Minggu, 23 Mei 2010

Teori Kepergian Sri Mulyani

Mungkin beberapa dari kita menyimpan sedikit kecurigaan tentang keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani menerima pinangan dari Bank Dunia untuk menjadi direktur operasional. Kita juga menyimpan pertanyaan besar mengapa Presiden mengizinkan anak buahnya itu untuk resign sebagai Menkeu dan bekerja di tempat lain. Tapi yang pasti banyak orang yang bangga karena Sri Mulyani katanya akan membawahi tiga region dan 74 negara-negara di dunia.

Berbagai teori konspirasi sudah terlanjur berkembang. Presiden ingin menyelamatkan Sri Mulyani secara elegan dari cakaran lawan politik yang ingin menggoyang pemerintahan? Bisa Jadi. Atau Sri Mulyani ingin mengatakan kepada seluruh rakyat bahwa dia lebih dihargai oleh pihak asing dibanding pihak sebangsa dan senegaranya sendiri? Mungkin Juga. Namun yang tidak kalah menarik adalah memikirkan kemungkinan Bank Dunia mengambil kesempatan dari kisruh politik yang menyeret Sri Mulyani beberapa waktu belakangan ini.

Lalu apa untung-ruginya Indonesia, jika mantan Menkeu Terbaik versi majalah Euro Money itu sudah bertugas di Bank Dunia membawahi 3 regional dan 74 negara? Andaikata Mama Laurent masih hidup, mungkin peramal kondang itu bisa menebak. Namun ada sedikit back ground yang layak disimak.

Indonesia sejak 2006 lalu memutuskan untuk melunasi kewajibannya pada Dana Moneter Internasional sekaligus menutup pintu rapat-rapat bagi bantuan lembaga asing. Maklum, trauma krisis moneter membawa sebagian besar masyarakat Indonesia kepada kesimpulan bahwa lembaga asing selalu berupaya mengaduk-aduk “dapur” kebijakan ketika memberi bantuan. Mulailah saat itu Indonesia tidak lagi menerima utang lembaga, meskipun utang bilateral -agak malu-malu- diterima.

Bank Dunia, sejak krisis 2008, mengalami tekanan hebat pada permodalannya di saat banyak negara-negara Amerika Selatan yang menolak berhubungan dengan lembaga donor internasional.

Pada 2008, Sri Mulyani adalah tokoh dari negara berkembang yang diberi kesempatan berpidato di hadapan negara anggota G20 yang saat itu bertemu untuk membahas upaya keluar dari krisis. Sri Mulyani saat itu berbicara tentang reformasi Bank Dunia.

Pada 2010, Bank Dunia memutuskan untuk meminta tambahan modal dari anggota yang merupakan penambahan modal pertama dalam 20 tahun terakhir. Tujuan penambahan adalah meningkatkan kemampuan kucuran pinjaman selama krisis keuangan.

Kemudian kita bergeser sambil melihat perkembangan beberapa tahun ini di mana China berhasil merangsek menjadi negara terkemuka dalam perekonomian dengan cadangan devisa tembus 2 triliun dollar AS.

Bahkan April tahun ini, China berhasil menyalip negara-negara besar Eropa dalam perubahan hak voting di Bank Dunia. Hak suara China naik ketika negara maju sepakat memberikan pengaruh yang lebih besar kepada negara berkembang.

Sebanyak 186 anggota juga sepakat meningkatkan hak suara beberapa negara berkembang dari 3,13 persen menjadi 47 persen. Akibatnya, hak suara China naik dari 2,77 persen menjadi 4,42 persen hanya berada di bawah AS dan Jepang, tapi di atas Jerman, Inggris, dan Prancis. Kenaikan hak suara China menggambarkan status Negeri Panda sebagai negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia.

Sebelumnya sejak awal 2010 dimulailah penerapan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN plus China yang membolehkan barang-barang negeri Tirai Bambu itu leluasa keluar masuk ASEAN tanpa dipungut bea, begitupun sebaliknya.

Namun kondisi yang tidak berimbang di mana rata-rata harga barang-barang China jauh lebih kompetitif dan membuat sektor Indonesia ketar-ketar bakal gulung tikar. Hal itu membuat DPR berupaya mendesak pemerintah untuk memikirkan kembali kesepakatan tersebut sampai industri dalam negeri benar-benar siap.

Lalu apakah keberadaan Sri Mulyani nantinya bisa membuat Indonesia berutang lagi? atau melancarkan pengaruh China di Indonesia? Mungkin jika Mama Laurent masih hidup dia bisa menebak, tapi saya tidak bisa.

Rabu, 19 Mei 2010

Dynamic Provisioning

Provisi Kredit Akan Dilonggarkan


JAKARTA – Bank Indonesia mungkin akan menerbitkan aturan baru yang melonggarkan ketentuan pencadangan kredit bermasalah perbankan untuk memperkuat permodalan.

Bank dinilai bisa menggunakan dana yang sebelumnya digunakan sebagai Penyisihan Pencadangan Aktiva Produktif (PPAP) untuk ditempatkan pada sisi permodalan. Untuk itu, BI harus menyesuaikan ketentuan besaran provisi kredit dengan kondisi krisis keuangan saat ini.

“Di beberapa negara memang sudah diterapkan, sekarang sedang kami kaji sebenarnya dynamic provisioning bukanlah hal yang aneh, konsepnya simpel. Ini akan menjadi salah satu topik pembuatan regulasi, tentang provisioning,” kata Deputi Gubernur Muliaman Darmansyah Hadad di Jakarta, Kamis (14/5).

Dynamic provisioning adalah ketentuan pencadangan, yakni perbankan diminta meningkatkan persentasenya di saat kondisi perekonomian normal. Akan tetapi, di saat kondisi ekonomi melambat karena krisis, provisi diminimalisasi, bahkan tidak perlu dilakukan.

Pencadangan kredit yang ditempatkan ketika kondisi ekonomi normal dinilai dapat menambal potensi kerugian kredit perbankan karena meningkatnya kredit macet atau nonperforming loan (NPL).

Kepala Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara mengatakan memang sudah seharusnya bank memupuk pencadangan ketika perekonomian normal karena profit bank masih tinggi sehingga sebagian dapat disisihkan untuk pencadangan NPL.

Namun, perbankan bisa saja tidak membentuk pencadangan ketika kondisi ekonomi sulit jika memang provisi yang telah dilakukan cukup untuk menjadi bantalan NPL ketika kondisi ekonomi tidak normal.

Lagi pula, kata Mirza, pencadangan ini merupakan salah satu penilaian investor terhadap kinerja perbankan.

“Investor dan credit rating meminta bank memiliki pencadangan yang cukup, yaitu sebaiknya coverage rasio di atas 100 persen (dari yang diwajibkan BI). Kalau bank sudah punya pencadangan tinggi, bisa saja di masa sulit bank itu mengurangi provisi,” jelasnya.

Dampak Kebijakan
Otoritas perbankan mewajibkan bank-bank untuk membentuk provisi sesuai dengan level kualitas kredit. Bank harus menyisihkan dana 1 persen dari kredit jika kredit tersebut berkualitas lancar dan 5 persen jika kreditnya masuk kualitas dalam perhatian khusus.

Kualitas kredit kurang lancar harus mendapatkan penyisihan dana sebesar 15 persen dan kualitas diragukan sebesar 50 persen. Jika kredit dikategorikan macet, bank harus menyisihkan dana sejumlah kredit yang diberikan atau 100 persen.

Beberapa bank bahkan melakukan provisi lebih tinggi dari yang diwajibkan BI.
“Seharusnya yang diatur bukan timing pencadangan, tetapi rasio pencadangan, yaitu harus selalu di atas 100 persen coverage,” kata Mirza.

Sementara itu, Kepala Ekonom Danareksa Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan, jika kebijakan ini ingin diterapkan, sebaiknya BI memperhitungkannya karena justru berpotensi menghalangi perbankan melakukan ekspansi.

“BI sebaiknya harus mengantisipasi itu (ekspansi kredit mandek), jangan sampai terlambat mengantisipasi,” tandasnya. aph/E-