Selasa, 03 Mei 2011

Ketika Tenaga BI Mulai Terkuras

Nilai tukar rupiah cenderung untuk menempati keseimbangan baru dalam level yang menguat. Situasi itu dinilai sebagai cerminan dari bank sentral yang tampaknya mulai kewalahan menghadapi serbuan dana-dana asing jangka pendek. BI terkesan memberi peluang penguatan rupiah lebih lanjut.


Tiada tahun yang ringan bagi bank sentral di Indonesia yang masih mengendalikan perbankan dan moneter sekaligus. Dan dua tahun belakangan mungkin bisa dibilang merupakan tahun yang menantang terutama dalam pengelolaan moneter.
Sejak krisis global meledak pada 2008, Indonesia memperoleh banyak dana asing yang menambah cadangan devisa. Karenanya itu pula Bank Indonesia dituntut untuk memiliki banyak imajinasi untuk mengelolanya.
Sejak tahun lalu hingga awal tahun ini, BI terlihat masih mampu meladeni serbuan dana asing yang berpotensi mengangkat nilai tukar rupiah ke level tertinggi dalam lima tahun terakhir. Akan tetapi karena kondisi ini akan membuat keunggulan komparatif eksportir mulai tergerus, BI selalu mencoba mengarahkan nilai tukar ke level yang bisa diterima semua pelaku ekonomi. Maka dari itu harga rupiah atas dollar AS masih bergerak dalam selang Rp8.900 hingga Rp9.100 per dollar AS.
Namun kondisi itu tidak lagi terlihat bulan lalu. Mata uang rupiah sepertinya tengah mencari keseimbangan baru dalam kecenderungan yang lebih kuat. Bahkan levelnya sudah mulai mendekati level Rp8.600 per dollar AS pada perdagangan 25 April.
Pengamat pasar uang Viviet S Putri mengatakan, sejak awal tahun hingga kini, pergerakan rupiah terhadap dollar AS cenderung menguat. “Selain karena arus modal masuk (capital inflow), penguatan rupiah juga disebabkan tingkat suku bunga The Fed di AS masih dipertahankan rendah,” kata dia. Hingga perdagangan 25 April 2011, rupiah terus menguat hingga ke level Rp8.605, bandingkan dengan posisi 3 Januari 2011 yang masih di level Rp9.021 per dolar AS.
BI sejatinya tidak pernah tinggal diam untuk membendung dana asing agar tidak memberi dampak buruk terhadap sektor keuangan dalam negeri terutama jika modal panas itu berbalik tiba-tiba (sudden reversal).
Dana-dana yang kebanyakan mampir di instrumen keuangan jangka pendek seperti saham dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) itu tentu akan mengganggu stabilitas keuangan nasional jika hengkang secara bersamaan.
Untuk menghindari dampak terburuk, sejak tahun lalu BI sudah menhapus lelang mingguan yang diubah menjadi tiap bulan. Otoritas bahkan menghentikan lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor tiga bulan. Bahkan tahun ini BI memperpanjang waktu edar SBI tiga bulan menjadi enam bulan lewat kebijakan six months holding period.
Aturan itu bermaksud agar portofolio dana-dana asing segera pindah dari yang berjangka pendek ke jangka panjang sekaligus menjaga adanya aksi spekulatif dari pemegang SBI.
Belum lagi dengan kebijakan yang mewajibkan bank untuk menambah giro wajib minimum berdenominasi dollar AS dari 1 persen menjadi 5 persen.
Akan tetapi langkah-langkah yang diambil BI tampaknya tidak menyurutkan minat investor asing untuk terus menyerbu pasar keuangan Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan naiknya peringkat surat utang Indonesia, satu tingkat lebih dekat pada level investasi (investment grade).
Dikutip dari catatan BI, selama Februari 2011 aliran dana asing di instrumen SBI dan Surat Utang Negara (SUN) mengalami peningkatan yang cukup besar. Dana asing di SBI pada 3 Maret 2011 mencapai Rp 66,9 triliun atau meningkat Rp 21,9 triliun dibandingkan pada akhir Januari 2011 yang sebesar Rp 45,0 triliun.
Sedangkan dari instrumen SUN, bank sentral mencatat dan asing mencapai Rp200,1 triliun atau meningkat Rp5,1 triliun dibandingkan pada akhir Januari 2011 yang sebesar Rp195 triliun. Sehingga total dana asing yang masuk ke instrumen SBI dan SUN sebesar Rp27 triliun selama sebulan.
Hingga akhir Maret modal asing di SBI mencapai Rp77 triliun, atau menguasai 30 persen dari total dana di SBI yang mencapai Rp 230 triliun. Menambah total dana investor yang dikelola BI di instrumen moneter menjadi Rp503 triliun.
"Dari awal inflow ini berjalan, itu kebijakan yang ditempuh itu selalu ada dalam 3 area. 1 area bagaimana menyusun kebijakan agar tidak ada dana yang sangat pendek dan spekulatif. (yang penting dana) itu tidak tertarik masuk sajalah. Nah area yang kedua adalah bagaimana mendorong pendalaman pasar agar bisa dimanfaatkan dan area ketiga adalah insurance mechanism dalam kemungkinan reversal yang tiba-tiba," kata Gubernur BI Darmin Nasution.
Intervensi BI
Meski demikian, banyak pengamat menilai, tren penguatan rupiah ini belum terlalu mengkhawatirkan sehingga tidak mempengaruhi daya saing Indonesia. Pasalnya, apresiasi nilai tukar sejauh ini dialami juga oleh negara-negara di kawasan bahkan dengan tingkat yang lebih besar. Titik keseimbangan baru saat ini bagi pengamat, bukan disebabkan aktivitas ekspor-impor, namun lebih dipicu inflasi yang dipengaruhi tingginya konsumsi dalam negeri “Sebenarnya menurut saya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih di bawah sebelum krisis, jadi peluang rupiah terhadap dollar AS ada di kisaran Rp7.500-Rp9.000, terlepas dari intervensi BI,” kata analis PT Anugerah Indah Securindo Viviet S Putri.
Pada penutupan perdagangan tahun 2010 lalu, nilai tukar rupiah di level Rp8.996 per dollar AS (kurs tengah Bloomberg). Dengan demikian selama tahun 2010 lalu, rupiah mengalami apresiasi 4,3 persen. Sementara berdasarkan kurs tengah BI, pada perdagangan akhir tahun 2010 lalu, nilai tukar rupiah menguat di level Rp8.978 per dollar AS.
Tahun lalu, saat BI masih kuat menjaga nilai tukar di kisaran Rp9.000 per dollar AS, penjualan barang ke luar negeri masih mengagumkan. Sepanjang 2010, ekspor tercatat sebesar 157,7 miliar dollar AS, jauh melampaui ekspor 2009 yang mencapai 116,5 miliar dollar AS, atau meningkat sekitar 35 persen.
Kendati demikian, pada 2009 ekspor memang tengah tertekan menyusul krisis global yang terjadi setahun sebelumnya. Namun jika dibandingkan nilai ekspor 2008 yang mencapai 137 miliar dollar AS, prestasi ekspor 2010 tetap lebih tinggi.
Kini rupiah mulai menguat. Apakah ini memang rencana BI membiarkan nilai tukar menguat untuk mengurangi kekhawatiran eksportir yang takut barang-barangnya kurang pembeli karena lebih mahal di luar negeri? Bisa jadi.
Akan tetapi beberapa pengamat menilai bahwa kecenderungan menguatnya nilai rupiah di pasar uang lebih banyak disebabkan oleh mulai terkurasnya “tenaga” otoritas moneter dalam meladeni investor asing yang bertindak spekulatif.
Semua orang tahu bahwa BI selalu berada di pasar untuk mengintervensi mata uang agar selalu berada di level yang dinilai paling optimum bagi seluruh pelaku ekonomi. Dan level itu sebelumnya berada di kisaran Rp9.000 per dollar AS.
“BI mulai kerepotan menghadapi derasnya aliran mdal asing yang mengucur sejak tahun lalu. Alhasil tidak mengherankan kalau sekarang nilai tukar mulai menembus Rp8.700, kemudian Rp8.600 dan bahkan mungkin ke Rp8.500 per dollar AS,” kata analis PaninBank Didik Kristanto.
Perkiraan itu mungkin tidak berlebihan mengingat BI sudah mengakui bahwa biaya pengendalian moneter meningkat signifikan dan membuat neraca bank sentral menjadi defisit. "Di 2010 defisit anggaran BI diperkirakan akan mencapai Rp 29 triliun. Saat ini masih diolah di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," ujar Direktur Direktorat Keuangan Intern Bank Indonesia Harti Haryani
Dikatakan Harti defisit ini yang paling besar memang dalam beban operasi moneter atau Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang mencakup beban pengelolaan devisa untuk menstabilkan nilai rupiah melalui sterilisasi alias intervensi. "Beban OPT di 2010 sendiri diperkirakan mencapai Rp 25 triliun," tambah Harti.
Jumlah tersebut merupakan yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir. BI mencatat selama 2009 dan 2008, beban operasi pasar terbuka masing-masing mencapai Rp 22 triliun dan Rp 20,8 triliun.
Meski modal terkuras, BI tetap dituntut untuk selalu panjang akal dalam mengelola moneter nasional agar biaya operasi pasar bisa lebih terkendali.