Rabu, 10 April 2013

Menguji Ikhtiar BI


Bank Indonesia akan memberlakukan benchmark margin bunga bersih perbankan. Meski dilakukan untuk menurunkan bunga kredit yang dinilai masih tinggi, kalangan perbankan masih menentangnya.

Boleh dibilang sejak akhir 2008 lalu, perbankan tidak lagi mengikuti apa yang diinginkan Bank Indonesia, terutama soal suku bunga. Saat itu, BI yang mulai rajin menurunkan suku bunga acuan tidak direspons oleh bank meski tenggang waktu yang biasanya dibutuhkan bank untuk menurunkan bunga kredit terlampaui.
Saat itu BI Rate yang berada pada posisi tertingginya di 9,50 persen mulai diturunkan. Namun bank yang seharusnya sudah mulai mengikuti kebijakan itu setelah tiga sampai enam bulan, tidak juga menurunkan bunga kredit.
Meski begitu, BI memakluminya karena di saat bersamaan perekonomian tengan menghadapi kisruh subprime mortgage. Saat itu dunia mulai mengobral kebijakan yang bertujuan untuk melindungi perekonomian dalam negerinya masing-masing agar tidak terhempas dampak kolapsnya kredit perumahaan AS. Apalagi masih di akhir 2008, perekonomian nasional juga terhenyak oleh kasus bailout Bank Century. BI menerima alasan bahwa saat itu bank terancam kekeringan likuiditas.  
Kemudian di saat perekonomian mulai memasuki tahap recovery pada 2010, ekonomi global diganggu instabilitas politik di Jazirah Arab yang menekan harga minyak dunia. Tak cukup sampai di situ, persoalan fiskal yang membelit kawasan Portugal, Italia, Irlandia Greece, dan Spanyol (PIIGS)  bergerak menjadi krisis dan memicu ekonomi Eropa memanas. Meski tak terlalu besar, krisis Eropa itu berpotensi mengganggu ekonomi Indonesia.
Potensi gangguan krisis Eropa direspons BI dengan memangkas BI Rate 25 basis poin ke level 6,50 persen untuk pertama kalinya pada 11 Oktober 2011 setelah bertahan selama sembilan bulan. Langkah ini dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan mempertimbangkan kemungkinan inflasi yang tetap berada di bawah 5 persen. Akan tetapi sekali lagi bank tidak memberikan respons seperti yang seharusnya.
Bank sentral tentu tidak tinggal diam. BI lalu melansir aturan yang mewajibkan seluruh bank mengumumkan suku bunga utamanya atau prime lending rate kepada masyarakat melalui media massa. Kebijakan itu bertujuan agar masyarakat bisa melihat bank mana yang memberikan suku bunga kompetitif sehingga kemudian pengusaha bisa memilih bank yang menawarkan tingkat suku bunga kredit paling rendah.
Dengan begitu meningkatnya permintaan kredit pada bank yang memberikan bunga kompetitif akan diikuti oleh bank lain jika tidak ingin ditinggal nasabah. “Kewajiban mengumumkan prime lending rate akan mendorong kompetisi yang sehat di antara bank. Ke depan, hal ini akan meningkatkan efisiensi bank-bank di Indonesia yang selanjutnya akan dapat bersaing dengan perbankan di kawasan Asia,” kata Gubernur BI Darmin Nasution saat itu.

Benchmark NIM
Dengan langkah itu, suku bunga kredit memang agak menurun mengikuti arahan bank sentral. Kendati begitu, angkanya masih dua digit padahal BI Rate saat ini sudah berada di level 5,75 persen terendah sepanjang sejarah. Untuk menekan bunga kredit ke level yang lebih rendah, otoritas kemudian meluncurkan regulasi baru yaitu menetapkan acuan (benchmark) bagi penentuan margin bunga bersih (net interest margin/ NIM) perbankan.
NIM adalah selisih antara bunga yang diterima setelah diperhitungkan dengan dasar pengenaan pajak dengan biaya bunga.
Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Irwan Lubis mengatakan BI mengeluarkan aturan benchmark NIM untuk menurunkan bunga kredit perbankan yang masih tinggi. Benchmark ditetapkan berdasarkan rata-rata industri sesuai bank umum kelompok usaha (BUKU).
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/2012 tentang izin berjenjang atau multiple lisence, BI mengatur kegiatan usaha dan jaringan kantor bank berdasarkan modal inti bank. Berdasarkan modal inti tersebut, bank dikelompokkan dalam empat kelompok usaha yakni Buku 1 bermodal inti kurang dari Rp1 triliun, BUKU 2 dengan modal inti Rp1-5 triliun, BUKU 3 sebesar Rp5-30 triliun, dan BUKU 4 diatas Rp30 triliun.
Bank wajib menyampaikan rencana tindak penyesuaian kegiatan usaha, margin bunga bersih, dan pemenuhan kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan produktif, paling lambat akhir Maret 2013. BI akan melihat rencana tindak (action plan) itu dengan pertimbangan NIM. "Bank yang NIM masih di atas rata-rata, harus punya action plan menurunkannya dan ada insentif dan disinsentif," tegas Irwan.
Menurut Irwan, benchmark NIM ini tidak akan dipublikasikan karena hanya digunakan sebagai pedoman pengawasan intrenal BI dalam bentuk surat edaran internal.
Menanggapi rencana BI tersebut, Persatuan Bank Umum Nasional (Perbanas) meminta bank sentral memikirkan ulang hal tersebut. Sebabnya, penerapan benchmark NIM ini dikhawatirkan akan menekan pertumbuhan perbankan.
Menurut Ketua bidang Pengkajian Perbanas Raden Pardede, BI harus mempertimbangkan tingkat risiko penyaluran kredit perbankan karena aturan tersebut. “Misalnya bank BRI memiliki NIM tinggi karena risiko kreditnya tinggi yakni kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Demikian juga dengan tingkat risiko kredit bank BTPN dan Bank Danamon yang NIM-nya masih tinggi. Artinya karakteristik setiap bank berbeda-beda,” jelas dia.
Bahkan, pelaku perbankan menilai penawaran bunga kredit di pasar sudah cukup kompetitif sampai saat ini, sehingga memungkinkan penurunan biaya dana yang mendukung penurunan NIM. BRI mengaku menargetkan tahun ini memangkas NIM 10 basis poin, kemudian Bank Danamon yang mengupayakan penurunan NIM ke level 9,7 persen.
Hingga akhir 2012, Bank Danamon mencatat posisi NIM di level 10,2 persen, meningkat dibanding 9,6 persen pada akhir 2011. Menurut Chief Financial Officer Bank Danamon Vera Eve Lim, kenaikan NIM terjadi seiring dengan penurunan biaya dana khususnya di deposito yang turun 6 persen dari Rp51,62 triliun menjadi Rp48,55 triliun. Sementara suku bunga kredit tercatat mengalami penurunan 20 basis poin dari 15 persen menjadi 14,8 persen. Sementara biaya dana turun 1,2 persen dari 5,7 persen menjadi 4,5 persen.
Oleh sebab itu, dengan melihat data Danamon, Raden menyarankan agar otoritas juga melihat upaya bank dalam meningkatkan efisiensinya. "Bank juga menggunakan profitnya untuk peningkatan modal. Tujuannya adalah ekspansi usaha," ungkap dia.
Ekspansi usaha perbankan, kata Raden, sangat penting untuk meningkatkan kapitalisasinya sehingga siap bersaing di kawasan. Saat ini, kendati produk domestik bruto (PDB) Indonesia terbesar, mencapai sekitar 40 persen di ASEAN, tidak ada bank lokal yang menjadi terbesar di kawasan itu. Singapura yang merupakan negara terkecil di ASEAN yang menempatkan banknya sebagai terbesar di kawasan ini, yakni DBS Group.
Pada Desember 2012, DBS mempunyai total aset sekitar Rp 2.784,44 triliun. Jumlah itu sekitar 4,4 kali lipat dari aset Bank Mandiri yang sebesar Rp 635,62 triliun. Mandiri merupakan badan usaha milik negara (BUMN) dan memiliki aset terbesar di industri perbankan Indonesia.
DBS mampu menarik dana masyarakat Rp 1.902,12 triliun dan menyalurkan kredit Rp 1.677,64 triliun. Jumlah simpanan itu sekitar 3,9 kali lipat dari DPK Bank Mandiri sebesar Rp 482,92 triliun. Namun, kredit yang disalurkan DBS mencapai 4,3 kali lipat dari kredit Mandiri sebesar Rp 388,83 triliun akhir tahun lalu.
Tingginya NIM di Indonesia juga membuat keuntungan bank makin besar. Bank Mandiri misalnya yang mampu meraup laba bersih Rp 15,5 triliun tahun lalu. NIM Mandiri sepanjang tahun 2012 mencapai 5,58 persen.
Tingginya kemampuan mencetak laba inilah yang membuat saham-saham perbankan di Indonesia menjadi favorit, diburu investor asing maupun lokal.

Angsa Emas
Maka dari itu, pejabat Perbanas Raden Pardede mewanti-wanti agar BI berhati-hati dalam menerapkan acuan NIM bagi perbankan. Hal tersebut akan berisiko mengikis keunggulan yang selama ini dimiliki perbankan di Indonesia. “Ini akan menjadi tragedi seperti memotong angsa bertelur emas,” kata dia.
Menurut Raden, biarkan saja keunggulan itu membantu peningkatan modal maupun kapitalisasi pasar emiten perbankan Indonesia. Hal itu juga akan menambah amunisi untuk bersaing dan bank nasional bisa tumbuh menjadi terbesar di ASEAN.
Sesuai data statistik perbankan Bank Indonesia (BI), NIM bank-bank umum di Tanah Air masih berada di atas 5 persen. NIM tertinggi terdapat pada kategori bank-bank umum swasta nasional non devisa sebesar 8,84 persen. Sedangkan secara masing-masing bank, ada bank yang masih mematok NIM diatas 10 persen misalnya Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN) dengan NIM 13 persen.
Lantas apa yang menyebabkan NIM perbankan masih tinggi? Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara mengatakan terdapat dua hal yang memungkinkan NIM menjadi tinggi. Pertama, kata Mirza, adalah biaya dana (cost of fund) yang rendah dan kedua adalah suku bunga kredit yang tinggi.
Bagi sektor yang kurang kompettif, kata dia, bank akan memberikan bunga kredit yang tinggi. Termasuk di dalamnya adalah sektor kredit mikro, yang bunganya masih di kisara 20 persen - 30 persen. Namun, jika semakin banyak orang berkompetisi masuk di kredit mikro dengan sendirinya membuat bunga kredit mikro merendah,” kata Mirza,
Hanya saja, Mirza berpendapat, kurang tepat apabila kinerja perbankan hanya dinilai dari tingginya NIM. Menurut Mirza, fungsi intermediasi perbankan harusnya menjadi acuan penilaian dari kinerja sektor perbankan. Kalau bank itu tidak menyalurkan kredit, hanya beli SBI, nah itu bisa disalahkan. Misalnya, NIM nya tinggi tapi hanya beli SBI," tegas Mirza.
Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menegaskan, NIM sebaiknya tidak dilihat dari nilai absolutnya atau angka yang tertera, tetapi cost of fund. Dia menguraikan, dengan level cost of fund 5,5 persen untuk suku bunga sekitar 11 persen, berarti NIM-nya sekira 5,5 persen. “Nah NIM 5,5 persen itu berapa kalinya cost of fund? Kan cuma satu kalinya," papar Destry.
Dia membandingkan dengan NIM perbankan di Singapura. Rata-rata biaya dana perbankan di Singapura sekitar 0,3 persen dengan besaran bunga kredit 3 persen. Dengan demikian NIM perbankan di Singapura berkiar sekira 2,5 persen. Artinya, posisi NIM 2,5 persen itu lebih tinggi 8 kali dibanding cost of fund yang sebesar 0,3 persen.
Bagi Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Zulkifli Zaini menilai NIM yang tinggi merupakan hal bagus bagi perbankan dalam negeri. Alasannya, ini menjadi gimik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Tanah Air.
Dia juga menampik anggapan yang menyebutkan bahwa NIM yang tinggi disebabkan oleh tingkat suku bunga kredit yang sangat tinggi. Menurutnya, yang menjadi kunci adalah biaya dana atau cost of fund. Jika cost of fund turun namun NIM tidak berubah, maka bunga kreditnya turun. “Jadi yang penting itu menurunkan cost of fund," jelas Zulkifli.
Namun demikian, Direktur Riset Ekonomi Grup Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Endy Dwi Tjahjono berpendapat berbeda. Menurut dia, tingginya NIM kurang menarik investor masuk ke Indonesia. Sebabnya, NIM yang tinggi membuat biaya investasi lebih mahal oleh karena tingginya suku bunga kredit.



 Tabel NIM, Pendapatan Bunga dan Aset


                                                            2012                                                                            2013
            Jan       Feb      Mar     Apr      Mei      Jun       Jul        Ags      Sep      Okt      Nov      Des
NIM (%)6,06    5,40     5,15     5,31     5,33     5,38     5,41     5,43     5,45     5,48     5,48     5,49     5,53
- Pendapatan bunga bersih 183.471   169.889           176.666           183.510           185.970 189.115         191.240             192.862           195.023           196.860           198.231 200.338         218.105
- Rata-rata total aset produktif 3.028.268     3.143.660        3.429.746        3.454.767        3.486.112        3.516.358             3.534.925        3.551.432        3.575.594        3.595.175        3.618.565        3.648.741        3.944.435



Berkah Inflasi yang Tersembunyi


Angka inflasi diprediksi akan lebih tinggi dari yang ditetapkan otoritas karena banyaknya kejadian yang membuat harga-harga terdongkrak. Meski demikian hal tersebut juga memberi dampak positif: mendorong pertumbuhan.


Banyak yang terjadi pada bulan lalu. Setidaknya jika dilihat dari kaca mata pengelolaan inflasi. Namun hal itu seharusnya sudah bisa dimitigasi oleh Bank Indonesia, karena tugasnyalah untuk mengarahkan kebijakan moneter pada kondisi atau perkiraan yang bakal terjadi pada 12 bulan ke depan.
Sepanjang tahun ini BI dipastikan akan berpapasan dengan banyaknya kejadian yang kemungkinan akan meningkatkan inflasi. Sebut saja kenaikan tarif listrik, kenaikan upah minimum regional, dan naiknya pengeluaran masyarakat dan pemerintah menjelang pemilihan umum tahun depan.
Bahkan BI juga harus berhadapan dengan kejadian di luar skenario. Kenaikan harga daging sapi akhir tahun lalu dan harga bawang merah dan putih bulan lalu jelas merupakan kejadian di luar prediksi yang bisa mendongkrak inflasi.
Belum lagi, perkembangan-perkembangan non ekonomi yang seringkali meningkatkan ekspektasi inflasi publik seperti isu adanya kudeta dan demonstrasi besar-besarn yang membuat masyarakat khawatir. Hal-hal seperti ini tak bisa dipungkiri mengancam roda bisnis yang ujung-ujungnya menghampat perekonomian.
Pada Februari lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan inflasi sebesar 0,75 persen yang merupakan angka bulanan tertinggi selama 10 tahun terakhir. Sementara inflasi tahunan pada waktu yang sama mencapai 5,31 persen.
Kondisi itu jelas peringatan serius bagi otoritas moneter yang hingga bulan lalu masih tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen, tak bergerak selama setahun terakhir. Tingkat BI Rate tersebut dinilai masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2013 dan 2014, sebesar sebesar 3,5 hingga 5,5 persen.
Agar angka inflasi pada akhir tahun tidak menembus sasaran yang ditetapkan, Bank Indonesia akan meningkatkan pengawasannya pada perkembangan harga-harga terutama pada harga pangan (volatile foods). Hal itu dikatakan BI dalam pernyataan resmi pasca mengumumkan BI Rate bulan lalu. BI juga mengharapkan dukungan kebijakan pemerintah seperti yang disepakati dalam bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, agar sasaran inflasi bisa tercapai.
BI dan pemerintah memiliki forum koordinasi yang memiliki concern menjaga perkembangan haraga-harga melalui Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) guna mengamankan pasokan dan distribusi barang.
Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, pihaknya dan pengelola fiskal untuk menangani kenaikan harga bawang yang sampai pekan terakhir bulan lalu harganya mulai melandai. BI akan juga bekerja sama dengan kementerian terkait untuk menangani kenaikan harga bawang ini, agar pengaruhnya pada inflasi bisa ditekan. “Sejauh ini, tekanan (dari kenaikan bawang) masih ada. Tapi nanti tergantung komunikasi dengan pemerintah, bagaimana cara mengatasinya, baik dari pedagang dan sebagainya,” kata Perry.
Pengaruh kenaikan bawang ke inflasi ini, kata Deputi yang baru saja terpilih bulan lalu, akan sangat ditentukan oleh bagaimana kecepatan pemerintah dalam menangani kasus ini. Sampai artikel ini ditulis, BI menurut dia, masih menghitung berapa besar pengaruh kenaikan itu ke inflasi. “Inflasi dari bawang merah dan bawang putih, memang dari Januari lalu yang merupakan dampak dari penerapan hortikultura ini memang berpengaruh kepada inflasi. Tapi kami akan melihat lagi pengaruhnya ke inflasi," kata Perry.
Meski begitu, BI tetap yakin bahwa inflasi yang bulan ini didorong sektor pangan karena dampak gangguan cuaca dan terbatasnya pasokan komoditas hortikultura yang berasal dari impor, tidak akan mengganggu target inflasi tahun ini. Tekanan inflasi karena faktor pangan akan segera mereda seiring dengan siklus panen yang akan terjadi bulan ini.
Keyakinan tersebut didukung pernyataan dari pemerintah yang mengatakan bahwa sekarang ini masuk waktu panen. Namun demikian, pemerintah tetap mewaspadai tekanan inflasi dari sektor lainnya.  “Maret-April inflasi diperkirakan rendah, karena ada panen raya. Nah, nanti masuk ke siklus lain lagi, bukan volatile food, tapi jadual sekolah,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida S Alisjahbana.
Setelah itu, siklus inflasi terus meningkat karena memasuki bulan Ramadhan dan Lebaran yang seperti biasa akan mendongkrak harga-harga di masyarakat. “Kalau puasa itu bulan Juli, Lebaran pada Agustus. Berarti Juli ada tantangan lagi," ujar Armida.
Untuk itu, pemerintah kata dia, akan mulai mewaspadai gejolak yang terjadi pada komponen-komponen pemicu inflasi sejak dini agar inflasi tidak berlanjut, dan bisa segera tertangani. Pemerintah menargetkan angka inflasi tahun 4,9 persen yang mana sudah sudah memperhitungkan tarif listrik,  dan dampak kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, kenaikan upah dapat menjadi salah satu faktor pemicu melesatnya inflasi pada 2013. "Kami malah lebih concern inflasi itu pengaruh dari upah minimum provinsi," ujarnya.
Menurut Bambang, dengan kenaikan upah buruh sekitar 40 persen sampai 50 persen, maka diprediksi faktor upah dapat menyumbang inflasi sekitar 0,2 persen-0,3 persen. “Itu kira-kira pengaruh inflasinya 0,2 persen-0,3 persen, tapi pertumbuhan ekonomi juga bisa bertambah karena daya beli naik," kata Bambang.

BI Rate dan Rupiah
Sementara itu, penetapan BI Rate sebesar 5,75 persen juga digunakan BI untuk mengabsorpsi tekanan yang selama ini menimpa nilai tukar rupiah atas dollar AS. Pada Februari lalu, tekanan depresiasi terhadap rupiah cenderung mereda sehingga mencapai rata-rata Rp.9.680 per dolar AS.
Menurut data BI, dibandingkan dengan posisi awal tahun, nilai tukar menguat sebesar 0,31 persen. Kebijakan stabilisasi nilai tukar yang ditempuh otoritas, termasuk penguatan mekanisme intervensi valuta asing dan pembentukan referensi nilai tukar rupiah di pasar domestik, mampu meningkatkan kepercayaan pasar. Selain itu, stabilitas nilai tukar juga didukung dengan masuknya aliran dana nonresiden ke instrumen rupiah yang mencapai Rp27,6 triliun. “Ke depan, BI terus menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan kondisi fundamental perekonomian,” kata pernyataan BI.
Bulan lalu, BI memang tengah membangun skema pertahanan yang lebih kuat bagi rupiah melalui kuotasi kurs. Istilah itu mengacu pada suatu pernyataan kesediaan bank melakukan transaksi, jual­beli valas pada suatu kurs yang diumumkan.
Bank-bank yang menjual valas itu diminta BI membuat kuotasi kurs harian untuk setiap mata uang yang dilayaninya. Kemudian, BI akan melihat apakah kuotasi itu ditetapkan sesuai pertimbangan yang tepat sebelum disetujui. Terakhir, BI akan memantau perdagangannya di pasar valas. “Harga kurs sebenarnya di tentukan spot. Kuotasi ini menjadi acuan. Skemanya sama persis dengan Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR),” kata Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI, Februari lalu.
Pada Januari, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 0,22 persen dibanding  bulan sebelumnya ke level Rp9.654 per dollar AS, berdasarkan data BI, melanjutkan pelemahannya di sepanjang tahun 2012, yang terdepresiasi sebesar 6,9 persen. Pada saat yang sama, regulator menemukan ‘kambing hitam’ yang melemahkan rupiah yaitu transaksi non delivery forward (NDF) yang dilakukan di Singapura.
Meski begitu langkah BI, lewat penetapan suku bunga acuan mesti didukung oleh otoritas fiskal dalam bentuk respons kebijakan. Pengamat ekonomi dari Uiversitas Brawijaya, Ahmad Erani Yustika, mengatakan, pemerintah harus mendukung kebijakan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga patokan (BI Rate) 5,75 persen. "Karena sampai akhir tahun diperkirakan masih ada tekanan pada nilai tukar rupiah," kata dia.
Langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah, dengan menjaga momentum investasi, mempertahankan konsumsi rumah tangga dan meningkatkan penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai target yang dipatok pemerintah sebelumnya di kisaran 6,6 persen hingga 6,8 persen.

Inflasi vs Pertumbuhan
Sementara itu, ekonom Standard Chartered, Erick Sugandi, memperkirakan, ekonomi bisa tumbuh 6,5 persen hingga akhir tahun karena terdongkrak konsumsi pemilihan umum. "Ada belanja tambahan dari kebutuhan Pemilu pada kuartal 4 tahun 2013 dan kuartal 1 tahun 2014," ujarnya.
Menurut prediksi Standard Chartered yang dipublikasikan pertengahan Maret, angkan inflasi kemungkinan akan lebih tinggi pada tahun ini karena berbagai alasan. Di antaranya adalah kenaikan tarif dasar listrik 15 persen tahun ini, kenaikan awal sebesar 4,3 persen sudah dilaksanakan pada Januari, yang akan diikuti oleh kenaikan lebih lanjut pada bulan April, Juli, dan Oktober.
Upah minimum juga sudah dinaikkan pada Januari berbarengan dengan kenaikan signifikan pada beberapa harga pangan. Selanjutnya, tekanan dari konsumsi rumah tangga yang akan meningkat selama Ramadhan yangberlangsung pada kuartal ketiga dan pengeluaran terkait pemilihan umum pada kuartal keempat akan mendorong inflasi lebih tinggi.
“Dengan asumsi pemerintah tidak menaikkan harga bensin bersubsidi, kita inflasi proyek sebesar 5,5 persen year on year pada akhir 2013, pada batas atas dari kisaran target BI 3,5 persen -5,5 persen, dan naik dari 4,3 persen pada akhir 2012,” kata Eric pada publikasi itu. “Artinya inflasi rata-rata sebesar 5,2 persen  pada 2013, naik dari 4,3 persen pada 2012.”
Meskipun inflasi lebih cepat, Standard Charterd memproyeksi bahwa pertumbuhan PDB riil akan meningkat dari 6,2 persen pada 2012 menjadi 6,5 persen pada 2013 dan 6,8 persen pada tahun 2014. Hal itu didorong oleh konsumsi rumah tangga (sekitar 55 persen dari PDB) dan investasi. “Kenaikan inflasi kemungkinan akan memiliki dampak minimal terhadap daya beli rumah tangga, di saat pendapatan rumah tangga juga meningkat, dibantu oleh kenaikan upah minimum dan kenaikan gaji tahunan bagi pegawai negeri sipil,” kata Eric.
Bank Indonesia tentu tak kalah optimisnya dengan Eric. Selain yakin bahwa inflasi akan terkendali, bank sentral juga memperkirakan perekonomian bisa bertumbuh 6,2 persen pada kuartal pertama tahun ini. “Dengan didukung oleh konsumsi domestik,” kata juru bicara Bank Indonesia, Difi Ahmad Johansyah, dalam siaran pers.
Menurut BI, konsumsi tumbuh cukup kuat sejalan dengan keyakinan konsumen dan daya beli masyarakat yang membaik. Sementara itu, berbagai indikator menunjukkan moderasi pertumbuhan investasi khususnya pada investasi nonbangunan di tengah investasi sektor bangunan yang masih cukup kuat.
Indikasi moderasi tersebut juga terlihat pada melandainya pertumbuhan impor, khususnya impor barang modal. Di sisi lain, kinerja ekspor ke berbagai negara mitra dagang utama, khususnya China, America Serikat (AS) dan India, diprakirakan membaik. Untuk keseluruhan tahun 2013, setelah memperhitungkan aktivitas ekonomi pada triwulan-triwulan selanjutnya, termasuk pengeluaran untuk persiapan Pemilu 2014, pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan cenderung mengarah ke batas bawah kisaran 6,3 persen-6,8 persen.
Memang banyak yang terjadi sepanjang bulan lalu, dan bakal lebih banyak yang terjadi pada bulan-bulan setelahnya. Meski mendorong inflasi, namun semua itu juga menjadi penolong bagi pertumbuhan ekonomi.



Figure 1: Perkiraan Makroekonomi Indonesia
         2012       2013F    2014F
GDP (riil % y/y)                                  6.2          6.5          6.8
CPI (% rerata th)                               4.3          5.2          5.1
Policy rate (%)*                                 5.75        5.75        6.25
USD-IDR*                                        9.793     9.500     8.900
Transaksi Berjalan (% GDP)              -2.8        -1.5        -0.6
Neraca Fiskal  (% GDP)                   -1.8        -1.6        -1.7
* akhir periode;
Sumber: Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Standard Chartered Research

Asuransi di Tengah Beragam Tantangan

Industri asuransi masih menghadapi tantangan yang cukup berat tahun ini, meski diyakin tetap akan mencatatkan pertumbuhan. Potensi pasar yang besar akan berhadapan dengan ketatnya aturan dan bertambahnya pesaing.


Dalam setiap diskusi mengenai potensi ekonomi di dunia, Indonesia selalu menjadi topik pembahasan. Tak terkecuali potensi asuransi. Dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan masih banyak yang belum memiliki asuransi, Indonesia jelas menjadi pasar menggiurkan.
Bahkan di saat industri asuransi negara-negara Barat terluka akibat krisis global dalam lima tahun terakhir, bisnis di Indonesia tetap melaju kencang. Dalam 10 tahun terakhir pertumbuhannya selalu mencapai dua digit. Malahan pertumbuhan premi asuransi jiwa rata-rata (CAGR–compounded average growth rate) selama lima tahun pada periode tahun 2006–2010—angkanya mencapai 30 persen.
Meski begitu, masyarakat Indonesia tetap termasuk dalam kategori un-insured. Menurut penelitian dari periset yang dikutip dari majalah The Economist, penetrasi asuransi Indonesia masih sangat minim yaitu sebesar 0,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka itu paling kecil dibanding dengan negara jiran seperti Malaysia (3,3 persen), Thailand (2,9 persen), Singapura (5,7 persen).
Tahun ini, pelaku industri pun masih tetap optimistis bahwa bisnis akan tetap tumbuh dua digit, meski dibayangi beberapa tantangan. Lembaga pemeringkatan global Fitch Ratings pun berani menilai bahwa prospek asuransi baik sektor jiwa maupun kerugian di Indonesia pada 2013 akan stabil dengan pertumbuhan pendapatan premi yang berkelanjutan.
Fitch, seperti dikutip Asia Insurance Review, mengatakan prospek stabil untuk industri asuransi tahun ini didorong oleh meningkatnya pendapatan nasional dan bertambahnya jumlah orang kaya di Indonesia. Hal itu akan berhadapan dengan penetrasi pasar dalam negeri yang sangat kurang, dan meningkatnya kesadaran risiko katastropik.
Apa yang dikatakan lembaga rating global itu tidaklah berlebihan. Pasalnya pada saat krisis global 2008 yang paling menghantam industri asuransi saja, Indonesia masih mengalami pertumbuhan dua digit. Meski setelah itu sempat melemah, namun pertumbuhannya tetap bertahan di level dua digit.
Menurut Hendrisman Rahim, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), fakta tersebut memang meningkatkan optimisme di kalangan pelaku industri. Untuk mempertahankan kecepatan pertumbuhan tersebut asosiasi akan meningkatkan sosialisasi asuransi kepada masyarakat. “Pendorong pertumbuhan yang tinggi itu adalah membaiknya kondisi ekonomi dan naiknya daya beli masyarakat. Termasuk semakin meleknya masyarakat akan pentingnya asuransi,” kata dia.
Tahun ini bisnis asuransi jiwa diprediksi akan mencatatkan pertumbuhan premi sebesar 25-30 persen.
Sementara itu, asuransi kerugian juga tidak kalah optimistis. Julian Noor, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), mengatakan bahwa pertumbuhan premi asuransi umum akan berada di angka 22-23 persen. Stabilnya  perekonomian nasional, sehingga mengerek porsi belanja negara akan mendorong kinerja bisnis asuransi.
Tahun ini, anggaran belanja negara direncanakan sebesar Rp 1.657,9 triliun, naik 7,1 persen dibandingkan 2012. Hal itu berarti proyek yang membutuhkan jaminan risiko akan bertambah.
Selain anggaran negara, pelaku asuransi umum juga membidik peningkatan anggaran daerah (APBD). Menurut Julian, kesadaran pemerintah daerah (pemda) mengasuransikan aset-aset mereka terus meningkat.  Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadi pelopor, yakni melelang penjaminan aset tahun depan, pemda lain diperkirakan akan mengikuti.
Dorongan pertumbuhan asuransi umum juga berasal dari langkah  Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang membuat tarif referensi asuransi properti dan kebakaran. "Tarif referensi akan membuat lini asuransi properti dan kebakaran kembali berkontribusi maksimal dengan persaingan sehat," kata Julian.
Di sisi lain, perusahaan asuransi juga sudah bisa menyesuaikan diri dengan aturan uang muka pada pembelian kendaraan secara kredit yang diberlakukan tahun lalu.
Bagaimana dengan asuransi syariah? Meskipun pangsanya baru 4 persen dari total industri asuransi, pertumbuhan asuransi syariah cukup pesat. Jenis asuransi yang mulai dikenal sejak bank syariah naik pamor pada awal 2000-an itu meningkat hingga 10 kali lipatnya dengan peningkatan premi rata-rata di atas 30 persen pada periode 2006-2012.
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) berani memperkirakan pertumbuhan industri asuransi syariah pada 2013 mencapai 30-40 persen. Dan tahun depan diperkirakan akan menjadi puncak pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia.
Pertumbuhan ini didorong oleh bertambahnya satu perusahaan asuransi syariah akibat dua aturan baru di industri. Kedua aturan tersebut adalah modal minimal perusahaan dan spin off unit usaha syariah perusahaan asuransi.
Tahun ini, beberapa perusahaan sedang gencar-gencarnya melakukan persiapan spin off. Salah satunya adalah unit usaha syariah Asuransi Manulife. Manulife berencana akan melakukan spin off pada 2014 dengan persiapan sepanjang 2013.
Berbeda dengan Manulife, Adira Insurance baru akan melakukan spin off bila perusahaan sudah membukukan premi Rp 250 miliar. Hal ini bertujuan agar perusahaan bisa membiayai operasionalnya sendiri.

Tantangan Industri
Akan tetapi, bukan berarti industri asuransi akan melenggang mulus mencapai target yang diinginkan pelaku. Setidaknya ada beberapa hal yang berpotensi mengganjal skenario optimistis industri.
Pertama adalah aturan modal minimum yang harus dipenuhi perusahaan sebesar Rp70 miliar pada 2012 dan menjadi Rp100 miliar pada 2014. Regulasi tak pelak akan mengerem ekspansi perusahaan dan mendorong konsolidasi pasar lebih ketat.
Menurut lembaga Fitch, dampak dari kebijakan itu, jumlah pemain industri diprediksi akan menyusut karena asuransi yang lebih kecil dan lebih lemah akan bergabung dengan perusahaan lain untuk memenuhi persyaratan modal baru atau dipaksa untuk keluar dari pasar. Meski demikian dalam jangka panjang, aturan itu akan membantu perusahaan mengembangkan kesadaran risiko yang lebih besar dan meningkatkan kemampuan mereka untuk mengelola sumber permodalan.
Ketentuan itu juga ibarat panggilan kepada investor asing untuk memasuki pasar Indonesia. Selain karena daya tarik itu, ada juga faktor pendorong yang berasal dari lesunya pertumbuhan pasar asuransi di negara macam Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan. Apalagi dengan batas kepemilikan asing yang mencapai di atas 90 persen, jauh lebih tinggi daripada di negara-negara Asia lainnya, tentu investor akan memilih Indonesia.
Kedua, tantangan yang mungkin menghambat pertumbuhan asuransi adalah penerapan standar akutansi internasional atau International Financial Result Standard (IFRS) untuk laporan keuangan tahun 2012.
Simulasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), menunjukkan penerapan aturan ini akan mengakibatkan liabilitas atau kewajiban perusahaan meningkat sehingga memperlemah ekuitas atau struktur permodalan. Hal itu tentu saja bakal membuat industri asuransi harus menambah modal lagi.
Ketiga, adalah risiko-risiko yang menempel pada perusahaan asuransi saat ini. seperti halnya bank asuransi juga menghadapi beberapa risiko utama seperti risiko kredit, risiko pasar, risiko stratejik, risiko regulasi dan risiko operasional. “Di samping itu juga ada risiko inheren yang khas yang disebut risiko aktuarial, yaitu kerugian yang terjadi ketika polis asuransi yang diterbitkan mengakibatkan klaim yang lebih besar dari yang diperkirakan,” ujar Gayatri Rawit Angreni, pakar manajemen risiko.