Senin, 22 September 2014

Pemimpin dan Solusi

Kita sering mengatakan bahwa seorang pemimpin, orang-orang yang hebat, atau mereka yang berhasil dalam kehidupannya sekarang, mampu mencapai posisinya itu, karena jauh sebelumnyasudah  melewati lembah terdalam dari kehidupan itu sendiri. Lalu mereka bangkit dengan kegigihan dan nasib baik. Mereka “adalah orang-orang yang bangkit dari nol,” kata Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers.
Mantan reporter di Koran Washington Post itu, namun demikian, sekaligus juga memberi sanggahan. Orang-orang tersebut mungkin terlihat terlihat melakukan semua itu sendirian hingga bisa berdiri di tempatnya saat ini. “Tetapi sebenarnya mereka tanpa terkecuali, adalah penerima berbagai keuntungan yang tersembunyi, kesempatan yang luar biasa…,” kata Malcolm. Dan saya mungkin bisa menambahkan satu lagi untuk saat ini: bantuan media.
Akan tetapi kita sudah terlanjur mencintai dan mempercayai bahwa memang ‘jagoan’ memang seharusnya muncul dari kesulitan tingkat tinggi dan dengan itu mengantarkannya pada kemampuan untuk ‘menyelamatkan dunia’.
Kita mungkin terlalu romantis dan melankolis dalam menyimpulkan itu, karena terbuai dengan cerita-cerita heroik klasik dalam novel-novel atau film-film yang menggambarkan seseorang yang mampu mencapai kesuksesan dengan kombinasi keberanian dan inisiatif. Bahkan setiap tahun kita juga sering disajikan sederet otobiografi dari para pengusaha, jutawan, selebritas, politisi sukses yang di dalamnya digambarkan bahwa mereka lahir dalam kehidupan sederhana (bahkan sengsara). Dan lalu dengan kegigihan serta bakatnya, mereka kemudian meraih kesuksesan.
Demikian kisah itu didramatisir sedemikian rupa sehingga menampakkan pahlawan kita ini menjadi sosok yang sangat baik dan hampir tak mungkin berbuat kekeliruan. Jika pahlawan kita ini kemudian melakukan sesuatu yang merugikan maka hal itu berarti bukan kesalahannya namun karena kesalahan orang lain yang ditimpakan kepadanya.
Dramatisasi itu kemudian dilakukan dengan menggunakan kekuatan media. Ya, di zaman modern ini, kesuksesan seseorang atau ‘dia’ yang dipuja dan dianggap pahlawan tak akan bisa berhasil tanpa campur tangan media terutama televisi. Bahkan saat ini, medialah yang menciptakan pahlawan itu, dan bisa menentukan siapa pahlawan dan siapa penjahatnya.
Media, dengan kekuatan yang masif pula bisa membuat sesuatu yang tadinya tidak berarti apa-apa menjadi sangat penting bagi masyarakat dengan cara mengulang-ulang hal yang sama. Dengan cara sebaliknya, media bisa menenggelamkan hal yang penting dengan meniadakan hal itu di muka halaman medianya.
Biar begitu, publik masih bisa melihat aura pemimpin yang sebenarnya. Pemimpin adalah dia yang memiliki kemampuan ‘menaiki pohon yang tinggi’ dan melihat kondisi yang terbentang di hadapannya. Dengan itu dia bisa memberikan arah yang benar kepada orang-orang yang dipimpinnya.
Pemimpin adalah jika ada masalah yang datang padanya, yang sebenarnya bukan masalahnya dan bukan pula disebabkan olehnya, dia tetap mampu memberikan solusi atas masalah itu. Dan Indonesia tengah membutuhkan pemimpin seperti itu ketika polemik mengenai subsidi bahan bakar minyak (BBM) kembali muncul dan diulang-ulang oleh media.
Pemimpin sekarang, alias Presiden terpilih perlu membuktikan diri bahwa dia mampu memberikan solusi atas polemik subsidi BBM. Subsidi adalah persoalan yang terus berulang dan akan terus berulang. Selain itu tidak ada yang salah dalam praktik negara memberikan subsidi kepada rakyatnya karena hal itu juga dilakukan oleh negara lain. Jadi bukanlah sesuatu yang ‘haram’ jika pemerintah memberikan subsidi kepada rakyat, sebagaimana ayah kepada anak-anak-anaknya.
Ketimbang melempar-lempar tanggung jawab siapa yang akan menaikkan harga BBM sebagai langkah mencabut subsidi, alangkah lebih baik jika potensi itu digunakan untuk mencari solusi mengurangi beban konsumsi BBM. Pertanyaannya kemudian, apakah solusinya? Saya kira hanya pemerintah melalui Presiden yang bisa menjawabnya.


Menghindari Faktor Kejutan

Pendekatan baru dalam mengelola risiko di indsutri keuangan telah muncul. Combined assurance dinilai sebagai metode paling komprehensif untuk memitigasi, mengevaluasi sekaligus menangkal risiko.

Kejutan, buat sebuah perusahaan bukanlah sesuatu yang diharapkan. Bagi institusi bisnis, semua peristiwa yang berlangsung dan akan terjadi harus berada dalam kendali dan sepengetahuan mereka, dan harus diawali oleh perencanaan. Maka dari itu, hampir semua perusahaan tidak mengharapkan sebuah kejutan.
Oleh karena itulah, perusahaan –terutama di industri keuangan dan lebih khususnya lagi perbankan, selalu memodernisasikan sistem dan metode untuk menangkal hal-hal yang merugikan yang bisa terjadi di masa mendatang.
Dan kini, di ranah industri keuangan muncul sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan risiko yang disebut dengan istilah combined assurance. Istilah tersebut, singkatnya, mengacu pada praktik pengelolaan risiko di perusahaan yang terintegrasi dan sekaligus terkoordinasi. Praktik itu dimaksudkan agar semua orang dalam perusahaan memiliki kesadaran memitigasi risiko yang berpotensi muncul dari pekerjaannya masing-masing.
Selama ini praktik pengelolaan dan mitigasi risiko ditekankan pada divisi manajemen risiko, selain juga didukung oleh divisi internal audit atau kepatuhan. Implementasi manajemen risiko melalui sebuah bagian khusus di perbankan sejatinya baru dimulai pada awal 2000-an, tepatnya ketika Bank Indonesia menerbitkan aturan penerapan manajemen risiko bagi bank umum dalam PBI No.5/8/PBI/2003.
Dalam aturan itu BI menetapkan pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan bank dalam mengendalikan risiko di internalnya. Pedoman tersebut harus mencakup empat tahap, pertama, pencegahan. Bank wajib memuat perangkat untuk mengurangi potensi fraud yang mencakup anti fraud awareness, identifikasi kerawanan dan know your employee (KYE).
Kedua, deteksi dini. Bank harus dapat melengkapi sistemnya yang memuat perangkat identifikasi dan menemukan fraud yang mencakup mekanisme whistle blowing, surprise audit dan surveillance system. Ketiga, investigasi, pelaporan dan sanksi. Keempat, pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut.
Akan tetapi, sistem tersebut (manajemen risiko dan internal audit) seperti berjalan sendiri-sendiri yang akhirnya mengakibatkan risiko-risiko yang sudah terjadi dan sudah dimitigasi berulang kembali setelah beberapa tahun berlalu. Selain itu, ketiadaan koordinasi pada pihak-pihak yang berwenang menangani risiko sejak mitigasi hingga evaluasi, membuat beberapa risiko yang bersifat laten muncul dan mengejutkan perusahaan.
Hal inilah yang ingin diperbaiki oleh metode combined assurance yang memang baru muncul beberapa tahun belakangan. Assurance, dalam sebuah kamus, diartikan sebagai tindakan meyakinkan; pernyataan yang cenderung menginspirasi kepercayaan penuh; dan pernyataan atau tindakan yang dirancang untuk memberikan keyakinan. Sementara itu, menurut Standards Glossary assurance, didefinisikan sebagai, “Penelitian objektif terhadap bukti dengan tujuan memberikan penilaian independen terhadap tata kelola, manajemen risiko dan proses kontrol untuk organisasi”
Jadi bisa dikatakan combined assurance adalah sebuah pendekatan yang menyatukan fungsi-fungsi yang selama ini melakukan pengelolaan risiko di perusahaan. Saat ini, lazimnya ada tiga bagian dalam perusahaan yang bertugas mengendalikan risiko di perusahaan yaitu bagian manajemen risiko, bagian kepatuhan dan bagian audit internal. Karena itu, dengan diterapkannya combined assurance, semua fungsi itu akan diintegrasikan dan terkoordinasi lebih baik.
Di dalam CA terdapat tiga elemen krusial yang harus diimplemetasikan dan tidak bisa dipisahkan yaitu governance, risk management dan compliance. Pada dasarnya tiga bagian penting itu dibedakan atas dasar siapa pemangku kepentingan yang mereka layani, tingkat kemandirian dari kegiatan di mana mereka memberikan jaminan dan dari kekokohan jaminan.
Jika diperas, tiga bagian itu dibedakan menjadi, bagian yang melaporkan kepada manajemen dan  atau merupakan bagian dari manajemen, termasuk orang-orang yang melakukan penilaian kontrol diri (control self assessments), auditor mutu, auditor lingkungan dan personil dari manajemen lainnya yang ditunjuk. Kedua, pihak-pihak yang melaporkan kepada Dewan Direksi, dan ketiga bagian yang melaporkan kepada stakeholder eksternal, yang merupakan peran tradisional yang biasa dipenuhi oleh auditor independen.
Pendekatan ini akan memberikan gambaran lebih komprehensif mengenai semua kegiatan dalam perusahaan untuk memastikan bahwa tindakan yang mengandung risiko bisa terdeteksi lebih dini. Sekaligus juga ada kontrol yang memadai untuk mengurangi risiko ini.
“Yang terpenting di sini, adalah risk management dan quality assurance. Seberapa besar kita memitigasi risiko, mendefinisikan risiko, dan kalau kita sudah bisa, kita tahu akan melangkah bagaimana, dan risikonya apa,” kata Ilya Avianti, Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.
Pendekatan governance, risk management dan compliance (GRC) terpadu, akan membuat lembaga keuangan makin prudent dalam bertindak dan menjalankan operasinya. Setiap orang juga makin menyadari setiap risiko dari tindakan yang dilakukannya dalam kaitannya dengan pekerjaannya. “Misalnya, jika kita sudah tahu kalau memegang api itu panas, berarti kita harus berhati-hati memegang api, dan kita tidak akan celaka,” kata Ilya yang juga Ketua Dewan Audit OJK Ilya Avianti.
Kemudian tak lupa juga soal kualitas, dan penilaian kualitas, yaitu seberapa besar semua orang menilai produk yang diterima dan orang itu mau menghargai produk tersebut, sehingga perusahaan punya kharisma baik internal maupun eksternal. “Jika semua hal itu berjalan, audit internal diterima, sehingga fungsi pengawasan, watch dog itu tidak perlu lagi,” kata Ilya.
OJK sadar betul bahwa metode GRC terpadu akan membuat risiko-risiko yang sering lolos dari mitigasi dan pencegahan dari manajemen bank makin berkurang. Selama ini lembaga keuangan terutama perbankan menghadapi risiko dengan beberapa tipe. Pertama tipe ever present yaitu kejadian yang sebelumnya sudah pernah berlangsung terulang kembali. Setiap hari bank selalu menghadapi potensi risiko dan sejatinya dengan mekanisme mitigasi yang baik yang dimiliki bank, potensi risiko tersebut seharusnya bisa ditekan.
Sebuah risiko yang kerap terjadi namun selalu diabaikan besar kemungkinan akan terulang kembali, bahkan dengan skala yang lebih besar. Bagi perusahaan yang memiliki dan melaksanakan manajemen risikonya dengan baik, maka catatan kejadian dan mitigasi yang dilakukan bank bisa menjadi solusi perbaikan dari prosedur yang ada. 
Kedua, tipe risiko lama yang cenderung dapat diperhitungkan. Ada dua sifat dari risiko, yang dapat diperkirakan dan yang tidak dapat diperkirakan. Risiko yang pernah terjadi dan dialami bank, jika dievaluasi faktor penyebabnya maka kemungkinan besar dapat dilakukan beragam mitigasi agar tidak terjadi lagi. 
Ketiga, tipe risiko baru yang cenderung sulit diperhitungkan. Untuk risiko semacam ini tidak ada yang bisa dilakukan kecuali melakukan pengamatan atau kajian terhadapnya. Keempat, tipe risiko yang sangat tergantung satu sama lain. Pada umumnya tidak ada satu kejadian yang sifatnya tunggal karena sebuah kejadian atau satu risiko muncul disebabkan kejadian sebelumnya. Hal ini harus diamati dan dibuat kajiannya agar tidak menimbulkan risiko yang kompleks.

Bermula dari Afrika Selatan
Pemikiran soal combined assurance adalah sebuah pencapaian baru dalam industri keuangan (dan juga industri lainnya), dan aplikasinya adalah sebuah batu loncatan dalam menghindari potensi kerugian dalam pengelolaan perusahaan. Meski begitu, Tidak banyak yang tahu bahwa ide dan pemikiran pelaksanaan combined assurance ini muncul di Afrika Selatan, negara yang dianggap tidak memiliki sejarah pengelolaan tata kelola perusahaan.
Pada bulan Juli 1993 sebuah lembaga yang berisi direktur-direktur perusahaan di Afrika Selatan meminta pensiunan ketua Mahkamah Agung Afrika Selatan Hakim Mervyn Eldred King untuk memimpin sebuah komite tata kelola perusahaan. Mervyn melihat ini sebagai kesempatan untuk mendidik masyarakat Afrika Selatan yang baru berdemokrasi terutama mengenai praktik perekonomian bebas. Dan langkah itu juga sekaligus menjadi yang milestone pertama penerapan combined assurance di dunia.
King Report soal Tata Kelola Perusahaan adalah batu pertama yang diletakkan oleh komite tersebut untuk perbaikan tata kelola perusahaan di Afrika Selatan. Sampai kini, sudah tiga laporan yang diterbitkan pada tahun 1994 (King I), 2002 (King II), dan 2009 (King III). Sontak laporan ini menjadi sebuah syarat formal bagi perusahaan-perusahaan untuk masuk di Bursa Efek Johannesburg, Afrika Selatan. Bahkan King Report dinilai sebagai "ringkasan paling efektif dari praktik-praktik internasional terbaik dalam tata kelola perusahaan" .
Maka dari itu King III yang juga termaktub di dalamnya soal combined assurance lantas menjadi acuan banyak negara untuk mengoptimalkan munculnya risiko-risiko dalam pengelolaan perusahaan.

Manfaat bagi Bank
                Seperti biasanya, perbankan tentu menjadi pihak yang akan menjadi pionir pengimplementasian dari metode combined assurance ini. Salah satunya diakui oleh Anika Faisal, Direktur BTPN. “Combined assurance sebetulnya lebih kepada mengintegrasikan fungsi-fungsi dari governance, risk management dan compliance secara lebih komprehensif,” kata bankir perempuan yang sudah malang melintang di ranah perbankan.
Sektor perbankan sejatinya sudah memiliki aturan good corporate governance (GCG) yang merupakan payung besar pengelolaan risiko perusahaan. Nah, sekarang tinggal mengintegrasikannya supaya tidak terjadi redundancy (pengulangan). “Supaya proses G, R dan C bisa saling melengkapi,” tambah Anika.
Bank Indonesia telah mengeluarkan aturan soal GCG dalam PBI No.8/4/2006 dan surat edaran BI No.15/15/2013 tentang Penerapan Good Corporate Governance.
Akan tetapi, penerapan itu menghadapi tantangan yang tidak ringan. Kondisi saat ini dalam struktur organisasi perbankan masih memisahkan antara departemen risiko, kepatuhan dan legal yang mana ketiganya tidak mengkoordinasikan aktivitasnya dan terkadang tidak terkoneksi.
Selain itu tujuan dari mitigasi risiko keuangan tidak bisa dipisahkan dari risiko-risiko klasik seperti risiko pasar, kredit, likuiditas dan operasional. Kepatuhan dan legal memang mengikuti tujuan yang sama namun tidak terintegrasi dalam kerangka manajemen risiko yang menyeluruh.
Nantinya dengan adanya penerapan manajemen risiko yang terintegrasi lewat combined assurance maka akan tercipta sebuah agenda pengendalian risiko yang lebih terintegrasi. Juga terbentuk sebuah pandangan yang terintegrasi potensi kerugian pada keseluruhan bagian dari perusahaan.
Sebagai pendekatan baru tentu bank membutuhkan waktu untuk menyesuaikan, mempelajari dan yang terpenting mengetahui apakah metode ini memang dibutuhkan perseroan.
“Akan tetapi saya kira kalau inisiatifnya baik, metode ini akan bermanfaat buat industri. Mungkin beberapa bank sudah ada yang mengimplementasikannya secara terbatas, tetapi karena ini barang baru semua butuh penyesuaian,” kata Anika.

                

Pembanding Harapan

Selalu terbit harapan terhadap yang baru, seperti halnya ada penolakan dan kekhawatiran di sana. Begitupun ketika Joko Widodo diumumkan sebagai Presiden terpilih versi otoritas resmi. Lelaki kelahiran 21 Juni, 53 tahun lalu ini memang mewakili sebagian masyarakat Indonesia yang menginginkan pemimpin yang bekerja.
Awalnya kehadiran mantan Walikota Surakarta, Jawa Tengah ini, di panggung politik nasional memang mengejutkan. Dia berhasil mengalahkan incumbent dalam perlombaan menjadi orang nomor satu di Ibu Kota, di saat orang banyak mengira dia hanya akan menjadi Gubernur Jawa Tengah.
Karier politiknya meroket lagi ketika maju sebagai calon presiden berdampingan dengan Jusuf Kalla –mantan Wakil Presiden sepuluh tahun lalu– dan berhasil memenangkannya.
Kini, Jokowi (dan JK) akan memikul harapan sebagian banyak orang yang memilihnya yang ingin Tanah Airnya menjadi rumah buat mereka. Rakyat tentu akan membandingkan dengan prestasi yang sudah diraih oleh pemerintah sebelumnya, sekaligus berharap kegagalan pemerintah sebelumnya diatasi.
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden yang sudah memimpin 10 tahun memang terbilang berhasil dalam memperkuat ekonomi terutama dari sisi makro. Pertumbuhan ekonomi nasional yang bisa dipertahankan positif di kisaran 5-6 persen dengan inflasi 4,5 persen, tak bisa dibilang prestasi remeh. Sementara di sisi lain, cadangan devisa juga sempat menyentuh level tertinggi dalam sejarah.
Akan tetapi jika dilihat dari mikroekonomi, jelas banyak yang tidak terselesaikan oleh SBY. Ketimpangan ekonomi, pemerataan pembangunan dan pembangunan infrastruktur akan menjadi catatan minor buat pemerintahan itu.
Menurut data 2008-2012 ketimpangan antara yang kaya dan miskin semakin memburuk bahkan menjadi lebih buruk dari India. Dalam rezim pemerintahan 10 tahun terakhir, koefisien gini –indikator yang menggambarkan ketimpangan, tembus angka 0,41. Padahal di era Orde Baru, kesenjangan orang kaya dan miskin tak pernah melewati angka 0,39. Koefisien gini yang makin mendekati angka satu berarti makin timpang ekonomi suatu negara.
Soal pemerataan pun seperti jalan di tempat. Selama 12 tahun terakhir, 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional disumbangkan Jawa, Sumatera, dan Bali saja. Demikian pula pembangunan yang terlalu bertumpu pada perkotaan. Hal itu bisa dilihat dari ongkos logistik Surabaya-Merauke yang lebih mahal dibandingkan mengekspor komoditas ke luar negeri.
Soal utang dan ketergantungan akan pihak asing juga tidak membaik. Komisi Anti Utang, sebuah organisasi non-pemerintah yang concern terhadap kebijakan utang luar negeri mencatat, bahwa
pengeluaran pemerintah sejak 2005-2012, untuk membayar beban cicilan pokok dan bunga utang sebesar Rp 1.584 triliun. Sejak SBY berkuasa pada 2004, peningkatan utang luar negeri pemerintah mencapai Rp 724,22 triliun. Angka itu bahkan lebih besar dari anggaran yang disiapkan untuk mengentaskan kemiskinan pada periode yang sama, yang besarnya Rp 115 triliun.
Selain itu, Jokowi juga berhadapan dengan kekuatan ‘oposisi’ yang tak bisa dianggap remeh. Hampir separo dari pemilih memilih pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang sebagian besarnya merupakan orang-orang kelas menengah.
Jadi jika Jokowi tidak mampu memenuhi harapan-harapan rakyat atau gagal dalam melaksanakan janji-janjinya, tak pelak para pendukungnya akan membanding-bandingkannya dengan Prabowo, sang rival dalam perebutan kursi RI 1. Orang akan mulai melihat kembali janji yang pernah diucapkan Prabowo dalam kampanye, dan berharap kalau saja dia bisa merealisasikannya saat ini. Dalam sebuah posting-an di media sosial, saya mengutip sebuah tulisan menarik bahwa Prabowo-Hatta, walaupun mungkin tidak berhasil memenangkan pemilihan suara, akan terus-menerus menempati kedudukan yang amat penting di mata rakyat. Yakni sebagai ‘pembanding harapan’. Mereka akan hadir menjadi tolok ukur dari Presiden terpilih sekaligus menjadi alternatif terdekat jika sewaktu-waktu pemerintahan dianggap gagal.



Great Expectation?

Indonesia dipastikan akan memiliki Presiden baru setelah otoritas pemilihan umum resmi mengumumkan pemenang dari kontes politik tahun ini. Ekspektasi tinggi sudah barang tentu menyelimuti pasangan Jokowi-JK, tetapi tantangan mereka juga tak kalah besar.

Pemilihan Presiden kali ini tidak bisa tidak merupakan sebuah pemungutan suara yang magnitude paling besar sepanjang sejarah pemilihan umum langsung di Indonesia. Dua pasang kandidat yang berhadap-hadapan tak pelak menarik perhatian seluruh orang di Indonesia, bahkan dunia, setidaknya di kawasan Asia.
Setelah melalui proses kampanye yang menegangkan sampai pada waktu pengumuman resmi dari otoritas pemilu, kini, Presiden terpilih sudah ditetapkan: Joko Widodo. Banyak orang mengatakan inilah milestone penting bagi perjalanan kehidupan berdemokrasi di negeri ini.
Tidak hanya itu, terpilihnya Jokowi yang berpasangan dengan mantan wakil Presiden 10 tahun lalu Jusuf Kalla, memunculkan banyak harapan. Selain karena citra yang diembannya selama ini yaitu pemimpin yang bekerja, yang sederhana dan merakyat, pasangan itu juga dianggap bisa membawa banyak perubahan.
Perlombaan kali ini memang menyimpan harapan besar bagi Indonesia karena Presiden terpilih akan menggantikan pemerintahan yang sudah 10 tahun berkuasa dan dinilai tidak memenuhi ekspektasi ekonomi sebagian besar rakyat. Oleh karena itu, ekspektasi tinggi tentu akan disematkan kepada siapapun yang menang pada pemilu kali ini.
Kendati begitu, ekspektasi tinggi tersebut akan dibarengi dengan munculnya tantangan besar dari pemerintahan baru yang akan dipimpin pasangan yang beken disebut Jokowi-JK. Salah satunya adalah tantangan dari parlemen.
Seperti diketahui, pasangan Jokowi-JK didukung oleh koalisi beberapa partai yang jika dihitung berdasarkan persentase dukungan pada pemilu legislataif mencapai sekitar 40 persen. Sebaliknya pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sang rival, memiliki persentase dukungan partai lebih banyak, sebesar lebih dari 60 persen. Kondisi itu tentu berimbas pada dukungan Jokowi-JK di Senayan yang akan menghadapi anggota parlemen yang notabene merupakan partai lawan.
Hal inilah yang menjadi perhatian banyak pihak terkait kebijakab-kebijakan yang akan ditelorkan oleh pemerintah mendatang.
Jadi, sebetulnya, pasar dalam jangka menengah lebih suka jika yang menang adalah pasangan Prabowo-Hatta mengingat kebijakan-kebijakannya akan mendapat dukungan lebih banyak di DPR. Diungkapkan oleh ekonom Standard Chartered Bank, Eric Alexander Sugandi, jika Prabowo yang terpilih maka kebijakan ekonomi akan lebih smooth karena dukungan parlemen lebih besar. “Prabowo akan punya support lebih besar di DPR. Dan itu yang dibutuhkan pasar. Kritik mungkin akan banyak ditujukan ke pemerintahan dia tapi pasar pada dasarnya menginginkan Presiden yang didukung oleh parlemen yang kuat,” kata Eric.
Meski demikian karena citra yang dipublikasikan oleh media terhadap pasangan Jokowi-JK maka pasangan itu kemudian lebih populer. “Dalam jangka menengah pasar akan sadar bahwa efektivitas pemerintah akan lebih baik jika didukung DPR tetapi karena ada ekspektasi bahwa Jokowi lebih populer karena dicitrakan seperti itu, maka pasar juga mendukung,”kata Eric.
Dan kini, jika tidak ada perubahan manuver politik, pemerintahan akan berhadapan dengan parlemen yang lebih dominan. Akan tetapi beberapa waktu belakangan berhembus kabar bahwa koalisi permanen yang dibangun oleh partai-partai pendukung pasangan calon Presiden Prabowo-Hatta mulai keropos karena ada partai yang membelot.
Eric mengatakan bahwa hal itu tentu akan menguntungkan pemerintahan Jokowi dalam memuluskan program-program dan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonominya.
“Itu (partai pembelot) akan menguntungkan dia (Jokowi). Apalagi dengan dukungan media-media besar yang selama ini di belakang dia serta pendukung yang selama ini ada. Jadi tantangan global akan relatif bisa ditangani meskipun kebijakannya juga menurut saya tidak akan jauh beda dengan yang diterapkan oleh Prabowo jika dia menang,” jelas Eric.
Selain di parlemen, pemerintahan baru juga akan menghadapi tantangan ekonomi di antaranya defisit fiskal, sektor infrastruktur dan yang paling fenomenal adalah soal subsidi. Selain itu juga yang paling dekat akan dihadapi oleh pasangan Presiden ke-7 itu adalah soal anggaran.
Menurut mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil, tantangan yang paling dekat dihadapi oleh pemerintahan baru adalah masalah anggaran, terutama defisit anggaran karena beban subsidi besar yang selama ini dipikul anggaran. “Apalagi sangat dikhawatirkan jika minyak dunia naik, maka anggaran subsidi kita jauh akan naik,”kata dia.
Pemerintah baru akan ditantang dengan persoalan yang sangat sensitif sekaligus pelik dalam memutuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Selama bertahun-tahun pemerintah yang berkuasa selalu menghadapi masalah itu dan kadang membuat mereka terpeleset. Masalah yang mengemuka adalah bagaimana mengalokasikan dana subsidi BBM tepat sasaran dan subsidi BBM harus diberikan pada orang yang membutuhkan.
Sebelum proses pemilihan Presiden digelar, dan ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI, Jokowi pernah berujar bahwa bensin sudah tidak lagi layak disubsidi dan melontarkan gagasan untuk menghapusnya secara bertahap selama 4 tahun dengan menaikkan harga setiap tahun. “Saya kira empat tahun lah, subsidi BBM tadi empat tahun tapi berjenjang. Kurang kurang lalu hilang," kata Jokowi saat menghadiri Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional, April lalu.
Caranya dengan menghitung besaran angka kenaikan harga BBM subsidi per tahun, dihitung dari selisih harga BBM yang disubsidi dengan harga keekonomian dibagi selama 4 tahun. Sehingga pada tahun kelima, pemerintah tidak perlu sediakan anggaran untuk BBM bersubsidi.
Pada tahun ini anggaran subsidi mencapai Rp210,7 triliun.

Pajak dan Lain-Lain

Selain soal subsidi, tantangan pelik lain yang juga akan menjadi ujian bagi pemerintah baru adalah soal pajak. Sampai saat ini, urusan penerimaan negara memang masih menjadi polemik karena dianggap masih relatif rendah jika dibandingkan potensi yang ada, terutama untuk pajak pribadi. Di sisi lain kebocoran yang terjadi juga masih besar.
“Banyak potensi pajak yang harus kita gali. Jadi butuh pemerintah yang efektif. Pemerintahan efektif itu dilihat dari bagaimana kemampuan Presiden dan menteri mengeksekusi. Kabinet akan datang harus diisi oleh kabinet yang memiliki kapasitas,” kata Sofyan Djalil yang kini tetap aktif di Komite Nasional Good Corporate Governance.
Bukan hanya defisit dan pajak, pemerintahan pengganti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihadapkan pada masalah biaya logistik yang masih dianggap mahal. Rencana pemerintahan SBY membangun tol tidak berjalan mulus. "Masak biaya logistik ke Amsterdam lebih murah daripada ke Papua," kata Sofyan.
Saat ini, pembangunan yang berjalan tidak sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang karena kendala infrastruktur dan kreativitas. “Salah satu masalah yang mengganggu adalah masalah subsidi. Selain itu, pendidikan,” ujar dia.
Dia beranggapan banyak pihak yang mempersoalkan pendidikan karena peran Presiden dalam pendidikan tidak terlalu impresif. “Di sini dibutuhkan Presiden yang mampu membentuk tim yang kompeten," ujarnya.
Presiden baru juga akan menghadapi persaingan secara regional dan global terutama ketika gong diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN resmi dipukul tahun depan. Oleh karena, banyak pengamat yang mewanti-wanti soal situasi ekonomi tahun 2015 yang akan semakin pelik. Untuk itulah, siapapun yang akan menjadi Presiden dan wakil Presiden akan dihadapkan pada hambatan yang cukup rumit, terutama dari sisi defisit anggaran.
Menurut pengamat ekonomi Imam Sugema, salah satu isu sentral dalam bidang ekonomi yang akan langsung dihadapi Presiden 2014 antara lain defisit primer. Sejak tahun 2012-2013, nilai defisit primer semakin membesar dari Rp 52 triliun-Rp 89 triliun (2013) dan akan diubah dalam APBNP tahun 2014 sekitar Rp115 triliun. “Indonesia tidak pernah mengalami defisit primer, baru setelah tahun 2012 Indonesia mengalami defisit primer dan ini berimpilikasi di mana Indonesia sedang menghadapi risiko likuiditas,” kata dia.
Untuk itu, lanjut Iman, Presiden mendatang haruslah sosok atau figur yang market friendly. Persoalan kedua ialah penerimaan pajak yang masih relatif rendah saat tahun 2008 lalu sebesar 13,3 persen dan dalam APBNP tahun 2014 sebesar 12,24  persen. Lebih lanjut, Imam mengatakan penerimaan pajak Indonesia sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara Vietnam sebesar 22,3 persen (2012) dan hanya dalam tiga tahun menanjak dari 16 persen menjadi 21 persen.
Tax ratio Indonesia lebih rendah dibanding Filipina, Tiongkok, dan Vietnam. Artinya, pemerintah saat ini sangat malas untuk menggali potensi pajak. Padahal, pemerintah sudah gembar-gembor (melakukan) reformasi pajak,” kata Iman.
Sementara itu, soal khusus soal anggaran, pemerintahan baru belum akan bisa berbuat banyak mengimplementasikan program-program yang digembar-gemborkan saat kampanya. Pasalnya anggaran yang ada masih merupakan hasil program pemerintahan lama yang belum tentu sejalan dengan yang baru.
Oleh karena itu, banyak pihak meminta agar Presiden terpilih berhati-hati dalam menjalankan programnya terutama pada 100 hari pertama.
“Presiden harus hati-hati, mungkin tidak bisa langsung jalankan program-programnya, karena masalah anggaran. Jadi, untuk 100 hari kerja, haru lihat dulu anggarannya ada atau tidak sebab APBN yang menyusun adalah pemerintahan sekarang,” ujar Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Firmanzah.
Selain melihat anggaran program 100 hari itu, Presiden juga harus memperhatikan anggaran berjalan yang sudah dipatok hingga akhir tahun. “Jadi, Presiden selama 6 bulan berjalan, harus memakai APBN yang sudah dipatok Presiden dan DPR sekarang ini, itu pula yang harus dicocokkan dengan Presiden baru,” katanya.
Di bidang ekonomi, Presiden baru memang harus kerja cepat menyesuaikan dengan kondisi yang ada dan dihadapi bangsa Indonesia. Pada 2015, Indonesia juga harus menghadapai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), di situ Presiden dituntut untuk memberikan kebijakan yang ditempuh untuk pasar bebas ASEAN tersebut. “Yang ditunggu publik adalah kebijakan apa yang ditempuh Presiden, aturan baru, juga kebijakan tentang usaha kecil dan menengah (UKM), dan stimulus fiskal apa yang diberikan,” ujar Firmanzah.
Dikatakan pula, awal November Indonesia harus ikut pertemuan G20 (Kelompok Negara 20) yang akan mengadakan pertemuan di Australia. Presiden baru kita di sana harus duduk bersama sejajar dengan Kanselir Jerman Angela Merkel, PM Inggris David Cameron, dan pemimpim negara maju lainnya, untuk didengar bagaimana pandangan Indonesia, yang selama ini sangat didengar.
“Jadi, Presiden terpilih sudah tidak ada waktu lagi fase belajar , karena harus menghadapi pertemuan G-20 itu. Sepuluh hari efektif, Presiden harus mempersiapkan untuk pertemuan itu, karena memang sangat ditunggu oleh negara-negara maju,” katanya.





Menuju Polarisasi Permanen

Banyak orang yang menyayangkan situasi politik yang berkembang sekarang, di mana dua pasang calon presiden dan wakilnya yang bertarung sekarang membuat kondisi kian memanas. Meski begitu, banyak hikmah yang bisa diambil dari pelajaran demokrasi ini. Indonesia memang tengah belajar berdemokrasi, karena cara pengambilan keputusan itu bukanlah sesuatu yang asli dari Tanah Air. Tradisi demokrasi lahir di negara-negara barat ketika Yunani pertama kali mempraktikkannya.
Terbukti dari kata “demokrasi” yang berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan.
Selama ini, Indonesia memang masih mendapatkan pelajaran-pelajaran yang buruk mengenai demokrasi, kendati begitu bukannya tidak ada pelajaran baik yang bisa dan telah diambil. Contohnya adalah kontestasi dalam pemilihan presiden kali ini. Sejatinya kita sudah belajar pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang pada saat itu juga hanya menghadirkan dua pasang calon. Setelah Gubernur terpilih berkuasa, seharusnya pihak yang dikalahkan dan pendukungnya menjadi pengawas bagi pelaksana janji-janjinya.
Kita–rakyat, kalau boleh saya generalisasi demikian–sesungguhnya  diuntungkan oleh kondisi persaingan yang hanya menghadirkan dua kandidat ini. Semua calon telah menjanjikan hal-hal yang baik buat Indonesia, bahkan hampir semua hal baik telah dirangkum. Dan rakyat tinggal menunggu saja hasilnya dan juga menunggu realisasi janji-janji. Untuk yang calonnya tidak terpilih, bisa memilih peran mengawasi pelaksanaan janji-janji itu. As easy as that.
Selain itu, polarisasi partai pendukung dari dua pasang calon presiden dan wakil presiden, serta massa pendukungnya sebetulnya bisa keuntungan kehidupan politik di Indonesia. Boleh jadi setelah pemilihan umum dilaksanakan dan diumumkan pemenangnya maka pasangan yang kalah langsung memproklamirkan diri menjadi pihak oposisi yang siap mengkritisi dan mengawasi jalannya pemerintahan. Juga mengawasi pelaksanaan janji-janji waktu kampanye.
Pengkutuban dua pihak yang lebih permanen pasca pemilihan presiden sesungguhnya juga menguntungkan rakyat. Karena itu berarti ada pihak formal dan kuat yang mengatasnamakan rakyat juga dan mengambil posisi sebagai pengawas jalannya pemerintahan.
Istilah oposisi memang kurang beken dalam percaturan politik di Indonesia, tapi bukan berarti hal itu tidak dipraktikkan. Pada awalnya, politik di Amerika Serikat juga tidak mengenal adanya oposisi. Pasca deklarasi kemerdekaan 4 Juli 1776, koloni-koloni Amerika memutuskan untuk bergabung dengan berbagai kekuatan Eropa untuk memerintah wilayah AS secara efektif dalam sebuah pemerintahan federal. Singkat cerita, muncul Partai Federalis yang dibawa oleh Alexander Hamilton yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Partai Republik dan Partai Anti-federalis Democratic Republican yang dibawa oleh Thomas Jefferson yang selanjutnya menjadi dasar terbentuknya partai demokrat saat ini. Sejak presiden kedua, politik AS sudah terbagi menjadi dua kubu Demokrat dan Republik.
Nah, jika kita memang mau mengikuti politik a la Demokrasi, maka tidak salah jika kita juga mencoba membagi dua kubu saja partai politik yang ada, partai berkuasa dan partai oposisi, seperti di Negara Paman Sam sana.
Akan tetapi, kita sudah menjadi terbiasa untuk mengikuti sesuatu dengan setengah-setengah. Kadangkala kita malah mengikuti hanya di permukaannya saja hanya agar dicitrakan bahwa kita adalah yang kita ikuti. Begitu juga dengan demokrasi.

Karena sejak mengadopsi pola pemilihan langsung untuk presiden dan wakil presiden, tampaknya kita belum menerima hal betul-betul hikmah yang baik dari demokrasi, misalnya pemimpin yang terbaik. Atau memang benar pameo yang sering dikatakan orang bahwa demokrasi memang tidak menyediakan seorang pemimpin terbaik. Ia hanya menyiapkan pemimpin yang dipilih oleh lebih banyak orang. Bahkan kalau seekor kambing yang dipilih maka kambinglah yang akan memimpin. 

Risiko Politik Rasa Baru

Indonesia masuk radar risiko politik oleh lembaga internasional karena proses penyelenggaraan pemilu yang mulai memanas. Sementara penggunaan asuransi risiko politik masih menjadi praktik yang jarang bagi pelaku bisnis nasional.

Tidak pernah terjadi dalam sejarah politik Indonesia, pemilihan presiden sehangat ini. Bahkan jika dihitung sejak pemilihan umum digelar secara langsung pertama kali sepuluh tahun lalu, kondisi wajan politik nasional tidak pernah seperti ini. Pada episode kali ini, karena hanya berisi dua calon presiden beserta wakilnya, para pendukung capres pun terpolarisasi dalam dua barisan yang ekstrem. Risiko terjadinya gesekan pun mencuat.
Karena itu, ingar bingar yang terjadi dalam hajatan politik kali ini sudah dipastikan akan menjadi perhatian kalangan pebisnis. Pelaku usaha harus benar-benar memasang mata pada eskalasi politik yang semakin panas, hingga pemilihan umum benar-benar berakhir. Pasalnya risiko politik bisa muncul kapan saja, seiring dengan makin meruncingnya persaingan. Pelaku usaha tentu akan mengawasi perkembangan yang terjadi menit per menit, untuk mengetahui segala sesuatu yang berpotensi meletus dan apa dampaknya terhadap bisnis mereka.
Secara umum, risiko politik mengacu pada komplikasi yang mungkin dihadapi dunia bisnis dan pemerintah sebagai hasil dari apa yang sering disebut sebagai keputusan –atau perubahan politik apapun, yang mengubah hasil yang diharapkan. Laman Wikipedia menjelaskan bahwa risiko politik (political risk) adalah risiko yang muncul sebagai konsekuensi ketidakpastian politik dan bisa berkembang menjadi penyebab biaya atau pengurang pendapatan dari investasi luar negeri. Risiko ini dapat timbul karena perubahan di pemerintahan, legislatif, pimpinan militer dan pembuat kebijakan lain, yang dianggap tidak menguntungkan bagi bisnis.

Survei Lembaga Asing
Tahun ini, sejatinya bukan Indonesia saja yang menjadi sorotan karena meningkatnya risiko politik. Tercatat ada lima negara di dunia yang hawa panas politiknya terdeteksi oleh sebuah lembaga keuangan AON, yaitu Indonesia, India, Turki, Afrika Selatan dan Brazil.
Indonesia bahkan disebut sebagai negara yang memiliki hotspot yang lebih menyala dibandingkan lainnya karena menyelenggarakan dua pemilihan umum –anggota legislatif dan Presiden– serempak  dalam tahun yang sama di saat yang lainnya hanya menggelar satu hajatan politik saja, pemungutan suara legislatif atau presiden saja.
Risiko politik yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan dapat didefinisikan sebagai risiko stratejik, keuangan, atau personal bagi sebuah perusahaan karena faktor-faktor non-pasar seperti kebijakan ekonomi makro dan sosial (fiskal, moneter, perdagangan, investasi, industri, pendapatan, tenaga kerja, dan perkembangan). Atau kejadian yang berhubungan dengan ketidakstabilan politik (terorisme, kerusuhan, kudeta, perang saudara, dan pemberontakan).
Dalam peta risiko politik yang dirilis oleh Aon, pemain terkemuka kelas dunia dalam bisnis asuransi politik, Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok negara yang risiko politiknya masuk kategori medium risk. Indonesia dinilai menyimpan risiko hukum dan aturan (legal and regulatory), gangguan rantai pasokan (supply chain disruption), dan kekerasan politik (political violence).
Dalam jajaran negara-negara emerging market, Indonesia ditempatkan bersama India, Afrika Selatan, Turki, dan Brasil, dan disebut sebagai The Fragile Five. Untuk Brasil dengan perlambatan ekonomi berpotensi meningkatkan risiko politik. Hal ini menjadi keprihatinan khusus karena tahun ini menjadi tuan rumah piala dunia sepak bola dan Olimpiade di 2016.
Selain lima negara itu ada juga negara lain yang masuk kelas medium risk, yaitu Filipina, Laos, Saudi Arabia, Kolombia, dan Peru.
Di antara negara ASEAN, posisi Indonesia masih lebih baik dari Thailand, Kamboja, Vietnam yang masuk dalam kategori medium-high risk.Sementara itu beberapa negara seperti Ukraina, Iran, Yaman, Venezuela dan beberapa negara Afrika dimasukkan oleh Aon dalam kategori very high risk.
Bagi investor global yang portofolio investasinya tidak mengenal batas negara, dan modalnya sudah kadung ditanam pada negara-negara yang tengah memanas, tentu membutuhkan proteksi agar dananya terjamin. Karena itu mereka sangat concern kepada titik-titik panas dalam peta keuangan dunia ini (lihat peta risiko politik).
Di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir, di saat investor mancanegara makin mendominasi, hajatan politik berupa pemilihan umum memang menjadi momok yang membuat pemerintah ‘harap-harap cemas’. Biasanya penanaman modal asing yang dilakukan secara langsung atau PMA cenderung turun pada masa-masa digelarnya hajatan politik.
Dan itu terbukti pada tahun ini ketika investor asing yang berniat menanamkan dananya di Indonesia memperlihatkan tanda-tanda penurunan. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) awal triwulan kedua tahun ini, investasi asing turun sebesar 500 juta dollar AS menjadi 6,9 miliar dollar AS dibanding triwulan sebelumnya.
Padahal sejak tahun 2010, penanaman modal asing memperlihatkan tren kenaikan setiap triwulannya. PMA mengalami puncaknya pada triwulan empat tahun 2013 yang mencapai 7,4 miliar dollar AS.
Mundur lima tahun sebelumnya, kondisinya juga hampir sama. Pada 2009, pemerintah juga berhadapan dengan kecenderungan investasi asing yang terus menurun. Sepanjang tahun itu PMA turun 27,2 persen atau sekitar Rp36,45 triliun (berdasarkan kurs waktu itu) dibanding 2008. 
Sementara itu, kondisi sebaliknya justru terjadi pada investasi portofolio. Sepanjang penyelenggaraan tiga kali pemilu pada tahun 1999, 2004, dan 2009 kinerja investasi di pasar saham masing-masing justru mengalami penguatan masing-masing 70,06 persen, 44,56 persen, dan 86,98 persen.
Selama periode tahun 2004, kinerja indeks saham bursa RI yang mencetak keuntungan sebesar lebih dari 40 persen merupakan ekspektasi para investor asing atas earning yang akan dihasilkan oleh para emiten ke depan. Mereka menilai ekonomi Indonesia akan makin membaik di masa yang akan datang.
Pada periode 2009, kinerja pasar bursa makin melejit setelah setahun sebelumnya pasar finansial global dihantam krisis dan menenggelamkan harga-harga hampir seluruh instrumen keuangan. Indeks saham bursa nasional atau IHSG sendiri mencapai angka terendah sejak krisis keuangan 1999. Mungkin itu pula yang menjelaskan kenaikan indeks harga saham gabunga (IHSG) sepanjang 2009 mencapai angka 76 persen.
Tahun ini, sepanjang triwulan pertama, IHSG sudah meningkat sebesar 11,6 persen dibanding posisi akhir kuartal keempat 2013 atau mencapai level 4.768,28. Bahkan sampai pekan kedua Juni berada di level 4.860-an. Sementara itu, nilai kapitalisasi pasar saham juga mengalami peningkatan sebesar 11,8 persen dibandingkan posisi akhir kuartal lalu.
Meski begitu tidak ada jaminan hal itu akan berlangsung terus hingga akhir tahun. Proses pemungutan suara presiden yang telah membuat dua kutub yang berseteru berdiri berhadap-hadapan tetap menyimpan risiko. Dengan debat yang dilakukan calon presiden, misalnya. Metode pra-voting yang sudah dilakukan sejak 2009 itu tak pelak membuat ketidakpastian sendiri bagi pasar.
Menurut Ekonom Senior Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, sepanjang masa debat dan kampanye, pergerakan nilai tukar rupiah dan indeks saham akan sangat fluktuatif. “Debat capres itu kan sifatnya kampanye, masih serba belum pasti. Ini akan membuat ketidakpastian juga di pasar,” ujar dia.
Namun ketidakpastian ini juga akan menghilang dengan sendirinya setelah ekonomi menemukan titik keseimbangan baru. Saat ini pergerakan IHSG dan rupiah memang sedang fluktuatif. "Karena kalau rupiah terus melemah ini bisa-bisa BI (Bank Indonesia) didorong untuk menaikkan suku bunga lagi," ujar Fauzi.
Nilai tukar rupiah memang menjadi komoditas sensitif saat pemilu karena memang sejak lama dikuasai pemain besar yang ironisnya berasal dari spekulan asing. Maka ketika asing tidak menyukai calon yang kemungkinan akan menang, bisa saja mereka menarik investasi portofolionya dan membuat sentimen negatif nilai tukar.
Seorang bankir yang dekat bisnis valuta asing mengatakan bahwa saat ini para spekulan valas tengah bersiap mengguncang pasar uang nasional begitu melihat calon yang mereka idamkan gagal menjadi presiden. “Para spekulan forex di singapura sudah mulai menyiapkan amunisi mereka untuk menyerang mata uang kita dengan cara menghasut dan memecah-belah keteguhan kita dalam berbangsa dan bernegara,” kata dia yang tidak mau disebut namanya.

Asuransi Politik
Menurut pakar manajemen risiko Gayatri Rawit Angreni, risiko politik bisa disebabkan karena berbagai faktor, seperti ketidakstabilan suatu negara karena perubahan kepemimpinan, kudeta, paham ekstrem di masyarakat, hingga perang saudara karena konflik horizontal dan vertikal.
Bisa pula disebabkan perubahan kebijakan pemerintah yang sangat frontal terutama soal investasi asing atau dari kegagalan kebijakan ekonomi. “Jadi pemicu risiko politik bisa berasal dari berbagai faktor risiko yang saling terkait, saling berinteraksi  yang kemudian mengubah profil risiko politik suatu negara,” kata dia.
Gayatri mengatakan ada dua tingkatan risiko politik, yaitu risiko politik mikro dan makro.   Risiko politik mikro hanya terjadi dan terfokus pada risiko suatu industri, perusahaan, investasi, atau proyek tertentu saja. Risiko ini merupakan bagian dari risiko operasional dari perubahan lingkungan bisnis mereka. “Risiko politik mikro dapat dikendalikan dengan cara mengubah dan mengalihkan investasi ke tempat dan bentuk lain, atau mencari mitra kerja lokal yang menguasai peraturan dan kebijakan,” jelas Gayatri.
Menurut dia, bila industri tertentu yang terkena risiko politik mikro, alternatif yang tersedia adalah mencari industri dengan tingkat risiko politik yang dapat diterima. “Jika perusahaan tetap masih terekspos risiko politik yang tinggi,  maka membeli polis asuransi risiko politik adalah solusinya, guna mengurangi tingkat kerugian,” kata Gayatri.
Sementara itu, sambung dia, risiko politik makro lebih sulit dikendalikan dan dimitigasi, karena bila negara tujuan investasi tertimpa kejadian politik yang ekstrem seperti aksi terorisme atau kasus pemutusan hubungan diplomatik maka hanya menyisakan strategi keluar (exit strategy) yang terbatas.
Bagi investor asing yang bermain di sektor riil, ketidakpastian dalam kontestasi pemilihan presiden ini bisa jadi sudah sangat disadari. Mereka dinilai lebih terbiasa menghadapi risiko politik semacam ini di negara tempat mereka menanamkan modalnya.
Oleh karena itu awareness mengenai perlunya membeli asuransi politik sudah lebih dipahami oleh perusahaan-perusahaan mancanegara ketimbang pemilik usaha dalam negeri, sementara pelaku domestik belum.
Hal itu diakui oleh pelaku bisnis asuransi umum di Indonesia. Menurut Kornelius Simanjuntak yang mantan Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, pangsa pasar pengguna asuransi risiko politik, lebih banyak di mal-mal (shopping center) sebanyak 30 persen, Hotel sebanyak 20 persen, perkantoran mencapai 20 persen, apartemen 17 persen, bisnis ritel 10 persen, manufaktur 2 persen dan perumahan 1 persen. “Potensi pasar masih cukup besar, ditambah kesadaran berasuransi masyarakat yang juga bertambah,” jelasnya.
Namun demikian asuransi risiko politik di Indonesia masih berupa asuransi tambahan dari asuransi kendaraan, properti yang masuk dalam golongan asuransi umum.
Asuransi risiko politik masih menjadi kendala di Indonesia karena minimnya kapasitas reasuransi. “Kapasitas reasuransi dalam negeri masih terbatas disamping reasuransi asing juga sangat selektif dalam memberikan reasuransi kepada perusahaan-perusahaan asuransi domestik,” kata Kornelius.