Kamis, 11 Desember 2014

Sirene Krisis

Sirene krisis sejatinya sudah menyala, meski mungkin tingkat kewaspadaannya masih siaga 2. Namun, Bank Indonesia –sejak  memperoleh independensinya pada 1999–tak mau mengambil risiko sedikitpun akan munculnya krisis walaupun itu masih berupa gejala atau pertanda. Adalah rencana bank sentral AS yang tahun depan akan mengembalikan kebijakannya ke jalur normal, yang menjadi pemicunya. Hal itu sudah cukup menjadi alarm bahwa ekonomi global akan kembali bergejolak. Karenanya Bank Indonesia, yang kehilangan taji pegawasan perbankannya tahun ini, langsung bergegas menyiapkan diri mengantisipasinya.
Akan tetapi yang sibuk menyiapkan diri terlihat hanya otoritas moneter saja, sementara pemerintah, sebagai otoritas fiskal terlihat adem ayem. Pemerintahan baru yang terbentuk Oktober lalu tampaknya masih sibuk mengutak-atik masalah fiskal dan berupaya menambalnya anggaran.
Padahal Kementerian Keuangan sejatinya sudah harus bahu membahu menyiapkan langkah antisipasi dan mitigasi krisis. Menteri Keuangan adalah salah satu anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan bersama BI, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pemerintah berencana akan menerbitkan obligasi pada tahun depan untuk menutup kebutuhan anggaran, dan lebih dari separonya akan diterbitkan sebelum semester satu berakhir. Meski strategi front loading itu mempertimbangkan kemungkinan dampak normalisasi kebijakan AS, tetapi tujuannya bukan untuk mengantisipasi krisis.
Malahan strategi pemerintah yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi tahun depan pada investasi langsung juga dianggap berbahaya. Menurut Bank Dunia, strategi itu akan menambah tambahan beban impor, padahal Indonesia masih memiliki masalah pada Neraca Transaksi Berjalan.
Kondisi itu justru akan makin menambah kekhawatiran, bahwa krisis akibat normalisasi ekonomi AS, akan makin nyata.
Trauma krisis sejatinya bukan hanya dirasakan oleh Bank Indonesia, sebagai garda terdepan urusan moneter, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. Akibat krisis 16 tahun lalu, masyarakat Indonesia seperti masuk dalam zaman kegelapan ekonomi. Indikator-indikator ekonomi pun hampir semua terperosok. Belum lagi, kerugian sosial yang tak terhitung yang dialami masyarakat sepanjang kurun waktu 98 hingga 2000-an awal. Jadi jangan bilang, kalau menyiapkan antisipasi krisis, bukan urusan pemerintah.
Pemerintah, dalam demokrasi modern yang diadopsi banyak negara di dunia, sejatinya adalah pihak yang diserahi tugas untuk mengurusi hal-hal terkait masalah yang disepakati merupakan masalah publik. Jadi ketika ada masalah terkait keamanan, kesejahteraan masyarakat dan hukum, serta hal lain, pemerintah tidak bisa dan tidak boleh lepas tangan.
Pemerintah boleh merasa tidak mampu mengurus semua rakyatnya (meskipun tidak pernah akan dikatakan), namun setidaknya pemerintah memiliki sistem dan kemauan yang bertujuan mengurus seluruh rakyatnya.
Pemerintah juga seharusnya tidak menggunakan posisi –bahkan asumsi sekalipun, sebagai individual, rumah tangga, atau bahkan perusahaan sekalipun dalam mengurus rakyatnya.
Nah, sekarang perekonomian kita dihadapkan pada kemungkinan terjadinya gejolak global. Pemerintah, selain memikirkan persoalan fiskal, perlu juga dipikirkan masalah jaring pengaman sektor keuangan agar rakyat nanti jika tertimpa krisis (mudah-mudahan jangan) masih sempat merasakan kehadiran negara.
Undang-undang yang rancangannya masih mangkrak itu, karenanya perlu dibicarakan lagi, dan secepatnya diterbitkan. Karena kebanyakan rakyat Indonesia butuh itu, karena mereka tidak mengerti pertanda soal krisis baik berupa sirene maupun alarm, apalagi harus mengerti defisit anggaran.




Kembalinya Saudara Tua

Investor Jepang menandai ekspansinya ke sektor keunagan Indonesia dengan membeli Bank Mutiara. Meski dianggap lebih besar dari nilai bukunya, penjualan bank tersebut tetap memunculkan pertanyaan.

Masa-masa awal perang dunia kedua, Jepang pernah memaksa Indonesia untuk mengakui mereka sebagai ‘saudara tua’, dan kemudian merampas hampir semua kekayaan yang ada di Tanah Air. Kini saudara tua itu kembali ke Indonesia melalui sektor keuangan dan akan memanfaatkan potensi pasar yang sangat besar menjelang pasar bebas Asia Tenggara.
Pembelian Bank Mutiara oleh J Trust Co, Ltd, holding keuangan asal Jepang, bisa disebut sebagai menghilangkan momok atau membersihkan kerikil dalam sepatu, yang selama ini menghantui pemerintahan.
Sejak penyuntikan dana tepat enam tahun lalu, bank yang semula bernama Bank Century tak pernah lepas dari polemik. Dana Rp6,7 triliun dan ditambah lagi Rp1,4 triliun yang disuntik akhir tahun lalu, membuat bank ini termasuk bank dengan bantuan dana pemerintah terbesar sepanjang sejarah.
Tahun ini, Bank Mutiara berhasil dijual, meski harganya jauh di bawah duit pajak yang diberikan pemerintah kepada bank itu.
Tak bisa dipungkiri bahwa penjualan saat dead line ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Lima tahun lalu, pengamat ekonomi yang waktu itu juga menjadi Anggota Komisi Ekonomi dan Keuangan DPR, Dradjad H Wibowo pernah mengatakan bahwa pemerintah akan merugi hingga Rp5 triliun pada saat divestasi saham Bank Mutiara. Harga saham bank itu hanya akan mencapai Rp2 triliun tak lebih pada saat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus mendivestasinya. Artinya dengan ekuitas yang pada 2009 mencapai Rp500 miliar, Dradjad saat itu meramalkan jika nanti dijual maka LPS akan rugi sekitar Rp4,5 triliun hingga Rp5 triliun rupiah.
Apa yang dikatakan Dradjad pada akhirnya terbukti, pemerintah melalui LPS harus melepas Bank Mutiara meski harganya di bawah ‘modal’ yang disuntikan dengan jumlah akumulatif mencapai Rp8,1 triliun.
Ekuitas Bank Mutiara per Desember 2013 sebesar Rp1,3 triliun, dan LPS melepasnya bulan lalu dengan harga Rp4,4 triliun. Pengembalian yang hanya 54 persen dari uang pajak yang disuntikkan kepada bank itu tentu memunculkan pertanyaan. Namun demikian, Kartiko Kartika Wirjoatmodjo, Kepala Eksekutif LPS tampaknya tidak sepakat.
Menurut dia, harga jual itu dihitung berdasarkan nilai buku Bank Mutiara yang saat ini Rp1,3 triliun dan dengan mendapatkan Rp4,4 triliun artinya harganya mencapa 3,5 nilai buku. “Nilai bukunya Mutiara berapa? Rp 1,3 triliun. Padahal injeksinya Rp 8,1 triliun. Ke mana larinya? Itu karena kerugian akumulatif yang terjadi pada saat bank ini dulu diselamatkan,” kata Kartika.
LPS memang wajar mengatakan hal itu karena memang bank itu harus dilepas tahun ini juga jika otoritas tak mau dianggap melanggar undang-undang. Namun demikian, pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa J Trust, mengingat perusahaan itu lebih fokus pada bisnis yang mengedepankan strategi merger dan akuisisi saja, atau bisa dibilang perusahaan broker saja.
Mengenai keputusan itu, Ketua LPS menilai bahwa penawaran dari J Trust adalah yang terbaik dari yang ada. Ditambah lagi perusahaan itu akan membayarnya secara tunai dan mau menanggung potensi risiko di kemudian hari tanpa meminta impunitas. Kelebihan inilah yang memudahkan LPS menjatuhkan pilihan pada J Trust.
Sebelumnya santer terdengar kabar bahwa BRI juga menyatakan minatnya pada Bank Mutiara. Namun demikian dana Rp3 triliun yang disiapkan tidak cukup untuk menaklukan hati pemegang saham.
Enny Sri Hartati, Direktur Indef, lembaga penelitian ekonomi Independen, mengatakan bahwa pertanyaan yang muncul di masyarakat soal siapa J Trust dan mengapa Mutiara dilepas ke perusahaan itu, adalah sesuatu yang wajar. “Publik tentu menduga-duga, apakah ada kesepakatan di belakang meja terkait penjualan itu,” kata dia.
Sektor perbankan adalah sektor yang sangat strategis dan pemerintah, lanjut Enny harus lebih berhati-hati memutuskan pihak-pihak yang bisa menggarap sektor itu. “Jadi pertanyaanya, kenapa harus dikasih kepada asing ketika ada investor lokal yang berminat.” 
Harga seharusnya tidak menjadi patokan utama dalam melepas institusi keuangan kepada pihak asing karena dalam jangka panjang komitmennya tidak bisa dipegang sehingga risiko bakal jadi ajang jual-beli bank sangat besar. “Apalagi perusahaan itu terkesan seperti brokerage,” kata Enny.
Menurut dia, jika perusahaan yang core business-nya bukan di perbankan maka peluang akan dijual kembali ketika sudah untung, sangat besar.
Selain itu, seperti juga pernah dikatakan oleh Dradjad H Wibowo, ekonom sekaligus politisi, Enny juga mengungkapkan bahwa terbuka kemungkinan bahwa dalam pembelian Mutiara ini ada semacam komitmen lain, di bidang ekonomi.  
Sebelumnya, pada akhir tahun lalu, J Trus melalui tangan usahanya J Trust Asia yang berpusat di Singapura, mencaplok 10 persen saham Bank Mayapada, senilai Rp 556,53 miliar. Jepang sudah memiliki bank joint venture di Indonesia lewat Bank Sumitomo Mitsui


Meratakan Jalan
Yang bisa dilihat kasat mata, masuknya J Trust akan meratakan jalan bagi investor-investor Jepang lainnya di sektor riil yang mengincar pasar Indonesia jelang dibukanya perdagangan bebas ASEAN tahun depan. Sebelumnya Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman menyatakan bahwa setidaknya ada 10 perusahaan skala besar asal Jepang berminat untuk masuk ke sektor makanan dan minuman. "Menjelang ASEAN Economic Community (AEC) 2015, industri makanan dan minuman di Indonesia akan kedatangan banyak investor dari negara Jepang. Selain pasar yang sudah cukup jenuh di negaranya, ketertarikan investor Jepang untuk ekspansi karena Indonesia diprediksi menjadi pasar terbesar di ASEAN pada 2015," kata Adhi.
Sudah mulai jenuhnya pasar Jepang membuat perusahaannya berbondong memperluas pangsa pasar ke luar negeri yang dinilai masih potensial. Jepang adalah negara yang perekonomian masuk dalam lima besar di mana pajak bisnisnya sudah sangat tinggi dan demografi penduduk yang didominasi usia lanjut.
Perusahaan-perusahaan yang akan merangsek ke Indonesia, kata Gapmmi, antara lain Suntory, Asahi, Glico, Morinaga, Ito En, UHA, Mitsubishi, Yamazaki, dan Kanematsu. Sebagian besar perusahaan tersebut mendirikan perusahaan patungan dengan menggandeng perusahaan makanan minuman yang berdiri sebelumnya di Indonesia. "Morinaga menggandeng Kino Group membentuk perusahaan patungan PT Morinaga Kino Indonesia. Sedangkan Suntory Beverage & Food Limited, perusahaan minuman terbesar kedua di Jepang, menggandeng PT Garudafood Putra Putri Jaya membentuk PT Suntory Garuda Beverage," kata Adhi.
Asahi Group Holdings Southeast Asia Pte Ltd merangkul PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) membentuk PT Indofood Asahi Sukses Beverage. Selain dengan Asahi, Indofood CBP juga membentuk joint venture dengan JC Comsa Corporation, perusahaan asal Jepang yang bergerak di bidang produksi dan pengolahan produk makanan berbahan dasar tepung terigu, food service, serta pengelola jaringan restoran dengan porsi kepemilikan saham mayoritas.
Sedangkan PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ) membentuk joint venture dengan Ito En Asia Pacific Holdings asal Jepang. Mitsubishi, perusahaan perdagangan terbesar di Jepang, juga menggandeng Alfamart Group untuk memproduksi dan menjual roti di 8.000 jaringan ritel PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT). Tidak hanya sampai di situ, perusahaan-perusahaan Jepang yang telah dan akan berekspansi di Indonesia juga akan diperkuat dengan dukungan dari sektor ritel.
Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yasuaki Tanizaki mengakui bahwa negaranya akan semakin meningkatkan penanaman modalnya ke Indonesia dan dan tetap menjadi investor terbesar pada 2015. “Banyak negara yang tertarik dengan Indoesia, dan kami sepakat di Indonesia akan banyak peluang untuk investasi. Karena itu, saya berpikir investasi Jepang di Indonesia akan lebih banyak, dan sekarang Jepang menjadi penanam investasi nomor satu di Indonesia," katanya bulan lalu.
Jadi, bersiap-siap saja, karena saudara tua kita itu sudah kembali.




Box

Besar lewat Merger dan Akuisisi

J Trust Co, Ltd merupakan perusahaan yang bergerak pada bidang keuangan, real estate, sistem IT, dan bisnis hiburan yang beroperasi di Jepang dan dunia internasional. J Trust didirikan pada 18 Maret 1977 dengan modal 53,5 miliar yen dan berkantor pusat di Tokyo, Jepang.
J Trus Grup, menyebut diri mereka sendiri sebagai perusahaan yang dengan cepat memperluas bisnisnya sebagai penyedia jasa keuangan ritel yang komprehensif dengan strategi merger dan akuisisi yang agresif serta pembelian utang. Usaha Grup berpusat pada jasa keuangan tetapi juga melibatkan berbagai kegiatan lain dari real estate untuk hiburan, termasuk kegiatan bisnis di luar negeri.
J Trust memiliki keahlian dan pengalaman dalam bisnis pembiayaan konsumen dan kartu kredit. Dibuktikan dengan memiliki anak perusahaan KC Kartu Co, Ltd, yang telah bergerak dalam bisnis kartu kredit dari Rakuten dan Nihon Hosho Co Ltd yang bergerak dalam bisnis pembiayaan konsumen Takefuji Co Ltd (sekarang TFK Co Ltd setelah perusahaan reorganisasi). Grup juga telah memanfaatkan sisi know-how mereka dan juga sumber daya manusia di bidang keuangan ritel untuk memperoleh dan mengoperasikan sebuah bank tabungan dan perusahaan pembiayaan konsumen di Republik Korea.
J Trus berdiri sejak Maret 1977, sebagai lembaga pinjaman untuk usaha kecil dan menengah dan berhasil mengembangkan bisnis tersebut di Jepang.  Namun, lembaga itu terpaksa merampingkan bisnis karena adanya perubahan dalam lingkungan bisnis yang disebabkan oleh masalah Pinjaman Shoko & penurunan batas atas suku bunga berdasarkan Undang-Undang Investasi Investasi pada 2000, dan masalah pengembalian dana klaim yang muncul pada 2006.
Namun demikian, sejak Presiden & CEO Perusahaan, Nobuyoshi Fujisawa, perusahaan itu terus bergerak maju untuk menjadi perusahaan keuangan yang memiliki banyak anak usaha dengan memperoleh sumber daya manajemen dari entitas luar melalui merger dan akuisisi ditambah ekspansi progresif operasi penjaminan kredit.
Pada bulan Oktober 2010, Perseroan menjadi perusahaan induk bertugas mengawasi pengelolaan seluruh Group. Nobuyoshi yang sekaligus menjadi pemegang saham pengendali perusahaan itu sejak 2008, memang sudah mengincar pasar Asia Tenggara, terutama Indonesia sebagai penguasa separo dari pasar itu.
“Memanfaatkan sebagian dari dana yang diperoleh, kami mendirikan J Trust Asia sebagai basis kami untuk kegiatan investasi di Asia Tenggara dan berhasil memperoleh pinjaman perusahaan 2 konsumen di Korea Selatan. Kami melihat upaya-upaya kita terus membuat sudah mulai berbuah hingga Maret 2014,” kata dia di situs resmi perusahaan.
Sebelumnya, untuk mendukung ekspansi bisnisnya, J Trus telah melakukan right issue
untuk meningkatkan modal ke level 100 miliar yen.
Menurut dia, J Trus sudah memasuki tahap kedua dalam rencana pertumbuhan dan pengembangan lebih lanjut. “Seperti yang kami pertimbangkan, salah satu persyaratan bagi kita untuk mencapai pertumbuhan yang signifikan adalah untuk memindahkan bisnis dasar utama kami ke Korea Selatan, negara-negara Asia Tenggara dan negara-negara asing lainnya. Kami aktif melakukan strategi M&A pada berbagai proyek baik di dalam maupun di luar Jepang,” kata Nobuyoshi.
J Trus memiliki sedikitnya 15 anak usaha, termasuk J Trus Asia yang baru berdiri 7 Oktober 2013. Akhir tahun lalu, J Trus Asia telah membeli sebagian saham Bank Mayapada
J Dipercaya Asia akan mengakuisisi 347.832.000 saham Bank Mayapada, 10 persen dari jumlah saham yang beredar, senilai 4,773 juta yen atau lebih dari Rp550 miliar..





Profil J Trust Co (sampai Maret 2014)

Berdiri                                                  18 Maret 1977
Pemegang saham                                  Nobuyoshi Fujisawa 26,55 persen            
                                                              Japan Trustee Services Bank, Ltd.(Trust account) 5,11 pers
                                                              NLHD Co Ltd. *                      5,08 persen   

Modal                                                    53,5 milar yen setara

Revenue from Operations           61,926 miliar yen
Operating Profit               13,745 miliar yen
Ordinary Profit                  13,351 miliar yen
Net Income                        11,145 miliar yen
Total Assets                        334,736 miliar yen
Net Assets                          184,230 miliar yen
Net Worth                          177,263 miliar yen
Capital Adequacy Ratio  53,0 persen.
(konsolidasi)


Menghadapi Trauma Krisis

Pengalaman buruk krisis moneter membayangi Bank Indonesia ketika melihat utang valas korporasi terus menanjak. Upaya otoritas moneter untuk meredam potensi gejolak valas dilakukan dengan mewajibkan korporasi untuk memperketat utang mereka.


Ketika dunia terhantam krisis global lima tahun lalu, hampir semua bank sentral bereaksi menurunkan suku bunga demi menggerakkan perekonomian. Bahkan beberapa bank sentral menawarkan bunga nyaris nol persen. Sementara, di saat yang sama, di Indonesia, suku bunga yang ditawarkan masih di level 6,50 persen.
Sampai 2013, situasi tersebut tidak berubah di negara-negara maju namun suku bunga Bank Indonesia menjadi 7,50 persen. Dan tahun depan, ketika bank sentral AS diprediksi akan menaikkan suku bunga karena perekonomiannya mulai normal, dipastikan BI Rate akan dikerek lagi.
Perbedaan suku bunga yang cukup mencolok yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun itu digunakan pelaku bisnis untuk mencari pendanaan ke luar negeri. Bahkan praktik ini juga diikuti oleh penyelenggaran negara.
Sejak tahun 2006, gejala peningkatan utang luar negeri pemerintah plus bank sentral dan juga korporasi mulai terlihat. Hal itu kemudian menjadi tren dan terus meningkat. Bahkan pada 2010, utang pemerintah melonjak mencapai puncaknya, ketika pada 2012 utang swasta juga mengalami hal yang sama. (lihat grafik).
"Perusahaan besar yang mempunyai akses keluar, akan meminta pinjaman ke luar negeri. Suku bunga yang ditawarkan kurang dari 1 persen. Rendahnya suku bunga yang membuat perusahaan swasta tergiur mengambil (peluang itu)," kata Hendri Saparini, pengamat ekonomi dari Econit.
Tak pelak, sektor perbankan kemudian mulai mengekor strategi ini ketikan BI mengeluarkan aturan soal penghapusan batasan saldo utang luar negeri jangka pendek bank yang terbit 2008. Di beleid sebelumnya yang terbit 2005, batasan utang adalah 30 persen dari modal bank. Karena aturan ini hanya berlaku maksimal satu tahun maka tahun 2009 menjadi tahun ketika bank memaksimalkan utang valuta asing dari luar negeri tanpa batas.
Pemerintah sendiri, melalui Tim Kajian Lintas Direktorat Kedeputian Pendanaan Pembangunan Nasional telah menyimpulkan bahwa perbedaan suku bunga dalam negeri dan suku bunga luar negeri juga menjadi faktor pendorong sektor swasta untuk meminjam dana dari luar negeri. “Tersedianya instrumen dana luar negeri dengan tingkat bunga lebih rendah dari pada tingkat bunga dalam negeri ini menyebabkan sektor swasta kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan dana luar negeri,” kata laporan itu.
Lembaga think tank pembangunan, Bappenas menemukan indikasi bahwa praktik utang swasta belakangan ini berpotensi memberi masalah kepada perekonomian di masa yang akan datang. Di antaranya adalah penggunaan utang jangka pendek untuk membiayai investasi jangka panjang (maturity gap). Selain itu, banyak dari utang tersebut digunakan untuk membiayai proyek yang tidak menghasilkan devisa (currency mismatch). Yang terakhir dan yang paling krusial adalah tidak dilakukannya lindung nilai (hedging) terhadap utang luar negeri.
Utang luar negeri swasta yang terus meningkat tentu menimbulkan dampak pada peningkatan kewajiban pembayaran kembali. Jika suatu saat nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah, maka kewajiban pembayaran utang luar negeri swasta juga akan melonjak sehingga bisa
memberikan tekanan kepada neraca pembayaran. Inilah yang pernah kita alami 16 tahun lalu.

Pengalaman Eropa
Seperti lemak, utang yang tertimbun makin lama akan menjadi penyakit mematikan bagi perekonomian. Eropa pernah merasakan ketika lemak-lemak itu berubah menjadi wabah yang melumpuhkan beberapa negara anggota Uni Eropa.
Krisis utang di Eropa bermula dari kecerobohan Yunani dalam mengelola anggaran yang sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Negara kecil dengan jumlah penduduk sekira 11,5 juta jiwa ini terus-menerus menerbitkan surat utang berbunga tinggi, terutama setelah Bank Sentral Eropa (ECB) mengendurkan persyaratan kriteria penerbitan surat utang (quantitative easing).
Pada 2010, Eropa terhentak karena Yunani dinilai default karena membumbungnya utang yang disertai oleh pelemahan mata uang. Krisis ekonomi yang melanda Yunani menimbulkan efek domino. Berturut-turut ekonomi Irlandia, Portugal, Italia, dan Spanyol terguncang. Dampak krisis ini juga terasa ke Indonesia melalui jalur keuangan dan jalur perdagangan. Jalur keuangan terlihat dari anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Jalur perdagangan terlihat melalui penurunan ekspor.
Menurut data Bank Sentral Eropa, antara 2007 dan 2013 rasio utang pemerintah terhadap PDB di zona euro meningkat dari 66 persen menjadi 93 persen. bahkan kenaikan lebih dramatis terjadi di negara-negara pinggiran Eropa seperti Yunani rasio meningkat menjadi 175 persen dan di Portugal yang naik menjadi 129 persen.
Di Indonesia, meski kondisinya tidak separah Eropa, namun kecenderungan peningkatannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Angkanya memang masih berada di kisaran 30 persen, namun jika diperas lagi maka rasio utang luar negeri Indonesia jangka pendek berdasarkan waktu sisa terhadap cadangan devisa pada triwulan kedua 2014 mencapai 54,49 persen. Kondisi ini patut diwaspadai karena peningkatan rasio terus terjadi dan sejak triwulan pertama 2013 berada di atas 50 persen.
Sementara itu, kemampuan membayar utang yang tercermin dari debt service ratio terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada 2006 angkanya masih di bawah 20 persen maka pada tahun ini melonjak lebih dari dua kali lipatnya, menjadi 48 persen.
Yang lebih mengerikan lagi, posisi utang luar negeri swasta per September lalu sudah melampaui jumlah utang pemerintah. Utang swasta berjumlah 159,3 miliar dollar AS atau sudah mencapai 54,5 persen dari total. Sedangkan utang publik berjumlah 132,9 dollar AS atau sebesar 45,5 persen.
Untuk sektor swasta, utang luar negeri terpusat di sektor keuangan, industri pengolahan, dan pertambangan. Posisi utang luar negeri ketiga sektor tersebut masing-masing sebesar 46,6 miliar dollar AS, 32,5 miliar dollar AS, dan dan 25,8 miliar dollar AS.

Alarm bagi BI
Bagi Bank Indonesia, cukuplah krisis moneter 97-98 menjadi satu-satunya pengalaman terkelam Indonesia dalam mengelola perekonomian. Karena sejak saat itu otoritas moneter mulai membereskan dan menerbitkan regulasi yang ditujukan untuk memperkuat landasan ekonomi, terutama terkait pengaturan valuta asing.
Misi itu diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Tentang Bank Indonesia yang memberikan lembaga itu wewenang untuk menjaga tujuan tunggal yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar. Dengan tugas yang disematkan kepadanya, BI tentu tidak ingin main-main untuk membiarkan nilai tukar rupiah bergerak diombang-ambingkan pasar dan investor.
Dan kini tugas BI itu menemukan momentumnya ketika posisi utang luar negeri swasta terus meningkat. Kondisi itu juga berpapasan dengan kemungkinan menguatnya mata uang dollar AS ketika negara Paman Sam menormalisasi kebijakan ekonominya pasca krisis yang dialaminya sejak 2008.
Otoritas yang kini hanya mengawasi moneter dan sektor makroprudensial memandang hal itu sebagai lampu alarm yang menyala. Karena begitu dollar AS menguat ketika The Federal Reserve menaikkan bunga yang diprediksi terjadi tahun depan, maka dalam waktu yang singkat nilai tukar rupiah akan karam. Selanjutnya, mimpi buruk –yang  semua orang di Indonesia tak mau mengalaminya lagi– akan datang.
Agus DW Martowardojo, yang saat ini menjadi orang nomor satu di otoritas moneter, tentu tidak ingin justru pada masanya terjadi krisis ekonomi. Hal itu tentu menjadi catatan buruk bagi kariernya yang cemerlang dan lebih dari itu akan membuat upaya para pendahuluny menjadi tak berarti di tangannya.
Oleh karena itu, mulai pertengahan tahun ini, BI bergerilya kepada hampir semua pihak untuk mempersiapkan aturan mengenai pengelolaan nilai tukar yang lebih baik. Salah satu yang menjadi concern BI adalah soal lindung nilai atau hedging utang luar negeri.
Kemudian hasil gerilya itu terlihat pada Peraturan Bank Indonesia No.16/20/PBI/2014. Dalam aturan itu, meminta kepada semua perusahaan yang memiliki utang dalam negeri untuk melakukan hedging, rating, dan juga menghitung rasio-rasio yang dianggap bisa memberi gambaran mengenai kondisi pinjamannya. Otoritas moneter mewajibkan korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri untuk memenuhi tiga hal yaitu pertama, rasio lindung nilai minimum untuk memitigasi risiko nilai tukar. Kedua, rasio likuditas valas minimum untuk memitigasi risiko likuiditas. Ketiga, peringkat utang minimum untuk memitigasi risiko. Dalam aturan itu, untuk pertama kalinya juga mengatur utang luar negeri yang dilakukan perusahaan swasta nonbank.
BI memang terlihat sangat khawatir terhadap perkembangan utang terkini dan membuat bayang-bayang krisis 97-98 muncul dengan jelas. “Kalau tidak, seperti tahun 1997-1998. Nanti gagal bayar, tidak bisa diperpanjang,” kata Agus. Sebagai catatan, sejak 2006 hingga 2014, utang luar negeri swasta lebih didominasi oleh tenor jangka pendek yaitu antara 1-3 tahun.

Kepentingan Sendiri
Bank sentral terang-terangan mengingatkan pengusaha agar mempertimbangkan kondisi perekonomian global pada saat meminjam dana dari luar negeri, terutama saat ini. Dunia tengah harap-harap cemas menantikan langkah bank sentral AS menaikkan suku bunga (Fed Rate) tahun depan yang diprediksi akan mendongkrak suku bunga seluruh dunia.
Bahkan mulai beberapa bulan belakangan, negara-negara di seluruh dunia sudah mulai pasang kuda-kuda mengantisipasi langkah The Fed. Bank sentral Jepang misalnya, yang malah meluncurkan kebijakan quantitative easing dengan mengguyur sektor keuangannya dengan dana triliunan yen. Hal itu dilakukan agar perekonomiannya bisa tetap berjalan meski tertatih-tatih serta menghindari kontraksi ekonomi menjadi lebih buruk lagi.
Bank sentral lainnya, sudah bersiap menaikkan suku bunganya sementara yang lain sudah melakukannya. Inggris tampaknya tinggal menunggu waktu saja untuk menaikkan bunga, sementara BI sudah melakukannya saat menggelar rapat dadakan lima hari setelah rapat rutin terjadwal pada 13 November.
Majalah The Economist menulis, adanya rencana normalisasi kebijakan ekonomi The Fed membuat kebijakan-kebijakan bank sentral di seluruh dunia menjadi terpecah-pecah. Bank-bank sentral di negara maju dinilai tidak lagi bertindak bersama-sama. Padahal ketika krisis keuangan pecah pada 2007-08, sebagian besar bank sama-sama melonggarkan kebijakan moneter secara signifikan. “Kini pemerintah-pemerintah itu memutuskan, setiap orang untuk dirinya sendiri,” tulis The Economist.


Kenapa tidak 'Capital Control' Saja?



Gonjang-ganjing gejolak valuta asing sehingga menekan nilai tukar sejatinya bisa dituntaskan dengan menerapkan kebijakan kontrol devisa. Meski di Indonesia, hal itu masih dihindari, negara-negara lain sudah menerapkannya dengan berbagai modifikasi.

Ancaman itu memang begitu nyata. Kemungkinan hengkangnya dana-dana asing kembali ke negeri Paman Sam ketika kebijakan normalisasi diterapkan begitu terbuka. Ya, tahun depan adalah tahun yang menegangkan bagi Bank Indonesia. Otoritas moneter kembali menghadapi ujian paling penting dalam mengelola moneter ketika The Federal Reserve diperkirakan akan menaikkan suku bunganya paling cepat pada semester pertama.
Indonesia menghadapi persoalan pelik terutama dalam mengelola nilai tukar yang menjadi tujuan tunggal BI, sejak lembaga itu dinyatakan independen. Dalam mengelola kurs dan menjaga nilai tukar rupiah, BI seperti terdikte oleh investor yang bermain di pasar uang.
Ketika banyak dana dari luar yang masuk maka BI akan bersiap menjaga rupiah agar tidak terlalu menguat dengan cara menyerap dana itu. Sebaliknya, jika banyak dana yang keluar maka BI akan menjaga rupiah agar tidak anjlok dengan cara melepas cadangannya ke pasar.
Akan tetapi, cara itu tidak akan bisa diterapkan kontinyu dan konsisten dalam jangka waktu yang lama. Menurut mantan Gubernur Bank Indonesia, Hartadi Agus Sarwono, BI paling jauh hanya akan melakukan intervensi ke pasar uang untuk mengendalikan nilai tukar rupiah. Jika nilai tukar terdepresiasi, BI intervensi agar permintaan valas bisa terkendali, sebaliknya jika menguat, BI akan turun ke pasar agar penguatannya terkendali.
Meski begitu, Hartadi mengakui bahwa strategi itu hanya sementara. “Tetapi sampai kapan. (kalau terus menerus intervensi) bisa habis (cadangan devisa),” kata dia.
Oleh karena itu banyak pengamat, ketika nilai tukar rupiah dalam tren pelemahan, menyarankan agar BI menerapkan sistem lalu lintas devisa yang lebih terkontrol, alih-alih melanjutkan sistem devisa bebas.
Namun demikian, Undang-Undang No 24 tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar membuat BI tidak akan mengambil opsi untuk menerapkan kontrol devisa. Ditambah dengan Undang-Undang Tentang Bank Indonesia yang terbit di tahun yang sama, sejatinya Bank sentral menghadapi yang secara teori disebut monetary trilemma atau biasa juga dikenal dengan sebutan impossible trinity. Istilah itu mengacu pada tiga sistem yang terdiri dari sistem nilai tukar mengambang bebas, sistem devisa bebas, dan juga independensi bank sentral, yang ketiganya bekerja secara simultan. Jika salah satunya diubah maka yang lain otomatis akan berubah atau harus diubah.
Inilah yang disebut-sebut membelenggu otoritas moneter dalam mengantisipasi adanya gejolak valuta asing secara lebih komprehensif. Oleh karena itu, sejak dinyatakan independen pada 1999 hingga saat ini, manajemen kurs yang diterapkan BI dinilai selalu parsial dan hanya responsif terhadap gejolak di pasar uang.
Akan tetapi beberapa negara tampaknya lebih berani menerapkan langkah yang lebih ketat dalam mengatur lalu lintas devisa demi menjaga nilai tukarnya. Bahkan beberapa di antaranya benar-benar melakukan kontrol devisa.

China

Indonesia bukan satu-satunya yang menghadapi persoalan pelik terkait lalu lintas devisa yang begitu terbuka saat ini. China, dalam sepuluh tahun terakhir merupakan salah satu negara yang mendapatkan arus modal masuk yang cukup besar. Derasnya arus modal masuk ini kemudian memengaruhi uang beredar di China sehingga meningkatkan tekanan inflasi. Karena negara Tirai Bambu itu menerapkan sistem nilai tukar managed floating, maka intervensi di pasar valuta asing secara otomatis dilakukan.
Namun demikian China juga melakukan cara lain yaitu dengan melakukan sterilisasi. Yuan juga dibiarkan terapresiasi untuk mengurangi tekanan terhadap inflasi. Selain itu, China juga mendorong arus modal keluar dengan cara mempermudah ketentuan para investor China untuk menanamkan modalnya di luar China.

Thailand
Thailand juga pernah melakukan kebijakan kontrol devisa ketika pemerintahnya terguncang akibat kudeta dan membuat dana-dana asing hengkang. Saat itu Thailand memaksa dana-dana asing untuk bertahan di sistem keuangannya selama enam bulan.
Thailand juga melakukan capital controls baik terkait arus modal masuk dan keluar. Untuk menahan aliran modal masuk, Thailand menetapkan 15 persen witholding tax atas pendapatan bunga dan capital gain dari investasi asing dalam instrumen fixed income. Di sisi lain, untuk mendorong arus modal keluar Thailand juga mempermudah aturan untuk para investor domestik Thailand untuk menanamkan modalnya di luar negeri.

Brazil
 Brazil menetapkan untuk menaikkan pajak atas investasi asing pada fixed income investment dan equity funds dari 2 persen menjadi 4 persen. Selain itu, Brazil juga meningkatkan pajak untuk margin dari deposito yang disetorkan investor asing untuk melakukan transasksi derivatif.

India
India juga melakukan capital control Pemerintah India menaikkan batas maksimal pembelian foreign institusional investors (FII) dari 10 miliar menjadi 20 miliar dolar AS untuk tiap jenis obligasi. Selain itu, investasi tersebut hanya dapat dilakukan untuk surat berharga dengan tenor di atas 5 tahun dan untuk pembangunan infrastruktur.

Singapura
Devisa terkontrol juga diterapkan oleh Singapura. Negara dengan penduduk kurang dari 6 juta jiwa ini memberlakukan pembatasan maksimal pembelian atau penjualan mata uangnya sebanyak 5 juta dollar Singapura. Di atas jumlah itu maka nasabah wajib lapor ke Bank Sentral Singapura yang dikenal dengan nama Monetary Authority of Singapore (MAS). Dengan demikian, pembelian atau penjualan dalam jumlah banyak mata uangnya terutama untuk tindakan spekulasi, sudah dapat dideteksi sejak awal oleh otoritas. Pemerintah Singapura sadar bahwa untuk meredam tindakan spekulator yang akan menghancurkan ekonominya, maka harus dibuat peraturan yang sangat ketat dalam permainan valas.

Malaysia
Contoh yang paling terang dalam penerapan kontrol devisa adalah Malaysia. Negara jiran terdekat ini melakukan kombinasi sistem devisa yaitu Currency Board System (CBS) dan Sistem Devisa Terkontrol. CBS diberlakukan mulai tahun 1990-an dengan menetapkan nilai range minimum dan maksimum pada ringgit Malaysia yang boleh diperdagangkan dan ditetapkan Bank Negara Malaysia.
Dan Sistem Devisa Terkontrol mulai diberlakukan tahun 1998, pada waktu terjadi serbuan spekulator di Asia Tenggara, melakukan tindakan aturan sandera pada mata uangnya antara lain dengan mengatakan bahwa semua ringgit yang beredar di luar negeri (offshore) dinyatakan tidak laku, kecuali dikembalikan kepada bank sentral.
TIndakan ini mengharuskan spekulator untuk menjual kembali dollar AS kepada ringgit sehingga mata uang Malaysia itu selamat dari serbuan asing. Jadi tindakan sistem devisa terkontrol ini, telah menyelamatkan Malaysia dari krisis keuangan tahun 1998 dan relatif mengalami dampak yang kecil terhadap gelombang spekulasi.

‘Setengah’ Kontrol Devisa
Indonesia, sejatinya pernah juga menerapkan kebijakan ‘setengah kontrol devisa’ pada 2008 ketika cadangan devisa makin menipis karena terus melemahnya kurs rupiah terhadapa dollar AS. Saat itu, pembelian valas oleh pelaku ekonomi selain bank yang jumlahnya melebihi 100 ribu dollar AS per bulan harus memiliki kebutuhan yang mendasarinya atau underlying transaction.
Pelaku ekonomi yang diatur adalah nasabah individual, badan hukum di Indonesia dan pihak asing. Untuk pihak asing, aturan tersebut hanya mengatur pembelian dollar AS di pasar spot. Khusus nasabah individual dan badan hukum diwajibkan melampirkan nomor pajak wajib pajak (NPWP).
Aturan tersebut diberlakukan karena dunia saat itu tengah mengalami krisis likuiditas yang ketat, dan BI terpaksa membatasi pembelian valas untuk mengurangi spekulasi.
Setelah itu BI juga sempat menerapkan kebijakan meningkatkan giro wajib minimum (GWM) valuta asing. Dalam aturan GWM untuk valas tersebut, regulator menaikkan rasio setoran wajib bank dengan dana pihak ketiga berbentuk valas hingga 8 persen dari level sebelumnya yang masih 1 persen. Hal itu akan diterapkan bertahap yaitu rasio GWM dinaikkan dari 1 persen menjadi 5 persen pada 1 Maret 2011 dan kemudian dinaikkan lagi menjadi 8 persen pada 1 Juni 2011.

  
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kebijakan Negara Lain Terkait Arus Devisa


China

- Melakukan sterilized intervention.
- Yuan dibuat lebih fleksibel.
- Menurunkan dan memperketat kuota pinjaman yang dapat diperoleh asing.
- Kebijakan makroprudensial, stress test, dengan mengarahkan capital inflows ke sektor properti.
- GWM dinaikkan menjadi 20 persen per 25 Maret 2011
- Menaikkan suku bunga +25bps
- Melonggarkan ketentuan investasi di luar negeri (partial liberalization).


India

- Menaikkan batas maksimal pembelian obligasi Pemerintah dari 10 miliar USD menjadi 20 miliar USD.
- Hanya boleh membeli surat berharga dengan tenor 5 tahun.
- Hanya untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur.
- Menaikkan suku bunga +50bps.


Thailand (sebelum 2010)
- Mengenakan 15 persen witholding tax atas pendapatan bunga dan capital gain investasi.
- Merelaksasi nilai tukar.
- Mengizinkan investor domestik untuk investasi di luar negeri.

Brazil

- Menaikkan pajak atas investasi asing (fixed income investment 6 persen dan equity funds 4 persen).
- Menaikkan suku bunga +50bps

Peru

- Sterilisasi mata uang.
- Menaikkan GWM sebesar +75bps.


Turki
- Menaikkan GWM sebesar 50 bps (menjadi 9,5 persen)

Sumber : Laporan Tahunan Bank Indonesia 2010

-------------------------------------------------------------------------------------------------------                                                                                                           

Mitos-mitos Terkait Capital Control

Setidaknya ada empat mitos buruk terkait dampak aliran valas dari dan ke sebuah negara sehingga otoritas moneter atau Pemerintah harus melakukan capital controls:

1. Ancaman Apresiasi.

Tekanan apresiasi terhadap mata uang domestik. Mata uang domestik akan terus menguat sehingga dapat mengurangi daya saing barang ekpor negara tersebut relatif terhadap negara lain.

2. Ancaman Hot Money.

Derasnya modal masuk hanya bersifat jangka pendek (short term). Dana jangka pendek ini dapat menyebabkan instabilitas ekonomi karena selain dapat membuat nilai mata uang domestik menguat secara cepat, hot money juga dapat menimbulkan instabilitas bahkan krisis pasar keuangan seperti yang terjadi di Asia pada tahun 1997.

3. Ancaman Derasnya Modal Masuk (large inflows).

Derasnya arus modal masuk menuju suatu negara layaknya dua mata pedang. Di satu sisi dinanti, di sisi lain dibenci. Modal masuk dapat menjadi tambahan modal sehingga dapat mendorong kinerja ekonomi lebih besar, namun di sisi lain derasnya modal masuk juga dapat membuat mata uang domestik terapresiasi secara signifikan sehingga dapat mengurangi daya saing ekpor produk domestik.

4. Ancaman Otonomi atau Independensi Otoritas Moneter.

Ketika terjadi fenomena derasnya arus masuk, ada dua opsi yang dapat dilakukan Pemerintah. Pertama, mengorbankan free capital mobility guna mencapai kestabilan nilai mata uang domestik. Kedua, membiarkan mobilitas modal secara bebas, namun mengorbankan nilai mata uang domestik terus terapresiasi.

(Capital Control: Myth and Rality a Protfolio Approach to Capital Controls, Nicolas E. Magud, dikutip dari tulisan Dzulfian Syafrian, peneliti Indef)

Minggu, 16 November 2014

Menyambut Ketidakpastian

Simpang-siur, fluktuatif, perubahan mood adalah kata-kata yang belakangan ini kita akrabi. Di ranah politik, ‘kehati-hatian’ penunjukan Kabinet oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sempat membuat Indonesia berjalan dengan auto pilot selama hampir seminggu. Simpang siur kabinet yang terjadi padahal sudah hampir sebulan sejak dibentuknya kantor transisi. Bahkan kalau mau ditarik sedikit lebih jauh lagi, Jokowi-JK sudah melakukan seleksi dengan meminta usulan masyarakat soal menteri lewat situs jejaring sosial.
Mau tidak mau, ketidakpastian itu sempat membuat pasar fluktuatif . Nilai tukar dan indeks saham yang tadinya positif menyambut pelantikan presiden dan wakilnya, mulai meninggalkan level optimisnya. (pada hari yang sama kabinet diumumkan, indeks saham melanjutkan pelemahan dari perdagangan sebelumnya).
Ketidakpastian, sejatinya sudah dirasakan oleh pelaku sektor keuangan beberapa waktu sebelumnya. Susutnya likuiditas sebagai dampak dari rencana otoritas AS yang mau menghentikan program suntikan dana miliaran dollar AS ke perekonomiannya, berbarengan dengan langkah menaikkan suku bunga. Dua rencana yang tampaknya akan dilakukan setidaknya awal tahun depan, sudah membuat indikator-indikator ekonomi kita fluktuatif.
Tantangan itu, jelas menjadi beban yang tidak ringan apalagi jika berbarengan dengan kondisi anggaran yang harus dijalani pemerintahan baru. Tahun ini pemerintah menghadapi keketatan anggaran ketika defisitnya mencapai 2,4 persen. Padahal –meski hanya tinggal dua bulan –presiden perlu atau setidaknya memulai merealisasikan beberapa janji-janji kampanyanye.
Tetapi tantangannya tidak berhenti di situ, karena tahun depan keadaannya jauh lebih sulit terutama jika rencana menaikkan harga bahan bakar minyak jadi dilaksanakan. Kita tak perlu membicarakan soal tantangan tahun ini karena hanya tersisa dua bulan, dan Kabinet Jokowi tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti anggaran dari pemerintahan sebelumnya.
Tantangan sesungguhnya adalah tahun depan. Dengan anggaran belanja negara sebesar Rp 2.039,5 triliun dan defisit 2,21 persen, sejatinya room untuk meningkatkan pemasukan adalah sekitar Rp45 triliun. Namun pemerintah harus memperhitungkan juga defisit yang ada di anggaran daerah-daerah. Dengan asumsi bahwa menurut Peraturan Menteri Keuangan, defisit anggaran daerah 0,3 persen, maka defisit total pemerintah sudah sejatinya mencapai 2,51 persen. Dengan asumsi defisit negara tidak boleh lebih dari 3 persen maka peluang pemerintah mencari utang baru adalah sekitar Rp10 triliun.
Karena itulah sejak awal, pemerintahan Jokowi-JK sudah kasak-kusuk untuk mengurangi pengeluaran yang dinilai bisa dikurangi, seperti anggaran perjalanan dinas kementerian, studi banding, rapat-rapat di luar kota dan lain-lain. Dan yang paling dinanti-nanti adalah pengurangan subsidi bahan bakar minyak.
Cara lain yang ditempuh tentu juga akan mencari sumber pendanaan yang besar mengingat dalam kampanye, Jokowi-JK banyak melontarkan janji-janji pembangunan yang dahsyat. Salah satu sumber yang akan diincar adalah penerbitan obligasi terutama untuk pasar dalam negeri. Pemerintah tengah berencana menerbitkan obligasi ritel.
Akan tetapi di tengah keketatan likuiditas, yang sudah terjadi sejak beberapa bulan lalu, langkah menerbitkan obligasi akan membuat persaingan memperebutkan dana masyarakat makin sengit. Saat ini saja, perbankan sudah berani mengimingi-imingi nasabah spesialnya dengan bunga spesial hingga 11 persen jika menempatkan depositonya.
Likuiditas ketat itu juga diperparah dengan kecenderungan yang ada saat ini ketika banyak orang Indonesia yang membeli properti miliaran di luar negeri seperti AS, Australia dan Singapura. Belum lagi dengan isu utama yaitu normalisasi kebijakan ekonomi AS yang mengancam perekonomian nasional.
Begitu The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan yang kini berada di level 0,25 persen dan menjadi 1,375 (seperti yang diperkirakan banyak pengamat), maka akan banyak sekali dana-dana yang kabur menuju negeri Paman Sam. Yang tersisa hanya kekeringan, seperti sungai di musim kemarau panjang.

                                                          





Ketika Sungai Mulai Mengering

Ancaman kekeringan likuiditas kembali menghantui sektor perbankan di tengah langkah normalisasi perekonomian AS. Di saat yang sama bank belum juga mau mengurangi kecepatannya melempar pinjaman.

Musim panas paling menyengat yang sedang dialami sebagian besar wilayah Indonesia membuat tanah-tanah mengeras dan sungai-sungai mengering,  orang-orang pun mengeluh. Di sektor keuangan, musim panas juga tengah terjadi. Perlahan tapi pasti, kondisi itu membuat persaingan meruncing dan likuiditas mengering, orang-orang di industri keuangan terutama perbankan pun mulai panik.
Ibarat musim, kekeringan likuiditas juga merupakan sebuah siklus. Lima tahun lalu, ketika sektor keuangan Amerika Serikat terperosok dalam jurang krisis akibat sektor perumahannya yang meleleh, dunia ikut menderita. Saat itu, tepatnya pada 2008, secara dramatis likuiditas di perusahaan-perusahaan keuangan AS langsung terkuras karena nasabah-nasabahnya langsung menghindari segala sesuatu yang di dalamnya tercium risiko. Pada Maret tahun itu juga pendanaan Bear Stearns dan Lehman Brother, susut seperti kolam yang ingin dibersihkan, hingga ada yang mencapai 90 persen.
Di Indonesia, badai itu terasa juga. Pada awal 2008, dana di pasar uang tiba-tiba kering karena tidak ada pihak yang mau melepas dananya meskipun banyak yang meminta hingga memakan korban: Bank Century. Meski, terbilang selamat perekonomian Indonesia menyisakan masalah politik dari penyelamatan bank yang kini bernama Bank Mutiara itu.
Dua tahun berlalu, krisis likuiditas datang lagi setelah sektor keuangan di Eropa goncang yang membuat benua itu memasuki krisis ekonomi. Beberapa negara Eropa ambruk setelah mengalami krisis utang dan membuat perekonomin zona Euro rontok. Lagi-lagi Indonesia kena getarannya dan membuat perang perebutan likuiditas terjadi lagi dengan cara menawarkan bunga deposito yang waktu itu mencapai 10 persen.
Tahun ini, ancaman itu datang lagi, meski sejatinya alarmnya sudah menyala sejak tahun lalu. Rencana bank sentral AS (The Federal Reserve) yang ingin mengakhiri kebijakan stimulus perekonomiannya adalah lonceng marabahaya bagi perekonomian global. Ditambah lagi dengan rencana dari The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan setelah melihat adanya perbaikan dalam perekonomian AS.
Sejak tahun lalu berdasarkan voting dari para anggota dewan gubernur The Fed, diputuskan bahwa program quantitative easing akan dikurangi dan pada awal 2015, suku bunga akan mulai dinaikkan.
Karena ekspektasi itulah banyak pemilik modal yang menanamkan dananya di Indonesia mulai bersiaga dengan memindahkan sedikit demi sedikit dananya atau mengganti portofolio investasinya.
Sekretaris Jenderal Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede menilai bahwa pertanda itu sebagai sebuah sirene yang akan membuat likuiditas di pasar dalam negeri mengering.
Normalisasi perekonomian AS pada awalnya akan membuat keinginan untuk memegang aset-aset berdenominasi dollar bertambah sekaligus akan membuat nilai tukar rupiah makin merana. Saat ini saja rupiah sudah mulai melewati level 12.200 per dollar AS di pasar spot antarbank bulan lalu. Hal itu akan memberikan efek berantai kepada perbankan terutama pada ketersediaan likuiditas di pasar.
Terdapat dua macama risiko likuditas yang dihadapi perbankan, yaitu likuiditas di pasar dan likuiditas pendanaan. Risiko likuiditas pasar adalah risiko di mana likuiditas pasar memburuk ketika perbankan membutuhkan pendanaan untuk melanjutkan bisnis. Pendanaan risiko likuiditas adalah risiko di mana para pemilik dana tidak bersedia memberikan dananya untuk perbankan dan perbankan dipaksa untuk meningkatkan suku bunga.
Menurut Lasse Heje Pedersen, Profesor Keuangan dari Sekolah Bisnis Stern di NYU, bentuk yang paling ekstrem dari risiko likuiditas pasar adalah bahwa pemilik dana tidak mau menawarkan dananya.Seperti dikutip dari Voxeu, sebuah situs yang berisi analisis dari para ahli keuangan dan ekonom, Pedersen mengatakan risiko likuiditas pendanaan ekstrem juga terjadi karena bank kekurangan modal sehingga mereka tidak dapat mendanai diri mereka sendiri.

Kondisi Perbankan
Tanda-tanda kekeringan dana sudah mulai terlihat ketika ‘sengatan panas’ tahun ini telah membuat para pengelola bank kegerahan. Jumlah dana yang ditarik dari masyarakat mulai menunjukkan tanda-tanda menurun, di saat yang sama mereka masih agresif menyalurkan pinjaman. Hasilnya, rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga terus menanjak dan melewati pagar yang sebelumnya dibuat oleh otoritas.
Data terakhir yang dirilis otoritas menunjukkan bahwa keketatan memang sudah terasa sejak awal tahun, bahkan sepanjang setahun belakangan. Kecepatan penyaluran kredit ternyata tidak bisa diimbangi dengan kecepatan memperoleh dana, karena memang dana-dana di masyarakat kini sangat sulit ditarik, jika tidak mau dikatakan mulai mengering.
Tren makin agresifnya bank dalam menyalurkan kredit yang tidak diimbangi dengan ketersediaan dana di pasar membuat rasio kredit terhadap pendanaan (LDR) bank terus menanjak. Pada saat perekonomian dalam kondisi stabil kondisi ini sejatinya sangat positif untuk mendorong pertumbuhan. Akan tetapi, ketika ekonomi tengah khawatir terhadap pelarian dana karena adanya ekspektasi membaiknya ekonomi AS, hal itu tentu menjadi ancaman.
Dari data yang dicuplik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai Juli bank-bank asing sangat agresif menyalurkan pinjaman hingga hampir menyentuh angka 150 persen. Malahan ada satu bank yang ditengarai memiliki angka LDR melewati 250 persen.
Sementara itu, kinerja bank campuran juga tidak kalah agresif dalam melempar dana. Berdasarkan data yang sama, hingga Juli kemarin rasio kreditnya mencapai 135 persen, yang dalam setahun terakhir memang konsisten naik terus.
Di lain pihak bank-bank umum dan milik negara juga mencatatkan peningkatan meski tidak setinggi bank asing. Bank-bank nasional tampaknya lebih patuh kepada arahan otoritas yang sejak tahun lalu meminta perbankan tidak terlalu bernapsu melempar dana ke nasabah dan menjaga LDR-nya di kisaran 78-92 persen.
Perbankan pun mengambil langkah instan. Mereka mulai menawarkan bunga pinjaman yang tinggi agar nasabah tergiur untuk menyimpan dana sekaligus mempertahankan dana yang ada. Pada dua bulan belakangan hal tersebut terasa sekali. Sejak awal kuartal kedua, bank-bank sudah berani menawarkan bunga deposito hingga melewati 10 persen, lebih tinggi dari yang digariskan oleh otoritas penjamin simpanan sebesar 7,75 persen.
Atas langkah itu, regulator pengawas perbankan bertindak cepat dengan menerapkan pembatasan suku bunga deposito yang biasanya ditawarkan kepada nasabah khusus (special rate). Otoritas Jasa Keuangan mengatakan bahwa perang bunga deposito akan membuat penilaian investor akan sektor keuangan Indonesia makin buruk. “Kondisi likuditas perbankan saat ini masih dalam kondisi wajar, jangan sampai ada persepsi yang mengatakan bahwa perbankan kita kekurangan likuiditas," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon, bulan lalu.
Menawarkan suku bunga tinggi, kata dia, akan menyebabkan biaya dana atau cost of fund bank menjadi tinggi. Hal ini akan berisiko terhadap penyaluran kredit dan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi. “Informasi beberapa hal yang kita lakukan berdasarkan kondisi persaingan bunga DPK di bank-bank, yang selama ini menjadi isu. OJK dan BI menilai, pemberian suku bunga dana sudah tidak wajar dan akan menyebabkan cost tinggi, perlambatan dan risko kredit, dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Untuk itu maka OJK melalui aksi supervisi akan membatasi suku bunga DPK,” kata Nelson.
                                        
Asing Tak Masalah

Jika dilihat lebih seksama, dari data OJK, bank-bank asing mencatatkan rasio kredit yang sangat mengkhawatirkan di mana angkanya menembus 200 persen. Namun demikian tidak terlihat adanya kekhawatiran yang berlebihan dari para pengelolanya. Salah satunya adalah Bank Sumitomo Mitsui Indonesia.
Bank campuran ini mencatatkan LDR sebesar sebesar 254,51 persen, pada Juni melonjak dua kali lipat dari periode yang sama tahun sebelumnya. Parahnya lagi, Bank Sumitomo tidak memiliki simpanan berjenis tabungan dan hanya memiliki giro dalam komposisi dana pihak ketiganya, yang mana angkanya terus turun. Kendati demikian, tampaknya bank itu belum terdengar panik akan keketatan likuiditasnya.
Pardi Sudradjat, Direktur Eksekutif BaRA, sebuah organisasi bankir dalam bidang manajemen risiko, mengatakan bahwa pada bank asing, angka LDR yang tinggi tidak lantas membuatnya terekspos risiko likuiditas. “Bank-bank asing pada umumnya memiliki LDR di atas 200 persen, namun tidak menjadi masalah likuiditas karena sumber dana bank (banyak) berasal dari pinjaman bank lain,” kata dia.
Dalam mengukur risiko likuiditas, sebagian bank–terutama asing–menggunakan  rasio internal loan to funding ratio/LFR), yaitu total pembiayaan dibagi dengan total pendanaan. Ukuran itu dinilai lebih akurat dalam mengukur risiko likuiditas karena juga memperhitungkan dana-dana selain dari DPK semisal dari perusahaan induk, pinjamana antarbank, dll.
Nah, menurut Pardi, LFR bank-bank yang terafiliasi investor asing pada umumnya sekitar 80 - 85 persen karena mendapat dukungan pinjaman dana dari perusahaan induk. “Masalah bisa terjadi apabila sumber dana berasal dari pinjaman antar bank jangka pendek (overnight),” lanjut dia.
Pada umumnya angka LFR memang lebih rendah dari LDR. Apabila terjadi sebaliknya, ada kemungkinan bank meningkatkan atau memelihara posisi investasi surat berharga seperti obligasi yang berlebihan dibandingkan dengan ketersediaan sumber dana di luar dana murah (CASA) dan deposito.
Pardi mengatakan lagi, bahwa langkah mengerek suku bunga deposito yang dilakukan manajemen bank adalah sebuah langkah wajar. “Bank memang akan langsung mengamankan risiko likuiditas berapapun biayanya, bahkan kalau perlu perolehan laba dilupakan dulu,” kata dia.
Soal pembatasan suku bunga yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan, Pardi mengatakan hal itu tidak efektif karena bank akan mengakalinya dengan voucher atau gimmick lainnya. Kebijakan seperti itu, lanjut Pardi hanya akan menekan bank menengah kecil.



Rekomendasi BIS Soal Manajemen Likuiditas

Krisis keuangan pada akhir tahun 2007 hingga 2008 memaksa Basel Commitee on Banking Supervision (BCBS) dari Bank for International Settlements (BIS) mengkaji kembali rekomendasi dalam dokumen mengenai Sound Liquidity Risk Management Practices yang dikeluarkan pada tahun 2000. Hasil dari rekomendasi itu adalah :
1) Penetapan level toleransi terhadap risiko likuiditas (liquidity risk tolerance);
2) Pemeliharaan tingkat likuiditas yang memadai, termasuk pencadangan aset likuid ;
3) Perlunya alokasi biaya, manfaat, risiko likuiditas pada aktivitas usaha yang
signifikan;
4) Identifikasi dan pengukuran berbagai spektrum risiko likuiditas, termasuk risiko
likuiditas yang bersumber dari transaksi off balance sheet (contingent liquidity
risks) ;
5) Desain dan penggunaan skenario stress test yang bersifat worst case ;
6) Perlunya rencana pendanaan darurat (contingency funding plan) yang memadai;
7) Pengelolaan likuiditas intra hari (intraday liquidity risk) dan agunan;
8) Pengungkapan publik untuk mendorong disiplin pasar (market discipline)


Mengamankan ‘Sang Raja’

Perbankan akan berupaya mati-matian mengamankan likuiditasnya, bahkan lebih dari upaya mereka mengamankan profit. Berbagai strategi diterapkan bank dari menawarkan suku bunga tinggi hingga menarik komisi dari nasabah.

Liquidity is king. Bagi sebuah bank, ungkapan itu sudah menjadi kredo. Perbankan masih bisa merelakan dirinya terekspos risiko kredit, atau risiko reputasi sekalipun, namun tidak akan pernah menganggap enteng ancaman dari susutnya likuiditas. Begitu ada sinyal akan terjadi kekeringan likuiditas, bank akan segera menanggapinya dengan serius.
Seperti yang terjadi sekarang. Ketika pelaku pasar makin waspada dan bersiaga mengantisipasi dampak dari kebijakan penarikan stimulus perekonomian AS, likuiditas di pasar lambat laun menjadi makin seret. Perbankan mulai merasakan dana-dana di pasar sulit di dapat, di saat yang sama mereka tak menurunkan agresifitasnya dalam melempar pinjaman.
Rasio dana dan kredit (LDR) kemudian melonjak cukup tajam. Pada Juli, angka LDR bank umum –berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan–mencapai hampir 93 persen, merangkak sejak awal tahun ini. Padahal setahun sebelumnya LDR masih berada di level 89,7 persen. Dengan kondisi itu, perbankan ditengarai banyak menggunakan dana-dana jangka pendek untuk membiayai kredit.
Pardi Sudradjat, Direktur Eksekutif Bankers Association for Risk Management (BARa), mengatakan jika bank menggunakan dana-dana jangka pendek di pasar uang antarbank maka bank membiarkan dirinya masuk dalam risiko besar. “Menggunakan dana jangka pendek interbank untuk membiayai kredit adalah sangat berisiko pada saat likuiditas kering dan ancaman global crisis,” kata dia.
Menahan laju kredit adalah langkah yang paling pas dilakukan oleh pengelola bank saat ini untuk setidaknya memiliki ruang likuiditas yang cukup. Bank sentral dalam aturan terakhir yang diterbitkannya untuk perbankan soal rasio dana dan kredit menggariskan bahwa bank harus mengarahkan LDR ke dalam kisaran 78-92 persen. Jika rasio kredit bank di luar dari level tersebut maka bank sentral akan memberikan sanksi.
“Yang penting (buat bank kini) LDR dibuat sekitar 85 persen dulu, pertumbuhan kredit direm dulu. Jika LDR sudah di level ini maka bank kemudian baru mengupayakan bauran DPK (dana pihak ketiga) dengan fokus memperbesar dana murah,” jelas Pardi.
Bank harus menyimpan aset-aset yang likuid sedemikian rupa sehingga dianggap cukup memenuhi kebutuhan pada saat krisis likuiditas secara spesifik benar-benar terjadi, yang ditandai dengan penarikan dana secara besar-besaran. “Bank akan berupaya keras mengamankan likuiditas at all cost, jika perlu bahkan urusan perolehan laba dilupakan dulu,” kata bankir di salah satu bank pelat merah itu.
Apa yang dikatakan Pardi tidaklah berlebihan, alih-alih itulah yang memang sedang terjadi. Bank sudah menawarkan bunga deposito yang menggiurkan demi menarik dana nasabah atau sekadar mempertahankan yang ada. Saat ini bank-bank menetapkan bunga khusus bagi nasabah-nasabah kelas kakap yang memiliki dana lebih dari Rp2 miliar, yang besarannya bisa mencapai 11 persen. Tentu tidak ada satu bank pun yang akan mengakuinya. Meski demikian Otoritas Jasa Keuangan, lembaga pengawas industri keuangan, mengetahuinya dan buru-buru mengantisipasinya.
"Seperti ini tidak bisa dibiarkan. Jadi kami sedang mendalami sekaligus meminta kepada industri, jangan sampai memasuki jebakan persaingan untuk menaikkan tingkat suku bunga yang dipicu oleh perilaku deposan besar,” kata Ketua Komisioner OJK Muliaman Darmansyah Hadad. 
Menurutnya, kondisi pengetatan likuiditas memang memacu perbankan untuk merayu deposan kakap yang memiliki dana di atas Rp 2 miliar, dengan suku bunga tinggi. Sekadar informasi, suku bunga LPS berada di level 7,75 persen. Namun, perbankan berani mengganjar deposan dengan suku bunga hingga 11 persen.

Strategi Bank
Selain mengiming-imingi nasabah dengan bunga spesial, sejatinya bank sudah mengupayakan ketersediaan likuiditas dengan menarik dana-dananya yang ada di Sertifikat Bank Indonesia. Menurut data otoritas, penempatan dana bank-bank umum pada instrumen itu terus menyusut sejak Januari hingga pertengahan tahun. Jika pada Januari angkanya masih sebesar Rp113,308 triliun maka pada Juni jumlahnya tinggal Rp89,92 triliun, berkurang lebih dari seperlimanya.
Bank-bank negara juga tak kalah agresif menarik dana-dananya di SBI hingga mencapai hampir separo dana yang ada di Januari. Selain itu, keketatan likuiditas karena agresifnya bank menyalurkan kredit berdampak pada strategi bank untuk mencari pendanaan di pasar uang antarbank.
Dalam banyak teori pengelolaan likuiditas, bank dianggap likuid apabila memiliki sejumlah likuiditas atau memegang alat-alat likuid, cash assets (seperti uang kas, rekening pada bank sentral dan bank lainnya) dalam jumlah yang sama dengan jumlah kebutuhan likuiditas yang diperkirakan.
Bank juga memiliki likuiditas kurang dari kebutuhan, tetapi bank memiliki surat-surat berharga yang segera dapat dialihkan menjadi kas, tanpa mengalami kerugian baik sebelum atau sesudah jatuh tempo. Selain itu, memiliki kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara menciptakan uang, misalnya dengan menggunakan fasilitas diskonto, interbank call money, penjualan surat berharga dengan repurchase agreement (repo).
Selain itu bank juga memiliki cara lain untuk menarik dana lebih banyak dari nasabah. Bulan lalu, tepat pada 1 November perbankan dan penyedia jaringan transaksi tunai dinilai telah menjalankan rencana menaikkan ongkos transaksi nasabah di mesin tarik tunai atau ATM. Penyedia jaringan seperti ATM Prima, ATM Bersama, dan bank anggota sepakat mengerek tarif transaksi lintas bank di ATM dari tiga jenis transaksi antarbank sebesar 50 persen. Tarif transfer antarbank naik menjadi Rp 7.500 per transaksi dari sebelumnya Rp 5.000. Kemudian, biaya cek saldo di ATM antarbank menjadi Rp 4.000-Rp 4.500 per transaksi dari sebelumnya Rp2.000-Rp3.000. Aktivitas penarikan tunai pun naik menjadi Rp 7.500-Rp 8.000 dari sebelumnya Rp 5.000.
Kenaikan itu disinyalir merupakan cara bank untuk menggenjot pendapatan komisi (fee-based income). Pendapatan ini termasuk di antaranya adalah pendapatan provisi, fee atau komisi yang diterima bank dari pemasaran produk maupun transaksi jasa perbankan yang dibebankan kepada nasabah sehubungan dengan produk dan jasa bank yang dinikmatinya.
Pardi Sudradjat dari BARa berpendapat bahwa strategi yang dilakukan bank untuk mengamankan likuiditas adalah wajar mengingat bank tidak ingin mengambil risiko sedikit pun jika menyangkut likuiditas.
Meski begitu, secara umum keketatan yang ada hanya berasal dari likuiditas pendanaan (funding liquidity) karena, menurut dia, kondisi pasar modal (market liquidity) masih relatif likuid.
“Masalah yang dihadapi bank adalah dana pihak ketiga kurang. Konon DPK separonya ada di luar negeri terutama di Singapura, ini terkait juga dengan kebijakan pajak yang kadang tidak bijak sehingga mendorong orang lebih suka menyimpan di luar negeri,” kata Pardi.
Apa yang diungkapkan Pardi, diamini oleh Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin. Diakui dia, kondisi likuiditas perbankan di dalam negeri memang saat ini sangat ketat. Alhasil, perbankan nekat memberikan bunga deposito tinggi, bahkan ada yang sampai 11 persen yang biasanya ditawarkan oleh bank-bank besar.
Salah satu alasannya adalah, banyak individu dan perusahaan di Indonesia yang memilih menyimpan uangnya di bank-bank Singapura. “Likuiditas kita ketat karena banyak uang dari individu dan perusahaan Indonesia yang tidak ada di sistem perbankan Indonesia, tapi ada di sistem perbankan Singapura,” kata Budi.
Pada kesempatan itu, Budi juga mengusulkan, untuk mengantisipasi ketatnya likuiditas di perbankan, perlu dibuat tabungan nasional agar semua masyarakat masuk dalam sistem perbankan. Ini bisa mendorong banyaknya dana masyarakat masuk ke perbankan.

Dampak Eksternal
Sejatinya, alarm dari kemungkinan susutnya likuiditas global sudah dibunyikan oleh Dana Moneter Internasional. Direktur Pelaksana IMF Christian Lagarde mengingatkan agar para pemimpin negara di Asia mendorong perubahan struktural untuk memastikan kawasan itu tetap memimpin pertumbuhan global. Pasalnya ada tantangan besar di depan terkait kemungkinan munculnya volatilitas nilai tukar akibat dari pengurangan stimulus ekonomi yang dilakukan bank sentral AS.
Hal itu dikatakan Lagarde beberapa bulan lalu saat menyampaikan proyeksi ekonomi regional untuk kawasan Asia-Pasifik.
“Tingginya tingkat suku bunga dan serangan volatilitas arus modal masih mempengaruhi perekonomian Asia. Di samping itu, ketatnya likuiditas global di tengah pemulihan di negara-negara maju juga akan mengancam perekonomian Asia,” kata dia.
Masalah ketatnya likuiditas global memang merupakan salah satu risiko utama yang dihadapi kawasan Asia tahun ini dan tahun depan. Bahaya lain yang juga perlu diwaspadai adalah perlambatan pertumbuhan China yang jauh dari perkiraan. “Begitu pula dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi Jepang yang masih melambat. Meningkatnya ketegangan geopolitik yang mengganggu perdagangan juga harus menjadi perhatian para pemimpin Asia,” kata Lagarde.
IMF memperkirakan ekonomi China akan tumbuh 7,5 persen pada tahun ini dan 7,3 persen pada 2015. Sedangkan ekonomi Jepang diperkirakan bertumbuh 1,4 persen tahun ini dan 1 persen pada tahun depan. Perlambatan ekonomi China tentu akan berdampak terhadap negara yang memiliki hubungan perdagangan bilateral, juga akan mempengaruhi kegiatan ekspor-impor, tak terkecuali Indonesia.
Meski demikian, Asia diyakini mampu menghadapi tantangan ke depan asalkan tetap konsisten dengan program reformasinya. Reformasi sangat penting tidak hanya untuk mempertahankan pertumbuhan di kawasan Asia dalam jangka menengah. “Dalam beberapa kasus untuk menjaga kepercayaan investor dan mengamankan stabilitas keuangan dalam jangka pendek,” ujar Lagarde.
Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia diperkirakan dua kali lebih cepat dibandingkan negara-negara maju. Sedangkan pertumbuhan di negara emerging (negara berkembang dengan pendapatan menengah), termasuk Cina dan India, diperkirakan tiga kali lebih cepat.
Namun IMF mengingatkan penurunan produktivitas dalam beberapa tahun terakhir. “Kawasan ini harus melakukan reformasi lebih lanjut untuk meningkatkan potensi pertumbuhan dan terus mendorong masuknya investasi asing,” ujar Lagarde.
Peringatan itu bukannya tidak digubris oleh otoritas moneter. Karena sudah sejak jauh-jauh hari
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengutarakan bahwa tahun ini pihaknya akan memfokuskan kerja makroprudensial bank sentral pada upaya memitigasi risiko kredit dan risiko likuiditas perbankan. “Pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dari pertumbuhan dana yang dihimpun, menyebabkan meningkatnya risiko likuiditas,” katanya dia, beberapa bulan lalu.
Dalam kondisi likuiditas yang makin sulit saat ini, Agus mengatakan, persaingan antarbank untuk menghimpun dana pihak ketiga semakin ketat. Hal ini, selanjutnya akan mendorong suku bunga jangka pendek. “Ini mengakibatkan adanya risiko suku bunga,” paparnya.
Meski demikian, jelas Agus, secara umum kondisi likuiditas perbankan masih baik. Perlambatan pertumbuhan kredit cukup konsisten dan sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang melambat.


Strategi Mengamankan Likuiditas
                                                                        
Untuk menjaga posisi likuiditas dan proyeksi cashflow agar selalu berada dalam posisi aman, terutama dalam kondisi tingkat bunga berfluktuasi, beberapa strategi ini dapat dilakukan oleh bank
- Merperpanjang jatuh tempo semua kewajiban bank, kecuali bila tingkat bunga
cenderung mengalami penurunan
- Melakukan diversifikasi sumber dana bank
- Menjaga keseimbangan jangka waktu asset dan kewajiban
- Memperbaiki posisi likuiditas antara lain mengalihkan asset yang kurang
marketable menjadi lebih marketable.
Sumber: ALCO, oleh Raflus Rax,1996.


Menunggu Sinyal

Saat ini hampir seluruh perekonomian dunia menantikan apa yang akan dilakukan bank sentral AS dalam rangka menormalisasi kebijakan moneternya. Bagi otoritas Indonesia, persiapannya tampaknya tidak terlalu memuaskan.

Sejak memasuki awal abad ke-21, Amerika adalah momok bagi perekonomian dunia. Ketika negara perekonomian terbesar di dunia itu berjalan ke arah pertumbuhan maka sebagian besar negara di dunia akan terkena imbasnya. Seperti yang terjadi kini.
Setelah ekonomi AS terjerembab dalam krisis akibat turbulensi dari sektor perumahannya sendiri, setiap perkembangan di negara itu selalu menjadi isu global. September lalu, pada rapat Komite Pasar Terbuka AS (FOMC), bank sentral AS disebut-sebut mulai menyinggung soal exit strategy dari kebijakan yang selama enam tahun terakhir dijalankan.
The Federal Reserve berencana melepas kepemilikan surat-surat berharga yang dibelinya dalam upaya mengguyur pasar dengan dana miliaran dollar AS. The Fed juga memberikan sinyal akan memperketat kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan yang sudah bertahan selama enam tahun di level 0-0,25 persen. Semuanya, besar kemungkinan akan dijalankan paling telat awal tahun depan.
Saat ini pertumbuhan ekonomi AS memang mulai bergerak ke arah normal, dan sudah terjadi dalam beberapa bulan belakangan. Dalam sebuah laporan The Fed, yang dikutip dari kantor berita internasional, dari 12 distrik, enam di antaranya mengalami kinerja perekonomian moderat, lima daerah tumbuh dengan kecepatan sedang, dan di Distrik Boston, pertumbuhannya masih bervariasi.
Tingkat pengangguran, indikator utama ekonomi AS, turun ke level terendah dalam enam tahun, yakni 5,9 persen, dan pertumbuhan pekerjaan bergerak solid tahun ini dengan rata-rata penyerapan lapangan kerja mencapai 227.000 setiap bulan. Namun, masih ada 9,3 juta orang yang secara resmi tercatat sebagai pengangguran.
Dinamika kebijakan moneter di AS hampir selalu berdampak pada sejumlah mata uang utama di dunia. Di Indonesia, kondisi tersebut, tak pelak membuat aliran dana-dana investor mancanegara mulai berubah arah, alias berbalik kembali ke AS. Seperti yang terjadi di Indonesia. Bulan lalu saja, hengkangnya dana-dana dari hedge fund dan investor follower membuat nilai tukar rupiah menembus level psikologis Rp12.000 per dollar AS, dan bursa saham selalu fluktuatif.
“Rupiah melemah itu banyak faktor. Dari kondisi perkembangan di luar negeri yang masih masih risk on risk off kita melihat di AS mempunyai perkembangan yang langsung berdampak pada negara-negara dunia termasuk negara berkembang, termasuk Indonesia,” kata Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo.
Agus tak memungkiri bahwa rencana The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan memberi sentimen negatif kepada pasar di Indonesia. Pelaku pasar global yang khawatir ekonomi dunia melambat dan kinerja perusahaan internasional yang kurang baik memicu arus dana asing keluar dari Indonesia.
Selain faktor eksternal, hal lain yang membuat pelaku pasar banyak melarikan dananya ke luar adalah panasnya politik Indonesia yang belum sepenuhnya mereda. Sementara itu, faktor dalam negeri seperti inflasi dan neraca transaksi berjalan juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan.
Empat bulan belakangan, situasi politik nasional memang hampir mendidih karena kontestasi pemilihan presiden yang hanya menghadirkan dua calon. Proses yang cukup panjang dan berliku telah membuat investor khawatir mengenai prospek ekonomi Indonesia.
Indikator-indikator perekonomian mengalami fluktuasi dengan kecenderungan melemah seperti indeks saham dan nilai tukar. Sementara lainnya, seperti inflasi dan juga neraca transaksi berjalan relatif masih berada di tingkat yang kurang menyenangkan.
Namun demikian, pengamat ekonomi dan keuangan Yanuar Rizki tidak sepakat jika pelemahan beberapa indikator ekonomi dan pasar disebabkan oleh faktor politik. Menurut dia, hal itu mutlak disebabkan oleh ekspektasi terhadap kebijakan ekonomi global khususnya bank sentral AS. “Dulu waktu gaduh soal Century (2008), kenapa rupiah malah menguat. Ada yang bilang market sudah dewasa. Jika sekarang karena panasnya pilpres apakah market jadi anak-anak lagi,” kata Yanuar.
Menurut dia, penguatan dan pelemahan rupiah lebih dipengaruhi kebijakan uang beredar global. Jadi jika saat ini rupiah kembali melemah memang tengah dalam proses rebalancing karena adanya perubahan kebijakan di negara-negara maju khususnya AS. “Faktor politik memang ada pengaruhnya, tetapi bukan itu pemicunya,” kata Yanuar.

Pertumbuhan Tertekan
Atas risiko yang mengintai akibat rencana otoritas Negeri Paman Sam, Bank Dunia kemudian memangkas proyeksi laju pertumbuhan ekonomi global. Bahkan lembaga donor yang kental dengan dominasi kepentingan AS itu juga memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan perekonomian paling rentan terhadap penarikan dana asing saat The Fed menaikkan suku bunganya.
Indonesia, hingga saat ini masih terbelenggu oleh defisit transaksi berjalan dan juga utang jangka pendek yang jumlah keduanya mencapai 10 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kedua faktor tersebut berjumlah 77 persen dari total cadangan devisa negara. Peningkatan level utang perusahaan yang cepat menyebabkan kenaikan suku bunga dalam waktu cepat dapat menghasilkan likuiditas dan solusi bagi beberapa kreditor di industri dengan kapasitas berlebih.
Sebaliknya, India justru menjadi negara dengan perekonomian unggul di Asia. Pertumbuhan ekonomi India tercatat berada di kisaran 5,6 persen tahun ini dan dapat meningkat hingga 6,4 persen tahun depan. Bahkan Bank Dunia melihat potensi pertumbuhan ekonomi India hingga level 7 persen pada tahun berikutnya.
Malahan pertumbuhan ekonomi nasional bisa saja makin tertekan ketika rencana kenaikkan harga bahan bakar minyak direalisasikan pemerintah baru. Wacana itu memang diperkirakan tinggal menunggu waktu karena Presiden Joko Widodo menghadapi ruang anggaran yang cukup ketat.
Room untuk meningkatkan anggaran nasional cuma tinggal sedikit,” kata Hartadi Agus Sarwono, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Defisit anggaran pemerintah pusat berada di level 2,21 persen dan defisit anggaran daerah diperkirakan berada di angka 0,3 persen sehingga jika dijumlah angka defisit total adalah sekitar 2,5 persen. Karena total batas defisit yang dibolehkan menurut undang-undang keuangan negara adalah 3 pesen, maka pemerintah baru hanya bisa menarik dana menutup defisit hanya sebesar kurang 0,5 persen, yaitu hanya kurang dari Rp25 triliun.
“Anggaran yang ada sekarang juga belum memperlihatkan program prioritas pemerintahan baru (Jokowi-Jusuf Kalla),” kata Hartadi yang juga menjabat sebagai Advisory Regional IMF Group.
Pemerintah baru, dinilai dia, akan mengincar sumber pembiayaan dalam negeri dengan menerbitkan obligasi demi mengamankan anggarannya. Saat ini saja sedang gencar ditawarkan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) Seri 11 oleh Kementerian Keuangan. Hal itu tentu menjadi tantangan tersendiri buat perbankan.
“Semakin besar sumber pembiayaan dalam negeri maka negara dan bank akan berebutan dana nasabah,” kata Hartadi, yang kini menjadi Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).
Kondisi itu tentu akan menambah persaingan memperebutkan dana pihak ketiga dan akan menjadi pemicu keketatan likuiditas yang lebih intensif lagi di sektor keuangan nasional. Saat ini saja bank-bank sudah menawarkan suku bunga di atas 10 persen untuk nasabah khusus yang bersedia menyimpan dananya sebagai deposito. Perang suku bunga, dengan itu, pun pecah dan menambah risiko likuiditas bagi perbankan.

Ancaman Krisis
Bank memang lebih concern terhadap risiko likuiditas ketimbang hal lainnya semisal risko kredit atau bahkan ancaman turunnya laba. Karena berdasarkan pengalaman tidak ada kejadian yang membuat bank harus tutup karena risiko kredit atau ancama turunnya laba, namun sebaliknya banyak bank yang tutup karena masalah likuiditas.
Maka dari itu, likuiditas yang mengetat merupakan ancaman serius bagi perekonomian nasional. Beberapa pihak mendesak diterbitkan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang sudah dua tahun mangkrak.
Tak kurang dari Menteri Keuangan M Chatib Basri (saat ini sudah mantan), yang meminta aturan tersebut diterbitkan segera.  Chatib menekankan urgensi kehadiran UU JPSK, terutama mengingat adanya normalisasi kebijakan moneter AS. “Kalau ada guncangan kita bisa mencegah supaya krisis enggak terjadi. Salah satu yang kita butuhkan ya UU JPSK,” kata dia bulan lalu.
Menurut dia, bank sentral AS akan memastikan Fed Fund Rate akan ada di posisi 1,375 persen pada akhir tahun depan dari posisi saat ini yang bertengger di posisi 0,25 persen.
Hal ini diprediksi akan memicu pembalikan dana asing dari emerging market, termasuk Indonesia, kembali ke negara maju seiring dengan perbaikan prospek ekonomi AS.
Padahal, saat ini komposisi investasi asing di Indonesia cukup besar. Bahkan, di pasar surat utang komposisi investor asing sempat melampaui 37 persen, tertinggi sepanjang sejarah.
Saat ini untuk mengantisipasi krisis, pemerintah berpegangan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada 2008 meski setelah itu pemerintah merancang UU JPSK sejak dua tahun lalu.
Aturan tentang JPSK ditujukan sebagai suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari kondisi krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis.
Aturan itu sekaligus menjadi dasar pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Anggotanya terdiri atas Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota. KKSK itulah yang melaksanakan fungsi kebijakan pencegahan dan penanganan krisis.

Antisipasi Bank Sentral
Banyak pengamat memprediksi bahwa kenaikan bunga acuan AS akan terjadi pada kuartal kedua atau ketiga tahun depan, meski pihak otoritas AS mengatakan terbuka kemungkinan akaan dinaikkan lebih cepat.
Gubernur, The Federal Reserve Janet Yellen sebelumnya mengatakan, seperti dikutip AFP, di depan kongres, The Fed bisa menaikkan suku bunga acuan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya, jika pasar terus mencatatkan perbaikan yang solid. Saat ini angka pengangguran di Amerika Serikat sudah turun 1,5 persen dibandingkan tahun lalu dan berada pada posisi 6,1 persen.
Angka pertumbuhan lapangan kerja pada semester pertama tahun ini, memperlihatkan langkah kuat dibandingkan tahun lalu. Namun demikian, Yellen mengaku masih prihatin dengan bursa tenaga kerja yang menurutnya masih melemah secara signifikan.
Saat ini suku bunga acuan (Fed rate) masih berada di level 0,25 persen sejak ditetapkan pada Desember 2008, sebagai upaya untuk mendorong pemulihan ekonomi.
"Jika pasar tenaga kerja terus membaik lebih cepat daripada perkiraan komite sehingga konvergensi lebih cepat menuju tujuan ganda kami, kenaikan suku bunga acuan kemungkinan akan terjadi lebih awal dan lebih cepat dari perkiraan," kata Yellen.
Sementara itu Bank Indonesia sudah pasang kuda-kuda mengantisipasi dampak terburuk dari kebijakan The Fed dalam menormalisasi perekonomiannya yang dimulai dengan tapering off lalu mengerek bunga acuannya.
Gubernur BI, Agus DW Martowardojo mengatakan, pihaknya sudah mempersiapkan tantangan dalam satu tahun ke depan terkait potensi kenaikan Fed Fund Rate. “Sekarang ini suku bunga Fed ada di 0-0,25 persen. Namun, dengan adanya tapering off nanti di 2015 mulai ada bunga meningkat dan akan berdampak juga pada tingkat bunga dunia yang meningkat,” kata dia.
Salah satu persiapan menghadapi perubahan itu adalah meningkatkan koordinasi dengan pemerintah dalam banyak hal. “Jadi BI mempersiapkan diri, bahkan dengan pertemuan koordinasi dengan pemerintah, kami sudah mendiskusikan ini. Secara umum kami mempersiapkan diri dengan baik,” kata Agus.
BI akan melakukan bauran kebijakan moneter dan tak hanya mengandalkan kebijakan BI Rate. Bank sentral hingga kini telah mengeluarkan kebijakan selain suku bunga yaitu loan to value, mengetatkan loan to deposit ratio dan menoleransi depresiasi nilai tukar untuk mendorong ekspor dan menekan impor. Selain itu, BI juga memperbaiki transaksi berjalan hingga fundamental ekonomi Indonesia kuat.
“BI tetap akan melakukan bauran kebijakan tidak harus suku bunga, namun tidak usah khawatir karena BI pada waktu membuat kebijakan tentu memperhatikan dampak ke semua sektor,” kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara.