Bank
Indonesia akan memberlakukan benchmark
margin bunga bersih perbankan. Meski dilakukan untuk menurunkan bunga kredit yang dinilai
masih tinggi, kalangan perbankan masih menentangnya.
Boleh dibilang sejak akhir 2008 lalu, perbankan tidak lagi mengikuti apa
yang diinginkan Bank Indonesia, terutama soal suku bunga. Saat itu, BI yang
mulai rajin menurunkan suku bunga acuan tidak direspons oleh bank meski
tenggang waktu yang biasanya dibutuhkan bank untuk menurunkan bunga kredit
terlampaui.
Saat itu BI Rate yang berada pada posisi tertingginya di 9,50 persen mulai
diturunkan. Namun bank yang seharusnya sudah mulai mengikuti kebijakan itu
setelah tiga sampai enam bulan, tidak juga menurunkan bunga kredit.
Meski begitu, BI memakluminya karena di saat bersamaan perekonomian tengan
menghadapi kisruh subprime mortgage. Saat
itu dunia mulai mengobral kebijakan yang bertujuan untuk melindungi
perekonomian dalam negerinya masing-masing agar tidak terhempas dampak
kolapsnya kredit perumahaan AS. Apalagi masih di akhir 2008, perekonomian
nasional juga terhenyak oleh kasus bailout
Bank Century. BI menerima alasan bahwa saat itu bank terancam kekeringan
likuiditas.
Kemudian di saat perekonomian mulai memasuki tahap recovery pada 2010, ekonomi
global diganggu instabilitas politik di Jazirah Arab yang menekan harga minyak
dunia. Tak cukup sampai di situ, persoalan fiskal yang membelit kawasan Portugal,
Italia, Irlandia Greece, dan Spanyol (PIIGS) bergerak menjadi krisis dan memicu ekonomi
Eropa memanas. Meski tak terlalu besar, krisis Eropa itu berpotensi mengganggu
ekonomi Indonesia.
Potensi gangguan krisis Eropa direspons BI dengan memangkas BI Rate 25
basis poin ke level 6,50 persen untuk pertama kalinya pada 11 Oktober 2011
setelah bertahan selama sembilan bulan. Langkah ini dilakukan untuk menjaga
stabilitas nilai tukar rupiah dengan mempertimbangkan kemungkinan inflasi yang
tetap berada di bawah 5 persen. Akan tetapi sekali lagi bank tidak memberikan
respons seperti yang seharusnya.
Bank sentral tentu tidak tinggal diam. BI lalu melansir aturan yang mewajibkan
seluruh bank mengumumkan suku bunga utamanya atau prime lending rate kepada masyarakat melalui media massa. Kebijakan
itu bertujuan agar masyarakat bisa melihat bank mana yang memberikan suku bunga
kompetitif sehingga kemudian pengusaha bisa memilih bank yang menawarkan
tingkat suku bunga kredit paling rendah.
Dengan begitu meningkatnya permintaan kredit pada bank yang memberikan
bunga kompetitif akan diikuti oleh bank lain jika tidak ingin ditinggal
nasabah. “Kewajiban mengumumkan prime
lending rate akan mendorong kompetisi yang sehat di antara bank. Ke depan,
hal ini akan meningkatkan efisiensi bank-bank di Indonesia yang selanjutnya
akan dapat bersaing dengan perbankan di kawasan Asia,” kata Gubernur BI Darmin
Nasution saat itu.
Benchmark NIM
Dengan langkah itu, suku bunga kredit memang agak menurun mengikuti arahan
bank sentral. Kendati begitu, angkanya masih dua digit padahal BI Rate saat ini
sudah berada di level 5,75 persen terendah sepanjang sejarah. Untuk menekan
bunga kredit ke level yang lebih rendah, otoritas kemudian meluncurkan regulasi
baru yaitu menetapkan acuan (benchmark)
bagi penentuan margin bunga bersih (net
interest margin/ NIM) perbankan.
NIM adalah selisih antara bunga yang diterima setelah diperhitungkan dengan
dasar pengenaan pajak dengan biaya bunga.
Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Irwan Lubis mengatakan BI mengeluarkan
aturan benchmark NIM untuk menurunkan
bunga kredit perbankan yang masih tinggi. Benchmark ditetapkan berdasarkan
rata-rata industri sesuai bank umum kelompok usaha (BUKU).
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/2012 tentang izin berjenjang
atau multiple lisence, BI mengatur
kegiatan usaha dan jaringan kantor bank berdasarkan modal inti bank.
Berdasarkan modal inti tersebut, bank dikelompokkan dalam empat kelompok usaha
yakni Buku 1 bermodal inti kurang dari Rp1 triliun, BUKU 2 dengan modal inti
Rp1-5 triliun, BUKU 3 sebesar Rp5-30 triliun, dan BUKU 4 diatas Rp30 triliun.
Bank wajib menyampaikan rencana tindak penyesuaian kegiatan usaha, margin
bunga bersih, dan pemenuhan kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan
produktif, paling lambat akhir Maret 2013. BI akan melihat rencana tindak (action plan) itu dengan pertimbangan
NIM. "Bank yang NIM masih di atas rata-rata, harus punya action plan menurunkannya dan ada
insentif dan disinsentif," tegas Irwan.
Menurut Irwan, benchmark NIM ini tidak akan dipublikasikan karena hanya
digunakan sebagai pedoman pengawasan intrenal BI dalam bentuk surat edaran
internal.
Menanggapi rencana BI tersebut, Persatuan Bank Umum Nasional (Perbanas)
meminta bank sentral memikirkan ulang hal tersebut. Sebabnya, penerapan benchmark NIM ini dikhawatirkan akan
menekan pertumbuhan perbankan.
Menurut Ketua bidang Pengkajian Perbanas Raden Pardede, BI harus mempertimbangkan
tingkat risiko penyaluran kredit perbankan karena aturan tersebut. “Misalnya
bank BRI memiliki NIM tinggi karena risiko kreditnya tinggi yakni kredit usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Demikian juga dengan tingkat risiko kredit
bank BTPN dan Bank Danamon yang NIM-nya masih tinggi. Artinya karakteristik
setiap bank berbeda-beda,” jelas dia.
Bahkan, pelaku perbankan menilai penawaran bunga kredit di pasar sudah cukup
kompetitif sampai saat ini, sehingga memungkinkan penurunan biaya dana yang
mendukung penurunan NIM. BRI mengaku menargetkan tahun ini memangkas NIM 10
basis poin, kemudian Bank Danamon yang mengupayakan penurunan NIM ke level 9,7
persen.
Hingga akhir 2012, Bank Danamon mencatat posisi NIM di level 10,2 persen,
meningkat dibanding 9,6 persen pada akhir 2011. Menurut Chief Financial Officer
Bank Danamon Vera Eve Lim, kenaikan NIM terjadi seiring dengan penurunan biaya
dana khususnya di deposito yang turun 6 persen dari Rp51,62 triliun menjadi
Rp48,55 triliun. Sementara suku bunga kredit tercatat mengalami penurunan 20
basis poin dari 15 persen menjadi 14,8 persen. Sementara biaya dana turun 1,2
persen dari 5,7 persen menjadi 4,5 persen.
Oleh sebab itu, dengan melihat data Danamon, Raden menyarankan agar otoritas
juga melihat upaya bank dalam meningkatkan efisiensinya. "Bank juga
menggunakan profitnya untuk peningkatan modal. Tujuannya adalah ekspansi
usaha," ungkap dia.
Ekspansi usaha perbankan, kata Raden, sangat penting untuk meningkatkan
kapitalisasinya sehingga siap bersaing di kawasan. Saat ini, kendati produk
domestik bruto (PDB) Indonesia terbesar, mencapai sekitar 40 persen di ASEAN,
tidak ada bank lokal yang menjadi terbesar di kawasan itu. Singapura yang
merupakan negara terkecil di ASEAN yang menempatkan banknya sebagai terbesar di
kawasan ini, yakni DBS Group.
Pada Desember 2012, DBS mempunyai total aset sekitar Rp 2.784,44 triliun.
Jumlah itu sekitar 4,4 kali lipat dari aset Bank Mandiri yang sebesar Rp 635,62
triliun. Mandiri merupakan badan usaha milik negara (BUMN) dan memiliki aset
terbesar di industri perbankan Indonesia.
DBS mampu menarik dana masyarakat Rp 1.902,12 triliun dan menyalurkan
kredit Rp 1.677,64 triliun. Jumlah simpanan itu sekitar 3,9 kali lipat dari DPK
Bank Mandiri sebesar Rp 482,92 triliun. Namun, kredit yang disalurkan DBS
mencapai 4,3 kali lipat dari kredit Mandiri sebesar Rp 388,83 triliun akhir
tahun lalu.
Tingginya NIM di Indonesia juga membuat keuntungan bank makin besar. Bank
Mandiri misalnya yang mampu meraup laba bersih Rp 15,5 triliun tahun lalu. NIM
Mandiri sepanjang tahun 2012 mencapai 5,58 persen.
Tingginya kemampuan mencetak laba inilah yang membuat saham-saham perbankan
di Indonesia menjadi favorit, diburu investor asing maupun lokal.
Angsa Emas
Maka dari itu, pejabat Perbanas Raden Pardede mewanti-wanti agar BI
berhati-hati dalam menerapkan acuan NIM bagi perbankan. Hal tersebut akan
berisiko mengikis keunggulan yang selama ini dimiliki perbankan di Indonesia. “Ini
akan menjadi tragedi seperti memotong angsa bertelur emas,” kata dia.
Menurut Raden, biarkan saja keunggulan itu membantu peningkatan modal
maupun kapitalisasi pasar emiten perbankan Indonesia. Hal itu juga akan
menambah amunisi untuk bersaing dan bank nasional bisa tumbuh menjadi terbesar
di ASEAN.
Sesuai
data statistik perbankan Bank Indonesia (BI), NIM bank-bank umum di Tanah Air
masih berada di
atas 5 persen. NIM tertinggi terdapat pada kategori bank-bank umum swasta
nasional non devisa sebesar 8,84 persen. Sedangkan secara masing-masing bank,
ada bank yang masih mematok NIM diatas 10 persen misalnya Bank Tabungan
Pensiunan Negara (BTPN) dengan NIM 13 persen.
Lantas
apa yang menyebabkan NIM perbankan masih tinggi? Kepala Eksekutif Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara mengatakan terdapat dua hal yang
memungkinkan NIM menjadi tinggi. Pertama, kata Mirza, adalah biaya dana
(cost of fund) yang rendah dan kedua adalah suku bunga
kredit yang tinggi.
Bagi
sektor yang kurang kompettif, kata dia, bank akan memberikan bunga kredit yang
tinggi. Termasuk di dalamnya adalah sektor kredit mikro, yang bunganya masih di
kisara 20 persen - 30 persen. “Namun, jika semakin banyak orang berkompetisi masuk di kredit
mikro dengan sendirinya membuat bunga kredit mikro merendah,” kata Mirza,
Hanya
saja, Mirza berpendapat, kurang tepat apabila kinerja perbankan hanya dinilai
dari tingginya NIM. Menurut Mirza, fungsi intermediasi perbankan harusnya
menjadi acuan penilaian dari kinerja sektor perbankan. “Kalau bank itu tidak
menyalurkan kredit, hanya beli SBI, nah
itu bisa disalahkan. Misalnya, NIM nya tinggi tapi hanya beli SBI," tegas
Mirza.
Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menegaskan, NIM sebaiknya tidak dilihat dari nilai absolutnya atau
angka yang tertera, tetapi cost of fund.
Dia menguraikan, dengan level cost of
fund 5,5 persen untuk suku bunga sekitar 11 persen, berarti NIM-nya sekira 5,5
persen. “Nah NIM 5,5 persen itu berapa kalinya cost of fund? Kan cuma satu kalinya," papar Destry.
Dia
membandingkan dengan NIM perbankan di Singapura. Rata-rata biaya dana perbankan
di Singapura sekitar 0,3 persen dengan besaran bunga kredit 3 persen. Dengan
demikian NIM perbankan di Singapura berkiar sekira 2,5 persen. Artinya, posisi
NIM 2,5 persen itu lebih tinggi 8 kali dibanding cost of fund yang sebesar 0,3 persen.
Bagi
Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Zulkifli Zaini menilai NIM yang tinggi merupakan
hal bagus bagi perbankan dalam negeri. Alasannya, ini menjadi gimik bagi
investor untuk menanamkan modalnya di Tanah Air.
Dia
juga menampik anggapan yang menyebutkan bahwa NIM yang tinggi disebabkan oleh
tingkat suku bunga kredit yang sangat tinggi. Menurutnya, yang menjadi kunci
adalah biaya dana atau cost of fund.
Jika cost of fund turun namun NIM
tidak berubah, maka bunga kreditnya turun. “Jadi yang penting itu menurunkan cost of fund," jelas Zulkifli.
Namun
demikian, Direktur Riset Ekonomi Grup Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia Endy Dwi Tjahjono berpendapat berbeda. Menurut dia, tingginya
NIM kurang menarik investor masuk ke Indonesia. Sebabnya, NIM yang tinggi
membuat biaya investasi lebih mahal oleh karena tingginya suku bunga kredit.
Tabel NIM, Pendapatan Bunga dan Aset
2012 2013
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
Ags Sep Okt Nov Des
- Pendapatan
bunga bersih 183.471 169.889 176.666 183.510 185.970
189.115 191.240 192.862 195.023 196.860
198.231 200.338 218.105
- Rata-rata
total aset produktif 3.028.268 3.143.660
3.429.746 3.454.767 3.486.112
3.516.358 3.534.925 3.551.432
3.575.594 3.595.175 3.618.565
3.648.741 3.944.435