Senin, 06 Oktober 2014

Memperkuat Ekonomi lewat Permainan

Edukasi keuangan merupakan program penting dalam mendongkrak literasi keuangan. Dan permainan-permainan yang didesain untuk memberi pemahaman mengenai produk dan layanan keuangan adalah ujung tombaknya.

Negara berkembang selalu menjadi contoh tentang bagaimana ketertinggalan dalam bidang ekonomi bisa dilihat dan disaksikan. Di sana bisa dilihat jurang yang cukup lebar, yang membedakannya dengan yang sudah berkembang. Namun demikian untuk soal literasi keuangan, keduanya tidak terlalu berbeda jauh. Negara-negara maju ternyata juga memiliki masalah dengan tingkat melek keuangan warganya, seperti halnya di negara-negara berkembang.
Ya, tingkat literasi keuangan memang menjadi masalah yang bisa disaksikan di semua negara. Sebut saja Amerika Serikat, sang adidaya perekonomian ini baru memulai program literasi keuangan yang resmi diinisiasi oleh negara yaitu ketika Presiden George Bush berkuasa pada 2008.
Pada Januari tahun itu, pemerintahan Bush menunjuk John Bryant, seorang pegiat pendidikan keuangan, untuk menjadi wakil ketua di Dewan Literasi Keuangan di AS. John, selama bertahun-tahun aktif memberikan edukasi soal keuangan di AS dan sejak 1992 mendirikan organisasi non profit yang dinamakan HOPE. Organisasi itu bertujuan memberi orang miskin yang merupakan bagian paling parah dari AS bimbingan bukan bantuan materi melalui pendidikan keuangan, dan pengetahuan mengenai dasar perbankan. Dewan itu sendiri dipimpin oleh Charles Schwab, mantan pimpinan sebuah perusahaan pialang.
Pendirian badan yang mengelola program literasi keuangan AS itu adalah bagian dari respons krisis keuangan saat itu yang disebabkan ambruknya sektor perumahan. Saat itu, banyak dari masyarakat yang meminjam uang yang tidak mengerti akan risiko dari tindakannya itu, seperti tidak menyadari bahwa pembayaran bulanan mereka akan naik jika suku bunga naik.
Bahkan berdasarkan studi dari Annamaria Lusardi dari The George Washington University
School of Business yang dikutip dari Finra, sebuah yayasan pendidikan buat investor, literasi keuangan di negara-negara maju juga masih rendah.
Data melek finansial yang dirangkum dari hasil penelitian Lusardi pada 2013 menyimpulkan bahwa di delapan negara yang sudah berkembang, terdapat kesamaan bahwa masyarakatnya masih banyak yang buta keuangan.
Di Amerika Serikat, hanya 30 persen dari populasi mampu menjawab dengan benar semua tiga pertanyaan yang diajukan dalam survei Lusardi. Salah satu pertanyaan dalam penelitian itu adalah: jika Anda memiliki 100 dollar AS dalam rekening tabungan dan tingkat bunga 2 persen per tahun. Setelah lima tahun, berapa banyak yang Anda akan memiliki dalam rekening jika Anda mendiamkan uang itu?
Hasil yang sama ditemukan di Jerman, Belanda, Swedia, Italia, Jepang dan Selandia Baru, negara-negara di mana pasar keuangan berkembang dengan baik. Juga di Rusia, negara di mana pasar keuangan berubah dengan cepat.

Merancang Permainan
                Indonesia juga punya masalah yang sama soal literasi keuangan, bahkan lebih pelik. Berdasarkan survei yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan 2013, tingkat literasi keuangan masyarakat masih sangat rendah, hanya sekitar 2 dari 10 orang yang disurvei mengetahui tentang lembaga dan produk keuangan.
Karena itu tidaklah berlebihan jika di tahun yang sama, lembaga pengawas industri keuangan, mendesak agar seluruh pihak terutama perusahaan jasa keuangan ikut mengedukasi masyarakat Indonesia. OJK sudah menerbitkan aturan yang mewajibkan seluruh lembaga keuangan memiliki program edukasi keuangan untuk nasabah dan non-nasabahnya dalam rangka mendorong tingkat melek keuangan.
Kini hampir semua bank memiliki program edukasi keuangan, selain untuk mendongkrak tingkat literasi bank juga ingin ada keuntungan buat dirinya seperti bertambahnya nasabah atau meningkatnya penjualan produk. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah seberapa efektif program itu untuk untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat mengingat persoalan finansial adalah bidang yang rumit bahkan oleh mereka yang sudah bergelar sarjana sekalipun.
Hampir semua bank, oleh karena itu meluncurkan program edukasi berupaya permainan. Pengelola bank paham bahwa mengajarkan persoalan-persoalan rumit melalui cara menyenangkan semisal lewat permainan sangat efektif. Metode quantum learning, yang dikembangkan oleh ahli-ahli pendidikan lebih dari satu dasawarsa lalu yang salah satunya mendorong cara belajar dengan menciptakan pengalaman virtual, juga menyimpulkan betapa efektifnya permainan dalam menanamkan pelajaran.
                Atas dasar itulah orang-orang yang biasa bergelut dalam industri keuangan ini membuat sebuah pendekatan yang lebih ‘ramah’ untuk masyarakat yang memang belum mengenal lembaga keuangan, apalagi produk-produknya. Caranya adalah dengan membawa mereka seolah-olah sedang berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka tengah menggunakan produk-produk keuangan sesungguhnya.
Seperti yang dilakukan raksasa keuangan Citibank di Indonesia. Lembaga keuangan asal AS ini menggunakan media pertunjukan drama sebagai sarana mengedukasi anak-anak dan remaja perihal keuangan. Pertunjukan teater yang berjudul ‘Petualangan Agen Penny’ menampilkan tokoh dua agen khusus, yaitu Agen Penny dan Will Power, yang akan membantu siswa memahami cara mengelola keuangan, dari membuat anggaran sederhana, mengatur pengeluaran, serta kebiasaan menabung.
Atau juga oleh Visa Internasional. Penyedia layanan sistem pembayaran ini menggandeng Marvel Comics, penerbit cerita bergambar terkemuka AS untuk meluncurkan komik The Avengers: Saving.  The Day. Komik ini mengisahkan bagaimana para pahlawan super, termasuk Spider-Man, Iron Man, Thor, Hulk dan Black Widow, berjuang mencegah dan membekuk pelaku perampokan bank oleh musuh bebuyutan mereka sambil mempelajari hal-hal berharga tentang mengelola keuangan pribadi.
Visa juga berkolaborasi dengan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) membuat situs program edukasi pengelolaan keuangan, www.practicalmoneyskills.co.id. Bahkan lembaga itu juga menggunakan pendekatan permainan sepak bola, olah raga yang digemari di hampir seluruh negara di dunia.
Bank nasional juga tak mau kalah. Adalah Bank BNI yang sudah setahun belangan ini mempopulerkan apa yang dinamakan Financial Board Game, sebuah permainan mirip monopoli yang selama ini dikenal luas masyarakat sebagai permainan memupuk kekayaan. Menurut Alwas Kurniadi Yarman, Kepala Divisi Wealth Management BNI, papan permainan ini memang didesain agar bisa mengasah ketrampilan dan melatih kecerdasan nasabah dalam mengelola keuangan untuk secara menyenangkan.
“BNI Financial Board Game ini bukan sekedar permainan biasa, kita bisa belajar banyak hal tentang bagaimana mengelola keuangan-investasi-asuransi sampai sedekah, yang jika dilatih secara rutin akan mampu mempertajam financial IQ kita,” kata Alwas.

Menjamin Stabilitas
Keterlibatan bank-bank untuk melakukan edukasi nasabah soal keuangan memang sudah diharuskan oleh otoritas. Saking pentingnya literasi keuangan, aturan pertama yang diterbitkan OJK ketika lembaga itu resmi berdiri pada 2013 adalah kewajiban pelaku jasa keuangan untuk melaporkan edukasi keuangan yang dilakukan pada setiap tahun berjalan. Program edukasi keuangan juga harus disebutkan pada Rencana Bisnis Bank (RBB) yang dibuat tiap tahun dan direvisi dipertengahan tahunnya. Bank juga harus melaporkan perkembangan dari program tersebut kepada OJK mulai September ini. Dalam laporan itu ada rincian, apa programnya, siapa target audiennya, di mana, berapa kali dalam sebulan dan lain-lain.
Program edukasi masyarakat untuk meningkatkan literasi keuangan, efektif berlaku Agustus lalu, meski aturannya sudah keluar tahun lalu. Otoritas memberi kesempatan lembaga keuangan untuk mempersiapkannya terlebih dahulu selama setahun.
Otoritas memiliki beberapa alasan mengapa harus menggandeng dan mewajibkan industri dalam mengedukasi masyarakat perihal lembaga dan produk keuangan. Pertama, sudah barang tentu OJK tidak bisa melakukan sendirian mengingat luasnya wilayah dan banyaknya jumlah orang di Indonesia. “Kami tidak bisa melakukan sendirian, kami ada keterbatasan, jadi kami harus bekerja sama dengan seluruh sektor melalui asosiasi,” kata Sri Rahayu Widodo, Deputi Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.
Kedua, agar tidak muncul kecurigaan jikalau OJK hanya akan mempromosikan produk dari beberapa bank. Pada saat edukasi seringkali nasabah langsung bertanya produk apa saja yang bisa dia beli atau miliki. Nah, di saat inilah keberadaan asosiasi atau lembaga keuangan menemukan perannya dan bukan otoritas. “Kami tak boleh menjadi bagian dari promosi produk-produk sebuah lembaga keuangan, itu tugasnya lembaga,” kata Sri Rahayu yang akrab dipanggil Wiwi.
Mengenai munculnya cara edukasi lewat beragam permainan yang diciptakan bank, OJK mengatakan hal itu merupakan strategi masing-masing lembaga. Meski begitu, Wiwi sependapat bahwa games, role play, dan strategi pendidikan keuangan yang bersifat ringan memang sejalan dengan tujuan agar lebih banyak masyarakat yang paham keuangan.
Di OJK sendiri memiliki beberapa permainan edukasi untuk anak-anak seperti yang bisa diunduh di http://sikapiuangmu.ojk.go.id/. Di antaranya     games ‘Puzzle Tabunganku’, yang mana anak-anak diajari mengenai manfaat menabung dan dapat belajar mengelola dan menghargai uang yang dimilikinya. Ada pula permainan ‘Ayo Menabung’, yang mengandalkan kecepatan memindahkan uang-uang koin ke dalam celengan. Makin banyak koin yang dikumpulkan makin besar jumlah uang yang akan dimiliki untuk bisa membeli barang di toko. Terakhir, yaitu permainan ‘Temukan Produknya’. Game ini berusaha mengenalkan produk-produk keuangan dengan mendorong anak-anak menemukan nama produk yang tersembunyi pada benda-benda yang terdapat di dalam gambar. Permainan-permainan ini memang didesain agar pengguna bisa lebih memahami produk dan layanan keuangan.
Otoritas yakin betul bahwa meningkatnya literasi keuangan Tanah Air akan menjadi jembatan emas untuk mendorong perekonomian tumbuh lebih stabil dan berkesinambungan. Jika setiap keluarga di Indonesia memiliki tingkat melek keuangan yang mumpuni maka sistem keuangan dijamin akan lebih stabil. “Ada hubungan erat antara perencanaan keuangan keluarga dengan stabilisasi sistem keuangan. Keluarga akan menjadi tulang punggung perekonomian,” kata Wiwi.
Elizabeth A Duke, salah satu Gubernur The Federal  Reserve (The Fed) pernah menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara perencanaan keuangan keluarga dengan stabilitas sistem keuangan. Sebagai salah satu pilar perekonomian, kesehatan keuangan setiap keluarga akan memberikan pengaruh terhadap kesehatan keuangan negara secara keseluruhan. Elizabeth adalah anggota Dewan Gubernur The Fed sejak 2008, perempuan ketujuh dalam jajaran Gubernur bank sentral AS. Pada Juli 2013 dia mengumumkan pengunduran dirinya dari dewan.
                Sementara itu, menurut Agus Sugiarto, Direktur Program Strategis Literasi Keuangan OJK,
dari sisi makro manfaat literasi keuangan juga sangat penting, karena semakin tinggi tingkat literasi keuangan masyarakat, maka semakin banyak masyarakat yang akan menggunakan produk dan jasa keuangan. Konsekuensinya adalah semakin tinggi pula potensi transaksi keuangan yang terjadi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun menciptakan pemerataan pendapatan dan keadilan.
“Dengan semakin meningkatnya literasi keuangan masyarakat, diharapkan semakin banyak masyarakat yang menabung dan berinvestasi, yang pada akhirnya akhirnya menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan,” kata Agus.

                Dan jika program ini berhasil bukan tidak mungkin Indonesia akan berdiri sejajar negara maju dalam hal tingkat kecerdasan keuangan masyarakatnya.

Senjakala Inflation Targeting?

Efektifitas kebijakan pengendalian harga lewat penetapan target inflasi oleh otoritas moneter mulai pudar, ditandai oleh rencana perubahan kebijakan oleh bank sentral Selandia Baru. Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam perekonomian, setiap jasa atau produk selalu memiliki waktu kedaluwarsa, mungkin begitu pula dengan kebijakan yang dimiliki oleh bank sentral. Sejak 1999 setelah keluarnya Undang-Undang Tentang Bank Sentral, negara mengamanatkan Bank Indonesia untuk mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah sebagai tujuan tunggal.
Untuk mencapai mandat itu, BI kemudian menggunakan Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kebijakan moneter. Kerangka ITF ini dicirikan dengan penetapan target inflasi yang diumumkan kepada publik dan inflasi merupakan tujuan utama kebijakan moneter. Implementasi ITF di Indonesia menekankan pentingnya pengendalian ekspektasi inflasi agar terjangkar ke target
inflasi jangka panjang yang rendah dan stabil sekitar 3 persen agar kompetitif dengan negara lain.
Kebijakan penetapan target inflasi sejatinya dipelopori oleh Bank Sentral Selandia Baru, ketika negara itu menerapkannya sekitar 25 tahun lalu. Selepas itu, ITF banyak diikuti oleh otoritas di negara-negara lain di dunia, termasuk Indonesia sejak awal dekade 2000-an.
Akan tetapi, ibarat sebuah produk atau layanan keuangan, kebijakan itu pun tampaknya mulai memasuki masa kedaluwarsanya, ketika sang pionirnya diberitakan mulai akan menarik diri. Penyebabnya adalah perubahan politik yang tengah berhembus di negara ujung Benua Australia itu di saat Partai Buruh, sebagai oposisi utama menginginkan bank sentral untuk menargetkan defisit transaksi berjalan selain inflasi sebagai tujuan kebikajan moneter. Malahan, partai oposisi juga meminta bank sentral menggunakan iuran pensiun sebagai alat kebijakan baru.
Negeri Kiwi itu memang tengah mengalami kondisi tingkat suku bunga yang tinggi dan mata uangnya tengah terdepresiasi. “Mata uang kami dinilai terlalu tinggi dan kami punya tingkat suku bunga yang secara struktural lebih tinggi dari seluruh dunia,” kata juru bicara keuangan Partai Buruh David Parker dalam artikel seperti dikutip di Bloomberg. “Sudah waktunya untuk mengingatkan diri kita bahwa pengendalian inflasi bertujuan untuk mendukung ekonomi yang lebih kuat dan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, dan bukan berakhir di situ (pengendalian inflasi).”
The Reserve Bank of New Zealand adalah bank sentral pertama di antara negara-negara maju yang telah menaikkan suku bunga acuan tahun ini. Kebijakan itu kemudian membuat dollar Kiwi over value dan membuat sektor usaha di negara itu kalah dalam persaingan bisnis.
Oleh karena itu, dalam janji kampanyenya, Partai Buruh berjanji untuk menurunkan suku bunga dan melemahkan nilai tukar dengan cara memperluas tujuan kebijakan dari RBNZ yang sebelumnya sudah tertulis dalam Undang-Undang mengenai Bank Sentral pada 1989.
Selandia Baru juga telah mengalami defisit current account selama 40 tahun yang selalu ditutup dengan dengan pinjaman luar negeri karena tabungan domestik terlalu rendah.
Untuk membantu memperbaiki ketidakseimbangan tabungan (saving gap), Partai Buruh akan mewajibkan tabungan rencana pensiun dan secara bertahap meningkatkan tingkat kontribusinya menjadi 4,5 persen dari pendapatan dari sebelumnya yang hanya 3 persen.
Bahkan RBNZ kemungkinan menggunakan pendekatan baru dalam mengelola perekonomian dengan memperkenalkan alat baru yang disebut Tingkat Tabungan Variabel (Variable Savings Rate), yang dapat digunakan sebagai pengganti suku bunga untuk membatasi atau merangsang pengeluaran rumah tangga.
"Saya belum pernah mendengar atau membaca tentang hal seperti itu digunakan di tempat lain,” kata Profesor Allan Meltzer, penulis sejarah Federal Reserve AS. "Itu bagi saya, yang paling buruk dari fine tuning," kata dia seperti dikutip dari Bloomberg.
Apa yang dihadapi Selandia Baru sejatinya juga terjadi di Indonesia. Selama dua tahun terakhir, kebijakan suku bunga rendah telah ditinggalkan otoritas pasca pergantian pimpinan dari Darmin Nasution, mantan birokrat, ke Agus DW Martowardojo, mantan bankir.
Selama empat tahun masa jabatannya di Thamrin, Darmin berupaya mengarahkan BI Rate ke level terendah. Saat dia pensiun dari BI, bunga acuan dibawanya ke level terendahnya sepanjang masa di angka 5,75 persen, dari level saat dia masuk di angka 6,50 persen.
Sementara Agus, sesaat setelah dipilih jadi Gubernur BI dan memimpin rapat dewan gubernur pada Juni tahun lalu, mantan menkeu itu langsung menaikkan BI Rate dari level rendah yang sudah dipertahankan Darmin. Sepanjang kepemimpinannya, mantan Dirut Bank Mandiri sudah mendongkrak BI Rate hingga 150 basis poin. Hal itu dilakukan ketika perekonomian tengah diancam oleh inflasi yang dinilai makin sulit dikendalikan oleh kebijakan inflation targeting.
Selain itu, Indonesia juga mengalami defisit neraca transaksi berjalan mulai tahun lalu. Di akhir tahun 2013 angka defisit menyentuh 1,98 persen dari Produk Domestik Bruto, padahal beberapa bulan sebelumnya defisit masih sebesar 4,4 persen.
Sementara nilai tukar juga terus melemah mendekati level 12.000 per dollar AS, dan tak mau beranjak dari level itu sejak awal tahun ini, memukul industri manufaktur yang banyak mengimpor bahan baku.
Lalu apakah itu berarti kemangkusan kebijakan penetapan target inflasi yang diterapkan BI sudah mulai pudar? Menurut mantan Deputi Gubernur BI Bidang Moneter dan Ekonomi Global, Hartadi Agus Sarwono, kebijakan ITF yang dicetuskan dan dipraktikkan pertama kali oleh RBNZ memang tengah memasuki tahap penting dalam penerapannya di Selandia Baru setelah dianggap tidak berhasil mendorong perekonomian. Kebijakan suku bunga tidak direspons secara cepat dan memadai oleh pelaku ekonomi yang akhirnya membuat kemangkusannya dalam mengarahkan inflasi menjadi rendah. “RBNZ mulai mengindikasikan bahwa mereka mulai akan fleksibel dalam penerapan kebijakan ITF, hal itu sudah diungkapkan oleh pejabatnya,” kata Hartadi.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia disimpulkan bahwa keterlambatan respons suku bunga akan menyebabkan lintasan inflasi yang lebih tinggi dan bahkan bisa melebihi target inflasi. Konsekuensinya adalah untuk membawa inflasi ke depan agar kembali terjangkar ke target inflasi diperlukan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi. Hal ini pada gilirannya akan berdampak terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini akan menimbulkan trade off inflasi dan output yang lebih tinggi sehingga akan membawa dampak terhadap target inflasi.
Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Moneter BI Januari 2011 itu, dikatakan bahwa respons yang lambat itu pada akhirnya akan menyebabkan pencapaian target inflasi yang lebih lama dengan lintasan suku bunga yang lebih tinggi serta biaya disinflasi yang lebih tinggi.
Menurut riset itu, dilihat dari sisi strategi pencapaian target inflasi yang rendah dan stabil di Indonesia, menunjukkan bahwa dalam kondisi kebijakan moneter yang belum sepenuhnya kredibel
(imperfect credibility) maka bank sentral cenderung melakukan proses disinflasi secara
gradual.
Jika kebijakan moneter belum sepenuhnya kredibel maka upaya bank sentral untuk segera mencapai inflasi yang rendah dalam waktu yang singkat akan berimplikasi pada peningkatan suku bunga yang sangat tinggi (too tight) sehingga akan menciptakan fluktuasi output dan nilai tukar yang sangat besar.

ITF yang Fleksibel
BI memang sudah menyadari bahwa kebijakan moneter melalui suku bunga memang menghadapi risiko respons yang tidak sesuai dengan rencana. Ditambah lagi dengan kondisi ketatnya likuiditas
global yang terus berlangsung pasca rencana bank sentral AS yang ingin mengurangi suntikan dana dalam program quantitative easing (QE) membuat semua otoritas negara-negara dunia selalu waspada. Beberapa negara, termasuk Selandia Baru dan Indonesia terkena dampaknya hingga kini.
“Masalah Likuiditas global telah menjadi isu yang penting sehingga negara-negara yang menggunakan kebijakan ITF tidak lagi bisa melihat bahwa inflasi menjadi satu-satunya main anchor, ujar Hartadi, yang kini Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia. “Ujungnya memang inflasi tapi bank sentral tidak bisa lagi melihat hanya inflasi saja.”
BI, ketika Hartadi masih menjadi deputi gubernur, sudah melihat bahwa memang kebijakan ITF tidak hanya berujung pada inflasi saja, tetapi harus juga berimbas pada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, BI sudah ‘memodifikasi’ ITF menjadi lebih fleksibel.
Dalam menerapkan kebijakan inflation targeting, negara-negara penganutnya harus juga menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang (free-floating exchange rate) dan juga kebijakan devisa bebas (free capital flow) yang kerap disebut impossible triangle. Jika salah satu diubah maka yang lain harus berubah pula.
Nah, karena tugas mengelola inflasi tidak bisa diutak-atik lagi karena sudah diatur dalam Undang-Undang Bank Sentral, maka BI memodifikasi kebijakan nilai tukar dan kebijakan lalu lintas modal.
Bank sentral kerap mengintervensi pasar jika fluktuasi mata uang dianggap terlalu tajam dan perlu diperhalus (smoothing). Istilah resminya, BI memperkuat strategi operasi moneter untuk mensterilkan likuiditas yang dihasilkan dari intervensi nilai tukar dan untuk mencegah dampak yang tidak semestinya dari modal masuk jangka pendek.
BI juga sudah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan investor untuk menahan dana yang ditempatkannya selama enam bulan yang kemudian diubah menjadi tiga bulan. Otoritas juga telah memperpanjang tenor instrumen moneter SBI dengan tujuan menahan dana-dana itu sehingga tidak cepat keluar dari Indonesia.
Di sisi lain BI juga mengumumkan bahwa yang menjadi concern-nya adalah inflasi inti (core inflasi) yang nantinya jika bergejolak akan direspons dengan kebijakan suku bunga. Sementara itu untuk mengelola inflasi yang berasal dari kenaikan harga yang ditentukan pemerintah atau yang berasal dari kekurangan suplai karena faktor alam, BI membentuk Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang berada di seluruh daerah kabupaten di Indonesia.
Dengan kalimat lain, BI kata Hartadi, sudah menyiapkan satu set kebijakan yang membuat inflation targeting di Indonesia lebih fleksibel yang disebut bauran kebijakan. Kebijakan itu meliputi mempertahankan nilai tukar yang fleksibel dengan intervensi pasar uang yang selektif, meningkatkan strategi operasi moneter, dan melakukan manajemen arus modal.