Selasa, 11 Januari 2011

Jauh Perbankan dari API

Tidak mudah memang membuat bangunan yang kuat, terutama jika rancangan sang arsitektur tidak benar-benar diikuti. Januari tujuh tahun silam, Bank Indonesia meluncurkan cetak biru (blue print) perbankan yang dikenal dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Cetak biru itu merupakan puncak kesadaran otoritas perbankan untuk membangun sebuah arsitektur industri perbankan nasional yang kuat, setelah diterpa krisis 1998.
Dan sejak saat itu, segala kebijakan BI selalu dikaitkan dengan penguatan industri perbankan yang sehat. Sejatinya ada enam sasaran dalam arsitektur itu, namun selama ini yang sering mengemuka adalah permasalahan struktur perbankan yang sehat yang tecermin dalam isu-isu mengenai permodalan. Dan pada tahun 2010 isu permodalan itu masih menggema.
Tahun ini dalam tahap-tahap implementasi API sejatinya BI memiliki beberapa agenda yang periode pelaksanaannya dilakukan sejak 2004. Di antaranya yaitu memastikan modal minimum bagi bank umum termasuk bank pembangunan daerah sebesar Rp100 miliar dan mempertahankan persyaratan modal Rp3 triliun untuk pendirian bank baru sampai dengan 1 Januari 2011.
Banyak kalangan menilai bahwa peraturan mengenai modal minimum adalah cara BI mengurangi jumlah bank yang beroperasi di Indonesia. Bahkan BI sempat mencanangkan jumlah bank yang pada 2004 masih sebanyak 130-an bank akan diciutkan hingga 80 bank, namun dengan permodalan yang kuat.
Dengan API, bank sentral mengharapkan dalam sepuluh tahun ke depan sejak 2004, Indonesia memiliki dua hingga tiga bank berkelas internasional dengan aset di atas Rp50 triliun. Juga terdapat tiga hingga lima Bank nasional yang memiliki cakupan usaha dan beroperasi secara nasional yang memiliki aset antara Rp10 triliun hingga Rp50 triliun. Selain dua kelas perbankan di atas, BI juga mengharapkan bank-bank yang bermodal lebih kecil menjadi bank fokus dan sisanya menjadi bank perkreditan rakyat (BPR).
Bersamaan dengan program API yang mensyaratkan modal minimum, BI juga mendorong bank-bank yang modalnya semenjana untuk bergabung atau mencari pemodal baru. Namun demikian skenario penggabungan bank tidak terlaksana seperti yang diharapkan, sebaliknya banyak pemilik bank yang memilih untuk melepaskan kepemilikannya kepada investor asing.
Ironisnya, hingga saat ini pilihan menjual bank kepada pihak asing lebih popular dan terus terjadi hingga akhirnya investor mancanegara banyak yang memiliki bank nasional. Kondisi itu mengakibatkan bank yang telah dimiliki asing leluasa merangsek ke pasar dan segmen yang tadinya dikuasai bank lokal, seperti usaha mikro kecil dan menengah, karena ketiadaan aturan pembatasan wilayah operasional bank asing.
Bahkan bank perkreditan rakyat (BPR) di pelosok-pelosok yang bermodal kecil sudah mengeluh bahwa pasar mereka telah digerogoti bank-bank bermodal besar khususnya bank asing.
Dengan kondisi itu pula, keinginan BI untuk menciutkan jumlah bank dan menghasilkan bank berkelas internasional menjadi jauh panggang dari api. Bahkan Sigit Pramono Ketua Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) menyatakan bahwa sejak diluncurkan ternyata API belum mampu menjadi tumpuan pembangunan perbankan yang sehat di Indonesia.
API tambah dia, seolah hanya menjadi milik Bank Indonesia dan kalangan perbankan, sementara pemangku kepentingan yang terpenting lainnya seperti Pemerintah dan DPR tidak merasa terikat dengan keberadaan API. “Mimpi BI dan kalangan perbankan agar Indonesia memiliki bank dengan klasifikasi bank internasional yang berperan di Asia Tenggara saja belum mampu diwujudkan,” kata Sigit.
Pelaku perbankan lainnya menilai bahwa alih-alih terlihat dalam penguatan perbankan nasional, API malah memicu melonjaknya kepemilikan asing di perbankan nasional.
"Tujuan API yang semula mengurangi jumlah bank ternyata tidak dapat terwujud. Malahan yang terjadi, kepemilikan asing terhadap bank umum nasional sudah lebih 45 persen," kata Direktur Kepatuhan Hana Bank, Edy Kuntardjo.
Bagi kalangan bank lokal, katanya, situasi sekarang dilematis. Sebab, idealnya Indonesia harus memiliki bankir yang handal untuk menggerakkan perbankan nasional. Namun, kenyataan sekarang ini bankir lokal justru menjadi bankir kelas dua di negara sendiri.
Tata Ulang API
BI bukannya tidak mengetahui kenyataan tersebut. Suara-suara yang menginginkan revisi atas cetak biru perbankan pun sudah diserap oleh otoritas perbankan. Bahkan BI sudah menyatakan bahwa blue print perbankan itu memang akan direvisi yang hasil akhir draf-nya akan selesai akhir tahun ini. "Mudah-mudahan bisa di tahun ini selesai," ungkap Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, Oktober lalu.
Bahkan menurut dia, usulan revisi API telah direspons bank sentral sejak 2007 lalu. Hingga saat ini bank sentral mengaku belum merampungkan kebijakan itu karena membutuhkan pembahasan mendalam dari dewan gubernur. "Di tingkat teknis sudah selesai. Jadi kita sedang lihat-lihat. Tapi ini belum dibahas di dewan gubernur, soalnya ini penting sekali dan perlu hati-hati," jelasnya.
Diperkirakan revisi yang akan banyak dilakukan adalah pada pilar I, pilar II, pilar III dan sedikit di pilar V. Namun BI banyak merevisi di pilar I dan II terutama tentang struktur perbankan dan regulasi perbankan.
Revisi ini juga akan menyinggung terkait ketentuan permodalan yang wajib dipenuhi oleh perbankan nasional. Namun bank sentral tampaknya masih belum yakin atas revisi penambahan modal perbankan tersebut. "Yang jelas ada revisi API yang berimplikasi ke permodalan, tapi tidak dalam konteks permodalan," katanya.
Selain persoalan permodalan, regulator dinilai juga harus mengarahkan perbankan untuk lebih rajin menyalurkan kredit ke sektor tradeable dan menerbitkan aturan agar bank bisa menekan kredit macet (NPL). “ Intinya masalah modal harus selaras dengan Basel dan harus selaras dengan SPP (single presence policy). Apakah SPP membawa manfaat? Ini perlu dikaji ulang,” kata Djoko Retnadi ekonom pada Indonesia Economics Intelligence.
Djoko juga menggarisbawahi kebutuhan adanya aturan yang membatasi wilayah operasional bank asing maksimal sampai provinsi jika BI benar-benar menerbitkan revisi API.
Sementara itu, Perbanas menyatakan, API hasil revisi nanti harus berisi visi dan misi indsutri perbankan Indonesia dengan kekuatan hukum yang lebih kuat. Diharapkan cetak biru yang baru itu akan menjadi acuan dan bersifat mengikat seluruh pemangku kepentingan dan pelaku perbankan di Tanah Air. “Diperlukan Revisi dan penyempurnaan Arsitektur Perbankan Indonesia menjadi cetak biru perbankan nasional setingkat undang-undang,” kata Sigit, Ketua Umum Perbanas. Blue print yang baru itu harus diarahkan menjadi sebuah landscape industri perbankan dan keuangan sebagai salah satu pilar pertumbuhan ekonomi bangsa.
Pemangku kepentingan, jelas dia, tidak hanya terbatas pada kalangan perbankan semata, tetapi juga pemerintah, DPR dan kalangan jurnalis.
Sementara itu mengenai peran asing, Sigit mengatakan perlunya pembatasan yang adil bagi operasional bank-bank milik investor mancanegara. “Prinsip reciprocal basis harus diterapkan untuk bank-bank milik asing yang ada di Indonesia,” tutur dia.