Penguatan rupiah yang didongkrak oleh spekulan diprediksi akan
kembali kikis pada Juni, di saat bank sentral AS mengeluarkan kebijakan
pengurangan stimulus ekonomi. Pasar keuangan yang masih dangkal menjadi
penyebab utama.
Orang yang memegang dollar AS sejak Desember tahun lalu
hingga sekarang tentu sudah berhitung rugi penurunan nilai kurs. Sejak awal
tahun lalu hingga pertengahan Maret, rupiah sudah menguat sekitar 7 persen,
merupakan yang tertinggi di Asia. Penguatan tersebut mengagetkan banyak pihak
termasuk otoritas sendiri.
Keberhasilan pemerintah dan bank sentral melewati fase kritis
dalam perlambatan pertumbuhan tahun lalu disebut-sebut adalah penyebab
munculnya optimisme terhadap perekonomian. Otoritas moneter bahkan mulai
bersiap-siap untuk menaikkan proyeksi ekonomi tahun ini ke tingkat yang lebih
tinggi.
Beberapa data yang dipublikasikan oleh bank sentral maupun
biro statistik memperlihatkan adanya perbaikan, yang membuat dana-dana asing
mulai berdatangan. Defisit transaksi berjalan yang awal tahun sudah di level
3,2 persen, memasuki triwulan pertama kondisinya terus membaik, malahan bank
sentral memproyeksikan bisa sampai di angka 2,5 persen dari PDB.
Yield surat utang
negara, di sisi lain, yang terus menanjak terus mengundang green-back untuk masuk. Sejak awal 2013 hingga 26 Desember lalu
terjadi kenaikan 320 basis poin (bps) pada Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10
tahun. Tahun ini sentimen positif terhadap pasar obligasi negara berlanjut
setelah diprediksi akan terus memberikan return
yang menarik.
Modal masuk pun makin deras setelah pemerintah melepas
obligasi berdenominasi dollar AS yang listing di pasar modal New York, Januari
lalu. Kondisi itu jelas makin membuat investor asing membanjiri dollar AS di
pasar dalam negeri.
Pada Januari, Kementerian Keuangan telah menjual dua seri
SUN dengan denominasi valuta asing atau yang kerap disebut global bond, yakni seri RI0124 dengan tenor 10 tahun, dan seri
RI0144 dengan tenor 30 tahun. “Strategi itu memang cost-nya tinggi yakni bunga yang diberikan tinggi, namun cukup
menyerap dan membuat dollar banjir di dalam negeri,” kata Yanuar Rizki, seorang
pengamat pasar keuangan.
Selain itu, tingkat inflasi yang terus melandai dan
ketiadaan rencana menaikkan administered
price –setidaknya oleh pemerintah saat ini –juga membuat sentimen positif
itu makin berkembang. Inflasi tahun ini diperkirakan di kisaran 5,03 persen,
lebih rendah daripada inflasi 2013 yang mencapai 8,38 persen. Di sisi lain,
defisit neraca transaksi berjalan akan semakin menyempit dengan kebijakan
pembatasan impor. Di luar inflasi, besaran BI Rate juga akan mendukung minat
asing terhadap obligasi di saat Bank Indonesia diperkirakan akan terus
mempertahankan level 7,5 persen dalam beberapa bulan ke depan.
Menurut prediksi Assistant Vice President Head of Debt
Research Danareksa Sekuritas, Yudistira Slamet nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS akan menguat, menjadi di kisaran Rp10.500 per dollar AS. Dengan
estimasi tersebut, yield SUN seri
acuan bertenor 10 tahun diperkirakan berada di kisaran 7,73 persen.
Indonesia, sepanjang Januari-Maret memang tengah diliputi ‘suasana
pagi yang cerah’, apalagi setelah bulan lalu nama Joko Widodo, Gubernur DKI
Jakarta resmi dicalonkan menjadi
presiden pada pemilihan umum tahun ini. Mantan walikota Solo yang kariernya
meroket setelah menjadi orang nomor satu di Jakarta itu memang tengah menikmati
euforia dukungan dari sebagian besar media massa. Tak pelak pencalonannya itu
mengangkat kurs rupiah dan indeks.
Sesaat setelah pengumuman Gubernur Jakarta yang akrab disapa
Jokowi itu, perdagangan saham dan valas menggeliat. Pada akhir pekan kedua
Maret, indeks saham ditutup meningkat 3,23 persen ke level 4.878,643, sementara
nilai tukar rupiah menguat dari Rp11.400 menjadi Rp 11.255 per dollar AS.
Penguatan tersebut meneruskan sentimen positif pada mata
uang RI itu awal tahun. Pada pertengahan tahun lalu, rupiah sempat dihajar capital outflow yang tiba-tiba saja
terjadi dan membuat kurs saat itu terus merosot dari level Rp9.500 menjadi
Rp12.500 per dollar AS.
Menurut data riset Stabilitas, kinerja rupiah dalam sebulan
terakhir terbilang cukup fantastis. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS telah
menguat 6,33 persen. Kinerja tersebut jelas melegakan banyak pihak mengingat
sejak menembus level psikologis Rp12.000 pada 27 November 2013, pertama kali
sejak Maret 2009, nilai rupiah terus terdepresiasi. Struktur transaksi berjalan
yang sangat bergantung pada modal asing dinilai telah menggerogoti kapasitas
kontrol moneter dalam mengelola rupiah.
Risiko Melemah
Mendadak
Namun demikian, hampir bisa dipastikan hal itu tidak akan
menjadikan tahun ini menjadi tahunnya rupiah. Kolam sektor keuangan yang masih
dangkal membuat penguatan itu dianggap penuh kerapuhan. Pasar uang Indonesia
sangat rentan berfluktuasi di saat dana-dana asing jangka pendek masih dibolehkan
untuk keluar-masuk seenaknya. Penguatan yang terjadi sepanjang triwulan pertama
ini dalam sekejap bisa luruh ketika dana-dana di pasar uang hengkang.
Keadaan di pasar saham setali tiga uang. Saham-saham
perbankan nasional kini lebih banyak dikuasai oleh pemodal asing. Bahkan saham
bank-bank milik pemerintah yang beredar di publik lebih dari 80 persennya
dimiliki asing.
Kondisi ini sangat rentan ketika muncul isu negatif mengenai
perekonomian Indonesia, maupun kebijakan makro dari ekonomi utama dunia. Dengan
kalimat lain, ekonomi Indonesia menghadapi risiko kurs yang bersumber dari
kebijakan negara lain. Risiko itu muncul karena kerugian pada saat terjadinya
apresiasi atau depresiasi mata uang asing.
Salah satu isu yang akan dihadapi adalah kebijakan
makroekonomi AS terkait tapering off
pasca terpilihnya Ketua The Fed yang baru Janet Yellen menggantikan Ben
Bernanke. Pada paparan pertama Janet di hadapan parlemen AS, Guru Besar dan
ekonom Emeritus di University of California, Berkeley's Haas School of Business
itu mengungkapkan bahwa dalam jangka pendek kebijakan AS akan menggugurkan
dana-dana asing yang ada di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Menurut laporan dari Dewan Gubernur Kebijakan Moneter The
Fed, bahwa emerging market akan makin volatile sebagai dampak dari kebijakan
penghentian pelonggaran moneter (quantitative
easing) dan juga karena kejadian-kejadian domestik. Dewan The Fed
mengatakan bahwa ada tanda-tanda bahwa investor telah memilah-milah di antara
ekonomi-ekonomi di emerging market.
“Investor tampak sudah memilah-milah, berdasarkan kerapuhan
ekonomi negara-negara itu,” demikian Laporan Kebijakan Moneter yang disampaikan
The Fed ke Parlemen.
Laporan The Fed yang juga menyertakan indek kerapuhan
ekonomi menyatakan, “Brazil, India, Afrika Selatan dan Turki adalah di antara
beberapa negara yang tampaknya akan sangat terimbas (kebijakan tapering off).”
Kebijakan atau rencana itu jelas menjadi peringatan dini
buat otoritas Indonesia untuk segera bersiap-siap menghadapi kemungkinan pelarian
modal dalam beberapa bulan ke depan. Yanuar Rizki, analis pasar keuangan
mengatakan peringatan dari The Fed itu memberikan kesempatan kepada kelima
negara tersebut agar bisa menyiapkan mitigasi dan kebijakan jangka pendek.
Menurut dia, yang terjadi saat ini, investor pasar uang,
yang kebanyakan adalah spekulan jangka pendek, tengah mencoba mengerek rupiah
terus ke posisi yang paling tinggi. Tujuannya tentu ketika rupiah ambruk jika kebijakan
The Fed jadi dilaksanakan, mereka akan mengeruk keuntungan dari margin yang lebar.
“Investor yang banyak di Indonesia merupakan spekulan dengan
berbagai aksi spekulasinya. Ketika dollar AS melemah terhadap rupiah yang
dilakukan spekulan ini adalah belanja sebanyak mungkin, dan terus mencoba
menekan dollar AS ke level bawah,” kata Yanuar.
Bank Indonesia, meski demikian, tentu sudah menyadari risiko
tersebut. Kendati uang panas yang masuk ke pasar keuangan dalam negeri
jumlahnya besar dan semestinya cukup untuk membawa rupiah ke posisi yang lebih
kuat dari sekarang, namun BI selalu mengawalnya sehingga penguatan rupiah
berlangsung secara bertahap.
BI tentu mafhum bahwa
dalam beberapa bulan terakhir, pasar terus diramaikan dengan kekhawatiran
pembalikan modal akibat kebijakan tapering-off
dari The Fed. Di sisi lain,bank sentral juga was-was terkait kinerja neraca
perdagangan dengan spread yang terus
menyempit sejak akhir tahun 2011.
Oleh sebab itulah, BI terus memantau perkembangan menit per
menit pasar uang dan segera turun ketika dibutuhkan. Sepanjang Desember tahun
lalu hingga Februari kemarin kegiatan operasi moneter pun terlihat ada sedikit
lonjakan. Dalam periode tersebut BI mengintervensi pasar uang rata-rata sebesar
24,28 miliar dollar AS, sedikit lebih tinggi dibanding periode
September-November 2013 yang mencapai 22,85 miliar dollar AS.
Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank
Indonesia Tirta Segara, bank sentral saat ini terus konsentrasi pada inflasi
dan defisit transaksi berjalan. “Kami akan tetap menjaga kondisi ekonomi kita
tetap stabil, jadi kan investor itu konsentrasi dengan inflasi, pemerintah
konsentrasi dengan CAD (current account
defisit),” kata Tirta.
Sepanjang tahun lalu, defisit transaksi berjalan terus
membesar dan mencapai 4,4 persen di akhir tahun. Total defisit pada tahun 2013
sebesar 28,45 miliar dollar AS, naik 16,51 persen dari tahun 2012. Pada tahun
ini BI menyatakan defisit neraca transaksi berjalan akan mencapai 2 persen.
Data Januari 2014 menunjukan neraca perdagangan membukukan
defisit 431 juta dollar AS, jauh lebih besar dibandingkan periode yang sama
tahun sebelumnya yang sebesar 75 juta dollar AS. Ekspor turun 5,79 persen
(year-on-year) menjadi 14,48 miliar dollar AS sementara impor turun 3,46 persen
menjadi 14,92 miliar dollar AS.
Sementara itu, aset portofolio pasar modal asing bertambah
cukup signifikan pada Januari-Februari 2014. Aset dalam bentuk saham bertambah
Rp110,78 triliun atau setara 9,23 miliar dollar AS. Aset obligasi (obligasi
korporasi dan pemerintah) turun 986 ribu dollar AS pada Januari, namun naik
10,48 juta dollar AS pada Februari. Aset surat berharga negara (termasuk Repo
SUN) bertambah Rp5,32 triliun (437 juta dollar AS) pada Januari dan Rp16,17
triliun (1,37 miliar dollar AS). Sementara pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
jumlahnya mencapai 241 juta dollar AS.
Lalu pertanyaannya sampai kapan apresiasi rupiah ini terus
berlangsung? Menurut Yanuar, kondisi itu bisa berlangsung hingga Juni 2014 di
saat bank sentral AS menggelar rapat moneter dewan gubernur, dan memutuskan
suatu kebijakan. “Kita lihat apakah on
track untuk tapering dan
menaikkan suku bunga. Jika benar terjadi maka outlflow dalam tempo singkat akan terjadi di rupiah," kata
dia.
Jadi, sementara ini silakan dulu nikmati penguatan rupiah
terhadap dollar AS minimal hingga Juni.