Inklusi keuangan dianggap bisa jadi solusi untuk makin
mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Meski begitu, dalam
menjalankannya dibutuhkan upaya ekstra baik dari otoritas maupun pelaku sektor
keuangan.
Semua ini awalnya hanya soal akses. Dengan penduduk yang
mencapai 240 juta rupiah dan menempati posisi keempat dunia, lebih dari separo
dari jumlah itu belum mampu menjangkau industri keuangan. Walhasil, banyak
penduduk yang mengandalkan lembaga ‘seolah-olah’ bank untuk memenuhi kebutuhan
keuangan yang terkait dengan kegiatan hidupnya.
Bank Indonesia sudah sejak 2010 gusar melihat kenyataan itu.
Apalagi survei yang dilakukan bank sentral pada tahun yang sama menunjukkan
bahwa lebih 62 persen rumah tangga di Indonesia tidak memiliki tabungan sama
sekali. Oleh karenanya, mulai saat itu, bank sentral sudah mulai menyusun
rencana untuk setidaknya mengurangi angka itu.
BI berkeyakinan bahwa makin banyak masyarakat yang bisa
mengakses lembaga keuangan maka akan makin terbuka kemungkinan terciptanya
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Dengan keyakinan itu pula setahun
setelahnya otoritas Kebun Sirih mulai mengkampanyekan pentingnya inklusi
keuangan.
Menurut laman Wikipedia, inklusi keuangan atau financial inclusion, memiliki arti kegiatan
menyeluruh yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan, baik bersifat
harga maupun non-harga terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan
jasa keuangan.
Secara umum, inklusi keuangan dimaksudkan mendukung
pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan dan
tingkat kemiskinan serta menjaga stabilitas keuangan.
Kegiatan inklusi keuangan bertujuan meningkatkan akses
masyarakat terhadap beberapa jenis layanan jasa keuangan yang dianggap vital
bagi kehidupan masyarakat, seperti kredit mikro, kiriman uang, simpanan mikro,
asuransi mikro dan dana pensiun mikro.
Menurut laman itu pula, dimensi inklusi keuangan meliputi
meliputi empat hal: akses (access),
penggunaan (usage), kualitas (quality), dan dampak (impact).
BI, sebelum pengawasan mikroprudensial berpindah tangan ke
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) awal tahun ini dan hanya bertugas mengurusi
makroprudensial, terus berupaya mendorong agar makin banyak orang yang bisa
‘berhubungan’ dengan lembaga keuangan.
Salah satu kebijakannya adalah branchless banking. Dalam program bank tanpa kantor cabang ini,
bank bisa menerima transaksi dari nasabah tanpa harus datang ke bank melainkan
melalui pihak perantara dan juga teknologi telepon selular. Oleh karena itu,
program ini juga disebut mobile payment system (MPS).
Model ini diharapkan mampu menjangkau daerah terdalam
Indonesia dan memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat atas layanan
sistem pembayaran. “Jangkauan infrastruktur telekomunikasi Indonesia sudah
mencapai 95 persen," kata Deputi Direktur Kebijakan dan Pengawasan Sistem
Pembayaran BI Yura A Djalins.
BI mencatat pengguna telepon seluler mencapai 240 juta
pengguna. Inilah yang dimanfaatkan oleh BI dalam menyukseskan inklusi keuangan.
Kesiapan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia dinilai jauh lebih baik
dibandingkan perbankan. Sehingga infrastruktur telekomunikasi menjadi hal
penting dalam pengembangan MPS.
Tahun ini merupakan waktu penerapan model sistem pembayaran
bergerak itu, setelah sepanjang Mei hingga November lalu diujicobakan pada
beberapa bank. Peserta uji coba yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank
Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Tabungan
Pensiunan Nasional Tbk, dan PT Bank Sinar Harapan Bali.
Sementara itu, untuk perusahaan telekomunikasi yang ikut
serta adalah PT Indosat Tbk dan PT XL Axiata Tbk. Program MPS, di sisi
perbankan juga sebagai upaya memperluas jaringan penggunaan layanan perbankan
tanpa kantor cabang, yang bertujuan untuk menciptakan layanan perbankan yang
efektif dan efisien dari sisi pembiayaan.
Adapun tujuan akhir dari MPS adalah untuk membuka akses atau
jangkauan jasa dan layanan keuangan bisa mencapai masyarakat di pelosok daerah,
yang selama ini tak terlayani karena kendala jarak dan infrastruktur.
Dalam proyek uji coba ini, bank atau perusahaan
telekomunikasi bisa memilih delapan wilayah yang telah ditetapkan menjadi basis
uji coba branchless banking. Kedelapan provinsi ini antara lain Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur,
dan Sulawesi Selatan.
Dalam uji coba ini, bank sentral mengizinkan baik bank
maupun perusahaan telekomunikasi menggunakan jasa Unit Perantara Layanan
Keuangan (UPLK) atau Unit Perantara Layanan Sistem Pembayaran (UPLSP) sebagai
perpanjangan tangan untuk menjangkau masyarakat.
Tahun ini, meski pengawasan bank secara mikroprudensial
berpindah ke tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai Januari, tampaknya
kebijakan MPS akan tetap berada dalam pengelolaan BI. Agus DW Martowardojo,
Gubernur BI yang lama di berkarier perbankan dinilai akan membuat program
inklusi keuangan dari BI itu bisa lebih tepat guna.
Strategi OJK
Sementara itu, OJK yang mengambil fungsi pengawasan
perbankan dari BI, sudah sejak tahun lalu sibuk menyosialisasikan kepada
masyarakat melalui kegiatan titian muhibah ke sejumlah daerah di Indonesia, tentang
pentingnya lembaga keuangan.
Bahkan OJK akan terus memperbesar upaya perluasan akses
keuangan melalui apa yang disebut sebagai Strategi Nasional Literasi Keuangan. “Di
dalam strategi ini kami canangkan tiga pilar utama untuk memastikan pemahaman
masyarakat tentang produk dan layanan yang ditawarkan oleh lembaga jasa
keuangan," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad dalam siaran
persnya.
Ketiga pilar itu yakni program edukasi dan kampanye nasional
literasi keuangan, penguatan infrastruktur literasi keuangan, dan pengembangan
produk dan layanan jasa keuangan yang terjangkau.
Muliaman menuturkan, penerapan ketiga pilar tersebut
dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat
literasi keuangan yang tinggi sehingga masyarakat dapat memilih dan
memanfaatkan produk dan jasa keuangan guna meningkatkan kesejahteraan
mereka.
“Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan merupakan
bagian dari program strategis OJK untuk membentuk sistem perlindungan konsumen
keuangan yang terintegrasi serta melaksanakan edukasi dan sosialisasi secara
masif dan komprehensif," kata Muliaman.
Setelah resmi berdiri sejak tahun lalu pula, OJK tak
henti-hentinya mendorong lembaga keuangan bukan bank untuk membuka akses lebih
luas lagi kepada masyarakat. Dalam industri asuransi misalnya, lembaga itu
mendorong pelaku bisnis untuk menerbitkan asuransi mikro dengan premi murah
agar bisa diserap oleh sebagian besar masyarakat terutama yang berpendapatan
rendah.
Sementara itu pada industri pasar modal, untuk meningkatkan
jumlah investor lokal yang ritel, otoritas meluncurkan sebuah gerakan agar
masyarakat lebih banyak berinvestasi di pasar modal. Tujuannya untuk mendorong
pertumbuhan pasar modal di Indonesia dan mampu memperkenalkan pasar modal lebih
mendalam lagi kepada masyarakat. Di sisi lain, OJK juga akan mendorong makin
banyak perusahaan yang masuk bursa, sementara emiten yang ada diharapkan untuk
memperbanyak produk dan layanan yang makin inklusif terutama untuk investor
lokal dan ritel.
Pelaku industri perbankan juga sepaham dengan keinginan
otoritas mengenai pentingnya sektor keuangan yang lebih terbuka dan merangkul
semua pihak. Meski demikian, menurut Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional
(Perbanas) Sigit Pramono, inklusi keuangan bukanlah semata diartikan kepada
kenaikan penetrasi kredit melainkan juga kepada akses penyemarataan yang
memungkinkan peningkatan kesejahteraan.
“Financial Inclusion
bukan penetrasi kredit semata tetapi perbaikan kesejahteraan di antara penduduk
agar jurang kemiskinan tidak semakin jauh," kata Sigit, dalam sebuah
diskusi tahun lalu.
Menurut Komisaris BCA itu, inklusi keuangan harus diwujudkan
dengan kualitas pendanaan yang baik.
Serta didukung dengan akses pendidikan serta pengurangan jurang kemiskinan di antara
orang kaya dan miskin. “Saya rasa memang harus dibenahi dengan memberikan
kebijakan secara menyeluruh artinya jangan melihat dari penetrasi kredit saja
tetapi dilihat dari kualitas pendidikan serta efeknya terhadap kesejahteraan
masyarakat serta bagaimana penetrasi keuangan itu mampu memberikan efek yang
positif," katanya.
Sementara itu, menurut ekonom Center for Information and
Development Studies (Cides) Umar Juoro, jika sektor keuangan Indonesia makin
inklusif maka akan berdampak pada perkembangan ekonomi dan pemerataan
pendapatan. “Dengan terbukanya akses masyarakat pada pelayanan jasa keuangan,
maka masyarakat akan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan
kesejahteraannya," kata dia.
Jadi meskipun hanya masalah akses masyarakat ke lembaga
keuangan, namun hal itu bukanlah perkara yang mudah untuk diselesaikan. Membuka
akses dan merangkul lebih banyak penduduk agar menggunakan institusi keuangan
dalam mempermudah kegiatan hidupnya tidak hanya membutuhkan kebijakan otoritas
namun kesediaan dari lembaga keuangan.
---------------------------------------------
Branchless Banking,
Pilar Keuangan Inklusif
Keuangan Inklusif merupakan suatu kegiatan menyeluruh yang
bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan terhadap akses masyarakat dalam
memanfaatkan layanan jasa keuangan dengan didukung oleh berbagai infrastruktur
yang ada. Dari sisi ekonomi makro, program ini diharapkan dapat mendukung
pertumbuhan ekonomi yang makin inklusif dan berkelanjutan, serta dapat
memberikan manfaat kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Urgensi memperluas layanan keuangan kepada masyarakat
didasari oleh hasil Survey
Neraca Rumah Tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada 2010
yang menyebutkan bahwa
62 persen rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali.
Fakta ini sejalan dengan hasil studi World Bank tahun 2010
yang menyatakan bahwa hanya separuh dari penduduk Indonesia yang memiliki akses
ke sistem keuangan formal. Artinya ada lebih dari setengah penduduk yang tidak punya
akses ke lembaga keuangan formal sehingga membatasi kemampuan masyarakat untuk terhubung
dengan kegiatan produktif lainnya.
Terdapat dua kendala dalam memperluas inklusi keuangan yakni
kendala yang dihadapi masyarakat dan kendala yang dihadapi oleh lembaga
keuangan.
Dalam hal menabung, kendala yang dihadapi masyarakat yakni
tingkat pemahaman terhadap pengelolaan keuangan yang masih kurang dan biaya
pembukaan rekening serta biaya administrasi yang bagi sebagian masyarakat
dinilai cukup memberatkan. Sementara dalam hal meminjam hambatan yang dihadapi
masyarakat diantaranya adalah pemenuhan persyaratan aspek legal formal usaha
yang dimiliki, kurangnya informasi tentang produk perbankan, atau produk yang
tidak sesuai dengan kebutuhan.
Adapun kendala dari sisi lembaga keuangan di antaranya adalah
keterbatasan cakupan
wilayah dan memperluas jaringan kantor, kurangnya informasi
mengenai nasabah potensial,
dan terbatasnya informasi mengenai keuangan konsumen.
Di sisi lain untuk menambah jaringan kantor di daerah
terpencil, bank dihadapkan pada persoalan biaya pendirian yang relatif mahal.
Branchless banking
diharapkan dapat menjembatani kendala tersebut untuk mendekatkan
layanan perbankan kepada masyarakat khususnya yang jauh dari
kantor bank.
Dalam upaya mewujudkan keuangan inklusif Bank Indonesia
telah menetapkan enam
pilar strategi yang meliputi edukasi keuangan, fasilitas
keuangan publik, pemetaan informasi
keuangan, kebijakan, fasilitasi intermediasi dan saluran
distribusi serta perlindungan konsumen.
Di dunia internasional, khususnya di emerging market,
praktek branchless banking
bukanlah hal baru. Dari berbagai studi literatur tercatat
lebih dari 100 (seratus) negara, seperti
Malaysia, India, Filipina, Kenya, Pakistan, dan Mexico, yang
mengimplementasikan branchless
banking.
(dari berbagai sumber)