Bank daerah mulai diincar oleh investor asing. Meski kecil, bank itu memiliki magnet yang tak
kalah kuat karena memiliki captive market yang besar dan pengelolaan
dana yang menggiurkan.
Industri perbankan Indonesia masih mencicipi
manisnya keuntungan bisnis di di saat perbankan di Eropa dan Amerika masih
terengah-engah mempertahankan bisnisnya. Bankir-bankir di Indonesia masih bisa
jumawa karena bisa mencatatkan pertumbuhan laba tahunan hingga 20 persen, seperti
pada 2012 lalu. Sedangkan bank-bank di Eropa, masih mencari-cari cara untuk
bertahan hidup, malahan banyak yang terpaksa menarik bisnisnya dari Asia.
Bank-bank di Indonesia, karena itu terus menjadi
incaran investor global. Di sisi lain, bank asing yang sudah eksis di sini juga
tak kalah agresif menggarap pasar di Indonesia. Namun kegiatan bank asing di
Nusantara terancam setelah otoritas berencana mengeluarkan aturan yang lebih
ketat soal perizinan pembukaan cabang dan layanan.
Bank asing tampaknya tak kehabisan akal untuk
menghindari potensi hilangnya pendapatan operasionalnya. Untuk itu mereka
ditengarai mulai mengintip peluang untuk memiliki saham bank-bank milik
pemerintah daerah. Strategi itu dianggap tepat karena bank pembangunan daerah
(BPD) bisa memiliki cabang sampai ke pelosok-pelosok dan punya keunggulan
khusus dalam melayani nasabah di daerah. Peluang itu makin terbuka jika melihat
bahwa banyak dari bank regional itu yang masih kekurangan modal.
Jika ditarik ke belakang, ketertarikan
investor asing terhadap bank daerah memang tak bisa diketahui sejak kapan pastinya. Namun jika mau mengambil contoh kasu, tampaknya keinginan
itu sudah direalisasikan pada saat Bank Jabar
Banten (BJB) meluncurkan saham perdananya pada 2010. Ketika itu saham perdana
yang diluncurkan pada 8 Juli 2010, diserbu investor, sampai-sampai
terkena autorejection batas atas dengan kenaikan 50 persen. Volume
perdagangan saham bank milik
pemerintah Jawa Barat dan Banten waktu itu
tercatat sebanyak 242.828 saham dengan nilai transaksi sebesar Rp 106,85 juta
untuk 737 kali transaksi.
Diketahui bahwa yang ikut menyerbu saham BJB adalah investor asing karena melihat fundamental perusahaan tersebut sukup solid. Saham
Bank BJB diminati investor dan institusi asing karena secara fundamental cukup solid dan
mempunyai jejak rekam catatan kinerjanya cukup cemerlang.
Dan cerita itu berlanjut. Investor asing kemudian mulai terang-terangan
ingin membeli BPD, salah satunya milik pemda Kalimantan Barat. Pada acara
bertajuk BPD Regional Champion : Strategi
Penguatan BPD ke Depan untuk Meningkatkan Daya Saing dalam Ekonomi Global di Jakarta pada akhir tahun lalu, Gubernur Kalimantan Barat
Cornelis menyampaikan bahwa sudah ada investor dari Singapura yang tertarik
membeli saham Bank Kalbar. “Sempat terpikir untuk menjualnya,” ujar dia.
Cornelis bisa jadi bukan satu-satunya pemilik BPD yang terbersit untuk
melepas sebagian kepemilikannya ke investor. Pasalnya dalam operasionalnya, bank
yang umumnya berukuran kecil itu harus melalui aturan yang cukup rumit dan
berbelit, terutama harus mengikuti aturan modal minimum Rp100 miliar yang
dirasa berat.
Namun justru masalah soal permodalanlah yang menjadi pintu bagi investor
asing untuk masuk ke BPD. Bagi mereka hal itu bukan persoalan berat karena
nantinya mereka bisa menggarap captive
market BPD yang sangat besar. Selain itu potensi dana kelolaan yang berasal
dari anggaran pembangunan daerah juga menjadi daya tarik tersendiri.
Beberapa bank pembangunan daerah yang memiliki captive
cukup besar, di antaranya Kalimantan, Riau, dan Papua karena memiliki dana alokasi khusus dan umum
(DAK/DAU). Hal itu berpotensi
menimbulkan persoalan tersendiri karena dana tersebut berasal dari anggaran yan
bersumber dari pembayar pajak. Jadi jika duit pajak itu dikelola oleh pihak
asing tentu berpeluang memunculkan masalah.
Oleh Karena itu, menurut Lana, harus
ketegasan dari pihak Bank Indonesia mengenai ketentuan operasional BPD. “Harus
ada ketegasan. Jangan sampai ada ruang abu-abu yang dapat dimanfaatkan asing
untuk menyergap BPD,” jelas Lana.
Selain itu, ketentuan permodalan juga harus berbeda untuk BPD yang satu
dengan BPD yang lain dan juga tidak disamakan dengan bank umum lainnya.
Pasalnya tiap-tiap
daerah mempunyai potensi yang berbeda-beda dan mengakibatkan daya kemampuan pun
tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain. “Ketentuan (permodalan) jangan
sampai mengaburkan tujuan pembangunan BPD,” ujar Lana.
Menurut dia, kepemilikan saham di BPD harus tetap dikuasai oleh pemeritah daerah dan harus
steril dari dana swasta apalagi asing. Jika
sampai BPD dialiri dana dari luar selain dana daerah, berarti tidak ada bedanya
dengan bank campuran nasional. “Padahal BPD didirikan untuk meningkatkan
potensi daerah,” ucap Lana.
Tidak Menarik
Akan tetapi tidak semua bank daerah itu menarik untuk ditanami modal.
Bank-bank yang dianggap tidak menarik dapat
terlihat dari performa keuangan dan bisnisnya yang tidak cemerlang. Malah bisa dikatakan,
kinerja mayoritas
bank daerah justru masih di bawah harapan.
Statistik
Perbankan Indonesia (SPI) Bank Indonesia per September 2012, menggambarkan bahwa posisi
aset BPD baru 9,62 persen dari total industri perbankan nasional. Dari sisi
dana pihak ketiga (DPK), nilainya pun masih 11,14 persen dari total DPK
perbankan. Di sisi kredit, pangsa pasarnya juga baru 8,47 persen dari total
penyaluran kredit perbankan.
Begitu
juga dari sisi pencapaian target modal inti, masih belum menggembirakan. Dari
26 total BPD yang ada, baru 10 BPD yang berhasil mencapai target modal inti sampai atau
melebihi Rp 1 triliun, sedangkan sisanya sekitar 16 BPD masih terus berjuang
keras memenuhinya. Sedangkan untuk pemenuhan rasio kecukupan modal (capital
adequacy ratio/CAR) yang dipatok 15 persen, sedikit lebih baik. Sudah ada
17 bank yang memenuhi, sembilan bank lainnya belum. Sementara rasio return
on asset (RoA) sebesar 2,5 persen, ternyata sudah ada 21 bank BPD yang
sudah memenuhi.
Begitu
juga dengan pemenuhan biaya operasional dibanding pendapatan operasional (BOPO)
sebesar maksimal 75 persen, baru 17 bank yang sukses mencapainya. Sedangkan
untuk rasio net interest margin (NIM) sebesar maksimal 5,5 persen, ternyata
baru tiga bank yang memenuhinya.
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menilai peranan BPD, terutama dalam pengembangan
ekonomi daerah masih belum optimal. Ada beberapa indikator atau data yang
mendukung itu. Seperti, indikator pertumbuhan kredit masih kurang dari 20
persen, kredit produktif kurang dari 40 persen, rasio kredit terhadap simpanan
pihak ketiga (loan to deposit ratio-LDR) kurang dari 78-100 persen dan
penghimpunan dana dari luar pemerintah daerah juga dinilai masih kurang dari 70
persen.
Lebih Baik Domestik
Meski begitu, para pengelola BPD tak terima jika dikatakan performanya
tidak kinclong. “Kalau diurut berdasarkan peringkat,
kita itu sudah ada di nomor empat, setelah Bank Mandiri, BRI, dan BCA,” ucap
Eko Budiwiyono, Ketua
Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (ASBANDA) di Jakarta belum lama ini.
Menurutnya, BPD bisa menjadi pilihan investasi yang potensial untuk modal para
pemegang saham. “Karena kondisi keuangan dan return kita cukup bagus
saat ini,”
Bank-bank daerah sejak akhir 2010 terus menggenjot kinerjanya setelah
keluar program dari bank sentral yaitu BPD
Regional Champion (BRC). Salah satu
indikator keberhasilan program itu adalah bahwa pada
2014,
bank harus memiliki
modal inti minimal Rp1 triliun.
Untuk segera mencapai modal sebesar itu, Eko
menawarkan beberapa alternatif yang bisa dilakukan BPD. Pertama, Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) yang berasal dari Pemda dan
DPRD sebagai pemilik sah BPD. Kedua, melakukan subdebt (subordinated loan). Ketiga, strategic investor,
misalnya di dalam lingkungan pemda tersebut ada beberapa BUMD dan pihak-pihak
lain yang berminat menanamkan modalnya di BPD. Dan yang terakhir adalah melakukan penawaran saham perdana.
Keempat strategi tersebut, membuka peluang masuknya investor
swasta (lokal) atau asing yang berminat pada BPD. “Semuanya tergantung pemilik BPD (yakni Pemerintah daerah dan DPRD).
Karena memang tidak ada ketentuan hukum atau peraturan yang melarangnya,” kata Eko.
Kendati demikian, Eko lebih memilih kepemilikan saham BPD jatuh ke tangan
investor dalam negeri ketimbang asing. “Sebaiknya
hal itu jangan sampai terjadi. Karena bank yang belum dimiliki asing adalah BPD,”
tegas Eko.
Oktober lalu, Bank Mega terang-terangan mengincar BPD Sulawesi Utara jika
Bank Indonesia selesai merampungkan revisi aturan mengenai kepemilikan tunggal.
single presence policy masih berkutat
mengenai pembahasan komposisi kepemilikan saham di suatu bank. Dalam beleid
tersebut diatur kepemilikan saham maksimal mencapai 25 persen. Namun,
belakangan, ada desakan agar angka itu dinaikkan menjadi 30 persen.
Jika beleid itu rampung direvisi, Bank Mega akan segera menuntaskan
rencananya untuk memiliki 30 persen saham di BPD Sulawesi Utara.
Pada
kesempatan yang berbeda, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang Pengawasan
Perbankan Halim Alamsyah berpendapat hampir senada dengan ketua Asbanda. “Soal
akuisisi dari pihak asing itu tergantung pemilik BPD,” ujarnya. Ia menambahkan,
dalam struktur kepemilikan sudah ada peraturan khusus dari BI yang belum lama
dikeluarkan. Begitu juga dengan ketentuan dan batasan kepemilikan saham asing
juga sudah diatur di sana. “Kalau mau dijual itu ke asing, maka tergantung
pemiliknya,” jelasnya.
Peluang Asing
Menurut pengamat perbankan Aris Yunanto, pintu masuk yang
bisa digunakan investor asing untuk memiliki bank daerah adalah aturan multiple license yang sudah berlaku. Bank-bank asing kini tidak lagi
mudah mendirikan cabang di daerah-daerah karena harus mendapatkan izin dari
bank sentral.
Jika bank asing memiliki BPD maka mereka tidak perlu membuka cabang baru di
daerah tertentu dan harus menyiapkan dana miliaran rupiah. Menurut Aris, aturan multiple license sebaiknya
diberlakukan tidak serempak, tetapi bertahap. “Misalnya bank umum dulu, setelah
semuanya selesai, baru diberlakukan kepada BPD. Para stakeholders BPD mempunyai
sedikit waktu untuk bernafas dan secara perlahan mempersiapkan. Kalau dalam
kondisi terdesak atau kalut, maka jangan dipersalahkan bila pada akhirnya BPD
mengundang dana asing untuk sekedar memenuhi persayaratan agar tidak melewati
tenggat waktu.,” kata Aris.
Aturan
lain yang terkadang membuat bank daerah sulit menghimpun modal, adalah rumitnya
BPD jika hendak melakukan IPO. Menurut Aris, banyak syarat dan aturan yang
harus dipenuhi oleh BPD. “Misalnya manajemen bank yang harus bagus dan dalam
lima tahun berturut-turut bank harus profit,” katanya.
Jika
asing sudah menguasai bank daerah, maka pelan-pelan mereka akan merangsek masuk
dan mulai menguasai lembaga keuangan lainnya yang lebih mikro, seperti bank perkreditan rakyat (BPR), koperasi,
Lembaga Simpan Pinjam, ataupun lembaga keuangan lainnya. Untuk itu, demi mencegah asing mencaplok BPD, harus ada upaya serius dari industri perbankan, salah
satunya harus ada keharusan dari bank nasional untuk bermitra dengan
BPD dalam banyak program. Jika tidak maka
daya tarik lembaga yang kecil-kecil itu hanya bisa dinikmati oleh pihak asing.