Bank perlu memiliki lingkungan
kerja yang mendukung berkembangnya budaya inovasi. Kondisi tersebut akan
menciptakan sebuah bank yang selalu berpikir out of the box demi memenangkan persaingan bisnis.
Tiada yang tak berubah di dunia itu, kecuali perubahan itu sendiri. Penggalan kalimat yang dipercaya dikutip dari Heraclitus, seorang filsuf Yunani yang hidup antara 540-480 SM, sering digunakan untuk memberikan penekanan pada pentingnya perubahan. Dalam kehidupan di muka bumi ini perubahan memang merupakan faktor yang berada di luar kendali manusia. Dalam bisnis pun demikian. Perusahaan yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan akan tergilas dengan perubahan.
Oleh karena itu, lembaga bernama bank yang kita lihat
sekarang sudah jauh berbeda dengan ketika pertama kali muncul pada abad ke-17.
Dahulu, bank hanya memiliki fungsi sebagai tempat masyarakat menyimpan uang,
kini tidak ada bank hanya menjalankan fungsi itu. Industri perbankan
disebut-sebut sebagai salah satu institusi yang selalu bisa menyesuaikan diri
dengan perubahan dalam lingkungan bisnis dan tren.
Lebih dari itu bank juga dituntut untuk bisa memprediksi
masa depan karena mengetahu apa yang bakal terjadi di masa yang akan datang
tentu sangat berguna bagi bank. Itulah yang diungkapkan dalam sebuah tulisan
Axel Liebetrau, seorang konsultan yang terafiliasi dengan Zukunftsinstitut,
sebuah lembaga pemberdayaan konsumen di Jerman.
Menurut Axel, masa depan jelas tidak bisa diketahui, namun
bank dapat membuat asumsi. Dan lembaga keuangan itu dapat mendapatkannya
melalui penelitian dari sebuah tren dan bagaimana hal itu berimplikasi bagi
bank.
Pengelola bank tentu tidak bisa mematikan sebelumnya, bahwa
pemberian kredit akan menjadi fungsi lain yang tidak bisa dipisahkan dari
fungsi menyimpan dana. Namun karena melihat kecenderungan di masyarakat yang
juga menginginkan pinjaman dana untuk berbagai kebutuhannya maka bank pun
menyediakannya.
Kebiasaan memprediksi apa yang dibutuhkan nasabah dari
kebiasaan nasabah terus berlanjut hingga sekarang di saat bank berupaya untuk
memenuhi kebutuhan finansial nasabahnya dari A sampai Z sehingga muncullah
istilah one stop financial services.
Bank tak lagi hanya lembaga intermediasi (perantara antara pemiliki dana dan
peminjam), namun juga menyediakan produk asuransi, sekuritas, bahkan bisa
menjadi konsultan keuangan bagi nasabahnya. Fenomena priority banking bisa menjelaskan hal itu.
Kini bank dinilai memiliki alat dan metodologi untuk
mendukung prediksi bisnis di masa depan. Meski demikian menurut Axel, hal itu
tidak mudah diterapkan karena itu tugas jangka menengah dan panjang manajemen
yang mempengaruhi beberapa aspek utama dari bank. “(Namun begitu) sebuah budaya
inovasi dan terbukanya pendekatan lateral untuk berpikir adalah hal penting
untuk menerapkannya,” kata Axel.
Apa yang diungkapkan Axel tak pelak merupakan prasyarat
mutlak untuk bertahan dalam bisnis perbankan. Artinya jika ingin memenangkan
persaingan maka bank harus memastikan bahwa
mereka memiliki budaya inovasi yang kental dan kebiasaan berpikir out of the box yang tentunya tercermin
dari pegawai-pegawainya. Berpikir keluar dari kotak adalah cara berpikir
yang berani menerobos liar, keluar dari apa yang umumnya dipikirkan kebanyakan
orang. Namun output yang
dihasilkannya harus memiliki keunikan, one
of a kind.
Kita tentu masih ingat sekitar 10 tahun lalu saat Bank
Danamon mulai membidik segmen mikro dengan meluncurkan layanan Danamon Simpan
Pinjam (DSP). Saat itu tidak banyak bank besar yang berani memberikan kredit
kepada pedagang pasar a la tukang
kredit. Tukang kredit adalah kreditur perseorangan yang meminjamkan dana kepada
masyarakat kecil dengan cara menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari mereka.
Cara penagihannya adalah dengan mendatangi peminjam satu demi satu setiap hari
untuk mengumpulkan cicilan yang kadang hanya beberapa ribu rupiah saja.
Bank Danamon berani terjun ke segmen itu, yang biasanya
digarap oleh bank perkreditan rakyat. Namun bank yang sahamnya dikuasai
investor Singapura itu menyiapkan sistem yang lebih canggih yaitu dengan
menggunakan sebuah mesin semacam EDC (electronic
data capture). Mesin yang biasanya digunakan untuk memproses transaksi
kartu kredit itu dimodifikasi untuk mencatat cicilan harian dari nasabah.
Walhasil, dengan terobosan itu Bank Danamon berhasil men-generate bisnis usaha mikro bahkan mulai
bisa mengganggu kemapanan BRI yang selama ini terkenal memimpin pasar kredit
mikro.
Ada juga inovasi yang dilakukan BII sewaktu meluncurkan
produk tabungan khusus perempuan. Tabungan pertama di Indonesia yang
diperuntukkan khusus bagi perempuan ini memang cukup ‘berbeda’ dengan produk
tabungan lainnya karena hanya perempuan baik wanita muda, profesional, maupun
ibu rumah tangga yang boleh menikmatinya.
Atau produk KPR Smart Saving dari CIMB Niaga. Bank yang
mayoritas sahamnya dikuasai investor Malaysia menawarkan produk yangg mengkombinasikan
produk KPR dan tabungan. Lewat produk ini nantinya nasabah dapat menggunakan
bunga tabungannya untuk mengurangi bunga pinjaman KPR-nya hingga nol persen.
Yang paling mutakhir adalah terobosan yang dilakukan
Citibank. Bank asal AS itu sebelumnya dilarang Bank Indonesia menerbitkan kartu
kredit selama dua tahun ke depan, sebagai sanksi dari kematian nasabahnya
setelah bertemu debt collector. Namun
Citibank bisa “keluar dari kotak” dan secara cerdas berinovasi dengan
mengeluarkan Citibank Ready Credit (CRC) pada April lalu.
Produk CRC tergolong unik karena merupakan perpaduan kartu
kredit dan kredit tanpa angunan (KTA). Mirip kartu kredit karena penghitungan
bunga, pembayaran minimal dari total tagihan (minimum payment), pengiriman rincian transaksi (billing statement) ke nasabah setiap
bulan, hingga adanya batasan plafon pinjaman adalah sistem yang dipakai dalam
kartu kredit.
Namun berbeda dengan kartu kredit, CRC tidak bisa langsung
digunakan untuk bertransaksi. Nasabah yang ingin menggunakan CRC harus
melakukan tarik tunai ke ATM.
Proses Perubahan
Akan tetapi, apa yang dilakukan bank-bank tersebut tentu
tidak disiapkan dalam satu dua hari. Perlu proses yang panjang dan penelitain
mendalam sebelum menemukan ide kreatif itu dan meluncurkannya. Semua harus
bermula pada kesadaran individu di internal bank bahwa mereka harus terus
berubah, karena tidak akan ada pemikiran out
of the box jika tak ada dukungan terhadap perubahan.
Profesor John P Kotter, Guru Besar Leadership dari Harvard
Business School, dalam bukunya, Leading Change (1996) dan The Heart of Change
(2002), menganjurkan delapan tahap dalam melakukan sebelum bank bisa melakukan
terobosan dan perubahan.
Pertama,
Establishing A Sense Of Urgency (menetapkan keadaan darurat) ketika berbagai
indikasi menunjukkan gejala menurun. Kedua,
Creating the Guiding Coalition (membentuk koalisi atau tim yang akan memimpin
perubahan).
Ketiga, Developing
a Vision and Strategy (membangun visi dan strategi). Keempat, Communicating the Change Vision (mengomunikasikan
perubahan visi). Kelima, Empowering
Employees for Broad-Based Action (memperlengkapi karyawan dengan tindakan yang
beruang lingkup luas).
Keenam, Generating
Short-Term Wins (melahirkan kemenangan, keberhasilan jangka pendek). Ketujuh, Consolidating Gains and
Producing More Change (mengonsolidasikan keberhasilan-keberhasilan dan
melahirkan perubahan-perubahan berikutnya). Kedelapan,
Anchoring New Approaches in the Culture (memasukkan pendekatan-pendekatan baru
hasil perubahan ke dalam budaya perusahaan).
Jadi, bank manapun yang ingin
selalu memenangkan persaingan tentu sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Tinggal bagaimana mereka menerapkannya.
(ditulis April 2012)