Investor Jepang menandai ekspansinya ke sektor keunagan Indonesia dengan
membeli Bank Mutiara. Meski dianggap lebih besar dari nilai bukunya, penjualan
bank tersebut tetap memunculkan pertanyaan.
Masa-masa awal perang dunia kedua, Jepang pernah memaksa
Indonesia untuk mengakui mereka sebagai ‘saudara tua’, dan kemudian merampas
hampir semua kekayaan yang ada di Tanah Air. Kini saudara tua itu kembali ke
Indonesia melalui sektor keuangan dan akan memanfaatkan potensi pasar yang
sangat besar menjelang pasar bebas Asia Tenggara.
Pembelian Bank Mutiara oleh J Trust Co, Ltd, holding keuangan asal Jepang, bisa
disebut sebagai menghilangkan momok atau membersihkan kerikil dalam sepatu,
yang selama ini menghantui pemerintahan.
Sejak penyuntikan dana tepat enam tahun lalu, bank yang
semula bernama Bank Century tak pernah lepas dari polemik. Dana Rp6,7 triliun
dan ditambah lagi Rp1,4 triliun yang disuntik akhir tahun lalu, membuat bank
ini termasuk bank dengan bantuan dana pemerintah terbesar sepanjang sejarah.
Tahun ini, Bank Mutiara berhasil dijual, meski harganya jauh
di bawah duit pajak yang diberikan pemerintah kepada bank itu.
Tak bisa dipungkiri bahwa penjualan saat dead line ini menimbulkan pertanyaan
lebih lanjut. Lima tahun lalu, pengamat ekonomi yang waktu itu juga menjadi
Anggota Komisi Ekonomi dan Keuangan DPR, Dradjad H Wibowo pernah mengatakan
bahwa pemerintah akan merugi hingga Rp5 triliun pada saat divestasi saham Bank
Mutiara. Harga saham bank itu hanya akan mencapai Rp2 triliun tak lebih pada
saat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus mendivestasinya. Artinya dengan
ekuitas yang pada 2009 mencapai Rp500 miliar, Dradjad saat itu meramalkan jika nanti
dijual maka LPS akan rugi sekitar Rp4,5 triliun hingga Rp5 triliun rupiah.
Apa yang dikatakan Dradjad pada akhirnya terbukti,
pemerintah melalui LPS harus melepas Bank Mutiara meski harganya di bawah
‘modal’ yang disuntikan dengan jumlah akumulatif mencapai Rp8,1 triliun.
Ekuitas Bank Mutiara per Desember 2013 sebesar Rp1,3 triliun,
dan LPS melepasnya bulan lalu dengan harga Rp4,4 triliun. Pengembalian yang
hanya 54 persen dari uang pajak yang disuntikkan kepada bank itu tentu
memunculkan pertanyaan. Namun demikian, Kartiko Kartika Wirjoatmodjo, Kepala
Eksekutif LPS tampaknya tidak sepakat.
Menurut dia, harga jual itu dihitung berdasarkan nilai buku
Bank Mutiara yang saat ini Rp1,3 triliun dan dengan mendapatkan Rp4,4 triliun
artinya harganya mencapa 3,5 nilai buku. “Nilai bukunya Mutiara berapa? Rp 1,3
triliun. Padahal injeksinya Rp 8,1 triliun. Ke mana larinya? Itu karena kerugian
akumulatif yang terjadi pada saat bank ini dulu diselamatkan,” kata Kartika.
LPS memang wajar mengatakan hal itu karena memang bank itu
harus dilepas tahun ini juga jika otoritas tak mau dianggap melanggar
undang-undang. Namun demikian, pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa J
Trust, mengingat perusahaan itu lebih fokus pada bisnis yang mengedepankan
strategi merger dan akuisisi saja, atau bisa dibilang perusahaan broker saja.
Mengenai keputusan itu, Ketua LPS menilai bahwa penawaran
dari J Trust adalah yang terbaik dari yang ada. Ditambah lagi perusahaan itu
akan membayarnya secara tunai dan mau menanggung potensi risiko di kemudian
hari tanpa meminta impunitas. Kelebihan inilah yang memudahkan LPS menjatuhkan
pilihan pada J Trust.
Sebelumnya santer terdengar kabar bahwa BRI juga menyatakan
minatnya pada Bank Mutiara. Namun demikian dana Rp3 triliun yang disiapkan
tidak cukup untuk menaklukan hati pemegang saham.
Enny Sri Hartati, Direktur Indef, lembaga penelitian ekonomi
Independen, mengatakan bahwa pertanyaan yang muncul di masyarakat soal siapa J
Trust dan mengapa Mutiara dilepas ke perusahaan itu, adalah sesuatu yang wajar.
“Publik tentu menduga-duga, apakah ada kesepakatan di belakang meja terkait
penjualan itu,” kata dia.
Sektor perbankan adalah sektor yang sangat strategis dan
pemerintah, lanjut Enny harus lebih berhati-hati memutuskan pihak-pihak yang
bisa menggarap sektor itu. “Jadi pertanyaanya, kenapa harus dikasih kepada
asing ketika ada investor lokal yang berminat.”
Harga seharusnya tidak menjadi patokan utama dalam melepas
institusi keuangan kepada pihak asing karena dalam jangka panjang komitmennya
tidak bisa dipegang sehingga risiko bakal jadi ajang jual-beli bank sangat
besar. “Apalagi perusahaan itu terkesan seperti brokerage,” kata Enny.
Menurut dia, jika perusahaan yang core business-nya bukan di perbankan maka peluang akan dijual
kembali ketika sudah untung, sangat besar.
Selain itu, seperti juga pernah dikatakan oleh Dradjad H
Wibowo, ekonom sekaligus politisi, Enny juga mengungkapkan bahwa terbuka
kemungkinan bahwa dalam pembelian Mutiara ini ada semacam komitmen lain, di
bidang ekonomi.
Sebelumnya, pada akhir tahun lalu, J Trus melalui tangan
usahanya J Trust Asia yang berpusat di Singapura, mencaplok 10 persen saham
Bank Mayapada, senilai Rp 556,53 miliar. Jepang sudah memiliki bank joint venture di Indonesia lewat Bank
Sumitomo Mitsui
Meratakan Jalan
Yang bisa dilihat kasat mata, masuknya J Trust akan
meratakan jalan bagi investor-investor Jepang lainnya di sektor riil yang
mengincar pasar Indonesia jelang dibukanya perdagangan bebas ASEAN tahun depan.
Sebelumnya Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi)
Adhi S. Lukman menyatakan bahwa setidaknya ada 10 perusahaan skala besar asal
Jepang berminat untuk masuk ke sektor makanan dan minuman. "Menjelang ASEAN
Economic Community (AEC) 2015, industri makanan dan minuman di Indonesia akan
kedatangan banyak investor dari negara Jepang. Selain pasar yang sudah cukup
jenuh di negaranya, ketertarikan investor Jepang untuk ekspansi karena
Indonesia diprediksi menjadi pasar terbesar di ASEAN pada 2015," kata Adhi.
Sudah mulai jenuhnya pasar Jepang membuat perusahaannya
berbondong memperluas pangsa pasar ke luar negeri yang dinilai masih potensial.
Jepang adalah negara yang perekonomian masuk dalam lima besar di mana pajak
bisnisnya sudah sangat tinggi dan demografi penduduk yang didominasi usia
lanjut.
Perusahaan-perusahaan yang akan merangsek ke Indonesia, kata
Gapmmi, antara lain Suntory, Asahi, Glico, Morinaga, Ito En, UHA, Mitsubishi,
Yamazaki, dan Kanematsu. Sebagian besar perusahaan tersebut mendirikan
perusahaan patungan dengan menggandeng perusahaan makanan minuman yang berdiri
sebelumnya di Indonesia. "Morinaga menggandeng Kino Group membentuk perusahaan
patungan PT Morinaga Kino Indonesia. Sedangkan Suntory Beverage & Food
Limited, perusahaan minuman terbesar kedua di Jepang, menggandeng PT Garudafood
Putra Putri Jaya membentuk PT Suntory Garuda Beverage," kata Adhi.
Asahi Group Holdings Southeast Asia Pte Ltd merangkul PT
Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) membentuk PT Indofood Asahi Sukses
Beverage. Selain dengan Asahi, Indofood CBP juga membentuk joint venture dengan
JC Comsa Corporation, perusahaan asal Jepang yang bergerak di bidang produksi
dan pengolahan produk makanan berbahan dasar tepung terigu, food service, serta
pengelola jaringan restoran dengan porsi kepemilikan saham mayoritas.
Sedangkan PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company
Tbk (ULTJ) membentuk joint venture dengan Ito En Asia Pacific Holdings asal
Jepang. Mitsubishi, perusahaan perdagangan terbesar di Jepang, juga menggandeng
Alfamart Group untuk memproduksi dan menjual roti di 8.000 jaringan ritel PT
Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT). Tidak hanya sampai di situ, perusahaan-perusahaan
Jepang yang telah dan akan berekspansi di Indonesia juga akan diperkuat dengan
dukungan dari sektor ritel.
Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yasuaki Tanizaki mengakui
bahwa negaranya akan semakin meningkatkan penanaman modalnya ke Indonesia dan
dan tetap menjadi investor terbesar pada 2015. “Banyak negara yang tertarik
dengan Indoesia, dan kami sepakat di Indonesia akan banyak peluang untuk
investasi. Karena itu, saya berpikir investasi Jepang di Indonesia akan lebih
banyak, dan sekarang Jepang menjadi penanam investasi nomor satu di
Indonesia," katanya bulan lalu.
Jadi, bersiap-siap saja, karena saudara tua kita itu sudah
kembali.
Box
Besar lewat Merger
dan Akuisisi
J Trust Co, Ltd merupakan perusahaan yang bergerak pada
bidang keuangan, real estate, sistem IT, dan bisnis hiburan yang beroperasi di
Jepang dan dunia internasional. J Trust didirikan pada 18 Maret 1977 dengan
modal 53,5 miliar yen dan berkantor pusat di Tokyo, Jepang.
J Trus Grup, menyebut diri mereka sendiri sebagai perusahaan
yang dengan cepat memperluas bisnisnya sebagai penyedia jasa keuangan ritel
yang komprehensif dengan strategi merger dan akuisisi yang agresif serta
pembelian utang. Usaha Grup berpusat pada jasa keuangan tetapi juga melibatkan
berbagai kegiatan lain dari real estate untuk hiburan, termasuk kegiatan bisnis
di luar negeri.
J Trust memiliki keahlian dan pengalaman dalam bisnis
pembiayaan konsumen dan kartu kredit. Dibuktikan dengan memiliki anak
perusahaan KC Kartu Co, Ltd, yang telah bergerak dalam bisnis kartu kredit dari
Rakuten dan Nihon Hosho Co Ltd yang bergerak dalam bisnis pembiayaan konsumen
Takefuji Co Ltd (sekarang TFK Co Ltd setelah perusahaan reorganisasi). Grup
juga telah memanfaatkan sisi know-how
mereka dan juga sumber daya manusia di bidang keuangan ritel untuk memperoleh
dan mengoperasikan sebuah bank tabungan dan perusahaan pembiayaan konsumen di
Republik Korea.
J Trus berdiri sejak Maret 1977, sebagai lembaga pinjaman
untuk usaha kecil dan menengah dan berhasil mengembangkan bisnis tersebut di
Jepang. Namun, lembaga itu terpaksa
merampingkan bisnis karena adanya perubahan dalam lingkungan bisnis yang
disebabkan oleh masalah Pinjaman Shoko & penurunan batas atas suku bunga
berdasarkan Undang-Undang Investasi Investasi pada 2000, dan masalah
pengembalian dana klaim yang muncul pada 2006.
Namun demikian, sejak Presiden & CEO Perusahaan,
Nobuyoshi Fujisawa, perusahaan itu terus bergerak maju untuk menjadi perusahaan
keuangan yang memiliki banyak anak usaha dengan memperoleh sumber daya manajemen
dari entitas luar melalui merger dan akuisisi ditambah ekspansi progresif
operasi penjaminan kredit.
Pada bulan Oktober 2010, Perseroan menjadi perusahaan induk
bertugas mengawasi pengelolaan seluruh Group. Nobuyoshi yang sekaligus menjadi
pemegang saham pengendali perusahaan itu sejak 2008, memang sudah mengincar
pasar Asia Tenggara, terutama Indonesia sebagai penguasa separo dari pasar itu.
“Memanfaatkan sebagian dari dana yang diperoleh, kami
mendirikan J Trust Asia sebagai basis kami untuk kegiatan investasi di Asia
Tenggara dan berhasil memperoleh pinjaman perusahaan 2 konsumen di Korea
Selatan. Kami melihat upaya-upaya kita terus membuat sudah mulai berbuah hingga
Maret 2014,” kata dia di situs resmi perusahaan.
Sebelumnya, untuk mendukung ekspansi bisnisnya, J Trus telah
melakukan right issue
untuk meningkatkan modal ke level 100 miliar yen.
Menurut dia, J Trus sudah memasuki tahap kedua dalam rencana
pertumbuhan dan pengembangan lebih lanjut. “Seperti yang kami pertimbangkan,
salah satu persyaratan bagi kita untuk mencapai pertumbuhan yang signifikan
adalah untuk memindahkan bisnis dasar utama kami ke Korea Selatan,
negara-negara Asia Tenggara dan negara-negara asing lainnya. Kami aktif
melakukan strategi M&A pada berbagai proyek baik di dalam maupun di luar
Jepang,” kata Nobuyoshi.
J Trus memiliki sedikitnya 15 anak usaha, termasuk J Trus
Asia yang baru berdiri 7 Oktober 2013. Akhir tahun lalu, J Trus Asia telah
membeli sebagian saham Bank Mayapada
J Dipercaya Asia akan mengakuisisi 347.832.000 saham Bank
Mayapada, 10 persen dari jumlah saham yang beredar, senilai 4,773 juta yen atau
lebih dari Rp550 miliar..
Profil J Trust Co (sampai Maret
2014)
Berdiri 18
Maret 1977
Pemegang
saham Nobuyoshi
Fujisawa 26,55 persen
Japan
Trustee Services Bank, Ltd.(Trust account) 5,11 pers
NLHD
Co Ltd. * 5,08 persen
Modal 53,5
milar yen setara
Revenue from Operations 61,926
miliar yen
Operating Profit 13,745
miliar yen
Ordinary Profit 13,351 miliar yen
Net Income 11,145 miliar yen
Total Assets 334,736 miliar yen
Net Assets 184,230 miliar yen
Net Worth 177,263 miliar yen
Capital Adequacy Ratio 53,0
persen.
(konsolidasi)