Minggu, 16 November 2014

Menyambut Ketidakpastian

Simpang-siur, fluktuatif, perubahan mood adalah kata-kata yang belakangan ini kita akrabi. Di ranah politik, ‘kehati-hatian’ penunjukan Kabinet oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sempat membuat Indonesia berjalan dengan auto pilot selama hampir seminggu. Simpang siur kabinet yang terjadi padahal sudah hampir sebulan sejak dibentuknya kantor transisi. Bahkan kalau mau ditarik sedikit lebih jauh lagi, Jokowi-JK sudah melakukan seleksi dengan meminta usulan masyarakat soal menteri lewat situs jejaring sosial.
Mau tidak mau, ketidakpastian itu sempat membuat pasar fluktuatif . Nilai tukar dan indeks saham yang tadinya positif menyambut pelantikan presiden dan wakilnya, mulai meninggalkan level optimisnya. (pada hari yang sama kabinet diumumkan, indeks saham melanjutkan pelemahan dari perdagangan sebelumnya).
Ketidakpastian, sejatinya sudah dirasakan oleh pelaku sektor keuangan beberapa waktu sebelumnya. Susutnya likuiditas sebagai dampak dari rencana otoritas AS yang mau menghentikan program suntikan dana miliaran dollar AS ke perekonomiannya, berbarengan dengan langkah menaikkan suku bunga. Dua rencana yang tampaknya akan dilakukan setidaknya awal tahun depan, sudah membuat indikator-indikator ekonomi kita fluktuatif.
Tantangan itu, jelas menjadi beban yang tidak ringan apalagi jika berbarengan dengan kondisi anggaran yang harus dijalani pemerintahan baru. Tahun ini pemerintah menghadapi keketatan anggaran ketika defisitnya mencapai 2,4 persen. Padahal –meski hanya tinggal dua bulan –presiden perlu atau setidaknya memulai merealisasikan beberapa janji-janji kampanyanye.
Tetapi tantangannya tidak berhenti di situ, karena tahun depan keadaannya jauh lebih sulit terutama jika rencana menaikkan harga bahan bakar minyak jadi dilaksanakan. Kita tak perlu membicarakan soal tantangan tahun ini karena hanya tersisa dua bulan, dan Kabinet Jokowi tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti anggaran dari pemerintahan sebelumnya.
Tantangan sesungguhnya adalah tahun depan. Dengan anggaran belanja negara sebesar Rp 2.039,5 triliun dan defisit 2,21 persen, sejatinya room untuk meningkatkan pemasukan adalah sekitar Rp45 triliun. Namun pemerintah harus memperhitungkan juga defisit yang ada di anggaran daerah-daerah. Dengan asumsi bahwa menurut Peraturan Menteri Keuangan, defisit anggaran daerah 0,3 persen, maka defisit total pemerintah sudah sejatinya mencapai 2,51 persen. Dengan asumsi defisit negara tidak boleh lebih dari 3 persen maka peluang pemerintah mencari utang baru adalah sekitar Rp10 triliun.
Karena itulah sejak awal, pemerintahan Jokowi-JK sudah kasak-kusuk untuk mengurangi pengeluaran yang dinilai bisa dikurangi, seperti anggaran perjalanan dinas kementerian, studi banding, rapat-rapat di luar kota dan lain-lain. Dan yang paling dinanti-nanti adalah pengurangan subsidi bahan bakar minyak.
Cara lain yang ditempuh tentu juga akan mencari sumber pendanaan yang besar mengingat dalam kampanye, Jokowi-JK banyak melontarkan janji-janji pembangunan yang dahsyat. Salah satu sumber yang akan diincar adalah penerbitan obligasi terutama untuk pasar dalam negeri. Pemerintah tengah berencana menerbitkan obligasi ritel.
Akan tetapi di tengah keketatan likuiditas, yang sudah terjadi sejak beberapa bulan lalu, langkah menerbitkan obligasi akan membuat persaingan memperebutkan dana masyarakat makin sengit. Saat ini saja, perbankan sudah berani mengimingi-imingi nasabah spesialnya dengan bunga spesial hingga 11 persen jika menempatkan depositonya.
Likuiditas ketat itu juga diperparah dengan kecenderungan yang ada saat ini ketika banyak orang Indonesia yang membeli properti miliaran di luar negeri seperti AS, Australia dan Singapura. Belum lagi dengan isu utama yaitu normalisasi kebijakan ekonomi AS yang mengancam perekonomian nasional.
Begitu The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan yang kini berada di level 0,25 persen dan menjadi 1,375 (seperti yang diperkirakan banyak pengamat), maka akan banyak sekali dana-dana yang kabur menuju negeri Paman Sam. Yang tersisa hanya kekeringan, seperti sungai di musim kemarau panjang.

                                                          





Ketika Sungai Mulai Mengering

Ancaman kekeringan likuiditas kembali menghantui sektor perbankan di tengah langkah normalisasi perekonomian AS. Di saat yang sama bank belum juga mau mengurangi kecepatannya melempar pinjaman.

Musim panas paling menyengat yang sedang dialami sebagian besar wilayah Indonesia membuat tanah-tanah mengeras dan sungai-sungai mengering,  orang-orang pun mengeluh. Di sektor keuangan, musim panas juga tengah terjadi. Perlahan tapi pasti, kondisi itu membuat persaingan meruncing dan likuiditas mengering, orang-orang di industri keuangan terutama perbankan pun mulai panik.
Ibarat musim, kekeringan likuiditas juga merupakan sebuah siklus. Lima tahun lalu, ketika sektor keuangan Amerika Serikat terperosok dalam jurang krisis akibat sektor perumahannya yang meleleh, dunia ikut menderita. Saat itu, tepatnya pada 2008, secara dramatis likuiditas di perusahaan-perusahaan keuangan AS langsung terkuras karena nasabah-nasabahnya langsung menghindari segala sesuatu yang di dalamnya tercium risiko. Pada Maret tahun itu juga pendanaan Bear Stearns dan Lehman Brother, susut seperti kolam yang ingin dibersihkan, hingga ada yang mencapai 90 persen.
Di Indonesia, badai itu terasa juga. Pada awal 2008, dana di pasar uang tiba-tiba kering karena tidak ada pihak yang mau melepas dananya meskipun banyak yang meminta hingga memakan korban: Bank Century. Meski, terbilang selamat perekonomian Indonesia menyisakan masalah politik dari penyelamatan bank yang kini bernama Bank Mutiara itu.
Dua tahun berlalu, krisis likuiditas datang lagi setelah sektor keuangan di Eropa goncang yang membuat benua itu memasuki krisis ekonomi. Beberapa negara Eropa ambruk setelah mengalami krisis utang dan membuat perekonomin zona Euro rontok. Lagi-lagi Indonesia kena getarannya dan membuat perang perebutan likuiditas terjadi lagi dengan cara menawarkan bunga deposito yang waktu itu mencapai 10 persen.
Tahun ini, ancaman itu datang lagi, meski sejatinya alarmnya sudah menyala sejak tahun lalu. Rencana bank sentral AS (The Federal Reserve) yang ingin mengakhiri kebijakan stimulus perekonomiannya adalah lonceng marabahaya bagi perekonomian global. Ditambah lagi dengan rencana dari The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan setelah melihat adanya perbaikan dalam perekonomian AS.
Sejak tahun lalu berdasarkan voting dari para anggota dewan gubernur The Fed, diputuskan bahwa program quantitative easing akan dikurangi dan pada awal 2015, suku bunga akan mulai dinaikkan.
Karena ekspektasi itulah banyak pemilik modal yang menanamkan dananya di Indonesia mulai bersiaga dengan memindahkan sedikit demi sedikit dananya atau mengganti portofolio investasinya.
Sekretaris Jenderal Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede menilai bahwa pertanda itu sebagai sebuah sirene yang akan membuat likuiditas di pasar dalam negeri mengering.
Normalisasi perekonomian AS pada awalnya akan membuat keinginan untuk memegang aset-aset berdenominasi dollar bertambah sekaligus akan membuat nilai tukar rupiah makin merana. Saat ini saja rupiah sudah mulai melewati level 12.200 per dollar AS di pasar spot antarbank bulan lalu. Hal itu akan memberikan efek berantai kepada perbankan terutama pada ketersediaan likuiditas di pasar.
Terdapat dua macama risiko likuditas yang dihadapi perbankan, yaitu likuiditas di pasar dan likuiditas pendanaan. Risiko likuiditas pasar adalah risiko di mana likuiditas pasar memburuk ketika perbankan membutuhkan pendanaan untuk melanjutkan bisnis. Pendanaan risiko likuiditas adalah risiko di mana para pemilik dana tidak bersedia memberikan dananya untuk perbankan dan perbankan dipaksa untuk meningkatkan suku bunga.
Menurut Lasse Heje Pedersen, Profesor Keuangan dari Sekolah Bisnis Stern di NYU, bentuk yang paling ekstrem dari risiko likuiditas pasar adalah bahwa pemilik dana tidak mau menawarkan dananya.Seperti dikutip dari Voxeu, sebuah situs yang berisi analisis dari para ahli keuangan dan ekonom, Pedersen mengatakan risiko likuiditas pendanaan ekstrem juga terjadi karena bank kekurangan modal sehingga mereka tidak dapat mendanai diri mereka sendiri.

Kondisi Perbankan
Tanda-tanda kekeringan dana sudah mulai terlihat ketika ‘sengatan panas’ tahun ini telah membuat para pengelola bank kegerahan. Jumlah dana yang ditarik dari masyarakat mulai menunjukkan tanda-tanda menurun, di saat yang sama mereka masih agresif menyalurkan pinjaman. Hasilnya, rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga terus menanjak dan melewati pagar yang sebelumnya dibuat oleh otoritas.
Data terakhir yang dirilis otoritas menunjukkan bahwa keketatan memang sudah terasa sejak awal tahun, bahkan sepanjang setahun belakangan. Kecepatan penyaluran kredit ternyata tidak bisa diimbangi dengan kecepatan memperoleh dana, karena memang dana-dana di masyarakat kini sangat sulit ditarik, jika tidak mau dikatakan mulai mengering.
Tren makin agresifnya bank dalam menyalurkan kredit yang tidak diimbangi dengan ketersediaan dana di pasar membuat rasio kredit terhadap pendanaan (LDR) bank terus menanjak. Pada saat perekonomian dalam kondisi stabil kondisi ini sejatinya sangat positif untuk mendorong pertumbuhan. Akan tetapi, ketika ekonomi tengah khawatir terhadap pelarian dana karena adanya ekspektasi membaiknya ekonomi AS, hal itu tentu menjadi ancaman.
Dari data yang dicuplik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai Juli bank-bank asing sangat agresif menyalurkan pinjaman hingga hampir menyentuh angka 150 persen. Malahan ada satu bank yang ditengarai memiliki angka LDR melewati 250 persen.
Sementara itu, kinerja bank campuran juga tidak kalah agresif dalam melempar dana. Berdasarkan data yang sama, hingga Juli kemarin rasio kreditnya mencapai 135 persen, yang dalam setahun terakhir memang konsisten naik terus.
Di lain pihak bank-bank umum dan milik negara juga mencatatkan peningkatan meski tidak setinggi bank asing. Bank-bank nasional tampaknya lebih patuh kepada arahan otoritas yang sejak tahun lalu meminta perbankan tidak terlalu bernapsu melempar dana ke nasabah dan menjaga LDR-nya di kisaran 78-92 persen.
Perbankan pun mengambil langkah instan. Mereka mulai menawarkan bunga pinjaman yang tinggi agar nasabah tergiur untuk menyimpan dana sekaligus mempertahankan dana yang ada. Pada dua bulan belakangan hal tersebut terasa sekali. Sejak awal kuartal kedua, bank-bank sudah berani menawarkan bunga deposito hingga melewati 10 persen, lebih tinggi dari yang digariskan oleh otoritas penjamin simpanan sebesar 7,75 persen.
Atas langkah itu, regulator pengawas perbankan bertindak cepat dengan menerapkan pembatasan suku bunga deposito yang biasanya ditawarkan kepada nasabah khusus (special rate). Otoritas Jasa Keuangan mengatakan bahwa perang bunga deposito akan membuat penilaian investor akan sektor keuangan Indonesia makin buruk. “Kondisi likuditas perbankan saat ini masih dalam kondisi wajar, jangan sampai ada persepsi yang mengatakan bahwa perbankan kita kekurangan likuiditas," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon, bulan lalu.
Menawarkan suku bunga tinggi, kata dia, akan menyebabkan biaya dana atau cost of fund bank menjadi tinggi. Hal ini akan berisiko terhadap penyaluran kredit dan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi. “Informasi beberapa hal yang kita lakukan berdasarkan kondisi persaingan bunga DPK di bank-bank, yang selama ini menjadi isu. OJK dan BI menilai, pemberian suku bunga dana sudah tidak wajar dan akan menyebabkan cost tinggi, perlambatan dan risko kredit, dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Untuk itu maka OJK melalui aksi supervisi akan membatasi suku bunga DPK,” kata Nelson.
                                        
Asing Tak Masalah

Jika dilihat lebih seksama, dari data OJK, bank-bank asing mencatatkan rasio kredit yang sangat mengkhawatirkan di mana angkanya menembus 200 persen. Namun demikian tidak terlihat adanya kekhawatiran yang berlebihan dari para pengelolanya. Salah satunya adalah Bank Sumitomo Mitsui Indonesia.
Bank campuran ini mencatatkan LDR sebesar sebesar 254,51 persen, pada Juni melonjak dua kali lipat dari periode yang sama tahun sebelumnya. Parahnya lagi, Bank Sumitomo tidak memiliki simpanan berjenis tabungan dan hanya memiliki giro dalam komposisi dana pihak ketiganya, yang mana angkanya terus turun. Kendati demikian, tampaknya bank itu belum terdengar panik akan keketatan likuiditasnya.
Pardi Sudradjat, Direktur Eksekutif BaRA, sebuah organisasi bankir dalam bidang manajemen risiko, mengatakan bahwa pada bank asing, angka LDR yang tinggi tidak lantas membuatnya terekspos risiko likuiditas. “Bank-bank asing pada umumnya memiliki LDR di atas 200 persen, namun tidak menjadi masalah likuiditas karena sumber dana bank (banyak) berasal dari pinjaman bank lain,” kata dia.
Dalam mengukur risiko likuiditas, sebagian bank–terutama asing–menggunakan  rasio internal loan to funding ratio/LFR), yaitu total pembiayaan dibagi dengan total pendanaan. Ukuran itu dinilai lebih akurat dalam mengukur risiko likuiditas karena juga memperhitungkan dana-dana selain dari DPK semisal dari perusahaan induk, pinjamana antarbank, dll.
Nah, menurut Pardi, LFR bank-bank yang terafiliasi investor asing pada umumnya sekitar 80 - 85 persen karena mendapat dukungan pinjaman dana dari perusahaan induk. “Masalah bisa terjadi apabila sumber dana berasal dari pinjaman antar bank jangka pendek (overnight),” lanjut dia.
Pada umumnya angka LFR memang lebih rendah dari LDR. Apabila terjadi sebaliknya, ada kemungkinan bank meningkatkan atau memelihara posisi investasi surat berharga seperti obligasi yang berlebihan dibandingkan dengan ketersediaan sumber dana di luar dana murah (CASA) dan deposito.
Pardi mengatakan lagi, bahwa langkah mengerek suku bunga deposito yang dilakukan manajemen bank adalah sebuah langkah wajar. “Bank memang akan langsung mengamankan risiko likuiditas berapapun biayanya, bahkan kalau perlu perolehan laba dilupakan dulu,” kata dia.
Soal pembatasan suku bunga yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan, Pardi mengatakan hal itu tidak efektif karena bank akan mengakalinya dengan voucher atau gimmick lainnya. Kebijakan seperti itu, lanjut Pardi hanya akan menekan bank menengah kecil.



Rekomendasi BIS Soal Manajemen Likuiditas

Krisis keuangan pada akhir tahun 2007 hingga 2008 memaksa Basel Commitee on Banking Supervision (BCBS) dari Bank for International Settlements (BIS) mengkaji kembali rekomendasi dalam dokumen mengenai Sound Liquidity Risk Management Practices yang dikeluarkan pada tahun 2000. Hasil dari rekomendasi itu adalah :
1) Penetapan level toleransi terhadap risiko likuiditas (liquidity risk tolerance);
2) Pemeliharaan tingkat likuiditas yang memadai, termasuk pencadangan aset likuid ;
3) Perlunya alokasi biaya, manfaat, risiko likuiditas pada aktivitas usaha yang
signifikan;
4) Identifikasi dan pengukuran berbagai spektrum risiko likuiditas, termasuk risiko
likuiditas yang bersumber dari transaksi off balance sheet (contingent liquidity
risks) ;
5) Desain dan penggunaan skenario stress test yang bersifat worst case ;
6) Perlunya rencana pendanaan darurat (contingency funding plan) yang memadai;
7) Pengelolaan likuiditas intra hari (intraday liquidity risk) dan agunan;
8) Pengungkapan publik untuk mendorong disiplin pasar (market discipline)


Mengamankan ‘Sang Raja’

Perbankan akan berupaya mati-matian mengamankan likuiditasnya, bahkan lebih dari upaya mereka mengamankan profit. Berbagai strategi diterapkan bank dari menawarkan suku bunga tinggi hingga menarik komisi dari nasabah.

Liquidity is king. Bagi sebuah bank, ungkapan itu sudah menjadi kredo. Perbankan masih bisa merelakan dirinya terekspos risiko kredit, atau risiko reputasi sekalipun, namun tidak akan pernah menganggap enteng ancaman dari susutnya likuiditas. Begitu ada sinyal akan terjadi kekeringan likuiditas, bank akan segera menanggapinya dengan serius.
Seperti yang terjadi sekarang. Ketika pelaku pasar makin waspada dan bersiaga mengantisipasi dampak dari kebijakan penarikan stimulus perekonomian AS, likuiditas di pasar lambat laun menjadi makin seret. Perbankan mulai merasakan dana-dana di pasar sulit di dapat, di saat yang sama mereka tak menurunkan agresifitasnya dalam melempar pinjaman.
Rasio dana dan kredit (LDR) kemudian melonjak cukup tajam. Pada Juli, angka LDR bank umum –berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan–mencapai hampir 93 persen, merangkak sejak awal tahun ini. Padahal setahun sebelumnya LDR masih berada di level 89,7 persen. Dengan kondisi itu, perbankan ditengarai banyak menggunakan dana-dana jangka pendek untuk membiayai kredit.
Pardi Sudradjat, Direktur Eksekutif Bankers Association for Risk Management (BARa), mengatakan jika bank menggunakan dana-dana jangka pendek di pasar uang antarbank maka bank membiarkan dirinya masuk dalam risiko besar. “Menggunakan dana jangka pendek interbank untuk membiayai kredit adalah sangat berisiko pada saat likuiditas kering dan ancaman global crisis,” kata dia.
Menahan laju kredit adalah langkah yang paling pas dilakukan oleh pengelola bank saat ini untuk setidaknya memiliki ruang likuiditas yang cukup. Bank sentral dalam aturan terakhir yang diterbitkannya untuk perbankan soal rasio dana dan kredit menggariskan bahwa bank harus mengarahkan LDR ke dalam kisaran 78-92 persen. Jika rasio kredit bank di luar dari level tersebut maka bank sentral akan memberikan sanksi.
“Yang penting (buat bank kini) LDR dibuat sekitar 85 persen dulu, pertumbuhan kredit direm dulu. Jika LDR sudah di level ini maka bank kemudian baru mengupayakan bauran DPK (dana pihak ketiga) dengan fokus memperbesar dana murah,” jelas Pardi.
Bank harus menyimpan aset-aset yang likuid sedemikian rupa sehingga dianggap cukup memenuhi kebutuhan pada saat krisis likuiditas secara spesifik benar-benar terjadi, yang ditandai dengan penarikan dana secara besar-besaran. “Bank akan berupaya keras mengamankan likuiditas at all cost, jika perlu bahkan urusan perolehan laba dilupakan dulu,” kata bankir di salah satu bank pelat merah itu.
Apa yang dikatakan Pardi tidaklah berlebihan, alih-alih itulah yang memang sedang terjadi. Bank sudah menawarkan bunga deposito yang menggiurkan demi menarik dana nasabah atau sekadar mempertahankan yang ada. Saat ini bank-bank menetapkan bunga khusus bagi nasabah-nasabah kelas kakap yang memiliki dana lebih dari Rp2 miliar, yang besarannya bisa mencapai 11 persen. Tentu tidak ada satu bank pun yang akan mengakuinya. Meski demikian Otoritas Jasa Keuangan, lembaga pengawas industri keuangan, mengetahuinya dan buru-buru mengantisipasinya.
"Seperti ini tidak bisa dibiarkan. Jadi kami sedang mendalami sekaligus meminta kepada industri, jangan sampai memasuki jebakan persaingan untuk menaikkan tingkat suku bunga yang dipicu oleh perilaku deposan besar,” kata Ketua Komisioner OJK Muliaman Darmansyah Hadad. 
Menurutnya, kondisi pengetatan likuiditas memang memacu perbankan untuk merayu deposan kakap yang memiliki dana di atas Rp 2 miliar, dengan suku bunga tinggi. Sekadar informasi, suku bunga LPS berada di level 7,75 persen. Namun, perbankan berani mengganjar deposan dengan suku bunga hingga 11 persen.

Strategi Bank
Selain mengiming-imingi nasabah dengan bunga spesial, sejatinya bank sudah mengupayakan ketersediaan likuiditas dengan menarik dana-dananya yang ada di Sertifikat Bank Indonesia. Menurut data otoritas, penempatan dana bank-bank umum pada instrumen itu terus menyusut sejak Januari hingga pertengahan tahun. Jika pada Januari angkanya masih sebesar Rp113,308 triliun maka pada Juni jumlahnya tinggal Rp89,92 triliun, berkurang lebih dari seperlimanya.
Bank-bank negara juga tak kalah agresif menarik dana-dananya di SBI hingga mencapai hampir separo dana yang ada di Januari. Selain itu, keketatan likuiditas karena agresifnya bank menyalurkan kredit berdampak pada strategi bank untuk mencari pendanaan di pasar uang antarbank.
Dalam banyak teori pengelolaan likuiditas, bank dianggap likuid apabila memiliki sejumlah likuiditas atau memegang alat-alat likuid, cash assets (seperti uang kas, rekening pada bank sentral dan bank lainnya) dalam jumlah yang sama dengan jumlah kebutuhan likuiditas yang diperkirakan.
Bank juga memiliki likuiditas kurang dari kebutuhan, tetapi bank memiliki surat-surat berharga yang segera dapat dialihkan menjadi kas, tanpa mengalami kerugian baik sebelum atau sesudah jatuh tempo. Selain itu, memiliki kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara menciptakan uang, misalnya dengan menggunakan fasilitas diskonto, interbank call money, penjualan surat berharga dengan repurchase agreement (repo).
Selain itu bank juga memiliki cara lain untuk menarik dana lebih banyak dari nasabah. Bulan lalu, tepat pada 1 November perbankan dan penyedia jaringan transaksi tunai dinilai telah menjalankan rencana menaikkan ongkos transaksi nasabah di mesin tarik tunai atau ATM. Penyedia jaringan seperti ATM Prima, ATM Bersama, dan bank anggota sepakat mengerek tarif transaksi lintas bank di ATM dari tiga jenis transaksi antarbank sebesar 50 persen. Tarif transfer antarbank naik menjadi Rp 7.500 per transaksi dari sebelumnya Rp 5.000. Kemudian, biaya cek saldo di ATM antarbank menjadi Rp 4.000-Rp 4.500 per transaksi dari sebelumnya Rp2.000-Rp3.000. Aktivitas penarikan tunai pun naik menjadi Rp 7.500-Rp 8.000 dari sebelumnya Rp 5.000.
Kenaikan itu disinyalir merupakan cara bank untuk menggenjot pendapatan komisi (fee-based income). Pendapatan ini termasuk di antaranya adalah pendapatan provisi, fee atau komisi yang diterima bank dari pemasaran produk maupun transaksi jasa perbankan yang dibebankan kepada nasabah sehubungan dengan produk dan jasa bank yang dinikmatinya.
Pardi Sudradjat dari BARa berpendapat bahwa strategi yang dilakukan bank untuk mengamankan likuiditas adalah wajar mengingat bank tidak ingin mengambil risiko sedikit pun jika menyangkut likuiditas.
Meski begitu, secara umum keketatan yang ada hanya berasal dari likuiditas pendanaan (funding liquidity) karena, menurut dia, kondisi pasar modal (market liquidity) masih relatif likuid.
“Masalah yang dihadapi bank adalah dana pihak ketiga kurang. Konon DPK separonya ada di luar negeri terutama di Singapura, ini terkait juga dengan kebijakan pajak yang kadang tidak bijak sehingga mendorong orang lebih suka menyimpan di luar negeri,” kata Pardi.
Apa yang diungkapkan Pardi, diamini oleh Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin. Diakui dia, kondisi likuiditas perbankan di dalam negeri memang saat ini sangat ketat. Alhasil, perbankan nekat memberikan bunga deposito tinggi, bahkan ada yang sampai 11 persen yang biasanya ditawarkan oleh bank-bank besar.
Salah satu alasannya adalah, banyak individu dan perusahaan di Indonesia yang memilih menyimpan uangnya di bank-bank Singapura. “Likuiditas kita ketat karena banyak uang dari individu dan perusahaan Indonesia yang tidak ada di sistem perbankan Indonesia, tapi ada di sistem perbankan Singapura,” kata Budi.
Pada kesempatan itu, Budi juga mengusulkan, untuk mengantisipasi ketatnya likuiditas di perbankan, perlu dibuat tabungan nasional agar semua masyarakat masuk dalam sistem perbankan. Ini bisa mendorong banyaknya dana masyarakat masuk ke perbankan.

Dampak Eksternal
Sejatinya, alarm dari kemungkinan susutnya likuiditas global sudah dibunyikan oleh Dana Moneter Internasional. Direktur Pelaksana IMF Christian Lagarde mengingatkan agar para pemimpin negara di Asia mendorong perubahan struktural untuk memastikan kawasan itu tetap memimpin pertumbuhan global. Pasalnya ada tantangan besar di depan terkait kemungkinan munculnya volatilitas nilai tukar akibat dari pengurangan stimulus ekonomi yang dilakukan bank sentral AS.
Hal itu dikatakan Lagarde beberapa bulan lalu saat menyampaikan proyeksi ekonomi regional untuk kawasan Asia-Pasifik.
“Tingginya tingkat suku bunga dan serangan volatilitas arus modal masih mempengaruhi perekonomian Asia. Di samping itu, ketatnya likuiditas global di tengah pemulihan di negara-negara maju juga akan mengancam perekonomian Asia,” kata dia.
Masalah ketatnya likuiditas global memang merupakan salah satu risiko utama yang dihadapi kawasan Asia tahun ini dan tahun depan. Bahaya lain yang juga perlu diwaspadai adalah perlambatan pertumbuhan China yang jauh dari perkiraan. “Begitu pula dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi Jepang yang masih melambat. Meningkatnya ketegangan geopolitik yang mengganggu perdagangan juga harus menjadi perhatian para pemimpin Asia,” kata Lagarde.
IMF memperkirakan ekonomi China akan tumbuh 7,5 persen pada tahun ini dan 7,3 persen pada 2015. Sedangkan ekonomi Jepang diperkirakan bertumbuh 1,4 persen tahun ini dan 1 persen pada tahun depan. Perlambatan ekonomi China tentu akan berdampak terhadap negara yang memiliki hubungan perdagangan bilateral, juga akan mempengaruhi kegiatan ekspor-impor, tak terkecuali Indonesia.
Meski demikian, Asia diyakini mampu menghadapi tantangan ke depan asalkan tetap konsisten dengan program reformasinya. Reformasi sangat penting tidak hanya untuk mempertahankan pertumbuhan di kawasan Asia dalam jangka menengah. “Dalam beberapa kasus untuk menjaga kepercayaan investor dan mengamankan stabilitas keuangan dalam jangka pendek,” ujar Lagarde.
Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia diperkirakan dua kali lebih cepat dibandingkan negara-negara maju. Sedangkan pertumbuhan di negara emerging (negara berkembang dengan pendapatan menengah), termasuk Cina dan India, diperkirakan tiga kali lebih cepat.
Namun IMF mengingatkan penurunan produktivitas dalam beberapa tahun terakhir. “Kawasan ini harus melakukan reformasi lebih lanjut untuk meningkatkan potensi pertumbuhan dan terus mendorong masuknya investasi asing,” ujar Lagarde.
Peringatan itu bukannya tidak digubris oleh otoritas moneter. Karena sudah sejak jauh-jauh hari
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengutarakan bahwa tahun ini pihaknya akan memfokuskan kerja makroprudensial bank sentral pada upaya memitigasi risiko kredit dan risiko likuiditas perbankan. “Pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dari pertumbuhan dana yang dihimpun, menyebabkan meningkatnya risiko likuiditas,” katanya dia, beberapa bulan lalu.
Dalam kondisi likuiditas yang makin sulit saat ini, Agus mengatakan, persaingan antarbank untuk menghimpun dana pihak ketiga semakin ketat. Hal ini, selanjutnya akan mendorong suku bunga jangka pendek. “Ini mengakibatkan adanya risiko suku bunga,” paparnya.
Meski demikian, jelas Agus, secara umum kondisi likuiditas perbankan masih baik. Perlambatan pertumbuhan kredit cukup konsisten dan sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang melambat.


Strategi Mengamankan Likuiditas
                                                                        
Untuk menjaga posisi likuiditas dan proyeksi cashflow agar selalu berada dalam posisi aman, terutama dalam kondisi tingkat bunga berfluktuasi, beberapa strategi ini dapat dilakukan oleh bank
- Merperpanjang jatuh tempo semua kewajiban bank, kecuali bila tingkat bunga
cenderung mengalami penurunan
- Melakukan diversifikasi sumber dana bank
- Menjaga keseimbangan jangka waktu asset dan kewajiban
- Memperbaiki posisi likuiditas antara lain mengalihkan asset yang kurang
marketable menjadi lebih marketable.
Sumber: ALCO, oleh Raflus Rax,1996.


Menunggu Sinyal

Saat ini hampir seluruh perekonomian dunia menantikan apa yang akan dilakukan bank sentral AS dalam rangka menormalisasi kebijakan moneternya. Bagi otoritas Indonesia, persiapannya tampaknya tidak terlalu memuaskan.

Sejak memasuki awal abad ke-21, Amerika adalah momok bagi perekonomian dunia. Ketika negara perekonomian terbesar di dunia itu berjalan ke arah pertumbuhan maka sebagian besar negara di dunia akan terkena imbasnya. Seperti yang terjadi kini.
Setelah ekonomi AS terjerembab dalam krisis akibat turbulensi dari sektor perumahannya sendiri, setiap perkembangan di negara itu selalu menjadi isu global. September lalu, pada rapat Komite Pasar Terbuka AS (FOMC), bank sentral AS disebut-sebut mulai menyinggung soal exit strategy dari kebijakan yang selama enam tahun terakhir dijalankan.
The Federal Reserve berencana melepas kepemilikan surat-surat berharga yang dibelinya dalam upaya mengguyur pasar dengan dana miliaran dollar AS. The Fed juga memberikan sinyal akan memperketat kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan yang sudah bertahan selama enam tahun di level 0-0,25 persen. Semuanya, besar kemungkinan akan dijalankan paling telat awal tahun depan.
Saat ini pertumbuhan ekonomi AS memang mulai bergerak ke arah normal, dan sudah terjadi dalam beberapa bulan belakangan. Dalam sebuah laporan The Fed, yang dikutip dari kantor berita internasional, dari 12 distrik, enam di antaranya mengalami kinerja perekonomian moderat, lima daerah tumbuh dengan kecepatan sedang, dan di Distrik Boston, pertumbuhannya masih bervariasi.
Tingkat pengangguran, indikator utama ekonomi AS, turun ke level terendah dalam enam tahun, yakni 5,9 persen, dan pertumbuhan pekerjaan bergerak solid tahun ini dengan rata-rata penyerapan lapangan kerja mencapai 227.000 setiap bulan. Namun, masih ada 9,3 juta orang yang secara resmi tercatat sebagai pengangguran.
Dinamika kebijakan moneter di AS hampir selalu berdampak pada sejumlah mata uang utama di dunia. Di Indonesia, kondisi tersebut, tak pelak membuat aliran dana-dana investor mancanegara mulai berubah arah, alias berbalik kembali ke AS. Seperti yang terjadi di Indonesia. Bulan lalu saja, hengkangnya dana-dana dari hedge fund dan investor follower membuat nilai tukar rupiah menembus level psikologis Rp12.000 per dollar AS, dan bursa saham selalu fluktuatif.
“Rupiah melemah itu banyak faktor. Dari kondisi perkembangan di luar negeri yang masih masih risk on risk off kita melihat di AS mempunyai perkembangan yang langsung berdampak pada negara-negara dunia termasuk negara berkembang, termasuk Indonesia,” kata Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo.
Agus tak memungkiri bahwa rencana The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan memberi sentimen negatif kepada pasar di Indonesia. Pelaku pasar global yang khawatir ekonomi dunia melambat dan kinerja perusahaan internasional yang kurang baik memicu arus dana asing keluar dari Indonesia.
Selain faktor eksternal, hal lain yang membuat pelaku pasar banyak melarikan dananya ke luar adalah panasnya politik Indonesia yang belum sepenuhnya mereda. Sementara itu, faktor dalam negeri seperti inflasi dan neraca transaksi berjalan juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan.
Empat bulan belakangan, situasi politik nasional memang hampir mendidih karena kontestasi pemilihan presiden yang hanya menghadirkan dua calon. Proses yang cukup panjang dan berliku telah membuat investor khawatir mengenai prospek ekonomi Indonesia.
Indikator-indikator perekonomian mengalami fluktuasi dengan kecenderungan melemah seperti indeks saham dan nilai tukar. Sementara lainnya, seperti inflasi dan juga neraca transaksi berjalan relatif masih berada di tingkat yang kurang menyenangkan.
Namun demikian, pengamat ekonomi dan keuangan Yanuar Rizki tidak sepakat jika pelemahan beberapa indikator ekonomi dan pasar disebabkan oleh faktor politik. Menurut dia, hal itu mutlak disebabkan oleh ekspektasi terhadap kebijakan ekonomi global khususnya bank sentral AS. “Dulu waktu gaduh soal Century (2008), kenapa rupiah malah menguat. Ada yang bilang market sudah dewasa. Jika sekarang karena panasnya pilpres apakah market jadi anak-anak lagi,” kata Yanuar.
Menurut dia, penguatan dan pelemahan rupiah lebih dipengaruhi kebijakan uang beredar global. Jadi jika saat ini rupiah kembali melemah memang tengah dalam proses rebalancing karena adanya perubahan kebijakan di negara-negara maju khususnya AS. “Faktor politik memang ada pengaruhnya, tetapi bukan itu pemicunya,” kata Yanuar.

Pertumbuhan Tertekan
Atas risiko yang mengintai akibat rencana otoritas Negeri Paman Sam, Bank Dunia kemudian memangkas proyeksi laju pertumbuhan ekonomi global. Bahkan lembaga donor yang kental dengan dominasi kepentingan AS itu juga memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan perekonomian paling rentan terhadap penarikan dana asing saat The Fed menaikkan suku bunganya.
Indonesia, hingga saat ini masih terbelenggu oleh defisit transaksi berjalan dan juga utang jangka pendek yang jumlah keduanya mencapai 10 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kedua faktor tersebut berjumlah 77 persen dari total cadangan devisa negara. Peningkatan level utang perusahaan yang cepat menyebabkan kenaikan suku bunga dalam waktu cepat dapat menghasilkan likuiditas dan solusi bagi beberapa kreditor di industri dengan kapasitas berlebih.
Sebaliknya, India justru menjadi negara dengan perekonomian unggul di Asia. Pertumbuhan ekonomi India tercatat berada di kisaran 5,6 persen tahun ini dan dapat meningkat hingga 6,4 persen tahun depan. Bahkan Bank Dunia melihat potensi pertumbuhan ekonomi India hingga level 7 persen pada tahun berikutnya.
Malahan pertumbuhan ekonomi nasional bisa saja makin tertekan ketika rencana kenaikkan harga bahan bakar minyak direalisasikan pemerintah baru. Wacana itu memang diperkirakan tinggal menunggu waktu karena Presiden Joko Widodo menghadapi ruang anggaran yang cukup ketat.
Room untuk meningkatkan anggaran nasional cuma tinggal sedikit,” kata Hartadi Agus Sarwono, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Defisit anggaran pemerintah pusat berada di level 2,21 persen dan defisit anggaran daerah diperkirakan berada di angka 0,3 persen sehingga jika dijumlah angka defisit total adalah sekitar 2,5 persen. Karena total batas defisit yang dibolehkan menurut undang-undang keuangan negara adalah 3 pesen, maka pemerintah baru hanya bisa menarik dana menutup defisit hanya sebesar kurang 0,5 persen, yaitu hanya kurang dari Rp25 triliun.
“Anggaran yang ada sekarang juga belum memperlihatkan program prioritas pemerintahan baru (Jokowi-Jusuf Kalla),” kata Hartadi yang juga menjabat sebagai Advisory Regional IMF Group.
Pemerintah baru, dinilai dia, akan mengincar sumber pembiayaan dalam negeri dengan menerbitkan obligasi demi mengamankan anggarannya. Saat ini saja sedang gencar ditawarkan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) Seri 11 oleh Kementerian Keuangan. Hal itu tentu menjadi tantangan tersendiri buat perbankan.
“Semakin besar sumber pembiayaan dalam negeri maka negara dan bank akan berebutan dana nasabah,” kata Hartadi, yang kini menjadi Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).
Kondisi itu tentu akan menambah persaingan memperebutkan dana pihak ketiga dan akan menjadi pemicu keketatan likuiditas yang lebih intensif lagi di sektor keuangan nasional. Saat ini saja bank-bank sudah menawarkan suku bunga di atas 10 persen untuk nasabah khusus yang bersedia menyimpan dananya sebagai deposito. Perang suku bunga, dengan itu, pun pecah dan menambah risiko likuiditas bagi perbankan.

Ancaman Krisis
Bank memang lebih concern terhadap risiko likuiditas ketimbang hal lainnya semisal risko kredit atau bahkan ancaman turunnya laba. Karena berdasarkan pengalaman tidak ada kejadian yang membuat bank harus tutup karena risiko kredit atau ancama turunnya laba, namun sebaliknya banyak bank yang tutup karena masalah likuiditas.
Maka dari itu, likuiditas yang mengetat merupakan ancaman serius bagi perekonomian nasional. Beberapa pihak mendesak diterbitkan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang sudah dua tahun mangkrak.
Tak kurang dari Menteri Keuangan M Chatib Basri (saat ini sudah mantan), yang meminta aturan tersebut diterbitkan segera.  Chatib menekankan urgensi kehadiran UU JPSK, terutama mengingat adanya normalisasi kebijakan moneter AS. “Kalau ada guncangan kita bisa mencegah supaya krisis enggak terjadi. Salah satu yang kita butuhkan ya UU JPSK,” kata dia bulan lalu.
Menurut dia, bank sentral AS akan memastikan Fed Fund Rate akan ada di posisi 1,375 persen pada akhir tahun depan dari posisi saat ini yang bertengger di posisi 0,25 persen.
Hal ini diprediksi akan memicu pembalikan dana asing dari emerging market, termasuk Indonesia, kembali ke negara maju seiring dengan perbaikan prospek ekonomi AS.
Padahal, saat ini komposisi investasi asing di Indonesia cukup besar. Bahkan, di pasar surat utang komposisi investor asing sempat melampaui 37 persen, tertinggi sepanjang sejarah.
Saat ini untuk mengantisipasi krisis, pemerintah berpegangan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada 2008 meski setelah itu pemerintah merancang UU JPSK sejak dua tahun lalu.
Aturan tentang JPSK ditujukan sebagai suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari kondisi krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis.
Aturan itu sekaligus menjadi dasar pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Anggotanya terdiri atas Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota. KKSK itulah yang melaksanakan fungsi kebijakan pencegahan dan penanganan krisis.

Antisipasi Bank Sentral
Banyak pengamat memprediksi bahwa kenaikan bunga acuan AS akan terjadi pada kuartal kedua atau ketiga tahun depan, meski pihak otoritas AS mengatakan terbuka kemungkinan akaan dinaikkan lebih cepat.
Gubernur, The Federal Reserve Janet Yellen sebelumnya mengatakan, seperti dikutip AFP, di depan kongres, The Fed bisa menaikkan suku bunga acuan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya, jika pasar terus mencatatkan perbaikan yang solid. Saat ini angka pengangguran di Amerika Serikat sudah turun 1,5 persen dibandingkan tahun lalu dan berada pada posisi 6,1 persen.
Angka pertumbuhan lapangan kerja pada semester pertama tahun ini, memperlihatkan langkah kuat dibandingkan tahun lalu. Namun demikian, Yellen mengaku masih prihatin dengan bursa tenaga kerja yang menurutnya masih melemah secara signifikan.
Saat ini suku bunga acuan (Fed rate) masih berada di level 0,25 persen sejak ditetapkan pada Desember 2008, sebagai upaya untuk mendorong pemulihan ekonomi.
"Jika pasar tenaga kerja terus membaik lebih cepat daripada perkiraan komite sehingga konvergensi lebih cepat menuju tujuan ganda kami, kenaikan suku bunga acuan kemungkinan akan terjadi lebih awal dan lebih cepat dari perkiraan," kata Yellen.
Sementara itu Bank Indonesia sudah pasang kuda-kuda mengantisipasi dampak terburuk dari kebijakan The Fed dalam menormalisasi perekonomiannya yang dimulai dengan tapering off lalu mengerek bunga acuannya.
Gubernur BI, Agus DW Martowardojo mengatakan, pihaknya sudah mempersiapkan tantangan dalam satu tahun ke depan terkait potensi kenaikan Fed Fund Rate. “Sekarang ini suku bunga Fed ada di 0-0,25 persen. Namun, dengan adanya tapering off nanti di 2015 mulai ada bunga meningkat dan akan berdampak juga pada tingkat bunga dunia yang meningkat,” kata dia.
Salah satu persiapan menghadapi perubahan itu adalah meningkatkan koordinasi dengan pemerintah dalam banyak hal. “Jadi BI mempersiapkan diri, bahkan dengan pertemuan koordinasi dengan pemerintah, kami sudah mendiskusikan ini. Secara umum kami mempersiapkan diri dengan baik,” kata Agus.
BI akan melakukan bauran kebijakan moneter dan tak hanya mengandalkan kebijakan BI Rate. Bank sentral hingga kini telah mengeluarkan kebijakan selain suku bunga yaitu loan to value, mengetatkan loan to deposit ratio dan menoleransi depresiasi nilai tukar untuk mendorong ekspor dan menekan impor. Selain itu, BI juga memperbaiki transaksi berjalan hingga fundamental ekonomi Indonesia kuat.
“BI tetap akan melakukan bauran kebijakan tidak harus suku bunga, namun tidak usah khawatir karena BI pada waktu membuat kebijakan tentu memperhatikan dampak ke semua sektor,” kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara.