Senin, 31 Oktober 2011

Deja Vu 2008

Keputusan BI menurunkan suku bunga acuan ke level yang sama saat mengelola dampak krisis 2008 bisa dianggap sia-sia jika suku bunga kredit enggan menciut. Padahal BI membutuhkan bank untuk menurunkan suku bunga kredit demi menjaga target pertumbuhan ekonomi.

Pengalaman memang selalu menjadi guru yang paling bermanfaat dan Bank Indonesia benar-benar memahami hal itu. Setidaknya bank sentral ingin menjadikan pengalaman masa lalu sebagai pedoman untuk mengantisipasi kondisi saat ini.
Di saat sebagian besar pengamat memprediksi bahwa suku bunga acuan akan bertahan setidaknya hingga Oktober ini, Bank Indonesia ternyata memangkasnya lebih cepat. Keputusan memangkas suku bunga 25 basis poin bulan lalu mengakhiri delapan bulan berturut-turut dipertahankannya BI Rate sekaligus membawanya ke level yang sama pada Agustus 2009.
Situasi ekonomi global menjadi landasan utama otoritas mengambil langkah pemangkasan BI Rate. Ekonomi kawasan Eropa dan AS yang masih limbung dan belum menampakkan perbaikan signifikan membuat BI khawatir hal itu akan menurunkan kinerja perekonomian Indonesia.
Selama September lalu, pasar keuangan Indonesia goncang yang ditandai dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal itu kemudian diikuti oleh volatilitas yang cukup tinggi di pasar modal Indonesia dalam kurun waktu sebulan terakhir akibat kekhawatiran akan terjadinya krisis utang yang menimpa beberapa negara Eropa dan AS.
“Dewan Gubernur terus mewaspadai tingginya risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global serta kecenderungan menurunnya kinerja perekonomian global akibat permasalahan utang dan fiskal di Eropa dan AS,” tulis BI dalam siaran pers.
Penurunan kinerja ekonomi global dinilai akan menurunkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya di Indonesia. Tahun ini pertumbuhan ekonomi nasional ditargetkan dapat mencapai 6,6 persen. Selain itu, pergerakan harga-harga yang dinilai cukup jinak juga memberikan optimisme tersendiri bagi BI saat memutuskan untuk menurukan bunga acuan. Inflasi tahun ini diyakini tak akan melebihi 5 persen.
Keadaan saat ini memang mirip –meskipun tidak bisa dikatakan persis sama– dengan yang dihadapi BI pada 2008. BI saat itu masih berada di dalam bayang-bayang dampak krisis subprime mortgage yang episentrumnya berada di AS. Tak pelak BI saat itu menghadapi risiko pelemahan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Pada 2009, ekonomi nasional tumbuh di angka 4,3 persen. Uniknya lagi, realisasi inflasi 2009 juga mirip dengan yang diyakini oleh otoritas yaitu tak akan lewat dari 5 persen.
Sekadar catatan, sejak Februari 2011, BI mempertahankan BI Rate di level 6,75 persen dan memangkas 0,25 persen bulan lalu menjadi 6,5 persen. Sebelumnya, selama 18 bulan sejak Agustus 2009, BI telah menahan suku bunga acuan di level 6,5 persen. Sementara, sepanjang 2009 itu, BI Rate telah diturunkan sebesar 300 basis poin sebelum akhirnya bertahan di level 6,5 persen.
Sayangnya, langkah dramatis bank sentral sepanjang 2009 lalu itu belum bisa membuat bank ikut menurunkan suku bunga kreditnya. Bank masih ogah-ogahan mengikuti langkah BI sehingga bunga kreditnya masih berkisar antara 13,5 hingga 16 persen.
Hal itu tentunya tidak diinginkan BI saat mengambil langkah menurunkan suku bunga acuan kali ini. Apalagi bank mulai April tahun ini sudah diwajibkan mencantumkan besaran suku bunga dasar kredit (SBDK) sehingga nasabah bisa mengetahui secara langsung.
Namun tetap saja kekhawatiran jikalau bank masih tetap keukeuh dengan kemauannya sendiri tetap muncul. Dan kemungkinan itu tentu tidak diinginkan karena akan membuat yang ditakutkan bank sentral mengenai risiko pelemahan pertumbuhan menjadi nyata.
Ekonom dari Universitas Atma Jaya A Prasetyantoko mengatakan, keputusan bank sentral yang cukup diluar dugaan tersebut memang bisa diterima mengingat rendahnya tingkat inflasi serta fundamental ekonomi domestik yang kuat. Meski demikian, langkah tersebut perlu segera diikuti dengan adanya penurunan suku bunga kredit pinjaman oleh kalangan perbankan demi makin menggeliatkan sektor riil.
"Keputusan BI turunkan suku bunga bisa diterima. Sekarang tinggal bagaimana bank-bank menyikapi penurunan BI Rate ini. Seharusnya mereka merespons dengan menurunkan suku bunga kredit untuk menggenjot sektor riil," kata Prasetyantoko.
Keberanian perbankan menurunkan tingkat bunga pinjaman kredit di samping akan membantu bergeraknya sektor riil, juga akan memperingan para pengusaha dan mengurangi risiko kredit macet. Pasalnya, bunga kredit yang diterima para pengusaha tahun ini masih berkisar di double digit dengan rata-rata 13 persen-16 persen per tahun. “Tingkat suku bunga tersebut tergolong mahal mengingat biaya dana (cost of fund) perbankan yang hanya sekitar 6 persen,” tambah Prasetyantoko.
Respons Perbankan
Akan tetapi kalau melihat tanggapan pengelola perbankan soal penurunan BI Rate seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Utama Bank Mandiri Zulkifli Zaini. Dalam hitung-hitungannya, kebijakan otoritas perbankan itu akan mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan.
Selanjutnya penurunan bunga pinjaman itu akan menekan biaya suku bunga bagi pelaku usaha yang bisa memicu berjalannya perekonomian lebih cepat. "Efek baik bagi indonesia. Saya melihat positif saja, dengan penurunan BI Rate ini. Mudah-mudahan ekonomi lebih bergairah, fungsi intermediasi lebih bergairah, maka perkembangan ekonomi indonesia lebih baik," ujar Zulkifli.
Dan menurut dia lagi, BI dan sekaligus sektor keuangan Indonesia akan bisa melewati ancaman krisis dari Eropa tahun ini sebagaimana juga dibuktikan pada krisis 2008.
“Ekonomi Indonesia lebih kuat karena 60 persen berbasis domestik, jadi kalau ada impact dari perkembangan di Eropa, AS, dan perlambatan ekonomi di China, tidak terlalu besar. Krisis ekonomi makro kali ini lebih kecil dibanding 2008 lalu," jelas Zulkifli.
Tidak berbeda jauh dengan bank beraset terbesar itu, BCA juga menyatakan bahwa langkah BI akan mendorong bank menurunkan suku bunga. Kebijakan memangkas bunga kredit mengikuti keputusan BI itu akan berdampak langsung pada kinerja pembiayaan dan meningkatkan fungsi intermediasi bank. Meski demikian, skenario itu sangat tergantung dari kualitas pendanaan yang dimiliki masing-masing bank.
"Kita (BCA) lihat dulu. Kita banyak di tabungan dan giro jadi tidak terlampau banyak dari deposito. Bunga turun itu positif. Seperti KPR (kredit pemilikan rumah) saja kita sudah tawarkan bunga 7,5 persen. hasilnya, permintaan langsung per regional naik 38-60 persen. Bunga murah, masyarakat yang mampu mencicil semakin banyak, semakin banyak rakyat sejahtera memiliki rumah, jadi secara umum positif bunga turun," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiatmadja.
Survei yang dilakukan BI memang menunjukkan bahwa kalangan perbankan optimistis permintaan kredit baru pada kuartal ketiga 2011 meningkat dibandingkan kuartal kedua 2011. Meskipun dari segi laju pertumbuhan, lebih lambat dibandingkan kuartal kedua 2011. Pertumbuhan kredit (outstanding) pada 2011 diperkirakan sebesar 20,5-22,3 persen.
Akan tetapi, ekonom Indef Aviliani tidak terlalu yakin bahwa pemangkasan suku bunga yang dilakukan oleh BI akan menurunkan suku bunga kredit semua bank. "Dari sektor perbankan, aliran dana tidak akan merata, bank-bank kecil akan tetap memberikan bunga tinggi," kata dia.
Perebutan dana dinilai Aviliani masih akan terjadi dan akan menahan bank untuk menunjukkan keberaniannya mengurangi keuntungan dari suku bunga yang tinggi. Faktor inilah yang akan menghambat transisi kebijakan BI terhadap sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. Jika ini yang kemudian terjadi maka tidak ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari pengalaman 2008.

Rabu, 01 Juni 2011

Buruk Citi, Perbankan Dibelah

Langkah BI menghentikan layanan private banking dari semua bank dianggap sebagai kebijakan yang gebyah uyah. Meski begitu, dengan kebijakan itu BI menemukan bahwa semua bank ternyata tidak siap meluncurkan layanan tersebut baik dari dilihat dari sistem maupun SDM.


Kejadian yang menimpa Citibank benar-benar menampar muka industri dan otoritas perbankan. Sampai-sampai organisasi bank swasta terbesar di Indonesia harus meminta maaf kepada masyarakat dan nasabah. Bahkan kejadian itu memaksa otoritas perbankan memperketat aturan, bukan hanya untuk Citibank tapi untuk seluruh perbankan.
Tiga bulan setelah kasus pembobolan Citibank oleh pegawai private banking-nya–yang tentunya sekarang sudah diberhentikan– terkuak , Bank Indonesia memrintahkan seluruh bank untuk memoratorium sementara layanan khusus itu.
Seluruh layanan khusus bank untuk nasabah premium yang saat ini berjumlah 23, tidak boleh menjaring nasabah baru selama sebulan terhitung awal bulan lalu. Bank boleh menarik nasabah baru yang masuk kategori high networth individual, namun tidak menggunakan layanan premium tersebut.
Bankjuga harus menyempurnakan dan memperbaiki sistem, prosedur dan sarana yang menunjang layanan wealth management itu seperti ketersediaan kamera CCTV, voice recorder, dan kamera SDI (serial digital interface) dalam waktu 1 bulan.
Industri perbankan terbengong-bengong karena menganggap keputusan itu akan menahan potensi pendapatannya. Saat ini hampir seluruh bank-bank besar memiliki layanan private banking yang menggaet nasabah berkantong tebal dengan setoran awal minimal Rp500 juta-Rp 1 miliar. Perbankan tentu tidak ingin kehilangan potensi fee-based income besar dan juga sumber dana berbiaya murah. Dan survey dari HSBC pada 2010 mengatakan hampir 95 persen dana nasabah kaya Indonesia diinvestasikan pada deposito. Sementara berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) jumlah rekening dengan kisaran nilai simpanan lebih dari Rp500 juta-Rp1 miliar mencapai 291 ribu rekening.
Ambil contoh layanan private banking di bank beraset terbesar, Bank Mandiri. Jumlah nasabah prioritas dari bank tersebut ada sekitar 50 ribu pada 2010. Layanan yang di bank tersebut dinamakan Mandiri Prioritas mensyaratkan minimal simpanan nasabah Rp500 juta. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan nasabah Mandiri Prioritas mencapai 66,67 persen. Potensi pasar tentu kian besar jika memasukan rekening dengan nilai simpanan di atas Rp1 miliar yang mencapai 245 ribu rekening.
Maka itu tidak mengherankan jika kalangan perbankan menggerutu atas keputusan BI menghentikan layanan private banking meski hanya sebulan. "Ada satu kasus jangan dihukum seluruh industrinya 23 bank, karena ini tidak adil, relatif tidak adil," begitu kata Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono.
Kegusaran Sigit memang beralasan karena layanan priority banking tengah diminati oleh banyak nasabah di Indonesia yang jumlah orang kayanya selalu meningkat dan ditandai naiknya pendapatan per kapita menembus 3.000 dollar AS per tahun. Nasabah-nasabah ini biasanya ingin dilayani lebih baik, lebih private, seperti tidak perlu mengantri, mengambil uang tanpa melalui ATM, pokoknya diurusi semua masalah keuangannya.
Oleh karena itu seperti dikatakan Komisaris Bank BCA itu, janganlah ketika terjadi pembobolan di satu bank yakni Citibank, BI menggeneralisir kalau perbankan di Indonesia tidak aman, sehingga 23 bank lainnya terkena getahnya.
Kehilangan Momentum
Seperti yang diputuskan BI, masa moratorium weallth management akan berakhir pada 2 Juni. Akan tetapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa kebijakan itu akan selesai atau diperpanjang. Yang jelas akibat moratorium layanan private banking itu, bisnis perbankan pada divisi itu praktis terhenti dan potensi tambahan pendapatan dari fee-based income tersendat. Padahal kesempatan bank-bank nasional mengambil celah pasar dan perpindahan nasabah setelah terjadi pembobolan di Citibank yang notabene adalah bank asing sangat terbuka. Selama ini diakui atau tidak, wealth management dari bank asing–khususnya Singapura–memang lebih maju karena lebih terbukanya channel kepada instrumen-instrumen keuangan global yang dimiliki bank tersebut.
Nasabah kakap pemilik dana besar tentunya membutuhkan produk khusus yang membawa inovasi varian dan layanan berkelas serta menguntungkan. Tak mengherankan jika pada akhirnya nasabah memilih bank asing.
Lembaga riset AC Nielsen pernah mengumumkan hasil penelitiannya bahwa nasabah kaya Indonesia cenderung untuk menempatkan dananya di Singapura. Atas alasan itulah bank-bank dari negeri jiran itu berbondong-bondong membuka cabang di Jakarta. Buktinya, lihat saja UBS, DBS dan beberapa bank lain yang sudah mengakuisi bank lokal mempunyai layanan private banking.
Kini peluang itu tertutup karena BI memukul rata hukuman meski pembobolan dana terjadi pada layanan Citigold milik bank asal AS, Citibank.
Alwas K Yarman dari Jakarta Private Bankers Club, mengatakan bahwa semestinya hanya bank yang berbuat salah yang dihukum. Alwas yang juga pengelola layanan wealth management di salah satu bank di Jakarta mengungkapkan bahwa saat ini semua bank yang memiliki layanan tersebut harus selalu memberikan laporan ke BI terkait private banking.
Sementara itu, dengan memanggil para pengelola layanan tersebut BI selain melakukan pemeriksaan tampaknya ingin mendapatkan masukan dari pelaku terkait aturan wealth management yang tengah disiapkan. Kabarnya aturan tersebut akan diluncurkan pada bulan ini dan akan menekankan pada prinsip prudensial. Dengan kata lain, regulasi yang akan terbit akan memastikan prinsip-prinsip kehati-hatian terutama dalam layanan private banking diterapkan oleh bank.
Selama ini dalam pelaksaan wealth management BI menilai bank kurang mengimplementasikan prinsip kehati-hatian yang bisa dilihat dari tidak dijalankannya standard operation procedure (SOP) yang baik oleh bagian operasional sebagai first of line of defense.
BI memang tengah intensif memanggil para bank-bank yang memiliki layanan prioritas tersebut. Berdasarkan pemanggilan itu, BI telah melakukan evaluasi terhadap 23 bank penyedia layanan wealth management dan menyimpulkan bahwa tidak ada satupun bank yang siap 100 persen dalam melakukan pelayanan priority banking.
Dengan kesimpulan itu, BI sekaligus menolak anggapan bahwa keputusannya untuk melarang bank-bank mencari dan menerima nasabah baru wealth management sebagai keputusan yang gebyah uyah, atau menyamaratakan kasus."Dari pemeriksaan kami melihat semua bank memiliki kelemahan bervariasi. Wealth management belum dilakukan secara konsisten dan review yang berkala," ujar Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah
Selain itu, SOP dalam layanan itu juga belum dilaksanakan secara konsisten perbankan. Halim mencontohkan di kasus Citibank, diperbolehkannya penandatanganan blanko kosong meski nasabah tidak datang ke bank. "Juga kelemahan implementasi kebijakan know your employee, kelemahan dalam sistem informasi," sambung Halim.
Kelemahan dalam sistem informasi ini, lanjut Halim, adalah belum ada database yang mengintegrasikan bagaimana profil nasabah dengan perilaku portofolionya. Padahal database itu berguna untuk cegah tindakan pencucian uang atau money laundering.
Database ini juga bisa menjadi early warning jika nasabah memiliki dana Rp 200 miliar, dengan profil yang dikaitkan dengan perilaku sehari-hari dalam penggunaan dana. "Ketika nasabah melakukan transaksi diluar kebiasaanya, ada early warning, lalu akan dikonfirmasi dengan pihak bank," kata dia.

Selasa, 03 Mei 2011

Ketika Tenaga BI Mulai Terkuras

Nilai tukar rupiah cenderung untuk menempati keseimbangan baru dalam level yang menguat. Situasi itu dinilai sebagai cerminan dari bank sentral yang tampaknya mulai kewalahan menghadapi serbuan dana-dana asing jangka pendek. BI terkesan memberi peluang penguatan rupiah lebih lanjut.


Tiada tahun yang ringan bagi bank sentral di Indonesia yang masih mengendalikan perbankan dan moneter sekaligus. Dan dua tahun belakangan mungkin bisa dibilang merupakan tahun yang menantang terutama dalam pengelolaan moneter.
Sejak krisis global meledak pada 2008, Indonesia memperoleh banyak dana asing yang menambah cadangan devisa. Karenanya itu pula Bank Indonesia dituntut untuk memiliki banyak imajinasi untuk mengelolanya.
Sejak tahun lalu hingga awal tahun ini, BI terlihat masih mampu meladeni serbuan dana asing yang berpotensi mengangkat nilai tukar rupiah ke level tertinggi dalam lima tahun terakhir. Akan tetapi karena kondisi ini akan membuat keunggulan komparatif eksportir mulai tergerus, BI selalu mencoba mengarahkan nilai tukar ke level yang bisa diterima semua pelaku ekonomi. Maka dari itu harga rupiah atas dollar AS masih bergerak dalam selang Rp8.900 hingga Rp9.100 per dollar AS.
Namun kondisi itu tidak lagi terlihat bulan lalu. Mata uang rupiah sepertinya tengah mencari keseimbangan baru dalam kecenderungan yang lebih kuat. Bahkan levelnya sudah mulai mendekati level Rp8.600 per dollar AS pada perdagangan 25 April.
Pengamat pasar uang Viviet S Putri mengatakan, sejak awal tahun hingga kini, pergerakan rupiah terhadap dollar AS cenderung menguat. “Selain karena arus modal masuk (capital inflow), penguatan rupiah juga disebabkan tingkat suku bunga The Fed di AS masih dipertahankan rendah,” kata dia. Hingga perdagangan 25 April 2011, rupiah terus menguat hingga ke level Rp8.605, bandingkan dengan posisi 3 Januari 2011 yang masih di level Rp9.021 per dolar AS.
BI sejatinya tidak pernah tinggal diam untuk membendung dana asing agar tidak memberi dampak buruk terhadap sektor keuangan dalam negeri terutama jika modal panas itu berbalik tiba-tiba (sudden reversal).
Dana-dana yang kebanyakan mampir di instrumen keuangan jangka pendek seperti saham dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) itu tentu akan mengganggu stabilitas keuangan nasional jika hengkang secara bersamaan.
Untuk menghindari dampak terburuk, sejak tahun lalu BI sudah menhapus lelang mingguan yang diubah menjadi tiap bulan. Otoritas bahkan menghentikan lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor tiga bulan. Bahkan tahun ini BI memperpanjang waktu edar SBI tiga bulan menjadi enam bulan lewat kebijakan six months holding period.
Aturan itu bermaksud agar portofolio dana-dana asing segera pindah dari yang berjangka pendek ke jangka panjang sekaligus menjaga adanya aksi spekulatif dari pemegang SBI.
Belum lagi dengan kebijakan yang mewajibkan bank untuk menambah giro wajib minimum berdenominasi dollar AS dari 1 persen menjadi 5 persen.
Akan tetapi langkah-langkah yang diambil BI tampaknya tidak menyurutkan minat investor asing untuk terus menyerbu pasar keuangan Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan naiknya peringkat surat utang Indonesia, satu tingkat lebih dekat pada level investasi (investment grade).
Dikutip dari catatan BI, selama Februari 2011 aliran dana asing di instrumen SBI dan Surat Utang Negara (SUN) mengalami peningkatan yang cukup besar. Dana asing di SBI pada 3 Maret 2011 mencapai Rp 66,9 triliun atau meningkat Rp 21,9 triliun dibandingkan pada akhir Januari 2011 yang sebesar Rp 45,0 triliun.
Sedangkan dari instrumen SUN, bank sentral mencatat dan asing mencapai Rp200,1 triliun atau meningkat Rp5,1 triliun dibandingkan pada akhir Januari 2011 yang sebesar Rp195 triliun. Sehingga total dana asing yang masuk ke instrumen SBI dan SUN sebesar Rp27 triliun selama sebulan.
Hingga akhir Maret modal asing di SBI mencapai Rp77 triliun, atau menguasai 30 persen dari total dana di SBI yang mencapai Rp 230 triliun. Menambah total dana investor yang dikelola BI di instrumen moneter menjadi Rp503 triliun.
"Dari awal inflow ini berjalan, itu kebijakan yang ditempuh itu selalu ada dalam 3 area. 1 area bagaimana menyusun kebijakan agar tidak ada dana yang sangat pendek dan spekulatif. (yang penting dana) itu tidak tertarik masuk sajalah. Nah area yang kedua adalah bagaimana mendorong pendalaman pasar agar bisa dimanfaatkan dan area ketiga adalah insurance mechanism dalam kemungkinan reversal yang tiba-tiba," kata Gubernur BI Darmin Nasution.
Intervensi BI
Meski demikian, banyak pengamat menilai, tren penguatan rupiah ini belum terlalu mengkhawatirkan sehingga tidak mempengaruhi daya saing Indonesia. Pasalnya, apresiasi nilai tukar sejauh ini dialami juga oleh negara-negara di kawasan bahkan dengan tingkat yang lebih besar. Titik keseimbangan baru saat ini bagi pengamat, bukan disebabkan aktivitas ekspor-impor, namun lebih dipicu inflasi yang dipengaruhi tingginya konsumsi dalam negeri “Sebenarnya menurut saya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih di bawah sebelum krisis, jadi peluang rupiah terhadap dollar AS ada di kisaran Rp7.500-Rp9.000, terlepas dari intervensi BI,” kata analis PT Anugerah Indah Securindo Viviet S Putri.
Pada penutupan perdagangan tahun 2010 lalu, nilai tukar rupiah di level Rp8.996 per dollar AS (kurs tengah Bloomberg). Dengan demikian selama tahun 2010 lalu, rupiah mengalami apresiasi 4,3 persen. Sementara berdasarkan kurs tengah BI, pada perdagangan akhir tahun 2010 lalu, nilai tukar rupiah menguat di level Rp8.978 per dollar AS.
Tahun lalu, saat BI masih kuat menjaga nilai tukar di kisaran Rp9.000 per dollar AS, penjualan barang ke luar negeri masih mengagumkan. Sepanjang 2010, ekspor tercatat sebesar 157,7 miliar dollar AS, jauh melampaui ekspor 2009 yang mencapai 116,5 miliar dollar AS, atau meningkat sekitar 35 persen.
Kendati demikian, pada 2009 ekspor memang tengah tertekan menyusul krisis global yang terjadi setahun sebelumnya. Namun jika dibandingkan nilai ekspor 2008 yang mencapai 137 miliar dollar AS, prestasi ekspor 2010 tetap lebih tinggi.
Kini rupiah mulai menguat. Apakah ini memang rencana BI membiarkan nilai tukar menguat untuk mengurangi kekhawatiran eksportir yang takut barang-barangnya kurang pembeli karena lebih mahal di luar negeri? Bisa jadi.
Akan tetapi beberapa pengamat menilai bahwa kecenderungan menguatnya nilai rupiah di pasar uang lebih banyak disebabkan oleh mulai terkurasnya “tenaga” otoritas moneter dalam meladeni investor asing yang bertindak spekulatif.
Semua orang tahu bahwa BI selalu berada di pasar untuk mengintervensi mata uang agar selalu berada di level yang dinilai paling optimum bagi seluruh pelaku ekonomi. Dan level itu sebelumnya berada di kisaran Rp9.000 per dollar AS.
“BI mulai kerepotan menghadapi derasnya aliran mdal asing yang mengucur sejak tahun lalu. Alhasil tidak mengherankan kalau sekarang nilai tukar mulai menembus Rp8.700, kemudian Rp8.600 dan bahkan mungkin ke Rp8.500 per dollar AS,” kata analis PaninBank Didik Kristanto.
Perkiraan itu mungkin tidak berlebihan mengingat BI sudah mengakui bahwa biaya pengendalian moneter meningkat signifikan dan membuat neraca bank sentral menjadi defisit. "Di 2010 defisit anggaran BI diperkirakan akan mencapai Rp 29 triliun. Saat ini masih diolah di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," ujar Direktur Direktorat Keuangan Intern Bank Indonesia Harti Haryani
Dikatakan Harti defisit ini yang paling besar memang dalam beban operasi moneter atau Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang mencakup beban pengelolaan devisa untuk menstabilkan nilai rupiah melalui sterilisasi alias intervensi. "Beban OPT di 2010 sendiri diperkirakan mencapai Rp 25 triliun," tambah Harti.
Jumlah tersebut merupakan yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir. BI mencatat selama 2009 dan 2008, beban operasi pasar terbuka masing-masing mencapai Rp 22 triliun dan Rp 20,8 triliun.
Meski modal terkuras, BI tetap dituntut untuk selalu panjang akal dalam mengelola moneter nasional agar biaya operasi pasar bisa lebih terkendali.

Selasa, 11 Januari 2011

Jauh Perbankan dari API

Tidak mudah memang membuat bangunan yang kuat, terutama jika rancangan sang arsitektur tidak benar-benar diikuti. Januari tujuh tahun silam, Bank Indonesia meluncurkan cetak biru (blue print) perbankan yang dikenal dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Cetak biru itu merupakan puncak kesadaran otoritas perbankan untuk membangun sebuah arsitektur industri perbankan nasional yang kuat, setelah diterpa krisis 1998.
Dan sejak saat itu, segala kebijakan BI selalu dikaitkan dengan penguatan industri perbankan yang sehat. Sejatinya ada enam sasaran dalam arsitektur itu, namun selama ini yang sering mengemuka adalah permasalahan struktur perbankan yang sehat yang tecermin dalam isu-isu mengenai permodalan. Dan pada tahun 2010 isu permodalan itu masih menggema.
Tahun ini dalam tahap-tahap implementasi API sejatinya BI memiliki beberapa agenda yang periode pelaksanaannya dilakukan sejak 2004. Di antaranya yaitu memastikan modal minimum bagi bank umum termasuk bank pembangunan daerah sebesar Rp100 miliar dan mempertahankan persyaratan modal Rp3 triliun untuk pendirian bank baru sampai dengan 1 Januari 2011.
Banyak kalangan menilai bahwa peraturan mengenai modal minimum adalah cara BI mengurangi jumlah bank yang beroperasi di Indonesia. Bahkan BI sempat mencanangkan jumlah bank yang pada 2004 masih sebanyak 130-an bank akan diciutkan hingga 80 bank, namun dengan permodalan yang kuat.
Dengan API, bank sentral mengharapkan dalam sepuluh tahun ke depan sejak 2004, Indonesia memiliki dua hingga tiga bank berkelas internasional dengan aset di atas Rp50 triliun. Juga terdapat tiga hingga lima Bank nasional yang memiliki cakupan usaha dan beroperasi secara nasional yang memiliki aset antara Rp10 triliun hingga Rp50 triliun. Selain dua kelas perbankan di atas, BI juga mengharapkan bank-bank yang bermodal lebih kecil menjadi bank fokus dan sisanya menjadi bank perkreditan rakyat (BPR).
Bersamaan dengan program API yang mensyaratkan modal minimum, BI juga mendorong bank-bank yang modalnya semenjana untuk bergabung atau mencari pemodal baru. Namun demikian skenario penggabungan bank tidak terlaksana seperti yang diharapkan, sebaliknya banyak pemilik bank yang memilih untuk melepaskan kepemilikannya kepada investor asing.
Ironisnya, hingga saat ini pilihan menjual bank kepada pihak asing lebih popular dan terus terjadi hingga akhirnya investor mancanegara banyak yang memiliki bank nasional. Kondisi itu mengakibatkan bank yang telah dimiliki asing leluasa merangsek ke pasar dan segmen yang tadinya dikuasai bank lokal, seperti usaha mikro kecil dan menengah, karena ketiadaan aturan pembatasan wilayah operasional bank asing.
Bahkan bank perkreditan rakyat (BPR) di pelosok-pelosok yang bermodal kecil sudah mengeluh bahwa pasar mereka telah digerogoti bank-bank bermodal besar khususnya bank asing.
Dengan kondisi itu pula, keinginan BI untuk menciutkan jumlah bank dan menghasilkan bank berkelas internasional menjadi jauh panggang dari api. Bahkan Sigit Pramono Ketua Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) menyatakan bahwa sejak diluncurkan ternyata API belum mampu menjadi tumpuan pembangunan perbankan yang sehat di Indonesia.
API tambah dia, seolah hanya menjadi milik Bank Indonesia dan kalangan perbankan, sementara pemangku kepentingan yang terpenting lainnya seperti Pemerintah dan DPR tidak merasa terikat dengan keberadaan API. “Mimpi BI dan kalangan perbankan agar Indonesia memiliki bank dengan klasifikasi bank internasional yang berperan di Asia Tenggara saja belum mampu diwujudkan,” kata Sigit.
Pelaku perbankan lainnya menilai bahwa alih-alih terlihat dalam penguatan perbankan nasional, API malah memicu melonjaknya kepemilikan asing di perbankan nasional.
"Tujuan API yang semula mengurangi jumlah bank ternyata tidak dapat terwujud. Malahan yang terjadi, kepemilikan asing terhadap bank umum nasional sudah lebih 45 persen," kata Direktur Kepatuhan Hana Bank, Edy Kuntardjo.
Bagi kalangan bank lokal, katanya, situasi sekarang dilematis. Sebab, idealnya Indonesia harus memiliki bankir yang handal untuk menggerakkan perbankan nasional. Namun, kenyataan sekarang ini bankir lokal justru menjadi bankir kelas dua di negara sendiri.
Tata Ulang API
BI bukannya tidak mengetahui kenyataan tersebut. Suara-suara yang menginginkan revisi atas cetak biru perbankan pun sudah diserap oleh otoritas perbankan. Bahkan BI sudah menyatakan bahwa blue print perbankan itu memang akan direvisi yang hasil akhir draf-nya akan selesai akhir tahun ini. "Mudah-mudahan bisa di tahun ini selesai," ungkap Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, Oktober lalu.
Bahkan menurut dia, usulan revisi API telah direspons bank sentral sejak 2007 lalu. Hingga saat ini bank sentral mengaku belum merampungkan kebijakan itu karena membutuhkan pembahasan mendalam dari dewan gubernur. "Di tingkat teknis sudah selesai. Jadi kita sedang lihat-lihat. Tapi ini belum dibahas di dewan gubernur, soalnya ini penting sekali dan perlu hati-hati," jelasnya.
Diperkirakan revisi yang akan banyak dilakukan adalah pada pilar I, pilar II, pilar III dan sedikit di pilar V. Namun BI banyak merevisi di pilar I dan II terutama tentang struktur perbankan dan regulasi perbankan.
Revisi ini juga akan menyinggung terkait ketentuan permodalan yang wajib dipenuhi oleh perbankan nasional. Namun bank sentral tampaknya masih belum yakin atas revisi penambahan modal perbankan tersebut. "Yang jelas ada revisi API yang berimplikasi ke permodalan, tapi tidak dalam konteks permodalan," katanya.
Selain persoalan permodalan, regulator dinilai juga harus mengarahkan perbankan untuk lebih rajin menyalurkan kredit ke sektor tradeable dan menerbitkan aturan agar bank bisa menekan kredit macet (NPL). “ Intinya masalah modal harus selaras dengan Basel dan harus selaras dengan SPP (single presence policy). Apakah SPP membawa manfaat? Ini perlu dikaji ulang,” kata Djoko Retnadi ekonom pada Indonesia Economics Intelligence.
Djoko juga menggarisbawahi kebutuhan adanya aturan yang membatasi wilayah operasional bank asing maksimal sampai provinsi jika BI benar-benar menerbitkan revisi API.
Sementara itu, Perbanas menyatakan, API hasil revisi nanti harus berisi visi dan misi indsutri perbankan Indonesia dengan kekuatan hukum yang lebih kuat. Diharapkan cetak biru yang baru itu akan menjadi acuan dan bersifat mengikat seluruh pemangku kepentingan dan pelaku perbankan di Tanah Air. “Diperlukan Revisi dan penyempurnaan Arsitektur Perbankan Indonesia menjadi cetak biru perbankan nasional setingkat undang-undang,” kata Sigit, Ketua Umum Perbanas. Blue print yang baru itu harus diarahkan menjadi sebuah landscape industri perbankan dan keuangan sebagai salah satu pilar pertumbuhan ekonomi bangsa.
Pemangku kepentingan, jelas dia, tidak hanya terbatas pada kalangan perbankan semata, tetapi juga pemerintah, DPR dan kalangan jurnalis.
Sementara itu mengenai peran asing, Sigit mengatakan perlunya pembatasan yang adil bagi operasional bank-bank milik investor mancanegara. “Prinsip reciprocal basis harus diterapkan untuk bank-bank milik asing yang ada di Indonesia,” tutur dia.