Kamis, 05 Desember 2013

Transisi, Turbulensi dan Transmisi

Bank sentral kembali melewati tahun yang kurang menyenangkan meski gejolak “krisis mini” pertengahan tahun lalu bisa dilewati. Tahun depan, kurang lebih, tantangan yang dihadapi masih sama: gejolak eksternal.

Bank Indonesia sejatinya menginginkan tahun ini menjadi tahun transisi yang mulus. Sejak awal, BI sudah bersiap melewati  isu utama yang akan dihadapinya tahun ini yaitu berpindahnya pengawasan sektor perbankan dari tangannya ke Otoritas Jasa Keuangan. Dan hal itu tampaknya sudah bisa dikendalikan oleh bank sentral.

Meski demikian, otoritas Kebon Sirih juga tengah menghadapi situasi yang tak kalah mengancam ketika neraca transaksi berjalan mulai defisit. Neraca yang mencatat penerimaan dan pengeluaran dari transaksi barang dan jasa sudah tekor sejak triwulan awal tahun 2012. Menurunnya angka ekspor yang berbarengan dengan melonjaknya impor menjadi biang keladi atas kondisi itu.

Ancaman itu kemudian mencapai puncaknya ketika pada Mei perekonomian global mulai guncang, yang diawali munculnya isu penghentian secara bertahap kebijakan stimulus perekonomian AS. Jadilah bank sentral seperti terkena setrum menghadapi turbulensi itu. Ibarat sedang berkendara, mobil yang ditunggangi bank sentral tidak lagi melaju di jalan mulus nan sepi. Jalanan yang diperkirakan akan ramai lancar tiba-tiba berubah menjadi jalan berbatu, berlubang dan ramai oleh kendaraan lain, bahkan dengan cuaca mendung yang ditambah kencangnya tiupan angin.

BI pun secepatnya merespons dan mengendalikan situasi tersebut dengan melakukan manuver menyesuaikan transmisi dan pedal gas-rem pada instrumen-instrumen kebijakan yang dimilikinya. Akhirnya kendaraan pun melambat. Namun yang jauh lebih penting kendaraan masih bisa melaju dengan selamat.

Kembali ke isu transisi, diakui atau tidak, beralihnya otoritas pengawasan perbankan sejujurnya bukanlah hal yang diinginkan oleh Bank Indonesia. Akan tetapi karena undang-undang mengharuskan demikian, BI tentu tak bisa mengelak. Dan mulai bulan depan, satu direktorat yang ada di BI harus dialihkan dan menjadi milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Masalahnya, proses pengalihan itu tidak semudah seperti memindahkan barang-barang dari sebuah rumah ke tempat lain. Salah satu problem yang muncul adalah siapa yang akan menggaji pegawai-pegawai pindahan itu. Ketika pegawai BI yang sebagian merupakan pengawas bank pindah ke ‘rumah baru’ OJK, mereka masih berstatus pegawai BI setidaknya hingga dua tahun ke depan. Setelah itu, pengawas bank akan diberi opsi untuk tetap di OJK atau kembali ke rumah lamanya.

Karena itulah maka anggaran gaji dan fasilitas untuk para pengawas, masih harus disiapkan oleh BI, setidaknya begitulah menurut OJK. Apalagi, anggaran OJK tahun depan yang telah disepakati oleh Komisi Keuangan DPR yang sebesar Rp2,4 triliun, ternyata belum mencakup gaji dan fasilitas para pengawas bank. OJK beralasan, anggaran tersebut belum dimasukkan karena para pengawas bank masih berstatus sebagai pegawai BI.

Sementara BI di sisi lain, sudah tidak mau lagi memasukkan anggaran gaji dan fasilitas para pengawas banknya itu karena mereka bekerja melakukan pengawasan perbankan untuk OJK, bukan untuk BI.
Sebetulnya kalau mau dikembalikan ke Pasal 64 Undang-Undang OJK persoalan tidaklah serumit itu. 

Aturan di atas menyatakan bahwa para pengawas bank itu masih berstatus pegawai BI yang diperbantukan kepada OJK. Jadi para pengawas bank itu masih akan berstatus pegawai BI yang ditugaskan di OJK hingga akhir 2015 -saat itu mereka harus memilih menjadi pegawai OJK atau kembali ke BI. Artinya memang seharusnya BI adalah pihak yang semestinya mengeluarkan anggaran buat para pengawas itu.

Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah masalah peraturan. Beberapa bulan jelang peralihan itu, BI tampaknya masih getol mengeluarkan aturan perbankan. Hal ini tentu akan sedikit memberikan pekerjaan ekstra buat OJK. Pasalnya setelah tahun ini berakhir, BI bukan lagi pihak yang akan mengawasi perbankan. Jika aturan itu tidak dimaksudkan untuk diterapkan dalam jangka waktu yang relatif lama maka hal itu tentu akan merepotkan untuk pelaku industri.

Namun, bos OJK, Muliaman D Hadad menanggapi santai hal itu. Menurut mantan Deputi Gubernur BI itu, hal tersebut tidak menjadi masalah karena nanti pihaknya akan mereview kembali aturan-aturan itu. “Jika memang harus diubah akan kita ubah, tanpa konsultasi lagi, karena itu sudah menjadi wewenang kita. BI kan tidak melakukan pengawasan lagi. Itu ada di OJK. Kalau itu baik, tentu kita teruskan, kalau perlu diperbaiki ya kita sempurnakan,” kata dia.

Hingga Oktober BI masih berencana mengeluarkan aturan soal perbankan terutama beberapa aturan terkait bank syariah dan uang muka kredit. Sementara sepanjang paro kedua tahun ini bank sentral telah menerbitkan satu Peraturan (PBI) dan 12 Surat Edaran (SEBI).

Meski begitu hal yang patut dicatat adalah bahwa kedua lembaga itu tetap terbuka untuk membahas masalah transisi ini agar tidak terjadi masalah di kemudian hari. Bulan lalu Kedua lembaga itu memang sudah bertukar nota kesepahaman demi memuluskan tugas mengawal stabilitas sektor keuangan Tanah Air. Setidaknya ada empat area yang menjadi perhatian utama. Pertama, tugas dan tanggung jawab menjalankan fungsi di BI dan OJK. Kedua, pertukaran informasi dan bagaimana menangani masalah pelaporan, serta bagaimana agar pelaporannya taat akan asas governance. Ketiga, kesepakatan terkait dokumen, logistik baik di pusat dan daerah. Dan keempat, masalah sumber daya manusia.

Transmisi BI Rate
Dalam urusan pengelolaan bank sentral khususnya soal suku bunga acuan, Darmin Nasution adalah sebuah kutub, sementara Agus Martowardojo adalah kutub yang lain. Saat pertama kali menjejakkan kaki di dalam ruang rapat dewan gubernur bank sentral, pada Mei 2009, mantan dirjen pajak itu sudah ikut menurunkan BI Rate.

Bahkan selama empat tahun masa jabatannya di Thamrin, tampak sekali bahwa Darmin berupaya mengarahkan BI Rate ke level terendah. Dan saat dia pensiun dari BI, bunga acuan dibawanya ke level terendahnya sepanjang masa di angka 5,75 persen, dari level saat dia masuk di angka 6,50 persen.

Beberapa kali, dalam merespons gejolak pasar hingga perkembangan perekonomian, orang yang lama menjabat posisi-posisi penting di pemerintahan ini memilih tidak menggunakan instrumen BI Rate. Baginya, dampak kenaikan suku bunga acuan akan lebih cepat menghantam sektor riil setelah bertransmisi di sektor perbankan. Sebaliknya jika menggunakan kebijakan yang agak memutar, dampaknya hanya akan berhenti di perbankan, jikalau berlanjut ke masyarakat maka kekuatannya sudah berkurang.

Seperti yang bisa dilihat pada 2012, ketika pasar global masih labil karena krisis di Eropa dan membuat ekspor kita melemah yang akhirnya menekan neraca transaksi berjalan. Ketika itu Darmin lebih banyak mengutak-atik instrumen Instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI), disusul kemudian, time deposit, Fasbi, dan Giro Wajib Minimum (GWM).

Pada pertengahan tahun lalu Darmin menelurkan keputusan untuk memperlebar rentang batas bawah bunga Fasilitas Simpanan BI (Fasbi) karena melihat masih berlimpahnya ekses likuiditas yang dimiliki bank. BI juga menerapkan aturan loan to value yang mewajibkan konsumen menyediakan uang muka di saat akan membeli rumah atau  kendaraan bermotor.

Sementara Agus DW Martowardojo tampak kebalikannya. Sesaat setelah dipilih jadi Gubernur BI dan memimpin rapat dewan gubernur pada Juni, mantan menkeu itu langsung menaikkan BI Rate dari level rendah yang sudah dipertahankan Darmin. Bahkan sepanjang lima bulan Agus menjadi orang nomor satu di bank sentral, mantan Dirut Bank Mandiri sudah mendongkrak BI Rate hingga 150 basis poin.

Agus yang lebih banyak menghabiskan kariernya sebagai bankir, dinilai mendasarkan keputusan-keputusannya itu dari kacamata pelaku pasar, alih-alih pada kepentingan sektor riil secara langsung. 
“Orientasi kebijakan yang diambilnya berdasarkan yang selama ini dia temui. Khan dia ngertinya ya selama ini sektor perbankan. Sektor riil bukan dunianya,” kata Enny Sri Hartati, ekonom Indef saat mengomentari keputusan-keputusan Gubernur Bank Indonesia.

Meski demikian, Enny seperti halnya pengamat ekonomi lainnya memaklumi keputusan yang diambil Agus menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Sekarang ini, menurut Enny, tidak ada faktor positif dari dalam negeri yang bisa menahan dana asing untuk tidak hengkang. Maka menaikkan BI Rate menjadi satu-satunya pilihan yang diambil BI untuk menahan agar dollar AS tidak kabur dari pasar keuangan dalam negeri.

BI, tambah Enny, selama ini terkesan bekerja sendiri tanpa ada dukungan dari regulator fiskal untuk mempertahankan perekonomian dari keterpurukan yang lebih dalam. “Kita tidak bisa menyalahkan BI karena sisi fiskalnya memang tidak berbuat apa-apa padahal sumber penyakitnya ada di fiskal. Ibarat kanker, BI hanya berupaya untuk memperlambat meluasnya penyakit, tidak mengobati,” jelas dia.

Apa yang diungkapkan Enny, bernada sama dengan yang diutarakan oleh ekonom Universitas Katolik Atmajaya Agustinus Prasetyantoko. Menurut dia kebijakan ekonomi Indonesia saat ini terlalu bertumpu pada kebijakan moneter. Padahal persoalan yang dihadapi perekonomian Indonesia saat ini sangat beragam dan tidak hanya melulu soal moneter. Misalnya di sektor ketenagakerjaan, infrastruktur, ekspor, impor, daya saing industri dan lainnya. “Kebijakan di sektor-sektor ini yang tidak terlihat,” kata dia.  

Hingga November, BI Rate bertengger di level 7,5 persen. Selain menjadi level tertinggi sejak 2009, BI Rate juga menjadi suku bunga acuan tertinggi di regional Asia Tenggara. Bank Negara Malaysia tetap mempertahankan rate-nya di level 3 persen sejak Mei 2011. Demikian pula dengan bank sentral Filipina yang tidak mengubah bunga acuannya di angka 3 persen sejak Oktober tahun lalu. Sementara Bank of Thailand pada 16 Oktober lalu mempertahankan suku bunga sebesar 2,5 persen. Bahkan dibandingkan posisi pada awal tahun, suku bunga Thailand lebih rendah 0,25 basis poin.   Adapun suku bunga acuan di Singapura sedikit dinaikkan dari dari 0,03 pada Januari menjadi 0,05 pada Oktober.

Langkah BI menaikkan bunga acuan, tak pelak disambut oleh investor luar negeri dan dianggap sebagai langkah yang tepat serta berani. Kenaikan BI Rate merupakan pesan yang sangat jelas bahwa Indonesia akan melakukan langkah apa pun yang diperlukan untuk mendongkrak kinerja mata uang rupiah.

Robert Prior-Wandesforde, ekonom dari Credit Suisse mengatakan bahwa sebelum ini BI sering dituduh melakukan hal di luar kurva. Namun, cukup jelas bahwa langkah BI menaikkan suku bunganya merupakan langkah yang berani. “Dalam pandangan kami, hal ini merupakan hal yang tepat untuk dilakukan,” kata dia.

Kita memang tidak boleh dengan mudah memvonis bahwa kebijakan BI di bawah pilot Agus Martowardojo, lebih berpihak ke investor asing. Karena setiap kebijakan yang dikeluarkan bank sentral memang sesuai masa dan kebutuhannya. Setiap kebijakan bank sentral juga memiliki limitnya masing-masing.

Akan tetapi, yang pasti kini BI Rate pun bersiap untuk terus menanjak karena tahun depan kondisi perekonomian global tetap dalam ketidakpastian. Rencana pemerintah AS yang akan menghentikan secara bertahap program stimulusnya kembali menjadi ancaman bagi perekonomian global yang masih sempoyongan. Belum lagi problem debt ceiling pemerintah AS yang tak kunjung usai dan diramalkan akan mencapai puncaknya tahun depan.

Darmin Nasution, mantan gubernur BI menyarankan agar setiap kebijakan yang dikeluarkan harus memiliki determinasi dan jangan muncul kesan hit and run. “Walaupun harus tahu diri dengan limit kebijakan, otoritas harus punya determinasi. Apa artinya? Pada saat gejolak terburuk sudah terlampaui, harus ada rancangan untuk mengendalikan. Jangan dibiarkan ke sana ke mari, sehingga tidak bis dikendalikan," kata Darmin yang kini aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia.


Setelah Pilihan Pahit Diambil

Pemerintah telah mengambil pilihan menurunkan proyeksi pertumbuhan akibat guncangan ‘krisis kecil’ Agustus lalu. Perbankan tak pelak mendapatkan imbas yang lebih pahit dari sektor keuangan lainnya terutama dari sisi laba yang diprediksi akan melemah.

Guncangan di pasar keuangan Agustus lalu memang telah usai, dan bursa saham serta pasar uang sudah mulai menyusuri jalan sebelumnya untuk sampai pada posisi yang sama saat sebelum anjlok akibat guncangan itu. Namun tidak bagi sektor perbankan.

Turbulensi itu memang telah membuka tirai dan menunjukkan pada kita masalah utama dari perekonomian Indonesia yaitu tingginya angka impor yang membuat neraca transaksi berjalan menderita. Saat badai pasar uang tengah berkecamuk, pemerintah memiliki dua opsi yang sama-sama pahit: membiarkan nilai tukar terus melemah atau menurunkan target pertumbuhan ekonomi. Pilihan yang satu akan meniadakan opsi lainnya.
Pilihan pertama dengan terus mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan membiayai impor dengan rupiah yang makin melemah, sekilas tampaknya aman. Namun dengan besarnya kebergantungan kita pada impor baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk memproduksi barang-barang ekspor, membuat opsi itu hanya akan membikin cadangan devisa kedodoran sampai akhir tahun.

Pilihan kedua, lebih pahit, namun dalam jangka panjang membuat ekonomi lebih stabil. Dengan menurunkan target pertumbuhan, pemerintah bisa menekan impor agar tekanan kepada rupiah berkurang, karena memang ekspor juga sedang melemah. Karena itu dengan menurunkan target pertumbuhan, otomatis impor juga berkurang dan akhirnya tekanan rupiah juga sedikit berkurang.

Walhasil pilihan kedua pun diambil. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia dipangkas. Pemerintah awalnya mematok sangat tinggi pertumbuhan tahun 2013, yaitu 6,8 persen. Lalu pemerintah dan DPR mengoreksi menjadi 6,3 persen sebagaimana tercantum di APBN-P 2013. Koreksi itu dilakukan menjelang kenaikan harga BBM Juli lalu. Setelah terjadi guncangan pasar modal, pertumbuhan kembali direvisi menjadi 5,5-5,9 persen.

Revisi itu tampaknya lebih optimistis dibandingkan yang dilakukan oleh lembaga dunia. Dalam laporan World Economic Outlook terbaru, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 turun tajam 100 basis poin, dari 6,3 persen menjadi 5,3 persen.

Akan tetapi, inilah yang membuat sektor perbankan lebih menderita dibanding jasa keuangan lainnya. Dua bulan setelah guncangan itu mereda, pasar modal dan pasar uang mulai stabil. Indeksi saham mulai kembali ke posisi semula dan hingga pekan ketiga Oktober berada di level 4.560-an. Nilai tukar rupiah juga sudah memasuki level Rp10.000 per dollar AS.

Sementara itu perbankan diperkirakan akan mengalami pelemahan kinerja sampai akhir tahun. Dengan dipangkasnya proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional, perbankan tentu akan menjadi sektor yang langsung terimbas dengan langsung memperlambat laju pemberian kredit. Tekanan ini bertambah lagi dengan dikereknya suku bunga acuan yang saat ini berada di level 7,25 persen.

Karenanya, di samping penyaluran kredit yang turun, bank juga harus berhadapan dengan risiko meningkatnya risiko kredit karena ancaman non performing loan (NPL) yang memaksa bank menyisihkan dana lebih banyak sebagai provisi. Kekhawatiran ini tentu akan membuat bankir-bankir kian memperlambat kinerja bisnis yang akhirnya akan berpengaruh pada pendapatan bank. Ujung-ujungnya laba perbankan akan melandai.

Sepanjang delapan bulan pertama tahun ini, perbankan memang masih bisa membukukan laba tinggi. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, industri perbankan mampu meraup laba bersih sebesar Rp 70,73 triliun sepanjang waktu itu. Angka ini meningkat sebesar 18,44 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Peningkatan laba bersih ini ditopang oleh ekspansi kredit yang mencapai 22,2 persen.

Meski begitu, jika dibandingkan dengan kinerja bank-bank umum sepanjang Januari-Agustus 2012, ekspansi laba tersebut telah mengalami pelambatan. Pada periode tersebut laba bersih meningkat 24 persen menjadi Rp59,72 triliun. Sedangkan ekspansi kredit selama delapan bulan tahun 20103 itu juga sudah melambat dibandingkan dengan posisi akhir 2012 yang tercatat masih tumbuh 23,1 persen.

Menurut pernyataan resmi Bank Indonesia, pertumbuhan kredit September mulai menunjukkan perlambatan, meski pada Agustus 2013 masih cukup tinggi sebesar 22,2 persen (yoy). Pertumbuhan kredit lebih banyak didorong penarikan kredit dari komitmen sebelumnya, disamping pengaruh perhitungan nilai tukar. “Sementara komitmen kredit baru terus menurun,” kata laporan itu.

Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit akan melambat seiring dengan kenaikan suku bunga, perlambatan permintaan domestik dan kebijakan makroprudensial yang ditempuh oleh Bank Indonesia.

Dengan berbagai tantangan itu tak pelak pertumbuhan laba bank sepanjang 2013 ini diprediksi akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Banyak pihak yang melihat bahwa hal itu merupakan pertanda bahwa masa-masa di mana bank-bank bisa mengeruk keuntungan tanpa usaha yang terlalu keras sudah usai.

Bank Indonesia sudah mengerek suku bunga acuan hingga 150 basis poin sejak Mei. Suku bunga kredit pun sudah mulai merangkak naik merespons dengan cepat kenaikan itu. Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah karena pemerintah memilih menekan impor tentu akan membuat kesulitan tersendiri bagi bank untuk melempar dana ke sektor usaha. Itu belum ditambah kebijakan moneter lainnya yang lebih ketat dan akan membuat keleluasan bank dalam berbisnis akan sedikit tertekan.

Belum lagi kondisi masih tertekannya konsumsi dalam negeri dan investasi sebagai dampak dari melorotnya daya beli akibat tingginya tekanan harga pasca kenaikan harga bensin bersubsidi. Bahkan situasi ini menurut Bank Indonesia akan berlangsung hingga akhir tahun.

Salah satu bank yang sudah memastikan akan sedikit mengerem ekspansi adalah Bank Mandiri. Bank beraset tergemuk ini menurunkan target pertumbuhan kreditnya hingga akhir 2013 menjadi 19-21 persen dari target sebelumnya sebesar 20-22 persen. Hal itu untuk menjaga kualitas pertumbuhan kredit dengan tingkat kredit bermasalah (NPL) yang tetap baik di tengah perekonomian yang melambat.

Bank Danamon bahkan telah mengajukan revisi Rencana Bisnis Bank (RBB) kepada Bank Indonesia untuk menurunkan target kredit dari 18 persen tahun ini menjadi 17 persen sejak Juli sehingga diperkirakan angkanya pada akhir tahun bisa lebih rendah lagi.

Akan tetapi menurut pengamat, kinerja perbankan, meski melemah, namun tidak seburuk yang dibayangkan. “Perbankan akan tetap bisa mengeruk laba tinggi namun marginnya berkurang,” kata Eric Alexander Sugandi dari Standard Chartered Bank.

Margin di industri perbankan RI memang termasuk yang tertinggi di dunia. Hingga akhir Agustus, margin bunga bersih (NIM) industri perbankan masih berada di level 5,5 persen, relatif sama dibandingkan dengan setahun lalu. Pada akhir tahun ini diperkirakan angkanya akan mengecil dan memberikan pengaruh kepada pendapatan bank.

Menurut Eric, pengetatan yang dilakukan Bank Indonesia akan memaksa bank menurunkan margin demi menyeimbangkan neracanya. Sebelumnya bank sentral juga sudah ancang-ancang akan melakukan pengetatan untuk menyelamatkan neraca transaksi berjalan.

Neraca yang menggambarkan ekspor impor itu memang terus mengalama defisit sejak awal tahun ini. Dan bank sentral memang menjadi aktor utama dalam upaya memperbaiki current account defisit itu dengan memberikan peluang lebih besar pada kegiatan ekspor dan menekan transaksi impor.

Transaksi Berjalan
Bulan lalu, otoritas moneter telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 7,25 persen. Langkah pengetatan itu dilakukan untuk menekan defisit transaksi berjalan. “Masalah kita sekarang ini adalah defisit current account yang besar. Itu harus turun. Impor harus turun, karena kita tidak bisa mendorong ekspor," kata Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo.

Neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2013 mengalami defisit 9,9 miliar dollar AS atau sekitar 4,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlah ini mengalami peningkatan 69 persen dari kuartal sebelumnya yang besarnya 5,8 miliar dollar AS. Defisit tersebut sekaligus melanjutkan defisit transaksi berjalan selama tujuh kuartal terakhir sejak kuartal IV-2011.

Menurut Perry, keputusan yang ditempuh BI dengan menaikkan BI Rate merupakan langkah yang wajar dalam menyikapi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. "Oleh karena itu, wajar kalau kami tidak bisa berlari terlalu kencang, sementara yang lain melambat," kata dia.

Apabila BI tidak menaikkan suku bunga acuan menjadi 7,25 persen, lanjut Perry, maka defisit transaksi berjalan akan semakin membesar. “Berbagai indikator pun menunjukkan perlambatan. Maka kebijakan itu yang kami lakukan," tegas Perry.

Meski demikian dari hasil uji tekanan (stress testing) yang dilakukan BI baik dari sisi likuiditas, kredit maupun permodalan menunjukkan ketahanan industri perbankan yang kuat terhadap berbagai risiko seperti perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga dan depresiasi nilai tukar rupiah. 

Setelah krisis, sektor perbankan RI memang diakui lebih kuat karena pengetatan aturan dari otoritas. Rasio kecukupan modal selalu berada di atas 14 persen dalam lima tahun terakhir, jauh di atas yang digariskan BI sebesar 8 persen. Sementara itu rasio kredit bermasalah juga berada di bawah level 2 persen.
Kendati demikian, akhir tahun bukanlah akhir dari penderitaan sektor perbankan. Karena tahun depan masalah lainnya akan kembali menghadang. Menurut Eric dari Standard Chartered Bank tahun depan perekonomian Indonesia kembali akan mengalam guncangan karena persoalan death ceiling dan isu tapering dari pemerintahan AS.

Perekonomian AS akan kembali menjadi sorotan karena belum tuntasnya masalah batas utang yang sampai saat ini masih jadi perdebatan. Selain itu isu rencana penghentian program stimulus (tapering) yang mereda pada September akan muncul lagi ketika ada perbaikan ekonomi dari AS.  

Persoalan debt ceiling ini tentu menimbukan pressure ke rupiah. Kalau hal itu tidak mendapatkan persetujuan dari pengambil kebijakan, kata Eric  maka ini akan mengganggu ekonomi AS dan tentu tapering akan ditunda. Sementara itu, jika ekonomi AS tahun depan pulih maka program quantitative easing akan dihentikan. Hal  ini juga akan berdampak ke pelemahan rupiah dengan banyaknya flight to quality dana-dana asing seperti yang terjadi Agustus lalu.

“Jadi mulai Januari ancaman yang berasal dari ekonomi AS akan berlanjut dan bahkan mungkin dengan magnitude yang lebih besar,” kata Eric. 

Selasa, 22 Oktober 2013

Krisis Ekonomi dan Posisi yang Berputar

Bumi selalu berputar, begitupun kehidupan yang ada di dalamnya. Karena putaran itulah suatu kejadian kerapkali berulang dan berulang. Begitu pula dengan krisis ekonomi dunia. Menurut Luthfi Hamidi dalam buku The Crisis (2012), jika konstelasi ekonomi yang ada sekarang ini terus dipertahankan maka krisis akan selalu berulang, bahkan siklusnya akan makin cepat.
Apa yang diungkapkan buku itu memang tidaklah berlebihan. Krisis di zaman ekonomi modern sepanjang abad 20 lalu, terjadi dalam siklus 20 tahunan. Misalnya krisis ekonomi yang terjadi tahun 30-an atau ternama dengan sebutan The Great Depresion, kemudian dua dekade berselang terjadi juga krisis pada tahun 50-an, dan disusul tahun 70-an. Krisis siklus 20 tahunan berikutnya adalah krisis ekonomi di akhir 90-an yang menjungkirbalikkan ekonomi RI.
Setelah itu, siklus krisis yang membawa angin resesi ekonomi tampaknya mulai berputar lebih cepat menjadi 10 tahun. Hal itu ditandai dengan krisis ekonomi dunia yang berawal dari pecahnya gelembung properti di Amerika Serikat pada tahun 2008.
Dan kini, seperti yang ditulis dalam buku The Crisis, siklus kejatuhan ekonomi terasa lebih cepat lagi. Pada tahun ini,  percik-percik krisis sudah mulai meletup yang ditandai dengan kembalinya aset-aset dollar ke rumahnya di AS sana. Perekonomian di banyak negara termasuk Indonesia mulai guncang. Pertumbuhan melemah, nilai tukar melorot, dan aset-aset domestik yang anjlok menjadi beberapa indikator yang bisa dilihat.
Meski begitu, krisis yang berada di depan mata saat ini sebenarnya membawa pesan positif karena itu adalah pertanda resesi dunia yang berlangsung sejak 2008 akan segera usai. Ya, berbeda dengan krisis 2008 yang disebabkan oleh ambruknya ekonomi AS, turbulensi tahun ini justru disebabkan membaiknya ekonomi negeri Paman Sam itu. Kendati demikian dua-duanya membawa kisruh ekonomi yang mengkhawatirkan dunia.
Akan tetapi, krisis tak melulu soal kesusahan dan kesedihan. Krisis juga membawa kelucuan dan keunikan tersendiri. Pada krisis 2008, di Kanada, muncul minuman beralkohol yang disebut ”Bailout Bitter” dengan tagline-nya ”bitter ale for bitter times” (minuman pahit di kala waktu yang pahit).
Kejadian unik juga sempat terjadi di India ketika muncul berita menghebohkan yang mengabarkan adanya pasangan muslim India yang melakukan ijab kabul melalui telepon. Prosesi suci tersebut dilakukan karena  pengantin pria yang tinggal di luar negeri tidak memiliki uang untuk pulang. Seluruh penduduk desa turut menyaksikan peristiwa itu. Penghulu mengaktifkan mode speaker phone dalam sesi itu.
Di Rusia, krisis finansial global 2008 berdampak pada penurunan tingkat konsumsi vodka yang cukup tajam. Menurut data Asosiasi Minuman Beralkohol Nasional, pasokan vodka saat ini enam kali lebih banyak dari biasanya. Vodka merupakan minuman yang dikategorikan sebagai minuman nasional yang ditemukan dan dikonsumsi sejak abad ke-14. Bahkan vodka dianggap sebagai “air kehidupan”.

Anak Buah jadi Komandan
Krisis kali ini juga membawa keunikan sendiri bagi otoritas di Tanah Air. Indonesia memang sudah lebih siap untuk menghadapi krisis 2013 ini –jika memang sudah disimpulkan demikian. Saat ini pemerintah memiliki Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), yang berisi semua otoritas perekonomian yang ada di negeri ini. Apalagi dengan berdirinya Otoritas Jasa Keuangan, Indonesia kini dianggap memiliki kemampuan lebih baik dalam menangkal risiko terburuk dari krisis keuangan.
Tiga otoritas utama di dalam forum penangkal krisis itu adalah Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Satu anggota lagi adalah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Nah, seperti juga roda ekonomi yang terus bergerak dan berputar, orang-orang di belakang kendali otoritas-otoritas itu juga berputar, bergeser dan berubah. Putaran itu menggeser orang-orang di dalamnya, bahkan membawa seseorang yang tadinya di bawah menjadi di atas.
Pada 2008, Agus DW Martowardojo masih menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri. Artinya, saat itu dia masih menjadi pihak yang diawasi oleh Bank Indonesia, masih sering dipanggil ke Thamrin terkait kegiatan pengawasan dan pengaturan perbankan.
Namun sejak Mei 2013, lelaki kelahiran Amsterdam, Belanda, 57 tahun lalu itu, telah menjadi orang nomor satu di Bank Indonesia. Dengan kalimat lain, lulusan Universitas Indonesia itu berputar dari yang tadinya diawasi bank sentral menjadi pihak yang mengawasi –setidaknya sampai 2014.
Bahkan, sebelumnya, sejak 2010, mantan direktur utama di beberapa bank nasional itu juga sempat menjabat sebagai Menteri Keuangan. Saat itu, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang OJK, Agus Martowardojo, selaku  Menteri Keuangan adalah koordinator dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan.
Sementara itu, Muliaman D Hadad, pada 2008 lalu masih mengawasi perbankan karena posisinya sebagai Deputi Gubernur BI. Kemudian pada 2012, mantan Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan di BI itu dipilih parlemen untuk menakhodai otoritas baru yang menjadi watchdog bagi seluruh lembaga keuangan dan juga pasar modal di Tanah Air. Posisinya meningkat dari hanya mengawasi bank saja, menjadi semua lembaga keuangan yang ada.
Chatib Basri lain lagi. Saat krisis global 2008 berkecamuk, dia ditunjuk sebagai penasehat khusus Menteri Keuangan. Artinya saat itu Chatib masih menjadi ‘orang luar’ di jajaran Kementerian Keuangan. Namun pada Mei 2013, mantan kepala lembaga penelitian ekonomi di UI ini ditunjuk menjadi Menteri Keuangan menggantikan Agus Martowardojo.
Chatib yang juga sempat memimpin Badan Koordinasi Pasar Modal, kini berubah dari anak buah menjadi komandan. Ya, Chatib, saat ini menjadi koordinator dalam forum penangkal dan mitigator krisis yang mana semua otoritas berkumpul untuk mengambil peran. Sebagai Menteri Keuangan, seperti diamanatkan dalam undang-undang, Chatib adalah koordinator forum tersebut yang di dalamnya ada Gubernur BI dan Ketua OJK serta LPS.
Pada saat memimpin forum itulah muncul kondisi yang boleh dibilang unik. Chatib, sebagai orang yang paling ‘muda dan junior’ justru menjadi ketua dalam forum pengendali sistem keuangan nasional itu. Di dalam forum itu Chatib harus berhadapan dengan senior-seniornya. Selain pernah menjadi subordinat dari salah satu seniornya itu, dalam soal umur, Chatib juga menjadi yang paling muda.
Chatib yang kini berusia 48 tahun lulus kuliah pada 1992. Sedangkan Agus Martowardojo yang berumur 57, lulus di tahun 1984, berbarengan dengan Muliaman D Hadad, 53 tahun. Ketiganya kuliah di kampus yang sama, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Oleh karena itu dalam rapat-rapat –dan tentunya dalam penentuan keputusan krisis keuangan di Indonesia– boleh  dibilang peran dan kedudukan Chatib Basri berada di atas dua seniornya itu.
Kita memang tak boleh menyimpulkan bahwa Chatib akan sedikit ‘minder’ saat berhadapan dengan dua seniornya itu di dalam ruang rapat FKSSK. Meski harus berhadap-hadapan dengan mantan atasan serta seniornya itu Chatib kemungkinan tidak akan merasa inferior dalam forum tersebut karena memiliki kompetensi kuat di bidang makroekonomi,
Bahkan Muliaman sempat memuji ‘juniornya’ itu ketika terpilih menjadi menteri keuangan. “Chatib memiliki kompetensi dan kapabilitas yang baik. Salah satunya, karena Chatib menguasai makroekonomi secara mendalam, yang menjadi peran utama Kementerian Keuangan dalam forum tersebut. Kerja antara OJK dan Kemenkeu dalam FKSSK bisa berjalan baik,” komentar dia.
Namun demikian, di Indonesia, tak bisa dinafikan begitu saja bahwa senioritas masih sangat kental berperan dalam proses menelurkan sebuah keputusan. Sikap ewuh pakewuh seringkali menjadi kerikil-kerikil penghalang dalam menghasilkan sebuah keputusan penting. Kondisi itu bisa mendorong kemungkinan terjadinya pengambilan keputusan di luar forum yang resmi.
Akan tetapi bolehlah kita berharap, bahwa ketiga otoritas itu (plus LPS) bisa mendahulukan kepentingan perekonomian nasional ketimbang harus tersandung persoalan senioritas dan ewuh pakewuh. Jadi, biarlah kondisi itu menjadi kisah unik saja bagi kita semua dalam menghadapi situasi turbulensi –yang mudah-mudah tidak menjadi krisis keuangan– ini.








Menguji Harapan Atas OJK

Otoritas Jasa Keuangan tengah menghadapi ujian sesungguhnya saat sektor keuangan menghadapi gejolak pada Agustus lalu. Dan semua respons yang dilakukan akan menentukan, apakah harapan yang disematkan kepada lembaga itu bisa terwujud atau tidak.

Di Pulau Nias, ada tradisi lompat batu, yang telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi yang disebut hombo batu atau fahombo oleh orang Nias ini lestari bersama budaya megalit di Pulau seluas 5.625 km² yang berada dalam Provinsi Sumatra Utara.
Awalnya lompat batu dilakukan sebagai tes akhir seorang pemuda untuk menjadi prajurit. Harapannya, saat berperang si pemuda dapat dengan mudah melompati pagar benteng yang tingginya sekitar 2 meter dan mengelilingi wilayah musuh. Namun kini tradisi yang persiapannya dilakukan seorang anak lelaki sejak kecil  ini dilakukan sebagai tes awal bahwa seorang lelaki dianggap dewasa dan matang secara fisik. Jika berhasil maka si pemuda dinilai sudah boleh menikah.
Ini bukanlah soal cerita budaya atau adat istiadat daerah, bukan pula kisah soal destinasi wisata. Ini adalah soal harapan dan cobaan. Ya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru berdiri awal Januari tahun ini mengantongi banyak harapan dari masyarakat dan juga pelaku di sektor jasa keuangan.  Dan baru saja lembaga itu didirikan dan mulai menyelesaikan aturan internal, ujian besar sudah menghadang.
OJK sejatinya sudah digadang-gadang untuk dihadirkan di Indonesia sejak tahun 1999. Undang-Undang Bank Indonesia No 23 tahun 1999, menetapkan bahwa OJK harus sudah berdiri paling lambat 31 Desember 2002.
Namun hingga tahun 2002 berakhir lembaga itu belum juga muncul. Bukannya mempercepat kehadiran OJK yang memang sudah telat, pemerintah bersama DPR kompak mengamendemen UU BI dengan mengeluarkan UU No. 3/2004. Di dalamnya ada tengat waktu pembentukan OJK yang baru yaitu  harus dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Lagi-lagi target meleset. Dan baru pada tahun 2012, setelah hadirnya aturan mengenai Otoritas Jasa Keuangan, kepastian pendirian lembaga itu muncul. Dan pada awal Januari tahun ini OJK berdiri dan memulai tugasnya.
Meski kehadiran OJK di Indonesia nyaris berbarengan dengan berakhirnya masa operasi Financial Services Authority (FSA) di beberapa negara, pembuat UU tetap optimistis peran otoritas itu sangat diperlukan.
Konsep pengawasan terpadu yang diadopsi OJK memang meniru apa yang diterapkan pada FSA di negara-negara seperti Inggris, Australia, dan Korea Selatan. Kendati telah berjalan lebih dulu, FSA di sana masih menghadapi  kelemahan, baik dari sisi kelembagaan, koordinasi maupun tata kelola yang baik. Kelemahan-kelemahan itulah yang katanya sudah ditutup oleh kehadiran OJK di Indonesia
Sementara itu bagi publik, pendirian otoritas itu dianggap sebagai jawaban dari banyaknya lubang-lubang dalam pengawasan sektor keuangan selama ini. Bagaimana pengawas perbankan lepas tangan atas kasus penipuan reksadana yang dilakukan sebuah bank dan menganggap itu wewenang otoritas pasar modal, adalah buktinya. Sehingga wajar kalau konsumen dan masyarakat berharap banyak pada otoritas baru itu.
Nah, situasi turbulensi dua bulan lalu ibarat ujian awal bagi kehadiran OJK di industri keuangan Tanah Air. Ketika gejolak sektor keuangan yang disebabkan wacana penghentian stimulus di AS itu muncul, OJK baru saja kelar menyelesaikan prosedur standar operasi internal.
Artinya tidak ada waktu buat santai sejenak. Beberapa hari setelah pasar keuangan mengalami pemburukan Agustus lalu ditandai oleh anjloknya indeks saham dan merosotnya nilai tukar rupiah atas dollar AS, pejabat OJK langsung mengadakan rapat. Pertemuan itu juga dihadiri otoritas lain yang masuk dalam anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Sebelumnya juga telah digelar pertemuan forum yang sama namun dihadiri oleh pejabat setingkat deputi.
Guncangan ini memang ibarat ujian awal bagi kehadiran OJK. Oleh karena itu otoritas tak mau main-main dan gegabah dalam memitigasi risiko yang bisa terjadi dari kisruh tersebut. Semua pikiran tercurah untuk mengantisipasi kemungkinan yang muncul dari pelemahan tersebut.
“Pak Muliaman sampai-sampai membatalkan rencana umrohnya,” kata sumber yang dekat dengan Muliaman D Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK.
Meski demikian, pasca mengamati situasi kondisi dan rapat yang digelar oleh forum, Muliaman menyimpulkan bahwa guncangan itu tidak berpotensi menimbulkan krisis keuangan. Kata mantan Deputi Gubernur BI ini, krisis terjadi apabila pasar keuangan terus menurun dalam jangka waktu tertentu. “Ada ukuran-ukuran internal, kalau dia turun di atas 10 persen dalam 3 hari sebetulnya kita harus mengantisipasi. ...tapi karena saham turun naik kita masih terus antisipasi secara dekat,” kata dia.
Benar saja, sebulan setelahnya pemerintah AS mengumumkan akan meneruskan langkah penyuntikan dana besar-besaran kepada sektor keuangan melalui program quantitative easing. Namun hal itu bukan berarti mengurangi kewaspadaan otoritas. Menurut Muliaman krisis masih terus mengancam sektor keuangan RI karena belum kuatnya struktur sektor tersebut. Namun forum penangkal krisis, kata dia sudah siap dalam memitigasi jika krisis tersebut benar-benar terjadi. Terlebih lagi Indonesia sudah memiliki pengalaman penanganan krisis keuangan tahun 2008.
Apa yang dikatakan Muliaman segendang sepenarian dengan penilaian Rahmat Waluyanto. Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK ini bahkan menilai bahwa potensi krisis masih mengintai sektor keuangan RI.
Pasalnya pembalikan modal yang menjadi penyebab guncangan kemarin itu masih akan terjadi jika situasi perekonomian global masih seperti sekarang. “Risk taking behaviour investor-investor sekarang ini meningkat setelah melihat yang terjadi di Amerika,” kata Rahmat.
Setelah pemerintah menggelontarkan dana besar-besaran sejak 2008 dalam program pelonggaran kuantitatif, investor menyerap semua instrumen investasi yang ada di pasar modal AS. Hal itu berlangsung dalam kurun waktu setahun sebelum akhirnya semua instrumen itu dianggap tidak lagi mencukupi hasrat mendapatkan return lebih tinggi. “Untuk memenuhi berinvestasi yang risk taker tadi maka investor td mulai menempatkan dana ke emerging market termasuk kita,” kata Rahmat.
Itulah penjelasan kenapa aset-aset dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat dan dinilai bubble oleh sebagian kalangan. Ketika aset-aset RI dinilai overvalue itulah, capital reversal sejatinya sudah mulai terjadi yaitu mulai tahun lalu. Dan sepanjang Juli-Agustus pembalikan modal itu membesar dan membuat pasar modal terbatuk-batuk. “Capital reversal yang belakangan ini membesar dan mencapai puncaknya bukanlah terjadi secara tiba-tiba,” kata Rahmat.

Pengalaman Krisis
Kendati tetap mewanti-wanti timbulnya krisis, namun otoritas optimistis bahwa Indonesia lebih siap menghadapi kemungkinan tersebut. Selain aturan-aturan terkait prudensial pada sektor keuangan sudah lebih lengkap, kini sektor keuangan sudah memiliki lembaga superbodi dalam diri OJK.
Pada 2008, sektor keuangan sempat terhuyung-huyung akibat ambruknya sektor properti di AS. Pada saat itu indeks saham dan nilai tukar juga sempat melorot dari nilai sebelumnya. Saat itu indeks harga saham gabungan turun 22 persen dari 1.426,94 pada ke level terendah 1.111,39 hanya dalam waktu sepekan.
Sementara itu, rupiah juga mengalami nasib serupa. Nilai tukar terdepresiasi dari Rp 9.161 menjadi Rp 9.506 per dolar AS sepanjang September. Pelemahan itu berlangsung tiga bulan dan pada 24 November menjadi Rp 12.650 per dollar AS. Walhasil rupiah terdepresiasi 38 persen selama tiga bulan.
Meski memastikan bahwa guncangan pada 2013 ini tidak seperti 2008 dan tidak berpotensi menyebabk krisis, OJK tetap menganggap hal itu sebuah ancaman serius buat sektor keuangan nasional. Bahkan untuk menanggulangi krisis kecil Agustus lalu, OJK sudah menerbitkan aturan buyback saham oleh emiten tanpa melewati proses rapat umum pemegang saham.  
Selain itu OJK akan memperketat pengawasan pada seluruh lembaga keuangan yang ada. Ujian krisis kecil kemarin juga seperti mengingatkan membuat pengambil kebijakan bahwa kerentanan selalu ada, dan mereka harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Indonesia pernah mengalami guncangan krisis ekonomi 1998 dan 2008. Dari situ banyak pelaku ekonomi terutama dari kalangan industri jasa keuangan mampu menghadapi krisis tersebut dengan baik. Oleh karena itu, Muliaman sang nakhoda OJK berharap bahwa ujian di sektor keuangan dua bulan lalu tak akan membuat industri labil dan bisa melewatinya. “Saya berharap industri keuangan kita masih bisa bekerja. Ibarat naik pesawat, kita sedang kena turbulensi, sehingga perlu pakai sabuk pengaman," kata Muliaman.
Begitu juga masyarakat yang berharap agar OJK mampu membawa sektor keuangan melewati segala macam turbulensi yang kemungkinan dihadapi di masa mendatang.
                                                                                                                                             
=========================================================== 


Perbandingan Krisis 2008 dan ‘Krisis’ 2013

2008, IHSG
Dalam satu pekan, indeks turun 22 persen dari 1.426,94 pada 20 Oktober ke level terendah 1.111,39 di 28 Oktober. Jika dihitung selama tiga bulan, telah terjadi pelemahan sebesar 40 persen. Indeks terus mengalami fluktuasi dan berada level 1.355,41 pada penutupan akhir 2008, atau turun 51 persen dari posisi awal tahun.

2013, IHSG
Pada Selasa (20/8), IHSG ditutup 4.174,98, turun 11 persen atau 524,75 poin selama sepekan. Indeks pernah mencapai rekor tertinggi 5.214,97 pada 20 Mei. Jika dibandingkan dengan posisi tertinggi tersebut atau selama tiga bulan, IHSG telah merosot 19,94 persen. Namun jika dilihat sejak awal tahun, indeks hanya turun 3,28 persen.

Rupiah, 2008
Rupiah mulai terdepresiasi pada awal September 2008 dari Rp 9.161 menjadi Rp 9.506 per dolar AS pada akhir September. Per 31 Oktober, rupiah kembali melemah menjadi Rp 11.050 per dolar AS. Puncak pelemahan rupiah terjadi pada 24 November menjadi Rp 12.650 per dolar AS, atau terdepresiasi 38 persen selama tiga bulan.

2013
Nilai tukar rupiah atas dollar yang terdalam berada di level 11.495 pada awal September, melemah 19 persen dari posisi terkuatnya tahun ini di 9.586. posisi ini juga merupakan posisi terendah sejak 14 tahun terakhir

Neraca Perdagangan
Pada 2008, neraca perdagangan Indonesia masih mengalami surplus US$ 7,8 miliar, meski mengalami penurunan sekitar 80 persen dibandingkan surplus tahun sebelumnya. Ini disebabkan meningkatnya impor sebesar 73 persen dari US$ 74,5 miliar menjadi US$ 129,2 miliar. Penurunan surplus disebabkan melemahnya harga komoditas global akibat krisis di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa.

2013
Sepanjang semester I, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$ 3,31 miliar. Total ekspor Indonesia sebesar US$ 91,05 miliar, turun 6,09 persen dibandingkan semester I-2012. BPS menyebutkan, penurunan ekspor terutama akibat turunnya nilai ekspor nonmigas, terutama batubara dan minyak sawit. Padahal keduanya merupakan kontributor terbesar masing-masing mencapai 17 persen dan 13 persen terhadap total ekspor.

Cadangan devisa
Pada awal 2008, cadangan devisa tercatat sebesar US$ 56,9 miliar setara dengan 5,3 bulan impor. Di akhir tahun, jumlahnya melorot menjadi US$ 51,6 miliar atau setara 4,8 bulan impor. Cadangan devisa sempat naik ke US$ 60,6 pada Juli, dan mencapai level terendah pada November sebesar US$ 50,2 miliar atau turun 17 persen akibat melemahnya nilai rupiah dan naiknya harga minyak mentah dunia.  Penurunan bulanan tertinggi terjadi pada Oktober sebesar 11 persen dari US$ 57,1 miliar pada September menjadi US$ 50,6 miliar.

2013
Dalam dua bulan, cadangan devisa Indonesia terkuras hingga US$12,5 miliar atau berkurang 12 persen menjadi US$ 92,99 pada akhir Agustus. Jumlah itu setara dengan 5,9 bulan impor. Sepanjang tahun ini, cadangan devisa berkurang lebih dari 18 persen dari posisi akhir 2012 sebesar US$112,8 miliar (7,2 bulan impor). Berkurangnya cadangan devisa itu digunakan untuk penyelamatan rupiah, selain pembayaran impor dan utang luar negeri.

Neraca Transaksi Berjalan
2008: Kecuali pada kuartal I yang mengalami surplus US$ 2,7 miliar, neraca transaksi berjalan Indonesia pada 2008 mengalami defisit. Pada kuartal II, defisit mencapai US$ 1 miliar atau 0,77 persen terhadap PDB. Pada kuartal berikutnya, defisit berkurang menjadi US$ 967 juta (0,69 persen) pada kuartal III dan US$ 637 juta (0,55 persen) di kuartal IV. Defisit tidak berlanjut di 2009 karena harga minyak mentah dunia mulai turun yang mengurangi beban impor minyak.

2013

Bank Indonesia menyebutkan, neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2013 mengalami defisit US$ 9,9 miliar atau sekitar 4,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlah ini mengalami peningkatan 69 persen dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 5,8 miliar. Defisit tersebut sekaligus melanjutkan defisit transaksi berjalan selama tujuh kuartal terakhir sejak kuartal IV-2011. 

Kembali Masuk Jalur Lambat

Guncangan di sektor keuangan sepanjang Juli-Agustus lalu ternyata membawa konsekuensi yang cukup besar buat perbankan. Bersamaan dengan pengetatan yang dilakukan otoritas sebelumnya dan pasca turbulensi, kinerja perbankan dinilai akan melambat.

“Nilai tukar adalah gorden,” kata ekonom senior Hartojo Wignyowijoto suatu kali di awal krisis 1998 lalu. “Begitu ia dibuka, kelihatanlah seisi rumahnya.”
Kalimat dari ekonom nyentrik itu kembali menemukan momentumya tahun ini ketika sejak Juni lalu, nilai tukar rupiah atas dollar AS mulai terguncang. Dan Ketika ‘tirai penutup jendela’ dibuka tampak jelas kerentanan perekonomian Indonesia terpapar dari luar.
Sampai pekan kedua September nilai rupiah terus merosot hingga 16 persen lebih rendah dari posisinya di awal tahun. Meski sempat menguat saat pengumuman The Federal Reserve, rupiah kemudian kembali ke posisi Rp11.400-an per dollar AS. Dan level itu tampaknya menjadi keseimbangan baru bagi sang tirai, nilai tukar rupiah.
Ketika tirai dibuka akan terlihatlah sektor keuangan yang mulai menyesuaikan diri dengan posisi tersebut. Yang pertama terlihat bisa jadi adalah industri perbankan. Guncangan di sektor keuangan pada Agustus lalu menambah panjang daftar ujian-ujian yang dihadapi perbankan. Sebelumnya, beberapa aturan otoritas di sektor properti dan otomotif sudah cukup untuk menohok perbankan yang selama satu dasawarsa ini selalu mencatat pertumbuhan bisnis yang menawan.
Oleh karena itu banyak pihak yang memprediksi bahwa mulai saat ini perbankan nasional akan mulai mengurangi kecepatan dalam menjalankan bisnis demi menghindari risiko yang bisa mengancam kinerjanya. Dan hal itu tentu akan membuat laba perbankan juga akan sedikit melambat.
Berdasarlan data dari statistik perbankan milik Bank Indonesia, pertumbuhan laba bersih bank per Juli 2013 tercatat Rp59,39 triliun, atau tumbuh 16,19 persen dibandingkan sebulan sebelumnya. Ini adalah pertumbuhan laba terendah sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini. dalam periode Januari- Mei laba perbankan tumbuh di atas 20 persen bahkan sempat di atas 50 persen. Laba bersih bank umum pada Juli 2013 juga hanya tumbuh 12,31 persen dibanding Juli 2012. Sementara pada periode setahun sebelumnya laba bank secara industri tumbuh 24,74 persen.
Turbulensi yang terjadi sepanjang Juli-Agustus lalu memang menjadi pukulan terbesar bagi perbankan. Perbankan harus berhadapan dengan risiko pasar yang lebih besar terkait melemahnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya suku bunga. Sebelumnya bank sudah tertekan oleh aturan otoritas terkait pengetatan di sektor properti dan otomotif lewat skema regulasi loan to value (LTV).
Oleh karena itu tidaklah mengheranka jika pada paro pertama tahun ini, rata-rata pertumbuhan laba lima bank besar terlihat menurun. Hingga Juli laba bank-bank itu tercatat 17,96 persen. Angka itu lebih rendah dibanding pertumbuhan semester pertama  tahun lalu sebesar 19,74 persen.
Jika mau ditelaah lebih dalam lagi, pelemahan laba itu juga sudah terlihat pada Bank Rakyat Indonesia. Bank yang selama ini selalu mencatatkan laba terbesar di industri, pada semester pertama tahun ini sebesar Rp10 triliun atau tumbuh 16,3 persen. Pertumbuhan labanya lebih rendah jika dibanding pertumbuhan laba semester yang sama tahun lalu yaitu Rp8,61 triliun dengan pertumbuhan laba 26,83 persen.
Juga pada bank milik investor mancanegara macam CIMB Niaga. Pertumbuhan laba bank yang dikuasai raksasa keuangan Malaysia ini turun paling dalam, yaitu dari tumbuh 28 persen pada semester pertama 2012 menjadi tumbuh hanya 8 persen pada enam bulan pertama tahun ini.
Meski demikian, bank lain terutama milik negara masih membukukan pertumbuhan laba lebih tinggi dibanding tahun lalu. Seperti Bank Mandiri. Bank beraset terbesar itu mencatatkan pertumbuhan laba 16 persen paro pertama tahun ini dengan nilai Rp8,3 triliun, sedangkan periode lalu hanya sebesar 13 persen. Pertumbuhan laba paling tinggi diduduki BNI yang mencapai 30,2 persen pada tahun ini sebesar Rp4,28 triliun. Sedangkan tahun lalu, labanya tumbuh 20,4 persen sebesar Rp3,29 triliun.

Konservatif
Menurut pelaku perbankan, melambatnya laba ini disebabkan beberapa faktor seperti perlambatan ekonomi, tingginya inflasi, kenaikan BI Rate, dan ketidakpastian ekonomi global yang membuat rupiah melemah.
Untuk itu para pengelola bank akan menerapkan strategi meningkatkan pencadangan kredit sebagai langkah konservatif menghadapi penurunan ekonomi. “Untuk kondisi ekonomi seperti saat ini, konservatif merupakan langkah terbaik," ujar Direktur Utama Bank Mandiri, Budi G Sadikin.
Sementara itu, bankir lain memperkirakan bahwa pertumbuhan laba perbankan pada akhir tahun akan lebih rendah dibanding semester pertama tahun ini. Direktur Keuangan BRI Achmad Baiquni memperkirakan perolehan laba akhir tahun diperkirakan hanya tumbuh 14-15 persen. “Kedepannya pertumbuhan laba Semester II akan lebih menurun," ujar dia.
Kondisi perekonomian yang agak melandai dan beberapa pengetatan aturan akan membuat penyaluran kredit agak tertahan bahkan cenderung menurun. Menurut data Bank Indonesia rata-rata pertumbuhan kredit enam bulan pertama tahun ini mencapai 21,8 persen, lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 23,64 persen.
Pertumbuhan bisnis bank yang menurun itu merupakan imbas dari melemahnya ekonomi Indonesia setelah dua bulan diterjang krisis mini. Guncangan ekonomi Agustus lalu membuat perekonomian hanya tumbuh di kisaran 5,9 persen, lebih rendah dari target pemerintah sebesar 6,3 persen. Inflasi juga telah melonjak 8,6 persen pada Juli dan akan membuat tekanan pada konsumsi masyarakat. Sementara itu nilai tukar terdepresiasi 14 persen lebih dan dan indeks saham juga merosot 7 persen lebih. Hal itu sebagai imbas dari hengkangnya dana-dana asing di instrumen saham dan obligasi negara.
Turbulensi ekonomi yang terjadi dua bulan lalu itu seperti sebuah rambu bagi bank bahwa sudah saatnya mereka mengurangi kecepatan dan kembali masuk jalur lambat. Trauma krisis akhir 1990-an kembali terngiang ketika sektor perbankan Indonesia runtuh setelah rupiah kehilangan sekitar 85 persen dari nilainya terhadap dollar AS. Hal itu menyebabkan pinjaman luar negeri meroket dan membuat banyak utang menjadi default.
Pada 2008, RI juga sempat terhujam krisis global yang sempat membuat perbankan terhuyung. Pada saat itu nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 38 persen sepanjang tiga bulan September hingga November. Rupiah mulai terdepresiasi pada awal September 2008 dari Rp 9.161 menjadi Rp 9.506 per dollar AS pada akhir September. Per 31 Oktober, rupiah kembali melemah menjadi Rp 11.050 per dollar AS. Puncak pelemahan rupiah terjadi pada 24 November menjadi Rp 12.650 per dollar AS.
Dan baru-baru ini penurunan mata uang rupiah terhadap dollar AS telah mencapai 14 persen dibanding posisinya pada awal tahun dan defisit transaksi berjalan yang besar telah menghidupkan kembali kenangan tidak nyaman pada masa-masa itu.

Lebih Ketat
Namun demikian banyak orang yang akan berpendapat bahwa ini bukan tahun 1990-an lagi. Kini bank-bank di Indonesia memiliki rasio modal yang tinggi yang rata-rata mencapai hampir 18 persen pada Juli. Di sisi lain pertumbuhan kredit telah melaju pada tingkat tahunan sekitar 20 persen dalam beberapa tahun terakhir dan banyak dibiayai oleh deposito daripada utang dengan mata uang dollar AS. Kredit yang tak bagus, sementara itu,  angkanya hanya 2 persen dari total kredit.
Sementara itu, Bank Indonesia sudah lebih siap dalam mengantisipasi kondisi terburuk guna menghindari pengalaman pahit krisis 97-98. Bank sentral sejak awal 2000-an sudah menerbitkan beragam aturan ketat dan pruden untuk lebih memperkokoh industri perbankan dalam negeri.
Bahkan untuk pengelolaan pinjaman luar negeri yang dilakukan perbankan, BI dianggap sudah jauh lebih baik. Bank dapat menerima dana dari luar negeri baik yang berjangka pendek maupun berjangka panjang namun harus menerapkan prinsip kehati-hatian. Bank yang akan masuk pasar untuk memperoleh utang jangka panjang wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari BI dan rencana wajib dicantumkan dalam rencana bisnis bank. Bank wajib membatasi posisi saldo harian utang jangka pendek paling tinggi 30 persen dari modal.
Pengetatan itu kembali menjadi perhatian otoritas setelah gejolak pasar modal Agustus lalu. Dalam dua bulan, BI telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin menjadi 7,25 persen. malahan BI sempat menaikkannya dalam suatu rapat dewan gubernur yang dilakukan di luar jadwal normal.
Bank sentral juga menginginkan agar sektor perbankan mengurangi laju penyaluran kreditnya agar bisa menghindari risiko munculnya kredit macet dalam jangka pendek. “Seluruh negara di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat. Oleh karena itu wajar kalau kita tidak bisa berlari terlalu kencang sementara yang lain melambat," kata Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo.
Apa yang sudah dilakukan BI dalam rangka merespons kondisi yang berlangsung belakangan ini, dinilai bukanlah tindakan pengetatan yang berlebihan. Hal itu dilakukan untuk mengamankan perekonomian terutama neraca transaksi berjalan. “Masalah kita sekarang ini adalah defisit current account yang besar, itu harus turun. Impor-impor harus turun karena kita tidak bisa mendorong ekspor terlalu lanjut," kata dia.
Selain itu, Perry menilai jika kenaikan BI Rate merupakan hal yang wajar karena kebijakan yang dilakukan tak lain salah satunya untuk kembali menggairahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Dan wajar memang berbagai policy yang kita lakukan memang karena domestic demand melambat. Dengan suku bunga, nilai tukar, pengendalian kredit dan lain-lain. Kita juga berpegangan dengan erat dengan pemerintah untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian ini, agar kita menuju kepada soft landing,” kata Perry.
Tahun lalu, kredit perbankan pada kuartal pertama tumbuh 24 persen dan pada kuartal pertama tahun ini, kredit hanya tumbuh 22,2 persen. BI mencatat perlambatan terjadi di sektor kredit modal kerja menjadi 23,7 persen lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai 25,2 persen. Kredit investasi juga melambat menjadi 23,2 persen, dari tahun lalu sebesar 30,6 persen. Dari kredit konsumsi menjadi 18,9 persen dari tahun lalu sebesar 20,5 persen.
Kucuran kredit ke sektor korporasi, juga mengalami perlambatan dan terjadi di beberapa sektor industri. Untuk industri pertambangan tahun lalu kredit berhasil tumbuh 34,4 persen, sedangkan realisasi kredit ke sektor pertambangan kuartal pertama tahun ini sebesar 19 persen. Kredit ke sektor pertanian tahun lalu mencapai 30,7 persen, sedangkan tiga bulan pertama tahun ini hanya 26,6 persen.
Kredit ke sektor konstruksi juga mengalami penurunan menjadi 17,6 persen dari 22 persen pada kuartal pertama tahun lalu. Beberapa sektor mengalami penurunan kucuran kredit secara drastis, seperti sektor jasa sosial menurun drastis dari 21,6 persen menjadi 9,6 persen. Listrik menurun dari 77,3 persen menjadi 4,6 persen.
Perlambatan tersebut, kendati demikian, dinilai BI mengarah kepada pertumbuhan yang lebih normal setelah dalam beberapa tahun terakhir melaju sangat kencang. “Ini justru mengarah dari yang dulu lebih cepat ini mengarah ke yang lebih normal,” kata Perry.
Perubahan memang akan datang untuk industri perbankan nasional. Sektor yang dalam beberapa tahun terakhir selalu menjadi sektor yang paling menguntungkan di dunia ini kini harus sedikit memperlambat lajunya dan kembali ke jalur lambat.



             Jan            Feb               Mar               Apr                     Mei              Jun                     Jul
CAR            19,31        19,29            19,08            18,74                 18,68            18,08                18,08
Laba              8.727        16.085         25.132          32.647             42.699            51.118            59.395
Kredit 2.705.601         2.736.684        2.787.372     2.844.812        2.909.085      2.982.436      3.045.511

CAR dalam persen
Laba dan Kredit dalam triliun rupiah.



Bubble or not Bubble

Tingginya permintaan dan melonjaknya harga perumahan membuat otoritas khawatir bahwa sektor itu tengah menggelembung. Namun demikian bagi pengembang dan perbankan hal itu bukanlah sesuatu yang menakutkan.

Dalam sebuah drama terkenal karya William Shakespeare, Hamlet, mengatakan ungkapan terkenal: to be or not to be. Pangeran Denmark, itu mempertanyakan makna hidup, dan apakah berguna atau tidak untuk tetap hidup ketika hidup mengandung begitu banyak kesulitan.
Bicara soal kesulitan dan masalah, perekonomian Indonesia tak pernah sepi dari hal itu. Namun demikian otoritas telah banyak mengambil pelajaran dari kesulitan-kesulitan itu, terutama kesulitan ekonomi yang terjadi pada 1998.
Pengalaman pahit krisis ekonomi 97-98, tidak hanya membekas tetapi juga telah mengukir di dalam pikiran dan benak para pengambil kebijakan. Oleh karena itu setiap kemungkinan atau simptom yang akan membawa perekonomian Indonesia ke lembah kekisruhan seperti 15 tahun lalu itu, buru-buru akan diredam, tak peduli bagaimanapun sulitnya, berapapun biayanya.
Kebijakan pemerintah yang menyuntikkan dana kepada Bank Century bisa dijadikan contoh nyata. Para pemilik otoritas bidang ekonomi memutuskan untuk menolong bank yang dinilai akan memberi efek domino pada sektor keuangan jika dibiarkan mengalami default, meski belakangan kebijakan tersebut menuai kritik bahkan hingga ke ranah politik.
Dan kini, di mata otoritas perbankan gejala itu mulai terlihat pada sektor properti. Harga-harga perumahan, apartemen maupun tempat usaha terus melenting. Harga properti residensial di Jakarta dalam lima tahun terakhir mencapai pertumbuhan hingga 80 persen. Sementara itu, konsultan properti, Cushman & Wakefield dalam risetnya menyatakan harga rumah di Jakarta sudah naik sekitar 100 persen dalam tiga tahun terakhir. Bandingkan dengan tingkat inflasi Jakarta yang pada periode yang sama hanya 16,3 persen. Kondisi ini membuktikan bahwa Indonesia, khususnya Jakarta merupakan salah satu lokasi investasi properti paling menarik di Emerging Market
Karena itu pulalah Ibukota negara Indonesia dinobatkan sebagai lokasi investasi prospektif nomor satu di Asia Pasifik. Dalam pemeringkatan tahunan yang dilakukan Pricewaterhouse Coopers dan Urban Land Institute, posisi Jakarta – Indonesia melonjak drastis dari ranking 11 pada tahun 2012 menjadi jawara nomor satu di tahun 2013.
Alih-alih membuat jumawa, peringkat nomor wahid itu justru membuat otoritas semakin khawatir bahwa kondisi tersebut berpotensi akan membawa Indonesia kembali ke masa krisis. Kenaikan harga-harga properti yang terus menerus mendekatkan perekonomian pada kemungkinan gelembung (bubble) di sektor itu. Indonesia pernah mengalami bubble properti pada pertengahan tahun 1997 yang kemudiaan pecah dan mengakibatkan krisis ekonomi di sepanjang tahun 1998-2000.
Kenaikan harga properti yang drastis saat itu tercermin dari melesatnya penyaluran kredit properti dalam bentuk kredit pemilikan rumah (KPR) atau sejenisnya. Pada tahun 1995 atau di saat harga properti sedang melonjak, laju kredit sektor properti mencapai 29 persen sedangkan rata-rata pertumbuhan kredit berbankan nasional waktu itu 24 persen. Setahun berikutnya, harga properti semakin meroket dan mendongkrak kredit yang disalurkan ke sektor ini menjadi diatas 30 persen. Pada masa itu, tingkat inflasi sebesar 8,6 persen.
Kemudian pada 1997, berbarengan dengan nilai tukar rupiah yang anjlok, gelembung tersebut pecah dan membuat kredit di sektor properti menjadi macet sehingga membuat Indonesia terperosok ke dalam krisis. Perekonomian pun harus tertatih-tatih terlebih dahulu selama lebih hampir lima tahun sebelum akhirnya benar-benar bangkit. Ketika itu, kredit macet sektor properti di perbankan nasional yang kemudian dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mencapai Rp 70 triliun.
Trauma itu terus membekas di benak otoritas hingga kini dan mereka bertekad hal itu tidak boleh terulang. Melalui sebuah survei, Bank Indonesia memberi sinyal bahwa sektor properti tengah berjalan dengan penutup maka ke arah bubble.
Berdasarkan Survei Properti Komersial yang dikeluarkan oleh BI, penyaluran kredit properti hingga Juni 2013, mencapai Rp433,31 triliun. Jumlah tersebut tumbuh sekitar 12,78 persen dibanding kuartal sebelumnya atau 20,89 persen dibanding 12 bulan sebelumnya.
Kredit properti tersebut memberikan kontribusi sebesar 14,47 persen dari total outstanding kredit bank umum atau sekitar Rp2.993,6 triliun. Secara triwulanan, pertumbuhan terbesar dialami oleh kredit konstruksi yang tumbuh sebesar 17,07 persen. Lalu diikuti perumahan dan apartemen (KPR dan KPA) yang tumbuh 12,30 persen.
Sementara proporsi dalam kredit properti tidak mengalami perubahan signifikan dari triwulan terakhir. Kredit perumahan masih merupakan pangsa terbesar dalam kredit properti yakni sebesar 59,97 persen, diikuti dengan kredit kontruksi sebesar 25 persen dan kredit real estate sekitar 15,03 persen.
Hal itu cukup membuat BI khawatir bahwa sektor perumahan akan mengalami bubble jika tidak segera dimitigasi. Apalagi sebelumnya pada Juni tahun lalu, BI sudah memperketat aturan pembelian rumah dengan mengeluarkan regulasi loan to value (LTV). Akan tetapi tampaknya aturan itu tidak mempan sehingga BI merasa perlu memperketatnya kembali. “Untuk jenis (tipe rumah) tertentu mungkin, kemungkinannya besar itu bubble,” ujar Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah beberapa waktu lalu.
Menurut laman investopedia, bubble sektor perumahan adalah sebuah kondisi melonjaknya harga perumahan yang didorong oleh permintaan dan spekulasi. Gelembung sektor perumahan biasanya dimulai dengan peningkatan permintaan. Spekulan kemudian memasuki pasar, dan mencoba memancing keuntungan melalui pembelian jangka pendek untuk dijual kembali. Hal ini semakin memicu permintaan. Pada titik tertentu, permintaan menurun atau mandeg pada saat pasokan meningkat, dan hal itu mengakibatkan penurunan tajam pada harga dan gelembung pun pecah.
Berdasarkan pengertian itu, tidak salah jika bank sentral menilai busa di sektor perumahan memang tengah menggelembung. Bahkan indikator maraknya aksi spekulasi yang muncul di sektor itu ditemukan oleh BI dalam sebuah survei.
Dalam survey yang diumumkan dua bulan lalu, BI menemukan bahwa saat ini banyak orang yang berinvestasi di sektor properti. Bahkan ada ribuan orang yang bisa membeli 9 rumah sekaligus melalui kredit di perbankan.
BI mencatat nasabah KPR yang membeli lebih dari dua rumah berjumlah 35,2 ribu orang dengan portofolio kredit mencapai Rp 31,8 triliun. Kemudian yang tengah mencicil dua rumah melalui skema KPR itu sekitar 31,3 ribu orang dengan nilai Rp 29 triliun. Sementara yang mencicil dua hingga sembilan rumah melalui KPR terdapat 35,2 ribu orang. Terdapat juga 3.884 debitur yang mencicil 3 bahkan sampai 9 rumah melalui skema KPR di bank. “Ada juga yang mencicil 9 sampai 12 bahkan 12 sampai 15 rumah. Dan jumlahnya juga ribuan,” kata Halim Alamsyah.

Masih Jauh
Meski demikian tidak semua pihak sepakat dengan kesimpulan otoritas. Yang paling menolak tentu adalah para pengembang properti. Kendati harga-harga terus naik konsisten setiap bulannya, mereka tetap tidak menerima kesimpulan bahwa sektor properti mulai menggelembung.
Potensi gelembung (bubble) ekonomi di sektor properti, menurut mereka masih jauh. Kenaikan harga rumah di lokasi-lokasi tertentu dalam beberapa tahun terakhir memang bergerak cepat, namun kenaikan tidak merata di semua lokasi. Lalu adanya kontrol yang cukup ketat dari otoritas perbankan juga turut menjaga stabilitas pasar properti terutama di Jakarta, yang makin menjauhkan adanya potensi bubble dalam jangka pendek.
Olivia Surodjo, Sekretaris Perusahaan PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) menyebutkan kondisi pasar properti di dalam negeri jauh berbeda dari Amerika Serikat. Dia menilai campur tangan Bank Indonesia dengan menaikkan uang muka kredit pemilikan rumah (KPR) menjadi minimal 30 persen dianggap positif, karena sedikit menahan laju penjualan.
Tahun lalu, tepatnya pada Juni 2012, BI mengeluarkan aturan yang mewajibkan setiap nasabah yang membeli rumah bertipe 70 meter persegi atau lebih besar dari itu dengan menggunakan kredit bank, wajib menyiapkan uang muka sebesar 30 persen dari harga rumah.
Sementara itu menurut pengembang yang lain, masih jauhnya potensi bubble properti di Indonesia karena kenaikan harga yang terjadi belum masif dan besar-besaran seperti yang terjadi di AS sebelum 2008 atau Jepang sebelum 1995.
Hal itu diungkapkan oleh Presiden Direktur PT Bakrieland Development Tbk Hiramsyah S Thaib. Menurut dia lagi, kenaikan harga yang terjadi di Indonesia juga belum berlangsung terlalu lama, setelah terjerembab krisis ekonomi 97-98. Negara-negara di kawasan ASEAN rata-rata pulih dari krisis ekonomi 1997 pada tahun 2000 dan masalah kredit macet sudah bisa diatasi.
Berbeda dengan Indonesia yang baru selesai mengatasi krisis 1998 pada tahun 2004. Harga properti pun cenderung datar sepanjang 1997-2004. Setelah itu, tahun 2006 baru mulai naik. Tapi terkena dampak krisis ekonomi 2008, kenaikan harga pun berhenti lagi dan mulai bergerak pelan lagi pada 2010. “Artinya, sebetulnya kita di properti Indonesia sudah menahan harga dari tahun 1997," ujar Hiramsyah.

Over Value bukan Bubble
Apa yang diyakini oleh pengembang mendapat dukungan dari pengamat properti Panangian Simanungkalit. Menurut dia, untuk saat ini gelembung properti sulit terjadi di Indonesia. Selain karena kondisi makro ekonomi relatif baik, secara keseluruhan kredit perbankan untuk sektor properti masih di bawah rata-rata kredit nasional.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hingga kini masih berada pada level 6 persen dengan tingkat inflasi 4,5 persen plus minus 1. Sedangkan kredit yang disalurkan perbankan ke sektor properti hanya 14 persen, sementara rata-rata kredit perbankan 21 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang konsisten selama lima tahun terakhir juga membuat lapisan kelas menengah terus bertambah. Menurut McKinsey Global Institute, saat ini jumlah kelas menengah di Indonesia sekitar 50 juta orang, dan pada tahun 2030 diperkirakan akan meningkat jadi 170 orang. Kelas menengah di sini adalah penduduk dengan pendapatan bersih per tahun di atas 3.600 dollar AS.
Dengan potensi itu tak pelak, kata sebagian besar pengamat, pasar properti Indonesia akan terus mengalami kenaikan. Ali Tranghanda adalah pengamat properti yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) mengatakan dalam sebuah artikel bahwa sejak 2009 siklus properti Indonesia memasuki tahap percepatan dan diperkirakan tahun ini mencapai titik tertinggi.
Saat ini besarnya permintaan KPR, kata dia, merupakan gambaran permintaan pasar konsumen yang tinggi, khususnya end user yang menguasai 75 persen pengguna KPR. “Dengan demikian, pasar konsumen relatif lebih nyata dibandingkan pasar investor (spekulan) yang merupakan pasar semu,” kata Ali.
Peranan konsumen investor, oleh karena itu, sangat mempengaruhi peningkatan pasar properti yang tinggi. Namun, diakui memasuki tahun 2013, pasar relatif sudah menunjukkan kejenuhan karena harga yang sudah mulai terlalu tinggi. “ (Tetapi) yang terjadi adalah over value, bukan bubble,” kata Ali.
Kenaikan harga yang signifikan hanya terjadi di segmen menengah atas dan terjadi khususnya di sektor hunian tapak (landed residential), apartemen, dan harga sewa perkantoran. Itupun hanya terjadi di beberapa lokasi, sehingga tidak menggambarkan pasar properti secara keseluruhan.
“Dari sisi perbankan kredit, rasio kredit bermasalah pun masih dibawah 3 persen dengan rasio kredit properti terhadap keseluruhan kredit masih dibawah 15 persen sehingga terlalu dini menyebutkan pasar properti sudah mengalami bubble,” jelas Ali.
Bagi pengembang dan perbankan selama permintaan tetap tinggi maka sektor properti masih jauh dari bubble. Apalagi hingga saat ini ada kesenjangan antara kebutuhan rumah bagi masyarakat Indonesia dan pasokan dari pengembang. Selain itu porsi kredit KPR terhadap yang masih minim dibandingkan dengan produk domestik bruto membuat optimisme itu membesar.
Berdasarkan catatan dari Bank Tabungan Negara (BTN), permintaan rumah mencapai 800.000 unit setiap tahunnya, sedangkan pasokannya hanya mencapai separonya saja. “Selisih kebutuhan itu terus membesar karena adanya backlog perumahan yang belum terselesaikan,” kata Direktur Utama BTN Maryono. "Kami yakin Indonesia masih jauh dari bubble.”
Menurut dia, porsi KPR dan PDB Indonesia masih di kisaran di bawah 5 persen, jauh di bawah AS yang mencapai 88 persen atau Malaysia yang hampir 30 persenan, Australia sekitar 80 persen dan Thailand 15 persen.
Boleh jadi apa yang dikatakan pengembang, perbankan dan pengamat memang benar bahwa bubble belum akan datang dalam waktu dekat ke perekonomian Indonesia. Namun seperti dalam drama Hamlet, di mana dia sampai pada kesimpulan bahwa alasan utama manusia tetap hidup adalah ketakutan akan kematian, boleh dibilang para pengembang dan perbankan juga demikian. Artinya optimisme mereka bahwa tidak akan terjadi gelembung sektor properti bukan berarti mereka berani menghadapi risiko bubble, melainkan karena mereka takut menghadapinya.
Jadi, bubble or not bubble...




Harga Properti Residensial di Pasar Sekunder Jakarta
Triwulan I-2013
Wilayah
Harga Rumah (Rp/Unit)
Pertumbuhan (% yoy)
Harga Tanah (Rp/m2)
Pertumbuhan (% yoy)
Jakarta Barat




  - Kelas Menengah
  1.347.735.682
15,39%
           7.343.916
17,53%
  - Kelas Atas
  3.107.688.633
15,72%
           7.794.799
19,15%
Jakarta Utara




  - Kelas Menengah
  1.281.436.042
16,59%
        10.695.769
18,66%
  - Kelas Atas
  3.925.662.698
17,76%
           9.388.905
21,83%
Jakarta Pusat




  - Kelas Menengah
      878.077.974
16,45%
           5.496.621
19,12%
  - Kelas Atas
  7.947.840.149
18,79%
        16.421.537
22,42%
Jakarta Timur




  - Kelas Menengah
  1.016.720.282
15,78%
           4.878.434
17,03%
  - Kelas Atas
  1.885.482.414
16,61%
           5.532.022
19,10%
Jakarta Selatan




  - Kelas Menengah
  1.490.612.989
15,83%
           7.526.167
17,22%
  - Kelas Atas
  7.196.043.493
18,14%
           9.501.813
21,70%
Sumber: Bank Indonesia/diolah
Keterangan:
Harga rumah mencakup harga tanah dan bangunan. Harga rumah merupakan harga rata-rata menurut pengelompokannya; Harga tanah merupakan harga rata-rata menurut pengelompokannya


Pertumbuhan Tahunan Indeks Harga Properti Residensial
Triwulan I-2013
Kota
Tipe Bangunan
Kecil
Menengah
Besar
Total
Bandung
6,11%
10,91%
2,61%
5,78%
Bandar Lampung
16,37%
3,22%
6,93%
8,78%
Banjarmasin
5,53%
3,36%
3,19%
4,03%
Denpasar
8,82%
10,16%
18,73%
12,54%
Palembang
8,40%
11,97%
5,10%
8,47%
Semarang
3,88%
5,00%
5,39%
4,76%
Yogyakarta
5,56%
3,73%
2,77%
4,02%
Padang
12,24%
5,70%
1,66%
6,55%
Medan
22,22%
8,30%
9,88%
13,41%
Makassar
18,49%
14,40%
6,97%
13,25%
Manado
10,41%
10,86%
2,28%
7,84%
Surabaya
16,28%
11,47%
19,47%
15,75%
Pontianak
11,29%
10,29%
0,00%
7,13%
Jabodebek-Banten
19,96%
10,79%
6,56%
12,39%
Gabungan 14 Kota
16,27%
10,03%
7,34%
11,19%

Sumber: Bank Indonesia