Bank sentral kembali melewati tahun yang kurang menyenangkan
meski gejolak “krisis mini” pertengahan tahun lalu bisa dilewati. Tahun depan,
kurang lebih, tantangan yang dihadapi masih sama: gejolak eksternal.
Bank Indonesia sejatinya menginginkan tahun ini menjadi
tahun transisi yang mulus. Sejak awal, BI sudah bersiap melewati isu utama yang akan dihadapinya tahun ini
yaitu berpindahnya pengawasan sektor perbankan dari tangannya ke Otoritas Jasa
Keuangan. Dan hal itu tampaknya sudah bisa dikendalikan oleh bank sentral.
Meski demikian, otoritas Kebon Sirih juga tengah menghadapi
situasi yang tak kalah mengancam ketika neraca transaksi berjalan mulai
defisit. Neraca yang mencatat penerimaan dan pengeluaran dari transaksi barang
dan jasa sudah tekor sejak triwulan awal tahun 2012. Menurunnya angka ekspor yang
berbarengan dengan melonjaknya impor menjadi biang keladi atas kondisi itu.
Ancaman itu kemudian mencapai puncaknya ketika pada Mei
perekonomian global mulai guncang, yang diawali munculnya isu penghentian
secara bertahap kebijakan stimulus perekonomian AS. Jadilah bank sentral seperti
terkena setrum menghadapi turbulensi itu. Ibarat sedang berkendara, mobil yang
ditunggangi bank sentral tidak lagi melaju di jalan mulus nan sepi. Jalanan
yang diperkirakan akan ramai lancar tiba-tiba berubah menjadi jalan berbatu,
berlubang dan ramai oleh kendaraan lain, bahkan dengan cuaca mendung yang
ditambah kencangnya tiupan angin.
BI pun secepatnya merespons dan mengendalikan situasi tersebut
dengan melakukan manuver menyesuaikan transmisi dan pedal gas-rem pada
instrumen-instrumen kebijakan yang dimilikinya. Akhirnya kendaraan pun melambat.
Namun yang jauh lebih penting kendaraan masih bisa melaju dengan selamat.
Kembali ke isu transisi, diakui atau tidak, beralihnya
otoritas pengawasan perbankan sejujurnya bukanlah hal yang diinginkan oleh Bank
Indonesia. Akan tetapi karena undang-undang mengharuskan demikian, BI tentu tak
bisa mengelak. Dan mulai bulan depan, satu direktorat yang ada di BI harus
dialihkan dan menjadi milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Masalahnya, proses pengalihan itu tidak semudah seperti
memindahkan barang-barang dari sebuah rumah ke tempat lain. Salah satu problem
yang muncul adalah siapa yang akan menggaji pegawai-pegawai pindahan itu.
Ketika pegawai BI yang sebagian merupakan pengawas bank pindah ke ‘rumah baru’
OJK, mereka masih berstatus pegawai BI setidaknya hingga dua tahun ke depan.
Setelah itu, pengawas bank akan diberi opsi untuk tetap di OJK atau kembali ke
rumah lamanya.
Karena itulah maka anggaran gaji dan fasilitas untuk para
pengawas, masih harus disiapkan oleh BI, setidaknya begitulah menurut OJK.
Apalagi, anggaran OJK tahun depan yang telah disepakati oleh Komisi Keuangan
DPR yang sebesar Rp2,4 triliun, ternyata belum mencakup gaji dan fasilitas para
pengawas bank. OJK beralasan, anggaran tersebut belum dimasukkan karena para
pengawas bank masih berstatus sebagai pegawai BI.
Sementara BI di sisi lain, sudah tidak mau lagi memasukkan
anggaran gaji dan fasilitas para pengawas banknya itu karena mereka bekerja
melakukan pengawasan perbankan untuk OJK, bukan untuk BI.
Sebetulnya kalau mau dikembalikan ke Pasal 64 Undang-Undang OJK
persoalan tidaklah serumit itu.
Aturan di atas menyatakan bahwa para pengawas
bank itu masih berstatus pegawai BI yang diperbantukan kepada OJK. Jadi para
pengawas bank itu masih akan berstatus pegawai BI yang ditugaskan di OJK hingga
akhir 2015 -saat itu mereka harus memilih menjadi pegawai OJK atau kembali ke
BI. Artinya memang seharusnya BI adalah pihak yang semestinya mengeluarkan
anggaran buat para pengawas itu.
Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah masalah
peraturan. Beberapa bulan jelang peralihan itu, BI tampaknya masih getol
mengeluarkan aturan perbankan. Hal ini tentu akan sedikit memberikan pekerjaan
ekstra buat OJK. Pasalnya setelah tahun ini berakhir, BI bukan lagi pihak yang
akan mengawasi perbankan. Jika aturan itu tidak dimaksudkan untuk diterapkan
dalam jangka waktu yang relatif lama maka hal itu tentu akan merepotkan untuk
pelaku industri.
Namun, bos OJK, Muliaman D Hadad menanggapi santai hal itu.
Menurut mantan Deputi Gubernur BI itu, hal tersebut tidak menjadi masalah
karena nanti pihaknya akan mereview kembali aturan-aturan itu. “Jika memang
harus diubah akan kita ubah, tanpa konsultasi lagi, karena itu sudah menjadi
wewenang kita. BI kan tidak melakukan pengawasan lagi. Itu ada di OJK. Kalau
itu baik, tentu kita teruskan, kalau perlu diperbaiki ya kita sempurnakan,”
kata dia.
Hingga Oktober BI masih berencana mengeluarkan aturan soal
perbankan terutama beberapa aturan terkait bank syariah dan uang muka kredit. Sementara
sepanjang paro kedua tahun ini bank sentral telah menerbitkan satu Peraturan
(PBI) dan 12 Surat Edaran (SEBI).
Meski begitu hal yang patut dicatat adalah bahwa kedua
lembaga itu tetap terbuka untuk membahas masalah transisi ini agar tidak
terjadi masalah di kemudian hari. Bulan lalu Kedua lembaga itu memang sudah
bertukar nota kesepahaman demi memuluskan tugas mengawal stabilitas sektor
keuangan Tanah Air. Setidaknya ada empat area yang menjadi perhatian utama. Pertama, tugas dan tanggung jawab
menjalankan fungsi di BI dan OJK. Kedua,
pertukaran informasi dan bagaimana menangani masalah pelaporan, serta bagaimana
agar pelaporannya taat akan asas governance.
Ketiga, kesepakatan terkait dokumen,
logistik baik di pusat dan daerah. Dan keempat,
masalah sumber daya manusia.
Transmisi BI Rate
Dalam urusan pengelolaan bank sentral khususnya soal suku
bunga acuan, Darmin Nasution adalah sebuah kutub, sementara Agus Martowardojo
adalah kutub yang lain. Saat pertama kali menjejakkan kaki di dalam ruang rapat
dewan gubernur bank sentral, pada Mei 2009, mantan dirjen pajak itu sudah ikut
menurunkan BI Rate.
Bahkan selama empat tahun masa jabatannya di Thamrin, tampak
sekali bahwa Darmin berupaya mengarahkan BI Rate ke level terendah. Dan saat
dia pensiun dari BI, bunga acuan dibawanya ke level terendahnya sepanjang masa
di angka 5,75 persen, dari level saat dia masuk di angka 6,50 persen.
Beberapa kali, dalam merespons gejolak pasar hingga
perkembangan perekonomian, orang yang lama menjabat posisi-posisi penting di
pemerintahan ini memilih tidak menggunakan instrumen BI Rate. Baginya, dampak
kenaikan suku bunga acuan akan lebih cepat menghantam sektor riil setelah
bertransmisi di sektor perbankan. Sebaliknya jika menggunakan kebijakan yang
agak memutar, dampaknya hanya akan berhenti di perbankan, jikalau berlanjut ke
masyarakat maka kekuatannya sudah berkurang.
Seperti yang bisa dilihat pada 2012, ketika pasar global
masih labil karena krisis di Eropa dan membuat ekspor kita melemah yang
akhirnya menekan neraca transaksi berjalan. Ketika itu Darmin lebih banyak
mengutak-atik instrumen Instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI), disusul
kemudian, time deposit, Fasbi, dan
Giro Wajib Minimum (GWM).
Pada pertengahan tahun lalu Darmin menelurkan keputusan untuk
memperlebar rentang batas bawah bunga Fasilitas Simpanan BI (Fasbi) karena
melihat masih berlimpahnya ekses likuiditas yang dimiliki bank. BI juga
menerapkan aturan loan to value yang
mewajibkan konsumen menyediakan uang muka di saat akan membeli rumah atau kendaraan bermotor.
Sementara Agus DW Martowardojo tampak kebalikannya. Sesaat setelah
dipilih jadi Gubernur BI dan memimpin rapat dewan gubernur pada Juni, mantan
menkeu itu langsung menaikkan BI Rate dari level rendah yang sudah
dipertahankan Darmin. Bahkan sepanjang lima bulan Agus menjadi orang nomor satu
di bank sentral, mantan Dirut Bank Mandiri sudah mendongkrak BI Rate hingga 150
basis poin.
Agus yang lebih banyak menghabiskan kariernya sebagai
bankir, dinilai mendasarkan keputusan-keputusannya itu dari kacamata pelaku
pasar, alih-alih pada kepentingan sektor riil secara langsung.
“Orientasi kebijakan yang diambilnya berdasarkan yang selama
ini dia temui. Khan dia ngertinya ya selama ini sektor perbankan. Sektor riil
bukan dunianya,” kata Enny Sri Hartati, ekonom Indef saat mengomentari
keputusan-keputusan Gubernur Bank Indonesia.
Meski demikian, Enny seperti halnya pengamat ekonomi lainnya
memaklumi keputusan yang diambil Agus menaikkan suku bunga acuan secara
agresif. Sekarang ini, menurut Enny, tidak ada faktor positif dari dalam negeri
yang bisa menahan dana asing untuk tidak hengkang. Maka menaikkan BI Rate
menjadi satu-satunya pilihan yang diambil BI untuk menahan agar dollar AS tidak
kabur dari pasar keuangan dalam negeri.
BI, tambah Enny, selama ini terkesan bekerja sendiri tanpa
ada dukungan dari regulator fiskal untuk mempertahankan perekonomian dari
keterpurukan yang lebih dalam. “Kita tidak bisa menyalahkan BI karena sisi fiskalnya
memang tidak berbuat apa-apa padahal sumber penyakitnya ada di fiskal. Ibarat
kanker, BI hanya berupaya untuk memperlambat meluasnya penyakit, tidak
mengobati,” jelas dia.
Apa yang diungkapkan Enny, bernada sama dengan yang
diutarakan oleh ekonom Universitas Katolik Atmajaya Agustinus Prasetyantoko.
Menurut dia kebijakan ekonomi Indonesia saat ini terlalu bertumpu pada
kebijakan moneter. Padahal persoalan yang dihadapi perekonomian Indonesia saat
ini sangat beragam dan tidak hanya melulu soal moneter. Misalnya di sektor
ketenagakerjaan, infrastruktur, ekspor, impor, daya saing industri dan lainnya.
“Kebijakan di sektor-sektor ini yang tidak terlihat,” kata dia.
Hingga November, BI Rate bertengger di level 7,5 persen.
Selain menjadi level tertinggi sejak 2009, BI Rate juga menjadi suku bunga
acuan tertinggi di regional Asia Tenggara. Bank Negara Malaysia tetap
mempertahankan rate-nya di level 3
persen sejak Mei 2011. Demikian pula dengan bank sentral Filipina yang tidak
mengubah bunga acuannya di angka 3 persen sejak Oktober tahun lalu. Sementara
Bank of Thailand pada 16 Oktober lalu mempertahankan suku bunga sebesar 2,5
persen. Bahkan dibandingkan posisi pada awal tahun, suku bunga Thailand lebih
rendah 0,25 basis poin. Adapun suku
bunga acuan di Singapura sedikit dinaikkan dari dari 0,03 pada Januari menjadi
0,05 pada Oktober.
Langkah BI menaikkan bunga acuan, tak pelak disambut oleh
investor luar negeri dan dianggap sebagai langkah yang tepat serta berani.
Kenaikan BI Rate merupakan pesan yang sangat jelas bahwa Indonesia akan
melakukan langkah apa pun yang diperlukan untuk mendongkrak kinerja mata uang
rupiah.
Robert Prior-Wandesforde, ekonom dari Credit Suisse
mengatakan bahwa sebelum ini BI sering dituduh melakukan hal di luar kurva.
Namun, cukup jelas bahwa langkah BI menaikkan suku bunganya merupakan langkah
yang berani. “Dalam pandangan kami, hal ini merupakan hal yang tepat untuk
dilakukan,” kata dia.
Kita memang tidak boleh dengan mudah memvonis bahwa kebijakan
BI di bawah pilot Agus Martowardojo, lebih berpihak ke investor asing. Karena setiap
kebijakan yang dikeluarkan bank sentral memang sesuai masa dan kebutuhannya. Setiap
kebijakan bank sentral juga memiliki limitnya masing-masing.
Akan tetapi, yang pasti kini BI Rate pun bersiap untuk terus
menanjak karena tahun depan kondisi perekonomian global tetap dalam
ketidakpastian. Rencana pemerintah AS yang akan menghentikan secara bertahap
program stimulusnya kembali menjadi ancaman bagi perekonomian global yang masih
sempoyongan. Belum lagi problem debt
ceiling pemerintah AS yang tak kunjung usai dan diramalkan akan mencapai
puncaknya tahun depan.
Darmin Nasution, mantan gubernur BI menyarankan agar setiap
kebijakan yang dikeluarkan harus memiliki determinasi dan jangan muncul kesan hit and run. “Walaupun harus tahu diri
dengan limit kebijakan, otoritas harus punya determinasi. Apa artinya? Pada
saat gejolak terburuk sudah terlampaui, harus ada rancangan untuk
mengendalikan. Jangan dibiarkan ke sana ke mari, sehingga tidak bis
dikendalikan," kata Darmin yang kini aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia.