Bankir –yang lahir dari rahim
perbankan– biasanya memiliki kemampuan spesial dalam bidang-bidang lain.
Tuntutan pekerjaan dan ketatnya peraturan membuat mereka muncul sebagai
pemimpin-pemimpin yang ‘serba bisa’.
Kehidupan yang keras memang seringkali menciptakan pribadi
yang tangguh di kemudian hari. Sama seperti di kehidupan nyata, industri
perbankan –dengan regulasi yang superketat, juga kerapkali mencetak pimpinan-pimpinan
yang hebat, bahkan ketika mereka keluar dari tempat kerjanya dan menjadi
direktur di perusahaan non-perbankan.
Perbankan memang dianggap sebagai industri spesial, dan
bankir yang ada di dalamnya menjadi profesi istimewa. Sejak dulu, lembaga itu
menjadi tempat orang-orang menitipkan uang, atas dasar kepercayaan, yang kemudian
memunculkan wewenang untuk meminjamkan uang tersebut demi membuatnya berkembang.
Karena mengelola duit dari masyarakat inilah maka para pegawai
bank ini memang sudah seharusnya merupakan orang-orang yang bisa dipercaya. Dengan
alasan itu pula, diterbitkanlah aturan-aturan yang menjaga dan mengatur gerak-gerik
bankir dalam melakukan pekerjaannya. Hal itu membuat tidak setiap orang bisa
masuk ke dalam industri perbankan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan perbankan.
Kombinasi orang-orang yang memiliki kualitas mumpuni dan
peraturan yang ketat, bisa jadi yang membuat masyarakat menganggap bankir
sebagai kelompok istimewa dalam strata sosial, hingga akhirnya diajak atau
dibajak untuk memimpin sebuah perusahaan.
Di sisi lain, pemilik perusahaan paham betul bahwa bankir
memang memiliki beberapa hal yang dicari terutama karena kekuatan pengetahuan orang-orang
itu tentang bisnis konsumen. Lainnya adalah karena mereka biasa memberi pinjaman
komersial, dan memiliki pemahaman tentang profil risiko portofolio untuk sebuah
kredit yang diberikan bank. Tambah lagi, karena mengetahui bisnis sebuah perusahaan
luar-dalam, atau seluk-beluk mengelola duit orang-orang kaya.
Tak pelak ekspektasi-ekspektasi terhadap kemampuan itu
membuat pemilik perusahaan kepincut untuk meminang bankir sebagai direktur
utamanya. Sebuah makalah yang ditulis Antoinette Schoar, yang diterbitkan oleh
MIT, mengatakan bahwa hampir 20 persen CEO-CEO di perusahaan-perusahaan AS sebelumnya
adalah pegawai dari industri perbankan dan keuangan. jumlah itu lebih banyak dari
mereka yang berlatar belakang sebagai konsultan, militer atau akademis.
Bahkan sampel yang dipelajari dari lebih dari 5.000 CEO di
seluruh AS itu menyimpulkan bahwa mereka yang sebelumnya bekerja pada industri
perbankan rata-rata mencapai posisi CEO lebih cepat dari orang-orang yang mulai
dari dalam industri di luar perbankan.
Salah satu fakta yang baru saja terjadi adalah ketika otoritas
bursa Jerman, Deutsche Boerse AG, yang mengoperasikan pasar berjangka Eurex dan
Bursa Efek Frankfurt, menunjuk seorang mantan bankir UBS AG Carsten Kengeter
sebagai CEO, untuk menggantikan Reto Francioni yang jabatannya akan berakhir
tahun ini.
Fenomena pindahnya bankir-bankir untuk menjalani bisnis di
luar core-nya atau dipinang oleh
pihak lain untuk mengelola perusahaan juga terjadi di Amerika Serikat. Dalam
masa-masa terjadinya gejolak keuangan global pada akhir tahun 2000-an, banyak
dari bankir-bankir muda di AS yang menyeberang lautan untuk kemudian menjadi
pengusaha. Beberapa di antaranya mengaku mencari pekerjaan yang lebih bermakna,
lainnya ingin bergelut dengan risiko mumpung usia masih muda dan belum
terbebani biaya-biaya hidup –seperti pengeluaran rumah tangga dan lain-lain.
Dan sebelum keputusan itu dibuat, mereka tentunya sudah
melakukan persiapan dengan baik. Seperti yang dibutuhkan oleh para start-up, bank sudah membekali mereka
dengan jiwa kompetitif. Dan seperti yang dibutuhkan untuk menjadi seorang
pengusaha, sewaktu menjadi bankir mereka memang terbiasa dan sangat ahli dengan
riset pasar, analisis keuangan, dan bekerja dalam tim. Demikian dijelaskan oleh
Majalah Inc terbitan 2013, ketika
menerbitkan ulasan mengenai fenomena bankir-bankir Wall Street yang ketika itu
hengkang dan beralih menjadi pengusaha.
Hal itu juga terjadi pada Thrillist, sebuah jaringan toko e-commerce, newsletter dan konten untuk pria di Amerika Serikat, telah
mengangkat seorang bankir, Oktober tahun lalu, untuk membantu merencanakan
kemungkinan penawaran akuisisi atau suntikan dana besar menggalang dana.
Kelompok ini memiliki bisnis inti pada media digital, yang dijalankan oleh
pengusaha Ben Lerer, dan memiliki nilai 150 juta dollar AS pada 2012.
Kebanyakan BUMN
Di Indonesia, fenomena itu juga tak kalah gres, ketika
Sofyan Basir, Dirut BRI, bank pembiayaan mikro terbesar di Tanah Air, ditunjuk
untuk memimpin perusahaan negara yang mengelola listrik. Di saat yang hampir
bersamaan, koleganya, Lenny Sugihat, juga dipinang oleh pemerintah untuk
menjadi CEO pada perusahaan pengelola distribusi pangan nasional.
Kecenderungan seperti itu sejatinya sudah terjadi beberapa
belas tahun belakangan. Sebelumnya pada tahun 2005, Arwin Rasyid Direktur Utama
Bank Niaga, ditunjuk menjadi CEO Telkom, perusahaan telekomunikasi milik
negara. Pada tahun yang sama, Emirsyah Satar, seorang bankir juga diangkat
menjadi CEO Garuda Indonesia, maskapai penerbangan terkemuka milik pemerintah.
Sebelumnya, pada 2003 – 2005, Emir adalah Wakil Direktur Utama Bank Danamon.
Jauh sebelum itu, ada nama yang meleganda yaitu Robby
Djohan, seorang bankir kawakan yang ditunjuk memimpin maskapai penerbangan
tersebut. Robby, masuk ke Garuda pada 1998. Tidak sampai setahun di sana, dia
dianggap berhasil melakukan perombakan besar-besaran dan membawa Garuda
Indonesia menjadi perusahaan yang mampu mencetak laba, padahal sebelumnya masih
mengalami pendarahan parah.
Ada pula nama-nama seperti Mochtar Riyadi, eks bankir BCA
yang sukses menjalankan bisnis sebagai CEO Lippo Group, konglomerasi bisnis
nasional ternama. Atau Sandiaga Uno, eks bankir Bank Summa, yang kini menjalankan
bisnis Grup Saratoga dan Patrick Waluyo, eks bankir Goldman Sachs, pemilik
Northstar Pacific Partners Ltd. Bahkan ada nama Ignasius Jonan, mantan Managing
Director Citibank yang pernah menjadi CEO PT Kereta Api Indonesia, dan kini
menjabat sebagai Menteri Perhubungan.
Banyak alasan yang mendasari
mengapa pemilik besar cenderung lebih senang jika perusahaannya dipegang oleh
mantan bankir, meskipun perusahaan itu tidak bergerak di industri perbankan
atau keuangan. Menurut harian The Telegraph dalam laporan khususnya mengenai
banyaknya bankir yang banting setir memimpin perusahaan nonbank yang terbit tahun
lalu, hal itu dikarenakan mereka telah terlatih bekerja keras dalam bank.
Alasan pertama, karena bankir menghasilkan banyak uang untuk bank, karena
distimulan oleh bonus yang besar. Bank memang menghasilkan uang dalam bentuk
komisi dan keuntungan transaksi yang disebabkan oleh bankir.
Kedua, bankir
terbiasa bekerja dalam tekanan dan tetap bisa bekerja baik selama 12 jam
sehari, setiap hari, tidak ada urusan pribadi atau keluarga yang dikerjakan
sebelum tugasnya. Untuk kebanyakan bankir-bankir yang biasa disebut investment bankers, siklus itu bahkan
bisa berlangsung hingga mereka mencapai usia 40-an.
Kata Axel Springer, pemilik media
grup Financial Times dan The Telegraph, di industri perbankan berlaku “Kau
berikan hidupmu sampai sampai umur 40 dan saya akan membuatmu jutawan
sesudahnya.” Dan mungkin menjadi CEO adalah salah satu doorprise-nya.
Ketiga, adalah
karena bankir memang sedari awal berkualitas dan berprestasi akademik baik.
Bahkan gaji tinggi ini yang membuat para lulusan berbakat untuk bergabung
dengan bank daripada ke sektor lain atau memulai perusahaan.
Apa yang dilukiskan oleh The Telegraph tidaklah berlebihan.
Dengan segala kesulitan dan keketatan peraturan yang melekat pada industri
perbankan, bankir muncul menjadi sosok pemimpin perusahaan yang mumpuni. Karena
baginya mungkin tak ada yang lebih sulit dibanding menjalankan roda bisnis
perbankan.
9 elemen yang
biasanya melekat dalam diri bankir
Kompetensi
Leadership
Kepatuhan pada Regulasi
Kemampuan Perencanaan
Kemampuan Bereaksi pada Perubahan Lingkungan
Kualitas Kebijakan dan Kemampuan Mengontrol
Kualitas Tim Manajemen and Potensi Suksesi
Risk of Insider Dealings
Succession Prospect
Sumber: Aristóbulo de Juan, “From God Bankers to Bad
Bankers, Economic Develepment Institute of The World bank