Rabu, 08 Agustus 2012

Jualan Baru Negara Maju



Negara-negara berkembang tengah menjadi sasaran dari isu green economy yang didesakkan oleh negara-negara maju. Pengamat mencurigai bahwa hal tersebut adalah akal-akalan negara-negara kaya untuk mencari keuntungan ekonomi. Dengan cara apa?


Pada sekitar tahun 70-an, negara-negara maju kerapkali menggunakan istilah-istilah keterbukaan, investasi asing, efisiensi ekonomi, dan lalu globalisasi ketika mereka berhubungan dengan negara-negara miskin. Negara-negara miskin yang kebanyakan baru lahir itu dicekoki tentang bagaimana meningkatkan produktivitas, pembangunan, keterbukaan dan lainnya.
Memang ada sebagian kemudian yang berhasil, namun tidak sedikit yang gagal. Namun berhasil atau gagal, negara-negara maju selalu menuai untung. Itulah kurang lebih cerita yang disebut orang sebagai imperialisme ekonomi, dengan tambahan banyak bumbu seru sebagaimana dalam bukunya John Perkins (2004) bertajuk “Confession of an Economic Hitman” yang terkenal itu.
Kini pada pertemuan 20 negara-negara dunia yang dikenal dengan G20, negara-negara maju mencoba memperkenalkan mantra baru: green economy (ekonomi hijau). Topik itu memang menjadi salah satu agenda penting pada pertemuan G-20 yang diselenggarakan 17-19 Juni 2012 di Los Cabos, Meksiko. Bahkan agenda itu juga mendapat pembahasan khusus pada pertemuan 100 kepala negara yang dihelat oleh PBB di Rio de Janeiro, Brazil dua hari berikutnya. KTT Rio+20 membahas tujuh sektor utama yang menjadi perhatian bersama, yaitu lapangan pekerjaan yang layak, energi, ketahanan pangan, pertanian, air bersih, sumber daya laut dan manajemen bencana.
Isu lingkungan hidup dalam pembangunan ekonomi sejatinya sudah muncul lebih dari satu dekade lalu. Namun belakangan hal itu makin santer didesakkan oleh negara-negara maju kepada negara berkembang. Bahkan pemilihan Meksiko dan Brazil sebagai tempat diselenggarakannya pertemuan besar itu bukanlah tanpa alasan. Kedua negara di Amerika Latin itu tengah mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat.
“Kami melihatnya, dua pertemuan tersebut diselenggarakan hampir bersamaan dan di tempat yang berdekatan untuk mendorong agenda tersebut,” kata aktivis International Lembaga Forum on Indonesian Development (INFID), Siti Khoirun Nikmah.
Menurut dia, negara-negara maju sangat berkepentingan dengan agenda ekonomi hijau karena mereka tahu persis negara berkembang belum mengembangkan industri yang ramah lingkungan. Dan bila isu ini berhasil terangkat dan bisa dipaksakan maka negara berkembang mau tidak mau harus ‘membeli’ teknologi yang diproduksi negara maju.
Oleh sebab itulah Siti mengingatkan agar pemerintah negara berkembang terutama Indonesia untuk berhati-hati dalam merespons isu green economy (ekonomi hijau) atau green growth (pertumbuhan hijau). “Isu ini sangat kental nuansa bisnisnya. Mereka mungkin tidak sungguh-sungguh memperhatikan soal lingkungan. Karena problem lingkungan juga terjadi di negara maju. Negara maju tahu, negara berkembang belum punya kapabilitas dalam industri hijau,” jelas Siti.
Teknologi untuk menerapkan industri yang ramah lingkungan tentu tidak murah dan lagi pula hingga saat ini baru negara-negara maju yang dinilai mampu memproduksinya. Oleh karena itu, Siti mencurigai, negara-negara maju ingin meraih komitmen terlebih dahulu dari 20 negara anggota G20. Jika komitmen tersebut sudah disepakati oleh 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu maka agenda ekonomi hijau akan lebih mudah untuk dipromosikan di pertemuan-pertemuan yang lebih luas lagi.
Menurut, Siti lagi, selain motif bisnis, ada juga motif lain yaitu agar laju pertumbuhan ekonomi beberapa negara berkembang seperti China, India, dan Brazil sedikit terhambat. Ketiga negara itu dianggap ancaman serius buat negara maju dalam pengaruhnya kepada ekonomi dunia. “Green economy  pada akhirnya hanya akan dijadikan isu oleh negara-negara maju untuk menekan negara-miskin atau berkembang, dan yang tidak ikutan malah dituduh atau dianggap merusak lingkungan,” ujar Siti.
Manut dan Patuh
Indonesia sendiri, tampaknya akan mengikuti apa yang disimpulkan dalam dua pertemuan akbar yang mendorong konsep green economy itu. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hadir dalam dua pertemuan, agenda itu sangat penting bagi manusia guna memelihara bumi sekaligus mengentaskan kemiskinan yang saat ini melanda dunia.“Pembangunan konsensus terutama di tingkat global, membutuhkan waktu. Kita harus beraksi sekarang," kata Presiden.
Menurut dia, dibutuhkan komitmen politik untuk melaksanakan agenda pembangunan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan dan berkeadilan. "Komitmen politik sangat krusial. Tidak selalu mudah untuk mengembangkan kebijakan berbasis lingkungan. Tapi itu dibutuhkan dan merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Jadi kita harus mendorong dengan keras meskipun terdapat beberapa penolakan," kata Presiden.
Dalam laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) yang berjudul "Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication - A Synthesis for Policy Makers", ekonomi hijau diartikan sebagai rezim ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial. Serta sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan. Ekonomi hijau juga berarti perekonomian yang rendah karbon atau tidak menghasilkan emisi dan polusi lingkungan, hemat sumber daya alam, serta berkeadilan sosial.
Meski demikian, pemerintah tidak mentah-mentah menerapkan apa yang disodorkan oleh negara-negara maju. Pemerintah mengaku akan memilah mana konsep yang bisa dilaksanakan mana yang tidak. Staf Khusus Presiden bidang Lingkungan Agus Purnomo berpendapat Indonesia tidak perlu dipaksa-paksa menggunakan teknologi berbasis green economy. Indonesia, kata dia, sudah melakukan green economy dan green growth sebatas kemampuan yang dimiliki. “Kita memang harus selalu waspada terhadap upaya negara maju memasarkan produk dan teknologi mereka melalui berbagai cara. Kepentingan nasional harus selalu diutamakan, termasuk menerapkan green economy,” kata Agus.
Biar begitu lanjut Agus, Indonesia tidak pernah alergi dengan teknologi yang diproduksi negara-negara maju sepanjang teknologi yang ditawarkan tersebut bagus dan murah dan memang dibutuhkan. Jika teknologi itu dibutuhkan maka pemerintah akan menggunakannya namun tetap mempertimbangkan nilai keekonomiannya. “Jika nilai teknologinya mahal, kemudian tidak ekonomis, malah menciptakan ketergantungan, kita mesti hindari,” tegas Agus. “Apalagi jika harus mengeluarkan biaya untuk membeli teknologi dari negara maju.”
Kembali ke buku Economic Hitman karya John Perkins. Diceritakan di sana bahwa pada tahun 90-an, banyak negara berkembang menjadi lebih makmur dengan resep dari negara maju dan “bantuan” investasi asing. Tapi tentu ada juga yang tidak berhasil dan terlilit utang kepada investor. Namun di penghujung 90-an, negara berkembang terkena krisis ekonomi karena eksposur beban utangnya. Lalu negara-negara maju memberi kuliah mengenai pengelolaan ekonomi yang lebih pruden sambil terus meminjami uang.
Walaupun berdarah-darah, beberapa negara berkembang kembali pada jalur pertumbuhan. Namun tetap saja yang mendapat keuntungan adalah negara-negara kaya. Kini, banyak dari negara-negara maju tengah dililit krisis dan mereka tampaknya mulai mendesakkan apa yang dinamakan green economy dan green growth

Permainan Angka Kemiskinan


Angka kemiskinan sepertinya sangat sulit ditekan di Indonesia. Oleh karena itu beberapa pengamat menyarankan pemerintah untuk mengubah program pengentasan kemiskinan yang selama ini dijalankan.

Tak sulit untuk menemui kemiskinan di Indonesia. Di kota-kota besar macam Jakarta kita bisa berpapasan dengan kemiskinan setiap saat. Potret kemiskinan bisa terlihat jelas di perempatan jalan, di dalam bis-bis kota dan di kawasan perumahan padat penduduk. Sekitar 15 tahun lalu, kita mungkin tak pernah melihat anak-anak kecil menjadi pengamen turun-naik bis kota atau berkumpul di perempatan jalan, bahkan jarang sekali ada kondektur perempuan. Akan tetapi kini pemandangan itu telah menghiasi kota-kota besar, terutama Jakarta sehari-hari.
Sebaliknya, tak sulit pula bagi kita menemukan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sekitar satu setengah dekade lalu, kita mungkin masih jarang melihat mobil mewah berharga miliaran berseliweran di jalan-jalan kota besar, seperti Jakarta. Namun kini, jika kita melintas di jalan-jalan protokol ataupun kawasan-kawasan elit di Jakarta, mobil-mobil mewah seperti itu mudah sekali ditemui. Keadaan itu tidak bisa dipisahkan dengan catatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengesankan. Setelah periode suram pasca krisis moneter 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat. Bahkan sejak 2008 di saat beberapa negara lain mengalami stagnasi akibat krisis global 2008, ekonomi Indonesia tetap positif
Kondisi itulah yang barangkali oleh Said Zainal Abidin, ekonom di bidang pembangunan daerah disebut sebagai sebagai growth with poverty. Pertumbuhan terus meningkat namun kemiskinan pun sepertinya tidak berkurang.
Namun hal itu tampaknya bukanlah fakta yang diyakini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pertemuan PBB untuk pembangunan berkelanjutan (Forum Rio+20) di Riocentro Convention Center, Rio De Janeiro Brazil Juni lalu, Presiden menegaskan bahwa kemiskinan di Indonesia tinggal 12,5 persen dari 24 persen pada 1998.
Dalam catatan lembaga statistik pemerintah, jumlah penduduk miskin pada periode Maret 2012 juga menurun menjadi 29,13 juta orang atau 11,96 persen dari total penduduk Indonesia. Setahun sebelumnya, pada akhir Maret 2011 penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan berjumlah 30,02 juta orang atau setara 12,49 persen dari total penduduk.
Meski begitu, Badan Pusat Statistik juga mencatat bahwa penduduk yang berhasil melompati garis kemiskinan pada periode itu hanya berkisar 890 ribu orang atau 2,96 persen. Angka itu lebih rendah dibanding penurunan jumlah penduduk miskin dari Maret 2010 ke Maret 2011 yang mencapai 3,22 persen. Jumlah penduduk miskin pada akhir Maret 2010 ialah 31,02 juta orang.
Penyebab melambatnya penurunan penduduk miskin menurut Bank Dunia adalah karena lebih dari 50 persen penduduk yang pendapatannya melompati garis kemiskinan kembali berada di bawah garis itu pada tahun berikutnya. Ekonom Bank Dunia Vivi Alatas mengatakan kecenderungan tersebut menyebabkan laju penurunan angka kemiskinan di Indonesia semakin lambat setiap tahun. Data BPS menyatakan laju penurunan persentase penduduk miskin terhadap jumlah penduduk year on year bulan Maret turun secara bertahap dari 1,16 persen pada 2008 menjadi 0,53 persen pada 2012.
Menurut Vivi, laju yang melambat karena pendapatan yang dibutuhkan penduduk sangat miskin untuk melompati garis kemiskinan menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. “Kalau dilihat, setiap tahun orang yang naik turun sama, bisa lebih dari 50 persen. Kalau sekarang sudah tidak miskin bukan berarti tahun depan tidak lagi,” lanjut Vivi.
Saat ini pemerintah menggunakan standar garis kemiskinan adalah penduduk dengan tingkat pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp211.726 atau sekitar Rp7.000 per hari.
Sementara Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan bahwa kondisi kemiskinan di Indonesia pada kenyataannya memang bertambah buruk. Hal itu ditunjukkan oleh meningkatnya koefisien gini dari 0,38 pada Maret 2011 menjadi 0,41. Koefisien ini biasanya digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Angka makin mendekati 0 berarti pendapatan suatu negara makin merata, sebaliknya jika makin mendekati 1 maka pendapatannya makin timpang.
Dengan melihat angka untuk Indonesia maka bisa diartikan bahwa 20 persen dari penduduk Indonesia menguasai 48 persen pendapatan domestik bruto, sedangkan mayoritas 80 persen menguasai 52 persen pendapatan domestik bruto. Padahal, presentase penduduk miskin seharusnya turun 0,8 persen tiap ekonomi tumbuh satu persen untuk mencapai pembangunan ekonomi yang optimal. “Anggaran pemerintah untuk kemiskinan naik terus, tetapi program kemiskinan pemerintah tidak tepat sasaran,” kata Enny.
Enny berkesimpulan bahwa data kemiskinan BPS harus diragukan karena menggunakan komponen survei yang tidak realistis. Dia menjelaskan garis kemiskinan Rp267.408 untuk daerah perkotaan dan Rp229.226 untuk daerah pedesaan tidak sesuai dengan biaya hidup masyarakat sehari-hari.
Ubah Program
Vivi dari Word Bank pun menimpali bahwa angka turnover demografi yang tinggi di sekitar garis kemiskinan dibarengi oleh peningkatan koefisien gini menandakan pemerintah harus merancang program pengentasan kemiskinan yang lebih komperhensif.
Pemerintah diminta untuk merancang kebijakan yang meliputi program penanggulangan kemiskinan berbasis promosi penduduk miskin menjadi penduduk tidak miskin dan proteksi penduduk tidak miskin yang berpendapatan sedikit di atas garis kemiskinan. “Jangan terus-terusan yang sudah keluar (dari kemiskinan) masuk lagi. Pemerintah harus membuat definisi penduduk miskin yang lebih detil, bukan hanya siapa saja yang di bawah garis kemiskinan tapi siapa saja yang rentan,” kata Vivi.
Di sisi lain, pemerintah dinilai salah alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal ini menyebabkan tingkat penurunan angka kemiskinan tahun 2012 sebesar 0,59 persen jauh dibawah target sebesar 1 persen.
Untuk menurunkan tingkat kemiskinan sesuai target yakni 1 persen tiap tahunnya, Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik dan Konsumen dari Universitas Indonesia mengatakan, ada dua faktor yang harus dipenuhi. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi nasional harus minimal 7 persen agar ketersediaan lapangan kerja akan sepadan dengan target penurunan kemiskinan. “Nyatanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di bawah itu, tegas Agus.
Kedua adalah keseriusan pemerintah dalam pembenahan infrastruktur sehingga dapat mendorong aktivitas ekonomi terutama pada daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin tinggi. Pembangunan infrastruktur meliputi, irigasi, pembangkit listrik, jalan tol, dan lainnya. Akan tetapi yang terjadi, kata Agus justru alokasi anggaran pada perbaikan infrastruktur sangat minim.
Agus menyebutkan, untuk pembenahan infrastruktur diperkirakan butuh Rp40 triliun. “Kita punya dana tersebut. Sayangnya, dana tersebut justru lebih dialokasikan pada subsidi premium yang justru tidak dinikmati penduduk miskin," ujar Agus.
Akan tetapi apakah usulan dari para pengamat itu akan dilaksanakan pemerintah, memang sulit untuk memastikannya. Akan tetapi tidak sulit untuk melihat bahwa jumlah kemiskinan di jalan-jalan kota besar seperti di Jakarta makin meningkat belakangan ini.

PERKEMBANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA 2004-2012:
Tahun                         Jumlah                 persen/Total Penduduk
Februari 2004          36,1 juta                     (16,66 persen)
Februari 2005          35,1 juta                     (15,97 persen)
Maret 2006               39,3 juta                     (17,75 persen)
Maret 2007               37,17 juta                  (16,58 persen)
Maret 2008               34,96 juta                  (15,42 persen)
Maret 2009               32,53 juta                  (14,15 persen)
Maret 2010               31,02 juta                  (13,33 persen)
Maret 2011               30,02 juta                  (12,49 persen)
Maret 2012               29,13 juta                  (11,96 persen)
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)


Berakhirnya Masa Indah


Perekonomian Indonesia diprediksi akan melemah hingga akhir tahun. BI pun menyiapkan langkah antisipasi agar pertumbuhan tetap berada bisa mencapai target.

Setiap menyebut krisis dunia yang sedang berlangsung, Indonesia selalu disebut sebagai negara yang masih kebal terhadap dampaknya. Dengan pertumbuhan yang selalu berada di atas 6 persen, Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang ekonominya selalu bisa tumbuh positif.
Namun masa-masa indah itu tampaknya akan terhenti. Situasi perekonomian zona eura dan Amerika Serikat yang tak kunjung membaik lama kelamaan juga membuat goyang ekonomi Indonesia. Padahal pada awal tahun Indonesia baru saja menerima kabar yang menggembirakan. Selain mendapatkan rating investment grade dari beberapa lembaga pemeringkat dunia, pertumbuhan ekonomi juga menyentuh level tertinggi dalam 15 tahun. Seharusnya dengan dua prakondisi itu, diperkirakan makin banyak dana-dana asing yang masuk dan memperkuat posisi rupiah.
Bank Indonesia awalnya juga optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini akan meneruskan tren gemilangnya ke level 63-6,7 persen atas dasar modal rating bagus dan juga ekspansi ekonomi yang menggembirakan tahun lalu. Namun begitu, memasuki akhir semester satu situasi mulai membuat otoritas khawatir meskipun tidak sampai membuatnya panik.
Pada triwulan pertama tahun ini, defisit transaksi berjalan mencapai 2,894 miliar dollar AS meningkat dari angka di periode sebelumnya yang menyentuh 1,577 miliar dollar AS. Malahan BI memprediksi angkanya akan makin membesar di triwulan-triwulan selanjutnya. “Defisit transaksi berjalan di triwulan kedua dan ketiga akan makin membesar. Rasio transaksi berjalan terhadap PDB akan memburuk,” kata Direktur Grup Kebijakan Moneter BI, Juda Agung.
Menurunnya angka ekspor menjadi biang keladi meningkatnya defisit transaksi berjalan itu ketika di saat yang sama impor terus meningkat. Sepanjang April-Mei, berdasarkan data BI, pertumbuhan ekspor tahunan ke beberapa negara tumbuh negatif, kecuali ekspor ke China yang melambat. Bahkan pertumbuhan negatif itu terjadi di seluruh komoditas ekspor, kecuali batubara dan makanan olahan.
Di sisi lain, angka impor terus menunjukkan kenaikan. “Angkanya masih tinggi karena konsumsi di dukung oleh kelas menengah yang semakin kuat,” kata Juda. Peningkatan impor terutama terlihat pada barang modal untuk penunjang pembangunan infrastruktur, sektor telekomunikasi dan transportasi, disamping juga barang konsumsi khususnya kendaraan bermotor.
Menurut data BI, selama April-Mei total impor naik 30 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Impor barang modal naik 46,2 persen, sedangkan impor bahan baku naik 23,2 persen. Ada pun barang konsumsi naik 30 persen.
Impor kendaraan bermotor untuk penumpang yang dikategorikan sebagai barang konsumsi naik 66 persen sedangkan kendaraan bermotor untuk barang yang dikategorikan sebagai barang modal, naik 150,4 persen.
Tanda-tanda itu sejatinya sudah terlihat, terutama pada nilai tukar rupiah. Sejak awal Februari, nilai tukar rupiah mulai meninggalkan level terkuatnya di kisaran Rp8.800-8.900 per dollar AS dan hinggap di level Rp9.440 per dollar AS pada pekan terakhir Juli. Itu artinya rupiah sudah melemah lebih dari 5 persen. Pelemahan itu merupakan yang tertinggi di antara dollar Singapura dan ringgit Malaysia.
Malahan kabarnya investor mancanegara sudah mulai khawatir bahwa perekonomian Indonesia akan masuk pada fase pelemahan. Apalagi beberapa kebijakan pemerintah dan bank sentral dianggap tidak sesuai dengan ekspektasi investor yang membuat pemilik modal itu enggan bertahan.
Bank Indonesia menerapkan kebijakan repatriasi ekspor yang memaksa dana-dana dollar AS yang selama ini “nyangkut” di Singapura balik ke rumah. Kebijakan ini buat Indonesia sangat jitu untuk menarik dollar AS ke dalam negeri dan memperkuat cadangan devisa. Namun bagi investor, hal itu dibaca sebagai pertandan Indonesia akan menghapus kemudahan dalam memindahkan dana-dana dari Indonesia jika terjadi krisis.
Beberapa pengelola modal-modal kakap internasional mengaku telah menarik dananya dari pasar obligasi karena menganggap lingkungan investasi di Indonesia tidak lagi dinilai baik. Lembaga pemeringkat Moody’s mempertahankan peringkat investment grade Indonesia pada bulan lalu terutama karena pertumbuhan yang kuat dan utang pemerintah yang rendah. Meski begitu, pengumuman yang dikutip dari kantor berita asing itu mengatakan bahan kegagalan mengurangi subsidi bahan bakar bisa menimbulkan risiko untuk neraca fiskal dan perdagangan.
Revisi Pertumbuhan
Bank Indonesia tampaknya sadar betul bahwa keadaan yang dihadapi perekonomian Indonesia ke depan tidaklah bertambah baik. Oleh sebab itulah regulator memutuskan untuk merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 6,1-6,5 persen dibandingkan target sebelumnya yang ditetapkan 6,3-6,7 persen.
Darmin Nasution, Gubernur BI, mengatakan melemahnya perekonomian dunia akhirnya mulai berdampak pada kinerja sisi eksternal perekonomian Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.“Dengan menurunnya kinerja ekspor, pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga diprakirakan tumbuh lebih rendah yaitu sebesar 6,3 persen dan berada pada kisaran 6,1–6,5 persen pada 2012 dan 6,3–6,7 persen 2013,” kata dia.
Sebelumnya Bank Dunia sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2012 dari 6,2 persen menjadi 6,1 persen akibat berlanjutnya perlambatan ekonomi global dan dampak buruk lonjakan harga minyak dunia terhadap anggaran negara.
Kondisi perekonomian China menjadi penyebab terbesar pelemahan ekonomi nasional. Ekonomi negara Tirai Bambu itu pada kuartal kedua tahun ini melesu dibandingkan kuartal sebelumnya. Penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal kedua disebut sebagai yang terburuk dalam tiga tahun terakhir. 
Data yang dikeluarkan biro statistik China bulan lalu, menunjukkan perkembangan ekonomi China pada April-Juni tahun ini hanya tumbuh sebesar 7,6 persen. Padahal, kuartal sebelumnya mencapai 8,1 persen dan kuartal keempat 2011 menembus 8,9 persen.
Berdasarkan catatan BI, lebih dari 80 persen komoditas yang diekspor ke China berupa produk primer, seperti batu bara dan CPO, yang dalam lima bulan pertama tahun ini tumbuh melambat akibat perlambatan permintaan riil dan penurunan harga.
“Dampak tidak langsung dari ekonomi China memang perlu diwaspadai,” kata Juda Agung dari BI. Menurut dia, perekonomian Indonesia makin tergantung dengan China. Selama ini ekspor Indonesia ke China banyak digunakan untuk kebutuhan domestik terutama untuk konsumsi. Oleh karena itu kata dia, jika perekonomian membaik maka ekspor Indonesia akan ikut membaik.
Namun begitu, BI tidak tinggal diam. Juda mengatakan bahwa regulator menyiapkan beberapa kebijakan untuk mengantisipasi pelemahan ekonomi. Dari sisi nilai tukar, BI akan menjaga pergerakannya agar tidak terlalu terapresiasi. Sementara untuk pengelolaan cadangan devisa BI juga menyiapkan penempatan yang lebih aman. “Harus hati-hati dalam menggunakan cadangan devisa yang ada, kalau tidak maka defisit akan makin membesar,” tambah dia.
BI berencana menginvestasikan sebagian cadangan devisa dalam bentuk yuan, agar saat dollar AS dan euro melemah pasokan dollar AS miliknya tidak ikut-ikutan menyusut. Perjanjiannya sendiri sudah diteken dua bulan lalu.
“Dengan pasar uang antar bank di China mencapai rata-rata 21,36 triliun yuan, untuk long term hal ini bisa mengurangi tekanan defisit neraca pembayaran karena volume perdagangan kita dengan China adalah yang terbesar,” kata M Syukran, analis dari Bank Danamon.