Kamis, 05 Desember 2013

Transisi, Turbulensi dan Transmisi

Bank sentral kembali melewati tahun yang kurang menyenangkan meski gejolak “krisis mini” pertengahan tahun lalu bisa dilewati. Tahun depan, kurang lebih, tantangan yang dihadapi masih sama: gejolak eksternal.

Bank Indonesia sejatinya menginginkan tahun ini menjadi tahun transisi yang mulus. Sejak awal, BI sudah bersiap melewati  isu utama yang akan dihadapinya tahun ini yaitu berpindahnya pengawasan sektor perbankan dari tangannya ke Otoritas Jasa Keuangan. Dan hal itu tampaknya sudah bisa dikendalikan oleh bank sentral.

Meski demikian, otoritas Kebon Sirih juga tengah menghadapi situasi yang tak kalah mengancam ketika neraca transaksi berjalan mulai defisit. Neraca yang mencatat penerimaan dan pengeluaran dari transaksi barang dan jasa sudah tekor sejak triwulan awal tahun 2012. Menurunnya angka ekspor yang berbarengan dengan melonjaknya impor menjadi biang keladi atas kondisi itu.

Ancaman itu kemudian mencapai puncaknya ketika pada Mei perekonomian global mulai guncang, yang diawali munculnya isu penghentian secara bertahap kebijakan stimulus perekonomian AS. Jadilah bank sentral seperti terkena setrum menghadapi turbulensi itu. Ibarat sedang berkendara, mobil yang ditunggangi bank sentral tidak lagi melaju di jalan mulus nan sepi. Jalanan yang diperkirakan akan ramai lancar tiba-tiba berubah menjadi jalan berbatu, berlubang dan ramai oleh kendaraan lain, bahkan dengan cuaca mendung yang ditambah kencangnya tiupan angin.

BI pun secepatnya merespons dan mengendalikan situasi tersebut dengan melakukan manuver menyesuaikan transmisi dan pedal gas-rem pada instrumen-instrumen kebijakan yang dimilikinya. Akhirnya kendaraan pun melambat. Namun yang jauh lebih penting kendaraan masih bisa melaju dengan selamat.

Kembali ke isu transisi, diakui atau tidak, beralihnya otoritas pengawasan perbankan sejujurnya bukanlah hal yang diinginkan oleh Bank Indonesia. Akan tetapi karena undang-undang mengharuskan demikian, BI tentu tak bisa mengelak. Dan mulai bulan depan, satu direktorat yang ada di BI harus dialihkan dan menjadi milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Masalahnya, proses pengalihan itu tidak semudah seperti memindahkan barang-barang dari sebuah rumah ke tempat lain. Salah satu problem yang muncul adalah siapa yang akan menggaji pegawai-pegawai pindahan itu. Ketika pegawai BI yang sebagian merupakan pengawas bank pindah ke ‘rumah baru’ OJK, mereka masih berstatus pegawai BI setidaknya hingga dua tahun ke depan. Setelah itu, pengawas bank akan diberi opsi untuk tetap di OJK atau kembali ke rumah lamanya.

Karena itulah maka anggaran gaji dan fasilitas untuk para pengawas, masih harus disiapkan oleh BI, setidaknya begitulah menurut OJK. Apalagi, anggaran OJK tahun depan yang telah disepakati oleh Komisi Keuangan DPR yang sebesar Rp2,4 triliun, ternyata belum mencakup gaji dan fasilitas para pengawas bank. OJK beralasan, anggaran tersebut belum dimasukkan karena para pengawas bank masih berstatus sebagai pegawai BI.

Sementara BI di sisi lain, sudah tidak mau lagi memasukkan anggaran gaji dan fasilitas para pengawas banknya itu karena mereka bekerja melakukan pengawasan perbankan untuk OJK, bukan untuk BI.
Sebetulnya kalau mau dikembalikan ke Pasal 64 Undang-Undang OJK persoalan tidaklah serumit itu. 

Aturan di atas menyatakan bahwa para pengawas bank itu masih berstatus pegawai BI yang diperbantukan kepada OJK. Jadi para pengawas bank itu masih akan berstatus pegawai BI yang ditugaskan di OJK hingga akhir 2015 -saat itu mereka harus memilih menjadi pegawai OJK atau kembali ke BI. Artinya memang seharusnya BI adalah pihak yang semestinya mengeluarkan anggaran buat para pengawas itu.

Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah masalah peraturan. Beberapa bulan jelang peralihan itu, BI tampaknya masih getol mengeluarkan aturan perbankan. Hal ini tentu akan sedikit memberikan pekerjaan ekstra buat OJK. Pasalnya setelah tahun ini berakhir, BI bukan lagi pihak yang akan mengawasi perbankan. Jika aturan itu tidak dimaksudkan untuk diterapkan dalam jangka waktu yang relatif lama maka hal itu tentu akan merepotkan untuk pelaku industri.

Namun, bos OJK, Muliaman D Hadad menanggapi santai hal itu. Menurut mantan Deputi Gubernur BI itu, hal tersebut tidak menjadi masalah karena nanti pihaknya akan mereview kembali aturan-aturan itu. “Jika memang harus diubah akan kita ubah, tanpa konsultasi lagi, karena itu sudah menjadi wewenang kita. BI kan tidak melakukan pengawasan lagi. Itu ada di OJK. Kalau itu baik, tentu kita teruskan, kalau perlu diperbaiki ya kita sempurnakan,” kata dia.

Hingga Oktober BI masih berencana mengeluarkan aturan soal perbankan terutama beberapa aturan terkait bank syariah dan uang muka kredit. Sementara sepanjang paro kedua tahun ini bank sentral telah menerbitkan satu Peraturan (PBI) dan 12 Surat Edaran (SEBI).

Meski begitu hal yang patut dicatat adalah bahwa kedua lembaga itu tetap terbuka untuk membahas masalah transisi ini agar tidak terjadi masalah di kemudian hari. Bulan lalu Kedua lembaga itu memang sudah bertukar nota kesepahaman demi memuluskan tugas mengawal stabilitas sektor keuangan Tanah Air. Setidaknya ada empat area yang menjadi perhatian utama. Pertama, tugas dan tanggung jawab menjalankan fungsi di BI dan OJK. Kedua, pertukaran informasi dan bagaimana menangani masalah pelaporan, serta bagaimana agar pelaporannya taat akan asas governance. Ketiga, kesepakatan terkait dokumen, logistik baik di pusat dan daerah. Dan keempat, masalah sumber daya manusia.

Transmisi BI Rate
Dalam urusan pengelolaan bank sentral khususnya soal suku bunga acuan, Darmin Nasution adalah sebuah kutub, sementara Agus Martowardojo adalah kutub yang lain. Saat pertama kali menjejakkan kaki di dalam ruang rapat dewan gubernur bank sentral, pada Mei 2009, mantan dirjen pajak itu sudah ikut menurunkan BI Rate.

Bahkan selama empat tahun masa jabatannya di Thamrin, tampak sekali bahwa Darmin berupaya mengarahkan BI Rate ke level terendah. Dan saat dia pensiun dari BI, bunga acuan dibawanya ke level terendahnya sepanjang masa di angka 5,75 persen, dari level saat dia masuk di angka 6,50 persen.

Beberapa kali, dalam merespons gejolak pasar hingga perkembangan perekonomian, orang yang lama menjabat posisi-posisi penting di pemerintahan ini memilih tidak menggunakan instrumen BI Rate. Baginya, dampak kenaikan suku bunga acuan akan lebih cepat menghantam sektor riil setelah bertransmisi di sektor perbankan. Sebaliknya jika menggunakan kebijakan yang agak memutar, dampaknya hanya akan berhenti di perbankan, jikalau berlanjut ke masyarakat maka kekuatannya sudah berkurang.

Seperti yang bisa dilihat pada 2012, ketika pasar global masih labil karena krisis di Eropa dan membuat ekspor kita melemah yang akhirnya menekan neraca transaksi berjalan. Ketika itu Darmin lebih banyak mengutak-atik instrumen Instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI), disusul kemudian, time deposit, Fasbi, dan Giro Wajib Minimum (GWM).

Pada pertengahan tahun lalu Darmin menelurkan keputusan untuk memperlebar rentang batas bawah bunga Fasilitas Simpanan BI (Fasbi) karena melihat masih berlimpahnya ekses likuiditas yang dimiliki bank. BI juga menerapkan aturan loan to value yang mewajibkan konsumen menyediakan uang muka di saat akan membeli rumah atau  kendaraan bermotor.

Sementara Agus DW Martowardojo tampak kebalikannya. Sesaat setelah dipilih jadi Gubernur BI dan memimpin rapat dewan gubernur pada Juni, mantan menkeu itu langsung menaikkan BI Rate dari level rendah yang sudah dipertahankan Darmin. Bahkan sepanjang lima bulan Agus menjadi orang nomor satu di bank sentral, mantan Dirut Bank Mandiri sudah mendongkrak BI Rate hingga 150 basis poin.

Agus yang lebih banyak menghabiskan kariernya sebagai bankir, dinilai mendasarkan keputusan-keputusannya itu dari kacamata pelaku pasar, alih-alih pada kepentingan sektor riil secara langsung. 
“Orientasi kebijakan yang diambilnya berdasarkan yang selama ini dia temui. Khan dia ngertinya ya selama ini sektor perbankan. Sektor riil bukan dunianya,” kata Enny Sri Hartati, ekonom Indef saat mengomentari keputusan-keputusan Gubernur Bank Indonesia.

Meski demikian, Enny seperti halnya pengamat ekonomi lainnya memaklumi keputusan yang diambil Agus menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Sekarang ini, menurut Enny, tidak ada faktor positif dari dalam negeri yang bisa menahan dana asing untuk tidak hengkang. Maka menaikkan BI Rate menjadi satu-satunya pilihan yang diambil BI untuk menahan agar dollar AS tidak kabur dari pasar keuangan dalam negeri.

BI, tambah Enny, selama ini terkesan bekerja sendiri tanpa ada dukungan dari regulator fiskal untuk mempertahankan perekonomian dari keterpurukan yang lebih dalam. “Kita tidak bisa menyalahkan BI karena sisi fiskalnya memang tidak berbuat apa-apa padahal sumber penyakitnya ada di fiskal. Ibarat kanker, BI hanya berupaya untuk memperlambat meluasnya penyakit, tidak mengobati,” jelas dia.

Apa yang diungkapkan Enny, bernada sama dengan yang diutarakan oleh ekonom Universitas Katolik Atmajaya Agustinus Prasetyantoko. Menurut dia kebijakan ekonomi Indonesia saat ini terlalu bertumpu pada kebijakan moneter. Padahal persoalan yang dihadapi perekonomian Indonesia saat ini sangat beragam dan tidak hanya melulu soal moneter. Misalnya di sektor ketenagakerjaan, infrastruktur, ekspor, impor, daya saing industri dan lainnya. “Kebijakan di sektor-sektor ini yang tidak terlihat,” kata dia.  

Hingga November, BI Rate bertengger di level 7,5 persen. Selain menjadi level tertinggi sejak 2009, BI Rate juga menjadi suku bunga acuan tertinggi di regional Asia Tenggara. Bank Negara Malaysia tetap mempertahankan rate-nya di level 3 persen sejak Mei 2011. Demikian pula dengan bank sentral Filipina yang tidak mengubah bunga acuannya di angka 3 persen sejak Oktober tahun lalu. Sementara Bank of Thailand pada 16 Oktober lalu mempertahankan suku bunga sebesar 2,5 persen. Bahkan dibandingkan posisi pada awal tahun, suku bunga Thailand lebih rendah 0,25 basis poin.   Adapun suku bunga acuan di Singapura sedikit dinaikkan dari dari 0,03 pada Januari menjadi 0,05 pada Oktober.

Langkah BI menaikkan bunga acuan, tak pelak disambut oleh investor luar negeri dan dianggap sebagai langkah yang tepat serta berani. Kenaikan BI Rate merupakan pesan yang sangat jelas bahwa Indonesia akan melakukan langkah apa pun yang diperlukan untuk mendongkrak kinerja mata uang rupiah.

Robert Prior-Wandesforde, ekonom dari Credit Suisse mengatakan bahwa sebelum ini BI sering dituduh melakukan hal di luar kurva. Namun, cukup jelas bahwa langkah BI menaikkan suku bunganya merupakan langkah yang berani. “Dalam pandangan kami, hal ini merupakan hal yang tepat untuk dilakukan,” kata dia.

Kita memang tidak boleh dengan mudah memvonis bahwa kebijakan BI di bawah pilot Agus Martowardojo, lebih berpihak ke investor asing. Karena setiap kebijakan yang dikeluarkan bank sentral memang sesuai masa dan kebutuhannya. Setiap kebijakan bank sentral juga memiliki limitnya masing-masing.

Akan tetapi, yang pasti kini BI Rate pun bersiap untuk terus menanjak karena tahun depan kondisi perekonomian global tetap dalam ketidakpastian. Rencana pemerintah AS yang akan menghentikan secara bertahap program stimulusnya kembali menjadi ancaman bagi perekonomian global yang masih sempoyongan. Belum lagi problem debt ceiling pemerintah AS yang tak kunjung usai dan diramalkan akan mencapai puncaknya tahun depan.

Darmin Nasution, mantan gubernur BI menyarankan agar setiap kebijakan yang dikeluarkan harus memiliki determinasi dan jangan muncul kesan hit and run. “Walaupun harus tahu diri dengan limit kebijakan, otoritas harus punya determinasi. Apa artinya? Pada saat gejolak terburuk sudah terlampaui, harus ada rancangan untuk mengendalikan. Jangan dibiarkan ke sana ke mari, sehingga tidak bis dikendalikan," kata Darmin yang kini aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia.


Setelah Pilihan Pahit Diambil

Pemerintah telah mengambil pilihan menurunkan proyeksi pertumbuhan akibat guncangan ‘krisis kecil’ Agustus lalu. Perbankan tak pelak mendapatkan imbas yang lebih pahit dari sektor keuangan lainnya terutama dari sisi laba yang diprediksi akan melemah.

Guncangan di pasar keuangan Agustus lalu memang telah usai, dan bursa saham serta pasar uang sudah mulai menyusuri jalan sebelumnya untuk sampai pada posisi yang sama saat sebelum anjlok akibat guncangan itu. Namun tidak bagi sektor perbankan.

Turbulensi itu memang telah membuka tirai dan menunjukkan pada kita masalah utama dari perekonomian Indonesia yaitu tingginya angka impor yang membuat neraca transaksi berjalan menderita. Saat badai pasar uang tengah berkecamuk, pemerintah memiliki dua opsi yang sama-sama pahit: membiarkan nilai tukar terus melemah atau menurunkan target pertumbuhan ekonomi. Pilihan yang satu akan meniadakan opsi lainnya.
Pilihan pertama dengan terus mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan membiayai impor dengan rupiah yang makin melemah, sekilas tampaknya aman. Namun dengan besarnya kebergantungan kita pada impor baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk memproduksi barang-barang ekspor, membuat opsi itu hanya akan membikin cadangan devisa kedodoran sampai akhir tahun.

Pilihan kedua, lebih pahit, namun dalam jangka panjang membuat ekonomi lebih stabil. Dengan menurunkan target pertumbuhan, pemerintah bisa menekan impor agar tekanan kepada rupiah berkurang, karena memang ekspor juga sedang melemah. Karena itu dengan menurunkan target pertumbuhan, otomatis impor juga berkurang dan akhirnya tekanan rupiah juga sedikit berkurang.

Walhasil pilihan kedua pun diambil. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia dipangkas. Pemerintah awalnya mematok sangat tinggi pertumbuhan tahun 2013, yaitu 6,8 persen. Lalu pemerintah dan DPR mengoreksi menjadi 6,3 persen sebagaimana tercantum di APBN-P 2013. Koreksi itu dilakukan menjelang kenaikan harga BBM Juli lalu. Setelah terjadi guncangan pasar modal, pertumbuhan kembali direvisi menjadi 5,5-5,9 persen.

Revisi itu tampaknya lebih optimistis dibandingkan yang dilakukan oleh lembaga dunia. Dalam laporan World Economic Outlook terbaru, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 turun tajam 100 basis poin, dari 6,3 persen menjadi 5,3 persen.

Akan tetapi, inilah yang membuat sektor perbankan lebih menderita dibanding jasa keuangan lainnya. Dua bulan setelah guncangan itu mereda, pasar modal dan pasar uang mulai stabil. Indeksi saham mulai kembali ke posisi semula dan hingga pekan ketiga Oktober berada di level 4.560-an. Nilai tukar rupiah juga sudah memasuki level Rp10.000 per dollar AS.

Sementara itu perbankan diperkirakan akan mengalami pelemahan kinerja sampai akhir tahun. Dengan dipangkasnya proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional, perbankan tentu akan menjadi sektor yang langsung terimbas dengan langsung memperlambat laju pemberian kredit. Tekanan ini bertambah lagi dengan dikereknya suku bunga acuan yang saat ini berada di level 7,25 persen.

Karenanya, di samping penyaluran kredit yang turun, bank juga harus berhadapan dengan risiko meningkatnya risiko kredit karena ancaman non performing loan (NPL) yang memaksa bank menyisihkan dana lebih banyak sebagai provisi. Kekhawatiran ini tentu akan membuat bankir-bankir kian memperlambat kinerja bisnis yang akhirnya akan berpengaruh pada pendapatan bank. Ujung-ujungnya laba perbankan akan melandai.

Sepanjang delapan bulan pertama tahun ini, perbankan memang masih bisa membukukan laba tinggi. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, industri perbankan mampu meraup laba bersih sebesar Rp 70,73 triliun sepanjang waktu itu. Angka ini meningkat sebesar 18,44 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Peningkatan laba bersih ini ditopang oleh ekspansi kredit yang mencapai 22,2 persen.

Meski begitu, jika dibandingkan dengan kinerja bank-bank umum sepanjang Januari-Agustus 2012, ekspansi laba tersebut telah mengalami pelambatan. Pada periode tersebut laba bersih meningkat 24 persen menjadi Rp59,72 triliun. Sedangkan ekspansi kredit selama delapan bulan tahun 20103 itu juga sudah melambat dibandingkan dengan posisi akhir 2012 yang tercatat masih tumbuh 23,1 persen.

Menurut pernyataan resmi Bank Indonesia, pertumbuhan kredit September mulai menunjukkan perlambatan, meski pada Agustus 2013 masih cukup tinggi sebesar 22,2 persen (yoy). Pertumbuhan kredit lebih banyak didorong penarikan kredit dari komitmen sebelumnya, disamping pengaruh perhitungan nilai tukar. “Sementara komitmen kredit baru terus menurun,” kata laporan itu.

Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit akan melambat seiring dengan kenaikan suku bunga, perlambatan permintaan domestik dan kebijakan makroprudensial yang ditempuh oleh Bank Indonesia.

Dengan berbagai tantangan itu tak pelak pertumbuhan laba bank sepanjang 2013 ini diprediksi akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Banyak pihak yang melihat bahwa hal itu merupakan pertanda bahwa masa-masa di mana bank-bank bisa mengeruk keuntungan tanpa usaha yang terlalu keras sudah usai.

Bank Indonesia sudah mengerek suku bunga acuan hingga 150 basis poin sejak Mei. Suku bunga kredit pun sudah mulai merangkak naik merespons dengan cepat kenaikan itu. Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah karena pemerintah memilih menekan impor tentu akan membuat kesulitan tersendiri bagi bank untuk melempar dana ke sektor usaha. Itu belum ditambah kebijakan moneter lainnya yang lebih ketat dan akan membuat keleluasan bank dalam berbisnis akan sedikit tertekan.

Belum lagi kondisi masih tertekannya konsumsi dalam negeri dan investasi sebagai dampak dari melorotnya daya beli akibat tingginya tekanan harga pasca kenaikan harga bensin bersubsidi. Bahkan situasi ini menurut Bank Indonesia akan berlangsung hingga akhir tahun.

Salah satu bank yang sudah memastikan akan sedikit mengerem ekspansi adalah Bank Mandiri. Bank beraset tergemuk ini menurunkan target pertumbuhan kreditnya hingga akhir 2013 menjadi 19-21 persen dari target sebelumnya sebesar 20-22 persen. Hal itu untuk menjaga kualitas pertumbuhan kredit dengan tingkat kredit bermasalah (NPL) yang tetap baik di tengah perekonomian yang melambat.

Bank Danamon bahkan telah mengajukan revisi Rencana Bisnis Bank (RBB) kepada Bank Indonesia untuk menurunkan target kredit dari 18 persen tahun ini menjadi 17 persen sejak Juli sehingga diperkirakan angkanya pada akhir tahun bisa lebih rendah lagi.

Akan tetapi menurut pengamat, kinerja perbankan, meski melemah, namun tidak seburuk yang dibayangkan. “Perbankan akan tetap bisa mengeruk laba tinggi namun marginnya berkurang,” kata Eric Alexander Sugandi dari Standard Chartered Bank.

Margin di industri perbankan RI memang termasuk yang tertinggi di dunia. Hingga akhir Agustus, margin bunga bersih (NIM) industri perbankan masih berada di level 5,5 persen, relatif sama dibandingkan dengan setahun lalu. Pada akhir tahun ini diperkirakan angkanya akan mengecil dan memberikan pengaruh kepada pendapatan bank.

Menurut Eric, pengetatan yang dilakukan Bank Indonesia akan memaksa bank menurunkan margin demi menyeimbangkan neracanya. Sebelumnya bank sentral juga sudah ancang-ancang akan melakukan pengetatan untuk menyelamatkan neraca transaksi berjalan.

Neraca yang menggambarkan ekspor impor itu memang terus mengalama defisit sejak awal tahun ini. Dan bank sentral memang menjadi aktor utama dalam upaya memperbaiki current account defisit itu dengan memberikan peluang lebih besar pada kegiatan ekspor dan menekan transaksi impor.

Transaksi Berjalan
Bulan lalu, otoritas moneter telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 7,25 persen. Langkah pengetatan itu dilakukan untuk menekan defisit transaksi berjalan. “Masalah kita sekarang ini adalah defisit current account yang besar. Itu harus turun. Impor harus turun, karena kita tidak bisa mendorong ekspor," kata Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo.

Neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2013 mengalami defisit 9,9 miliar dollar AS atau sekitar 4,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlah ini mengalami peningkatan 69 persen dari kuartal sebelumnya yang besarnya 5,8 miliar dollar AS. Defisit tersebut sekaligus melanjutkan defisit transaksi berjalan selama tujuh kuartal terakhir sejak kuartal IV-2011.

Menurut Perry, keputusan yang ditempuh BI dengan menaikkan BI Rate merupakan langkah yang wajar dalam menyikapi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. "Oleh karena itu, wajar kalau kami tidak bisa berlari terlalu kencang, sementara yang lain melambat," kata dia.

Apabila BI tidak menaikkan suku bunga acuan menjadi 7,25 persen, lanjut Perry, maka defisit transaksi berjalan akan semakin membesar. “Berbagai indikator pun menunjukkan perlambatan. Maka kebijakan itu yang kami lakukan," tegas Perry.

Meski demikian dari hasil uji tekanan (stress testing) yang dilakukan BI baik dari sisi likuiditas, kredit maupun permodalan menunjukkan ketahanan industri perbankan yang kuat terhadap berbagai risiko seperti perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga dan depresiasi nilai tukar rupiah. 

Setelah krisis, sektor perbankan RI memang diakui lebih kuat karena pengetatan aturan dari otoritas. Rasio kecukupan modal selalu berada di atas 14 persen dalam lima tahun terakhir, jauh di atas yang digariskan BI sebesar 8 persen. Sementara itu rasio kredit bermasalah juga berada di bawah level 2 persen.
Kendati demikian, akhir tahun bukanlah akhir dari penderitaan sektor perbankan. Karena tahun depan masalah lainnya akan kembali menghadang. Menurut Eric dari Standard Chartered Bank tahun depan perekonomian Indonesia kembali akan mengalam guncangan karena persoalan death ceiling dan isu tapering dari pemerintahan AS.

Perekonomian AS akan kembali menjadi sorotan karena belum tuntasnya masalah batas utang yang sampai saat ini masih jadi perdebatan. Selain itu isu rencana penghentian program stimulus (tapering) yang mereda pada September akan muncul lagi ketika ada perbaikan ekonomi dari AS.  

Persoalan debt ceiling ini tentu menimbukan pressure ke rupiah. Kalau hal itu tidak mendapatkan persetujuan dari pengambil kebijakan, kata Eric  maka ini akan mengganggu ekonomi AS dan tentu tapering akan ditunda. Sementara itu, jika ekonomi AS tahun depan pulih maka program quantitative easing akan dihentikan. Hal  ini juga akan berdampak ke pelemahan rupiah dengan banyaknya flight to quality dana-dana asing seperti yang terjadi Agustus lalu.

“Jadi mulai Januari ancaman yang berasal dari ekonomi AS akan berlanjut dan bahkan mungkin dengan magnitude yang lebih besar,” kata Eric.