Negara-negara berkembang tengah menjadi
sasaran dari isu green economy yang didesakkan oleh negara-negara maju. Pengamat
mencurigai bahwa hal tersebut adalah akal-akalan negara-negara kaya
untuk mencari keuntungan ekonomi. Dengan cara apa?
Pada sekitar tahun 70-an, negara-negara maju kerapkali menggunakan
istilah-istilah keterbukaan, investasi asing, efisiensi ekonomi, dan lalu
globalisasi ketika mereka berhubungan dengan negara-negara miskin.
Negara-negara miskin yang kebanyakan baru lahir itu dicekoki tentang bagaimana
meningkatkan produktivitas, pembangunan, keterbukaan dan lainnya.
Memang ada sebagian kemudian yang berhasil, namun tidak sedikit yang gagal.
Namun berhasil atau gagal, negara-negara maju selalu menuai untung. Itulah
kurang lebih cerita yang disebut orang sebagai imperialisme ekonomi, dengan
tambahan banyak bumbu seru sebagaimana dalam bukunya John Perkins (2004)
bertajuk “Confession of an Economic Hitman” yang terkenal itu.
Kini pada pertemuan 20 negara-negara dunia yang dikenal dengan G20,
negara-negara maju mencoba memperkenalkan mantra baru: green economy (ekonomi hijau). Topik itu memang menjadi salah satu agenda penting pada pertemuan G-20 yang diselenggarakan 17-19 Juni 2012 di Los Cabos, Meksiko. Bahkan agenda itu juga mendapat pembahasan khusus pada pertemuan 100 kepala negara yang dihelat oleh
PBB di Rio de Janeiro, Brazil dua hari berikutnya. KTT Rio+20 membahas tujuh sektor utama yang menjadi perhatian bersama,
yaitu lapangan pekerjaan yang layak, energi, ketahanan pangan, pertanian, air
bersih, sumber daya laut dan manajemen bencana.
Isu lingkungan hidup dalam pembangunan ekonomi sejatinya sudah muncul lebih
dari satu dekade lalu. Namun belakangan hal itu makin santer didesakkan oleh
negara-negara maju kepada negara berkembang. Bahkan pemilihan Meksiko dan
Brazil sebagai tempat diselenggarakannya pertemuan besar itu bukanlah tanpa
alasan. Kedua negara di Amerika Latin itu tengah mengalami pertumbuhan
ekonomi yang pesat.
“Kami melihatnya, dua pertemuan tersebut diselenggarakan hampir bersamaan
dan di tempat yang berdekatan untuk mendorong agenda tersebut,” kata aktivis
International Lembaga Forum on Indonesian Development (INFID), Siti Khoirun Nikmah.
Menurut dia, negara-negara maju sangat berkepentingan dengan agenda ekonomi
hijau karena mereka tahu persis negara berkembang belum mengembangkan industri
yang ramah lingkungan. Dan bila isu ini berhasil terangkat dan bisa dipaksakan
maka negara berkembang mau tidak mau harus ‘membeli’ teknologi yang diproduksi
negara maju.
Oleh sebab itulah Siti mengingatkan agar pemerintah negara berkembang
terutama Indonesia untuk berhati-hati dalam merespons isu green economy (ekonomi hijau) atau green growth (pertumbuhan hijau). “Isu ini sangat kental nuansa
bisnisnya. Mereka mungkin tidak sungguh-sungguh memperhatikan soal lingkungan.
Karena problem lingkungan juga terjadi di negara maju. Negara maju tahu, negara
berkembang belum punya kapabilitas dalam industri hijau,” jelas Siti.
Teknologi untuk menerapkan industri yang ramah lingkungan tentu tidak murah
dan lagi pula hingga saat ini baru negara-negara maju yang dinilai mampu memproduksinya.
Oleh karena itu, Siti mencurigai, negara-negara maju ingin meraih komitmen
terlebih dahulu dari 20 negara anggota G20. Jika komitmen tersebut sudah
disepakati oleh 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu maka agenda
ekonomi hijau akan lebih mudah untuk dipromosikan di pertemuan-pertemuan yang
lebih luas lagi.
Menurut, Siti lagi, selain motif bisnis, ada juga motif lain yaitu agar laju
pertumbuhan ekonomi beberapa negara berkembang seperti China, India, dan Brazil
sedikit terhambat. Ketiga negara itu dianggap ancaman serius buat negara maju
dalam pengaruhnya kepada ekonomi dunia. “Green economy pada akhirnya hanya akan dijadikan isu oleh
negara-negara maju untuk menekan negara-miskin atau berkembang, dan yang tidak
ikutan malah dituduh atau dianggap merusak lingkungan,” ujar Siti.
Manut dan Patuh
Indonesia sendiri, tampaknya akan mengikuti
apa yang disimpulkan dalam dua pertemuan akbar yang mendorong konsep green economy itu. Menurut Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang hadir dalam dua pertemuan, agenda itu sangat
penting bagi manusia guna memelihara bumi sekaligus mengentaskan kemiskinan
yang saat ini melanda dunia.“Pembangunan konsensus terutama di tingkat global,
membutuhkan waktu. Kita harus beraksi sekarang," kata Presiden.
Menurut dia, dibutuhkan komitmen politik
untuk melaksanakan agenda pembangunan ekonomi berkelanjutan yang ramah
lingkungan dan berkeadilan. "Komitmen politik sangat krusial. Tidak selalu
mudah untuk mengembangkan kebijakan berbasis lingkungan. Tapi itu dibutuhkan
dan merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Jadi kita harus mendorong dengan
keras meskipun terdapat beberapa penolakan," kata Presiden.
Dalam laporan Program Lingkungan PBB (UNEP)
yang berjudul "Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable
Development and Poverty Eradication - A Synthesis for Policy Makers",
ekonomi hijau diartikan sebagai rezim ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan
manusia dan kesetaraan sosial. Serta sekaligus mengurangi risiko lingkungan
secara signifikan. Ekonomi hijau juga berarti perekonomian yang rendah karbon
atau tidak menghasilkan emisi dan polusi lingkungan, hemat sumber daya alam,
serta berkeadilan sosial.
Meski demikian, pemerintah tidak
mentah-mentah menerapkan apa yang disodorkan oleh negara-negara maju.
Pemerintah mengaku akan memilah mana konsep yang bisa dilaksanakan mana yang
tidak. Staf Khusus Presiden bidang Lingkungan Agus Purnomo berpendapat
Indonesia tidak perlu dipaksa-paksa menggunakan teknologi berbasis green economy. Indonesia, kata dia, sudah
melakukan green economy dan green growth sebatas kemampuan yang dimiliki.
“Kita memang harus selalu waspada terhadap upaya negara maju memasarkan produk
dan teknologi mereka melalui berbagai cara. Kepentingan nasional harus selalu
diutamakan, termasuk menerapkan green
economy,” kata Agus.
Biar begitu lanjut Agus, Indonesia tidak
pernah alergi dengan teknologi yang diproduksi negara-negara maju sepanjang
teknologi yang ditawarkan tersebut bagus dan murah dan memang dibutuhkan. Jika
teknologi itu dibutuhkan maka pemerintah akan menggunakannya namun tetap
mempertimbangkan nilai keekonomiannya. “Jika nilai teknologinya mahal, kemudian
tidak ekonomis, malah menciptakan ketergantungan, kita mesti hindari,” tegas
Agus. “Apalagi jika harus mengeluarkan biaya untuk membeli teknologi dari
negara maju.”
Kembali ke buku Economic Hitman
karya John Perkins. Diceritakan di sana bahwa pada tahun 90-an, banyak negara
berkembang menjadi lebih makmur dengan resep dari negara maju dan “bantuan”
investasi asing. Tapi tentu ada juga yang tidak berhasil dan terlilit utang
kepada investor. Namun di penghujung 90-an, negara berkembang terkena krisis
ekonomi karena eksposur beban utangnya. Lalu negara-negara maju memberi kuliah
mengenai pengelolaan ekonomi yang lebih pruden sambil terus meminjami uang.
Walaupun berdarah-darah,
beberapa negara berkembang kembali pada jalur pertumbuhan. Namun tetap saja
yang mendapat keuntungan adalah negara-negara kaya. Kini, banyak dari
negara-negara maju tengah dililit krisis dan mereka tampaknya mulai mendesakkan
apa yang dinamakan green economy dan green growth.