tentunya tidak menjadi masalah.
Dan kemungkinan, setelah itu, kelipatan dalam nominal nilai uang rupiah akan disusutkan menjadi satuan. Jadi jika harga satu macam barang Rp1, maka harganya jika membeli dua hanya Rp2. Tentu jika dilihat dari sisi efisiensi angka dan ekspektasi harga, angka tersebut lebih mumpuni ketimbang Rp1.000 kemudian menjadi Rp2.000.
Hal tersebut sudah lazim dipakai di negara-negara lain di dunia, seperti AS, negara zona Eropa, Malaysia, Singapura, India. Maka itu tidak heran jika dibandingkan mata uang rupiah, kenaikan pada nominal mata uang negara-negara-negara itu terkesan lebih sedikit. Bayangkan saja, jika tahun 1996 kurs 1 dollar AS masih bernilai sekitar Rp2.500, kini sudah Rp9.500. Namun jika kita menggunakan kelipatan satuan, mungkin kini 1 dollar AS hanya sekitar Rp9,5.
Nah, mulai tahun ini Bank Indonesia tengah merintis rencana besar itu. Rencana yang disebut redenominasi rupiah itu pun memancing pro kontra. Menurut laman investodedia, istilah itu berarti dua hal: pertama adalah sebuah proses dimana mata uang suatu negara ditentukan ulang karena inflasi signifikan dan devaluasi mata uang. Kedua, Proses perubahan nilai kurs atau mata uang terkait financial security. BI sendiri mengartikan istilah tersebut dengan proses penyederhanaan penyebutan satuan harga dan nilai
Walaupun riset yang dilakukan terkait rencana redenominasi sudah berlangsung sejak 5-6 tahun lalu, BI tidak mau gegabah menerapkan rencana tersebut. “Kita masih butuh setidaknya sepuluh tahun karena memang kebijakan ini sangat membutuhkan komitmen nasional,” kata Pejabat Sementara Gubernur BI Darmin Nasution.
Oleh karena itu, sebelum diberlakukan, BI menyiapkan setidaknya tiga tahapan sebelum akhirnya nilai nominal rupiah hanya memiliki satu digit untuk setiap satuan. Tahap pertama adalah sosialisasi. Tahap ini akan mulai diberlakukan tahun depan hingga 2012. Dalam tahap ini bank sentral akan menjelaskan kepada seluruh lapisan masyarakat di seluruh Indonesia segala sesuatu mengenai redenominasi.
Tahap kedua adalah transisi yang mulai berlaku sejak 2013 hingga 2015. Pada masa transisi BI mulai mengeluarkan uang baru sehingga di masyarkat digunakan dua mata uang rupiah atau dua kuotasi.
"Pada masa transisi digunakan dua rupiah, yakni memakai istilah rupiah lama dan rupiah hasil redenominasi yang disebut rupiah baru," kata Darmin.
Barang-barang di masyarakat pun akan ditetapkan agar menggunakan dua label harga, yakni harga dengan uang rupiah lama dan dengan rupiah baru. Artinya jika sebuah barang memiliki harga Rp 10.000 maka akan dibuat dua label yakni Rp 10.000 untuk rupiah lama dan Rp10 untuk rupiah baru.
"Pada masa transisi tersebut maka akan berlaku kedua-duanya rupiah baru dan rupiah lama. Masyarakat boleh bebas memilih," tutur Darmin.
Setelah masa transisi dilakukan, tahap ketiga dimulai yang ditandai oleh penarikan uang rupiah lama hingga habis oleh bank sentral yang akan diterapkan pada 2016 sampai 2018 dan yang tersisa adalah uang baru.
Pada tahap terakhir, sepanjang 2019 sampai 2022, BI akan mulai menghapus tulisan atau cap ‘baru’ pada uang rupiah dan akhirnya masyarakat sudah menggunakan rupiah dengan satuan nominal yang baru.
Menurut ekonom dari Standard Chartered Bank Eric Alexander Sugandi, dalam tahap-tahap itu yang paling krusial adalah masa-masa sosialisasi. Bagaimana tidak, dengan jumlah populasi lebih dari 238 juta penduduk yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau, tentu sosialisasi pengukuran dan penyebutan mata uang baru bukan pekerjaan mudah.
“Tantangan terbesar pada tahap sosialisasi. Akan ada kebingungan di masyarakat di awal apalagi jika dilakukan serentak,” kata Eric.
Selain itu, BI juga harus memperhatikan efek psikologis dan politis dari rencana tersebut. Pasalnya, akan banyak perubahan sebagai konsekuensi dari kebijakan itu yang harus segera diantisipasi. Misalnya adalah sistem akuntansi negara terutama yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) serta penghitungan cadangan devisa.
Meski demikian dalam jangka panjang, rencana redenominasi dinilai Eric sebagai langkah besar yang positif bagi perekonomian. “Agar lebih efektif, BI bisa menggunakan strategi menentukan pilot project dari rencana itu di beberapa daerah,” tambah Eric.
Analis lain menganggap rencana redenominasi belum tepat untuk digulirkan. “Itu tidak perlu dilakukan. Sebab, itu tidak berarti apa-apa," kata Ekonom Bank Mandiri, Mirza Adityaswara.
Mirza mengatakan rencana penyederhanaan penyebutan rupiah tersebut cuma berarti untuk mengubah secara psikologis agar rupiah tidak lagi kelihatan terlalu murah seperti sekarang. “Sama seperti halnya stock split atau pemecahan saham, jumlah sahamnya berubah, tetapi secara nilai tetap sama,” jelas dia.
Namun demikian nampaknya tekad BI sudah bulat untuk segera menggulirkan rencana tersebut tahun ini. Seperti yang dikemukakan Deputi Gubernur Bank Indonesia S Budi Rochadi, otoritas moneter telah melakukan finalisasi terkait hasil riset redenominasi rupiah. "Kita akan bawa hasil riset ini ke Presiden, nanti presiden yang putuskan. Dalam waktu dekat bisa dilakukan antara bulan-bulan ini lah," kata Budi.
Bahkan BI juga berencana memasukkan usulan redenominasi rupiah ini ke dalam Rancangan Undang-Undang Mata Uang (RUU Mata Uang) yang saat ini siap dibahas di DPR.
Sementara itu DPR meminta wacana redenominasi tidak menimbulkan gejolak stabilitas ekonomi. "Redenominasi sebetulnya sangat baik, tetapi harus dipahami jika kesiapan masyarakat menjadi hal penting yang harus diperhatikan," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI, Akhsanul Qasasi

Argumen Efisiensi
Usulan penyederhanaan nominal mata uang, menurut BI digulirkan agar perekonomian Indonesia lebih efisien. Redenominasi juga berbeda dengan pemotongan uang atau sanering seperti yang pernah dipraktikkan pemerintah di zaman Orde Lama. Pada 19 Maret 1950, sanering pertama yang dikenal dengan Gunting Syafrudin (Prawiranegara, gubernur bank sentral saat itu) dilakukan dengan tujuan menutup defisit anggaran negara.
Sembilan tahun kemudian tepatnya 25 Agustus 1959, dilakukan sanering kedua yang bertujuan membendung inflasi tinggi. Saat itu uang pecahan Rp 1.000 diturunkan nilainya menjadi Rp100.Kemudian, pada 13 Desember 1965, sanering ketiga yang memotong nilai uang Rp 1.000, menjadi Rp1diberlakukan untuk mengatasi inflasi.
Namun BI menolak jika rencana tersebut dinilai sama dengan sanering. Darmin Nasution mengatakan bahwa saat ini telah terjadi inefisiensi dalam transaksi yang disebabkan lamanya waktu maupun biaya transaksi, karena nilai transaksi semakin lama menjadi semakin besar.
“Argometer taksi misalnya, dalam pembayaran Rp120 ribu, tertera 120.000. Enam digit angka ini sangat merepotkan konsumen maupun pengemudi taksi. Selain itu, untuk toko-toko kecil mesin hitung yang mereka miliki juga memiliki batas digit.”
Beberapa negara lain memang pernah mempraktikkan kebijakan redenominasi, seperti Turki, Rumania, Denmark, China, Taiwan. Prancis, Rusia dan negara lainnya. Oleh karena itu, Indonesia yang dianggap memilik nilai nominal mata uang terbesar kedua setelah Vietnam dinilai bisa menerapkan strategi tersebut.
“Redenominasi ini dilakukan untuk menghindari cost yang besar lima sampai tujuh tahun ke depan, di mana alat hitung tidak lagi memadai karena digitnya sudah melampaui aplikasi yang ada. Kalau tidak dilakukan cost yang lebih besar akan terjadi dalam waktu 10 tahun ke depan,” pungkas Darmin.

Kembalinya si “Tukang Sulap”

Mochtar Riady membeli bank kecil untuk dibesarkan dan akan digunakan untuk menggarap kawasan Indonesia timur? Berdasarkan sepak terjang kelompok usaha Lippo yang dipimpinnya selama ini, kecil kemungkinan skenario itu terjadi.



Satu-satu persatu pendekar-pendekar bisnis kembali lagi ke sektor finansial. Yang paling mutakhir adalah kembalinya kelompok usaha Lippo ke bisnis perbankan dengan membeli sebuah bank semenjana, Nobu National Bank. Bagi para pelaku bursa saham, nama Lippo Group memiliki tempat tersendiri dalam kancah pasar keuangan. Semua tak lain karena kiprah sang pemilik, Mochtar Riady yang melegenda terutama di pasar modal.
Maka di saat Lippo memutuskan membeli bank yang asetnya hanya 111,5 miliar itu, semua orang menunggu apa gerangan yang sedang direncanakan kelompok bisnis itu. Bank National Nobu dulunya bernama PT Bank Alfindo Sejahtera. Pada 12 November 2010 bank tersebut menjelma menjadi PT Bank National Nobu. Pada 2007, bank tersebut berada pada urutan terakhir yang memenuhi batas permodalan sebesar Rp 80 miliar sesuai ketentuan Bank Indonesia.
"Dengan prospek perekonomian Indonesia yang cerah, dukungan masyarakat dan regulator, serta tentu saja kompetensi Pak Mochtar dan Lippo, kami optimistis Nobu Bank akan berkembang dengan sehat di masa depan," kata Presiden Direktur Lippo Group Theo Sambuaga dalam sebuah pernyataan resmi.
Dalam akuisisi tersebut, Lippo akan melakukan penambahan modal ke Nobu Bank. Lippo masuk melalui PT Kharisma Buana Nusantara (KBN) yang 60 persen sahamnya dimiliki Mochtar Riady, dan 40 persen dimiliki Yantony Nio CEO Grup Pikko.
BI secara terbuka mengatakan bahwa pihaknya tidak mempermasalahkan masuknya nama Mochtar ke kancah perbankan nasional meski nama itu merupakan bankir yang mendapatkan dana bantuan rekapitalisasi perbankan dan dianggap belum memenuhi kewajiban.
Pada saat krisis moneter 1998, Bank Lippo termasuk bank mendapatkan dana rekapitalisasi sejumlah Rp 7,73 triliun. Sebagai gantinya, keluarga Riady mesti melepas 59,2 persen saham di Bank Lippo kepada pemerintah. Namun belakangan diketahui bahwa bank tersebut menikmati dana lebih besar dari semestinya.
Kelebihan dana itu terjadi karena Bank Lippo sukses meraup dana Rp 3,75 triliun setelah menerbitkan saham baru. Dijumlah dengan suntikan dana pemerintah, total duit yang diterima Rp 11,68 triliun. Padahal dana yang dibutuhkan buat memenuhi rasio kecukupan modal Rp 8,7 triliun. Artinya, ada kelebihan Rp 2,94 triliun.
Sepak terjang Mochtar Riady dengan Bank Lippo-nya juga bisa ditelusuri di pasar modal. Maret 2003, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) memberi sanksi denda kepada direksi Bank Lippo sebesar Rp 2,5 miliar atas kesalahan dalam laporan keuangan ganda. Kesalahan yang paling kentara adalah menuliskan kata audit pada laporan yang belum diaudit.
Selain dianggap menuliskan laporan keuangan ganda, Lippo juga dianggap memanipulasi harga saham, dan tidak melaporkan peningkatan saham yang signifikan pada grupnya.
Meski demikian, BI bergeming bahwa tidak ada aturan yang bisa melarang masuknya Mochtar ke dunia perbankan setelah Lippo dilepas ke investor Malaysia yang akhirnya dilebur menjadi Bank CIMB Niaga tahun lalu.
“Nantinya pemilik akan dilihat kembali komitmennya dan dilakukan fi t and proper test kembali,” kata Deputi Gubernur BI Muliaman Darmasyah Hadad. Dan otoritas bank sental memang tidak mengenal daftar orang tercela (DOT) bagi mereka yang pernah berkiprah baik sebagai pemegang saham maupun pemilik sebuah bank yang pernah bermasalah. “Tidak ada istilah DOT di Bank Indonesia.”
Orang yang pernah bermasalah dalam memiliki saham bank dimasukkan dalam sebuah daftar yang digunakan sebagai acuan saat fit and proper test. “Ada daftar dengan istilah tidak lulus dan lulus sementara,” katanya. Bagi yang tidak lulus, berarti tidak lagi bisa memiliki sebuah bank sampai adanya batas waktu yang ditentukan.
Lippo dikenal sebagai salah satu perintis rekayasa keuangan di pasar modal Indonesia. Pengamat pasar modal Lin Che Wei mengatakan kasus-kasus Lippo bisa ditelusuri dari aksi penggorengan saham Bank Lippo yang dilakukan Ciptadana Securities sejak akhir 2002. Pernah dalam sekali transaksi, Ciptadana, yang juga anak perusahaan Lippo, memborong 74 juta lembar saham Bank Lippo.
Tahun 2000 sulap lain bank Lippo adalah mengubah Lippo Life menjadi Lippo E-Net. Akibatnya, Bapepam mendenda Lippo E-Net "cuma" Rp 500 juta. Selain itu, direksi dan komisaris Lippo E-Net didenda Rp 5 miliar. Kasus yang cukup heboh lainnya adalah saat Bank Lippo menjual aset yang dialihkan (AYDA) senilai Rp 2,45 triliun pada 2002.
Atas sederet akrobatnya itu banyak kalangan di pasar modal menjuluki Mochtar Riady sebagai magic man of bank marketing. Dan mungkin karena track record-nya itu pula banyak pengamat yang menaruh curiga atas langkah Mochtar Riady dengan Lippo-nya membeli Bank Nobu bulan lalu.
“Kalau saya mendengar Lippo macam-macam, itu bagi saya normal. Karena Lippo itu dari dulu paling inovatif dalam melakukan miss leading, trik-trik kesalahan,” kata ekonom Kwik Kian Gie. Menurut dia orang-orang yang memang pernah bermasalah dengan dana rekapitalisasi seharusnya diadili.
Sementara Ekonom Tim Indonesia Bangkit, Ichsanuddin Noorsy, mengatakan bank sentral tidak konsisten dalam menerapkan aturan. Di satu sisi, BI sangat berhati-hati dalam menerapkan kebijakan, tetapi di sisi lain relatif mudah meluluskan orang yang pernah bermasalah sebagai pengelola sebuah bank. Ichsanuddin juga merujuk pada kepemilikan Bank Sinarmas oleh Eka Tjipta Widjaja. “Penegakan hukum dalam kasus rekayasa keuangan menjadi lemah,” kata dia.
BI tentunya mendengar kekhawatiran berbagai pihak. Oleh karena itu otoritas akan tetap memasang mata dan telinga terhadap perkembangan Bank Nobu ke depan.
Kepala Biro Humas BI Difi Ahmad Johansyah saat dikonfirmasi mengatakan BI tetap meminta siapa pun calon pemegang saham bank untuk selalu memiliki itikad yang baik untuk mengembangkan dan memajukan industri perbankan ke depan. “BI tidak ingin pengalaman pada krisis lalu terulang, di mana banyak pemegang saham bank saat itu menyalahgunakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),” kata Difi.
Jika ada rencana pemegang saham menyuntik modal ke bank yang diakuisisi, sebagai pengawas perbankan, BI akan memantau dan memverifikasi sumber dana yang mereka gunakan. Selain itu, BI memastikan dana atau aset tersebut bukan dana hasil tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan rekayasa transaksi keuangan.
Ekspansi ke Timur
Sebelumnya, kelompok usaha Lippo mengumumkan akan mengonsentrasikan ekspansi usaha di kawasan timur Indonesia, terutama pada layanan jasa, dengan menyiapkan investasi Rp5 triliun-Rp10 triliun dalam 10 tahun ke depan.
Rencana itu dikemukakan sendiri oleh pendiri Lippo Group Mochtar Riady dalam jumpa pers peringatan 60 tahun Lippo Group. Dalam acara tersebut, Mochtar menyampaikan perkembangan Indonesia dalam 35 tahun ke depan akan bergeser dari Indonesia bagian barat ke bagian timur. Menurut dia, ekonomi Indonesia bagian timur akan semakin terintegrasi dan saling mengisi dengan kesatuan ekonomi Asia Timur Laut.
"Indonesia bagian timur yang sekarang masih merupakan 'pintu belakang' akan berubah menjadi pintu depan," kata dia.
Dengan melihat fenomena itu, sambungnya, Lippo Group akan mengembangkan usaha ke Indonesia bagian timur terutama pada infrastruktur sosial masyarakat.
Sementara James Riady mengutarakan bahwa Lippo akan memfokuskan layanan jasa yang terintegrasi dengan lini bisnis multimedia di kawasan tersebut yang saat ini masih jauh dari sentuhan pembangunan. "Dalam 10 tahun ke depan kami menyiapkan investasi sebesar Rp5 triliun-Rp10 triliun, terutama untuk Indonesia Timur. Meliputi Sulawesi, Ambon hingga Papua," papar James.
Namun mungkinkah Mochtar benar-benar ingin menggunakan Bank Nobu untuk menggarap kawasan Indonesia timur itu. Jika skenarionya sesederhana itu maka banyak pihak tentu akan benar-benar mengacungi jempol buat grup Lippo. Tetapi, namanya juga pesulap, segala kejutan bisa saja terjadi.

Minggu, 23 Mei 2010

Teori Kepergian Sri Mulyani

Mungkin beberapa dari kita menyimpan sedikit kecurigaan tentang keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani menerima pinangan dari Bank Dunia untuk menjadi direktur operasional. Kita juga menyimpan pertanyaan besar mengapa Presiden mengizinkan anak buahnya itu untuk resign sebagai Menkeu dan bekerja di tempat lain. Tapi yang pasti banyak orang yang bangga karena Sri Mulyani katanya akan membawahi tiga region dan 74 negara-negara di dunia.

Berbagai teori konspirasi sudah terlanjur berkembang. Presiden ingin menyelamatkan Sri Mulyani secara elegan dari cakaran lawan politik yang ingin menggoyang pemerintahan? Bisa Jadi. Atau Sri Mulyani ingin mengatakan kepada seluruh rakyat bahwa dia lebih dihargai oleh pihak asing dibanding pihak sebangsa dan senegaranya sendiri? Mungkin Juga. Namun yang tidak kalah menarik adalah memikirkan kemungkinan Bank Dunia mengambil kesempatan dari kisruh politik yang menyeret Sri Mulyani beberapa waktu belakangan ini.

Lalu apa untung-ruginya Indonesia, jika mantan Menkeu Terbaik versi majalah Euro Money itu sudah bertugas di Bank Dunia membawahi 3 regional dan 74 negara? Andaikata Mama Laurent masih hidup, mungkin peramal kondang itu bisa menebak. Namun ada sedikit back ground yang layak disimak.

Indonesia sejak 2006 lalu memutuskan untuk melunasi kewajibannya pada Dana Moneter Internasional sekaligus menutup pintu rapat-rapat bagi bantuan lembaga asing. Maklum, trauma krisis moneter membawa sebagian besar masyarakat Indonesia kepada kesimpulan bahwa lembaga asing selalu berupaya mengaduk-aduk “dapur” kebijakan ketika memberi bantuan. Mulailah saat itu Indonesia tidak lagi menerima utang lembaga, meskipun utang bilateral -agak malu-malu- diterima.

Bank Dunia, sejak krisis 2008, mengalami tekanan hebat pada permodalannya di saat banyak negara-negara Amerika Selatan yang menolak berhubungan dengan lembaga donor internasional.

Pada 2008, Sri Mulyani adalah tokoh dari negara berkembang yang diberi kesempatan berpidato di hadapan negara anggota G20 yang saat itu bertemu untuk membahas upaya keluar dari krisis. Sri Mulyani saat itu berbicara tentang reformasi Bank Dunia.

Pada 2010, Bank Dunia memutuskan untuk meminta tambahan modal dari anggota yang merupakan penambahan modal pertama dalam 20 tahun terakhir. Tujuan penambahan adalah meningkatkan kemampuan kucuran pinjaman selama krisis keuangan.

Kemudian kita bergeser sambil melihat perkembangan beberapa tahun ini di mana China berhasil merangsek menjadi negara terkemuka dalam perekonomian dengan cadangan devisa tembus 2 triliun dollar AS.

Bahkan April tahun ini, China berhasil menyalip negara-negara besar Eropa dalam perubahan hak voting di Bank Dunia. Hak suara China naik ketika negara maju sepakat memberikan pengaruh yang lebih besar kepada negara berkembang.

Sebanyak 186 anggota juga sepakat meningkatkan hak suara beberapa negara berkembang dari 3,13 persen menjadi 47 persen. Akibatnya, hak suara China naik dari 2,77 persen menjadi 4,42 persen hanya berada di bawah AS dan Jepang, tapi di atas Jerman, Inggris, dan Prancis. Kenaikan hak suara China menggambarkan status Negeri Panda sebagai negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia.

Sebelumnya sejak awal 2010 dimulailah penerapan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN plus China yang membolehkan barang-barang negeri Tirai Bambu itu leluasa keluar masuk ASEAN tanpa dipungut bea, begitupun sebaliknya.

Namun kondisi yang tidak berimbang di mana rata-rata harga barang-barang China jauh lebih kompetitif dan membuat sektor Indonesia ketar-ketar bakal gulung tikar. Hal itu membuat DPR berupaya mendesak pemerintah untuk memikirkan kembali kesepakatan tersebut sampai industri dalam negeri benar-benar siap.

Lalu apakah keberadaan Sri Mulyani nantinya bisa membuat Indonesia berutang lagi? atau melancarkan pengaruh China di Indonesia? Mungkin jika Mama Laurent masih hidup dia bisa menebak, tapi saya tidak bisa.

Rabu, 19 Mei 2010

Dynamic Provisioning

Provisi Kredit Akan Dilonggarkan


JAKARTA – Bank Indonesia mungkin akan menerbitkan aturan baru yang melonggarkan ketentuan pencadangan kredit bermasalah perbankan untuk memperkuat permodalan.

Bank dinilai bisa menggunakan dana yang sebelumnya digunakan sebagai Penyisihan Pencadangan Aktiva Produktif (PPAP) untuk ditempatkan pada sisi permodalan. Untuk itu, BI harus menyesuaikan ketentuan besaran provisi kredit dengan kondisi krisis keuangan saat ini.

“Di beberapa negara memang sudah diterapkan, sekarang sedang kami kaji sebenarnya dynamic provisioning bukanlah hal yang aneh, konsepnya simpel. Ini akan menjadi salah satu topik pembuatan regulasi, tentang provisioning,” kata Deputi Gubernur Muliaman Darmansyah Hadad di Jakarta, Kamis (14/5).

Dynamic provisioning adalah ketentuan pencadangan, yakni perbankan diminta meningkatkan persentasenya di saat kondisi perekonomian normal. Akan tetapi, di saat kondisi ekonomi melambat karena krisis, provisi diminimalisasi, bahkan tidak perlu dilakukan.

Pencadangan kredit yang ditempatkan ketika kondisi ekonomi normal dinilai dapat menambal potensi kerugian kredit perbankan karena meningkatnya kredit macet atau nonperforming loan (NPL).

Kepala Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara mengatakan memang sudah seharusnya bank memupuk pencadangan ketika perekonomian normal karena profit bank masih tinggi sehingga sebagian dapat disisihkan untuk pencadangan NPL.

Namun, perbankan bisa saja tidak membentuk pencadangan ketika kondisi ekonomi sulit jika memang provisi yang telah dilakukan cukup untuk menjadi bantalan NPL ketika kondisi ekonomi tidak normal.

Lagi pula, kata Mirza, pencadangan ini merupakan salah satu penilaian investor terhadap kinerja perbankan.

“Investor dan credit rating meminta bank memiliki pencadangan yang cukup, yaitu sebaiknya coverage rasio di atas 100 persen (dari yang diwajibkan BI). Kalau bank sudah punya pencadangan tinggi, bisa saja di masa sulit bank itu mengurangi provisi,” jelasnya.

Dampak Kebijakan
Otoritas perbankan mewajibkan bank-bank untuk membentuk provisi sesuai dengan level kualitas kredit. Bank harus menyisihkan dana 1 persen dari kredit jika kredit tersebut berkualitas lancar dan 5 persen jika kreditnya masuk kualitas dalam perhatian khusus.

Kualitas kredit kurang lancar harus mendapatkan penyisihan dana sebesar 15 persen dan kualitas diragukan sebesar 50 persen. Jika kredit dikategorikan macet, bank harus menyisihkan dana sejumlah kredit yang diberikan atau 100 persen.

Beberapa bank bahkan melakukan provisi lebih tinggi dari yang diwajibkan BI.
“Seharusnya yang diatur bukan timing pencadangan, tetapi rasio pencadangan, yaitu harus selalu di atas 100 persen coverage,” kata Mirza.

Sementara itu, Kepala Ekonom Danareksa Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan, jika kebijakan ini ingin diterapkan, sebaiknya BI memperhitungkannya karena justru berpotensi menghalangi perbankan melakukan ekspansi.

“BI sebaiknya harus mengantisipasi itu (ekspansi kredit mandek), jangan sampai terlambat mengantisipasi,” tandasnya. aph/E-