Rabu, 31 Oktober 2012

Senja Kala Bank Milik Keluarga



Masa-masa kejayaan bank miliki keluarga tampaknya akan segera berakhir setelah regulator menerbitkan aturan pembatasan saham. Benarkah demikian?

Sebuah bank mungkin akan mampu bertahan selama seratusan tahun. Akan tetapi pendirinya tidak. Meski demikian anak cucu dari founding father bank tersebut masih bisa menikmati kepemilikannya dan melihat bank itu tetap beroperasi jika memang bank itu masih bertahan. Akan tetapi skenario itu bisa saja tak berjalan jika regulator tidak menginginkannya karena suatu hal.
Di Indonesia, bank-bank yang didirikan oleh seseorang atau sebuah keluarga memang terhitung masih banyak. Gelombang mendirikan bank-bank yang dimiliki oleh satu keluarga yang menguasai bisnis sejatinya terjadi pada akhir 80-an setelah pemerintah mengeluarkan paket deregulasi pada Oktober 1988 (yang dikenal dengan pakto 88). Dengan ‘hanya’ bermodal Rp10 miliar, seseorang bisa dengan mudah mendirikan bank.
Namun sepuluh tahun berselang banyak di antara mereka yang kolaps bersamaan dengan krisis ekonomi. Sebut saja, Bank Andromeda milik Bambang Trihatmodjo putra Presiden Soeharto, atau Bank Pacific milik Ponco Sutowo. Selain itu, ada pula Bank Jakarta milik pengusaha pribumi kondang Probosutedjo atau Bank Industri milik Titiek Prabowo, putri Presiden Soeharto. Jangan lupakan pula Bank Nusa Nasional milik keluarga Bakrie dan Bank Harapan Sentosa milik pengusaha Hendra Rahardja.
‘Kematian’ bank keluarga malah sudah terjadi sejak tahun 1992 saat Bank Summa milik Edward Soeryadjaya, anak sulung Williem Soeryadjaya, pendiri Astra dilikuidasi.
Akan tetapi, setelah krisis ekonomi dinyatakan berlalu, minat para pemilik dana kakap untuk mendirikan bank di Indonesia tumbuh lagi. Bahkan minat itu tak surut meski Bank Indonesia memperketatnya dengan meningkatkan persyaratan modal hingga Rp3 triliun.
Apa yang membuat para pemodal sangat tertarik mendirikan bank di Indonesia? Jawaban yang pasti dari pertanyaan itu adalah karena ada potensi pasar yang sangat besar. Dengan jumlah penduduk  mencapai 240 juta jiwa dan lebih dari dua pertiga belum memiliki rekening bank, Indonesia adalah pasar yang sangat besar.
Dari jumlah penduduk di atas 15 tahun yang jumlahnya sekitar 239,9 juta, hanya 19,6 persen yang memiliki rekening di bank yaitu 15,3 persen untuk rekening simpanan sebesar dan 8,5 persen kredit. "Indonesia termasuk tertinggal di antara ASEAN," ujar anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani.
Hingga saat ini otoritas keuangan di Tanah Air terus mengampanyekan program financial inclusion agar makin banyak orang Indonesia yang memiliki akses ke perbankan.
Selain potensi yang besar, keuntungan dari kegiatan bisnis bank pun tak kalah berkilau. Masih relatif tingginya suku bunga di Indonesia membuat keuntungan dari menjalankan bisnis ini sangat besar. Padahal suku bunga acuan (BI Rate) sudah terpangkas signifikan hingga ke level terendah sepanjang masa di 5,75 persen. Meski demikian suku bunga kredit masih juga tinggi. Dalam lima tahun terakhir rata-rata spread suku bunga rupiah perbankan nasional berada dalam kisaran 4,63 persen-6,88 persen, sementara rata-rata spread suku bunga dollar AS sebesar 2,41 persen-7,33 persen. Sebagai perbandingan, Net Interest Spread negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam masing-masing pada kisaran 4,90 persen, 3,30 persen, dan 2,83 persen.
Dengan memberikan bunga kredit antara 10-13 persen bahkan bisa mencapai lebih dari 20 persen untuk kredit mikro, maka sudah bisa dibayangkan besarnya keuntungan yang bisa dikantongi pemilik bank.
Hal itu bisa dilihat pula pada selisih bunga bersih (net interest margin/ NIM). Hingga paro pertama 2012, net interest margin bank umum masih bertengger di level 5 persen lebih. Dengan spread yang lebar tersebut, tak mengherankan jika perbankan nasional berhasil membukukan laba tinggi. Return on Assets Ratio dari 80 bank mencapai lebih dari 1,5 persen, dengan rata-rata bank umum mencapai 3,11 persen.
Laba bersih bank umum hingga Agustus 2012 tumbuh 23,8 persen (year on year) menjadi Rp 59,72 triliun, menurut Statistik Perbankan Indonesia. Peningkatan laba bersih ini ditopang pendapatan bunga bersih perbankan.
Pada periode Januari-Agustus 2012, pendapatan bunga bersih perbankan meningkat 17 persen menjadi Rp 132,99 triliun dari Rp 113,62 triliun pada periode yang sama 2011. Sementara itu, pendapatan non-bunga naik tipis menjadi Rp 83,24 triliun hingga Agustus 2012 dari Rp 83,17 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Tahun lalu, laba perbankan mencapai Rp75 triliun, naik 31 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Rata-rata pertumbuhan perbankan mencapai 23,29 persen per tahun.
Dengan pertumbuhan laba yang konsisten dalam beberapa tahun, pemilik modal mana yang tak tergiur untuk memiliki bank di Indonesia. Oleh sebab itulah tidak terlalu mengherankan jika pasca masa restrukturisasi, banyak investor yang ingin memiliki bank di Indonesia.
Apalagi aturan mendirikan bank berdasarkan Undang-Undang No.7 tahun 1992 masih relatif longgar. Bahkan orang asing atau badan hukum dari negera lain boleh memiliki bank di Indonesia dengan kepemilikan saham hingga 99 persen.
Akhir Kejayaan
Akan tetapi sejak Juli lalu, bank sentral menerbitkan aturan mengenai pembatasan kepemilikan saham di sebuah bank. Kebijakan itu tampaknya akan menjadi titik awal dari berakhirnya kejayaan bank keluarga. Mungkin kalimat itu terlalu tendesius karena aturan tidak menghilangkan sama sekali kepemilikan individu atau sebuah keluarga di sebuah bank.
Dalam aturan tersebut, investor diperbolehkan menguasai bank maksimal 20 hingga 40 persen dengan rincian investor individu atau keluarga 20 persen, institusi nonkeuangan 30 persen, dan institusi keuangan 40 persen. Batasan individu dan keluarga ini meningkat ke 25 persen untuk bank syariah.
Awalanya banyak yang menduga bahwa regulasi tersebut diterbitkan untuk mendepak investor asing dari sektor perbankan nasional. Karena bank-bank asing terus gencar menyerbu Indonesia dengan mengakuisisi bank-bank nasional yang kesulitan modal. Apalagi beberapa waktu sebelum aturan itu keluar bank raksasa Singapura, DBS Group Holdings yang berencana mengakuisisi Bank Danamon.
Namun setelah aturan itu keluar, gantian yang cemas adalah bank-bank yang dikendalikan sebuah keluarga atau konglomerasi. Jika bank-bank itu gagal memenuhi standar BI, mereka bisa terpaksa menjual sebagian kepemilikan. “Pada awalnya, investor asing yang khawatir. Sekarang, para keluarga yang khawatir,” kata Fauzi Ichsan, ekonom senior Standard Chartered Bank. “Ini peralihan yang tak terduga.”
Apa yang dilontarkan oleh ekonom yang saat ini duduk dalam jajaran direksi itu memang tidak berlebihan. Bank Indonesia memang berniat mengurangi penguasaan individu atau satu keluarga dalam sebuah bank karena risikonya yang besar.
Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad beberapa saat setelah aturan itu keluar mengatakan secara terang-terangan bahwa tujuan aturan ini untuk mengikis potensi moral hazard pemilik bank. Pengalaman masa lalu memang telah membuktikan bahwa kebanyakan bank nasional yang bangkrut lebih disebabkan karena dana nasabahnya dicuri pemilik bank. Atau praktik penyaluran kredit kepada pihak terkait (insider lending) yang melewati ambang batas maksimum pemberian kredit (BMPK) yang memicu kredit macet besar-besaran dan membuat bank bangkrut. Kasus likuidasi Bank Summa pada 1992 akibat kredit macet senilai Rp1,4 triliun seperti disebutkan di awal tulisan serta likudiasi 16 bank pada 1998 bisa menjadi contoh.
Sejak tahun 2005 pemerintah bahkan telah melikuidasi 27 bank, di mana sebagian besar bank perkreditan rakyat. Bank yang dicabut izinnya tersebut hampir seluruhnya dikarenakan moral hazard dari pengurus dan pemiliknya yang merupakan keluarga sendiri.
Saat ini terdapat sekitar dua puluhan bank nasional yang mayoritas kepemilikannya dipegang oleh satu individu atau keluarga baik yang berstatus sebagai perusahaan publik maupun nonpublik. Dengan memperkecil limit kepemilikan saham oleh individu di sebuah bank, BI berharap bank-bank keluarga tersebut akan mendivestasikan sebagian sahamnya. Dengan demikian kepemilikan akan lebih beragam, lebih-lebih lagi kalau lebih banyak saham yang dimiliki publik. Logikanya, struktur kepemilikan yang terdiversifikasi pada beberapa pemegang saham akan membuat manajemen dan operasional bank makin transparan.
"Dari sekitar 120 bank yang belum go public, masih banyak yang dimiliki family. Akan memudahkan otoritas kalau bank lebih terbuka karena disclosure yang lebih kuat," ujar BI Muliaman yang saat ini menjadi pejabat Otoritas Jasa Keuangan, pengawas tertinggi lembaga keuangan.
Meski begitu, aturan itu tetap saja berisiko ditelikung oleh keluarga atau individu pemilik bank yang cerdik. Mereka bisa saja memanfaatkan celah aturan ini dengan saling tukar kepemilikan bank dengan keluarga yang lain. Misalnya begini, pemegang saham mayoritas Bank A, Bank B dan Bank C, wajib mengurangi kepemilikan mereka. Ketiga investor ini lalu bersepakat menukar saham mereka di masing-masing bank agar sesuai aturan. Pemegang saham mayoritas di Bank A akan menyerahkan sebagian sahamnya ke pemilik Bank B dan Bank C. Begitu pula sebaliknya, sehingga saling memiliki dan saling bergantung sama lain.
Benarkah bisa begitu? Mudah-mudahan tidak.




Box
Aturan Pendirian Bank di Indonesia berdasarkan UU No7 1992
Dalam pasal 3 disebutkan :
1)      Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Direksi Bank Indonesia.
2)      Bank hanya  dapat didirikan oleh:
a)      WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia; atau
b)      WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia dengan WNA dan/atau Badan Hukum Asing secara kemitraan.
Selanjutnya dalam pasal 4 disebutkan:
1)      Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah);
2)      Modal disetor bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi adalah simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Perkoperasian;
3)      Modal disetor yang berasal dari warga Negara asing dan/atau badan hukum asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka (2) huruf b setinggi-tingginya sebesar 99 % (Sembilan puluh sembilah persen) dari modal disetor bank.



Membangunkan yang Tertidur


Sektor korporasi tengah menjadi bidikan serius perbankan jika proyek infrastruktur dijalankan konsisten mulai tahun ini. Namun pemerintah harus membereskan sejumlah masalah yang menghambat proyek itu jika ingin ekonomi RI tumbuh lebih tinggi.

Tentu tak ada seorangpun pelaku di industri keuangan yang lupa pada peristiwa ambruknya sektor perbankan Indonesia di tahun 1997/1998 yang akhirnya memicu krisis ekonomi hingga awal 2000-an. Pada kurun waktu itu, pinjaman kepada korporasi –yang sebelumnya menjadi andalan bank, disetop sama sekali sehingga banyak perusahaan-perusahaan besar yang limbung dan akhirnya kolaps. Situasi itu kemudian memberi tekanan tambahan kepada krisis karena bertambahnya jumlah pekerja yang dipecat akibat perusahaannya tutup.
Sejak itulah perbankan tak mau menyalurkan kredit kepada sektor korporasi. Sebaliknya bank mengandalkan penyaluran dana kepada sektor-sektor ritel yang berjumlah kecil-kecil dan kondisi itu bertahan selama lebih dari lima tahun.
Kini, perbankan RI telah meninggalkan trauma pembiayaannya pada sektor korporasi. Bahkan beberapa tahun belakangan pembiayaan sektor korporasi seperti kembali ‘terbangun dari tidur’ dan mulai menyaingi sektor ritel meski angkanya masih lebih kecil. Namun jika seluruh sektor usaha, baik korporasi maupun usaha menengah dan kecil digabungkan maka angkanya sudah melampaui kredit sektor ritel yang cenderung digunakan untuk konsumsi.
Berdasarkan data hingga Maret 2012, sekitar 69,28 persen dari total kredit perbankan lebih banyak disalurkan kepada sektor usaha. Sementara 30,72 persen sisanya disalurkan untuk konsumsi seperti kredit untuk pemilikan rumah, apartemen, ruko, kendaran bermotor, dan lain-lain.
Malahan jika ditarik hingga lima tahun ke belakang, kecenderungan peningkatan pembiayaan bank pada sektor korporasi sudah terlihat. Sektor usaha yang menerima kredit terbanyak dalam lima tahun terakhir adalah sektor perdagangan, restoran, dan hotel dengan porsi rata-rata 20,02 persen dari total kredit pertahun. Selanjutnya adalah sektor industri pengolahan sebesar 15,84 persen dan sektor jasa sebesar 10,55 persen).
Sektor yang mengalami akselerasi tertinggi sepanjang waktu tersebut adalah sektor listrik, gas, dan air bersih dengan laju pertumbuhan rata-rata 49,82 persen pertahun. Kemudian disusul sektor pertambangan mencapai 45,65 persen, dan sektor jasa sosial sebesar 45,52 persen. Sektor pertambangan batu bara dan gas bumi yang sedang booming disebut-sebut menjadi pendorong kucuran kredit ke sektor-sektor tersebut.
Perkembangan tersebut tentu menjadi bukti bahwa perusahaan-perusahaan mulai berani berekspansi dan perbankan mulai berani membiayai. Di tengah perekonomian global yang masih ‘sakit’ karena efek krisis Eropa, perkembangan tersebut tentu merupakan sinyal yang menggembirakan.
Salah satu yang membuat sektor korporasi tetap bergerak adalah adanya rencana pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur di Tanah Air. Program itu tentu akan memicu pembangunan jalan tol, agribisnis, minyak dan gas (migas), serta konstruksi. Bank-bank yang masuk dalam kelompok 10 terbesar pun menyiapkan dana kredit untuk korporasi hingga puluhan triliun rupiah.
Bank-bank milik negara tentu akan mengandalkan program pemerintah di bidang infrastruktur ini untuk menggenjot kredit korporasinya. Dua bank yang tampaknya berada di depan adalah BNI dan Bank Mandiri. Kedua bank yang memang jagoan dalam segmen korporasi ketika sebelum krisis telah menyiapkan dana kredit korporasi hingga puluhan triliun rupiah yang akan mereka pinjamkan ke berbagai perusahaan. Di antaranya sektor infrastruktur, jalan tol, agribisnis, minyak dan gas (migas), serta konstruksi.
Krishna R. Suprapto, Direktur Business Banking BNI, mengungkapkan plafon kredit korporasi pihaknya sampai akhir tahun mencapai Rp 65 triliun. Sementara, realisasi kredit hingga paro pertama 2012 sekitar Rp 40 triliun. Untuk mencapai target itu, bank yang lahir tahun 1946 itu menjajaki beberapa perusahaan yang bergerak di sektor infrastruktur dan agribisnis. "Akhir Agustus ini atau paling lambat awal September, kami akan memberikan kredit sebesar Rp 200 miliar ke perusahaan sektor agribisnis, khususnya kelapa sawit, untuk pengembangan lahan," kata Krishna.
Bank pelat merah ini juga mengikuti proses penawaran atau bidding kredit infrastruktur ke PT Thiess Contractors Indonesia (TCI) untuk pembangunan jalan tol Solo Ngawi Jaya, Ngawi Kertosono Jaya, dan Cinere Serpong Jaya. BNI dan bank lain berencana memberi kredit sindikasi Rp 1,5 triliun untuk salah satu proyek tol itu. BNI juga menyiapkan dana Rp 500 miliar untuk perusahaan migas yang ingin melakukan pengeboran dan kebutuhan logistik migas.
Seperti tak mau kalah oleh sesama bank pelat merah itu, Bank Mandiri pun menyiapkan langkah yang tak kalah mantap. Bahkan bank beraset paling gemuk di Indonesia ini mematok pertumbuhan kredit korporasi sebesar 18-20 persen tahun ini, atau tembus Rp134 triliun.
“Kalau korporasi, infrastrukturnya kita ya untuk jalan tol, untuk power plant (pembangkit listrik), infrastruktur kan. Semua yang terkait dengan bidang infrastruktur,” tutur Direktur Corporate Banking Bank Mandiri Fransisca Nelwan Mok.
Bank Mandiri mencatat kucuran kredit di segmen korporasi mencapai Rp125,2 triliun pada semester pertama 2012, meningkat 21,4 persen dalam setahunan dibanding posisi akhir Juni 2011 sebesar Rp103,1 triliun. Segmen korporasi sendiri mengambil porsi 40,8 persen dari total kucuran kredit perseroan sebesar Rp306,9 triliun per Juni 2012. “Kita konsisten sepanjangan tahun growth kita 18-20 persen untuk korporasi,” tandas Fransisca.
Bank Asing dan Syariah
Bahkan, menggeliat sektor korporasi juga membuat bank macam Citbank ikut membidik segmen itu. Apalagi bank asal Amerika Serikat itu tengah dihukum oleh otoritas untuk tidak ekspansi di segmen kartu kredit yang selama ini menjadi andalannya. Oleh karena itulah manajemen Citbank berpikir lebih keras untuk men-trade off potensi yang hilang di segmen konsumer ke segmen korporasi.
"Pertumbuhan kredit dari korporasi kita masih bisa tumbuh 25 persen tahun ini. Namun untuk konsumer stabil, karena nggak ada akuisisi kartu baru. Sementara untuk kredit lain-lain tumbuh lebih dari 25 persen," jelas Tigor M. Siahaan, Citi Country Officer Indonesia Citibank N.A.
Tigor menjelaskan, dari data terakhir Citibank mengakumulasi portofolio kredit total Rp 35 triliun dengan total aset Rp 60 triliun. Kredit korporasi tampak telah menjadi tulang punggung baru perseroan, dengan portofolio mencapai Rp 22,75 triliun atau 65 persen dari total pembiayaan Citibank. Sisanya, konsumer 25 persen, kredit lainnya 10 persen.
Per September kredit korporasi Citibankyang sudah dicairkan mencapai 3 miliar dollar AS. Perusahaan yang banyak memanfaatkan kredit Citibank bergerak pada sektor multinasional, ekspor impor, consumers goods, otomotif dan juga pertambangan.
Tidak cuma itu, sektor korporasi yang didukung oleh program infrastruktur juga sudah menarik minat bank-bank syariah untuk mengalihkan bidikannya kepada pembiayaan itu. Bank syariah pertama di Indonesia, mengincar pembiayaan korporasi sebesar Rp2,3 triliun pada semester kedia 2012. Sementara, realisasi pembiayaan korporasi perseroan pada paro pertama 2012 mencapai Rp 1,4 triliun. “Tahun ini, kami menargetkan pembiayaan korporasi sebesar Rp 3,7 triliun,” jelas Kepala Divisi Korporasi Bank Muamalat Setiabudi.
Setiabudi mengungkapkan, ada beberapa proyek yang akan dibiayai pihaknya pada tahun ini untuk mencapai target pembiayaan perseroan tersebut. Salah satunya yakni proyek sindikasi pembangkit listrik senilai 30 juta dollar AS. Dari nilai tersebut, Bank Muamalat mendapat porsi senilai 14 juta dollar AS. “Kami bekerja sama dengan beberapa bank dalam proyek tersebut, dan proyek ini akan direalisasikan sebelum akhir 2012,” tutur Setiabudi.
Pesatnya pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia telah mendorong industri tersebut masuk ke sektor kredit korporasi. Padahal sebelumnya bank yang tidak menggunakan sistem bunga dalam operasinya itu lebih banyak membiayai sektor konsumtif dan ritel. Namun kini seiring meningkatnya aset dan permodalan bank syariah mulai memberanikan dirinya membidik sektor korporasi meski risikonya akan lebih besar.
Bank Indonesia menilai perbankan syariah siap menyalurkan kredit korporasi di sektor infrastruktur. "Mungkin 30 persen dari bank syariah yang ada saat ini sudah sanggup untuk masuk ke korporasi," kata Direktur Eksekutif Perbankan Syariah BI, Edy Setiadi.
Menurut dia, kesiapan bank syariah ini karena beberapa bank besar memiliki induk korporasi yang cukup kuat, seperti PT Bank Syariah Mandiri yang dimiliki PT Bank Mandiri Tbk.  "Kalau dilihat, apalagi yang bermitra dengan asing atau ada kepemilikan asing di dalamnya, itu kan otomatis sasarannya. Dan kami harapkan arahnya ke infrastruktur, korporasi," ujarnya.
Edy menuturkan, ke depan, induk usaha tersebut akan memberikan suntikan modal, agar anak usahanya mampu berkembang ke kredit korporasi, khususnya infrastruktur. Bank syariah bisa meminta induk usaha untuk keperluan modal, sehingga memiliki pembiayaan korporasi cukup besar.
Akselerasi Infrastruktur
Program pembangunan sarana-saran infrastruktur tak dipungkiri telah menjadi motor pendorong kebangkitan pembiayaan korporasi di Indonesia. Sejatinya program ini telah dimulai sejak lebih dari lima tahun lalu. Namun karena banyaknya hambatan yang mendera, program tersebut berjalan sangat lamban jika tak mau dibilang tak berjalan sama sekali. Padahal pemerintah telah menggelar beberapa kali ‘Infrastructure Summit’ untuk menggaet investor.
Salah satu yang menjadi batu sandungan adalah masalah pembebasan tanah. Proyek infrastruktur yang paling banyak digarap adalah pembangunan jalan tol. Dalam proyek tersebut tentu mengharuskan para pemilik proyek untuk membeli tanah milik masyarakat. Nah, masalah mulai muncul ketika mafia-mafia tanah menaikkan harga tanah menjadi berkali-kali lipat sehingga mendongkrak biaya. Hal itu tentu membuat pemimpin proyek menghitung ulang pembiayaan yang akhirnya membuat proyek tertunda.
Seperti yang terjadi pada pembangunan ruas tol Surabaya-Mojokerto yang tertunda proses pembebasan lahan. Direktur Pengembangan Usaha Jasa Marga, Abdul Hadi mengatakan bahwa masalah utama dari pembebasan lahan ini ialah adanya kehadiran mafia-mafia tanah. “Di Sumo (Surabaya-Mojokerto) ini ada 2 broker, ini harus diberantas," ungkap Hadi.
Dia mengatakan, dengan adanya kasus seperti ini, ruas tol Surabaya Mojokerto molor hingga 3 tahun dari jadwal semula.
Selain masalah lahan, anggaran pemerintah yang minim juga menjadi ganjalan tersendiri pada kecepatan proyek-proyek infrastruktur. Faktanya faktor inilah yang membuat infrastruktur Indonesia tertinggal jauh dibanding Singapura Malaysia dan Thailand. Menurut Eric Alexander Sugandi, ekonom Standard Chartered Bank, konsolidasi fiskal yang dilakukan pemerintah tak dipungkiri telah membuat tingkat belanja negara menjadi sulit. Dalam program pembangunan infrastruktur pemerintah memperkirakan dana yang dibutuhkan mencapai 1.429 triliun dollar AS. Namun begitu anggaran negara hanya sanggup menyediakan 35 persen. “Sebanyak  65 persen sisanya diharapkan datang dari sektor swasta, meskipun sejauh ini dana mengalir lebih lambat daripada yang diharapkan,” kata Eric.
Akan tetapi pembebasan lahan dan pembiayaan bukanlah masalah yang memperlambat proses pembangunan infrastruktur. Menurut Eric ada beberapa lagi masalah yang kerap membuat proyek-proyek itu mandeg. Di antaranya adalah kurangnya manajer proyek yang terampil, ketidakpastian hukum (termasuk seringnya ketidaksesuaian peraturan antara pemerintah pusat dan daerah), pungutan liar dan pemerasan oleh birokrat. Dan yang tidak kalh penting adalah keengganan pejabat pemerintah untuk menjadi manajer proyek atau lelang proyek-proyek infrastruktur karena dari khawatir akan berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika masalah-masalah itu cepat teratasi Eric yakin bahwa pertumbuhan ekonomi RI akan mencapai 5-7 persen sepanjang 2010-2014. Bahkan pertumbuhan akan konsisten mencapai 7 persen per tahun sepanjang 2014 hingga 2030 yang akan membawa Indonesia menjadi negara terbesar keenam dalam bidang ekonomi pada 2030.



Tabel : Perbandingan Kualitas Infrastruktur Negara-Negara Asia

_

Contry
 Singapore
 Malaysia
 Thailand
 China
 India
 Indonesia
 Philippines

 Jalan
 6.5
 5.4
 5.0
 4.4
 3.5
 3.4
 3.4

 Rel kereta
 5.7
 4.9
 2.6
 4.6
 4.4
 3.2
 1.9

 Transportasi lau
 6.8
 5.5
 4.6
 4.4
 4.0
 3.6
 3.3

 Transportasi udara
 6.8
 5.9
 5.7
 4.5
 4.7
 4.2
 3.6

 Listrik
 6.7
 5.9
 5.5
 5.2
 3.2
 3.9
 3.7

 Skor (dari 7)
 6.5
 5.4
 4.9
 4.3
 3.8
 3.7
 3.6