Selasa, 07 Februari 2012

BI dan April Mop

Bank sentral tampaknya harap-harap cemas menunggu bulan April. Maklum, pada bulan itu kebijakan yang akan mendorong tingkat inflasi ke atas ini akan digulirkan pemerintah. Nilai tukar rupiah juga memberi ancaman tersendiri.



April Mop, atau dikenal dengan April Fools' Day, diperingati setiap tanggal 1 April setiap tahun. Pada hari itu, tipu-menipu serta aksi menjahili orang lain dianggap sesuatu yang dibolehkan sebagai sebuah lelucon semata. Kebiasaan membohongi teman dan anggota keluarga ini dengan tujuan mempermalukan mereka, diduga menyebar dari Prancis lalu ke Inggris dan Skotlandia, kemudian akhirnya ke Amerika setelah banyak orang Eropa beremigrasi ke sana.
Akibat dari kebiasaan ini, tak jarang kejadian yang justru nyata, tapi karena terjadi pada 1 April, dianggap sebagai berita bohong.
Nah, sepertinya Bank Indonesia sedang menyiapkan diri supaya tidak menjadi korban April Mop. Pada bulan April yang juga menjadi pembuka periode kuartal kedua, memang ada beberapa hal yang tampaknya bisa membuat adrenalin bank sentral bergolak.
Pertama adalah rencana pemerintah untuk membatasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi hanya untuk masyarakat berpendapatan rendah mulai April. Caranya dengan melarang kendaraan pribadi untuk mengonsumsi bensin jenis premium.
Rencana itu tak pelak akan menggandakan pengeluaran masyarakat karena jika sebelumnya para pemilik kendaraan bisa membeli bensin seharga Rp4.500 per liter, maka setelah April bensin yang boleh dikonsumsi harganya Rp8.350 per liter. Bahkan harganya bisa naik lagi jika harga minyak internasional bergolak.
Kebijakan itu tentu akan mengangkat inflasi karena akan memicu harga-harga barang lain untuk naik. Kondisi inilah yang tidak diinginkan Bank Indonesia. Maka dari itu, bank sentral memutuskan untuk tidak mengubah suku bunga acuan di level 6,00 persen. Langkah ini adalah yang pertama kali setelah dua bulan berturut-turut otoritas menurunkan BI Rate dengan total 75 basis poin.
Bank sentral tentunya sudah mempertimbangkan segala aspek dari kebijakan harga pemerintah (administered price) itu, bahkan jika kebijakan itu tidak diambil sekalipun. BI menetapkan pencapaian inflasi tahun ini dengan asumsi tanpa pembatasan BBM mencapai 4,5 persen dengan ruang kenaikan maksimal hingga 5,5 persen. Gubernur BI Darmin Nasution pun mengakui, dengan angka itu, pantasnya policy rate memang turun.
Namun demikian dewan gubernur memiliki analisis lain. Jika bulan lalu BI Rate diturunkan menjadi 5,5 persen misalnya, kemudian inflasi setelah kebijakan pembatasan BBM itu lebih besar dari yang diperkirakan maka tentunya BI harus merespons dengan kembali menaikkan BI Rate.
Penetapan bunga acuan yang terlalu cepat turun-naik seperti roller coaster itu bukanlah kebijakan yang diharapkan untuk diterapkan oleh bank sentral. “Dengan pembatasan subsidi pun kita masih ada cukup ruang sehingga tidak perlu naik atau turun. Kalau (BI rate) turun sekarang dan kemudian inflasi karena kebijakan pembatasan BBM subsidi naik 5,4-5,6 persen sementara BI Rate sudah di 5,5 persen, masa beberapa bulan lagi naik lagi, ya tidak benar itu,” jelas Darmin.
Regulator hingga kini masih yakin bahwa inflasi tidak akan menyentuh level yang dianggap membahayakan. Berdasarkan hitung-hitungan BI, kebijakan pembatasan BBM pada April nanti hanya akan berdampak pada inflasi sebesar 0,7 persen atau paling tinggi sebesar 0,94 persen.
Sehingga kalau ditambah dengan proyeksi inflasi tahun ini di level 4,5 persen maka angka inflasi akan menyentuh kisaran sebesar 5,22 persen atau paling parah hanya akan berada di level 5,44 persen. Sepanjang tahun lalu, inflasi berada di tingkat 3,79 persen karena terjaganya inflasi bahan pangan dan minimnya kenaikan harga dari administered price. Padahal tahun 2010, angka inflasi masih 6,96 persen.
Biarpun begitu, bank sentral tentunya tidak ingin bertindak ceroboh dan menganggap enteng kemungkinan naiknya inflasi lebih besar dari perkiraan. Peluang naiknya melampaui ekspektasi BI memang cukup terbuka mengingat minimnya persiapan pemerintah dalam menerapkan kebijakan pembatasan BBM.
Sebagaimana diketahui, seiring dengan pembatasan itu pemerintah juga mendorong masyarakat untuk menggunakan bahan bakar gas (BBG) yang harganya lebih murah. Namun hampir semua kendaraan yang beredar di Indonesia tidak memiliki penampung bahan bakar yang cocok dengan BBG, sehingga dibutuhkan sebuah alat yang bernama converter kit. Saat ini harga alat itu masih sangat mahal berkisar antara Rp9 juta hingga 15 juta.
Di sisi lain, minimnya jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di Indonesia juga akan membuat rencana itu makin sulit direalisasikan dalam jangka pendek. Saat ini baru terdapat 10 SPB di wilayah Jabodetabek, dengan sembilan stasiun lagi yang tengah dibangun.
Ancaman Nilai Tukar
Oleh karena itu wajar kiranya jika BI terus menjaga kewaspadaannya dalam mengawasi situasi jika tak mau inflasi bergerak di luar kendali. Di samping inflasi karena kebijakan pembatasan BBM, yang tidak kalah menakutkan bagi BI adalah kemungkinan naiknya nilai tukar sepanjang triwulan pertama tahun ini.
Penyebabnya apalagi selain hiruk pikuk kondisi Eropa yang hingga awal tahun ini belum juga tenang. Beberapa negara Eropa malahan kembali bergejolak terkait rencana pengetatan anggaran lanjutan.
Ketidakpastian yang masih menghantui negara-negara zona mata uang euro itu akan membuat nilai tukar rupiah tertekan. Bahkan pejabat bank sentral memprediksi tekanan itu akan terjadi hingga Maret. Akan tetapi memasuki April, kondisi pasar uang diperkirakan akan lebih tenang.
“Uncertainty yang ada terutama di triwulan pertama 2012. Di triwulan kedua sudah mulai mereda dengan tekanan tak seberat triwulan pertama. Karena pasar meyakini kondisi Eropa membaik,” kata Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Perry Warjiyo.
Selama Desember 2011, nilai tukar rupiah memang mengalami tekanan pelemahan yang dipicu oleh tingginya permintaan valuta asing di akhir tahun. Untuk keseluruhan tahun 2011, rata-rata nilai tukar rupiah mengalami apresiasi meski penguatannya tertahan oleh tekanan depresiatif pada semester kedua.
Tertahannya tren penguatan rupiah tersebut terkait dengan kebutuhan valas di pasar domestik dan imbas meningkatnya faktor risiko global yang diakumulasi oleh berlarutnya krisis utang Eropa dan perekonomian AS yang masih lemah.
Rata-rata, rupiah menguat sebesar 3,56 persen (year on year) ke level Rp 8.768 per dollar AS dari posisi Rp9.080 per dollar AS pada tahun 2010. Namun secara point to point, rupiah melemah 0,64 persen (yoy) dan ditutup pada level Rp 9.068 per dollar AS di akhir tahun 2011.
Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tahun ini diperkirakan masih bergantung dari seberapa cepatnya resolusi yang terjadi di Eropa. Namun pada akhir tahun ini, nilai tukar rupiah rata-rata diyakini akan tetap bisa menguat.
Menurunnya peringkat utang beberapa negara di Eropa akan membuat investor kembali akan mengalihkan dana-dananya ke negara yang aman seperti Indonesia. Awal tahun ini lembaga pemeringkat seperti Standard & Poor's (S&P) menurunkan rating utang sembilan negara uni Eropa (UE) yaitu Prancis, Austria, Spanyol, Italia, Portugal, Siprus, Malta, Slowakia dan Slovenia.
Fitch Ratings, lembaga lainnya diperkirakan akan mengambil langkah yang sama. “Mata uang domestik akan kembali menguat terhadap dolar AS ditengah sentimen negatif pemangkasan peringkat negara Eropa,” ujar analis Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih.
Di lain sisi, meningkatnya arus modal masuk itu akan menambah cadangan devisa sekaligus memperkuat nilai tukar rupiah. Hingga Januari cadangan devisa RI mencapai 110 miliar dollar AS dan dinilai masih cukup untuk jaga stabilitas rupiah.
Kendati demikian, hal itu tidak menghapus kewaspadaan bank sentral atas rupiah seperti juga kewaspadaannya atas tingkat inflasi. Namun jika inflasi tetap melonjak dan nilai tukar tetap tertekan maka harapannya kedua hal itu hanya April Mop belaka.