Kamis, 07 Februari 2013

Small is Beautiful



Bank daerah mulai diincar oleh investor asing. Meski kecil, bank itu memiliki magnet yang tak kalah kuat karena memiliki captive market yang besar dan pengelolaan dana yang menggiurkan.


Industri perbankan Indonesia masih mencicipi manisnya keuntungan bisnis di di saat perbankan di Eropa dan Amerika masih terengah-engah mempertahankan bisnisnya. Bankir-bankir di Indonesia masih bisa jumawa karena bisa mencatatkan pertumbuhan laba tahunan hingga 20 persen, seperti pada 2012 lalu. Sedangkan bank-bank di Eropa, masih mencari-cari cara untuk bertahan hidup, malahan banyak yang terpaksa menarik bisnisnya dari Asia.
Bank-bank di Indonesia, karena itu terus menjadi incaran investor global. Di sisi lain, bank asing yang sudah eksis di sini juga tak kalah agresif menggarap pasar di Indonesia. Namun kegiatan bank asing di Nusantara terancam setelah otoritas berencana mengeluarkan aturan yang lebih ketat soal perizinan pembukaan cabang dan layanan.
Bank asing tampaknya tak kehabisan akal untuk menghindari potensi hilangnya pendapatan operasionalnya. Untuk itu mereka ditengarai mulai mengintip peluang untuk memiliki saham bank-bank milik pemerintah daerah. Strategi itu dianggap tepat karena bank pembangunan daerah (BPD) bisa memiliki cabang sampai ke pelosok-pelosok dan punya keunggulan khusus dalam melayani nasabah di daerah. Peluang itu makin terbuka jika melihat bahwa banyak dari bank regional itu yang masih kekurangan modal.
Jika ditarik ke belakang, ketertarikan investor asing terhadap bank daerah memang tak bisa diketahui sejak kapan pastinya. Namun jika mau mengambil contoh kasu, tampaknya keinginan itu sudah direalisasikan pada saat Bank Jabar Banten (BJB) meluncurkan saham perdananya pada 2010. Ketika itu saham perdana yang diluncurkan pada 8 Juli 2010, diserbu investor, sampai-sampai terkena autorejection batas atas dengan kenaikan 50 persen. Volume perdagangan saham bank milik pemerintah Jawa Barat dan Banten waktu itu tercatat sebanyak 242.828 saham dengan nilai transaksi sebesar Rp 106,85 juta untuk 737 kali transaksi.
Diketahui bahwa yang ikut menyerbu saham BJB adalah investor asing karena melihat fundamental perusahaan tersebut sukup solid. Saham Bank BJB diminati investor dan institusi asing karena secara fundamental cukup solid dan mempunyai jejak rekam catatan kinerjanya cukup cemerlang.
Dan cerita itu berlanjut. Investor asing kemudian mulai terang-terangan ingin membeli BPD, salah satunya milik pemda Kalimantan Barat. Pada acara bertajuk BPD Regional Champion : Strategi Penguatan BPD ke Depan untuk Meningkatkan Daya Saing dalam Ekonomi Global di Jakarta pada akhir tahun lalu, Gubernur Kalimantan Barat Cornelis menyampaikan bahwa sudah ada investor dari Singapura yang tertarik membeli saham Bank Kalbar. “Sempat terpikir untuk menjualnya,” ujar dia.
Cornelis bisa jadi bukan satu-satunya pemilik BPD yang terbersit untuk melepas sebagian kepemilikannya ke investor. Pasalnya dalam operasionalnya, bank yang umumnya berukuran kecil itu harus melalui aturan yang cukup rumit dan berbelit, terutama harus mengikuti aturan modal minimum Rp100 miliar yang dirasa berat.
Namun justru masalah soal permodalanlah yang menjadi pintu bagi investor asing untuk masuk ke BPD. Bagi mereka hal itu bukan persoalan berat karena nantinya mereka bisa menggarap captive market BPD yang sangat besar. Selain itu potensi dana kelolaan yang berasal dari anggaran pembangunan daerah juga menjadi daya tarik tersendiri.
 Beberapa bank pembangunan daerah yang memiliki captive cukup besar, di antaranya Kalimantan, Riau, dan Papua karena memiliki dana alokasi khusus dan umum (DAK/DAU). Hal itu berpotensi menimbulkan persoalan tersendiri karena dana tersebut berasal dari anggaran yan bersumber dari pembayar pajak. Jadi jika duit pajak itu dikelola oleh pihak asing tentu berpeluang memunculkan masalah.
Oleh Karena itu, menurut Lana, harus ketegasan dari pihak Bank Indonesia mengenai ketentuan operasional BPD. “Harus ada ketegasan. Jangan sampai ada ruang abu-abu yang dapat dimanfaatkan asing untuk menyergap BPD,” jelas Lana.
Selain itu, ketentuan permodalan juga harus berbeda untuk BPD yang satu dengan BPD yang lain dan juga tidak disamakan dengan bank umum lainnya. Pasalnya tiap-tiap daerah mempunyai potensi yang berbeda-beda dan mengakibatkan daya kemampuan pun tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain. “Ketentuan (permodalan) jangan sampai mengaburkan tujuan pembangunan BPD,” ujar Lana.
Menurut dia, kepemilikan saham di BPD harus tetap dikuasai oleh pemeritah daerah dan harus steril dari dana swasta apalagi asing. Jika sampai BPD dialiri dana dari luar selain dana daerah, berarti tidak ada bedanya dengan bank campuran nasional. “Padahal BPD didirikan untuk meningkatkan potensi daerah,” ucap Lana.

Tidak Menarik
Akan tetapi tidak semua bank daerah itu menarik untuk ditanami modal. Bank-bank yang dianggap tidak menarik dapat terlihat dari performa keuangan dan bisnisnya yang tidak cemerlang. Malah bisa dikatakan, kinerja mayoritas bank daerah justru masih di bawah harapan.
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Bank Indonesia per September 2012, menggambarkan bahwa posisi aset BPD baru 9,62 persen dari total industri perbankan nasional. Dari sisi dana pihak ketiga (DPK), nilainya pun masih 11,14 persen dari total DPK perbankan. Di sisi kredit, pangsa pasarnya juga baru 8,47 persen dari total penyaluran kredit perbankan.
Begitu juga dari sisi pencapaian target modal inti, masih belum menggembirakan. Dari 26 total BPD yang ada, baru 10 BPD yang berhasil mencapai target modal inti sampai atau melebihi Rp 1 triliun, sedangkan sisanya sekitar 16 BPD masih terus berjuang keras memenuhinya. Sedangkan untuk pemenuhan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang dipatok 15 persen, sedikit lebih baik. Sudah ada 17 bank yang memenuhi, sembilan bank lainnya belum. Sementara rasio return on asset (RoA) sebesar 2,5 persen, ternyata sudah ada 21 bank BPD yang sudah memenuhi.
Begitu juga dengan pemenuhan biaya operasional dibanding pendapatan operasional (BOPO) sebesar maksimal 75 persen, baru 17 bank yang sukses mencapainya. Sedangkan untuk rasio net interest margin (NIM) sebesar maksimal 5,5 persen, ternyata baru tiga bank yang memenuhinya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menilai peranan BPD, terutama dalam pengembangan ekonomi daerah masih belum optimal. Ada beberapa indikator atau data yang mendukung itu. Seperti, indikator pertumbuhan kredit masih kurang dari 20 persen, kredit produktif kurang dari 40 persen, rasio kredit terhadap simpanan pihak ketiga (loan to deposit ratio-LDR) kurang dari 78-100 persen dan penghimpunan dana dari luar pemerintah daerah juga dinilai masih kurang dari 70 persen.

Lebih Baik Domestik
Meski begitu, para pengelola BPD tak terima jika dikatakan performanya tidak kinclong. “Kalau diurut berdasarkan peringkat, kita itu sudah ada di nomor empat, setelah Bank Mandiri, BRI, dan BCA,” ucap Eko Budiwiyono, Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (ASBANDA) di Jakarta belum lama ini. Menurutnya, BPD bisa menjadi pilihan investasi yang potensial untuk modal para pemegang saham. “Karena kondisi keuangan dan return kita cukup bagus saat ini,”
Bank-bank daerah sejak akhir 2010 terus menggenjot kinerjanya setelah keluar program dari bank sentral yaitu BPD Regional Champion (BRC). Salah satu indikator keberhasilan program itu adalah bahwa pada 2014, bank harus memiliki modal inti minimal Rp1 triliun.
Untuk segera mencapai modal sebesar itu, Eko menawarkan beberapa alternatif yang bisa dilakukan BPD. Pertama, Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) yang berasal dari Pemda dan DPRD sebagai pemilik sah BPD. Kedua, melakukan subdebt (subordinated loan). Ketiga, strategic investor, misalnya di dalam lingkungan pemda tersebut ada beberapa BUMD dan pihak-pihak lain yang berminat menanamkan modalnya di BPD. Dan yang terakhir adalah melakukan penawaran saham perdana.
Keempat strategi tersebut, membuka peluang masuknya investor swasta (lokal) atau asing yang berminat pada BPD. “Semuanya tergantung pemilik BPD (yakni Pemerintah daerah dan DPRD). Karena memang tidak ada ketentuan hukum atau peraturan yang melarangnya,” kata Eko.
Kendati demikian, Eko lebih memilih kepemilikan saham BPD jatuh ke tangan investor dalam negeri ketimbang asing. “Sebaiknya hal itu jangan sampai terjadi. Karena bank yang belum dimiliki asing adalah BPD,” tegas Eko.
Oktober lalu, Bank Mega terang-terangan mengincar BPD Sulawesi Utara jika Bank Indonesia selesai merampungkan revisi aturan mengenai kepemilikan tunggal. single presence policy masih berkutat mengenai pembahasan komposisi kepemilikan saham di suatu bank. Dalam beleid tersebut diatur kepemilikan saham maksimal mencapai 25 persen. Namun, belakangan, ada desakan agar angka itu dinaikkan menjadi 30 persen.
Jika beleid itu rampung direvisi, Bank Mega akan segera menuntaskan rencananya untuk memiliki 30 persen saham di BPD Sulawesi Utara.
Pada kesempatan yang berbeda, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang Pengawasan Perbankan Halim Alamsyah berpendapat hampir senada dengan ketua Asbanda. “Soal akuisisi dari pihak asing itu tergantung pemilik BPD,” ujarnya. Ia menambahkan, dalam struktur kepemilikan sudah ada peraturan khusus dari BI yang belum lama dikeluarkan. Begitu juga dengan ketentuan dan batasan kepemilikan saham asing juga sudah diatur di sana. “Kalau mau dijual itu ke asing, maka tergantung pemiliknya,” jelasnya.
           
Peluang Asing
Menurut pengamat perbankan Aris Yunanto, pintu masuk yang bisa digunakan investor asing untuk memiliki bank daerah adalah aturan multiple license yang sudah berlaku. Bank-bank asing kini tidak lagi mudah mendirikan cabang di daerah-daerah karena harus mendapatkan izin dari bank sentral.
Jika bank asing memiliki BPD maka mereka tidak perlu membuka cabang baru di daerah tertentu dan harus menyiapkan dana miliaran rupiah. Menurut Aris, aturan multiple license sebaiknya diberlakukan tidak serempak, tetapi bertahap. “Misalnya bank umum dulu, setelah semuanya selesai, baru diberlakukan kepada BPD. Para stakeholders BPD mempunyai sedikit waktu untuk bernafas dan secara perlahan mempersiapkan. Kalau dalam kondisi terdesak atau kalut, maka jangan dipersalahkan bila pada akhirnya BPD mengundang dana asing untuk sekedar memenuhi persayaratan agar tidak melewati tenggat waktu.,” kata Aris.
Aturan lain yang terkadang membuat bank daerah sulit menghimpun modal, adalah rumitnya BPD jika hendak melakukan IPO. Menurut Aris, banyak syarat dan aturan yang harus dipenuhi oleh BPD. “Misalnya manajemen bank yang harus bagus dan dalam lima tahun berturut-turut bank harus profit,” katanya.
Jika asing sudah menguasai bank daerah, maka pelan-pelan mereka akan merangsek masuk dan mulai menguasai lembaga keuangan lainnya yang lebih mikro, seperti bank perkreditan rakyat (BPR), koperasi, Lembaga Simpan Pinjam, ataupun lembaga keuangan lainnya.  Untuk itu, demi mencegah asing mencaplok BPD, harus ada upaya serius dari industri perbankan, salah satunya harus ada keharusan dari bank nasional untuk bermitra dengan BPD dalam banyak program. Jika tidak maka daya tarik lembaga yang kecil-kecil itu hanya bisa dinikmati oleh pihak asing.

Tak Putus Dirundung Pelemahan



Pelemahan rupiah kembali menjadi sorotan otoritas. Situasi yang berbarengan dengan beberapa kebijakan yang mengancam inflasi jelas memberi ancaman serius bagi pemerintah maupun BI. Beranikah regulator mengeluarkan kebijakan yang inovatif untuk memitigasinya?


Kontrol devisa masih menjadi barang haram di negara ini, setidaknya hingga hari ini. Namun pemikiran mengenai perlunya mengendalikan dana-dana asing dan memodifikasi sistem moneter yang teramat bebas terus muncul, ketika nilai tukar rupiah terdesak mata uang lain. Dan sekarang hal itu kembali mencuat.
Awal tahun ini, rupiah terus melemah. Pada pekan terakhir Januari, berdasarkan data kurs tengah BI rupiah bergerak di atas Rp 9.700 per dollar AS dan terus melemah. Kondisi itu melanjutkan pelemahan kurs yang sudah terjadi sepanjang tahun lalu yang mana nilai rupiah terdepresiasi hingga 7 persen.
Beragam perkiraan pelemahan itu pun muncul, dari soal pelemahan global hingga melonjaknya impor. Akan tetapi salah satu kambing hitam yang mengemuka yang membuat nilai tukar rupiah merosot, yaitu karena adanya mekanisme transaksi non delivery forward di pasar luar negeri.
Transaksi non delivery forward (NDF) merupakan produk derivatif valas yang diperdagangkan secara off the counter. NDF menawarkan lindung nilai alternatif investor asing yang memiliki eksposure mata uang lokal atau instrumen spekulatif bagi investor untuk mengambil posisi offshore atas mata uang lokal.
Pada akhir 2011 lalu, pelemahan nilai tukar rupiah juga disinyalir kuat disebabkan oleh praktik tersebut. Saat itu nilai tukar yang diperdagangkan lebih besar 4 persen dibandingkan kurs rupiah sebenarnya. Bahkan pada September tahun itu, nilai tukar sempat terpuruk di atas Rp9.000 per dollar AS. Bahkan transaksi di pasar non delivery forward sempat menyentuh level Rp9.600 per dollar AS. Di Indonesia, maka dari itu, transaksi tersebut tidak diperbolehkan alias ilegal karena tak mencerminkan transaksi sebenarnya, sehingga mengakibatkan terjadi disparitas tinggi dengan nilai tukar riil yang ada.
Namun tahun ini ada yang berbeda. Berdasarkan hasil penyelidikan, tim internal otoritas moneter Singapura seperti yang dilansir kantor berita Reuters, menemukan praktik spekulasi sejumlah mata uang negara-negara emerging market seperti rupiah (Indonesia), ringgit (Malaysia), dan dong (Vietnam).
Praktik spekulasi terhadap rupiah menjadi yang tertinggi di antara pasar negara berkembang. Tim penyidik menduga, ada 18 bank dan asosiasi keuangan yang melakukan praktik ini terhadap rupiah. Omset harian transaksi keuangan dalam bentuk rupiah di Singapura berkisar 700 juta dollar Singapura hingga 1,3 miliar dollar Singapura.
Tim juga menemukan 15 bank dan asosiasi melakukan praktik spekulasi terhadap Ringgit Malaysia, dan 12 bank dan asosiasi untuk Dong Vietnam.
Modus operandinya adalah melalui pesan singkat. Para pelaku keuangan dari beberapa perbankan di Singapura saling berkomunikasi satu sama lainnya. Beberapa nama yang diduga adalah UBS, JP Morgan Chase&Co, DBS Group Holdings Ltd, dan HSBC Holdings Plc. Dalam praktiknya, mereka menetapkan tingkat harga valas untuk transaksi NDF.
Penyelidik Negeri Singa itu menemukan bukti adanya komunikasi antar pedagang valuta asing dari beberapa bank tentang berapa nilai tukar yang akan mereka ajukan kepada asosiasi perbankan untuk transaksi devisa non-delivery forward guna mengambil keuntungan dalam transaksi perdagangan mereka.
Penemuan ini jelas membuat geger industri keuangan dan memperluas skandal global ke Asia Tenggara. Sebelumnya kasus kecurangan juga terjadi pada suku bunga LIBOR (London Inter-Bank Offer Rate) dengan memanipulasi tingkat bunga antar bank. Kasus itu telah menempatkan perbankan di bawah pengawasan ketat dan berpacu di antara regulasi dan institusi untuk mempertimbangkan kembali bagaimana penetapan tingkat bunga dan kurs mata uang.
LIBOR adalah suku bunga pinjaman antarbank yang berpusat di London, Inggris dan menjadi acuan dalam suku bunga global. Ada sekitar 16 bank besar asal Eropa, Kanada, Amerika Serikat dan Jepang yang terlibat dalam penentuan LIBOR. Bank-bank itu telah menginformasikan suku bunga LIBOR secara tidak benar, dan mematok angka Libor seenaknya.
Terhadap indikasi kecurangan pada transaksi NDF di Singapura, Bank Indonesia (BI) tengah meminta laporan resmi dari kantor perwakilannya di Singapura. BI setiap tahunnya memang rutin melakukan komunikasi bilateral yang intensif dengan bank-bank sentral di kawasan termasuk Singapura.
Untuk kasus NDF ini juru bicara bank sentral Difi A Johansyah mengatakan, "Ada pemeriksaan khusus, termasuk tukar menukar data bank," ujar dia. “Namun, untuk kasus ini, BI tak bisa langsung masuk karena terjadi di Singapura.”
Praktik memanipulasi nilai tukar rupiah ini jelas akan berdampak pada kurs rupiah dan perekonomian nasional. Pengamat meminta agar BI benar-benar mendalami kasus ini karena jika praktik itu terus berlanjut maka kurs rupiah akan terus dipermainkan.
Jika dalam praktik tersebut ada keterlibatan pelaku pasar keuangan dan pasar modal di dalam negeri, maka efeknya cukup panjang. Misalnya, kemampuan bank menyedot likuditasnya kurang. "BI dan Kementerian Keuangan harus pro aktif melakukan komunikasi dengan otoritas Singapura," ekonom Drajad Wibowo.
Jika bank-bank yang diduga tersebut terlibat komunikasi dengan bank dalam negeri, menurut dia, maka mereka bisa tersangkut masalah. Pelaku bisa dijerat melalui Undang Undang Persaingan Usaha atau sanksi dari PBI.

Antisipasi Bank Sentral
Meski belum menohok, kasus tersebut jelas  menjadi ancaman tambahan bagi Bank Indonesia dalam mengelola nilai tukar rupiah. Tahun lalu, BI juga sempat kerepotan ketika peningkatan impor yang mendongkrak kebutuhan dollar AS di pasar telah menekan rupiah. Pada pertengahan tahun lalu impor sempat meningkat hingga lebih dari 10 persen yang mencuatkan kondisi defisit transaksi berjalan. Angka defisit pada saat yang sama sempat melampaui 3 persen.
Jika kondisi pelemahan itu berlanjut dan dianggap terlalu dalam maka bank sentral membuka peluang untuk menaikkan suku bunga acuan. “Apabila depresiasi berlebihan dan berkepanjangan kami akan bisa bereaksi kepada interest policy. Kalau itu sudah mengganggu inflasi," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hartadi A. Sarwono.
BI tahun ini akan berpapasan dengan kemungkinan peningkatan inflasi seiring naiknya pengeluaran pemerintah menjelang pemilihan umum serta rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Selain itu besarnya kebutuhan dollar AS setelah program baru dari pemerintahan Obama jilid dua juga akan akan memicu pelemahan rupiah.
Bulan lalu, Rapat Dewan Gubernur BI menetapkan suku bunga acuan tetap di level 5,75 persen. Tingkat suku bunga tersebut telah bertahan selama hampir setahun karena dianggap masih sesuai dengan sasaran inflasi tahun 2013 dan 2014, sebesar 3,5 hingga 5,5 persen.
Menurut kurs tengah BI pekan terakhir Januari lalu, rupiah bergerak di atas Rp 9.700 per dolar AS. BI belum melihat dampak depresiasi rupiah pada inflasi. Adapun dari segi pasokan dan permintaan valuta asing di pasar, BI masih sanggup memenuhinya karena masih ada surplus pada transaksi modal dan finansial, meski ancaman defisit transaksi berjalan masih mengintai.
BI juga meyakinkan bahwa cadangan devisa masih cukup untuk BI melakukan intervensi. Hingga akhir Desember 2012, cadangan devisa mencapai 112,78 miliar dollar AS atau setara dengan 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Masih menurut Hartadi, nilai tukar rupiah ke depan, masih mendapat tantangan dari segi eksternal yakni kebijakan ekonomi Amerika Serikat. "Fiscal cliff memang sudah lewat, tapi kita tak tahu implementasinya seperti apa. Perombakan kabinet AS juga masih ditunggu pasar. Ketidakpastian itu mungkin akan memberi dampak terhadap pelemahan nilai tukar," ujarnya.

Pajak Tobin
Ancaman pelemahan rupiah dipastikan tidak akan berhenti selama sistem devisa bebas masih diadopsi oleh otoritas moneter. Meski begitu, BI tidak kehilangan imajinasinya untuk mencegah penggerusan rupiah di pasar dengan cara-cara kreatif. Tahun 2011 lalu, bank sentral mengeluarkan kebijakan baru soal giro wajib minimum valas. Regulator menaikkan rasio setoran wajib bank dengan dana pihak ketiga berbentuk valas hingga 8 persen dari level sebelumnya yang masih 1 persen. Hal itu akan diterapkan bertahap yaitu rasio GWM dinaikkan dari 1 persen menjadi 5 persen pada 1 Maret 2011 dan kemudian dinaikkan lagi menjadi 8 persen pada 1 Juni 2011.
BI sebelumnya juga telah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan perusahaan serta bank untuk lebih berhati-hati dalam menyerap valas dengan menerapkan kembali batasan pinjaman Saldo Harian Pinjaman Luar Negeri bank jangka pendek.
Bank Indonesia menerbitkan PBI No.12/1/PBI/2010 tentang Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank yang merupakan perubahan dari PBI No.10/7/PBI/2008. Pinjaman Luar Negeri (PLN) Perusahaan Bukan Bank adalah semua bentuk pinjaman perusahaan dari bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan oleh perusahaan, dan kewajiban lain kepada bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, termasuk juga yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
Terakhir, pada Agustus tahun lalu, BI juga telah menerbitkan aturan baru terkait penerimaan devisa hasil ekspor (DHE) dan penarikan devisa utang luar negeri (DULN). Aturan ini terangkum dalam Peraturan Bank Indonesia No 14/11/PBI/2012 yang merevisi PBI No 13/20/PBI/2011.
Penerbitan kebijakan ini, dilatarbelakangi fakta adanya penerimaan devisa ekspor dan penarikan utang luar negeri banyak yang tidak melalui bank devisa di Indonesia. Hal tersebut berdampak pada keseimbangan pasokan dan permintaan di pasar valuta asing domestik yang sebagian dipenuhi oleh aliran modal jangka pendek yang rentan terhadap pembalikan (sudden capital reversal) dan dapat menganggu stabilitas nilai tukar dan makroekonomi. Dengan kebijakan ini diharapkan pasokan valas di pasar domestik menjadi lebih stabil dan berkelanjutan serta menciptakan pasar keuangan yang lebih stabil.
Sejatinya BI masih memungkinkan untuk mengeluarkan kebijakan baru yang relevan dengan kondisi sekarang. Di saat banyak spekulan memanfaatkan transaksi kurs, maka pemerintah bisa saja mengeluarkan aturan pajak Tobin. Pajak itu memang dirancang untuk mengurangi spekulasi di pasar mata uang, yang dipandang tidak produktif. Artinya, setiap kegiatan pembelian atau penjualan mata uang yang tidak dilandasi oleh transaksi atau kebutuhan yang riil atau memiliki underlying maka transaksi itu harus dikenakan pajak.
Menurut ekonom Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Sri Adiningsih, kebijakan itu dinilai cukup efektif untuk mengantisipasi potensi sudden reversal atau arus keluar dana asing jangka pendek yang bisa terjadi secara tiba-tiba.
Pajak Tobin merupakan gagasan pengenaan pajak terhadap transaksi valas yang dikenalkan oleh James Tobin, guru besar Universitas Yale, Amerika Serikat. Konsep itu sering dinilai sebagai bentuk kontrol modal (capital control) yang mencoba membatasi keluar-masuknya dana asing berjangka pendek.
Akan tetapi inovasi baru dalam pengelolaan pasar keuangan Indonesia itu membutuhkan keberanian regulator untuk melakukannya. Berdasarkan pengalaman selama ini, hal itu sulit untuk diwujudkan.


Grafik Kurs Rupiah Sepanjang 2012
http://www.bi.go.id/biweb/TimeSeries/tsKursValutaChart.asp?series=select&kategori=lokal&id=USD&startdate=1/1/2012&enddate=1/1/2013