Senin, 19 Agustus 2013

Menempuh Jalur Berbahaya

Bank Mega menempuh jalur berisiko dalam menangani kasus internal fraud padahal terbuka jalan lain yang relatif lebih aman yaitu jalur penyelesaian di luar pengadilan.

Dalam industri yang sangat bergantung pada kepercayaan, bank tentu tidak akan bermain-main dengan risiko reputasi. Risiko ini bisa datang dari mana saja, namun kebanyakan datang dari pengelolaan reputasi itu sendiri.
Economist Intelligence Unit, dalam sebuah risetnya menemukan bahwa 52 persen menganggap risiko reputasi sebagai risiko dengan sendirinya, sementara 48 persen menganggap itu sebagai konsekuensi dari risiko lainnya. Seperti risiko operasional yang disebabkan kesalahan orang, proses, sistem dan kejadian eksternal, risiko kepatuhan dan risiko keuangan.
Mengacu pada penelitian tersebut, Bank Mega tampaknya tengah bermain-main dengan risiko reputasi. Betapa tidak, kasus penarikan dana milik PT Elnusa, perusahaan sektor minyak dan gas milik negara, oleh pegawai Bank Mega yang terjadi  dua tahun lalu hingga kini belum juga tuntas.
Internal fraud di bank milik konglomerat Chairul Tandjung itu merupakan salah satu kasus yang cukup besar yang terjadi di 2011.  Kasus itu mencuat ketika, manajemen Elnusa tidak menemukan lagi dananya yang disimpan sebagai deposito di bank tersebut. Pihak Elnusa tentu mempertanyakan dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka yang raib itu, karena mereka merasa tak pernah mencairkan. Deposito itu berbentuk deposito on call (DoC) yaitu deposito yang berjangka waktu minimal tujuh hari dan paling lama kurang dari satu bulan.
Ditengarai raibnya dana itu hasil dari konspirasi antara Kepala Cabang Bank Mega Jababeka dan Direktur Keuangan PT Elnusa. Nilai kerugiannya Rp111 miliar. Keduanya dinilai dan dikuatkan dengan bukti-bukti, telah memindahkan dana perusahaan migas itu ke rekening lain yaitu atas nama PT Discovery Indonesia dan Harvestindo Asset Management.
Kasus inilah yang akhirnya membawa kedua perusahaan itu ke meja hijau. Sengketa kasus itu kemudian berujung putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 22 Maret 2012 yang memerintahkan Bank Mega untuk segera mengembalikan dana.
Bank Mega menyatakan naik banding atas keputusan itu. Akan tetapi Mei lalu, putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, menyatakan bahwa pencairan deposito oleh Bank Mega kepada kedua perusahaan lain tanpa sepengetahuan dan seizin Elnusa, adalah perbuatan melawan hukum.
Lagi-lagi, Bank Mega kalah di meja hijau. Dan bank itu kembali memutuskan banding kali ini mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan langkah itu hampir dipastikan bahwa kasus Bank Mega-Elnusa ini akan kembali berlarut-larut. Hal itulah yang dikhawatirkan akan membuat reputasi bank tersebut tergerogoti. Makin lama sebuah kasus negatif yang menimpa sebuah bank makin besar risiko reputasi yang dihadapi bank itu.
Risiko reputasi lazimnya mengacu pada kerusakan reputasi bank dan dampak negatif dari hal itu terhadap laba suatu bank, likuiditas dan posisi modal. Dalam kasus Bank Mega, mungkin risiko itu bisa muncul dari penurunan jumlah nasabah sebagai hasil dari citra publik yang negatif tentang bank itu yang pada akhirnya bisa mengganjal potensi kenaikan kinerja keuangan.

Jalur Luar Pengadilan
Memang pilihan bank itu untuk terus menempuh jalur hukum tidak bisa disalahkan. Namun jika mau memilih sebenarnya tersedia jalan alternatif yang lebih ‘aman’ dengan risiko lebih rendah yaitu penyelesaian di luar pengadilan. Cara yang beken disebut out of court settlement itu sejatinya terbuka karena pihak Elnusa sebagai nasabah sudah jauh-jauh hari memberi sinyal mau menempuh jalan tersebut.
“Kami, sejak kasus ini mencuat sudah membuka ruang untuk penyelesaian di luar pengadilan,” kata Imansyah Sjamsoeddin, pejabat dari Divisi Strategi dan Komersial Elnusa.
Meski demikian, Bank Mega tampaknya keukeuh untuk terus menempuh jalur hukum dengan alasan pihaknya juga menjadi korban sama seperti Elnusa. Maka sejak awal, Elnusa mengikuti ‘gendang’ yang ditabuh oleh Bank Mega.
Elnusa juga sudah mengadu ke Bank Indonesia sejak kasus ini muncul. Pada 24 Mei 2011, bank sentral menyimpulkan bahwa Bank Mega melanggar ketentuan internal bank serta mendeteksi adanya kelemahan sistem operasional prosedur (SOP) dan pengendalian internal. Bank Mega dinilai melanggar PBI No 5/8/PBI/2003 yang telah diubah dengan PBI No 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Otoritas perbankan kemudian memberi sanksi berupa penghentian penambahan nasabah Deposit on Call (DoC) baru dan perpanjangan DoC lama, termasuk untuk produk sejenis seperti Negotiable Certificate of Deposit (NCD), selama satu tahun sejak 24 Mei 2011. Bank juga harus menghentikan pembukaan jaringan kantor baru selama satu tahun. Selain itu juga ada sanksi-sanksi pembenahan internal yang harus dilakukan.
Bank Mega juga diwajibkan BI untuk segera membentuk escrow account senilai dana milik Elnusa (dan Pemkab Batubara, Sumatra Utara, nasabah lain dari Elnusa yang juga jadi korban) di kantor cabang pembantu Bekasi Jababeka. Pencairan rekening perantara tersebut hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia jika dinilai sudah tidak terdapat sengketa antara bank dengan nasabah, baik yang diselesaikan melalui keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau melalui kesepakatan para pihak.
Jadi dalam sanksi itu sebenarnya BI juga sudah diberikan peluang kepada Bank Mega untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan. Tapi lagi-lagi manajemen bank tak tertarik mengambil jalur itu.
Dan kini Bank Mega dan Elnusa sama-sama harus terus mengurusi masalah itu sampai tuntas di pengadilan. Keduanya tentu saja akan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan ekspansi dan akan terus terganggu dengan masalah tersebut.
Menurut Imansyah dari Elnusa, pihaknya mengalami potential lost karena dana deposito sebesar Rp111 miliar itu seharusnya bisa dijadikan modal kerja, mengurangi leverage perusahaan atau bisa digunakan mendanai kebutuhan investasi. “Dana Rp111 miliar tersebut seharusnya digunakan untuk mendanai berbagai proyek. Apalagi, jasa kontrak hulu minyak dan bersifat jangka pendek tiga bulan,” kata dia.
Bank Mega tentu juga mengalama hal serupa setidaknya setelah di-grounded oleh otoritas selama setahun. Selain itu bank tentu akan kehilangan energi yang seharusnya bisa digunakan untuk ekspansi akibat harus mengurusi masalah legal itu.
Oleh karena itu, pengamat hukum keuangan Yunus Husein menyarankan agar Bank Mega mempertimbangkan kembali penyelesaian di luar pengadilan alih-alih harus terus mengurusi persoalan hukum itu. “Biasanya kalau sudah masuk kasasi, prosesnya bisa berlarut-larut. Ini akan membuat kedua belah pihak kehilangan kesempatan untuk ekspansi,” kata mantan Kepala Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan itu. “Jadi out of court settlement lebih baik.”
Sebelumnya, manajemen Bank Mega selalu menolak berkomentar, dengan alasan aparat penegak hukum dan BI sudah menangani kasus ini. Mereka juga memilih diam ketika Elnusa memaparkan sejumlah bukti penting, termasuk konfirmasi audit dari Ernst and Young (E&Y) ke Itman Harry Basuki, Kepala Bank Mega Cabang Bekasi Jababeka, tentang status deposito Elnusa.
Pihak manajemen hanya mengatakan bahwa kasus ini muncul karena ada sindikat pembobol dana melibatkan orang-orang yang memiliki kewenangan memindahbukukan atau menarik dana simpanan, baik dari pihak nasabah maupun orang dalam bank. Sindikat ini penjahat lama dalam kasus pembobolan bank-bank lain.

Belajar dari Citibank
Bank Mega, meskipun demikian, seharusnya bisa belajar dari penanganan kasus yang menimpa Citibank. Bank asal AS ini juga terkena kasus internal fraud saat pegawainya terbukti menggelapkan dana nasabah private banking. Sama seperti Bank Mega, Citibank menjalani sanksi dari Bank Indonesia berupa larangan ekspansi, selama setahun sejak Mei 2011. Namun tidak seperti Bank Mega, bank global itu sudah sejak awal berjanji berupaya mengembalikan dana nasabah yang dilarikan oleh pegawainya yang bernama Malinda Dee.
Meski awalnya kesulitan, namun komitmen Citibank itu telah membuat nasabah yang menjadi korban lebih tenang karena memperoleh jaminan akan dananya. Setelah proses hukum pidana atas penyelewengan dana oleh pegawainya itu sudah diputuskan oleh pengadilan, manajemen Citibank berencana akan menggugat pegawainya itu.
Malinda Dee dijerat pasal pencucian uang karena diduga menilap dana nasabah Citibank Rp17 miliar. Dana itu dialirkan kepada beberapa anggota keluarga Malinda, termasuk suami siri-nya, Andhika Gumilang.
Tahun lalu, manajemen Citibank Indonesia sudah bisa bernafas lega karena batas akhir masa hukuman sudah berakhir dan mematok pertumbuhan bisnis wealth management tumbuh 15 persen. Pihak bank mengaku sudah didatangi nasabah kaya yang ingin bergabung ke layanan itu sejak sebelum sanksi itu dicabut. “Saat itu ada ratusan nasabah yang ingin upgrading tapi karena masih kena saksi jadinya tidak bisa dilakukan. Setelah sanksi selesai baru dilakukan,” ujar Country Business Manager Global Grup Citi Indonesia, Joel Kornreich.
Menurutnya, selain nasabah existing, minat nasabah baru untuk mengelola kekayaannya di Citibank juga meningkat. Di wealth management, Citibank menawarkan beberapa portofolio investasi seperti government bond, corporate bond dan beberapa instrumen investasi lainnya.
Sementara itu divisi kartu kredit Citibank yang turut pula mendapatkan sanksi pembekuan sementara, juga mulai memperlihatkan kinerja bagus. Bahkan divisi yang baru dua bulan lalu bisa berekspansi kembali, (Citibank harus menghentikan ekspansinya kartu kredit selama dua tahun sejak Mei 2011) sudah berancang-ancang akan menggenjot kinerjanya. Malahan dua tahun di-grounded bank sentral tidak lantas menggoyahkan kinerja keuangan raksasa keuangan asal AS ini.
Kini, bisnis kartu kredit akan kembali bersaing dengan pemain-pemain lama. Kepala Divisi Kartu Kredit, Citibank Indonesia, Suparman Kusuma mengatakan, Citibank akan fokus mempertajam dan mempertahankan pangsa pasar di segmen emerging affluent dan affluent atau kelas menengah dan menengah-atas. Caranya, menyediakan produk dan program kartu kredit yang sesuai dengan kebutuhan nasabah.
Bank Mega pun begitu. Lepas dari masa hukuman BI, bank langsung tancap gas. Setelah dilarang membuka cabang selama setahun sejak Mei 2011, bank itu kini siap berekspansi dengan membuka puluhan cabang baru. Kabarnya Bank Mega harus mempersiapkan dana hingga Rp340 miliar untuk 68 kantor atau sekitar Rp5 miliar per satu cabang. Bulan lalu Bank Mega juga mengubah logo perusahaan dengan logo baru yang dianggap akan membuat bank tersebut bisa going global.
 Namun berbeda dengan Citibank, ekspansi Bank Mega justru membuat Elnusa kecewa. Pasalnya bank itu lebih memilih mengeluarkan dana lebih besar untuk membuka cabang ketimbang menyelesaikan urusan dengan mereka. “Kami menyesalkan sikap bank yang memikirkan ekspansi ketimbang kewajibannya," kata Kepala Divisi Strategi dan Komersial Elnusa, Imansyah Syamsoeddin.
Seharusnya Bank Mega mencontoh Citibank ketika menangani kasus Melinda Dee. Semua kerugian nasabah langsung diganti. "Setelah itu mereka menuntut Melinda,” kata Imansyah.
Kini Elnusa mengaku berharap kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar mulai memperhatikan kasus ini. OJK akan mengambil alih pengawasan kasus ini dari BI awal tahun depan. Saat ini OJK mengaku masih berkoordinasi dengan pihak terkait dalam menangani kasus-kasus sengketa yang melibatkan nasabah dan bank. “Sekarang domainnya masih di BI, tapi kita akan terus berkoordinasi sebelum kasus itu benar-benar kita tangani,” kata Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Nasabah, Kusumaningtuti S. Soetiono.
Sementara Bank Mega tentu juga berharap jalur hukum yang dipilihnya bisa berbuah hasil yang menguntungkan. Meski begitu, bank itu mesti ekstra keras mengelola risiko reputasi. Karena biar bagaimanapun risiko kalah pada jalur hukum tetap ada dan hal itu akan mengikis reputasinya di mata nasabah industri perbankan.


Grafis
Perjalanan Kasus Bank Mega vs Elnusa

24 Mei 2011
BI memutuskan (No 13/18/PSHM) Bank Mega melanggar ketentuan internal bank serta kelemahan SOP dan Pengendalian Internal.
Bank Mega melanggar PBI No 5/8/PBI/2003 yang telah diubah dengan PBI No 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank.

14 Februari 2012
Pengadilan Tipikor Bandung memvonis mantan Kacab Bank Mega cabang Jababeka Itman Harry Basuki dengan hukuman 6 tahun penjara. Itman divonis karena terbukti secara sah dan meyakinkan terjerat perkara korupsi dan pencucian uang (money laundry) sebesar  Rp111 miliar milik PT Elnusa dalam bentuk deposito on call (DoC).

22 Maret 2012
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan perdata PT Elnusa terhadap Bank Mega, dan memerintahkan Bank Mega segera mengembalikan dana deposito senilai Rp 111 miliar milik PT Elnusa.
Majelis hakim memutuskan PT Bank Mega Tbk telah melakukan perbuatan melawan hukum dan karenanya dihukum untuk mengembalikan dana PT Elnusa Tbk.
Jika Bank Mega gagal bayar, majelis hakim juga memerintahkan dilakukannya sita jaminan kantor pusat Bank Mega di Jl. Kapten Tendean 12-14A Jakarta Selatan.

6 Maret 2013
PT Elnusa Tbk kembali memenangkan gugatan perdata tingkat banding terhadap PT Bank Mega Tbk. Emiten berkode ELSA ini meminta Bank Mega segera melakukan pencairan dana deposito milik Elnusa senilai Rp 111 miliar beserta bunganya enam persen per tahun.
Majelis hakim yang memeriksa perkara ini menyatakan putusan yang diambil merupakan putusan yang sudah tepat dan memiliki landasan hukum yang kuat. Bank Mega sebagai pembanding wajib menyerahkan deposito milik PT Elnusa.


Pionir yang Sedang Berbenah

Bank Muamalat tengah melakukan transformasi untuk mengembalikan posisinya di industri perbankan syariah. Hal itu dilakukan agar bisa meningkatkan kinerja keuangannya meski harus berbeda jalan dengan pendahulunya.


Pada akhirnya bisnis yang bisa bertahan dan kemudian mereguk sukses adalah yang berorientasi pasar. Mungkin pada awalnya, perusahaan yang pertama kali berdiri ataupun yang bermodal besar bisa sukses bertahan dalam bisnis. Namun jika tidak segera menyesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan pasar maka tinggal menunggu waktu saja sebelum perusahaan itu redup dan akhirnya mati.
Bank Muamalat bisa jadi adalah contoh kasus yang bagus untuk menggambarkan betapa orientasi pasar begitu penting buat perusahaan. Bank yang menjadi pionir di industri syariah itu kini mendapati kenyataan bahwa tetap bertahan dengan strategi fokus pada pasar loyalis tidak akan mendongkrak kinerja keuangannya.
Segmentasi pasar dalam industri perbankan syariah umumnya dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, pasar yang loyal terhadap perbankan syariah (loyalis syariah). Kedua, pasar mengambang, yaitu yang dapat menerima kedua sistem perbankan konvensional dan perbankan syariah (floating mass). Ketiga, pasar yang loyal terhadap perbankan konvensional (loyalis konvensional).
Segmen pertama memiliki ciri tidak terlalu memedulikan keuntungan secara materi, pokoknya asal semuanya sesuai kaidah syariah maka nasabah jenis ini akan tetap menggunakan bank syariah. Nah, segmen inilah yang selama beberapa tahun sejak Bank Muamalat didirikan pada 1991 menjadi konsumen inti bank itu.
Akan tetapi ketika industri perbankan syariah mulai marak pertengahan dekade 2000-an, segmen ini tidak banyak berkembang. Justru nasabah jenis rasional yang masuk dalam segmen pasar mengambang yang terus membesar. Ciri dari segmen floating adalah mereka tidak memedulikan jenis banknya, selama bisa memberi return lebih tinggi dan pelayanan lebih baik maka itulah yang dipilih.
Bank-bank syariah yang lahir setelah Muamalat lebih gencar menggarap segmen pasar mengambang ini dan hasilnya ternyata lebih bagus. Menurut hasil penelitian Karim Institute, sebuah konsultan ternama di industri syariah nasional, saldo rata-nasabah floating mass di bank syariah ternyata secara signifikan lebih besar dibandingkan saldo rata-rata nasabah loyalis.
Kenyataan tersebut tentu menjadi salah satu pertimbangan manajemen Muamalat untuk segera berbenah memperbaiki strategi bisnis. Bagaimana tidak, bank yang memiliki tagline “Pertama Sesuai Syariah ini” lambat laun sejak memimpin perolehan kinerja keuangan di industri sepanjang dekade 2000-an mulai disalip oleh pesaingnya.
Sepanjang lima tahun terakhir, sejak 2007 hingga 2011 aset perusahaan telah meningkat sampai tiga kali lipat dari Rp10,57 triliun menjadi Rp32,48 triliun. Kemudian, apabila dibandingkan dengan satu dekade sebelumya, di akhir 2001, maka pertumbuhan tercatat berlipat 20 kali dimana pada saat itu aset Bank Muamalat hanya Rp 1,6 triliun. Dan pada akhir Desember 2012, aset Bank Muamalat sudah mencapai Rp 41,88 triliun.
Meski demikian, pencapaian itu sudah dilampaui Bank Syariah Mandiri (BSM), anak usaha Bank Mandiri bank beraset terbesar di Indonesia. Pada akhir 2011, aset BSM tercatat sebesar Rp48,67 triliun, naik 49,85 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp32,48 triliun. Dan pada Desember 2012 asetnya menjadi Rp54,23 triliun.
Bahkan ketika bermunculan bank syariah baru karena memang Bank Indonesia memberi insentif bagi bank jenis itu, persaingan yang dihadapi oleh Muamalat makin berat. Dan hal itu akan bertambah berat jika bank itu tetap mempertahankan fokus nasabah dan bisnis yang digelutinya selama ini.
Maka rencana untuk melakukan perbaikan pun mulai digagas. Boleh dibilang momen transformasi itu dimulai sejak Arviyan Arifin resmi menggantikan Ahmad Riawan Amin sebagai Direktur Utama pada 2009. Beberapa pihak mengatakan bahwa sosok Arviyan selama ini adalah orang yang sering berada di balik produk-produk inovatif Muamalat.
Akan tetapi berbeda dengan pendahulunya, Arviyan seringkali mengedepankan bisnisnya ketimbang sisi syariahnya. “Sementara Riawan sangat ketat soal kaidah syariahnya,” kata sumber yang tidak mau disebutkan namanya.

Bisnis dan Kaidah Syariah
Apa yang disebutkan oleh sumber di atas, setidaknya sejalan dengan yang dikatakan Taufik Chief Executive MarkPlus Insight, konsultan pemasaran ternama. Pada 2008, saat Bank Indonesia memperkenalkan konsep iB (Islamic Banking) untuk perbankan syariah, Bank Muamalat masih dipegang oleh Riawan Amin sempat menyangsikan tersebut. “Waktu itu beliau khawatir akan program itu akan menyimpang dari nilai syariah yang sebenarnya,” kata Taufik.
Akan tetapi saat Arviyan mulai menjabat sebagai Direktur Utama, tampak penerimaan akan konsep iB bisa lebih terlihat di Bank Muamalat. Bahkan di bawah komando Arviyan, bank itu terlihat makin terbuka dengan berbagai langkah perubahan.
Perubahan di bank itu boleh dibilang mulai terlihat sejak 2010 saat Bank Muamalat sukses melakukan right issue dan pembenahan manajemen. Pada tahun yang sama pula, bank itu mulai berekspansi ke tempat yang sebelumnya tidak pernah disentuh oleh manajemen lama. Bank itu mulai merambah ke ke mal-mal.
Yang lebih fenomenal lagi, Muamalat terus memaksimalkan 4 ribu outlet di kantor pos dan 300 kantor cabangnya di seluruh Indonesia serta melakukan inovasi produk. Namun kerjasama dengan PT Pos ini sudah dilakukan sejak periode Riawan Amin yang juga merupakan penggagas Produk Shar-E, produk tabungan revolusioner yang merupakan kerja sama dengan PT Pos.
Kemudian pada 2012, tepat di usia yang keduapuluh, Muamalat melakukan langkah berani dengan mengubah logonya sebagai salah satu tahap transformasi yang mesti dilakukan. Seperti yang diungkapkan oleh Arviyan saat peluncuran logo itu, langkah tersebut ditujukan untuk membangun , merevitalisasi dan meremajakan citra Bank Muamalat bertransformasi menjadi bank yang modern di tengah masyarakat.
“Memantapkan proses transformasi yang dijalankan, Bank Muamalat meluncurkan logo barunya. Peluncuran logo baru ditujukan untuk membangun merevitalisasi dan meremajakan citranya yang sedang bertaransformasi menjadi bank yang modern ditengah masyarakat yang tumbuh cepat dan dinamis,” jelas Arviyan.
Ya, menjadi bank modern berarti harus merangkul lebih banyak pihak dan lebih terbuka. Mungkin ide itu yang sedang dibangun oleh manajemen Muamalat di bawah Arviyan. Meski demikian, kata Arviyan, logo baru itu merupakan penegasan dari apa yang dilakukan sebelumnya.
Sementara itu, Taufik dari Markplus melihat penggantian logo itu sebagai suatu wajah baru di Bank Muamalat. “Ada semangat untuk terbuka. Kami juga melihat bahwa dari sisi pemegang saham, memang terdapat beberapa orang ikut masuk dan mempunyai visi terbuka,” kata dia.
Saat ini dalam jajaran Komisaris ada nama Emirsyah Satar dan Widigdo Sukarman. Kedua nama itu memang bukan orang-orang yang tidak terlibat dari awal pembentukan Bank Muamalat. Namun demikian kedua nama itu tentu memiliki kemampuan untuk mengembangkan Bank Muamalat agar sejajar dengan bank-bank lain. Seperti diketahui Emir pernah menjadi direktur di Bank Danamon, dan Widigdo sempat memimpin Bank BNI. “(Dengan latar belakang itu) Pasti mereka membawa pengaruh ke Bank Muamalat untuk semakin terbuka,” kata Taufik.
Kini dengan transformasi yang sudah dijalankan selama lebih dari tiga tahun, perlahan namun pasti kinerja bank itu mulai meningkat. Sepanjang 2012, bank menambah 82 kantor sehingga kini totalnya menjadi 442 kantor. Bank juga telah menambah 27 kantor kas  keliling (mobile branch) sepanjang 2012. Bahkan untuk meningkatkan aksesibilitas nasabah, Muamalat menambah jumlah mesin tarik tunai dari 475 unit menjadi 1001 unit.
Tak hanya itu, Bank Muamalat berencana menambah modal agar bisa beralih ke Buku III dengan modal minimal Rp 5 triliun. “Penambahan modal dilakukan melalui right issue karena Muamalat adalah perusahaan publik sehingga harus ada pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kata Arviyan.
Tahun ini Bank Indonesia mengeluarkan aturan mengenai modal bank yang dikaitkan dengan kegiatan usahanya. Bank kategori BUKU I merupakan bank yang memiliki modal inti sampai dengan di bawah Rp1 triliun. Kegiatan usaha bank ini dalam rupiah berupa penghimpunan dan penyaluran dana yang bersifat trade finance atau hanya Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN), keagenan dan kerja sama terbatas.
Bank yang masuk BUKU II memiliki modal inti minimum Rp1 triliun sampai dengan di bawah Rp5 triliun. Kegiatan bank di kelompok ini, bisa dalam rupiah dan valas. Kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana pun lebih luas dibandingkan BUKU I. Trade Finance bisa letter of credit (LC) dan SKBDN. Keagenan, kerja sama, sistem pembayaran, e-banking lebih luas dari BUKU I. Dalam kategori ini bank dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia.
Sedangkan BUKU III, merupakan bank yang bermodal inti minimum Rp5 triliun sampai dengan di bawah Rp30 triliun. Bank-bank ini dapat melakukan semua kegiatan usaha bank dalam bentuk rupiah maupun valuta asing. Di BUKU III juga dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia dan di luar negeri pada wilayah regional Asia.
BUKU IV, yaitu bank dengan modal inti minimum Rp30 triliun. Bank dapat melakukan seluruh kegiatan usaha bank dalam bentuk rupiah dan valuta asing. Dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia dan di seluruh wilayah luar negeri.


Box

 Berawal dari Lokakarya
 Ide kongkrit Pendirian Bank Muamalat Indonesia berawal dari lokakarya “Bunga Bank dan Perbankan” yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 di Cisarua. Ide ini kemudian lebih dipertegas lagi dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) ke IV MUI di Hotel Sahid Jaya Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990 yang mengamanahkan kepada Bapak K.H. Hasan Bahri yang terpilih kembali sebagai Ketua Umum MUI, untuk merealisasikan pendirian Bank Islam tersebut. Setelah itu, MUI membentuk suatu Kelompok Kerja (POKJA) untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tim POKJA ini membentuk Tim Kecil “Penyiapan Buku Panduan Bank Tanpa Bunga”, yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. M. Amin Azis.
Hal paling utama dilakukan oleh Tim MUI ini di samping melakukan pendekatan-pendekatan dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait adalah menyelenggarakan pelatihan calon staf melalui Management DevelopmentProgram (MDP) di Lembaga Pendidikan Perbankan Indonesia (LPPI), Jakarta yang dibuka pada tanggal 29 Maret 1991 oleh Menteri Muda Keuangan, dan meyakinkan beberapa pengusaha muslim untuk jadi pemegang saham pendiri. Untuk membantu kelancaran tugas-tugas MUI ini dibentuklah Tim Hukum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang di bawah Ketua Drs. Karnaen Perwaatmadja, MPA. Tim ini bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatu yang menyangkut aspek hukum Bank Islam.
Pada tanggal 1 November 1991 terlaksana penandatanganan Akte Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia di Sahid Jaya Hotel dihadapan Notaris Yudo Paripurno, SH. dengan Akte Notaris No.1 tanggal 1 November 1991 (Izin Menteri Kehakiman No. C2.2413.HT.01.01 tanggal 21 Maret 1992/Berita Negara RI tanggal 28 April 1992 No.34). Pada saat penandatanganan Akte Pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 48 miliar.
Selanjutnya, pada acara silaturahmi pendirian Bank Syari’ah di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari masyarakat Jawa Barat yang turut menenm modal senilai Rp 106 miliar. Dengan angka modal awal ini Bank Muamalat mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992 bertepatan dengan tanggal 27 Syawal 1412 H, SK Menteri Keuangan RI No. 1223/MK. 013/1991 tanggal 5 November 1991 diikuti oleh izin usaha keputusan MenKeu RI No. 430/KMK.013/1992 tanggal 24 April 1992. Pada tanggal 1 Mei 1992, Menteri Keuangan dan dengan dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia, meresmikan mulai beroperasinya Bank Muamalat dalam upacara soft opening yag diadakan di Kantor Pusat Bank Muamalat di Gedung Arthaloka, Jl. Jenderal Sudirman Jakarta.
Pada tanggal 27 Oktober 1994, Bank Muamalat berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa yang semakin memperkokoh posisi perseroan sebagai Bank Syari’ah pertama dan terkemuka di Indonesia dengan beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan. Pada saat Indonesia dilanda krisis moneter, sektor Perbankan Nasional tergulung oleh kredit macet di segmen korporasi. Bank Muamalat pun terimbas dampak krisis. Pada tahun 1998, Perseroan mencatat rugi sebesar Rp 105 miliar.
Dalam upaya memperkuat permodalannya, Bank Muamalat mencari pemodal yang potensial, dan ditanggapi secara positif oleh Islamic Development Bank (IDB) yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi. Pada RUPS tanggal 21 Juni 1999 IDB secara resmi menjadi salah satu pemegang saham Bank Muamalat. Oleh karenanya, kurun waktu antara tahun 1999 sampai 2002 merupakan masa-masa yang penuh tantangan sekaligus keberhasilan bagi Bank Muamalat karena berhasil membalikkan kondisi dari rugi menjadi laba dari upaya dan dedikasi setiap Pegawai Muamalat, ditunjang oleh kepemipinan yang kuat, strategi pengembangan usaha yang tepat, serta ketaatan terhadap pelaksanaan Perbankan Syariah secara murni.

Dari berbagai sumber

Early Warning

Era suku bunga kredit pemilikan rumah single digit tampaknya akan segera berakhir. Selain itu, naiknya suku bunga acuan juga bisa memicu kredit bermasalah di sektor perumahan. 

Memang seperti telah menjadi hukum alam, maka setelah jalan yang melandai dan menurun selalu ada jalan yang menanjak. Setelah ada hal-hal yang menyenangkan, selalu saja muncul hal-hal yang membuat kita khawatir. Pengumuman kenaikan suku bunga acuan bulan lalu sepertinya merupakan batas antara kondisi yang menyenangkan dengan yang bakal membuat khawatir. Seperti yang sudah-sudah, kenaikan BI Rate akan langsung direspons bank dengan menaikkan suku bunga kredit (berbeda dengan jika BI Rate turun bank tidak langsung meresponsnya). Yang paling khawatir dengan perkembangan itu tentu adalah nasabah kredit terutama yang pembeli rumah. Biasanya jenis kredit inilah yang akan langsung dikerek bank jika suku bunga induk dari Bank Indonesia naik. Selain karena karena banyak peminat, kredit sektor ini dianggap tak pernah ‘ada matinya’. BI mencatat hingga akhir 2012, sebanyak 80 persen masyarakat masih menggunakan skema kredit kepemilikan rumah (KPR) sebagai sumber pembiayaan membeli rumah. Sedangkan 11,33 persen menggunakan metode tunai bertahap dan 8,67 persen tunai keras (hard cash). Tingginya minat KPR juga bisa dilihat dari portofolio KPR yang tumbuh secara signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Jika pada 2002 outstansing portofolio KPR di Indonesia masih sebesar Rp11 triliun, maka pada akhir 2012 angkanya naik 20 kali lipat dan menyentuh angka Rp222 triliun. Rasio KPR terhadap total kredit perbankan juga terus mengalami kenaikan. Pada 2002, rasio KPR terhadap total kredit perbankan berada di posisi 2,91 persen, dan pada 2012 rasionya sudah mencapai 8,21 persen. Peningkatan outstanding portofolio KPR dan rasio KPR terhadap total kredit tidak terlepas dari tren penurunan bunga KPR dalam beberapa tahun terakhir. Malahan dalam tiga tahun terakhir, nasabah KPR sudah merasakan suku bunga single digit. Maka dari itu tidak berlebihan jika banyak pihak menganggap bahwa langkah Gubernur BI Agus Martowardojo menaikkan BI Rate sebagai akhir dari era suku bunga rendah yang diusung pendahulunya: Darmin Nasution. Agus, mantan Menteri Keuangan yang baru pertama kali memimpin rapat dewan gubernur di BI menaikkan bunga 25 basis poin menjadi 6 persen. Langkah itu juga pertama kalinya BI Rate dinaikkan setelah bertahan selama 15 bulan. Padahal Gubernur BI sebelumnya, Darmin Nasution sudah memulai rezim suku bunga rendah, salah satunya dengan mewajibkan bank mengumumkan suku bunga dasar kredit (SBDK) kepada publik. BI juga mendesak agar perbankan melakukan efisiensi, sementara BI sendiri mengupayakan pengendalian inflasi yang efektif bersama dengan pemerintah. Dengan itu, perlahan tapi pasti beberapa bank sudah berani menawarkan bunga KPR di bawah 1 persen, yang dimulai oleh BCA sejak 2010. Saat ini bahkan beberapa bank sangat agresif menawarkan bunga KPR rendah sampai kisaran 6-7 persen. Sebagai contoh Bank Mandiri. Bank beraset terbesar itu menawarkan suku bunga pembiayaan perumahaan sebesar 6,75 persen dengan skema effective fixed rate selama dua tahun. Pada tahun ketiga, suku bunga yang ditawarkan tetap berada pada 9,75 persen dengan skema fixed. Tak mau kalah, Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga terus gencar memberikan suku bunga KPR yang kompetitif. Bank berlaba terbesar itu menawarkan bunga kredit properti 7,11 persen dengan skema fixed rate selama tiga tahun. Bank CIMB Niaga juga menunjang pertumbuhan KPR-nya dengan tingkat bunga tetap di level 7,99 persen sepanjang tiga tahun, dan 8,99 persen selama 5 tahun. Langkah yang sama dilakukan juga oleh PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang tetap mengandalkan KPR untuk bisnis konsumer, dengan menyiapkan berbagai program bunga tetap sampai lima tahun. Bahkan atas strateginya itu porsi KPR telah mendominasi kredit konsumer BCA. Dengan kompetitifnya suku bunga, laju kredit properti pun semakin tinggi. Pertumbuhan rata-rata kredit perumahaan berdasarkan data BI pada April 2013, tumbuh 40 persen dalam setahun terakhir. Angka ini jauh di atas rata-rata kredit perbankan secara umum yang tumbuh 21,9 persen secara tahunan. Sementara KPR untuk rumah di atas 70 meter persegi yang menguasai pangsa pasarnya 37 persen terhadap total KPR tumbuh sebesar 45,1 persen. Kemudian untuk kredit pemilikan apartemen di atas 70 meter persegi tumbuh 71,4 persen. Pertumbuhan KPR di atas tipe 70m2, tertinggi pada wilayah Sumatera Selatan 74 persen, disusul Banten (66 persen). Kemudian wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan pertumbuhan 42 persen, dan DKI Jakarta 31 persen.

Penuh Gimmick
Sebelum BI Rate dinaikkan, bank-bank bersaing sengit menawarkan kredi propertinya. Bahkan beberapa di antaranya memberikan penawaran dengan menggabungkan KPR dengan kredit sektor lain. Salah satunya Bank Mandiri. Menurut Tardi, Executive Vice Presiden Consumer Finance, sengitnya persaingan membuat pihaknya harus terus berinovasi memberikan layanan kepada nasabah. Maka dari itu, bank beraset terbesar itu memberikan penawaran lainnya untuk menarik minat masyarakat, seperti bebas biaya provisi dan administrasi. Selain itu bank juga menawarkan program bundling kredit KPR Mandiri dengan kredit kendaraan dari Mandiri Tunas Finance, atau anak usaha yang lain. Bank Mandiri menawarkan suku bunga KPR efective fixed rate sebesar 6,75 persen, dan fixed 9,75 persen pada tahun ketiga. Hingga kuartal pertama tahun ini, Bank Mandiri mencatatkan pertumbuhan kredit ke sektor konsumen sebesar 21,1 persen menjadi Rp49,32 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp44,29 triliun disalurkan ke kredit KPR dan KTA. Sementara sisanya disalurkan ke segmen kartu kredit. "Kita targetkan pertumbuhan kredit properti tahun ini sebesar 30 persen atau setara Rp52 triliun hingga akhir tahun," ujar Tardi. Meski volume kredit KPR terus digenjot pertumbuhannya, dia menyebut rasio kredit bermasalah (NPL) akan dijaga rendah yakni 0,5 persen. Sementara itu Direktur Konsumer BRI, Toni Soetirto mengungkapkan bahwa perseroan akan menggenjot penyaluran kredit KPR sepanjang tahun ini hingga Rp7,5 triliun. Adapun porsi kredit KPR hingga akhir tahun lalu sebesar Rp19 triliun hingga 20 triliun. "Rata-rata penyaluran kredit KPR kita di atas Rp500 miliar per bulan. Ini inline dengan pertumbuhan industri," ucap dia seraya merinci dari total kredit KPR, sebesar 80 persen dialokasikan ke masyarakat kelas atas. Sementara sisanya menengah ke bawah. Sedangkan Tony Tardjo, Head of Consumer Lending CIMB Niaga, mengatakan bahwa target pertumbuhan KPR pihaknya berada di kisaran 20 persen hingga 22 persen tahun ini. Akan tetapi ertumbuhan KPR bank itu awal tahun ini memang cenderung melambat sehingga pertambahan baru Rp1 triliun untuk KPR CIMB Niaga. Namun, kondisi itu katanya, akan berubah saat kuartal dua dan tiga. Peningkatan target pertumbuhan KPR akan ditunjang oleh bunga tetap di level 7,99 persen tiga tahun dan 8,99 persen selama lima tahun. Sementara bank swasta terbesar di Tanah Air, BCA malah menjagokan KPR untuk mendongkrak pertumbuhan kredit konsumernya. Seperti dikatakan Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, dalam mengandalkan KPR untuk bisnis konsumer, pihaknya telah menyiapkan berbagai program bunga tetap atau fix rate sampai lima tahun. “Kontribusi KPR sangat besar, Rp43,7 triliun atau 60 persen dari total pinjaman konsumen. KPR tahun ini tumbuh kira-kira 30 persen, kalau tahun lalu sampai 50 persen,” ujar dia. Nah, untuk memacu KPR, BCA mengandalkan program bunga tetap. Antara lain tawaran fixed rate 7,5 persen selama tiga tahun, 8,5 persen untuk lima tahun, dan 7 persen - 7,5 persen untuk jangka waktu 1-2 tahun. Bulan lalu bertepatan dengan hari jadi yang ke-55, BCA juga menggelar program KPR 55 bulan dengan bunga tetap, yang menurut Jahja sangat bermanfaat bagi masyarakat karena tidak ada perubahan cicilan selama hampir lima tahun. “Mereka banyak yang mencari suatu keamanan, jadi pilih yang program 3-5 tahun fix. Sementara income (penghasilan) naik, sehingga ke depan semakin mudah membayar cicilan,” tukas dia. BCA juga akan melanjutkan kerjasama dengan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) untuk penyaluran KPR segmen menengah ke bawah yang memang merupakan ahli di segmen ini. Adapun nilai kerja sama dengan BTN tahun lalu salurkan Rp2 triliun. Jahja juga mengatakan bahwa bunga kredit akan menyesuaikan kenaikan BI Rate dan angkanya akan mencapai 50 hingga 100 basis poin alias empat kali lipat dari kenaikan BI Rate. “Saya perkirakan mungkin tidak besar, bisa setengah persen atau satu persen," kata Jahja.

Ancaman Kredit Macet 
Menurut pengamat ekononomi dari Institute for Development Economics and Finance (Indef), Ahmad Erani Yustika, kenaikan bunga kredit bank tidak terelakkan lagi untuk merespons kenaikan BI Rate. Namun begitu yang perlu dipikirkan adalah kemampuan bayar dari debitur yang harus mencicil kredit lebih besar dari sebelumnya. Apalagi, lanjut dia, kondisi daya beli masyarakat saat ini tengah menurun sebagai akibat tingginya inflasi. Jika semua itu terjadi secara simultan maka dampaknya adalah peningkatan NPL di semua sektor, terutama sektor properti. "Orang mendapatakan penghasil akan melakukan cicilan. Penghasilan tetap, tapi bunga KPR naik sebagai akibat inflasi meningkat. Alokasi pembayaran kredit jadi berkurang. Saya prediksi fixed rate KPR itu bertahan hanya 2 tahun, apalagi BI Rate sudah naik,” ujar Erani. Oleh karena itu, tak mau pekerjaan rumahnya bertambah, BI langsung mewanti-wanti bank agar mulai mengurangi agresivitasnya dalam mengucurkan kredit properti. Otoritas perbankan tentu tidak mau bank nantinya akan limbung disebabkan melonjaknya kredit macet. “Bank-bank tidak terlalu over confidence, dan menurunkan standar pemberian kreditnya. Lebih baik berhati-hati," ujar Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah. Dia menjelaskan, pesatnya laju kredit perumahan itu berdampak pada kemungkinan meningkatnya jumlah kredit bermasalah. Saat ini, peningkatan NPL mulai terlihat pada KPR tipe kecil. Hal ini ditengarai karena ada persoalan dari sisi pendapatan, karena ekonomi regional daerah melambat. Sebagai contoh, BTN, bank penguasa pasar KPR, mencatatkan NPL pada kuartal pertama 2013 sebesar 4,77 persen, naik dari periode satu semester sebelumnya 3,22 persen. Angka tersebut mendekati ambang batas BI sebesar 5 persen. Kendati demikian, Halim menegaskan, dalam konteks stabilitas sistem keuangan, kenaikan kredit properti belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kondisi neraca bank. Alasannya, porsi kredit properti terhadap keseluruhan kredit perbankan kurang dari 10 persen. Kondisi ini berbeda dengan beberapa negara lain, yang bisa berkisar 60 persen-70 persen dari total kredit. ”Kami ingatkan bank per bank, meskipun saat ini masih jauh dari zona bahaya. Istilah bubble (gelembung) untuk properti ini perlu dikualifikasi. KPR ini karena permintaannya tinggi, maka pertumbuhan kreditnya di atas rata-rata pertumbuhan kredit,” tegas Halim. Namun untuk berjaga-jaga, saat ini menurut Halim, BI tengah melakukan penyempurnaan aturan uang muka kredit properti (loan to value/LTV). Aturan yang sudah berlaku 15 Juni lalu itu menetapkan bahwa dalam pembelian rumah secara kredit, nasabah diwajibkan membayar uang muka. Dalam pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR), BI mewajibkan nasabah untuk menyiapkan dana tunai sebesar 30 persen untuk rumah bertipe di atas 70 meter persegi.

Box:
Berakhirnya Era Suku Bunga Single Digit?
 Berdasarkan data Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yang dipublikasikan Bank Indonesia akhir April 2013 ini, terdapat 15 bank yang menawarkan bunga KPR di bawah 10 persen alias single-digit. Bank-bank ini adalah bank umum konvensional yang wajib publikasi (memiliki total aset minimal Rp10 triliun). Di lain pihak, beberapa bank menawarkan bunga KPR tertinggi, yakni Bank Mega (12,5 persen) dan Bank Mutiara (12,0 persen).
 Berikut kelimabelas bank dengan bunga KPR terendah:
1. BPD Jawa Tengah (6,80%)
 2. Bank Artha Graha (7,71%)
 3. Bank Jabar & Banten (8,04%)
 4. Standard Chartered Bank (8,06%)
 5. BPD Kalimantan Timur (8,42%)
 6. Bank HSBC (8,50%)
 7. Bank ANZ Indonesia (8,90%)
 8. BPD Riau dan Kepulauan Riau (8,90%)
 9. BPD Bali (8,92%)
 10. Bank ICBC Indonesia (9,00%)
 11. BPD Sumetera Utara (9,41%)
 12. Bank BCA (9,50%) 13. Bank Victoria (9,60%)
 14. Bank UOB Indonesia (9,66%)
 15. BPD Kalimantan Timur (9,81%)
 Sumber : Bank Indonesia

‘Sri Mulyani’ Baru?

Menkeu Chatib Basri menghadapi masalah yang mirip dengan yang dihadapi Sri Mulyani, Menkeu dua periode sebelumnya. Pendekatan yang diambil oleh mantan Kepala BKPM ini, diperkirakan juga tak jauh berbeda dengan seniornya itu.

Setelah digadang-gadang beberapa saat, akhirnya kepastian Chatib Basri menjadi Menteri Keuangan terjawab juga. Di Indonesia, seperti juga di negara lain di dunia, jabatan Menteri Keuangan adalah posisi keramat karena menentukan lalu lintas uang negara. Dan seperti yang sudah-sudah, kontes pemilihan atau bisa dibilang penentuan sosok yang akan mengisi posisi sebagai bendahara negara ini tak pernah jauh dari isu soal ‘restu pihak asing’. Begitu juga Chatib Basri. Malahan mantan peneliti yang sebelumnya menjadi orang nomor satu di Badan Koordinasi Pasar Modal itu sudah lebih dahulu dianggap pro kepentingan asing sebelum menginjakkan kaki di Lapangan Banteng. Apa pasal? Lulusan Fakultas Ekonomi UI memang dianggap sebagai pengejawantahan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan dua periode sebelumnya yang mengundurkan diri dan berkarier di Bank Dunia. Bukan hanya berasal dari kampus yang sama, dan juga tempat memulai bekerja yang sama namun dalam menjalani karier sebagai peneliti keduanya dinilai sama-sama dekat dengan kepentingan AS. Chatib memang dikenal sebagai peneliti –sama seperti pendahulunya, Sri Mulyani. Usai menjadi sarjana, Chatib bergabung dengan LPEM sama seperti Sri Mulyani. Beberapa tahun kemudian, dia pun didapuk untuk menjadi ketua di sana sama seperti pendahulunya itu. Dalam lembaga itulah Chatib mulai berkenalan dengan badan-badan asing yang memintanya menjadi konsultan proyek. Tercatat beberapa organisasi donor asing yang sempat memakai jasanya. Sebut saja Bank Dunia, United States Agency for International Development (USAID), Australian Agency for International Development (AUSAID), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), UNCTAD, Asian Development Bank (ADB) serta menjadi anggota Asia and Pacific Regional Advisory Group dari International Monetary Fund (IMF). Kedekatannya dengan lembaga macam Bank Dunia dan IMF inilah yang membuat sebagian kalangan khawatir jika Chatib menjadi Menteri Keuangan maka kepentingan lembaga-lembaga itu menjadi prioritas. Salah satunya adalah Ahmad Erani Yustika. Pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya itu mengatakan bahwa penunjukkan Chatib Basri sebagai Menteri Keuangan menunujukkan bahwa pemerintah terlalu melayani kepentingan asing. Sejak awal nama Chatib muncul, Erani menduga hal itu sebagai pesanan lembaga asing seperti Bank Dunia ataupun IMF. Karena itu, pendekatannya dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan sama saja seperti menkeu sebelumnya, yaitu kurang berpihak pada pelaku usaha kecil. "Saya perkirakan kalau dia jadi (menkeu), tidak akan banyak mengubah kinerja APBN. Jadi, akan meneruskan pola yang sudah dijalankan, misalnya mendesain APBN defisit anggaran, kemudian, tidak ada keberpihakan anggaran untuk sektor riil," kata Erani. Padahal, meski hanya akan bekerja dalam periode singkat sampai akhir 2014, menkeu yang baru punya kesempatan menunjukkan dukungan untuk pelaku usaha lokal. Misalnya, mengalokasikan uang negara untuk menciptakan lapangan kerja. Guru besar Universitas Brawijaya ini melihat dukungan untuk ekonomi dalam negeri belum pernah ditunjukkan Chatib saat menjabat sebagai pengelola aliran investasi. Meski Chatib berprestasi memecahkan rekor realisasi investasi dan membuat efisiensi perizinan di BKPM, termasuk memperkenalkan sistem pelacakan investor, Ahmad mengaku tidak kagum. Sebab, terobosanmantan dosen Universitas Indonesia ituhanya di tataran teknis, dan tetap saja hanya menguntungkan pemodal asing. "Yang kita butuhkan menteri yang punya komitmen terhadap ekonomi nasional. Kalau hanya terobosan misalnya perizinan cepat tapi untuk penanaman modal asing, apa hubungannya dengan kesejahteraan masyarakat," tandasnya. Bahkan jika benar-benar memilih Chatib, Ahmad Erani menganggap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meremehkan banyak ahli ekonomi lain yang lebih pantas menduduki jabatan menkeu dan lebih pro kepentingan nasional. Dia mencontohkan, mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution sebagai alternatif yang lebih pas. "Memunculkan Chatib itu sama saja mendelegitimasi orang banyak yang lebih kompeten. Padahal kita punya sosok hebat, seperti Darmin Nasution, kita punya Drajad Wibowo, Anggito Abimanyu, masih banyak yang lain, mereka saya rasa jauh lebih memiliki visi," kata Erani. Nada yang hampir mirip juga diutarakan oleh Direktur Indef, sebuah lembaga riset independen, Enny Sri Hartati. Menurut dia,sejatinya pengalamannya saat menjadi konsultan di lembaga-lembaga donor asing tidak menjadi persoalan penting asalkan hal itu dilakukan secara profesional. Yang menjadi concern Enny adalah latar belakang akademik dari Chatib. Menurut dia untuk menjadi Menteri Keuangan yang mumpuni dalam pengelolaan fiskal seharusnya diberikan kepada sosok yang handal dalam hal manajemen. “Pengelolaan fiskal seharusnya lebih cocok kepada orang yang jago manajemen. Dalam hal ini lebih bagus Firmanzah (eks Dekan FEUI),” kata dia. Sekarang ini lebih dibutuhkan menkeu yang bisa menjaga anggaran karena hingga saat ini pemerintah dinilai tidak punya strategi besar (grand strategy) dalam pengelolaan anggaran demi mendukung pertumbuhan ekonomi. “Kita tidak punya politik anggaran. Kita tidak punya grand strategy. Dari postur anggaran saja tidak ada perubahan, postur itu seperti tiang di sebuah rumah. (kalau begini) Akan babak belur terus (anggaran kita),” kata Enny. Meski menyesalkan keputusan Presiden itu Enny mengatakan bahwa Chatib harus segera menyelesaikan tugas pertamanya yaitu mengurai masalah defisit anggaran. “Tantangan terbesarnya itu (defisit anggaran).” Meski begitu bukan berarti Chatib tidak memiliki poin plus. Menurut Enny kelebihan figur Chatib adalah memiliki hubungan yang baik dengan lembaga internasional. Akan tetapi hal itu juga bisa menjadi bumerang. Karena dekat dengan AS maka dia pasti akan mengamankan investasi AS di Indonesia. “Sektor finansial Indonesia adalah satu-satunya yang belum bubble. Dengan adanya Chatib sebagai menkeu maka dia akan memudahkan jalan bagi para kapitalis untuk masuk ke Indonesia,” kata Enny.

Mirip Sri Mulyani
Tak bisa dipungkiri kondisi anggaran negara saat ini mirip dengan saat Sri Mulyani masih menjabat menjadi Menteri Keuangan. Pada 2006, defisit anggaran mencapai 1,3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kondisi itu disebabkan oleh rendahnya realisasi pertumbuhan tahun itu yang hanya mencapai 5,5 persen padahal targetnya sebesar 6,2 persen. Saat itu Sri Mulyani berkilah bahwa pertumbuhan yang meleset disebabkan minimnya realisasi belanja departemen atau lembaga negara. Selain itu juga harga minyak dunia yang pada waktu itu berada pada kisaran 70 dollar AS per barel juga menjadi pemicunya. Untuk meningkatkan pertumbuhan dan mengatasi defisit, pemerintah saat itu akan menjaga pembiayaan dalam negeri, antara lain dengan menerbitkan surat utang negara. Di samping itu, pemerintah juga menyiapkan alternatif, untuk meminta utang kepada para negara donor untuk membiayai program. Belanja departemen atau lembaga negara yang masih minim, terutama 10 lembaga dengan pembelanjaan terbesar juga menjadi biang keladi melempemnya pertumbuhan. Seharusnya anggaran yang harus dibelanjakan Rp 219,46 triliun, yang terdiri dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2006 dan DIPA luncuran dari 2005. Dalam beberapa tahun dalam masa Sri Mulyani, anggaran belanja pada kuartal pertama rata-rata mencapai kurang dari 14 persen dan selalu melonjak di akhir tahun anggaran. Kini, yang dihadapi oleh Chatib Basri juga tak berbeda jauh. Pemerintah menghadapi defisit anggaran yang terbesar setelah krisis moneter serta pertumbuhan ekonomi yang melemah. Dalam rapat pertama dengan parlemen bulan lalu, Chatib mengatakan bahwa anggaran akan direvisi untuk mengantisipasi defisit anggaran jebol di atas 3 persen dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari yang diperkirakan. “Pertumbuhan ekonomi melemah. Akibatnya target pajak juga mengalami perubahan. Implikasinya defisit membesar,” kata pria pria kelahiran Jakarta, 22 Agustus 1965. Dia mengatakan bahwa kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada anggaran tahun ini adalah Pendapatan negara lebih rendan dari target dan pengeluaran negara membengkak terutama karena persoalan subsidi bahan bakar. Jika ini yang terjadi, defisit anggaran diprediksi bisa melompat jauh dari target menjadi 3,83 persen dari PDB atau 363,6 triliun. Padahal dalam APBN 2013, defisit ditetapkan sebesar 1,65 persen dari atau Rp 153,3 triliun. Pembengkakan defisit ini tentunya akan membuka peluang pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan dari utang. Dan ini tentu bukan sesuatu yang rumit buat Chatib mengingat kedekatannya dengan lembaga donor macam IMF dan Bank Dunia. Enny dari Indef memperkirakan bahwa Chatib juga dihadapkan pada defisit primer yang muncul lagi setelah nyaris 20 tahun tidak terjadi. Defisit primer terjadi jika jumlah penerimaan negara lebih kecil jika dikurangi belanja negara yang angkanya sudah tidak mengikutsertakan pengeluaran untuk pelunasan utang. “Pada tahun 90-an defisit primer mulai terjadi karena harga minyak anjlok sebelah sebelumnya naik. Dan pada tahun 2012 setelah selama ini tidak pernah terjadi defisit primer terjadi lagi,” kata Enny.

Box
Rekam Jejak Chatib Basri
Chatib Basri menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Setelah itu, dia melanjutkan pendidikannya di Australia National University. Di universitas ini dia memperoleh gelar Master of Economic Development dan PhD di bidang Ekonomi. Bermodal gelar yang diperolehnya, Chatib mengabdikan diri di dunia pendidikan sebagai peneliti di LPEM-FEUI dan menjadi dosen FEUI. Dia juga sempat bekerja sebagai asisten peneliti di Australia National University. Chatib juga menjabat sebagai peneliti tamu untuk The Institute of South East Asian Studies di Singapura dan menjadi Associate Director for Research bagi LPEM. Sejak tahun 2005, Chatib bertugas sebagai anggota tim negosiasi Indonesia untuk perdagangan internasional atau Advisory Team to the Indonesian National Team on International Trade Negotiation. Chatib juga dipercaya oleh berbagai lembaga keuangan internasional untuk menjadi konsultan. Sebut saja Bank Dunia, United States Agency for International Development (USAID), Australian Agency for International Development (AUSAID), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), UNCTAD, Asian Development Bank (ADB) serta menjadi anggota Asia and Pacific Regional Advisory Group dari International Monetary Fund (IMF). Kemampuan dan pengetahuannya yang luas menarik perhatian Menteri Keuangan Sri Mulyani. Chatib dipercaya menjadi tangan kanan Sri Mulyani mengawal perekonomian nasional. Chatib ditunjuk sebagai penasehat khusus Menteri Keuangan selama kurun waktu 2006-2010. Dia juga ditunjuk sebagai Sherpa Indonesia untuk G-20 pada tahun 2008 dan Deputi Menteri Keuangan untuk G-20 sepanjang kurun waktu 2006-2010. Saat ini, selain menjadi Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN), Chatib juga masih aktif mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dia juga tercatat sebagai pendiri CReco Research Institute dan dipercaya menjadi komisaris di beberapa perusahaan publik, dan konsultan di berbagai lembaga internasional. Chatib Basri juga menjadi anggota Dewan Komisaris di beberapa perusahaan publik antara lain PT Astra International, PT Indika Energy, serta Axiata Group Bhd (Malaysia). Dia juga aktif menulis di berbagai media, serta beberapa jurnal internasional. Pendiri CReco Research Institute ini juga pernah menjadi komisaris di beberapa perusahaan publik antara lain PT Astra International, PT Semen Gresik Tbk, PT Astra Otoparts, dan PT Indika Energy. Dari 2010-2012, Chatib menjadi Direktur Non Eksekutif Independen Axiata Group Bhd. Ia juga anggota Regional Advisory Board Toyota Motor Asia Pasifik.

Multifinance yang Tak Mati-Mati

Perusahaan multifinance tetap bisa eksis dan mencatatkan pertumbuhan kinerja yang signifikan meski menghadapi aturan ketat dan kondisi perekonomian yang melemah. Ini bukti bahwa prospek bisnis ini tak akan sepi. 

Apa yang terlalu cepat atau terlalu lambat selalu menjadi perhatian serius setiap otoritas. Pun yang terlalu tinggi atau yang terlalu rendah. Bahkan seringkali, segala sesuatu yang serba terlalu itu harus dikendalikan. Dengan kata lain, otoritas lebih menyukai sesuatu yang sedang-sedang saja. Salah satu yang terkena sindrom itu adalah industri pembiayaan, lebih khusus lagi pembiayaan kendaraan bermotor. Industri ini memang terus menerus mencatat pertumbuhan fantastis sejak sektor jasa keuangan Indonesia resmi keluar dari kubangan krisis moneter 1997/1998. Industri pembiayaan, karena itu, menjadi salah satu industri dengan prospek yang menarik di Indonesia. Industri ini terbukti mampu bertahan dari gejolak krisis ekonomi. Bahkan aset industri pembiayaan kendaraan tumbuh rata-rata 24,47 persen per tahun dalam sepuluh tahun terakhir. Daya tarik industri pembiayaan, jika mau ditelisik lebih dalam memang tak bisa dilepaskan dari beberapa faktor. Di antaranya adalah skema bisnisnya yang didasarkan pada underlying asset sehingga relatif aman, kedekatan jaringan industri pembiayaan dengan industri manufaktur, serta posisinya yang seringkali merangkap sebagai distributor dan pemegang merek tunggal yang memudahkan dan mempercepat pelayanan. Hal tersebut, tak pelak membuat industri pembiayaan menjadi lebih dekat dengan nasabah dibandingkan pemberi kredit lainnya. Daya tarik itu kian bertambah lagi terutama bagi investor karena pada saat perekonomian global melambat yang juga berdampak ke sektor keuangan nasional, indsutri ini tetap tumbuh positif. Saat itu asetnya mampu tumbuh 3,5 persen ke posisi Rp174 triliun dengan laba bersih Rp7,8 triliun atau naik 21,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Selepas itu, industri pembiayaan kembali meraih kinerja yang cukup gemilang dengan kembali kepada jalur pertumbuhan di kisaran 25-30 persen. Otoritas tampaknya mengkhawatirkan kondisi itu. Pada tahun lalu, maka dari itu, pengawas industri keuangan nonbank, mengeluarkan aturan yang mau tidak mau akan mengganjal kegiatan perusahaan pembiayaan. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 43/PMK.010/2012 tentang uang muka pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor pada perusahaan pembiayaan, tak pelak membuat industri agak terhuyung-huyung meski hanya sebentar. Dalam PMK tersebut dijelaskan, peraturan itu bertujuan untuk meningkatkan kehati-hatian dalam melakukan pembiayaan dan menciptakan persaingan yang sehat di industri perusahaan pembiayaan. Adapun pokok-pokok yang diatur dalam PMK dimaksud, yakni bagi kendaraan bermotor roda dua, uang muka (down payment/DP) paling rendah 20 persen dari harga jual bersangkutan. Bagi kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 20 persen dari harga jual kendaraan. Sementara bagi kendaraan berotor roda empat yang digunakan untuk tujuan non-produktif, paling rendah 25 persen dari harga jual kendaraan. Dampak dari kebijakan itu mulai terasa. Pada kuartal pertama tahun ini pertumbuhan industri yang beken disebut multifinance ini mulai melambat. Sepanjang waktu itu, kenaikan outstanding pembiayaan industri multifinance lebih rendah jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Berdasarkan data Ototritas Jasa Keuangan (OJK), pada kuartal pertama 2013 piutang pembiayaan industri multifinance meningkat 16,86 persen menjadi Rp 312,95 triliun dibandingkan kuartal I 2012 sebesar Rp 267,78 triliun. Angka itu lebih rendah jika dibandingkan tahun lalu yang bisa tumbuh 79,44 persen.

Tantangan Lain
Jalan terjal yang dihadapi industri multifinance tidak cukup sampai di situ. Selain menetapkan aturan uang muka, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) juga mewajiban pendaftaran fidusia yang sejatinya sudah ditetapkan sejak Oktober lalu. Selain itu otoritas jugatengah membuat kajian untuk menetapkan minimal kredit macet (credit loss) untuk meningkatkan kesehatan perusahaan pembiayaan. Aturan fidusia yang termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 130/PMK.010/2012 mewajibkan multifinance yang melakukan pembebanan jaminan fidusia untuk mendaftarkan jaminan tersebut kepada kantor pendaftaran fidusia paling lambat 30 hari sejak perjanjian pembiayaan dilakukan. Regulator akan memberikan sanksi jika perusahaan multifinance tidak mendaftarkan jaminan fidusia. Sanksi berupa peringatan, pembekuan kegiatan usaha hingga pencabutan izin usaha. Praktik sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur atau pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pelaku bisnis sempat keberatan atas aturan ini, karena kesulitan penerapan di lapangan. Akhirnya OJK –yang menggantikan posisi Bapepam LK sejak awal tahun ini– turun tangan. “Pendaftaran jaminan fidusia bukanlah hal wajib bagi multifinance yang menyalurkan pembiayaan untuk kendaraan bermotor. Wajib pendaftaran fidusia hanya berlaku bagi multifinance yang memberlakukan pembebanan jaminan fidusia kepada nasabah,” terang Firdaus Djaelani, Komisioner OJK . Menurut dia, multifinance yang tidak memberlakukan penarikan beban jaminan fidusia, maka perusahaan pembiayaan itu boleh untuk tidak mendaftarkannya. “Apabila multifinance tidak mendaftarkan fidusia, maka tidak dapat menarik kendaraan dari nasabah jika terjadi kredit macet,” tambah dia. Pelaku bisnis tentu sedikit lega dengan ketentuan itu. Mereka merasa memiliki pilihan untuk melakukan jaminan fidusia atau tidak terhadap kendaraan yang dibeli oleh konsumen. Meski demikian, sederet ketentuan itu sudah lacur membuat industri tertohok. “Aturan DP (down payment), kebijakan fidusia, hingga melemahnya harga komoditas menjadikan daya beli masyarakat berkurang," kata Willy S. Dharma, Direktur Utama Adira Finance. Terbukti, nilai pembiayaan sepeda motor di Adira Finance turun 5 persen menjadi Rp19,4 triliun dari Rp20,4 triliun di. Untung saja, perusahaan ini masih bisa menggenjot pembiayaan mobil, yang tumbuh 8 persen menjadi Rp 13,2 triliun. Selain itu masih ada lagi hadangan dari regulator kepada industri yaitu soal kewajiban modal disetor. Pemerintah telah mewajibkan perusahaan untuk meningkatkan modal disetor menjadi Rp100 miliar. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan yang menitikberatkan pada penguatan struktur modal perusahaan pembiayaan, pengurangan risiko pinjaman, dan penguatan efisiensi aset. Tiga hal pokok tersebut telah menjadi acuan Bapepam-LK dalam penerbitan izin usaha baru dan pencabutan izin usaha perusahaan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan. Aturan itu tak pelak membuat sejumlah multifinance gulung tikar karena tak bisa memenuhinya. Tercatat sejak tahun 2007, sebanyak 32 perusahaan telah dicabut izinnya. Namun demikian, pencabutan sejumlah perusahaan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan tidak serta merta mengurangi pertumbuhan aset industri jasa pembiayaan. Bahkan, sebaliknya atura itu menciptakan industri jasa pembiayaan yang ada semakin kuat dan sehat dengan manajemen risiko yang lebih baik. Data periode 2007-2011 bisa menjadi cerminan. Meskipun jumlah perusahaan dengan kategori aset di bawah Rp100 miliar dan antara Rp100 miliar-Rp500 miliar masih mendominasi, dalam periode tersebut telah terjadi peningkatan pada jumlah perusahaan pembiayaan dengan nilai aset yang lebih besar. Hingga akhir tahun 2011, sebanyak 55,7 persen atau Rp162,2 triliun dari total aset industri terkonsentrasi pada 11 perusahaan dengan kepemilikan aset di atas Rp5 triliun. Perusahaan beraset antara Rp1 triliun-Rp5 triliun menguasai Rp95,46 triliun, sekitar 32,8 persen dari total aset industri. Perusahaan multifinance memang tetap bisa mencatatkan pertumbuhan tinggi meski dihantam serangan bertubi-tubi.

Box
Bisnis yang Tetap Tegak Berdiri
Kegiatan usaha industri perusahaan pembiayaan yang meliputi sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), usaha kartu kredit (credit card), dan pembiayaan konsumen (consumer financing) telah berkembang cukup signifikan dan mampu memberikan kontribusi pada aktivitas ekonomi Indonesia. Kegiatan industri perusahaan pembiayaan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang ditunjukkan dengan naiknya piutang pembiayaan hampir 7 kali lipat dalam satu dekade terakhir, yakni dari Rp38,3 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp302,1 triliun pada tahun 2012. Rata-rata pertumbuhan pembiayaan mencapai 24,9 persen pertahun. Kegiatan pembiayaan konsumen masih mendominasi industri pembiayaan Indonesia selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2012, porsi piutang pembiayaan konsumen mencapai 63,5 persen dari total piutang pembiayaan sementara sewa guna usaha dan anjak piutang masing-masing 34,8 persen dan 1,7 persen. Usaha pembiayaan kartu kredit terus tenggelam seiring makin banyak bank yang menerbitkan kartu kredit sendiri. Dominasi pembiayaan konsumen menunjukan kegiatan pembiayaan oleh industri perusahaan pembiayaan lebih banyak disalurkan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif. Pembiayaan jenis inilah yang masih mampu tumbuh positif dan menjadi pendorong kinerja industri pembiayaan disaat perekonomian memburuk pda tahun 2009 silam. Tingginya permintaan kendaraan bermotor oleh masyarakat Indonesia secara signifikan mendorong pertumbuhan kegiatan pembiayaan konsumen ini seiring dengan kondisi perekonomian Indonesia yang stabil. Jenis pembiayaan sewa guna usaha yang merupakan pembiayaan produktif mencapai Rp105,1 triliun pada tahun 2012, naik 37,2 persen (yoy). Meski industri pertambangan batubara dan perkebunan sawit sedang meredup, permintaan untuk pembiayaan sewa guna usaha masih cukp tinggi. Salah satunya adalah karena bergairahnya proyek infrastruktur. Sejak berkontraksi pada tahun 2009 dengan membukukan pertumbuhan minus 8,2 persen, pembiayaan jenis ini mampu tumbuh 14,3 persen dan 44,1 persen untuk dua tahun berikutnya. Di sisi lain, seperti periode-periode sebelumnya, kegiatan anjak piutang dan kartu kredit oleh industri pembiayaan hanya mendapatkan porsi sangat kecil, yaitu sekitar 2 persen dari total piutang pembiayaan industri. Pada tahun 2012, posisi pembiayaan anjak piutang sebesar Rp5,1 triliun atau naik 31,5 persen (yoy). Karakteristik bisnis anjak piutang (factoring) yang memang memiliki risiko kredit lebih tinggi dibandingkan kegiatan pembiayaan lainnya membuat kinerjanya cenderung turun-naik. Di Indonesia, banyak perusahaan pembiayaan yang memang tidak menjadikan kegiatan anjak piutang dalam lini bisnisnya. Sementara itu, kartu kredit hanya sebesar 2,5 triliun atau naik 48,5 persen (yoy). Kualitas aset pembiayaan dapat dilihat dari naik turunnya nilai non-performing financing (NPF) piutang pembiayaan. Semakin kecil nilai NPF, semakin bagus kualitas aset piutang perusahaan pembiayaan. Selama tahun 2012, kondisi ekonomi Indonesia yang stabil ikut mendorong peningkatan penyaluran pembiayaan yang dilakukan oleh industri perusahaan pembiayaan. Namun demikian, belajar dari krisis keuangan global 2009, perusahaan pembiayaan sejak tahun 2010 mulai menerapkan kebijakan yang selektif dan pruden dalam penyaluran pembiayaannya. Hal tersebut menjadikan risiko pembiayaan industri sejak tahun 2008 cenderung menurun, yang ditunjukkan oleh penurunan rasio NPF dari 2,70 persen di tahun 2008 menjadi 1,14 persen pada tahun 2012 yang merupakan nilai rasio NPF terendah selama sepuluh tahun terakhir. Total NPF pada akhir tahun 2012 sebesar Rp3,4 triliun dengan rincian perusahaan pembiayaan Rp3,1 triliun, sewa guna usaha Rp315 miliar, dan anjak piutang Rp115 miliar.