Senin, 07 April 2014

Memilih A la Investor

Ekonomi pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidup. Bicara soal pilihan, tahun ini kita dihadapkan pada dua situasi di mana pilihan kita akan menentukan kehidupan bernegara lima tahun ke depan: pemilihan anggota legislatif yang baru saja kita lewati dan pemilihan presiden.
Sebelum menentukan pilihan, lazimnya kita selalu melakukan analisis, bisa seadanya atau analisis yang lebih mendalam. Dan bagi yang terbiasa berhubungan dengan dunia saham, sebagaimana menentukan pilihan investasi, secara intuisi mereka akan menggunakan analisis teknikal dan fundamental.
Jika analisis fundamental dalam pembelian saham lebih banyak menggunakan indikator-indikator perusahaan untuk melakukan analisa harga saham sebuah perusahaan, maka analisis fundamental dalam menentukan presiden pilihan, tak jauh berbeda.
Analisis fundamental saham dapat dilakukan dengan melihat nilai buku saham dari perusahaan yang kita incar atau nilai buku ekuitasnya. Begitu juga dalam memilih presiden. Kita bisa melihat lebih dalam indikator kualitas dari sang calon. Misalnya saja, latar belakang pendidikan, keluarga, karier dan hal-hal yang menunjang kehidupan mereka.
Sementara itu, jika seorang investor menggunakan analisis teknikal dalam investasi saham maka dia akan lebih banyak menggunakan data-data pasar yang berbentuk grafik yang cukup rumit. Investor akan memeloti grafik harian yang ada yang disajikan oleh stakeholder bursa.
Dengan menggunakan data-data mengenai harga, pasokan serta permintaan di masa lalu, analisis teknikal saham bertujuan memprediksi bagaimana permintaan dan pasokan di masa mendatang, serta menganalisis harga saham yang mungkin akan terbentuk karenanya. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasikan suatu tren atau pola yang berulang dari pergerakan harga saham dan kemudian dieksploitasi agar bisa sejalan dengan tujuan investor.
Para analis teknikal juga percaya bahwa proses perubahan harga saham yang disebabkan oleh adanya suatu informasi yang baru di pasar akan cenderung mengikuti suatu tren tertentu. Dengan menyimpulkan hal-hal tersebut, analisis teknikal dipakai untuk mendasari keputusan kapan harus mengambil untung (profit taking), mengurangi kerugian (cut loss), mulai melakukan akumulasi saham atau mulai menahan posisi (wait and see).
Dalam menentukan calon presiden pilihan, kita juga bisa melakukannya dengan analisis teknikal. Kita juga bisa memeloti track record mereka dalam setiap aktivitas atau kebijakan (jika mereka pejabat) yang pernah dilakukannya. Caranya pun tak terlampau sulit. Kita bisa bertanya kepada ‘mbah google’ terkait apa yang pernah dikatakan, dilakukan atau tidak dilakukan oleh sang calon.
Internet pada satu sisi memang cukup kejam. Ia tak akan melupakan kesalahan seseorang yang dilakukan bahkan jauh sebelum seseorang tampil di muka publik, asal pernah di-posting ke Internet. Bahkan saking kejamnya muncul pameo bahwa “Tuhan bisa melupakan dan mengampuni kesalahan seseorang seseorang, tapi tidak dengan Internet.”
Maka dari itu sejatinya mudah saja kita melihat sosok calon yang bisa memenuhi dahaga keinginan kita mengenai seorang pemimpin. Jika kita ingin presiden yang memerhatikan rakyat kecil, cari saja calon yang tidak pernah merendahkan rakyat dalam setiap kata-katanya. Kalau kita ingin presiden yang bisa mengelola anggaran untuk kepentingan rakyat, cari saja calon yang tak pernah menggunakan duit negara untuk kepentingan pribadi. Kalau kita cari presiden yang bisa melindungi negara dan juga bisa mengangkat citra Indonesia sebagai negara besar, cari saja calon yang tak pernah menyakiti rakyat dan merendahkan diri di depan negara-begara lain di dunia. Jika kita ingin presiden yang bisa memegang janji, cari saja calon yang tak pernah ingkar janji. Dan sebagainya.
Akan tetapi berbeda dengan analisis teknikal pada investasi saham, dalam memilih calon presiden, kita sebagai pemilih tidak bisa melakukan profit taking atau cut loss di tengah jalan. Yang bisa kita lakukan cuma wait and see. Ya, wait and see sampai lima tahun terlewati.


BANGKIT UNTUK TERPURUK?

Penguatan rupiah yang didongkrak oleh spekulan diprediksi akan kembali kikis pada Juni, di saat bank sentral AS mengeluarkan kebijakan pengurangan stimulus ekonomi. Pasar keuangan yang masih dangkal menjadi penyebab utama.

Orang yang memegang dollar AS sejak Desember tahun lalu hingga sekarang tentu sudah berhitung rugi penurunan nilai kurs. Sejak awal tahun lalu hingga pertengahan Maret, rupiah sudah menguat sekitar 7 persen, merupakan yang tertinggi di Asia. Penguatan tersebut mengagetkan banyak pihak termasuk otoritas sendiri.
Keberhasilan pemerintah dan bank sentral melewati fase kritis dalam perlambatan pertumbuhan tahun lalu disebut-sebut adalah penyebab munculnya optimisme terhadap perekonomian. Otoritas moneter bahkan mulai bersiap-siap untuk menaikkan proyeksi ekonomi tahun ini ke tingkat yang lebih tinggi.
Beberapa data yang dipublikasikan oleh bank sentral maupun biro statistik memperlihatkan adanya perbaikan, yang membuat dana-dana asing mulai berdatangan. Defisit transaksi berjalan yang awal tahun sudah di level 3,2 persen, memasuki triwulan pertama kondisinya terus membaik, malahan bank sentral memproyeksikan bisa sampai di angka 2,5 persen dari PDB.
Yield surat utang negara, di sisi lain, yang terus menanjak terus mengundang green-back untuk masuk. Sejak awal 2013 hingga 26 Desember lalu terjadi kenaikan 320 basis poin (bps) pada Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10 tahun. Tahun ini sentimen positif terhadap pasar obligasi negara berlanjut setelah diprediksi akan terus memberikan return yang menarik.
Modal masuk pun makin deras setelah pemerintah melepas obligasi berdenominasi dollar AS yang listing di pasar modal New York, Januari lalu. Kondisi itu jelas makin membuat investor asing membanjiri dollar AS di pasar dalam negeri.
Pada Januari, Kementerian Keuangan telah menjual dua seri SUN dengan denominasi valuta asing atau yang kerap disebut global bond, yakni seri RI0124 dengan tenor 10 tahun, dan seri RI0144 dengan tenor 30 tahun. “Strategi itu memang cost-nya tinggi yakni bunga yang diberikan tinggi, namun cukup menyerap dan membuat dollar banjir di dalam negeri,” kata Yanuar Rizki, seorang pengamat pasar keuangan.
Selain itu, tingkat inflasi yang terus melandai dan ketiadaan rencana menaikkan administered price –setidaknya oleh pemerintah saat ini –juga membuat sentimen positif itu makin berkembang. Inflasi tahun ini diperkirakan di kisaran 5,03 persen, lebih rendah daripada inflasi 2013 yang mencapai 8,38 persen. Di sisi lain, defisit neraca transaksi berjalan akan semakin menyempit dengan kebijakan pembatasan impor. Di luar inflasi, besaran BI Rate juga akan mendukung minat asing terhadap obligasi di saat Bank Indonesia diperkirakan akan terus mempertahankan level 7,5 persen dalam beberapa bulan ke depan.
Menurut prediksi Assistant Vice President Head of Debt Research Danareksa Sekuritas, Yudistira Slamet nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan menguat, menjadi di kisaran Rp10.500 per dollar AS. Dengan estimasi tersebut, yield SUN seri acuan bertenor 10 tahun diperkirakan berada di kisaran 7,73 persen.
Indonesia, sepanjang Januari-Maret memang tengah diliputi ‘suasana pagi yang cerah’, apalagi setelah bulan lalu nama Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta resmi  dicalonkan menjadi presiden pada pemilihan umum tahun ini. Mantan walikota Solo yang kariernya meroket setelah menjadi orang nomor satu di Jakarta itu memang tengah menikmati euforia dukungan dari sebagian besar media massa. Tak pelak pencalonannya itu mengangkat kurs rupiah dan indeks.
Sesaat setelah pengumuman Gubernur Jakarta yang akrab disapa Jokowi itu, perdagangan saham dan valas menggeliat. Pada akhir pekan kedua Maret, indeks saham ditutup meningkat 3,23 persen ke level 4.878,643, sementara nilai tukar rupiah menguat dari Rp11.400 menjadi Rp 11.255 per dollar AS.
Penguatan tersebut meneruskan sentimen positif pada mata uang RI itu awal tahun. Pada pertengahan tahun lalu, rupiah sempat dihajar capital outflow yang tiba-tiba saja terjadi dan membuat kurs saat itu terus merosot dari level Rp9.500 menjadi Rp12.500 per dollar AS.
Menurut data riset Stabilitas, kinerja rupiah dalam sebulan terakhir terbilang cukup fantastis. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS telah menguat 6,33 persen. Kinerja tersebut jelas melegakan banyak pihak mengingat sejak menembus level psikologis Rp12.000 pada 27 November 2013, pertama kali sejak Maret 2009, nilai rupiah terus terdepresiasi. Struktur transaksi berjalan yang sangat bergantung pada modal asing dinilai telah menggerogoti kapasitas kontrol moneter dalam mengelola rupiah.

Risiko Melemah Mendadak

Namun demikian, hampir bisa dipastikan hal itu tidak akan menjadikan tahun ini menjadi tahunnya rupiah. Kolam sektor keuangan yang masih dangkal membuat penguatan itu dianggap penuh kerapuhan. Pasar uang Indonesia sangat rentan berfluktuasi di saat dana-dana asing jangka pendek masih dibolehkan untuk keluar-masuk seenaknya. Penguatan yang terjadi sepanjang triwulan pertama ini dalam sekejap bisa luruh ketika dana-dana di pasar uang hengkang.
Keadaan di pasar saham setali tiga uang. Saham-saham perbankan nasional kini lebih banyak dikuasai oleh pemodal asing. Bahkan saham bank-bank milik pemerintah yang beredar di publik lebih dari 80 persennya dimiliki asing.
Kondisi ini sangat rentan ketika muncul isu negatif mengenai perekonomian Indonesia, maupun kebijakan makro dari ekonomi utama dunia. Dengan kalimat lain, ekonomi Indonesia menghadapi risiko kurs yang bersumber dari kebijakan negara lain. Risiko itu muncul karena kerugian pada saat terjadinya apresiasi atau depresiasi mata uang asing.
Salah satu isu yang akan dihadapi adalah kebijakan makroekonomi AS terkait tapering off pasca terpilihnya Ketua The Fed yang baru Janet Yellen menggantikan Ben Bernanke. Pada paparan pertama Janet di hadapan parlemen AS, Guru Besar dan ekonom Emeritus di University of California, Berkeley's Haas School of Business itu mengungkapkan bahwa dalam jangka pendek kebijakan AS akan menggugurkan dana-dana asing yang ada di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Menurut laporan dari Dewan Gubernur Kebijakan Moneter The Fed, bahwa emerging market akan makin volatile sebagai dampak dari kebijakan penghentian pelonggaran moneter (quantitative easing) dan juga karena kejadian-kejadian domestik. Dewan The Fed mengatakan bahwa ada tanda-tanda bahwa investor telah memilah-milah di antara ekonomi-ekonomi di emerging market.
“Investor tampak sudah memilah-milah, berdasarkan kerapuhan ekonomi negara-negara itu,” demikian Laporan Kebijakan Moneter yang disampaikan The Fed ke Parlemen.
Laporan The Fed yang juga menyertakan indek kerapuhan ekonomi menyatakan, “Brazil, India, Afrika Selatan dan Turki adalah di antara beberapa negara yang tampaknya akan sangat terimbas (kebijakan tapering off).”
Kebijakan atau rencana itu jelas menjadi peringatan dini buat otoritas Indonesia untuk segera bersiap-siap menghadapi kemungkinan pelarian modal dalam beberapa bulan ke depan. Yanuar Rizki, analis pasar keuangan mengatakan peringatan dari The Fed itu memberikan kesempatan kepada kelima negara tersebut agar bisa menyiapkan mitigasi dan kebijakan jangka pendek.
Menurut dia, yang terjadi saat ini, investor pasar uang, yang kebanyakan adalah spekulan jangka pendek, tengah mencoba mengerek rupiah terus ke posisi yang paling tinggi. Tujuannya tentu ketika rupiah ambruk jika kebijakan The Fed jadi dilaksanakan, mereka akan mengeruk keuntungan dari margin yang lebar.
“Investor yang banyak di Indonesia merupakan spekulan dengan berbagai aksi spekulasinya. Ketika dollar AS melemah terhadap rupiah yang dilakukan spekulan ini adalah belanja sebanyak mungkin, dan terus mencoba menekan dollar AS ke level bawah,” kata Yanuar.
Bank Indonesia, meski demikian, tentu sudah menyadari risiko tersebut. Kendati uang panas yang masuk ke pasar keuangan dalam negeri jumlahnya besar dan semestinya cukup untuk membawa rupiah ke posisi yang lebih kuat dari sekarang, namun BI selalu mengawalnya sehingga penguatan rupiah berlangsung secara bertahap.
BI tentu mafhum  bahwa dalam beberapa bulan terakhir, pasar terus diramaikan dengan kekhawatiran pembalikan modal akibat kebijakan tapering-off dari The Fed. Di sisi lain,bank sentral juga was-was terkait kinerja neraca perdagangan dengan spread yang terus menyempit sejak akhir tahun 2011.
Oleh sebab itulah, BI terus memantau perkembangan menit per menit pasar uang dan segera turun ketika dibutuhkan. Sepanjang Desember tahun lalu hingga Februari kemarin kegiatan operasi moneter pun terlihat ada sedikit lonjakan. Dalam periode tersebut BI mengintervensi pasar uang rata-rata sebesar 24,28 miliar dollar AS, sedikit lebih tinggi dibanding periode September-November 2013 yang mencapai 22,85 miliar dollar AS.
Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara, bank sentral saat ini terus konsentrasi pada inflasi dan defisit transaksi berjalan. “Kami akan tetap menjaga kondisi ekonomi kita tetap stabil, jadi kan investor itu konsentrasi dengan inflasi, pemerintah konsentrasi dengan CAD (current account defisit),” kata Tirta.
Sepanjang tahun lalu, defisit transaksi berjalan terus membesar dan mencapai 4,4 persen di akhir tahun. Total defisit pada tahun 2013 sebesar 28,45 miliar dollar AS, naik 16,51 persen dari tahun 2012. Pada tahun ini BI menyatakan defisit neraca transaksi berjalan akan mencapai 2 persen.
Data Januari 2014 menunjukan neraca perdagangan membukukan defisit 431 juta dollar AS, jauh lebih besar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 75 juta dollar AS. Ekspor turun 5,79 persen (year-on-year) menjadi 14,48 miliar dollar AS sementara impor turun 3,46 persen menjadi 14,92 miliar dollar AS.
Sementara itu, aset portofolio pasar modal asing bertambah cukup signifikan pada Januari-Februari 2014. Aset dalam bentuk saham bertambah Rp110,78 triliun atau setara 9,23 miliar dollar AS. Aset obligasi (obligasi korporasi dan pemerintah) turun 986 ribu dollar AS pada Januari, namun naik 10,48 juta dollar AS pada Februari. Aset surat berharga negara (termasuk Repo SUN) bertambah Rp5,32 triliun (437 juta dollar AS) pada Januari dan Rp16,17 triliun (1,37 miliar dollar AS). Sementara pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) jumlahnya mencapai 241 juta dollar AS.
Lalu pertanyaannya sampai kapan apresiasi rupiah ini terus berlangsung? Menurut Yanuar, kondisi itu bisa berlangsung hingga Juni 2014 di saat bank sentral AS menggelar rapat moneter dewan gubernur, dan memutuskan suatu kebijakan. “Kita lihat apakah on track untuk tapering dan menaikkan suku bunga. Jika benar terjadi maka outlflow dalam tempo singkat akan terjadi di rupiah," kata dia.
Jadi, sementara ini silakan dulu nikmati penguatan rupiah terhadap dollar AS minimal hingga Juni.


Tumbuh Anorganik di Tahun Politik

Bank-bank mulai bersiap menjalankan strategi pertumbuhan anorganik ketika melihat ekspansi bisnis secara internal berhadapan dengan kondisi ekonomi politik yang cukup berat.

Bisnis –apapun industrinya, kerapkali menghadapi jalan berbatu dan menanjak. Pada saat itulah perusahaan harus mencari rute baru untuk ekspansi bisnisnya agar pertumbuhan tetap bisa berlanjut. Bank pun tak berbeda dengan itu.
Tahun ini, perbankan harus menghadapi tembok tebal nan terjal dan dibutuhkan jalan alternatif untuk menembusnya demi menjaga pertumbuhan bisnis. Dampak getaran pasar modal tahun lalu terhadap ekonomi yang masih terasa hingga sekarang ditambah dengan situasi politik yang mulai menghangat menjelang pemilihan umum baik legistlatif maupun presiden, membuat banyak bank menunda ekspansi bisnisnya. 
Akan tetapi pengelola bank tetap mendapatkan tuntutan dari pemegang saham untuk meningkatkan apa yang telah dicapai tahun lalu. Karena menganggap strategi pertumbuhan yang mengandalkan ekspansi bisnis internal yang harus menunggu hasilnya secara bertahap tidak bisa efektif tahun ini, maka bank memutuskan untuk menerapkan strategi pertumbuhan anorganik. Selain itu strategi anorganik juga digunakan untuk mengamankan sayap-sayap bisnis yang bisa makin melengkapi layanan bank. Metode pertumbuhan alternatif tersebut bersumber pada strategi merger dan akuisisi serta join venture.
Beberapa bank bermodal raksasa sudah terang-terangan akan melakukan strategi pertumbuhan anorganik tahun ini. Sebut saja Bank Mandiri. Tahun ini, bank berlogo pita emas ini berambisi mengakuisisi sebuah bank dan asuransi yang beraset lebih dari Rp1 triliun. Salah satu bank yang ditenggarai masuk dalam pipeline untuk diakuisisi oleh Bank Mandiri adalah PT Bank Tabungan Negara Tbk (Persero). Sementara target perusahaan asuransi telah terpenuhi awal tahun ini dengan mengakusisi PT Asuransi Jiwa Inhealth, anak usaha PT Askes (yang menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan).
Petinggi bank beraset tergemuk itu mengakui bahwa aksi mengincar perusahaan lain bertujuan mempercepat pertumbuhan sekaligus melengkapi jaringan perusahaan. Pahala N. Mansury, Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri, mengatakan pertumbuhan anorganik ini sebenarnya telah dimasukkan dalam rencana bisnis bank tahun lalu.
Namun karena sejumlah dana untuk tumbuh secara anorganik itu baru terealisasi penuh tahun ini maka baru dilakukan saat ini. Kabar yang beredar, bank hasil merger empat bank 15 tahun lalu mengincar Bank BTN, penguasa kredit perumahan.
Disebutkan setidaknya dana sebesar Rp10 triliun dianggarkan Bank Mandiri untuk menyiapkan dua aksi akuisisi tersebut. “Pertumbuhan anorganik merupakan strategi perseroan untuk mempercepat pertumbuhan dan memperkuat jaringan sebagai sebuah lembaga keuangan terbesar,” kata Pahala. Bank Mandiri saat ini telah memiliki sejumlah anak usaha yang bergerak di berbagai industri seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Sinar Harapan Bali, Mandiri Sekuritas, Mandiri Tunas Finance, dan AXA Mandiri.
Selain Mandiri, bank kelas kakap lainnya yang juga bersiap mengakuisisi perusahaan lain adalah BRI. Bank yang dalam lima tahun terakhir selalu memimpin perolehan laba industri juga tengah mengincar bank lain yang memiliki fokus bisnis sama. Isu yang santer beredar, BRI juga mengincar BTN, selain juga desas-desus akan mengakuisisi Bank Bukopin.
Saat ini, BRI memiliki dua anak usaha anak bank, yakni PT Bank BRI Syariah dan PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk. Rencananya, kata Achmad Baiquni, Direktur Keuangan BRI, BRI Agro akan dimerger dengan bank yang kini menjadi incaran perseroan agar skala anak usaha menjadi lebih besar.
Ada pula Bank Jawa Barat & Banten (BJB). Bank daerah yang serius pindah kelas menjadi bank nasional itu juga berencana mengakuisisi perusahaan asuransi umum dan multifinance pada tahun ini. Bien Subiantoro, Direktur Utama Bank BJB, mengatakan perseroan telah menganggarkan dana sebesar Rp 200 miliar untuk akuisisi kedua perusahaan tersebut. “Kami sudah close to deal, namun belum bisa kami sebutkan namanya," kata Bien .
Sementara itu, Bank BTN, yang tengah menjadi incaran bank lain untuk diakuisisi justru telah bersepakat dengan PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) untuk mendirikan perusahaan joint venture asuransi jiwa. Modal Awal Kedua perusahaan itu menyiapkan dana sekitar Rp 300 miliar untuk modal awal perusahaan asuransi jiwa. Direktur Utama BTN Maryono mengungkapkan, BTN tetap ingin menjadi yang mayoritas.
Ambisi juga datang dari Bank Central Asia (BCA). Bank swasta terbesar ini menargetkan, anak usaha yang bergerak di bidang asuransi jiwa bisa segera beroperasi di semester pertama tahun ini. BCA juga telah memiliki anak usaha yang bergerak di bidang asuransi umum, yaitu PT Central Sejahtera Insurance.
BCA terlihat lebih ingin mendirikan perusahaan sendiri ketimbang mengakuisisi perusahaan asuransi jiwa yang telah ada. Pasalnya, BCA berniat mengembangkan business model calon anak usahanya tersebut sejak mula berdiri nanti. “Banyak perusahaan asuransi jiwa yang menawarkan diri kepada kami untuk joint venture (patungan), tapi kami tidak mau,” imbuh Henry Koenaifi , Direktur Konsumer BCA. Untuk itu, BCA menyiapkan dana sebesar Rp 100 miliar untuk modal minimum sesuai ketentuan.
Ambisi untuk tumbuh secara anorganik juga datang dari Bank Permata. Bank anak usaha Astra International ini berharap bisa merampungkan transaksi penyertaan saham di Astra Sedaya Finance (ASF), yang merupakan sister company-nya.
Herwidayatmo, Wakil Presiden Direktur Permata, berharap bisa menyuntikkan penambahan modal di ASF pada tahun ini juga. Dana dari rights issue dan obligasi yang sudah diterbitkan akan digunakan untuk menambahkan kepemilikan di ASF. Catatan saja, belum lama ini Bank Permata menerbitkan obligasi subordinasi berkelanjutan senilai Rp 1 triliun. Dana obligasi sebanyak Rp 800 miliar disuntikan ke ASF.

Keefektifan Anorganik
Dalam sebuah publikasi triwulanan dari McKinsey, disebutkan bahwa pertumbuhan sebuah perusahaan dibedakan menjadi tiga komponen utama yang mengukur pertumbuhan negatif dan positif.
Pertama adalah momentum portofolio. Istilah tersebut berarti pertumbuhan pendapatan organik yang dicapai perusahaan melalui pertumbuhan segmen pasar, yang mana hal itu terlihat pada portofolionya. Perusahaan dapat mempengaruhi momentum portofolio dalam beberapa cara. Salah satunya adalah memilih akuisisi dan divestasi, yang mempengaruhi eksposur perusahaan untuk menjaga pertumbuhan pasar. Lainnya adalah menciptakan pertumbuhan untuk pasar misalnya, dengan memperkenalkan sebuah kategori produk baru. Momentum portofolio (termasuk efek mata uang) juga berarti sebuah ukuran kinerja strategis.
Kedua, merger dan akuisisi (M&A), yaitu pertumbuhan anorganik yang dicapai perusahaan ketika membeli dan menjual revenue-nya lewat akuisisi atau divestasi.
Ketiga, kinerja pangsa pasar, yaitu pertumbuhan organik yang dicatat perusahaan dengan memperoleh atau kehilangan pangsa pasar. “Kami mendefinisikan pangsa pasar dengan rata-rata tertimbang saham perusahaan dari segmen di mana ia bersaing,” kata publikasi McKinsey.
Banyak pihak yang sepakat bahwa pertumbuhan dalam operasi bisnis yang muncul dari merger atau akuisisi bisa lebih cepat daripada peningkatan kegiatan usaha perusahaan sendiri. Perusahaan yang memilih untuk tumbuh anorganik dapat memperoleh akses ke pasar baru dan ide-ide segar yang akan tersedia jika merger dan akuisisi sukses dilaksanakan.
Karena itu pulalah, bankir-bankir di Indonesia cenderung lebih memilih startegi itu . Berdasarkan hasil survei PwC Indonesia tahun lalu, sebanyak 46 persen dari responden mengatakan strategi anorganik telah masuk dalam rencana bisnis bank. Survei ini ditujukan kepada 82 bankir senior dari berbagai bank, termasuk bank asing. Tingkat representasi responden mencapai 74 persen dari total aset perbankan nasional.
Keuntungan menjalankan strategi anorganik, bank akan memiliki garis kredit yang lebih kuat dan luas karena nilai gabungan dari kedua usaha. Perusahaan juga akan mendapatkan keuntungan dari keahlian tambahan dari personil pada bisnis baru. Bahkan perusahaan dapat menghemat banyak uang untuk memasuki bisnis baru dibandingkan jika harus mendirikan perusahaan sendiri dari nol.
Meskipun metode ini jauh lebih cepat daripada metode pertumbuhan organik, pertumbuhan anorganik membawa risiko yang lebih besar. Hal ini sering sangat mahal untuk membeli sebuah bisnis, bahkan jika bisnis yang diakuisisi dalam kesulitan keuangan. Karena itu, akuisisi harus direncanakan hati-hati untuk memastikan bahwa sebuah usaha itu layak dibeli.
Selain itu, ketika menganalisis akuisisi, adalah penting untuk menyadari bahwa bisnis tidak hanya membeli barang-barang berwujud seperti karyawan, saham dan bangunan, tetapi juga materi intangible seperti reputasi, kekayaan intelektual, kewajiban dan goodwill. Setelah proses akuisisi selesai, proses selanjutnya yaitu integrasi harus hati-hati dikelola sehingga kelancaran transisi berlangsung tanpa kehilangan nilai dalam perusahaan yang diakuisisi.
Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ignatius Soepomo mengatakan bahwa keberhasilan strategi akuisisi tergantung pada dua pihak, baik yang mengakuisisi atau yang diakuisisi. Dalam jangka pendek, kata dia, strategi anorganik bisa meningkatkan aset, namun peningkatan earning merupakan sesuatu yang lain. “Dalam jangka panjang keduanya bisa terjadi (kenaikan aset dan earning). Tetapi tergantung kesehatan perusahaan yang diakuisi. Kalau sama-sama bagus, bisa memberikan  kontribusi untuk earning,” kata Soepomo.
Jadi, apakah itu strategi ‘membangun dari dalam’ maupun ‘membeli lembaga dari luar’, keduanya bisa sama-sama efektif. Meski begitu, keduanya memiliki risiko-risiko tersendiri yang harus secara hati-hati diperhatikan dengan cermat agar bisa berdampak positif kepada perusahaan.