Kamis, 07 Maret 2013

Meniti Langkah Keluar dari Kotak



Bank perlu memiliki lingkungan kerja yang mendukung berkembangnya budaya inovasi. Kondisi tersebut akan menciptakan sebuah bank yang selalu berpikir out of the box demi memenangkan persaingan bisnis.

Tiada yang tak berubah di dunia itu, kecuali perubahan itu sendiri. Penggalan kalimat yang dipercaya dikutip dari Heraclitus, seorang filsuf Yunani yang hidup antara 540-480 SM, sering digunakan untuk memberikan penekanan pada pentingnya perubahan. Dalam kehidupan di muka bumi ini perubahan memang merupakan faktor yang berada di luar kendali manusia. Dalam bisnis pun demikian. Perusahaan yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan akan tergilas dengan perubahan.
Oleh karena itu, lembaga bernama bank yang kita lihat sekarang sudah jauh berbeda dengan ketika pertama kali muncul pada abad ke-17. Dahulu, bank hanya memiliki fungsi sebagai tempat masyarakat menyimpan uang, kini tidak ada bank hanya menjalankan fungsi itu. Industri perbankan disebut-sebut sebagai salah satu institusi yang selalu bisa menyesuaikan diri dengan perubahan dalam lingkungan bisnis dan tren.
Lebih dari itu bank juga dituntut untuk bisa memprediksi masa depan karena mengetahu apa yang bakal terjadi di masa yang akan datang tentu sangat berguna bagi bank. Itulah yang diungkapkan dalam sebuah tulisan Axel Liebetrau, seorang konsultan yang terafiliasi dengan Zukunftsinstitut, sebuah lembaga pemberdayaan konsumen di Jerman.
Menurut Axel, masa depan jelas tidak bisa diketahui, namun bank dapat membuat asumsi. Dan lembaga keuangan itu dapat mendapatkannya melalui penelitian dari sebuah tren dan bagaimana hal itu berimplikasi bagi bank.
Pengelola bank tentu tidak bisa mematikan sebelumnya, bahwa pemberian kredit akan menjadi fungsi lain yang tidak bisa dipisahkan dari fungsi menyimpan dana. Namun karena melihat kecenderungan di masyarakat yang juga menginginkan pinjaman dana untuk berbagai kebutuhannya maka bank pun menyediakannya.
Kebiasaan memprediksi apa yang dibutuhkan nasabah dari kebiasaan nasabah terus berlanjut hingga sekarang di saat bank berupaya untuk memenuhi kebutuhan finansial nasabahnya dari A sampai Z sehingga muncullah istilah one stop financial services. Bank tak lagi hanya lembaga intermediasi (perantara antara pemiliki dana dan peminjam), namun juga menyediakan produk asuransi, sekuritas, bahkan bisa menjadi konsultan keuangan bagi nasabahnya. Fenomena priority banking bisa menjelaskan hal itu.
Kini bank dinilai memiliki alat dan metodologi untuk mendukung prediksi bisnis di masa depan. Meski demikian menurut Axel, hal itu tidak mudah diterapkan karena itu tugas jangka menengah dan panjang manajemen yang mempengaruhi beberapa aspek utama dari bank. “(Namun begitu) sebuah budaya inovasi dan terbukanya pendekatan lateral untuk berpikir adalah hal penting untuk menerapkannya,” kata Axel.
Apa yang diungkapkan Axel tak pelak merupakan prasyarat mutlak untuk bertahan dalam bisnis perbankan. Artinya jika ingin memenangkan persaingan maka bank harus memastikan bahwa  mereka memiliki budaya inovasi yang kental dan kebiasaan berpikir out of the box yang tentunya tercermin dari pegawai-pegawainya. Berpikir keluar dari kotak adalah cara berpikir yang berani menerobos liar, keluar dari apa yang umumnya dipikirkan kebanyakan orang. Namun output yang dihasilkannya harus memiliki keunikan, one of a kind.
Kita tentu masih ingat sekitar 10 tahun lalu saat Bank Danamon mulai membidik segmen mikro dengan meluncurkan layanan Danamon Simpan Pinjam (DSP). Saat itu tidak banyak bank besar yang berani memberikan kredit kepada pedagang pasar a la tukang kredit. Tukang kredit adalah kreditur perseorangan yang meminjamkan dana kepada masyarakat kecil dengan cara menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari mereka. Cara penagihannya adalah dengan mendatangi peminjam satu demi satu setiap hari untuk mengumpulkan cicilan yang kadang hanya beberapa ribu rupiah saja.
Bank Danamon berani terjun ke segmen itu, yang biasanya digarap oleh bank perkreditan rakyat. Namun bank yang sahamnya dikuasai investor Singapura itu menyiapkan sistem yang lebih canggih yaitu dengan menggunakan sebuah mesin semacam EDC (electronic data capture). Mesin yang biasanya digunakan untuk memproses transaksi kartu kredit itu dimodifikasi untuk mencatat cicilan harian dari nasabah.
Walhasil, dengan terobosan itu Bank Danamon berhasil men-generate bisnis usaha mikro bahkan mulai bisa mengganggu kemapanan BRI yang selama ini terkenal memimpin pasar kredit mikro.
Ada juga inovasi yang dilakukan BII sewaktu meluncurkan produk tabungan khusus perempuan. Tabungan pertama di Indonesia yang diperuntukkan khusus bagi perempuan ini memang cukup ‘berbeda’ dengan produk tabungan lainnya karena hanya perempuan baik wanita muda, profesional, maupun ibu rumah tangga yang boleh menikmatinya.
Atau produk KPR Smart Saving dari CIMB Niaga. Bank yang mayoritas sahamnya dikuasai investor Malaysia menawarkan produk yangg mengkombinasikan produk KPR dan tabungan. Lewat produk ini nantinya nasabah dapat menggunakan bunga tabungannya untuk mengurangi bunga pinjaman KPR-nya hingga nol persen.
Yang paling mutakhir adalah terobosan yang dilakukan Citibank. Bank asal AS itu sebelumnya dilarang Bank Indonesia menerbitkan kartu kredit selama dua tahun ke depan, sebagai sanksi dari kematian nasabahnya setelah bertemu debt collector. Namun Citibank bisa “keluar dari kotak” dan secara cerdas berinovasi dengan mengeluarkan Citibank Ready Credit (CRC) pada April lalu.
Produk CRC tergolong unik karena merupakan perpaduan kartu kredit dan kredit tanpa angunan (KTA). Mirip kartu kredit karena penghitungan bunga, pembayaran minimal dari total tagihan (minimum payment), pengiriman rincian transaksi (billing statement) ke nasabah setiap bulan, hingga adanya batasan plafon pinjaman adalah sistem yang dipakai dalam kartu kredit.
Namun berbeda dengan kartu kredit, CRC tidak bisa langsung digunakan untuk bertransaksi. Nasabah yang ingin menggunakan CRC harus melakukan tarik tunai ke ATM. 

Proses Perubahan
Akan tetapi, apa yang dilakukan bank-bank tersebut tentu tidak disiapkan dalam satu dua hari. Perlu proses yang panjang dan penelitain mendalam sebelum menemukan ide kreatif itu dan meluncurkannya. Semua harus bermula pada kesadaran individu di internal bank bahwa mereka harus terus berubah, karena tidak akan ada pemikiran out of the box jika tak ada dukungan terhadap perubahan.
Profesor John P Kotter, Guru Besar Leadership dari Harvard Business School, dalam bukunya, Leading Change (1996) dan The Heart of Change (2002), menganjurkan delapan tahap dalam melakukan sebelum bank bisa melakukan terobosan dan perubahan.
Pertama, Establishing A Sense Of Urgency (menetapkan keadaan darurat) ketika berbagai indikasi menunjukkan gejala menurun. Kedua, Creating the Guiding Coalition (membentuk koalisi atau tim yang akan memimpin perubahan).
Ketiga, Developing a Vision and Strategy (membangun visi dan strategi). Keempat, Communicating the Change Vision (mengomunikasikan perubahan visi). Kelima, Empowering Employees for Broad-Based Action (memperlengkapi karyawan dengan tindakan yang beruang lingkup luas).
Keenam, Generating Short-Term Wins (melahirkan kemenangan, keberhasilan jangka pendek). Ketujuh, Consolidating Gains and Producing More Change (mengonsolidasikan keberhasilan-keberhasilan dan melahirkan perubahan-perubahan berikutnya). Kedelapan, Anchoring New Approaches in the Culture (memasukkan pendekatan-pendekatan baru hasil perubahan ke dalam budaya perusahaan).
Jadi, bank manapun yang ingin selalu memenangkan persaingan tentu sudah tahu apa yang harus dilakukan. Tinggal bagaimana mereka menerapkannya.
(ditulis April 2012)

Old Bankers Never Dies



Selain memberi kesempatan kepada yang berusia muda, industri perbankan juga memberi tempat tersendiri kepada bankir-bankir tua. Meski jumlahnya sedikit namun perannya seringkali tak tergantikan.


Dalam industri perbankan modern seperti saat ini, usia memang bukan penghalang seseorang meraih jabatan tertinggi. Namun dalam bisnis yang penuh persaingan dan penuh aturan, kematangan diri dan pengalaman tentu akan menjadi pembeda antara satu bankir dengan yang lain. Kematangan diri dan pengalaman tentu tidak bisa dipisahkan durasi jam terbang dan karena itu juga dari faktor usia.
Beberapa tahun terakhir ini, jika kita perhatikan, memang telah banyak bermunculan bankir-bankir berusia muda (berusia sekitar 40 tahun) yang sudah menjabat sebagai direktur di bank-bank besar. Jumlahnya bahkan sudah mendominasi bank-bank besar. Fenomena itu berbeda sekali jika dibandingkan pada beberapa dasawarsa yang lalu saat industri perbankan memulai masa-masa perkembangannya.
Pada era 80an hingga 90an, direktur sebuah bank selalu didominasi oleh seseorang yang berusia di atas 50 tahun bahkan di atas 55 tahun. Kini dari sekitar 100 direktur di sepuluh bank-bank besar, hanya 18 orang yang berusia di atas 56 tahun.
Oleh karena itu, tidaklah mudah menemukan bankir-bankir dengan usia di atas 55 tahun dan masih aktif di bank saat ini. Bankir dengan usia tersebut kemungkinan lebih memilih pensiun atau bisa jadi diganti dengan bankir yang lebih muda. Di Indonesia, usia pensiun untuk pegawai negeri memang ditetapkan 55 tahun. Meskipun tidak menggunakan aturan itu, namun biasanya banyak juga yang mengikuti pakem tersebut.
Dalam sebuah riset yang dilakukan Alexandra Michel, asisten profesor manajemen di University of Southern California School of Business, tahun lalu muncul jawaban mengapa tak banyak bankir berusia tua.
Selama risetnya, Michel mengamati para bankir Wall Street di kantor mereka dengan cara duduk di samping mereka, mengikuti pertemuan, mencatat jam kerja mereka. Bahkan dia ikut lembur selama lebih dari 100 jam seminggu pada tahun pertama, sekitar 80 jam seminggu pada tahun kedua dan kemudian ditindaklanjuti dengan wawancara.
Selama dua tahun pertama, para bankir bekerja rata-rata 80-120 jam seminggu dengan bersemangat dan energik. Biasanya tiba pada pukul 6 pagi dan meninggalkan kantor sekitar tengah malam.
"Pada tahun keempat, banyak bankir yang berantakan. Ada yang kurang tidur dan menyalahkan tubuhnya karena tidak mampu menyelesaikan pekerjaan. Sementara lainnya mengalami alergi dan kecanduan narkoba. Sisanya didiagnosis dengan penyakit jangka panjang seperti, psoriasis arthritis, penyakit Crohn, radang sendi dan gangguan hormon," kata Michel dalam Wall Street Journal seperti dilansir yahoonews.
Pada tahun keenam, para peserta penelitian yang memasuki usia pertengahan 30 tahunan telah terpecah menjadi dua kubu. Sebanyak 60 persen peserta tetap bekerja keras dan memprioritaskan pekerjaan. Sedangkan 40 persen sisanya memutuskan untuk memprioritaskan kesehatan, memperhatikan tidur, olahraga dan pola makan. Sekitar seperlima dari para bankir kemudian meninggalkan profesinya.
"Bankir memiliki risiko tinggi mengalami kejenuhan dan gangguan kesehatan mental karena tekanan pekerjaannya," kata Alden Cass, psikolog klinis yang berpraktik di New York.
Krisis ekonomi baru-baru ini telah menyebabkan kenaikan tingkat stres pada karyawan bank-bank di Wall Street.
Sebagian besar karyawan yang memutuskan berkonsultasi ke psikolog, mencari bantuan karena hubungan pribadinya dipengaruhi oleh pekerjaan. Beberapa dari mereka kemudian kecanduan obat seperti Adderall atau Ritalin untuk mengatasi depresi. "Itulah alasan mengapa tidak banyak ditemukan bankir investasi yang berusia tua. Ini kehidupan yang sulit," kata Mr DeGarmo, mantan direktur Salomon Brothers, salah satu bank ternama yang berinvestasi di Wall Street.

Pentingnya Pengalaman
Meski tidak seratus persen sesuai dengan kondisi di Indonesia, setidaknya riset itu bisa memberi gambaran betapa perbankan adalah industri yang riskan untuk orang-orang berusia lanjut. Akan tetapi di sisi lain, karena perbankan adalah industri yang penuh risiko –karena itu highly regulated, bankir-bankir senior tetap memiliki peran sentral. “Mereka yang tua memberi semangat, bimbingan, payung, kalau bank kecepatan diberitahu. Itu pentingnya kehadiran orang tua,” kata Rostian Syamsudin, bankir berusia lebih dari 70 tahun.
Rostian adalah satu dari sedikit bankir yang masih menduduki jabatan penting di sebuah bank. Saat ini hanya kurang dari dua orang bankir dengan usia tergolong senior yang menduduki posisi direktur di sepuluh bank besar di Indonesia. Rostian yang menjadi Presiden Direktur di Panin Bank selama 18 tahun adalah salah satunya.
Kehadiran bankir-bankir dedengkot dinilai sangat dibutuhkan untuk menghindari bank terlalu agresif dan berkecenderungan menabrak rambu-rambu regulasi. Walaupun tidak selalu benar, namun anggapan umum menyatakan bahwa orang muda lebih agresif ketimbang mereka yang berusia lebih tua.
Namun yang pasti adalah makin tua seorang bankir kemungkinan besar lebih banyak pengalamannya ketimbang bankir yang lebih tua. “Bankir yang sudah berpengalaman selama 30 tahun tentu berbeda dengan bankir yang pengalamannya baru 10 atau 20 tahun,” kata Krisna Wijaya, Komisaris Bank Mandiri.
Keunggulan bankir yang berpengalaman adalah mereka sudah memiliki kepercayaan dari publik, sedangkan yang belum, harus membuktikan bahwa dia layak dipercaya dan mampu. Bahkan dalam beberapa kasus tertentu, Krisna mengatakan, diperlukan bankir-bankir senior untuk ‘turun tangan’ lagi. “Karena banyak persoalan yang harus diselesaikan, situasi itu membutuhkan bankir yang bertangan dingin, membutuhkan bankir berpengalaman dan jam terbang yang tinggi.”
Kendati begitu, jam terbang dan pengalaman kadang juga memiliki mata pisau lain yang mematikan. Lihat saja apa yang dilakukan oleh Bernard Madoff, seorang investment banker yang telah berusia 71 tahun. Pria yang pernah mengepalai bursa Nasdaq ini menipu nasabah hingga Rp450 triliun. Madoff yang tertangkap akhir 2008, didakwa melakukan penipuan sekuritas, investasi, surat, dan hubungan telepon dan pencucian uang nasional dan internasional.***


================================================================= 
BANKIR SENIOR DI PERBANKAN INDONESIA
1.            Abdul Rachman, Direktur Perbankan Institusi Bank Mandiri
Abdul Rachman lahir pada tahun 1954. Lulus dengan gelar BSc di bidang Akuntansi dari Universitas Padjadjaran, Bandung pada 1980 dan MBA di bidang Manajemen Keuangan dari Kansas State University, USA 1989.
Abdul Rachman mengawali karir di perbankan saat dia bergabung dengan Bapindo pada tahun 1981. Jabatan terakhirnya di Bapindo adalah sebagai Kepala Divisi Perbankan Internasional.
Di Bank Mandiri, dia menjadi Wakil Presiden Senior, Corporate Banking. Sempat menjabat sebagai Komisaris Bank Syariah Mandiri dan Komisaris Mandiri Sekuritas, pada 2005 dia diangkat sebagai Managing Direktur Perbankan Korporasi Bank Mandiri sampai Maret 2008.

2.            Sarwono Sudarto, Direktur Operasional BRI
Dia memperoleh gelar sarjana di bidang Administrasi Niaga dari Universitas Diponegoro 1975 dan MBA Finance-nya dari Tulane University, Amerika Serikat pada tahun 1987. Kemudian gelar Doktor dari Jurusan Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta di 2011. Lelaki kelahiran 1952 ini mulai bergabung dengan BRI sejak tahun 1976. Tiga puluh tahun kemudian, dia masuk dalam jajaran direksi BRI dan dipercaya sebagai Direkur Operasional. Dia mengatakan dalam 4 tahun terakhir perseroan menambah sekitar 2.000 kantor jaringan baik di pedesaan dan perkotaan. Total kantor yang dimiliki BRI saat ini mencapai 7.738 kantor jaringan yang dihubungkan secara online.
3.            Asmawi Syam, Direktur Bisnis Kelembagaan BRI               
Menjabat sebagai Direktur Bisnis Kelembagaan BRI sejak September 2007.  Memulai karir perbankan di BRI sejak 1980 dan telah menduduki berbagai jabatan manajerial diantaranya adalah kepala Divisi Bisnis Umum, Kepala Divisi Consumer Banking, Pemimpin Wilayah bandung dan Pemimpin Wilayah Denpasar.
Pria kelahiran 1955 ini, bergelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Hasanuddin Makassar tahun 1979 dan Magister Manajemen dari Universitas Padjajaran Bandung 2003. Telah mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan bidang perbankan sebelum menjadi direktur BRI

4.            Gatot Mudiantoro Suwondo, Direktur Utama BNI
Gatot lahir pada 1954. Memperoleh gelar Sarjana Akuntansi dari Universitas Mindanao State University, Marawi City, Philippines (1979) dan Master of Business Administration dari International University, Manila, Philippines (1982).
Sebelum di BNI, Gatot menjadi Direktur Bank Danamon (2001-2005) dan beberapa tahun sebelumnya di Bank Duta. Dia adalah adik ipar Susilo Bambang Yudhoyono, setelah menikahi adik dari Ani Yudhoyono. Dari awal pengangkatan Gatot menjadi Dirut BNI  pada 2008, sempat menggegerkan, mengingat kinerja Gatot waktu dinilai para analis dan media yang di bawah rata-rata direktur bank. Namun masalah ini nampaknya bisa diatasinya. Penghargaan sebagai CEO terbaik di Indonesia menjadi buktinya.
5.            Sutanto, Direktur BNI
Sutanto lahir pada 1954. Menjabat Direktur BNI sejak 12 Mei 2010. Memperoleh gelar S2 General, University of Drake.  Jabatan sebelumnya adalah Pemimpin Divisi Kebijakan dan Manajemen Risiko (2009), Pemimpin Divisi Pendidikan dan Pelatihan Tbk (2008-2009), Wakil Pemimpin Divisi SDM (2005-2008).

6.            Yap Tjay soen, Direktur Keuangan BNI
Yap Tjay Soen lahir pada tahun 1955. Menjabat Direktur sejak 6 Februari 2008. Memperoleh gelar MBA Finance Mc Gill University, dan Bachelor of Engineering Mc Gill University. Kariernya lebih banyak dihabiskan sebagai komisaris independen seperti di Bank Mandiri, BNI dan PT Aneka Tambang.
Pada 1988, Yap sempat menjabat sebagai Vice President di Citibank dan CEO Divisi Auto 2000 Group PT Astra International.
7.            Jahja Setiaatmadja, Direktur Utama BCA
Jahja Setiaatmadja (57) yang awalnya bercita-cita sebagai dokter gigi. Anak dari kepala kasir yang bekerja selama 35 tahun di Bank Indonesia ini kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Setelah malang melintang di beberapa industri, tahun 1990 dia ditawari bekerja di BCA. Posisi awalnya di BCA sebagai Wakil Kepala Divisi di tahun 1990. Tahun 1999 Jahja diangkat oleh BPPN menjadi Direktur BCA hingga tahun 2005 ia diangkat menjadi Wakil Presiden Direktur BCA.
8.            Ho Hon Cheong (Henry Ho), Direktur Utama Bank Danamon
Henry Ho merupakan warga negara Malaysia kelahiran tahun 1954. Ia lulus dari University of Malaya - Kuala Lumpur pada tahun 1978, dalam bidang Engineering – Mechanical. Mendapatkan gelar B.Eng (Honours), lalu pada tahun 1980 mendapatkan gelar Master in Business Administration di bidang Accounting & Finance dari McGilll University, Montreal, Quebec, Canada.
Ho meniti kariernya di Citibank hingga tahun 2002 dia memutuskan bekerja untuk Saudi American Bank Riyadh, Arab Saudi sebagai General Manager and Group Head. Pada 2004 dia bergabung dengan BII. Dia juga pernah bekerja untuk Temasek Holdings (Private) Ltd sebagai Managing Director sejak tahun 2009.
9.            Rostian Sjamsudin, Direktur Utama Bank Panin
Berusia genap 71 tahun, Rostian Sjamsudin merupakan bankir paling senior yang menjabat posisi Direktur Utama. Pria asal Sawah Lunto, Sumatra Barat ini bahkan sudah menduduki posisi penting di Panin Bank sejak 18 tahun silam.
Rostian mengeyam pendidikan sarjana di Universitas Padjadjaran, Bandung dan lulus pada tahun 1965. Mulai bergabung di Panin Bank pada tahun 1978 dengan jabatan sebagai Assistant Director, kemudian menjabat sebagai Executive Vice President (1981-1986), Senior Executive Vice President (1986-1994), dan diangkat sebagai Presiden Direktur sejak tahun 1994.
10.          Roosniati Salihin, Wakil Direktur Utama Panin Bank
Roosniati lahir tahun 1948. Perempuan ini sempat kuliah sastra Inggris di UCLA, Amerika pada 1965-1968) dan di Sophia University, Tokyo (1968-1970). Dia juga pernah mengikuti pendidikan di Tokyo Business School jurusan Manajemen (1970-1971).
Pada tahun 1971, dia bergabung dengan Panin Bank dan menjadi Direktur 20 tahun kemudian. Menjabat sebagai Komisaris di berbagai afiliasi Perseroan: Westpac Panin Bank (1991-1993)., ANZ Panin Bank (1993-2000), DKB Panin Finance Ltd. (1991-2000).
11.          Ahmad Hidayat, Direktur Keuangan Panin Bank
Ahmad Hidayat lahir pada tahun 1939. Pendidikan Akademi Akuntansi, Bandung pada tahun 1961 dan Universitas Padjadjaran jurusan Ekonomi tahun 1963. Dia memulai karir pada Bank of America sepanjang 1968-1988.
Bergabung dengan Panin Bank sebagai Kepala Pembukuan (1986-1988). Kemudian dia pindah ke Bank Danamon sebagai Head of Accounting Department (1988-1989). Kembali lagi ke Panin Bank pada tahun 1989 dan menjabat sebagai Staff Direksi (1989-1991).  Dia menjabat sebagai Direktur Perseroan sejak tahun 1994.
12.          Iswanto Tjitradi, Direktur Perbankan Korporasi
Iswanto Tjitradi merupakan kelahiran tahun 1948. Menjabat sebagai Direktur Perbankan Korporasi PaninBank sejak tahun 2009, sebelumnya menjabat sebagai Direktur Kepatuhan dan Manajemen Risiko sejak tahun 1996. Lulus dari San Fransisco State University tahun 1980.
Pernah berkarir di luar PaninBank sejak tahun 1980 hingga 1996, yakni menjadi Senior Vice President di LippoBank, Assistant Vice President di Citibank dan lainnya.
13.          Wee Ee Cheong, Deputy Chairman dan CEO UOB Indonesia
Dia merupakan warga Singapura kelahiran 1954. Meraih gelar MA dan BS dari The American University. Sudah bergabung dengan UOB grup sejak 1979. Saat ini ia merangkap sebagai  Deputy Chairman dan CEO. Selain sebagai bankir, ia juga adalah anggota dari asosiasi perbankan Singapura. Dia juga pernah bekerja sebagai sebagai wakil ketua Dewan Perumahan dan Pembangunan singapura dan pernah juga menjadi direktur Port of Singapore Authority.

(ditulis bulan April 2012)


Mengelola Bank di Tepi Jurang



Dalam kondisi kritis sebuah bank terpaksa harus menelan beberapa ‘pil pahit’. Dimulai dari penggantiaan pejabat, pengurangan karyawan hingga perubahan logo beserta visi dan misi. Meski pahit semua itu belum cukup untuk bisa membawa bank melakukan turnaround.
 
Dalam siklus bisnis, setiap perusahaan akan mengalami empat fase: ekspansi, puncak (peak), resesi dan terpuruk di dasar (bottom). Tidak terkecuali perbankan. Dalam menjalankan bisnisnya, perbankan juga tak akan bisa menolak kondisi yang memaksanya untuk berhadapan dengan krisis. Krisis itulah yang berpotensi membawanya pada keterpurukan bisnis.
Situasi krisis bisa muncul dalam skala besar maupun dalam magnitude yang lebih kecil. Krisis besar biasanya timbul karena kondisi perekonomian yang memang sedang tertimpa masalah yang biasa disebut risiko sistemik. Dalam situasi ini, semua bank akan mengalami tahap resesi, kolaps bahkan sampai bangkrut.
Krisis dalam skala yang lebih kecil bisa muncul karena percikan masalah yang berasal dari lingkup internal bank. Biasanya berasal dari kesalahan, kecurangan dan kejahatan yang dibuat oleh pegawainya sendiri. Meskipun kecil, krisis ini juga bisa mendorong bank ke dalam jurang keterpurukan.
Bank di manapun sangat tidak mengharapkan dirinya tertimpa krisis yang berasal dari kondisi makroekonomi yang guncang, karena hampir tidak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya selain bantuan dari pemerintah. Krisis ekonomi 1997/1998 tentu bisa dijadikan bukti betapa tak berdayanya bank menghadapi risiko sistemik. Hanya karena bantuan dari pemerintah baik berupa suntikan dana maupun pemulihan aset, bank bisa bertahan hidup. Itupun hanya bagi bank yang dipilih pemerintah saja, sementara sisanya dibiarkan mati.
Meski tak ingin mengalaminya, jika harus memilih untuk menghadapi tentu bank lebih menunjuk krisis yang disebabkan lingkup mikro. Dengan begitu, bank masih memiliki kemungkinan untuk bertahan. Apalagi seperti yang terjadi pada banyak bank, situasi krisis ‘kecil’ relatif bisa diatasi karena banyak yang akhirnya bisa bangkit dan mengembalikan bisnisnya seperti sedia kala. Singkatnya bank-bank tersebut berhasil melakukan turnaround.
Namun penerapan turnaround di sebuah bank tidak melulu disebabkan adanya masalah internal yang mengancam bisnis maupun reputasinya. Menurut Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ignatius Soepomo, setidaknya ada tiga penyebab mengapa bank memutuskan melakukan turnaround.
Pertama, karena ada kecenderungan bisnisnya menurun, misalnya dalam hal pangsa pasar. Bank akan melihat kembali apa yang menyebabkan hal itu terjadi dan menerapkan langkah perbaikan untuk mengembalikan bisnisnya ke jalur seharusnya. 
Kedua, karena ada risiko-risiko internal yang berpotensi mengganggu jalannya bisnis, yang jika itu tidak diperbaiki bisa menyebabkan posisi bank akan mengalami penurunan. Masalah bisa berasal dari risiko strategi, kredit, pasar dan lainnya.
Ketiga karena mengalami krisis akibat suatu kejadian tertentu misalnya fraud yang cukup besar. Jika hal tersebut tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan risiko yang lebih besar pada sistem bank itu.
“Untuk menghindari akibat fatal dilakukan upaya-upaya untuk melakukan turnaroud. Jadi turnaround pada dasarnya untuk mengubah atau membalikkan sesuatu. Biasanya ruang lingkupnya menyeluruh mulai dari organisasi, staffing, model bisnis, dan sebagainya,” kata Soepomo.
Pendek kata, strategi turnaround digelar oleh sebuah bank bukan semata-mata karena ia tengah ditimpa krisis, tapi memang ada kondisi kritis yang harus diperbaiki. “Bisa karena kasus tertentu, akibatnya reputasi menurun sehingga kepercayaan publik dikhawatirkan juga menurun. Kalau tidak dilakukan turnaround akan berdampak pada kinerja atau positioning bank itu,” ujar Soepomo.

Strategi Turnaround
Dalam menjalani proses pemulihan tak jarang sebuah bank harus memulainya dari nol sebelum akhirnya berhasil melakukan turnaround. Bank Mutiara, misalnya. Bank yang semula bernama Bank Century itu, mengalami apa yang dinamakan krisis ketika pemiliknya membobol banknya sendiri. Century kemudian kalah kliring mulai 18 September 2008. Kejadian itu terjadi beberapa kali dan berpotensi gagal bayar pada nasabah.
Menurut Bank Indonesia saat itu, rentetan gagal bayar ini terus berlanjut dan berakumulasi sehingga akan memengaruhi seluruh sistem perbankan. Akibat seterusnya adalah puluhan bank lainnya akan mengalami nasib yang sama dengan Century. Itulah yang membuat bank yang merupakan hasil merger tiga bank (CIC, Danpac, Pikko) diambil alih pemerintah bersamaan dengan penyuntikan modal senilai Rp6,7 triliun.
Pemerintah kemudian menunjuk jajaran manajemen baru untuk mengelola bank itu. Dimulailah masa-masa restrukturisasi. Manajemen baru yang dipimpin oleh Maryono, yang sebelumnya bekerja di Bank Mandiri menyiapkan sejumlah rencana. Tiga bulan pertama pasca menduduki kursi panas Direktur Utama Bank Century pada akhir September 2008, Maryono berupaya memperbaiki masalah reputasi yang hancur. Berbarengan dengan langkah mempertahan likuditas yang ada sekaligus memperbaikinya.
“Tiga bulan itu memang sangat menentukan. Bagaimana crisis reputation ini harus kami atasi. Kemudian kami putuskan untuk mengubah nama menjadi Bank Mutiara sekaligus mengubah visi misi,” cerita Maryono.
Setelah itu, manajemen menyiapkan strategi membangun kembali fondasi bank dalam enam bulan. Hal itu dilakukan dengan cara menata manajemen risiko, ketentuan internal, ketentuan good corporate governance( GCG). Pada masa itu, produk-produk yang tidak menguntungkan dibuang dan diganti dengan yang lebih menguntungkan.
Fase selanjutnya adalah fokus ke bisnis dengan berupaya meningkatkan dana, kredit, pendapatan bunga dan memperbaiki rasio-rasio keuangan supaya menjadi bank yang diterima seluruh stake holder. Dan tahun ini, bank tersebut sudah siap ditawarkan kepada investor guna mengembalikan duit pemerintah Rp6,7 triliun yang disuntikkan.
Masalah yang mendera Bank Mandiri sesaat setelah merger pada 1999 juga bisa dikatakan sebagai saat-saat bank itu berada pada situasi kritis. Merger empat bank pemerintah menjadi Bank Mandiri terjadi di tengah ekonomi Indonesia dilanda krisis. Robby Djohan yang sebelumnya dinilai berhasil dalam merestrukturisasi Maskapai Garuda ditunjuk sebagai pemimpin dalam proses pemulihan Bank Mandiri.
Robby yang mantan bankir Citibank bergerak cepat dengan membentuk sebuah tim yang dipercayainya bisa membantunya mereparasi Bank Mandiri. Belakangan beberapa orang dari tim itu juga dikenal sebagai bankir-bankir handal dalam soal merestrukturisasi bank bermasalah. Sebut saja, Agus DW Martowardojo dan Sigit Pramono. Dua nama itu merupakan anggota tim yang dipilih Roby Djohan dalam proses memulihkan Bank Mandiri pasca merger.
Dalam bukunya, Leading in Crisis: Praktik Kepemimpinan dalam Mega Merger Bank Mandiri (2006),  Robby bertutur bahwa pemimpin harus mampu menemukan inti masalah dan mempunyai kepercayaan diri bahwa ia mampu mengatasi masalah tersebut.
Berikutnya, agar masalah bisa terurai lebih cepat, tulis dia, pemimpin harus membentuk tim yang ahli di bidangnya. Pemimpin juga harus mampu menularkan keyakinan mengatasi masalah kepada seluruh anggota timnya.
“Pak Roby pandai memilih anak buah yang membantu dia. Dia berani memilih orang-orang yang bakal lebih pintar dari dia supaya pekerjaaanya lebih mudah. Dan dia mengkader orang,” kata Sigit yang saat ini menjadi Ketua Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas).
Pada tahap awal proses transformasi Mandiri, ada dua hal pokok yang dibenahi Robby beserta tim yang dibentuk pada masa-masa awal yaitu masalah personalia dan teknologi yang terkait dengan operasional. Pada personalia, kebijakan yang dilakukan waktu itu adalah menilai kembali kebutuhan karyawan yang kemudian diputuskan ada pengurangan dari 26 ribu karyawan yang ada menjadi 16 ribu. Lalu dibuat Program Pensiun Sukarela (PPS) dengan kompensasi yang sangat menarik.
Untuk soal teknologi, manajemen merekrut beberapa orang dari luar lingkungan bank untuk membenahi teknologi.
Kurang lebih tiga tahun proses itu dijalankan tim, sebagaimana dituturkan Bin Hadi yang menjadi Ketua Merger Committee Bank Mandiri saat itu. “Setelah tiga tahun, masing-masing personil sudah tidak ada lagi yang membawa ego dari bank mana mereka berasal. Semuanya sudah bersatu dalam keluarga besar Bank Mandiri,” kata Bin Hadi yang saat ini menjadi Anggota Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).
Bank Mutiara dan Bank Mandiri hanya dua dari sekian bank yang berhasil melakukan turnaround. Selain itu masih ada Bank BNI saat tertimpa musibah kredit ekspor fiktif senilai Rp1,3 triliun yang membuat bank itu harus mengganti logonya. Dan Sigit Pramonolah orangnya yang ditunjuk pemegang saham untuk menyehatkan kembali bank pelat merah yang sempat limbung itu.

Ganti Logo
Menurut Soepomo dari LPPI sat Sigit masuk ke BNI, mantan Dirut BII itu sudah membawa program yang disebut dengan peta navigasi. “Sebelumnya BNI logonya perahu layar. Dengan program itu, Pak Sigit mengatakan bahwa navigasinya harus diperbarui. Itu adalah rencana jangka menengah dan panjang,” kata dia. Soepomo adalah salah satu anggota restrukturisasi BNI dan menjadi salah satu direktur di bawah komando Sigit. 
Menurut dia, dalam proses turnaround adalah peran pemimpin puncaknya dalam menjalankan leadership adalah yang terpenting dan paling utama. Setelah itu mulailah pembenahan bank dengan jalan mengubah visi dan misi perusahaan, mengubah tujuan, mengubah struktur organisasi dan jajaran direksi, serta mengubah strategi opersional.
Karena visi dan misinya diubah maka tidaklah mengherankan jika hampir sebagian besar bank yang ‘disehatkan’ selalu mengganti logo. Lihat saja, Bank Mutiara, Bank Mandiri, BII, dan BNI. “Karena turnaround dimulai dari visi misi, maka logo pun harus diubah,” kata Soepomo.
Perubahan-perubahan internal yang radikal itu selalu mendapatkan tentangan dari ‘orang lama’ di bank itu yang khawatir posisinya akan terancam. Maka dari itu, dalam proses turnaround, hadangan dari internal karyawan lama biasanya hampir selalu mewarnai. Dan kadangkala hal itulah yang membuat langkah perbaikan menjadi lambat.
Meski beberapa hal kunci dalam restrukturisasi yang dilaksanakan bank-bank di Tanah Air sudah terbukti berhasil, namun tetap saja tak ada rumusan generik yang bisa dijadikan acuan untuk melakukan turnaround.
Hal itu dituliskan oleh Dominic Barton, Direktor McKinsey untuk Shanghai, China dalam sebuah artikel yang ditulisnya bersama koleganya Roberto Newell dan Greg Wilson. Dua nama terakhir masing-masing adalah Direktur Umum the Mexican Institute for Competitiveness dan petinggi kantor pusat McKinsey di Washington, DC.
Artikel itu menuliskan bahwa tak ada formula yang eksotis ataupun sihir keuangan yang ampuh agar sebuah turnaround sukses bisa digapai sebuah bank. “Sebaliknya manajemen harus menerapkan tindakan yang tegas tetapi seringkali diacuhkan dan ditentang,” tulis artikel itu. Ketiganya juga sepakat bahwa program-program turnaround hampir pasti selalu mengharuskan bank untuk membawa tim manajemen baru.
Akan tetapi langkah yang seringkali terasa pahit itu memang harus dilakukan jika menginginkan bank itu tidak makin terpuruk bahkan jatuh ke dalam jurang yang dalam.
(ditulis pada Maret 2012)