Kamis, 11 November 2010

Sulitnya Mengatur Suku Bunga

Sejak 2009, semua orang yang memiliki hubungan dengan perbankan terus menerus berharap agar suku bunga bisa turun. Harapan itupun berlanjut sepanjang tahun ini. Namun, seperti juga tahun lalu, tahun inipun suku bunga tidak banyak bergerak.
Penyebab yang paling utama adalah suku bunga acuan (BI Rate) yang menjadi pedoman pengenaan bunga perbankan masih bergeming di level 6,50 persen. Tingkat tersebut sudah bertahan sebanyak 15 bulan sejak penurunan terakhir 25 basis poin Agustus tahun lalu.
Maka tidaklah mengherankan jika suku bunga kredit juga tidak kunjung mau turun. Bahkan perbankan sudah terlihat enggan menurunkan bunga kredit ketika Bank Indonesia menurunkan bunga acuannya sepanjang semester pertama 2009.
Berdasarkan data BI hingga September, suku bunga kredit sepanjang tahun ini turun rata-rata sebesar 100 basis ponin atau 1 persen di kisaran 13 persen. Sementara suku bunga deposito 1 bulan rata-rata tertimbang telah turun 37 basis poin di level 6,72.
Jika mau diperas lagi, suku bunga kredit konsumsi lebih signifikan penurunannya dibanding bunga kredit investasi ataupun modal kerja. Suku bunga kredit konsumsi turun sebesar 157 basis poin sementara pada kredit investasi dan kredit modal kerja hanya turun 83 basis poin dan 75 basis poin.
Namun demikian suku bunga kredit konsumsi masih lebih tinggi karena berada di level 14,75 persen sedangkan bunga kredit investasi 12,40 persen dan kredit modal kerja sebesar 13,00 persen.
Persoalan suku bunga ini telah menjadi concern utama bank sentral pasca krisis global yang disebabkan oleh ledakan subprime mortgage di AS pada 2008 lalu. Sesudah krisis keuangan global itu, berkali-kali otoritas meminta kepada pengelola perbankan untuk menurunkan suku bunga karena kondisi likuiditas dinilai sudah dalam tahap aman.
Saat krisis 2008, likuiditas sektor keuangan memang menjadi super ketat karena perbankan enggan melepas dananya karena terancam krisis. Perbankan juga menawarkan suku bunga tinggi kepada nasabah agar nasabah tidak mencairkan dananya, ditambah embel-embel gimmick hadiah yang menggiurkan. Penyalur kredit pun ikut mengetat. Karenanya BI pun mahfum jika perbankan tidak mau menurunkan suku bunga meski saat itu BI Rate beberapa kali diturunkan.
Namun setelah krisis mereda ternyata perbankan tetap enggan menurunkan suku bunga ke level yang wajar jika dibandingkan dengan BI Rate. Oleh karena itu, BI sempat mengumpulkan bankir-bankir untuk mencari jalan keluar agar persoalan tingginya suku bunga bisa terpecahkan.
Pada triwulan ketiga 2009, pengelola 14 bank umum nasional yang berkumpul telah bersepakat bahwa mereka akan menurunkan suku bunga hingga ke level 50 basis poin dari level BI Rate. Saat itu BI Rate sudah berada di level 6,50 persen, artinya kredit perbankan seharusnya sudah ada di level 7 persen.
Tetapi apalah mau dikata, karena kesepakatan tersebut tidak berisi sanksi yang tegas terutama dari otoritas, pernyataan 14 bank itu hanya menjadi macan kertas. Pada September 2009, suku bunga kredit perbankan masih bertengger di kisaran 15 persen, lebih dari dua kali lipat tingkat bunga acuan yang seharusnya jadi pedoman perbankan.
Di masa yang sama, bank-bank hanya menurunkan suku bunga deposito saja karena tercatat kisarannya mendekati level BI Rate, yaitu sebesar 7,43 persen, 7,38 persen, 7,16 persen, 6,87 persen sepanjang September hingga Desember 2009.
Para peminjam tentu berpikir dua kali untuk mencari pinjaman ke bank karena kondisi tersebut. Ironisnya lagi pengusaha yang tadinya ingin membuka atau memperluas usahanya urung menjalankan rencananya itu. Akibatnya potensi pergerakan sektor riil menjadi terhambat yang ujung-ujungnya pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan.
Pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam produk domestik bruto (PDB) sepanjang kuartal ketiga mencapai 6,35 persen. Angka itu berada di bawah consensus pasar yang memprediksi PDB tumbuh mencapai 6,35 persen.
Menurut ekonom Citigroup Johanna Chua, pertumbuhan ekonomi tiga bulan yang berakhir September terbilang mengecewakan. Citigroup sendiri memperkirakan PDB bisa menyentuh level 6,2 persen. Padahal pada kuartal sebelumnya ekonomi bisa tumbuh 6,2 persen. “Kami memprediksi, BI akan mulai menaikkan suku bunga secara bertahap mulai kuartal I 2011,” kata Johanna dalam siaran resmi Citigroup.
Melihat prestasi ekonomi yang kurang membaik, bank sentral tentu tidak tinggal diam. Pada Oktober lalu, BI menyiapkan langkah serius untuk mengarahkan bank menurunkan suku bunga pinjamannya lewat mekanisme pasar. Caranya, regulator akan mewajibkan seluruh bank mengumumkan suku bunga utamanya atau prime lending rate kepada masyarakat melalui media massa.
Tingkat suku bunga utama adalah istilah yang diterapkan di banyak negara dengan tingkat bunga referensi yang digunakan oleh bank. Istilah ini awalnya untuk menunjukkan tingkat bunga bank yang dipinjamkan kepada pelanggan pilihan, yaitu mereka yang memiliki kredibilitas tinggi. Prime lending rate didapatkan dari tingkat bunga kredit dikurangi premi risiko.
Kebijakan itu bertujuan agar masyarakat bisa melihat bank mana yang memberikan suku bunga kompetitif sehingga kemudian pengusaha bisa memilih bank yang menawarkan tingkat suku bunga kredit paling rendah.
Dengan begitu meningkatnya permintaan kredit pada bank yang memberikan bunga kompetitif akan diikuti oleh bank lain, tentunya jika bank tersebut tidak ingin ditinggal nasabah.
Namun lagi-lagi, bankir-bankir berkilah. Kata mereka, penetapan bunga kredit adalah hasil negosiasi antara nasabah bank yang bersangkutan dengan pihak manajemen bank. Lagi pula, tambah mereka lagi, pemberitahuan itu sudah dilakukan bank di kantor-kantor layanan dengan menempelkan tingkat bunga di papan-papan pengumuman.
"Jangan masalahkan prime lending rate, kita ambil saja contoh papan deposit, apa semua komplain? Tidak kan? Menurut saya lebih baik BI instruksikan saja semua DPK (dana pihak ketiga) bunganya tidak boleh diberikan lebih dari LPS Rate karena sudah cukup meng-cover tingkat suku bunga kredit oleh bank nantinya," kata salah satu bankir BUMN.
Kalau sudah begini, siap-siap saja menghadapi tingkat bunga kredit yang tidak kunjung turun meskipun bank sentral melotot pada bankir agar menurunkannya. Tapi diancam sanksi saja masih tak gentar, bagaimana kalau cuma dipelototi.