Saat ini hampir seluruh
perekonomian dunia menantikan apa yang akan dilakukan bank sentral AS dalam
rangka menormalisasi kebijakan moneternya. Bagi otoritas Indonesia,
persiapannya tampaknya tidak terlalu memuaskan.
Sejak memasuki awal abad
ke-21, Amerika adalah momok bagi perekonomian dunia. Ketika negara perekonomian
terbesar di dunia itu berjalan ke arah pertumbuhan maka sebagian besar negara
di dunia akan terkena imbasnya. Seperti yang terjadi kini.
Setelah ekonomi AS
terjerembab dalam krisis akibat turbulensi dari sektor perumahannya sendiri,
setiap perkembangan di negara itu selalu menjadi isu global. September lalu, pada
rapat Komite Pasar Terbuka AS (FOMC), bank sentral AS disebut-sebut mulai
menyinggung soal exit strategy dari
kebijakan yang selama enam tahun terakhir dijalankan.
The Federal Reserve berencana
melepas kepemilikan surat-surat berharga yang dibelinya dalam upaya mengguyur
pasar dengan dana miliaran dollar AS. The Fed juga memberikan sinyal akan
memperketat kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan yang sudah
bertahan selama enam tahun di level 0-0,25 persen. Semuanya, besar kemungkinan
akan dijalankan paling telat awal tahun depan.
Saat ini pertumbuhan ekonomi
AS memang mulai bergerak ke arah normal, dan sudah terjadi dalam beberapa bulan
belakangan. Dalam sebuah laporan The Fed, yang dikutip dari kantor berita
internasional, dari 12 distrik, enam di antaranya mengalami kinerja
perekonomian moderat, lima daerah tumbuh dengan kecepatan sedang, dan di
Distrik Boston, pertumbuhannya masih bervariasi.
Tingkat pengangguran,
indikator utama ekonomi AS, turun ke level terendah dalam enam tahun, yakni 5,9
persen, dan pertumbuhan pekerjaan bergerak solid tahun ini dengan rata-rata
penyerapan lapangan kerja mencapai 227.000 setiap bulan. Namun, masih ada 9,3
juta orang yang secara resmi tercatat sebagai pengangguran.
Dinamika kebijakan moneter di
AS hampir selalu berdampak pada sejumlah mata uang utama di dunia. Di
Indonesia, kondisi tersebut, tak pelak membuat aliran dana-dana investor mancanegara
mulai berubah arah, alias berbalik kembali ke AS. Seperti yang terjadi di
Indonesia. Bulan lalu saja, hengkangnya dana-dana dari hedge fund dan investor follower
membuat nilai tukar rupiah menembus level psikologis Rp12.000 per dollar AS,
dan bursa saham selalu fluktuatif.
“Rupiah melemah itu banyak
faktor. Dari kondisi perkembangan di luar negeri yang masih masih risk on risk off kita melihat di AS
mempunyai perkembangan yang langsung berdampak pada negara-negara dunia
termasuk negara berkembang, termasuk Indonesia,” kata Gubernur Bank Indonesia
Agus DW Martowardojo.
Agus tak memungkiri bahwa
rencana The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan memberi sentimen negatif
kepada pasar di Indonesia. Pelaku pasar global yang khawatir ekonomi dunia
melambat dan kinerja perusahaan internasional yang kurang baik memicu arus dana
asing keluar dari Indonesia.
Selain faktor eksternal, hal
lain yang membuat pelaku pasar banyak melarikan dananya ke luar adalah panasnya
politik Indonesia yang belum sepenuhnya mereda. Sementara itu, faktor dalam
negeri seperti inflasi dan neraca transaksi berjalan juga memberikan pengaruh
yang cukup signifikan.
Empat bulan belakangan,
situasi politik nasional memang hampir mendidih karena kontestasi pemilihan
presiden yang hanya menghadirkan dua calon. Proses yang cukup panjang dan
berliku telah membuat investor khawatir mengenai prospek ekonomi Indonesia.
Indikator-indikator
perekonomian mengalami fluktuasi dengan kecenderungan melemah seperti indeks
saham dan nilai tukar. Sementara lainnya, seperti inflasi dan juga neraca
transaksi berjalan relatif masih berada di tingkat yang kurang menyenangkan.
Namun demikian, pengamat
ekonomi dan keuangan Yanuar Rizki tidak sepakat jika pelemahan beberapa
indikator ekonomi dan pasar disebabkan oleh faktor politik. Menurut dia, hal
itu mutlak disebabkan oleh ekspektasi terhadap kebijakan ekonomi global
khususnya bank sentral AS. “Dulu waktu gaduh soal Century (2008), kenapa rupiah
malah menguat. Ada yang bilang market
sudah dewasa. Jika sekarang karena panasnya pilpres apakah market jadi
anak-anak lagi,” kata Yanuar.
Menurut dia, penguatan dan
pelemahan rupiah lebih dipengaruhi kebijakan uang beredar global. Jadi jika
saat ini rupiah kembali melemah memang tengah dalam proses rebalancing karena
adanya perubahan kebijakan di negara-negara maju khususnya AS. “Faktor politik
memang ada pengaruhnya, tetapi bukan itu pemicunya,” kata Yanuar.
Pertumbuhan Tertekan
Atas risiko yang mengintai
akibat rencana otoritas Negeri Paman Sam, Bank Dunia kemudian memangkas proyeksi
laju pertumbuhan ekonomi global. Bahkan lembaga donor yang kental dengan
dominasi kepentingan AS itu juga memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi salah
satu negara dengan perekonomian paling rentan terhadap penarikan dana asing
saat The Fed menaikkan suku bunganya.
Indonesia, hingga saat ini
masih terbelenggu oleh defisit transaksi berjalan dan juga utang jangka pendek yang
jumlah keduanya mencapai 10 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kedua
faktor tersebut berjumlah 77 persen dari total cadangan devisa negara. Peningkatan
level utang perusahaan yang cepat menyebabkan kenaikan suku bunga dalam waktu
cepat dapat menghasilkan likuiditas dan solusi bagi beberapa kreditor di
industri dengan kapasitas berlebih.
Sebaliknya, India justru
menjadi negara dengan perekonomian unggul di Asia. Pertumbuhan ekonomi India
tercatat berada di kisaran 5,6 persen tahun ini dan dapat meningkat hingga 6,4
persen tahun depan. Bahkan Bank Dunia melihat potensi pertumbuhan ekonomi India
hingga level 7 persen pada tahun berikutnya.
Malahan pertumbuhan ekonomi
nasional bisa saja makin tertekan ketika rencana kenaikkan harga bahan bakar
minyak direalisasikan pemerintah baru. Wacana itu memang diperkirakan tinggal
menunggu waktu karena Presiden Joko Widodo menghadapi ruang anggaran yang cukup
ketat.
“Room untuk meningkatkan
anggaran nasional cuma tinggal sedikit,” kata Hartadi Agus Sarwono, mantan
Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Defisit anggaran pemerintah pusat berada di level 2,21 persen dan defisit
anggaran daerah diperkirakan berada di angka 0,3 persen sehingga jika dijumlah
angka defisit total adalah sekitar 2,5 persen. Karena total batas defisit yang
dibolehkan menurut undang-undang keuangan negara adalah 3 pesen, maka
pemerintah baru hanya bisa menarik dana menutup defisit hanya sebesar kurang 0,5
persen, yaitu hanya kurang dari Rp25 triliun.
“Anggaran yang ada sekarang juga belum memperlihatkan program prioritas
pemerintahan baru (Jokowi-Jusuf Kalla),” kata Hartadi yang juga menjabat
sebagai Advisory Regional IMF Group.
Pemerintah baru, dinilai dia,
akan mengincar sumber pembiayaan dalam negeri dengan menerbitkan obligasi demi
mengamankan anggarannya. Saat ini saja sedang gencar ditawarkan Obligasi Ritel
Indonesia (ORI) Seri 11 oleh Kementerian Keuangan. Hal itu tentu menjadi
tantangan tersendiri buat perbankan.
“Semakin besar sumber
pembiayaan dalam negeri maka negara dan bank akan berebutan dana nasabah,” kata
Hartadi, yang kini menjadi Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia
(LPPI).
Kondisi itu tentu akan
menambah persaingan memperebutkan dana pihak ketiga dan akan menjadi pemicu
keketatan likuiditas yang lebih intensif lagi di sektor keuangan nasional. Saat
ini saja bank-bank sudah menawarkan suku bunga di atas 10 persen untuk nasabah
khusus yang bersedia menyimpan dananya sebagai deposito. Perang suku bunga,
dengan itu, pun pecah dan menambah risiko likuiditas bagi perbankan.
Ancaman Krisis
Bank memang lebih concern terhadap risiko likuiditas
ketimbang hal lainnya semisal risko kredit atau bahkan ancaman turunnya laba. Karena
berdasarkan pengalaman tidak ada kejadian yang membuat bank harus tutup karena
risiko kredit atau ancama turunnya laba, namun sebaliknya banyak bank yang
tutup karena masalah likuiditas.
Maka dari itu, likuiditas
yang mengetat merupakan ancaman serius bagi perekonomian nasional. Beberapa
pihak mendesak diterbitkan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sektor
Keuangan (JPSK) yang sudah dua tahun mangkrak.
Tak kurang dari Menteri
Keuangan M Chatib Basri (saat ini sudah mantan), yang meminta aturan tersebut
diterbitkan segera. Chatib menekankan
urgensi kehadiran UU JPSK, terutama mengingat adanya normalisasi kebijakan
moneter AS. “Kalau ada guncangan kita bisa mencegah supaya krisis enggak
terjadi. Salah satu yang kita butuhkan ya UU JPSK,” kata dia bulan lalu.
Menurut dia, bank sentral AS
akan memastikan Fed Fund Rate akan ada di posisi 1,375 persen pada akhir tahun
depan dari posisi saat ini yang bertengger di posisi 0,25 persen.
Hal ini diprediksi akan
memicu pembalikan dana asing dari emerging market, termasuk Indonesia, kembali
ke negara maju seiring dengan perbaikan prospek ekonomi AS.
Padahal, saat ini komposisi
investasi asing di Indonesia cukup besar. Bahkan, di pasar surat utang
komposisi investor asing sempat melampaui 37 persen, tertinggi sepanjang
sejarah.
Saat ini untuk mengantisipasi
krisis, pemerintah berpegangan pada Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) pada 2008 meski setelah itu pemerintah merancang UU JPSK
sejak dua tahun lalu.
Aturan tentang JPSK ditujukan
sebagai suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari kondisi krisis yang
mencakup pencegahan dan penanganan krisis.
Aturan itu sekaligus menjadi
dasar pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Anggotanya terdiri
atas Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota dan Gubernur Bank
Indonesia sebagai anggota. KKSK itulah yang melaksanakan fungsi kebijakan
pencegahan dan penanganan krisis.
Antisipasi Bank Sentral
Banyak pengamat memprediksi
bahwa kenaikan bunga acuan AS akan terjadi pada kuartal kedua atau ketiga tahun
depan, meski pihak otoritas AS mengatakan terbuka kemungkinan akaan dinaikkan
lebih cepat.
Gubernur, The Federal Reserve
Janet Yellen sebelumnya mengatakan, seperti dikutip AFP, di depan kongres, The
Fed bisa menaikkan suku bunga acuan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya, jika
pasar terus mencatatkan perbaikan yang solid. Saat ini angka pengangguran di
Amerika Serikat sudah turun 1,5 persen dibandingkan tahun lalu dan berada pada
posisi 6,1 persen.
Angka pertumbuhan lapangan
kerja pada semester pertama tahun ini, memperlihatkan langkah kuat dibandingkan
tahun lalu. Namun demikian, Yellen mengaku masih prihatin dengan bursa tenaga
kerja yang menurutnya masih melemah secara signifikan.
Saat ini suku bunga acuan
(Fed rate) masih berada di level 0,25 persen sejak ditetapkan pada Desember
2008, sebagai upaya untuk mendorong pemulihan ekonomi.
"Jika pasar tenaga kerja
terus membaik lebih cepat daripada perkiraan komite sehingga konvergensi lebih
cepat menuju tujuan ganda kami, kenaikan suku bunga acuan kemungkinan akan
terjadi lebih awal dan lebih cepat dari perkiraan," kata Yellen.
Sementara itu Bank Indonesia
sudah pasang kuda-kuda mengantisipasi dampak terburuk dari kebijakan The Fed
dalam menormalisasi perekonomiannya yang dimulai dengan tapering off lalu mengerek bunga acuannya.
Gubernur BI, Agus DW Martowardojo
mengatakan, pihaknya sudah mempersiapkan tantangan dalam satu tahun ke depan
terkait potensi kenaikan Fed Fund Rate. “Sekarang ini suku bunga Fed ada di
0-0,25 persen. Namun, dengan adanya tapering
off nanti di 2015 mulai ada bunga meningkat dan akan berdampak juga pada
tingkat bunga dunia yang meningkat,” kata dia.
Salah satu persiapan
menghadapi perubahan itu adalah meningkatkan koordinasi dengan pemerintah dalam
banyak hal. “Jadi BI mempersiapkan diri, bahkan dengan pertemuan koordinasi
dengan pemerintah, kami sudah mendiskusikan ini. Secara umum kami mempersiapkan
diri dengan baik,” kata Agus.
BI akan melakukan bauran
kebijakan moneter dan tak hanya mengandalkan kebijakan BI Rate. Bank sentral
hingga kini telah mengeluarkan kebijakan selain suku bunga yaitu loan to value, mengetatkan loan to deposit ratio dan menoleransi
depresiasi nilai tukar untuk mendorong ekspor dan menekan impor. Selain itu, BI
juga memperbaiki transaksi berjalan hingga fundamental ekonomi Indonesia kuat.
“BI tetap akan melakukan
bauran kebijakan tidak harus suku bunga, namun tidak usah khawatir karena BI
pada waktu membuat kebijakan tentu memperhatikan dampak ke semua sektor,” kata
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara.