Selasa, 10 Juni 2014

Distorsi Realitas Lapangan

Kata-kata dari judul di atas saya ambil dari buka biografi Steve Jobs, yang ditulis dengan sangat brilian oeh Walter Isaacson, mantan redaktur pelaksana Majalah Time. Dalam buku itu, pendiri Apple, perusahaan paling bernilai abad ini, dinilai seorang yang sangat ahli dalam distorsi realitas lapangan.
Lewat cerita dari orang yang dekat dengan Jobs, Isaacson dalam buku itu menulis, bahwa distorsi realitas lapangan merupakan perpaduan mengagumkan antara dari gaya retorika yang karismatik, kemauan yang tak terkalahkan dan keinginan untuk mengubah fakta apa pun agar sesuai dengan tujuan yang ada.
Kini, di Indonesia, fenomena itu tengah terjadi. Hari-hari belakangan, sadar atau tidak kita sering menemukan apa yang diutarakan Isaacson terkait salah satu ‘kehebatan’ Jobs tersebut. Selentingan kabar, sebaris postingan, broadcasting di gadget, status-status di media sosial, kini dipenuhi dengan kisah, cerita yang kerapkali tampak nyata.
Atau hal lain, isu-isu negatif yang buru-buru dijawab dengan iklan gencar yang diniatkan untuk menganulir kenyataan itu agar tidak menjadi sebuah file dalam kepala orang-orang yang melihatnya, termasuk kita. Sebaliknya, jika itu sesuatu yang menguntungkan, maka disebarkanlah hal itu ke segala arah dengan harapan makin banyak orang yang suka, kesengsem, dan akhirnya memilih calon presiden dan wakil presiden yang diusungnya.
Fakta, dengan kehebatan para ahli yang berjejer di belakang tim sukses calon presiden, serta merta bisa berubah menjadi sesuatu yang baik atau buruk tergantung keinginan dan kepentingan. Padahal awalnya, fakta atau kenyataan sejatinya adalah sesuatu yang netral dan bebas nilai. Namun ketika berkawin-mawin dengan sudut pandang dan kepentingan, hal itu berubah menjadi sesuatu yang berpihak.
Pemilihan umum untuk menentukan Presiden kali ini memang sangat spesial. Belum ada sepanjang sejarah pemilu presiden di negeri ini, hanya ada dua pasang calon yang saling berhadap-hadapan. Di satu sisi, ini menarik, karena pemilu akan lebih efisien tanpa harus berlangsung dua putaran. Namun di sisi lain, polarisasi pendukung menjadi kian nyata dan tidak lagi cair, bahkan cenderung menegang.
Pengkutuban pendukung, mau tidak mau membuat informasi yang mengalir ke publik mengenai satu pasangan calon presiden akan buru-buru mendapat respons dari kubu seberang. Seringkali inilah yang membuat sebagian orang jengah. Semua berita, informasi, keterangan terlihat tampak nyata buat kebanyakan orang. Akan tetapi ketika mendapat sanggahan, orang-orang –dari pihak yang netral, akhirnya mulai berpikir ulang apakah informasi itu adalah fakta yang shahih atau tidak.
Bagi orang-orang yang belum menentukan pilihannya, kondisi jelas membuat mereka makin bingung yang akhirnya bisa membawa mereka kepada keputusan untuk tidak memilih. Akan tetapi bagi yang sudah memiliki preferensi, informasi apapun tidak akan mengubah pilihannya.
Dalam ilmu ekonomi, preferensi adalah sesuatu yang mendorong seseorang melakukan tindakan ekonomi. Preferensi –seperti dikutip dari wikipedia, mengasumsikan pilihan realitas atau imajiner antara alternatif-alternatif dan kemungkinan dari pemeringkatan alternatif tersebut, berdasarkan kesenangan, kepuasan, gratifikasi, pemenuhan kebutuhan, kegunaan yang ada.
Lalu apa yang mendorong para pendukung fanatik itu? Tentu salah satu dari unsur itu. Tidak ada yang misalnya, melihat kemampuan calon dalam mengelola anggaran atau kemampuan mereka dalam menghadapi kepentingan asing yang kerap meminggirkan kepentingan nasional. Tetapi ya sudahlah, semua kenyataan di lapangan sudah terdistorsi sedemikian rupa.
Dalam buku biografi Jobs, Isaacson juga menjelaskan bahwa definisi singkat distorsi realitas lapangan adalah pemutarbalikan suatu fakta. Jika kemudian Jobs, bisa membawa Apple menjadi perusahaan teknologi dengan kemampuannya mendistorsi realitas lapangan, lalu apakah Indonesia bisa dibawa menjadi negara yang dihormati di dunia dengan kemampuan calon-calon presidennya dalam hal itu? Tentu terlalu berisiko untuk mengiyakannya.




Banking Without Bank

Dalam beberapa tahun belakangan, untuk mendapatkan pinjaman, seseorang tidak lagi harus mendatangi bank setelah muncul mekanisme peer to peer lending. Berkat kehadiran Internet, platform pinjaman ini mulai menyebar ke penjuru dunia.
  
Sektor perbankan adalah industri yang selalu berpacu dengan perubahan. Begitu mereka tidak meningkatkan kemampuan untuk mengimbangi perubahan, mereka akan tertinggal. Karenanya, bank selalu berupaya menyesuaikan bisnisnya dengan perubahan. Akan tetapi tampaknya tidak dengan perubahan yang satu ini.
Dalam sepuluh tahun terakhir, di sektor keuangan global muncul fenomena baru yaitu skema pinjaman yang tidak melibatkan pihak lain –terutama bank– dalam mendapatkannya, hanya ada peminjam dan penyedia dana. Platform yang dinamakan peer to peer lending ini mulai marak di Inggris, Eropa dan AS. Akan tetapi, anehnya mekanisme ini belum dikenal oleh kalangan perbankan di Indonesia. Beberapa orang –kebanyakan kalangan perbankan –yang saya tanyakan soal itu mengaku belum pernah mendengarnya. Hal yang sama juga terjadi ketika itu ditanyakan kepada pihak otoritas.
Memang kenyataan itu tidak lantas menjadi gambaran bahwa semua orang yang bekerja di industri perbankan maupun otoritas tidak mengetahui perihal peer to peer lending. Akan tetapi setidaknya, perubahan yang terjadi dan justru yang bisa mengancam eksistensinya, tidak disadari oleh bank sendiri.
Pinjaman peer to peer, menurut laman investopedia, memiliki arti yaitu sebuah metode pembiayaan utang yang memungkinkan individu untuk meminjam dan meminjamkan uang tanpa menggunakan lembaga keuangan resmi sebagai perantara. Pinjaman peer to peer menghilangkan perantara dalam proses mendapatkannya dan juga dikenal sebagai pinjaman sosial.
Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga perbankan memang selalu diterpa masalah hingga masuk dalam pusaran krisis. Bahkan institusi itu kerap dianggap sebagai biang keladi munculnya krisis itu sendiri. Selain itu, bank juga masih terbelenggu oleh kesan yang disematkan oleh masyarakat kepadanya. Pinjaman yang diberikan kepada nasabah harus melalui proses rumit, berbelit dan panjang serta harus menyertakan agunan yang nilainya sama dengan dana yang didapat. Mekanisme tersebut mengurangi kenyamanan peminjam yang ingin mendapatkan dana untuk menjalankan bisnisnya.
Sebagai lembaga intermediasi, bank dinilai mengidap penyakit bawaan mismatch (meminjam uang yang kebanyakan dalam jangka pendek sementara menyalurkan pinjaman dalam jangka panjang). Belum lagi dengan pengenaan bunga berbunga yang kerap mencekik nasabah.
Karena itu tidaklah mengherankan jika sejak awal 2000-an mulai muncul mekanisme baru dalam mendapatkan kredit, apalagi setelah penggunaan internet sudah sangat meluas. Sebut saja, Crowdfunding. Pada dasarnya itu adalah sebuah cara untuk mengumpulkan orang-orang yang perlu dana untuk usaha bersama-sama dengan orang-orang yang mau meminjamkan uang. Cara itu sangat cerdas bagi bisnis, organisasi atau individu untuk mengumpulkan uang tanpa bergantung pada bank dan seringkali mampu menjadi solusi yang bermanfaat bagi individu yang bersedia meminjamkan untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang layak ketika suku bunga di negara-negara maju bertahan di level rendah.
Uang yang akan dipinjamkan tersebut dikumpulkan melalui situs web, yang juga dikenal sebagai platform. Ada dua jenis Crowdfunding; berbasis investasi, dan pinjaman peer to peer.
Yang berbasis investasi biasanya digunakan untuk start up bisnis. Jenis ini menawarkan investor saham atau kepemilikan dalam bisnis sebagai ganti dari uang tunai yang diberikannya.
Pinjaman peer to peer lebih mungkin dilakukan antara individu dan juga memungkinkan uang tersebut untuk dipinjamkan melalui situs web sebagai perantaranya. Sebagai imbalan untuk pinjaman, pemilik dana akan mendapatkan tingkat bunga hingga 7 persen.
Kemudian mulai pertengahan 2000-an, mekanisme pinjaman peer to peer mulai menunjukkan geliatnya dengan munculnya beberapa institusi (kebanyakan berbasis laman web) yang menyokong platform tersebut. Fenomena itu berbarengan dengan meledaknya dampak penggunaan Internet di dunia.

Zaman Modern
Sejatinya, mekanisme pinjaman peer to peer telah ada sejak manusia mulai mencatat peradaban. Hal itu dibuktikan dengan artefak kuno berbentuk tablet dari zaman Hammurabi, penguasa Babilonia, 18 abad sebelum masehi. Artefak itu menunjukkan bahwa pada saat itu sudah ada pembatasan bunga pada pinjaman. (lihat boks: Sejarah Peer to Peer Lending).
Akan tetapi, meski beberapa peradaban setelah itu mengadopsinya meski dengan nama yang berbeda-beda, kemunculan Internet di zaman modern ini telah mengubah wajah pinjaman peer to peer.
Jejaring sosial memiliki dampak yang signifikan bagi platform pinjaman peer to peer. Sebelumnya, ketika seseorang membutuhkan dana, sumber-sumber dana biasanya terbatas hanya pada teman dekat atau keluarga, atau mungkin bank di sekitar. Masalah utama dengan model ini adalah bahwa, cepat atau lambat, teman dan keluarga tidak akan punya uang untuk meminjami, dan bank mungkin ingin mengenakan bunga yang dinilai terlampau banyak. Dan beberapa tahun terakhir, berkat pinjaman peer to peer, ketika seseorang membutuhkan pinjaman, mereka memiliki akses ke orang-orang yang bersedia meminjamkan dana dari seluruh dunia di ujung jari mereka.
Menurut laman Prosper, sebuah perantara pemberi pinjaman peer to peer,  Kiva adalah salah satu laman pinjaman peer to peer non profit pertama yang muncul, yang memungkinkan orang dari seluruh dunia untuk berhubungan dengan investor. Prosper, perantara berikutnya, kemudian bergabung dengan jajaran peer to peer di AS, dan dengan cepat tinggal landas dari sana. Model mereka begitu sukses, bahkan mereka baru-baru ini mengumumkan ekspansi baru ke Jepang. Perusahaan yang berbasis di Inggris, Zopa, juga berkembang, dan sekarang juga sudah melebarkan sayap hingga ke Italia.
Pada zaman dulu, pinjaman peer to peer banyak dicari karena sedikitnya lembaga pemberi pinjaman yang terorganisir, dan karena cara itu juga lebih mudah. Zaman sekarang, konsumen tertarik dalam pinjaman peer to peer karena mereka memiliki pilihan yang jauh lebih banyak dari biasanya dibandingkan jika berhubungan dengan sistem perbankan tradisional.
Alih-alih dipaksa untuk menerima persyaratan standar dan tingkat bunga yang seringkali sangat tinggi, pinjaman peer to peer memungkinkan konsumen untuk mengatur suku bunga maksimum yang sanggup mereka bayar, dan dalam beberapa kasus, tenor mereka sendiri. Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat suku bunga untuk pinjaman peer to peer bisa jauh lebih rendah daripada biaya yang dikenakan oleh bank.
Pinjaman peer to peer di abad ke-21 telah menjadi lebih efisien dengan kemampuan untuk secara cepat memeriksa kriteria kredit dan dengan akses ke komunitas penyedia dana dan peminjam yang jauh lebih luas. Peminjam pada skema peer to peer dapat menyebar risiko mereka sementara peminjam memiliki cara-cara baru untuk mendapatkan dana yang mereka butuhkan.
Di saat bayaran pinjaman menjadi lebih mahal dan konsumen berjuang untuk memenuhi kebutuhan dalam perekonomian saat ini, pinjaman peer to peer muncul sebagai solusi yang menguntungkan. Prospek ekonomi saat ini juga telah memaksa banyak bank untuk memikirkan kembali praktik pemberian pinjaman dari beberapa tahun terakhir, dan standar pinjaman saat ini jauh lebih sulit bagi nasabah untuk mendapatkan. Namun, melalui pinjaman peer to peer, calon peminjam sekarang memiliki alternatif untuk mendapatkan uang yang mereka butuhkan.
Menurut majalah The Economist, pinjaman peer to peer berkembang pesat di beberapa negara. Di Inggris, volume pinjamannya naik dua kali lipat setiap enam bulan. Mereka baru saja melewati angka 1 miliar poundsterling (sekitar Rp19,5 triliun), meskipun masih angka semenjana dibanding total kredit ritel di negeri itu yang mencapai 1,2 triliun pound (Rp23.400 triliun).
Di Amerika dua lembaga penyedia pinjaman P2P, Lending Club dan Prosper memiliki penguasaan pasar mencapai 98 persen. Mereka mengucurkan 2,4 miliar dollar AS (sekitar Rp27.360 triliun) sepanjang 2013, naik dari 871 juta dollar AS (Rp9,9 triliun) di tahun sebelumnya.
Meski begitu banyak juga yang belum mengetahui perihal platform kredit anyar ini. Menurut survey dari PriceWaterhouse Cooper (PwC) hanya 15 persen masyarakat di Kerajaan Modern ini mengaku pernah mendengar mekanisme pinjaman P2P ini, sebaliknya 98 persen mengetahui lembaga bank.
Tantangan lain di Inggris adalah bahwa mekanisme dan juga lembaga kredit P2P tidak sepenuhnya diatur. Namun tahun lalu, otoritas Inggris mulai mengeluarkan aturan untuk memagari platform itu agar tidak memberi ancaman pada sistem keuangan kini dan di kemudian hari. Di AS, nasabah yang menabung untuk pensiun mereka bisa memperoleh potongan pajak pada pinjaman mereka.
Akan tetapi bukan berarti mekanisme P2P lending ini tidak menyimpan risiko. Menurut Gayatri Rawit Angreni, pakar manajemen risiko, ancaman utama pada platform itu adalah soal kepercayaan (trust) dan itu juga merupakan ancaman buat bank. Dalam proses pinjam meminjam unsur karakter dari peminjam mutlak diperlukan dan harus diketahui oleh pihak yang meminjam. Sementara itu, sistem yang sudah establish yang dimiliki lembaga keuangan membuat pengenaan bunga menjadi lebih mudah. Selain itu, secara regulasi, di Indonesia belum ada yang mengaturnya, “nanti bisa disamakan shadow banking,” kata dia.

 ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- 


Box:1
Milestone P2P Lending

Pertengahan 2000-an: sebagaimana dikatakan dalam sebuah laman, Lend Academy, pelopor pinjaman peer to peer dan juga Prosper, laman lainnya, dibuka untuk bisnis pada awal tahun 2006 dan dalam waktu 9 bulan operasi, sudah terdapat sebanyak 100.000 anggota dan mendanai lebih dari 20 juta dollar AS dalam bentuk pinjaman. Lending Club, sebuah perantara yang sekarang menjadi pemimpin pasar, diluncurkan pada tahun berikutnya sebagai aplikasi Facebook.

Mid 2000’s: As per Peter Renton’s valuable website, Lend Academy, peer to peer lending pioneer, Prosper, opened for business in early 2006 and within 9 months of operation, counted 100,000 members and funded over $20 million in loans. Lending Club, now clearly the market leader, launched the following year as a Facebook application.

2008-2009: karena pinjaman peer to peer tumbuh dengan cepat dalam popularitas di AS, otoritas pasar modal, Securities and Exchange Commission (SEC) mulai meminta laman tersebut untuk mendaftarkan pinjaman mereka sebagai promissory notes (surat utang) dengan lembaga tersebut. Situs P2P juga tidak diperbolehkan untuk menarik dana baru selama ‘masa tenang’ itu sampai semua pinjaman terdaftar dengan benar.

2010-sekarang: Setelah selesai masa tenang yang dikenakan SEC, industri pinjaman P2P telah meledak. Ketika platform pinjaman ini telah menemukan pijakan mereka dan telah memperbaiki struktur pinjaman mereka untuk menarik lebih banyak investor, aset mereka mereka pun telah tumbuh. Lending Club, yang diasumsikan mendominasi 75 persen dari pasar AS, telah melihat bisnisnya tumbuh sangat pesat selama periode ini.


Box 2
Sejarah P2P Lending
Sejak diciptakan, manusia telah memiliki keinginan untuk berhasil, untuk mengumpulkan lebih banyak barang, dan untuk selalu memperluas wawasan mereka. Bagi banyak orang, ini juga berarti mendapatkan pinjaman dari teman untuk mengikat mereka sampai panen berikutnya, atau sampai pengiriman barang sampai. Pinjaman peer to peer telah ada selama ribuan tahun, meski tidak selalu disebut dengan nama tersebut. Keberadaannya tetap konstan dan konsep umumnya masih digunakan sampai sekarang.
Asal-usul pinjaman peer to peer telah diperdebatkan secara luas, tapi peradaban pertama di Mesopotamia-lah yang diyakini memiliki pengaruh paling besar terhadap jenis pinjaman. Di masa inilah pinjaman telah dilembagakan dan pembatasan bunga sudah diterapkan.
Sebuah benda kuno berbentuk tablet dari tanah liat di zaman Mesopotamia menunjukkan bahwa pembatasan bunga sebesar 33,5 persen sudah dikenakan pada pinjaman untuk biji-bijian, sedangkan perak sedikit lebih rendah sebesar 20 persen. Aturan-aturan ini diyakini telah dilembagakan pada tahun 1900 SM dan banyak peradaban sekitarnya mengambil konsep ini.
Hammurabi, penguasa Babilonia yang hidup sekitar tahun 1750 SM, juga sangat berperan dalam pengembangan pinjaman peer to peer. Banyak dokumen yang telah dikaitkan dengannya membahas dasar-dasar pinjaman dan bagaimana praktik tersebut harus dilakukan. Dalam Kode Hammurabi, serangkaian tablet pada berbagai subyek, ia menguraikan aturannya soal pinjaman untuk tanaman.
Aturan-aturan tersebut menentukan durasi maksimum sebuah pinjaman, cara pembayaran, serta apa yang pemberi pinjaman bisa lakukan jika tanaman gagal dan tidak ada cara untuk menuntut pembayaran pinjaman. Ini adalah beberapa bukti pertama yang tercatat dari pinjaman peer to peer dan akan sangat mempengaruhi masa depan jenis pinjaman ini.
Sementara itu, konsep jaminan di zaman kuno berbeda dari saat ini. Sebagai contoh, saat itu dapat diterima ketika peminjam menggunakan selir mereka untuk mengamankan pinjaman. Bentuk lain dari agunan waktu itu termasuk tanaman, budak, atau anak-anak bahkan orang itu sendiri.
Maju ke zaman kita saat ini, meskipun pinjaman peer to peer telah berubah terkait perubahan jenis agunan, konsep umumnya masih sama. Adalah jauh lebih mudah untuk mendapatkan pembiayaan ketika berhadapan dengan seorang teman atau tanpa melewati bank. Dan, dalam banyak kasus, suku bunga masih dibatasi –mirip dengan apa yang dibahas Hammurabi dalam tablet-tabletnya.
Semua budaya memang memiliki sejarah mereka sendiri terkait pinjaman peer to peer, tetapi perkembangan abad ke-21 mungkin terbukti menjadi yang paling menarik. Tiba-tiba, orang-orang dari seluruh dunia memiliki kemampuan untuk terhubung secara online, dan membuka peluang baru yang luas bagi pinjaman peer to peer.


Sumber: prosper.com/ berbagai sumber.

Jumat, 06 Juni 2014

Titik di Peta Keuangan Dunia

Keinginan untuk menciptakan sebuah bank berskala besar dan mampu bersaing di tingkat regional sejatinya mulai mendekati kenyataan. Namun keputusan untuk menyatukan Bank Mandiri dan BTN tampaknya akan membentur tembok besar.

Sudah sekian lama industri perbankan Indonesia seperti tak terlihat dalam peta persaingan sektor keuangan regional, apalagi dunia. Kompetitor-kompetitor dari negeri jiran terutama Singapura dan Malaysia, adalah tabir penghalang pandangan teropong finansial dunia ke Indonesia. Ironisnya, bank-bank negara tetangga itu, dalam beberapa belas tahun pasca pulihnya sektor keuangan nasional dari krisis moneter ’98, justru banyak menggarap lahan perbankan di Tanah Air.
Kini, upaya untuk memunculkan titik pada peta industri keuangan dunia muncul lagi setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan mengungkapkan, pada bulan lalu, akan menyatukan dua bank pemerintah yang selama ini memang dirumorkan akan digabungkan. Kedua bank itu adalah Bank Mandiri dan Bank Tabungan Negara.
Kehebatan BTN dengan Mandiri, Indonesia langsung punya bank yang melebihi bank di Malaysia. Selama ini bank kita nggak masuk peta Asia Tenggara. Bank terbesar pertama ya Singapura, terbesar kedua Malaysia, terbesar ketiga ya Thailand, kata Dahlan.
Sebelum rencana mengagetkan itu diutarakan Dahlan, beberapa bulan terakhir memang sudah berkembang isu bahwa BTN akan disatukan dengan bank BUMN lainnya yaitu Bank Mandiri atau BRI. Kedua bank yang disebut terakhir itu memang sudah terang-terangan siap mengakuisisi BTN yang menguasai pasar kredit perumahan.
Dan rumor itu akhirnya beroleh kejelasan setelah pemegang saham mayoritas yaitu pemerintah dalam hal ini diwakili Kementerian BUMN, menyebut BTN bakal diakuisisi Bank Mandiri.BTN menjadi anak usaha Mandiri. Jadi BTN nggak dihilangkan dan nggak dilebur tapi diperkuat. Ini masih tahap awal tapi akan dijalankan, kata Dahlan.
Walaupun, skema akuisisi tersebut belum terang karena masih digodok oleh pemerintah namun hitung-hitungan dampak penggabungan itu bagi bisnis perbankan dan perekonomian sudah bisa tampak nyata.
BTN adalah bank yang sedari awal berdiri tahun 1974 ditugaskan untuk membiayai sektor perumahan yang menjadikannya hingga kini, sebagai jawara di sektor kredit pemilikan rumah (KPR).
Hanya saja, dengan modal saat ini, BTN terlihat sulit untuk terus menyediakan pembiayaan perumahan karena masih ada kekurangan penyediaan rumah dibandingkan kebutuhan yang ada (backlog) sebanyak 15 juta unit. “BTN harus dapat kuda besar, jangan lari kencang naik keledai," kata Dahlan.
Dan kuda besar yang dimaksud adalah Bank Mandiri. Berdasarkan laporan keuangan 2013, BTN memiliki aset senilai Rp 131,2 triliun. Sementara Bank Mandiri masih menjadi bank dengan aset terbesar di Indonesia, yaitu Rp 733,1 triliun. Dengan campur tangan Bank Mandiri, BTN diharapkan bisa penuhi permintaan perumahan.
Sementara keuntungan lainnya, pasca akuisisi BTN, Bank Mandiri akan menjadi sebuah bank berskala besar yang diharapkan bisa bersaing di level regional, seiring dimulainya ASEAN Economic Community 2015. 
Lantas apakah niat menjadikan BTN lebih besar dan jalan Bank Mandiri lebih lapang untuk bersaing di pasar global berjalan mulus? Jawaban sekenanya tentu saja tidak jika melihat beragam aksi dan pandangan yang menolak proposal akusisi tersebut. Alasannya, sejarah BTN dengan core business di pembiayaan rumah murah akan hilang jika diambil Bank Mandiri. Isu lain lebih ke persoalan strukturan seperti kekhawatiran terjadi PHK dan pengurangan gaji.
Lebih dasyat lagi adalah pendapat yang mengkhawatirkan terjadinya politisasi dari kebijakan akusisi ini. Pasalnya, Menteri Dahlah sendiri merupakan salah satu peserta konvensi calon presiden di partai penguasa saat ini. Ditakutkan proses akuisisi tersebut hanya dijadikan bancakan politik dalam memuluskan proses pencapresan tersebut.
“Karena setiap pemilihan presiden selalu ada sektor keuangan yang jadi korban. Mulai dari privatisasi jelang pemilu 1999, kasus pajak BCA jelang 2004, dan skandal Century di 2008. Jangan sampai akusisi BTN jadi mainan capres 2014,” kata pengamat ekonomi Ichsanudin Noorsi.
Sejatinya baik visi bisnis yang posisif dan beragam pandangan yang mengkhatirkan politisasi terkait proses akusisi ini merupakan sesuatu dialektika yang wajar dan sama-sama mempunyai manfaat bagi para pengambil keputusan. Terutama bahwa adal peringatan untuk lebih mengutamakan kajian yang kuat dari sisi manajemen risiko, sebeluh keputusan akusisi benar-benar diambil secara bulat.

Butuh Kuda Besar
Untuk mengingat kembali, rencana akuisi BTN sejatinya merupakan isu lama yang kembali bergulir. Pada tahun 2005, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) berencana mengakuisisi saham pemerintah di BTN. Saat itu Menteri BUMN dijabat oleh Sugiharto. Sugiharto menyebut proses akuisisi akan tuntas akhir 2005. Namun hingga berjalannya waktu, rencana akuisisi menguap.
Setelah tenggelam beberapa tahun, rumor akuisisi BTN kembali muncul ke permukaan pada awal 2014. Kali ini diisukan BTN bakal diakuisisi oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) dan Bank Mandiri. Namun rumor ini sempat dibantah oleh kedua perbankan termasuk juga pemegang saham mayoritas yakni Kementerian BUMN.
Namun rumor kemakin santer pada pertengahan April 2014. Seorang pejabat Kementerian BUMN membenarkan akuisisi BTN. Mandiri sebagai kandidat kuatnya. Bahkan setelah akuisisi BTN selanjutnya dilanjutkan proses akuisisi BNI oleh Bank Mandiri.
Kepastian akusisi BTN akhirnya menuai titik terang. Menteri BUMN Dahlan Iskan mengumumkan rencana akuisisi BTN pada tanggal 17 April 2014. Dahlan menyebut 2 kandidat perbankan BUMN yang akan mengakuisisi BTN. Bank BUMN tersebut adalah Bank Mandiri dan BRI. Namun Dahlan lebih condong ke Bank Mandiri.
Pasalnya akuisisi BTN tidak hanya untuk memperbesar kemampuan BTN di dalam pembiayaan sektor perumahan.  Sebab BTN sebagai anak usaha Bank Mandiri bakal memiliki kemampuan permodalan yang lebih kuat. BTN akan memperoleh suntikan dari induk.
Maka dari itu, Dahlan tidak gentar meski mendapat penolakan dari banyak pihak, salah satunya adalah pegawai BTN yang sudah merapatkan barisan menolak rencana pembelian saham antar dua bank itu. Dijelaskan dia, dalam aksi korporasi ini sebenarnya BTN yang merasa butuh untuk dicaplok oleh bank besar. Karena BTN bisa tumbuh besar jika dibeli oleh saudaranya yang lebih besar.
Selain itu, Bank Mandiri sebagai induk juga akan tumbuh besar pasca akuisisi. Bank Mandiri akan menjadi jawara regional yang berpeluang mengalahkan pesaing-pesaingnya di ASEAN. Saat ini total saham pemerintah di BTN mencapai 60,14 persen dan sisanya dimiliki oleh publik. Saham pemerintah itu yang akan dialihkan ke Bank Mandiri.
Dari sisi aset, masuknya BTN dalam konsolidasi akan memperbesar aset mandiri mendekati Rp1.000 triliun. Pasalnya, dengan aset BTN yang sebesar Rp 131,2 triliun, ditambah aset Bank Mandiri sebesar Rp 733,1 triliun, maka konsolidasi aset Mandiri melampaui Rp850 triliun. Kondisi ini bisa menjadikan Mandiri lebih percaya diri di ranah global.
Pengamat Ekonomi Aviliani pun mengakui akusisi bank BTN oleh Mandiri akan mampu mendorong terciptanya bank BUMN yang bisa bersaing di tingkat internasional. “Justru menguatkan BTN itu sndiri.” Namun ia menyayangkan komunikasi yang masih kurang, sehingga banyak menimbulkan keresahan atau salah paham, termasuk tuntutan dari serikat buruh.
Dukungan juga datang dari bank sentral, yang memang sangat mendambakan terjadinya konsolidasi perbankan agar lebih efisien. Seperti dikatakan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo, bahwa konsolidasi perbankan dapat meningkatkan daya tahan perbankan nasional.
Dia menyebutkan sejumlah peningkatan kesehatan dari konsolidasi ini, antara lain sisi modal, manajemen baik, dan pertumbuhan dengan prinsip kehati-hatian. Meski begitu bank sentral menyerahkan sepenuhnya pada dua institusi terkait. Sebab, kegiatan merger atau akuisisi hanya dapat terwujud jika ada potensial pembeli dan potensial penjual. "Jadi keduanya harus harmonis. kalau diyakini memberi nilai tambah, mereka akan memberi keputusan mengenai hal ini," tambah dia.
Secara umum, BI sebagai otoritas makroprudensial menilai rasio kecukupan modal perbankan dalam kondisi baik di level 19,78 persen. Begitu juga rasio kredit bermasalah atau non performing loan/NPL yakni di tingkat 1,99 persen. Posisi CAR Mandiri di 2013 berada di level 14,93 persen dengan rasio NPL net 0,58 persen. Sementara CAR BTN di 2013 sebesar 15,62 persen dengan rasio NPT net 3,04 persen.
Sementara itu para pelaku perbankan juga mendukung rencana pemerintah melepas saham di BTN kepada Bank Mandiri. Dikatakan Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menyatakan akuisisi Bank Mandiri terhadap BTN akan menguntungkan kedua bank tersebut.
Saat ini BTN memiliki kekuatan dalam hal penyaluran KPR. Sementara Bank Mandiri di sektor korporasi, sehingga perusahaan bisa lebih memperluas cakupan bisnisnya. "Kedua bank tersebut bisa bersinergi dengan sangat bagus dan saling melengkapi satu dengan yang lain," kata dia.
Sebagai bank dengan fokus pada kredit perumahan, BTN selama ini terus terkendala modal dan sumber pendanaan yang kian terbatas. Hal ini tercermin dari tingginya tingkat loan To deposit ratio (LDR) yang mencapai 104,4 persen di atas ketentuan BI. Selama 2013, total dana pihak ketiga BTN sebesar Rp 96,2 triliun di mana mayoritas yaitu 54,9 persen merupakan dana mahal.
Kekurangan-kekurangan itulah yang dinilai bisa ditutupi oleh Bank Mandiri yang memiliki kekuatan modal dan sumber dana pihak ketiga yang besar. Sampai 2013, Mandiri memiliki modal sebesar Rp 82,4 triliun, yang terbesar di antara Bank BUMN lainnya. Sementara dari total dana pihak ketiga mencapai Rp 556,3 triliun di tahun 2013, dan sekitar 60 persnnya atau Rp359,9 triliun merupakan dana murah.
Di sisi lain, kalangan pelaku perbankan juga menilai akuisisi Bank Mandiri terhadap BTN juga akan menguntungkan pemerintah. Dengan melepas saham pemerintah ke bank BUMN, pemerintah akan tetap memiliki kontrol penuh terhadap fungsi dan peran strategis BBTN sebagai bank yang fokus mendukung penyediaan rumah bagi masyarakat.
Analis IndoPremier Securities Stephan Hasjim mengungkapkan BTN dan Bank Mandiri akan sama-sama diuntungkan dari proses akuisisi. Bank Mandiri akan bisa memperluas portofolio kredit ritel, terutama KPR. Akuisisi ini juga sejalan dengan rencana strategis Bank Mandiri selama lima tahun (2009-2014). Pada periode tersebut, Mandiri menargetkan porsi kredit ritel naik menjadi 40 persen di tahun 2014. Pada tahun 2013 lalu, porsi kredit ritel Bank Mandiri telah mencapai 31 persen.
Diakui Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin, bahwa masuknya Bank Mandiri ke bisnis kredit retail seperti KPR justru akan memperkuat portofolio bisnis perseroan. "Belajar dari krisis 1998, 2003, 2005, 2008. Jangan punya portofolio hanya satu. Dulu bank pemerintah yang fokus korporasi jatuh. Jangan jatuh di satu portofolio. Nanti dia bahaya. Dia harus diversifikasi. Bukan untuk ambisisi. Ini masalah diversifikasi, terang dia.
Menjawab kekhawatiran pegawai BTN, Budi menjelaskan akan ada koordinasi dan komunikasi dengan jajaran direksi hingga karyawan BTN. Hal ini dilakukan supaya proses akuisisi berjalan lancar. Dalam hal ini Budi memastikan tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Sigit, dari Perbanas menambahkan bahwa mengingat aksi bisnis ini merupakan akuisisi, bukan proses penggabungan (merger) maka karyawan BTN tidak perlu khawatir, sebab akuisisi ini justru akan lebih menguatkan BTN.






Kamis, 05 Juni 2014

Right Idea in The Wrong Time

 Akhir-akhir ini perkembangan begitu cepat berlangsung. Isu baru cepat sekali muncul, pun seperti kemunculannya, isu itu tenggelam digantikan isu lainnya. Kondisi itu akan terus berlangsung dalam beberapa waktu ke depan, minimal hingga pemilihan umum presiden.
Menjelang perhelatan politik akbar itu, apapun yang muncul akan dikaitkan dengan politik. Semua langkah adalah langkah politik, setiap ucapan adalah ucapan politik. Meskipun di antaranya ada yang benar-benar diniatkan untuk kemajuan perekonomian dan peningkatan daya saing. Satu yang paling kentara dan termutakhir adalah soal rencana penggabungan BTN dan Bank Mandiri dalam skema akuisisi yang dilontarkan Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Keduanya adalah bank milik negara, yang artinya pemegang saham terbesarnya adalah rakyat yang direpresentasikan oleh presiden. Dalam pekerjaan bidang tersebut hal itu diwakili oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Singkat kata, dalam mekanisme keterwakilan, bisa dibilang langkah Dahlan yang mendorong Bank Mandiri mengakuisisi BTN tidak melanggar apapun.
Dalam benak mantan Dirut PLN itu, Indonesia harus punya bank yang memiliki aset Rp1.000 triliun secepatnya. Mengapa secepatnya? Karena mulai tahun depan Indonesia bagai sebuah rumah dengan pintu yang semuanya terbuka, dan semua tetangga di ASEAN yang ingin merasakan pasar yang sangat besar, boleh masuk.
Mengapa Rp1.000 triliun? Di kawasan Asia Tenggara, bank-bank Singapura masih memimpin jajaran bank beraset tergemuk, dan jika hasil strategi anoganik Bank Mandiri-BTN terwujud, aset bank itu minimal bisa seperempat bank-bank macam DBS, UOB ata OCBC.
Singapura dan Malaysia sudah terlebih dahulu melakukan strategi anorganik seperti itu demi mendongkrak aset dan menguasai pasar sektor keuangan minimal di negerinya sendiri. Kemudian, karena Indonesia adalah pasar terbesar, mereka pun mulai mengincar pasar keuangan di Indonesia. Strategi itu juga bisa dipakai untuk menguatkan strategi penjualan silang (cross selling) dan juga mengefektifkan biaya operasional (menekan BOPO).
Konsolidasi dengan cara merger dan akuisisi sejatinya merupakan strategi yang lumrah untuk mendongkrak aset. Apalagi, sebagai negara dengan penduduk terbesar yang dapat menyerap produk dan layanan perbankan di Asia Tenggara, Indonesia sudah sepantasnya memiliki bank besar, dan itu harus diwujudkan secepatnya. Pasalnya, strategi konsolidasi dengan mekanisme pasar –yang sudah diskemakan Bank Indonesia –sejak sepuluh tahun terakhir ini belum juga menunjukkan hasil. (Selain itu, rencana mengonsolidasikan bank-bank pelat merah dalam lima tahun terakhir ini juga selalu menemui jalan buntu.)
Akan tetapi tampaknya, rencana Dahlan itu bisa disebut “right idea in the wrong time”. Keinginan itu dianggap hanya melihat sisi prestise saja, sedangkan masalah intinya tidak dituntaskan: penguatan modal dan pemenuhan kebutuhan rumah murah.
Selain para pengeritik mengatakan bahwa jika ingin membuat bank besar kenapa tidak sekalian saja menyatukan Bank Mandiri dan BNI. Bukankah kedua itu memiliki segmen bisnis yang mirip? Atau lain hal, kenapa BTN tidak disatukan dengan BRI, yang asetnya berpotensi menyalip Bank Mandiri? Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya.
Entah karena para pengeritik itu atau tidak, pada akhirnya rencana konsolidasi itu pun harus tertunda hingga Indonesia punya presiden baru. Dengan kata lain, langkah Dahlan dinilai politis. Dahlan –yang merupakan calon presiden pada konvensi salah satu partai politik petahana– dianggap memanfaatkan waktu genting (injury time) menjelang pemilihan presiden ketika memutuskan untuk menyatukan dua bank BUMN itu.

Di Indonesia, saga seperti itu kerap terjadi. Di sini, kita terlalu sering berdebat tanpa banyak melakukan apa-apa. Bisa jadi, seperti yang dikatakan Rhenald Kasali, pakar manajemen, bahwa kita terlalu banyak memiliki thinker (pemikir) ketimbang doer (pekerja). Atau, lebih parah lagi, kita terlalu banyak memiliki pengkritik atau pengecam.

Melapangkan Jalan Kembali ke Khittah

Bank daerah harus melihat kembali tujuan awal pendirian agar bisa menentukan langkah ke depan. Sebaliknya, otoritas juga harus terus memberi dukungannya pada bank daerah.
  
Jika kita mulai merasa menjauh dari tujuan, sebaiknya kita kembali ke titik awal. Dari situ kita bisa melihat arah lebih baik dan kembali menentukan langkah.
Tujuan awal pendirian bank daerah adalah untuk membantu mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah di segala bidang serta sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, tujuan itu kemudian bergeser. Bank-bank yang banyak didirikan pada dekade 60-an itu dinilai ‘meninggalkan’ daerahnya ketika menjelang akhir 90-an tak kunjung memperlihatkan kinerja baik. Bank daerah tidak mampu untuk membuat perekonomian daerah bergerak lebih cepat meski memiliki cukup bekal.
Kekecewaan memuncak ketika bandul politik memihaknya seiring dengan munculnya kebijakan otonomi daerah hampir 15 tahun lalu, tak mampu membuat kinerja BPD meroket. Besarnya aliran duit lewat lewat dana alokasi (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) tak jua mampu membuat peran bank daerah meningkat. Padahal waktu itu, sebagai kasir pemerintah daerah, BPD mendapat kiriman dana yang tak sedikit dari keputusan politik tersebut.
Hal itu pulalah yang membuat gerah bank sentral –pengawas perbankan ketika itu, hingga meluncurkan program BPD Regional Champion (BRC) karena menilai lonjakan dana itu tidak membuat manajemen bank lebih kreatif dalam menjalankan usaha dan mendorong perekonomian daerah. Selain tingkat pertumbuhan kreditnya yang seret, manajemen hanya berkutat pada strategi menggarap pegawai negeri di lingkungan pemda sebagai pasar kredit potensialnya.
Padahal banyak sektor perekonomian di daerah yang bisa digarap oleh BPD, mulai dari perkebunan, agroindustri, perikanan, pertambangan, perdagangan, hingga konstruksi. Belum lagi proyek-proyek BUMN yang berada di daerah. Bahkan kalau mau jujur, sebenarnya BPD bisa mengungguli bank-bank besar lain yang beroperasi di daerah karena lebih cepat memproses kredit. Namun ya itu tadi, manajemen kurang kreatif dalam menggarap potensi-potensi tersebut.
Maka dari itu, dalam program BRC, Bank Indonesia meminta bank-bank agar memperbesar porsi kredit pada sektor-sektor produktif serta meningkatkan fungsi intermediasi khususnya pada sektor usaha kecil dan mikro (UMKM).
Selain itu, dalam program yang diluncurkan akhir 2010, bank harus meningkatkan kemampuan dalam melayani kebutuhan masyarakat setempat. Poin itu berisi program standardisasi dan peningkatan kualitas pegawai dan perluasan jaringan kantor untuk mendukung terwujudnya sistem keuangan yang inklusif dengan meningkatkan akses seluas luasnya kemasyarakat setempat melalui pencipataan produk dan jasa yang semakin variatif dan unggul.
Kini, program BRC menjelang sampai pada batas akhir masa kedaluarsanya. Jika dilihat indikator-indikator keuangan setelah adanya program itu, memang harus diakui prestasi bank daerah ada kenaikan. Dalam dua tahun belakangan, laba seluruh bank daerah meningkat pesat. Sepanjang 2013 perolehan keuntungan mereka meninggalkan jenis bank lainnya di tengah ketatnya likuiditas akibat perlambatan kredit pada tahun lalu. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia hingga Desember 2013 yang dipublikasikan Otoritas Jasa keuangan (OJK), tercatat kinerja laba bersih tumbuh 19,98 persen menjadi Rp10,73 triliun.
Sepanjang periode tahun 2013, pertumbuhan laba bersih BPD itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan laba seluruh perbankan yang mencapai 17,33 persen.
Pencapaian itu tentu cukup mengagetkan karena tahun lalu industri perbankan terbelit kesulitan likuiditas dan kesulitan menggenjot pertumbuhan laba sepanjang karena ada turbulensi di pasar keuangan.
Selain itu, sektor keuangan juga sempat mengalami guncangan setelah dana-dana asing mendadak kabur pada paro pertama tahun lalu, karena isu penghentian program stimulus di AS. Bank sentral meresponsnya dengan memperketat kebijakan moneter dan meneruskan langkah menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate, yang sudah dimulai beberapa bulan sebelum guncangan ekonomi itu. Total kenaikkan BI Rate sejak mencapai 175 basis poin.
Hal tersebut kemudian memicu perlambatan penyaluran kredit perbankan sehingga menahan pertumbuhan laba bersihnya.

Modal vs Peran BPD
                                  
Kembali kepada tujuan program BRC. Harus diakui inisiatif Bank Indonesia yang diluncurkan Desember 2010 dan dihadiri oleh hampir seluruh stake holder, cukup ampuh untuk memacu kinerja bank-bank regional. Saat itu, selain, para wakil BPD, acara juga dihadiri Wakil Presiden Boediono, Gubernur Bank Indonesia ketika itu Darmin Nasution, Mendagri Gamawan Fauzi, seluruh gubernur dan Ketua DPRD tingkat I.
Dalam hal aset, sejak Desember 2010, dari 26 BPD, baru ada satu bank yang bisa menembus Rp50 triliun yaitu Bank Jabar Banten yang melakukannya pada 2011 ketika memutuskan untuk menawarkan saham ke publik lewat initial public offering (IPO). Lalu ada dua bank yang bisa menembus aset Rp 10 triliun. Sementara sisanya masih berkutat di kisaran Rp1 triliun hingga Rp50 triliun.
Aset keseluruhan BPD pada Januari 2014, telah mencapai Rp388,11 triliun atau meningkat 8,5 persen dibandingkan posisi Januari 2013. Jika dibandingkan dengan bank-bank yang memiliki aset terbesar di Tanah Air, capaian bank-bank daerah itu berada di strip keempat, setelah Bank Mandiri, BRI dan BCA.
Selain itu, kinerja kredit dalam lima tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Pada Januari lalu, posisi kredit BPD seluruh Indonesia mencapai Rp261,43 triliun atau meningkat sebesar 16,5 persen dibandingkan posisi Januari 2013 yang mencapai Rp218,30 triliun.
Sedangkan dana pihak ketiga (DPK) bank-bank regional juga mengalami pertumbuhan. Sepanjang 2013 total DPK tumbuh sebesar 3,29 persen. Modal inti pada Januari tahun ini telah mencapai sebesar Rp44,87 triliun, meningkat sebesar 17,4 persen dibanding posisi setahun sebelumnya.
“Dengan prestasi dan pertumbuhan kinerja BPD secara nasional maupun lokal saat ini, kami optimistis mampu menjadi garda terdepan pembangunan ekonomi daerah untuk mendukung program Pemerintah menciptakan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat daerah yang secara kolektif akan menurunkan tingkat kemiskinan secara nasional dan meningkatkan kesejahteraaan bangsa,” ujar Ketua Umum Asbanda, Eko Budiwiyono, yang juga Direktur Utama Bank DKI.
Kata-kata penuh semangat yang diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Bank Daerah (Asbanda) saat penarikan undian tabungan khas BPD itu memang tidak terlalu berlebihan. Akan tetapi jika melihat fakta yang ada, bisa jadi keyakinan Asbanda itu bisa mengkerut.
Dalam empat tahun terakhir, BPD memang terlihat cukup agresif mengembangkan jaringan bisnisnya keluar tapal batas daerahnya. Setidaknya ada 14 dari 26 BPD yang telah membuka cabang di daerah lain terutama di Jakarta. Alasan utama mereka melakukan ekspansi tersebut antara lain karena ingin mendekati dan memberi kemudahan bertransaksi kepada nasabah asal daerah mereka yang berada di luar daerahnya. Lainnya, untuk mempermudah jaringan kerja sama antar pemerintah daerah ataupun antara pemda dan pemerintah pusat, misalnya untuk menggarap pasar kredit sindikasi di suatu daerah tertentu.
Pertanyaannya kemudian, apakah alasan ini cukup dijadikan justifikasi untuk mengembangkan jaringan bisnis hingga ke luar daerahnya? Bukankah tujuan utama bank adalah untuk mendorong perekonomian daerah? Sejumlah kalangan menilai bahwa pembukaan jaringan kantor cabang oleh BPD ke luar daerahnya kurang optimal. Bank dinilai akan menghadapi masalah kompetensi baik dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan teknologi informasi (TI) yang selama ini merupakan permasalahan klasik yang kerap kali di hadapi oleh BPD.
“Terbatasnya jumlah tenaga profesional, kualitas pelayanan nasabah yang belum prima dan core banking system yang belum optimal dalam men-support pengembangan produk atau layanan baru, dapat menjadi masalah serius yang akan dihadapi BPD setelah pembukaan cabang,” tulis Satya Anggraeni, seorang staf pengajar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia dalam sebuah kolomnya di majalah ini beberapa edisi lalu.
Dengan kondisi itu, strategi ekspansi BPD ke luar kandang berpotensi menjadi investasi yang mubazir karena pemanfaatan yang tidak optimal. Manajemen BPD dinilai melihat pencapaian titik impas –yang kerap digadang-gadang sebagai capaian kinerja cabang luar daerah– hanya  dari sisi kredit, namun tidak pada sisi funding. Untuk memenuhi target pendanaan, BPD harus bekerja mati-matian dan menghadapi barikade jaringan kantor bank-bank raksasa yang sudah lebih dulu diketahui nasabah setempat.
Selain itu, menurut Satya, bank-bank daerah juga alpa dalam memasukkan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagai prioritas. Padahal sebagian besar karyawan di BPD merupakan putra daerah yang sudah pasti memiliki bahasa yang sama dengan kebutuhan daerahnya. “Ada aspek emosional yang bermain di sana.”
Jika saja bank daerah menjadikan UMKM prioritas pembiayaan –di samping kredit untuk pegawai negeri setempat, maka tidak sulit bagi BPD mendapatkan nasabah loyal. Usaha mikro sejatinya adalah lahan yang sangat menguntungkan bagi bank daerah namun belum digarap maksimal.
Padahal saat ini jika diamati, bank-bank besar justru sangat berselera dengan pasar UMKM dengan mendirikan berbagai layanan mikro di pasar-pasar di setiap pelosok daerah. Sebut saja, Bank Danamon, Bank Mandiri, terutama BRI.
Dengan kata lain, jika BPD bisa memaksimalkan kedekatan emosional dalam pemberian kredit UMKM, bukan hal yang sulit untuk memenangkan persaingan dengan bank yang lebih besar. Namun demikian, pengelola bank daerah seringkali menggunakan alasan keterbatasan modal untuk menggencarkan strategi pembiayaan mikro. Pinjaman kredit dengan jumlah kecil-kecil dan tersebar di banyak debitur memerlukan sumber daya dan dana yang tidak kecil untuk me-maintain-nya.
Memang harus diakui bahwa modal merupakan momok yang paling menakutkan bagi BPD. Dari 26 bank pembangunan daerah (BPD) yang ada di Indonesia, sekitar separuhnya masih memiliki modal inti di bawah Rp 1 triliun. Sedangkan BPD yang memiliki modal inti di atas Rp5 triliun tercatat hanya satu BPD. “Masalah utama di BPD memang permodalan,” kata Eko, ketua Asbanda.
Di sisi lain, mengharapkan share holder untuk menyuntik dana besar ibarat pungguk merindukan bulan, karena sangat sulit bagi sebagian besar pemerintah daerah bersedia melakukan itu.
Karena itulah tidaklah mengherankan jika wacana mencari dana di pasar modal mulai menjangkiti manajemen BPD, terutama pasca otoritas meluncurkan program menjadi jawara di daerah.
Meski begitu, keinginan itupun tak mudah diwujudkan. Banyak pemerintah daerah khawatir jika BPD melakukan penawaran umum saham perdana justru akan mengikis kepemilikan mereka di bank. Sampai sekarang baru dua BPD yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), yaitu PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) dan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (BJTM).
Lalu bagaimana BPD mau berperan lebih besar pada perekonomian jika modalnya selalu pas-pasan? Singkat kata, meski program BRC sudah dibilang cukup berhasil, namun tetap harus disinambungkan agar cita-cita BPD menjadi mesin pendorong pertumbuhan pembangunan daerah di segala bidang bisa terus berlanjut. Jadi perlukah diluncurkan program BRC tahap kedua? Jawaban yang paling mungkin adalah perlu.