Senin, 31 Oktober 2011

Deja Vu 2008

Keputusan BI menurunkan suku bunga acuan ke level yang sama saat mengelola dampak krisis 2008 bisa dianggap sia-sia jika suku bunga kredit enggan menciut. Padahal BI membutuhkan bank untuk menurunkan suku bunga kredit demi menjaga target pertumbuhan ekonomi.

Pengalaman memang selalu menjadi guru yang paling bermanfaat dan Bank Indonesia benar-benar memahami hal itu. Setidaknya bank sentral ingin menjadikan pengalaman masa lalu sebagai pedoman untuk mengantisipasi kondisi saat ini.
Di saat sebagian besar pengamat memprediksi bahwa suku bunga acuan akan bertahan setidaknya hingga Oktober ini, Bank Indonesia ternyata memangkasnya lebih cepat. Keputusan memangkas suku bunga 25 basis poin bulan lalu mengakhiri delapan bulan berturut-turut dipertahankannya BI Rate sekaligus membawanya ke level yang sama pada Agustus 2009.
Situasi ekonomi global menjadi landasan utama otoritas mengambil langkah pemangkasan BI Rate. Ekonomi kawasan Eropa dan AS yang masih limbung dan belum menampakkan perbaikan signifikan membuat BI khawatir hal itu akan menurunkan kinerja perekonomian Indonesia.
Selama September lalu, pasar keuangan Indonesia goncang yang ditandai dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal itu kemudian diikuti oleh volatilitas yang cukup tinggi di pasar modal Indonesia dalam kurun waktu sebulan terakhir akibat kekhawatiran akan terjadinya krisis utang yang menimpa beberapa negara Eropa dan AS.
“Dewan Gubernur terus mewaspadai tingginya risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global serta kecenderungan menurunnya kinerja perekonomian global akibat permasalahan utang dan fiskal di Eropa dan AS,” tulis BI dalam siaran pers.
Penurunan kinerja ekonomi global dinilai akan menurunkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya di Indonesia. Tahun ini pertumbuhan ekonomi nasional ditargetkan dapat mencapai 6,6 persen. Selain itu, pergerakan harga-harga yang dinilai cukup jinak juga memberikan optimisme tersendiri bagi BI saat memutuskan untuk menurukan bunga acuan. Inflasi tahun ini diyakini tak akan melebihi 5 persen.
Keadaan saat ini memang mirip –meskipun tidak bisa dikatakan persis sama– dengan yang dihadapi BI pada 2008. BI saat itu masih berada di dalam bayang-bayang dampak krisis subprime mortgage yang episentrumnya berada di AS. Tak pelak BI saat itu menghadapi risiko pelemahan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Pada 2009, ekonomi nasional tumbuh di angka 4,3 persen. Uniknya lagi, realisasi inflasi 2009 juga mirip dengan yang diyakini oleh otoritas yaitu tak akan lewat dari 5 persen.
Sekadar catatan, sejak Februari 2011, BI mempertahankan BI Rate di level 6,75 persen dan memangkas 0,25 persen bulan lalu menjadi 6,5 persen. Sebelumnya, selama 18 bulan sejak Agustus 2009, BI telah menahan suku bunga acuan di level 6,5 persen. Sementara, sepanjang 2009 itu, BI Rate telah diturunkan sebesar 300 basis poin sebelum akhirnya bertahan di level 6,5 persen.
Sayangnya, langkah dramatis bank sentral sepanjang 2009 lalu itu belum bisa membuat bank ikut menurunkan suku bunga kreditnya. Bank masih ogah-ogahan mengikuti langkah BI sehingga bunga kreditnya masih berkisar antara 13,5 hingga 16 persen.
Hal itu tentunya tidak diinginkan BI saat mengambil langkah menurunkan suku bunga acuan kali ini. Apalagi bank mulai April tahun ini sudah diwajibkan mencantumkan besaran suku bunga dasar kredit (SBDK) sehingga nasabah bisa mengetahui secara langsung.
Namun tetap saja kekhawatiran jikalau bank masih tetap keukeuh dengan kemauannya sendiri tetap muncul. Dan kemungkinan itu tentu tidak diinginkan karena akan membuat yang ditakutkan bank sentral mengenai risiko pelemahan pertumbuhan menjadi nyata.
Ekonom dari Universitas Atma Jaya A Prasetyantoko mengatakan, keputusan bank sentral yang cukup diluar dugaan tersebut memang bisa diterima mengingat rendahnya tingkat inflasi serta fundamental ekonomi domestik yang kuat. Meski demikian, langkah tersebut perlu segera diikuti dengan adanya penurunan suku bunga kredit pinjaman oleh kalangan perbankan demi makin menggeliatkan sektor riil.
"Keputusan BI turunkan suku bunga bisa diterima. Sekarang tinggal bagaimana bank-bank menyikapi penurunan BI Rate ini. Seharusnya mereka merespons dengan menurunkan suku bunga kredit untuk menggenjot sektor riil," kata Prasetyantoko.
Keberanian perbankan menurunkan tingkat bunga pinjaman kredit di samping akan membantu bergeraknya sektor riil, juga akan memperingan para pengusaha dan mengurangi risiko kredit macet. Pasalnya, bunga kredit yang diterima para pengusaha tahun ini masih berkisar di double digit dengan rata-rata 13 persen-16 persen per tahun. “Tingkat suku bunga tersebut tergolong mahal mengingat biaya dana (cost of fund) perbankan yang hanya sekitar 6 persen,” tambah Prasetyantoko.
Respons Perbankan
Akan tetapi kalau melihat tanggapan pengelola perbankan soal penurunan BI Rate seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Utama Bank Mandiri Zulkifli Zaini. Dalam hitung-hitungannya, kebijakan otoritas perbankan itu akan mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan.
Selanjutnya penurunan bunga pinjaman itu akan menekan biaya suku bunga bagi pelaku usaha yang bisa memicu berjalannya perekonomian lebih cepat. "Efek baik bagi indonesia. Saya melihat positif saja, dengan penurunan BI Rate ini. Mudah-mudahan ekonomi lebih bergairah, fungsi intermediasi lebih bergairah, maka perkembangan ekonomi indonesia lebih baik," ujar Zulkifli.
Dan menurut dia lagi, BI dan sekaligus sektor keuangan Indonesia akan bisa melewati ancaman krisis dari Eropa tahun ini sebagaimana juga dibuktikan pada krisis 2008.
“Ekonomi Indonesia lebih kuat karena 60 persen berbasis domestik, jadi kalau ada impact dari perkembangan di Eropa, AS, dan perlambatan ekonomi di China, tidak terlalu besar. Krisis ekonomi makro kali ini lebih kecil dibanding 2008 lalu," jelas Zulkifli.
Tidak berbeda jauh dengan bank beraset terbesar itu, BCA juga menyatakan bahwa langkah BI akan mendorong bank menurunkan suku bunga. Kebijakan memangkas bunga kredit mengikuti keputusan BI itu akan berdampak langsung pada kinerja pembiayaan dan meningkatkan fungsi intermediasi bank. Meski demikian, skenario itu sangat tergantung dari kualitas pendanaan yang dimiliki masing-masing bank.
"Kita (BCA) lihat dulu. Kita banyak di tabungan dan giro jadi tidak terlampau banyak dari deposito. Bunga turun itu positif. Seperti KPR (kredit pemilikan rumah) saja kita sudah tawarkan bunga 7,5 persen. hasilnya, permintaan langsung per regional naik 38-60 persen. Bunga murah, masyarakat yang mampu mencicil semakin banyak, semakin banyak rakyat sejahtera memiliki rumah, jadi secara umum positif bunga turun," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiatmadja.
Survei yang dilakukan BI memang menunjukkan bahwa kalangan perbankan optimistis permintaan kredit baru pada kuartal ketiga 2011 meningkat dibandingkan kuartal kedua 2011. Meskipun dari segi laju pertumbuhan, lebih lambat dibandingkan kuartal kedua 2011. Pertumbuhan kredit (outstanding) pada 2011 diperkirakan sebesar 20,5-22,3 persen.
Akan tetapi, ekonom Indef Aviliani tidak terlalu yakin bahwa pemangkasan suku bunga yang dilakukan oleh BI akan menurunkan suku bunga kredit semua bank. "Dari sektor perbankan, aliran dana tidak akan merata, bank-bank kecil akan tetap memberikan bunga tinggi," kata dia.
Perebutan dana dinilai Aviliani masih akan terjadi dan akan menahan bank untuk menunjukkan keberaniannya mengurangi keuntungan dari suku bunga yang tinggi. Faktor inilah yang akan menghambat transisi kebijakan BI terhadap sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. Jika ini yang kemudian terjadi maka tidak ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari pengalaman 2008.