Bank Mega menempuh jalur berisiko dalam menangani kasus internal fraud padahal terbuka jalan
lain yang relatif lebih aman yaitu jalur penyelesaian di luar pengadilan.
Dalam industri yang sangat bergantung pada kepercayaan, bank
tentu tidak akan bermain-main dengan risiko reputasi. Risiko ini bisa datang
dari mana saja, namun kebanyakan datang dari pengelolaan reputasi itu sendiri.
Economist Intelligence Unit, dalam sebuah risetnya menemukan
bahwa 52 persen menganggap risiko reputasi sebagai risiko dengan sendirinya,
sementara 48 persen menganggap itu sebagai konsekuensi dari risiko lainnya. Seperti
risiko operasional yang disebabkan kesalahan orang, proses, sistem dan kejadian
eksternal, risiko kepatuhan dan risiko keuangan.
Mengacu pada penelitian tersebut, Bank Mega tampaknya tengah
bermain-main dengan risiko reputasi. Betapa tidak, kasus penarikan dana milik
PT Elnusa, perusahaan sektor minyak dan gas milik negara, oleh pegawai Bank
Mega yang terjadi dua tahun lalu hingga
kini belum juga tuntas.
Internal fraud di bank
milik konglomerat Chairul Tandjung itu merupakan salah satu kasus yang cukup
besar yang terjadi di 2011. Kasus itu
mencuat ketika, manajemen Elnusa tidak menemukan lagi dananya yang disimpan
sebagai deposito di bank tersebut. Pihak Elnusa tentu mempertanyakan dana yang
ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka yang raib itu, karena mereka merasa
tak pernah mencairkan. Deposito itu berbentuk deposito on call (DoC) yaitu deposito yang berjangka waktu minimal
tujuh hari dan paling lama kurang dari satu bulan.
Ditengarai raibnya dana itu hasil dari konspirasi antara Kepala
Cabang Bank Mega Jababeka dan Direktur Keuangan PT Elnusa. Nilai kerugiannya
Rp111 miliar. Keduanya dinilai dan dikuatkan dengan bukti-bukti, telah
memindahkan dana perusahaan migas itu ke rekening lain yaitu atas nama PT
Discovery Indonesia dan Harvestindo Asset Management.
Kasus inilah yang akhirnya membawa kedua perusahaan itu ke
meja hijau. Sengketa kasus itu kemudian berujung putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan pada 22 Maret 2012 yang memerintahkan Bank Mega untuk segera
mengembalikan dana.
Bank Mega menyatakan naik banding atas keputusan itu. Akan
tetapi Mei lalu, putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, menyatakan
bahwa pencairan deposito oleh Bank Mega kepada kedua perusahaan lain tanpa
sepengetahuan dan seizin Elnusa, adalah perbuatan melawan hukum.
Lagi-lagi, Bank Mega kalah di meja hijau. Dan bank itu kembali
memutuskan banding kali ini mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan langkah
itu hampir dipastikan bahwa kasus Bank Mega-Elnusa ini akan kembali
berlarut-larut. Hal itulah yang dikhawatirkan akan membuat reputasi bank tersebut
tergerogoti. Makin lama sebuah kasus negatif yang menimpa sebuah bank makin
besar risiko reputasi yang dihadapi bank itu.
Risiko reputasi lazimnya mengacu pada kerusakan reputasi
bank dan dampak negatif dari hal itu terhadap laba suatu bank, likuiditas dan
posisi modal. Dalam kasus Bank Mega, mungkin risiko itu bisa muncul dari
penurunan jumlah nasabah sebagai hasil dari citra publik yang negatif tentang
bank itu yang pada akhirnya bisa mengganjal potensi kenaikan kinerja keuangan.
Jalur Luar Pengadilan
Memang pilihan bank itu untuk terus menempuh jalur hukum
tidak bisa disalahkan. Namun jika mau memilih sebenarnya tersedia jalan
alternatif yang lebih ‘aman’ dengan risiko lebih rendah yaitu penyelesaian di
luar pengadilan. Cara yang beken disebut out
of court settlement itu sejatinya terbuka karena pihak Elnusa sebagai
nasabah sudah jauh-jauh hari memberi sinyal mau menempuh jalan tersebut.
“Kami, sejak kasus ini mencuat sudah membuka ruang untuk
penyelesaian di luar pengadilan,” kata Imansyah Sjamsoeddin, pejabat dari
Divisi Strategi dan Komersial Elnusa.
Meski demikian, Bank Mega tampaknya keukeuh untuk terus menempuh jalur hukum dengan alasan pihaknya
juga menjadi korban sama seperti Elnusa. Maka sejak awal, Elnusa mengikuti
‘gendang’ yang ditabuh oleh Bank Mega.
Elnusa juga sudah mengadu ke Bank Indonesia sejak kasus ini
muncul. Pada 24 Mei 2011, bank sentral menyimpulkan bahwa Bank Mega melanggar
ketentuan internal bank serta mendeteksi adanya kelemahan sistem operasional
prosedur (SOP) dan pengendalian internal. Bank Mega dinilai melanggar PBI No
5/8/PBI/2003 yang telah diubah dengan PBI No 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Otoritas perbankan kemudian memberi sanksi berupa
penghentian penambahan nasabah Deposit on
Call (DoC) baru dan perpanjangan DoC lama, termasuk untuk produk sejenis
seperti Negotiable Certificate of Deposit
(NCD), selama satu tahun sejak 24 Mei 2011. Bank juga harus menghentikan
pembukaan jaringan kantor baru selama satu tahun. Selain itu juga ada
sanksi-sanksi pembenahan internal yang harus dilakukan.
Bank Mega juga diwajibkan BI untuk segera membentuk escrow account senilai dana milik Elnusa
(dan Pemkab Batubara, Sumatra Utara, nasabah lain dari Elnusa yang juga jadi
korban) di kantor cabang pembantu Bekasi Jababeka. Pencairan rekening perantara tersebut hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan Bank Indonesia jika dinilai sudah tidak terdapat sengketa antara
bank dengan nasabah, baik yang diselesaikan melalui keputusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap atau melalui kesepakatan para pihak.
Jadi dalam sanksi itu sebenarnya BI juga sudah diberikan
peluang kepada Bank Mega untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan. Tapi
lagi-lagi manajemen bank tak tertarik mengambil jalur itu.
Dan kini Bank Mega dan Elnusa sama-sama harus terus
mengurusi masalah itu sampai tuntas di pengadilan. Keduanya tentu saja akan
kehilangan kesempatan untuk melanjutkan ekspansi dan akan terus terganggu
dengan masalah tersebut.
Menurut Imansyah dari Elnusa, pihaknya mengalami potential lost karena dana deposito
sebesar Rp111 miliar itu seharusnya bisa dijadikan modal kerja, mengurangi leverage perusahaan atau bisa digunakan
mendanai kebutuhan investasi. “Dana Rp111 miliar tersebut seharusnya digunakan
untuk mendanai berbagai proyek. Apalagi, jasa kontrak hulu minyak dan bersifat
jangka pendek tiga bulan,” kata dia.
Bank Mega tentu juga mengalama hal serupa setidaknya setelah
di-grounded oleh otoritas selama
setahun. Selain itu bank tentu akan kehilangan energi yang seharusnya bisa
digunakan untuk ekspansi akibat harus mengurusi masalah legal itu.
Oleh karena itu, pengamat hukum keuangan Yunus Husein
menyarankan agar Bank Mega mempertimbangkan kembali penyelesaian di luar
pengadilan alih-alih harus terus mengurusi persoalan hukum itu. “Biasanya kalau
sudah masuk kasasi, prosesnya bisa berlarut-larut. Ini akan membuat kedua belah
pihak kehilangan kesempatan untuk ekspansi,” kata mantan Kepala Pusat
Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan itu. “Jadi out of court settlement lebih baik.”
Sebelumnya, manajemen Bank Mega selalu menolak berkomentar,
dengan alasan aparat penegak hukum dan BI sudah menangani kasus ini. Mereka
juga memilih diam ketika Elnusa memaparkan sejumlah bukti penting, termasuk
konfirmasi audit dari Ernst and Young (E&Y) ke Itman Harry Basuki, Kepala
Bank Mega Cabang Bekasi Jababeka, tentang status deposito Elnusa.
Pihak manajemen hanya mengatakan bahwa kasus ini muncul
karena ada sindikat pembobol dana melibatkan orang-orang yang memiliki
kewenangan memindahbukukan atau menarik dana simpanan, baik dari pihak nasabah
maupun orang dalam bank. Sindikat ini penjahat lama dalam kasus pembobolan
bank-bank lain.
Belajar dari Citibank
Bank Mega, meskipun demikian, seharusnya bisa belajar dari
penanganan kasus yang menimpa Citibank. Bank asal AS ini juga terkena kasus internal fraud saat pegawainya terbukti
menggelapkan dana nasabah private banking.
Sama seperti Bank Mega, Citibank menjalani sanksi dari Bank Indonesia berupa
larangan ekspansi, selama setahun sejak Mei 2011. Namun tidak seperti Bank
Mega, bank global itu sudah sejak awal berjanji berupaya mengembalikan dana
nasabah yang dilarikan oleh pegawainya yang bernama Malinda Dee.
Meski awalnya kesulitan, namun komitmen Citibank itu telah
membuat nasabah yang menjadi korban lebih tenang karena memperoleh jaminan akan
dananya. Setelah proses hukum pidana atas penyelewengan dana oleh pegawainya
itu sudah diputuskan oleh pengadilan, manajemen Citibank berencana akan
menggugat pegawainya itu.
Malinda Dee dijerat pasal pencucian uang karena diduga menilap
dana nasabah Citibank Rp17 miliar. Dana itu dialirkan kepada beberapa anggota keluarga
Malinda, termasuk suami siri-nya,
Andhika Gumilang.
Tahun lalu, manajemen Citibank Indonesia sudah bisa bernafas
lega karena batas akhir masa hukuman sudah berakhir dan mematok pertumbuhan
bisnis wealth management tumbuh 15
persen. Pihak bank mengaku sudah didatangi nasabah kaya yang ingin bergabung ke
layanan itu sejak sebelum sanksi itu dicabut. “Saat itu ada ratusan nasabah
yang ingin upgrading tapi karena masih kena saksi jadinya tidak bisa dilakukan.
Setelah sanksi selesai baru dilakukan,” ujar Country Business Manager Global
Grup Citi Indonesia, Joel Kornreich.
Menurutnya, selain nasabah existing, minat nasabah baru untuk mengelola kekayaannya di
Citibank juga meningkat. Di wealth management, Citibank menawarkan beberapa
portofolio investasi seperti government
bond, corporate bond dan beberapa instrumen investasi lainnya.
Sementara itu divisi kartu kredit Citibank yang turut pula
mendapatkan sanksi pembekuan sementara, juga mulai memperlihatkan kinerja
bagus. Bahkan divisi yang baru dua bulan lalu bisa berekspansi kembali, (Citibank
harus menghentikan ekspansinya kartu kredit selama dua tahun sejak Mei 2011) sudah
berancang-ancang akan menggenjot kinerjanya. Malahan dua tahun di-grounded bank sentral tidak lantas
menggoyahkan kinerja keuangan raksasa keuangan asal AS ini.
Kini, bisnis kartu kredit akan kembali bersaing dengan
pemain-pemain lama. Kepala Divisi Kartu Kredit, Citibank Indonesia, Suparman
Kusuma mengatakan, Citibank akan fokus mempertajam dan mempertahankan pangsa
pasar di segmen emerging affluent dan
affluent atau kelas menengah dan
menengah-atas. Caranya, menyediakan produk dan program kartu kredit yang sesuai
dengan kebutuhan nasabah.
Bank Mega pun begitu. Lepas dari
masa hukuman BI, bank langsung tancap gas. Setelah dilarang membuka cabang
selama setahun sejak Mei 2011, bank itu kini siap berekspansi dengan membuka
puluhan cabang baru. Kabarnya Bank Mega harus mempersiapkan dana hingga Rp340
miliar untuk 68 kantor atau sekitar Rp5 miliar per satu cabang. Bulan lalu Bank Mega juga mengubah
logo perusahaan dengan logo baru yang dianggap akan membuat bank tersebut bisa going global.
Namun berbeda dengan
Citibank, ekspansi Bank Mega justru membuat Elnusa kecewa. Pasalnya bank itu
lebih memilih mengeluarkan dana lebih besar untuk membuka cabang ketimbang
menyelesaikan urusan dengan mereka. “Kami menyesalkan sikap bank yang
memikirkan ekspansi ketimbang kewajibannya," kata Kepala Divisi Strategi
dan Komersial Elnusa, Imansyah Syamsoeddin.
Seharusnya Bank Mega mencontoh Citibank ketika menangani
kasus Melinda Dee. Semua kerugian nasabah langsung diganti. "Setelah itu
mereka menuntut Melinda,” kata Imansyah.
Kini Elnusa mengaku berharap kepada Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) agar mulai memperhatikan kasus ini. OJK akan mengambil alih pengawasan
kasus ini dari BI awal tahun depan. Saat ini OJK mengaku masih berkoordinasi
dengan pihak terkait dalam menangani kasus-kasus sengketa yang melibatkan
nasabah dan bank. “Sekarang domainnya masih di BI, tapi kita akan terus
berkoordinasi sebelum kasus itu benar-benar kita tangani,” kata Komisioner OJK
Bidang Edukasi dan Perlindungan Nasabah, Kusumaningtuti S. Soetiono.
Sementara Bank Mega tentu juga berharap jalur hukum yang
dipilihnya bisa berbuah hasil yang menguntungkan. Meski begitu, bank itu mesti
ekstra keras mengelola risiko reputasi. Karena biar bagaimanapun risiko kalah
pada jalur hukum tetap ada dan hal itu akan mengikis reputasinya di mata
nasabah industri perbankan.
Grafis
Perjalanan Kasus Bank Mega vs Elnusa
24 Mei 2011
BI memutuskan (No 13/18/PSHM) Bank Mega melanggar ketentuan internal
bank serta kelemahan SOP dan Pengendalian Internal.
Bank Mega melanggar PBI No 5/8/PBI/2003 yang telah diubah dengan PBI
No 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank.
14 Februari 2012
Pengadilan Tipikor Bandung memvonis mantan Kacab Bank Mega cabang
Jababeka Itman Harry Basuki dengan hukuman 6 tahun penjara. Itman divonis
karena terbukti secara sah dan meyakinkan terjerat perkara korupsi dan
pencucian uang (money laundry) sebesar
Rp111 miliar milik PT Elnusa dalam bentuk deposito on call (DoC).
22 Maret 2012
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan perdata PT
Elnusa terhadap Bank Mega, dan memerintahkan Bank Mega segera mengembalikan
dana deposito senilai Rp 111 miliar milik PT Elnusa.
Majelis hakim memutuskan PT Bank Mega Tbk telah melakukan perbuatan
melawan hukum dan karenanya dihukum untuk mengembalikan dana PT Elnusa Tbk.
Jika Bank Mega gagal bayar, majelis hakim juga memerintahkan
dilakukannya sita jaminan kantor pusat Bank Mega di Jl. Kapten Tendean 12-14A
Jakarta Selatan.
6 Maret 2013
PT Elnusa Tbk kembali memenangkan gugatan perdata tingkat banding
terhadap PT Bank Mega Tbk. Emiten berkode ELSA ini meminta Bank Mega segera
melakukan pencairan dana deposito milik Elnusa senilai Rp 111 miliar beserta
bunganya enam persen per tahun.
Majelis hakim yang memeriksa perkara ini menyatakan putusan yang
diambil merupakan putusan yang sudah tepat dan memiliki landasan hukum yang
kuat. Bank Mega sebagai pembanding wajib menyerahkan deposito milik PT Elnusa.