Kamis, 11 Desember 2014

Sirene Krisis

Sirene krisis sejatinya sudah menyala, meski mungkin tingkat kewaspadaannya masih siaga 2. Namun, Bank Indonesia –sejak  memperoleh independensinya pada 1999–tak mau mengambil risiko sedikitpun akan munculnya krisis walaupun itu masih berupa gejala atau pertanda. Adalah rencana bank sentral AS yang tahun depan akan mengembalikan kebijakannya ke jalur normal, yang menjadi pemicunya. Hal itu sudah cukup menjadi alarm bahwa ekonomi global akan kembali bergejolak. Karenanya Bank Indonesia, yang kehilangan taji pegawasan perbankannya tahun ini, langsung bergegas menyiapkan diri mengantisipasinya.
Akan tetapi yang sibuk menyiapkan diri terlihat hanya otoritas moneter saja, sementara pemerintah, sebagai otoritas fiskal terlihat adem ayem. Pemerintahan baru yang terbentuk Oktober lalu tampaknya masih sibuk mengutak-atik masalah fiskal dan berupaya menambalnya anggaran.
Padahal Kementerian Keuangan sejatinya sudah harus bahu membahu menyiapkan langkah antisipasi dan mitigasi krisis. Menteri Keuangan adalah salah satu anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan bersama BI, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pemerintah berencana akan menerbitkan obligasi pada tahun depan untuk menutup kebutuhan anggaran, dan lebih dari separonya akan diterbitkan sebelum semester satu berakhir. Meski strategi front loading itu mempertimbangkan kemungkinan dampak normalisasi kebijakan AS, tetapi tujuannya bukan untuk mengantisipasi krisis.
Malahan strategi pemerintah yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi tahun depan pada investasi langsung juga dianggap berbahaya. Menurut Bank Dunia, strategi itu akan menambah tambahan beban impor, padahal Indonesia masih memiliki masalah pada Neraca Transaksi Berjalan.
Kondisi itu justru akan makin menambah kekhawatiran, bahwa krisis akibat normalisasi ekonomi AS, akan makin nyata.
Trauma krisis sejatinya bukan hanya dirasakan oleh Bank Indonesia, sebagai garda terdepan urusan moneter, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. Akibat krisis 16 tahun lalu, masyarakat Indonesia seperti masuk dalam zaman kegelapan ekonomi. Indikator-indikator ekonomi pun hampir semua terperosok. Belum lagi, kerugian sosial yang tak terhitung yang dialami masyarakat sepanjang kurun waktu 98 hingga 2000-an awal. Jadi jangan bilang, kalau menyiapkan antisipasi krisis, bukan urusan pemerintah.
Pemerintah, dalam demokrasi modern yang diadopsi banyak negara di dunia, sejatinya adalah pihak yang diserahi tugas untuk mengurusi hal-hal terkait masalah yang disepakati merupakan masalah publik. Jadi ketika ada masalah terkait keamanan, kesejahteraan masyarakat dan hukum, serta hal lain, pemerintah tidak bisa dan tidak boleh lepas tangan.
Pemerintah boleh merasa tidak mampu mengurus semua rakyatnya (meskipun tidak pernah akan dikatakan), namun setidaknya pemerintah memiliki sistem dan kemauan yang bertujuan mengurus seluruh rakyatnya.
Pemerintah juga seharusnya tidak menggunakan posisi –bahkan asumsi sekalipun, sebagai individual, rumah tangga, atau bahkan perusahaan sekalipun dalam mengurus rakyatnya.
Nah, sekarang perekonomian kita dihadapkan pada kemungkinan terjadinya gejolak global. Pemerintah, selain memikirkan persoalan fiskal, perlu juga dipikirkan masalah jaring pengaman sektor keuangan agar rakyat nanti jika tertimpa krisis (mudah-mudahan jangan) masih sempat merasakan kehadiran negara.
Undang-undang yang rancangannya masih mangkrak itu, karenanya perlu dibicarakan lagi, dan secepatnya diterbitkan. Karena kebanyakan rakyat Indonesia butuh itu, karena mereka tidak mengerti pertanda soal krisis baik berupa sirene maupun alarm, apalagi harus mengerti defisit anggaran.




Kembalinya Saudara Tua

Investor Jepang menandai ekspansinya ke sektor keunagan Indonesia dengan membeli Bank Mutiara. Meski dianggap lebih besar dari nilai bukunya, penjualan bank tersebut tetap memunculkan pertanyaan.

Masa-masa awal perang dunia kedua, Jepang pernah memaksa Indonesia untuk mengakui mereka sebagai ‘saudara tua’, dan kemudian merampas hampir semua kekayaan yang ada di Tanah Air. Kini saudara tua itu kembali ke Indonesia melalui sektor keuangan dan akan memanfaatkan potensi pasar yang sangat besar menjelang pasar bebas Asia Tenggara.
Pembelian Bank Mutiara oleh J Trust Co, Ltd, holding keuangan asal Jepang, bisa disebut sebagai menghilangkan momok atau membersihkan kerikil dalam sepatu, yang selama ini menghantui pemerintahan.
Sejak penyuntikan dana tepat enam tahun lalu, bank yang semula bernama Bank Century tak pernah lepas dari polemik. Dana Rp6,7 triliun dan ditambah lagi Rp1,4 triliun yang disuntik akhir tahun lalu, membuat bank ini termasuk bank dengan bantuan dana pemerintah terbesar sepanjang sejarah.
Tahun ini, Bank Mutiara berhasil dijual, meski harganya jauh di bawah duit pajak yang diberikan pemerintah kepada bank itu.
Tak bisa dipungkiri bahwa penjualan saat dead line ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Lima tahun lalu, pengamat ekonomi yang waktu itu juga menjadi Anggota Komisi Ekonomi dan Keuangan DPR, Dradjad H Wibowo pernah mengatakan bahwa pemerintah akan merugi hingga Rp5 triliun pada saat divestasi saham Bank Mutiara. Harga saham bank itu hanya akan mencapai Rp2 triliun tak lebih pada saat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus mendivestasinya. Artinya dengan ekuitas yang pada 2009 mencapai Rp500 miliar, Dradjad saat itu meramalkan jika nanti dijual maka LPS akan rugi sekitar Rp4,5 triliun hingga Rp5 triliun rupiah.
Apa yang dikatakan Dradjad pada akhirnya terbukti, pemerintah melalui LPS harus melepas Bank Mutiara meski harganya di bawah ‘modal’ yang disuntikan dengan jumlah akumulatif mencapai Rp8,1 triliun.
Ekuitas Bank Mutiara per Desember 2013 sebesar Rp1,3 triliun, dan LPS melepasnya bulan lalu dengan harga Rp4,4 triliun. Pengembalian yang hanya 54 persen dari uang pajak yang disuntikkan kepada bank itu tentu memunculkan pertanyaan. Namun demikian, Kartiko Kartika Wirjoatmodjo, Kepala Eksekutif LPS tampaknya tidak sepakat.
Menurut dia, harga jual itu dihitung berdasarkan nilai buku Bank Mutiara yang saat ini Rp1,3 triliun dan dengan mendapatkan Rp4,4 triliun artinya harganya mencapa 3,5 nilai buku. “Nilai bukunya Mutiara berapa? Rp 1,3 triliun. Padahal injeksinya Rp 8,1 triliun. Ke mana larinya? Itu karena kerugian akumulatif yang terjadi pada saat bank ini dulu diselamatkan,” kata Kartika.
LPS memang wajar mengatakan hal itu karena memang bank itu harus dilepas tahun ini juga jika otoritas tak mau dianggap melanggar undang-undang. Namun demikian, pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa J Trust, mengingat perusahaan itu lebih fokus pada bisnis yang mengedepankan strategi merger dan akuisisi saja, atau bisa dibilang perusahaan broker saja.
Mengenai keputusan itu, Ketua LPS menilai bahwa penawaran dari J Trust adalah yang terbaik dari yang ada. Ditambah lagi perusahaan itu akan membayarnya secara tunai dan mau menanggung potensi risiko di kemudian hari tanpa meminta impunitas. Kelebihan inilah yang memudahkan LPS menjatuhkan pilihan pada J Trust.
Sebelumnya santer terdengar kabar bahwa BRI juga menyatakan minatnya pada Bank Mutiara. Namun demikian dana Rp3 triliun yang disiapkan tidak cukup untuk menaklukan hati pemegang saham.
Enny Sri Hartati, Direktur Indef, lembaga penelitian ekonomi Independen, mengatakan bahwa pertanyaan yang muncul di masyarakat soal siapa J Trust dan mengapa Mutiara dilepas ke perusahaan itu, adalah sesuatu yang wajar. “Publik tentu menduga-duga, apakah ada kesepakatan di belakang meja terkait penjualan itu,” kata dia.
Sektor perbankan adalah sektor yang sangat strategis dan pemerintah, lanjut Enny harus lebih berhati-hati memutuskan pihak-pihak yang bisa menggarap sektor itu. “Jadi pertanyaanya, kenapa harus dikasih kepada asing ketika ada investor lokal yang berminat.” 
Harga seharusnya tidak menjadi patokan utama dalam melepas institusi keuangan kepada pihak asing karena dalam jangka panjang komitmennya tidak bisa dipegang sehingga risiko bakal jadi ajang jual-beli bank sangat besar. “Apalagi perusahaan itu terkesan seperti brokerage,” kata Enny.
Menurut dia, jika perusahaan yang core business-nya bukan di perbankan maka peluang akan dijual kembali ketika sudah untung, sangat besar.
Selain itu, seperti juga pernah dikatakan oleh Dradjad H Wibowo, ekonom sekaligus politisi, Enny juga mengungkapkan bahwa terbuka kemungkinan bahwa dalam pembelian Mutiara ini ada semacam komitmen lain, di bidang ekonomi.  
Sebelumnya, pada akhir tahun lalu, J Trus melalui tangan usahanya J Trust Asia yang berpusat di Singapura, mencaplok 10 persen saham Bank Mayapada, senilai Rp 556,53 miliar. Jepang sudah memiliki bank joint venture di Indonesia lewat Bank Sumitomo Mitsui


Meratakan Jalan
Yang bisa dilihat kasat mata, masuknya J Trust akan meratakan jalan bagi investor-investor Jepang lainnya di sektor riil yang mengincar pasar Indonesia jelang dibukanya perdagangan bebas ASEAN tahun depan. Sebelumnya Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman menyatakan bahwa setidaknya ada 10 perusahaan skala besar asal Jepang berminat untuk masuk ke sektor makanan dan minuman. "Menjelang ASEAN Economic Community (AEC) 2015, industri makanan dan minuman di Indonesia akan kedatangan banyak investor dari negara Jepang. Selain pasar yang sudah cukup jenuh di negaranya, ketertarikan investor Jepang untuk ekspansi karena Indonesia diprediksi menjadi pasar terbesar di ASEAN pada 2015," kata Adhi.
Sudah mulai jenuhnya pasar Jepang membuat perusahaannya berbondong memperluas pangsa pasar ke luar negeri yang dinilai masih potensial. Jepang adalah negara yang perekonomian masuk dalam lima besar di mana pajak bisnisnya sudah sangat tinggi dan demografi penduduk yang didominasi usia lanjut.
Perusahaan-perusahaan yang akan merangsek ke Indonesia, kata Gapmmi, antara lain Suntory, Asahi, Glico, Morinaga, Ito En, UHA, Mitsubishi, Yamazaki, dan Kanematsu. Sebagian besar perusahaan tersebut mendirikan perusahaan patungan dengan menggandeng perusahaan makanan minuman yang berdiri sebelumnya di Indonesia. "Morinaga menggandeng Kino Group membentuk perusahaan patungan PT Morinaga Kino Indonesia. Sedangkan Suntory Beverage & Food Limited, perusahaan minuman terbesar kedua di Jepang, menggandeng PT Garudafood Putra Putri Jaya membentuk PT Suntory Garuda Beverage," kata Adhi.
Asahi Group Holdings Southeast Asia Pte Ltd merangkul PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) membentuk PT Indofood Asahi Sukses Beverage. Selain dengan Asahi, Indofood CBP juga membentuk joint venture dengan JC Comsa Corporation, perusahaan asal Jepang yang bergerak di bidang produksi dan pengolahan produk makanan berbahan dasar tepung terigu, food service, serta pengelola jaringan restoran dengan porsi kepemilikan saham mayoritas.
Sedangkan PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ) membentuk joint venture dengan Ito En Asia Pacific Holdings asal Jepang. Mitsubishi, perusahaan perdagangan terbesar di Jepang, juga menggandeng Alfamart Group untuk memproduksi dan menjual roti di 8.000 jaringan ritel PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT). Tidak hanya sampai di situ, perusahaan-perusahaan Jepang yang telah dan akan berekspansi di Indonesia juga akan diperkuat dengan dukungan dari sektor ritel.
Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yasuaki Tanizaki mengakui bahwa negaranya akan semakin meningkatkan penanaman modalnya ke Indonesia dan dan tetap menjadi investor terbesar pada 2015. “Banyak negara yang tertarik dengan Indoesia, dan kami sepakat di Indonesia akan banyak peluang untuk investasi. Karena itu, saya berpikir investasi Jepang di Indonesia akan lebih banyak, dan sekarang Jepang menjadi penanam investasi nomor satu di Indonesia," katanya bulan lalu.
Jadi, bersiap-siap saja, karena saudara tua kita itu sudah kembali.




Box

Besar lewat Merger dan Akuisisi

J Trust Co, Ltd merupakan perusahaan yang bergerak pada bidang keuangan, real estate, sistem IT, dan bisnis hiburan yang beroperasi di Jepang dan dunia internasional. J Trust didirikan pada 18 Maret 1977 dengan modal 53,5 miliar yen dan berkantor pusat di Tokyo, Jepang.
J Trus Grup, menyebut diri mereka sendiri sebagai perusahaan yang dengan cepat memperluas bisnisnya sebagai penyedia jasa keuangan ritel yang komprehensif dengan strategi merger dan akuisisi yang agresif serta pembelian utang. Usaha Grup berpusat pada jasa keuangan tetapi juga melibatkan berbagai kegiatan lain dari real estate untuk hiburan, termasuk kegiatan bisnis di luar negeri.
J Trust memiliki keahlian dan pengalaman dalam bisnis pembiayaan konsumen dan kartu kredit. Dibuktikan dengan memiliki anak perusahaan KC Kartu Co, Ltd, yang telah bergerak dalam bisnis kartu kredit dari Rakuten dan Nihon Hosho Co Ltd yang bergerak dalam bisnis pembiayaan konsumen Takefuji Co Ltd (sekarang TFK Co Ltd setelah perusahaan reorganisasi). Grup juga telah memanfaatkan sisi know-how mereka dan juga sumber daya manusia di bidang keuangan ritel untuk memperoleh dan mengoperasikan sebuah bank tabungan dan perusahaan pembiayaan konsumen di Republik Korea.
J Trus berdiri sejak Maret 1977, sebagai lembaga pinjaman untuk usaha kecil dan menengah dan berhasil mengembangkan bisnis tersebut di Jepang.  Namun, lembaga itu terpaksa merampingkan bisnis karena adanya perubahan dalam lingkungan bisnis yang disebabkan oleh masalah Pinjaman Shoko & penurunan batas atas suku bunga berdasarkan Undang-Undang Investasi Investasi pada 2000, dan masalah pengembalian dana klaim yang muncul pada 2006.
Namun demikian, sejak Presiden & CEO Perusahaan, Nobuyoshi Fujisawa, perusahaan itu terus bergerak maju untuk menjadi perusahaan keuangan yang memiliki banyak anak usaha dengan memperoleh sumber daya manajemen dari entitas luar melalui merger dan akuisisi ditambah ekspansi progresif operasi penjaminan kredit.
Pada bulan Oktober 2010, Perseroan menjadi perusahaan induk bertugas mengawasi pengelolaan seluruh Group. Nobuyoshi yang sekaligus menjadi pemegang saham pengendali perusahaan itu sejak 2008, memang sudah mengincar pasar Asia Tenggara, terutama Indonesia sebagai penguasa separo dari pasar itu.
“Memanfaatkan sebagian dari dana yang diperoleh, kami mendirikan J Trust Asia sebagai basis kami untuk kegiatan investasi di Asia Tenggara dan berhasil memperoleh pinjaman perusahaan 2 konsumen di Korea Selatan. Kami melihat upaya-upaya kita terus membuat sudah mulai berbuah hingga Maret 2014,” kata dia di situs resmi perusahaan.
Sebelumnya, untuk mendukung ekspansi bisnisnya, J Trus telah melakukan right issue
untuk meningkatkan modal ke level 100 miliar yen.
Menurut dia, J Trus sudah memasuki tahap kedua dalam rencana pertumbuhan dan pengembangan lebih lanjut. “Seperti yang kami pertimbangkan, salah satu persyaratan bagi kita untuk mencapai pertumbuhan yang signifikan adalah untuk memindahkan bisnis dasar utama kami ke Korea Selatan, negara-negara Asia Tenggara dan negara-negara asing lainnya. Kami aktif melakukan strategi M&A pada berbagai proyek baik di dalam maupun di luar Jepang,” kata Nobuyoshi.
J Trus memiliki sedikitnya 15 anak usaha, termasuk J Trus Asia yang baru berdiri 7 Oktober 2013. Akhir tahun lalu, J Trus Asia telah membeli sebagian saham Bank Mayapada
J Dipercaya Asia akan mengakuisisi 347.832.000 saham Bank Mayapada, 10 persen dari jumlah saham yang beredar, senilai 4,773 juta yen atau lebih dari Rp550 miliar..





Profil J Trust Co (sampai Maret 2014)

Berdiri                                                  18 Maret 1977
Pemegang saham                                  Nobuyoshi Fujisawa 26,55 persen            
                                                              Japan Trustee Services Bank, Ltd.(Trust account) 5,11 pers
                                                              NLHD Co Ltd. *                      5,08 persen   

Modal                                                    53,5 milar yen setara

Revenue from Operations           61,926 miliar yen
Operating Profit               13,745 miliar yen
Ordinary Profit                  13,351 miliar yen
Net Income                        11,145 miliar yen
Total Assets                        334,736 miliar yen
Net Assets                          184,230 miliar yen
Net Worth                          177,263 miliar yen
Capital Adequacy Ratio  53,0 persen.
(konsolidasi)


Menghadapi Trauma Krisis

Pengalaman buruk krisis moneter membayangi Bank Indonesia ketika melihat utang valas korporasi terus menanjak. Upaya otoritas moneter untuk meredam potensi gejolak valas dilakukan dengan mewajibkan korporasi untuk memperketat utang mereka.


Ketika dunia terhantam krisis global lima tahun lalu, hampir semua bank sentral bereaksi menurunkan suku bunga demi menggerakkan perekonomian. Bahkan beberapa bank sentral menawarkan bunga nyaris nol persen. Sementara, di saat yang sama, di Indonesia, suku bunga yang ditawarkan masih di level 6,50 persen.
Sampai 2013, situasi tersebut tidak berubah di negara-negara maju namun suku bunga Bank Indonesia menjadi 7,50 persen. Dan tahun depan, ketika bank sentral AS diprediksi akan menaikkan suku bunga karena perekonomiannya mulai normal, dipastikan BI Rate akan dikerek lagi.
Perbedaan suku bunga yang cukup mencolok yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun itu digunakan pelaku bisnis untuk mencari pendanaan ke luar negeri. Bahkan praktik ini juga diikuti oleh penyelenggaran negara.
Sejak tahun 2006, gejala peningkatan utang luar negeri pemerintah plus bank sentral dan juga korporasi mulai terlihat. Hal itu kemudian menjadi tren dan terus meningkat. Bahkan pada 2010, utang pemerintah melonjak mencapai puncaknya, ketika pada 2012 utang swasta juga mengalami hal yang sama. (lihat grafik).
"Perusahaan besar yang mempunyai akses keluar, akan meminta pinjaman ke luar negeri. Suku bunga yang ditawarkan kurang dari 1 persen. Rendahnya suku bunga yang membuat perusahaan swasta tergiur mengambil (peluang itu)," kata Hendri Saparini, pengamat ekonomi dari Econit.
Tak pelak, sektor perbankan kemudian mulai mengekor strategi ini ketikan BI mengeluarkan aturan soal penghapusan batasan saldo utang luar negeri jangka pendek bank yang terbit 2008. Di beleid sebelumnya yang terbit 2005, batasan utang adalah 30 persen dari modal bank. Karena aturan ini hanya berlaku maksimal satu tahun maka tahun 2009 menjadi tahun ketika bank memaksimalkan utang valuta asing dari luar negeri tanpa batas.
Pemerintah sendiri, melalui Tim Kajian Lintas Direktorat Kedeputian Pendanaan Pembangunan Nasional telah menyimpulkan bahwa perbedaan suku bunga dalam negeri dan suku bunga luar negeri juga menjadi faktor pendorong sektor swasta untuk meminjam dana dari luar negeri. “Tersedianya instrumen dana luar negeri dengan tingkat bunga lebih rendah dari pada tingkat bunga dalam negeri ini menyebabkan sektor swasta kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan dana luar negeri,” kata laporan itu.
Lembaga think tank pembangunan, Bappenas menemukan indikasi bahwa praktik utang swasta belakangan ini berpotensi memberi masalah kepada perekonomian di masa yang akan datang. Di antaranya adalah penggunaan utang jangka pendek untuk membiayai investasi jangka panjang (maturity gap). Selain itu, banyak dari utang tersebut digunakan untuk membiayai proyek yang tidak menghasilkan devisa (currency mismatch). Yang terakhir dan yang paling krusial adalah tidak dilakukannya lindung nilai (hedging) terhadap utang luar negeri.
Utang luar negeri swasta yang terus meningkat tentu menimbulkan dampak pada peningkatan kewajiban pembayaran kembali. Jika suatu saat nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah, maka kewajiban pembayaran utang luar negeri swasta juga akan melonjak sehingga bisa
memberikan tekanan kepada neraca pembayaran. Inilah yang pernah kita alami 16 tahun lalu.

Pengalaman Eropa
Seperti lemak, utang yang tertimbun makin lama akan menjadi penyakit mematikan bagi perekonomian. Eropa pernah merasakan ketika lemak-lemak itu berubah menjadi wabah yang melumpuhkan beberapa negara anggota Uni Eropa.
Krisis utang di Eropa bermula dari kecerobohan Yunani dalam mengelola anggaran yang sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Negara kecil dengan jumlah penduduk sekira 11,5 juta jiwa ini terus-menerus menerbitkan surat utang berbunga tinggi, terutama setelah Bank Sentral Eropa (ECB) mengendurkan persyaratan kriteria penerbitan surat utang (quantitative easing).
Pada 2010, Eropa terhentak karena Yunani dinilai default karena membumbungnya utang yang disertai oleh pelemahan mata uang. Krisis ekonomi yang melanda Yunani menimbulkan efek domino. Berturut-turut ekonomi Irlandia, Portugal, Italia, dan Spanyol terguncang. Dampak krisis ini juga terasa ke Indonesia melalui jalur keuangan dan jalur perdagangan. Jalur keuangan terlihat dari anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Jalur perdagangan terlihat melalui penurunan ekspor.
Menurut data Bank Sentral Eropa, antara 2007 dan 2013 rasio utang pemerintah terhadap PDB di zona euro meningkat dari 66 persen menjadi 93 persen. bahkan kenaikan lebih dramatis terjadi di negara-negara pinggiran Eropa seperti Yunani rasio meningkat menjadi 175 persen dan di Portugal yang naik menjadi 129 persen.
Di Indonesia, meski kondisinya tidak separah Eropa, namun kecenderungan peningkatannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Angkanya memang masih berada di kisaran 30 persen, namun jika diperas lagi maka rasio utang luar negeri Indonesia jangka pendek berdasarkan waktu sisa terhadap cadangan devisa pada triwulan kedua 2014 mencapai 54,49 persen. Kondisi ini patut diwaspadai karena peningkatan rasio terus terjadi dan sejak triwulan pertama 2013 berada di atas 50 persen.
Sementara itu, kemampuan membayar utang yang tercermin dari debt service ratio terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada 2006 angkanya masih di bawah 20 persen maka pada tahun ini melonjak lebih dari dua kali lipatnya, menjadi 48 persen.
Yang lebih mengerikan lagi, posisi utang luar negeri swasta per September lalu sudah melampaui jumlah utang pemerintah. Utang swasta berjumlah 159,3 miliar dollar AS atau sudah mencapai 54,5 persen dari total. Sedangkan utang publik berjumlah 132,9 dollar AS atau sebesar 45,5 persen.
Untuk sektor swasta, utang luar negeri terpusat di sektor keuangan, industri pengolahan, dan pertambangan. Posisi utang luar negeri ketiga sektor tersebut masing-masing sebesar 46,6 miliar dollar AS, 32,5 miliar dollar AS, dan dan 25,8 miliar dollar AS.

Alarm bagi BI
Bagi Bank Indonesia, cukuplah krisis moneter 97-98 menjadi satu-satunya pengalaman terkelam Indonesia dalam mengelola perekonomian. Karena sejak saat itu otoritas moneter mulai membereskan dan menerbitkan regulasi yang ditujukan untuk memperkuat landasan ekonomi, terutama terkait pengaturan valuta asing.
Misi itu diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Tentang Bank Indonesia yang memberikan lembaga itu wewenang untuk menjaga tujuan tunggal yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar. Dengan tugas yang disematkan kepadanya, BI tentu tidak ingin main-main untuk membiarkan nilai tukar rupiah bergerak diombang-ambingkan pasar dan investor.
Dan kini tugas BI itu menemukan momentumnya ketika posisi utang luar negeri swasta terus meningkat. Kondisi itu juga berpapasan dengan kemungkinan menguatnya mata uang dollar AS ketika negara Paman Sam menormalisasi kebijakan ekonominya pasca krisis yang dialaminya sejak 2008.
Otoritas yang kini hanya mengawasi moneter dan sektor makroprudensial memandang hal itu sebagai lampu alarm yang menyala. Karena begitu dollar AS menguat ketika The Federal Reserve menaikkan bunga yang diprediksi terjadi tahun depan, maka dalam waktu yang singkat nilai tukar rupiah akan karam. Selanjutnya, mimpi buruk –yang  semua orang di Indonesia tak mau mengalaminya lagi– akan datang.
Agus DW Martowardojo, yang saat ini menjadi orang nomor satu di otoritas moneter, tentu tidak ingin justru pada masanya terjadi krisis ekonomi. Hal itu tentu menjadi catatan buruk bagi kariernya yang cemerlang dan lebih dari itu akan membuat upaya para pendahuluny menjadi tak berarti di tangannya.
Oleh karena itu, mulai pertengahan tahun ini, BI bergerilya kepada hampir semua pihak untuk mempersiapkan aturan mengenai pengelolaan nilai tukar yang lebih baik. Salah satu yang menjadi concern BI adalah soal lindung nilai atau hedging utang luar negeri.
Kemudian hasil gerilya itu terlihat pada Peraturan Bank Indonesia No.16/20/PBI/2014. Dalam aturan itu, meminta kepada semua perusahaan yang memiliki utang dalam negeri untuk melakukan hedging, rating, dan juga menghitung rasio-rasio yang dianggap bisa memberi gambaran mengenai kondisi pinjamannya. Otoritas moneter mewajibkan korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri untuk memenuhi tiga hal yaitu pertama, rasio lindung nilai minimum untuk memitigasi risiko nilai tukar. Kedua, rasio likuditas valas minimum untuk memitigasi risiko likuiditas. Ketiga, peringkat utang minimum untuk memitigasi risiko. Dalam aturan itu, untuk pertama kalinya juga mengatur utang luar negeri yang dilakukan perusahaan swasta nonbank.
BI memang terlihat sangat khawatir terhadap perkembangan utang terkini dan membuat bayang-bayang krisis 97-98 muncul dengan jelas. “Kalau tidak, seperti tahun 1997-1998. Nanti gagal bayar, tidak bisa diperpanjang,” kata Agus. Sebagai catatan, sejak 2006 hingga 2014, utang luar negeri swasta lebih didominasi oleh tenor jangka pendek yaitu antara 1-3 tahun.

Kepentingan Sendiri
Bank sentral terang-terangan mengingatkan pengusaha agar mempertimbangkan kondisi perekonomian global pada saat meminjam dana dari luar negeri, terutama saat ini. Dunia tengah harap-harap cemas menantikan langkah bank sentral AS menaikkan suku bunga (Fed Rate) tahun depan yang diprediksi akan mendongkrak suku bunga seluruh dunia.
Bahkan mulai beberapa bulan belakangan, negara-negara di seluruh dunia sudah mulai pasang kuda-kuda mengantisipasi langkah The Fed. Bank sentral Jepang misalnya, yang malah meluncurkan kebijakan quantitative easing dengan mengguyur sektor keuangannya dengan dana triliunan yen. Hal itu dilakukan agar perekonomiannya bisa tetap berjalan meski tertatih-tatih serta menghindari kontraksi ekonomi menjadi lebih buruk lagi.
Bank sentral lainnya, sudah bersiap menaikkan suku bunganya sementara yang lain sudah melakukannya. Inggris tampaknya tinggal menunggu waktu saja untuk menaikkan bunga, sementara BI sudah melakukannya saat menggelar rapat dadakan lima hari setelah rapat rutin terjadwal pada 13 November.
Majalah The Economist menulis, adanya rencana normalisasi kebijakan ekonomi The Fed membuat kebijakan-kebijakan bank sentral di seluruh dunia menjadi terpecah-pecah. Bank-bank sentral di negara maju dinilai tidak lagi bertindak bersama-sama. Padahal ketika krisis keuangan pecah pada 2007-08, sebagian besar bank sama-sama melonggarkan kebijakan moneter secara signifikan. “Kini pemerintah-pemerintah itu memutuskan, setiap orang untuk dirinya sendiri,” tulis The Economist.


Kenapa tidak 'Capital Control' Saja?



Gonjang-ganjing gejolak valuta asing sehingga menekan nilai tukar sejatinya bisa dituntaskan dengan menerapkan kebijakan kontrol devisa. Meski di Indonesia, hal itu masih dihindari, negara-negara lain sudah menerapkannya dengan berbagai modifikasi.

Ancaman itu memang begitu nyata. Kemungkinan hengkangnya dana-dana asing kembali ke negeri Paman Sam ketika kebijakan normalisasi diterapkan begitu terbuka. Ya, tahun depan adalah tahun yang menegangkan bagi Bank Indonesia. Otoritas moneter kembali menghadapi ujian paling penting dalam mengelola moneter ketika The Federal Reserve diperkirakan akan menaikkan suku bunganya paling cepat pada semester pertama.
Indonesia menghadapi persoalan pelik terutama dalam mengelola nilai tukar yang menjadi tujuan tunggal BI, sejak lembaga itu dinyatakan independen. Dalam mengelola kurs dan menjaga nilai tukar rupiah, BI seperti terdikte oleh investor yang bermain di pasar uang.
Ketika banyak dana dari luar yang masuk maka BI akan bersiap menjaga rupiah agar tidak terlalu menguat dengan cara menyerap dana itu. Sebaliknya, jika banyak dana yang keluar maka BI akan menjaga rupiah agar tidak anjlok dengan cara melepas cadangannya ke pasar.
Akan tetapi, cara itu tidak akan bisa diterapkan kontinyu dan konsisten dalam jangka waktu yang lama. Menurut mantan Gubernur Bank Indonesia, Hartadi Agus Sarwono, BI paling jauh hanya akan melakukan intervensi ke pasar uang untuk mengendalikan nilai tukar rupiah. Jika nilai tukar terdepresiasi, BI intervensi agar permintaan valas bisa terkendali, sebaliknya jika menguat, BI akan turun ke pasar agar penguatannya terkendali.
Meski begitu, Hartadi mengakui bahwa strategi itu hanya sementara. “Tetapi sampai kapan. (kalau terus menerus intervensi) bisa habis (cadangan devisa),” kata dia.
Oleh karena itu banyak pengamat, ketika nilai tukar rupiah dalam tren pelemahan, menyarankan agar BI menerapkan sistem lalu lintas devisa yang lebih terkontrol, alih-alih melanjutkan sistem devisa bebas.
Namun demikian, Undang-Undang No 24 tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar membuat BI tidak akan mengambil opsi untuk menerapkan kontrol devisa. Ditambah dengan Undang-Undang Tentang Bank Indonesia yang terbit di tahun yang sama, sejatinya Bank sentral menghadapi yang secara teori disebut monetary trilemma atau biasa juga dikenal dengan sebutan impossible trinity. Istilah itu mengacu pada tiga sistem yang terdiri dari sistem nilai tukar mengambang bebas, sistem devisa bebas, dan juga independensi bank sentral, yang ketiganya bekerja secara simultan. Jika salah satunya diubah maka yang lain otomatis akan berubah atau harus diubah.
Inilah yang disebut-sebut membelenggu otoritas moneter dalam mengantisipasi adanya gejolak valuta asing secara lebih komprehensif. Oleh karena itu, sejak dinyatakan independen pada 1999 hingga saat ini, manajemen kurs yang diterapkan BI dinilai selalu parsial dan hanya responsif terhadap gejolak di pasar uang.
Akan tetapi beberapa negara tampaknya lebih berani menerapkan langkah yang lebih ketat dalam mengatur lalu lintas devisa demi menjaga nilai tukarnya. Bahkan beberapa di antaranya benar-benar melakukan kontrol devisa.

China

Indonesia bukan satu-satunya yang menghadapi persoalan pelik terkait lalu lintas devisa yang begitu terbuka saat ini. China, dalam sepuluh tahun terakhir merupakan salah satu negara yang mendapatkan arus modal masuk yang cukup besar. Derasnya arus modal masuk ini kemudian memengaruhi uang beredar di China sehingga meningkatkan tekanan inflasi. Karena negara Tirai Bambu itu menerapkan sistem nilai tukar managed floating, maka intervensi di pasar valuta asing secara otomatis dilakukan.
Namun demikian China juga melakukan cara lain yaitu dengan melakukan sterilisasi. Yuan juga dibiarkan terapresiasi untuk mengurangi tekanan terhadap inflasi. Selain itu, China juga mendorong arus modal keluar dengan cara mempermudah ketentuan para investor China untuk menanamkan modalnya di luar China.

Thailand
Thailand juga pernah melakukan kebijakan kontrol devisa ketika pemerintahnya terguncang akibat kudeta dan membuat dana-dana asing hengkang. Saat itu Thailand memaksa dana-dana asing untuk bertahan di sistem keuangannya selama enam bulan.
Thailand juga melakukan capital controls baik terkait arus modal masuk dan keluar. Untuk menahan aliran modal masuk, Thailand menetapkan 15 persen witholding tax atas pendapatan bunga dan capital gain dari investasi asing dalam instrumen fixed income. Di sisi lain, untuk mendorong arus modal keluar Thailand juga mempermudah aturan untuk para investor domestik Thailand untuk menanamkan modalnya di luar negeri.

Brazil
 Brazil menetapkan untuk menaikkan pajak atas investasi asing pada fixed income investment dan equity funds dari 2 persen menjadi 4 persen. Selain itu, Brazil juga meningkatkan pajak untuk margin dari deposito yang disetorkan investor asing untuk melakukan transasksi derivatif.

India
India juga melakukan capital control Pemerintah India menaikkan batas maksimal pembelian foreign institusional investors (FII) dari 10 miliar menjadi 20 miliar dolar AS untuk tiap jenis obligasi. Selain itu, investasi tersebut hanya dapat dilakukan untuk surat berharga dengan tenor di atas 5 tahun dan untuk pembangunan infrastruktur.

Singapura
Devisa terkontrol juga diterapkan oleh Singapura. Negara dengan penduduk kurang dari 6 juta jiwa ini memberlakukan pembatasan maksimal pembelian atau penjualan mata uangnya sebanyak 5 juta dollar Singapura. Di atas jumlah itu maka nasabah wajib lapor ke Bank Sentral Singapura yang dikenal dengan nama Monetary Authority of Singapore (MAS). Dengan demikian, pembelian atau penjualan dalam jumlah banyak mata uangnya terutama untuk tindakan spekulasi, sudah dapat dideteksi sejak awal oleh otoritas. Pemerintah Singapura sadar bahwa untuk meredam tindakan spekulator yang akan menghancurkan ekonominya, maka harus dibuat peraturan yang sangat ketat dalam permainan valas.

Malaysia
Contoh yang paling terang dalam penerapan kontrol devisa adalah Malaysia. Negara jiran terdekat ini melakukan kombinasi sistem devisa yaitu Currency Board System (CBS) dan Sistem Devisa Terkontrol. CBS diberlakukan mulai tahun 1990-an dengan menetapkan nilai range minimum dan maksimum pada ringgit Malaysia yang boleh diperdagangkan dan ditetapkan Bank Negara Malaysia.
Dan Sistem Devisa Terkontrol mulai diberlakukan tahun 1998, pada waktu terjadi serbuan spekulator di Asia Tenggara, melakukan tindakan aturan sandera pada mata uangnya antara lain dengan mengatakan bahwa semua ringgit yang beredar di luar negeri (offshore) dinyatakan tidak laku, kecuali dikembalikan kepada bank sentral.
TIndakan ini mengharuskan spekulator untuk menjual kembali dollar AS kepada ringgit sehingga mata uang Malaysia itu selamat dari serbuan asing. Jadi tindakan sistem devisa terkontrol ini, telah menyelamatkan Malaysia dari krisis keuangan tahun 1998 dan relatif mengalami dampak yang kecil terhadap gelombang spekulasi.

‘Setengah’ Kontrol Devisa
Indonesia, sejatinya pernah juga menerapkan kebijakan ‘setengah kontrol devisa’ pada 2008 ketika cadangan devisa makin menipis karena terus melemahnya kurs rupiah terhadapa dollar AS. Saat itu, pembelian valas oleh pelaku ekonomi selain bank yang jumlahnya melebihi 100 ribu dollar AS per bulan harus memiliki kebutuhan yang mendasarinya atau underlying transaction.
Pelaku ekonomi yang diatur adalah nasabah individual, badan hukum di Indonesia dan pihak asing. Untuk pihak asing, aturan tersebut hanya mengatur pembelian dollar AS di pasar spot. Khusus nasabah individual dan badan hukum diwajibkan melampirkan nomor pajak wajib pajak (NPWP).
Aturan tersebut diberlakukan karena dunia saat itu tengah mengalami krisis likuiditas yang ketat, dan BI terpaksa membatasi pembelian valas untuk mengurangi spekulasi.
Setelah itu BI juga sempat menerapkan kebijakan meningkatkan giro wajib minimum (GWM) valuta asing. Dalam aturan GWM untuk valas tersebut, regulator menaikkan rasio setoran wajib bank dengan dana pihak ketiga berbentuk valas hingga 8 persen dari level sebelumnya yang masih 1 persen. Hal itu akan diterapkan bertahap yaitu rasio GWM dinaikkan dari 1 persen menjadi 5 persen pada 1 Maret 2011 dan kemudian dinaikkan lagi menjadi 8 persen pada 1 Juni 2011.

  
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kebijakan Negara Lain Terkait Arus Devisa


China

- Melakukan sterilized intervention.
- Yuan dibuat lebih fleksibel.
- Menurunkan dan memperketat kuota pinjaman yang dapat diperoleh asing.
- Kebijakan makroprudensial, stress test, dengan mengarahkan capital inflows ke sektor properti.
- GWM dinaikkan menjadi 20 persen per 25 Maret 2011
- Menaikkan suku bunga +25bps
- Melonggarkan ketentuan investasi di luar negeri (partial liberalization).


India

- Menaikkan batas maksimal pembelian obligasi Pemerintah dari 10 miliar USD menjadi 20 miliar USD.
- Hanya boleh membeli surat berharga dengan tenor 5 tahun.
- Hanya untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur.
- Menaikkan suku bunga +50bps.


Thailand (sebelum 2010)
- Mengenakan 15 persen witholding tax atas pendapatan bunga dan capital gain investasi.
- Merelaksasi nilai tukar.
- Mengizinkan investor domestik untuk investasi di luar negeri.

Brazil

- Menaikkan pajak atas investasi asing (fixed income investment 6 persen dan equity funds 4 persen).
- Menaikkan suku bunga +50bps

Peru

- Sterilisasi mata uang.
- Menaikkan GWM sebesar +75bps.


Turki
- Menaikkan GWM sebesar 50 bps (menjadi 9,5 persen)

Sumber : Laporan Tahunan Bank Indonesia 2010

-------------------------------------------------------------------------------------------------------                                                                                                           

Mitos-mitos Terkait Capital Control

Setidaknya ada empat mitos buruk terkait dampak aliran valas dari dan ke sebuah negara sehingga otoritas moneter atau Pemerintah harus melakukan capital controls:

1. Ancaman Apresiasi.

Tekanan apresiasi terhadap mata uang domestik. Mata uang domestik akan terus menguat sehingga dapat mengurangi daya saing barang ekpor negara tersebut relatif terhadap negara lain.

2. Ancaman Hot Money.

Derasnya modal masuk hanya bersifat jangka pendek (short term). Dana jangka pendek ini dapat menyebabkan instabilitas ekonomi karena selain dapat membuat nilai mata uang domestik menguat secara cepat, hot money juga dapat menimbulkan instabilitas bahkan krisis pasar keuangan seperti yang terjadi di Asia pada tahun 1997.

3. Ancaman Derasnya Modal Masuk (large inflows).

Derasnya arus modal masuk menuju suatu negara layaknya dua mata pedang. Di satu sisi dinanti, di sisi lain dibenci. Modal masuk dapat menjadi tambahan modal sehingga dapat mendorong kinerja ekonomi lebih besar, namun di sisi lain derasnya modal masuk juga dapat membuat mata uang domestik terapresiasi secara signifikan sehingga dapat mengurangi daya saing ekpor produk domestik.

4. Ancaman Otonomi atau Independensi Otoritas Moneter.

Ketika terjadi fenomena derasnya arus masuk, ada dua opsi yang dapat dilakukan Pemerintah. Pertama, mengorbankan free capital mobility guna mencapai kestabilan nilai mata uang domestik. Kedua, membiarkan mobilitas modal secara bebas, namun mengorbankan nilai mata uang domestik terus terapresiasi.

(Capital Control: Myth and Rality a Protfolio Approach to Capital Controls, Nicolas E. Magud, dikutip dari tulisan Dzulfian Syafrian, peneliti Indef)