Selasa, 10 Februari 2015

menilai alternatif

Kita cenderung mengagungkan apa yang kita ketahui dan sering menganggap apa yang tidak kita ketahui sebagai tidak penting. Padahal apa yang tidak kita ketahui sejatinya lebih banyak dari yang kita ketahui.
Menyangkut kebijakan, kita memang dapat melihat apa yang diperbuat pemerintah dan karena itu menyanyikan pujian-pujian kepada mereka. Akan tetapi kita tidak mengetahui dan melihat ada alternatifnya. Dari perspektif ini, kita mungkin bisa berempati kepada pemerintah karena mereka (mungkin) sudah memikirkan segala alternatif kebijakan, sebelum mengeluarkan yang saat ini kita lihat.
Pemerintah tentu sudah memperhitungkan konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan melalui berbagai riset, percobaan sosial, atau apa yang dinamakan test the water oleh sebagian khalayak. Sehingga apa yang diterbitkan merupakan kebijakan yang paling optimal, yang tentunya paling banyak pengaruhnya kepada kesejahteraan rakyat, lebih banyak rakyat (karena tidak ada yang bisa memuaskan seluruh orang).
Dengan asumsi telah melewati hampir semua pertimbangan dan berbagai alternatif yang ada itu, sepantasnya kita mengharapkan bahwa kebijakan itu tidak berubah-ubah tidak dengan kecepatan yang mirip dengan konsumen pembeli rumah, atau pembeli di pasar.
Seperti yang ditulis oleh Frederic Bastiat dalam esainya yang berjudul “What We See and What We Don’t See”, pemerintah juga sangat hebat dalam memublikasikan apa yang sudah mereka perbuat, tetapi sebaliknya, tidak terhadap apa yang tidak mereka lakukan.
Bastiat, seorang pemikir kemanusian abad ke-19, yang ditulis oleh Nassim Nicholas Taleb dalam buku The Black Swan mengatakan bahwa pemerintah sibuk dengan apa yang disebut “phony philantrophy. Istilah tersebut mengacu pada kegiatan yang secara kasat mata dianggap menolong banyak orang dan sensasional tanpa memperhitungkan konsekuensi yang tidak terlihat.
Sehingga tidak aneh kalau pemerintah selalu mengulang-ulang apa yang sudah dilakukannya (meskipun untuk ukuran keberhasilan, hal itu masih bisa diperdebatkan), dan menutup rapat informasi tentang apa yang tidak dilakukannya.
Yang aneh adalah ketika media kehilangan daya kritisnya untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dan ikut sibuk menyanyikan pujian-pujian kepada pemerintah. Padahal seringkali jelas terlihat bahwa alternatif kebijakan (yang tidak dilakukannya), lebih menguntungkan dan bermanfaat bagi orang banyak ketimbang kebijakan yang sudah dikeluarkan.


Hanya Badai yang Mereda

Gejolak nilai tukar yang mereda pada akhir tahun bukan jaminan akan stabilnya rupiah memasuki tahun baru ini. Dibutuhkan solusi yang lebih esensial untuk membuat rupiah stabil atas dollar AS.

Dengan bantuan satelit dan permodelan komputer, badai, siklon atau topan, telah bisa diperkirakan beberapa hari sebelumnya. Namun untuk memprediksi jalur yang diambil oleh fenomena alam tersebut masih belum mampu dilakukan karena kerumitan yang ada.
Kejatuhan rupiah yang terjadi pada November lalu, adalah badai ekonomi yang sudah diprediksi sebelumnya. Namun untuk memprediksi tingkat keparahannya, tidak cukup hanya membandingkan dengan kejatuhan nilai tukar dari negara lain. Selain itu untuk memprediksi jalur apa yang diambil oleh pergerakan rupiah pada tahun ini juga menjadi misteri.
Pelemahan rupiah pada tahun lalu disebut masih ‘cukup beruntung’ karena melemah tidak lebih parah dibanding Malaysia, Turki, Brazil, Afrika Selatan, apalagi Rusia. Negara terakhir disebut mengalami depresiasi mata uang domestiknya mencapai hampir 50 persen atas dollar AS.
Sejatinya, hampir semua pihak dan pelaku ekonomi sudah tahu bahwa nilai tukar rupiah akan bergejolak menjelang perubahan kebijakan ekonomi AS. Dan menjelang akhir tahun lalu, perkiraan itu sudah menunjukkan buktinya, rupiah sempat mengeropos hingga mendekati level Rp13.000 per dollar AS, terendah sejak krisis 1998. Meningkatnya permintaan akhir tahun, disebut menjadi biang keladi pelemahan rupiah, di samping ‘fundamental rapuh’ seperti defisit transaksi berjalan dan anggaran negara.
Rupiah memang sudah meninggalkan posisi terlemahnya itu dan pada akhir tahun Bank Indonesia mencatat, secara point to point sepanjang 2014 berada di level per12.385 per  dollar AS. Namun begitu, sepanjang bulan pertama tahun ini, kurs rupiah juga masih berada dalam tren pelemahan. Pada pekan ketiga, berdasarkan kurs transaksi BI, rupiah melemah ke posisi 12.722 per dollar AS, padahal pada awal perdagangan Januari masih di Rp12.536.
Penyebabnya adalah penguatan dollar AS di pasar global yang dipicu oleh pelemahan yen akibat buruknya data pertumbuhan industri Jepang. Pada saat yang sama pasar juga tampaknya semakin yakin bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) akan menggelontorkan quantitative easing tambahan pada pekan ketiga Januari sejalan dengan euro yang masih tertekan terhadap dollar AS. Ditambah lagi dengan membaiknya data PDB China yang diperkirakan akan berada di level 7,4 persen, sebelum data terbaru keluar lagi pada bulan ini.
Pemerintah memang telah mematok asumsi nilai tukar rupiah pada anggaran 2015 sebesar Rp11.900 per dollar AS. Akan tetapi Kementerian Keuangan tengah mempertimbangkan untuk mengubah level asumsi itu di kisaran Rp12.200. Apalagi pemerintah telah mencabut subsidi bahan bakar minyak yang selalu dijadikan kambing hitam yang memberatkan postur anggaran 2015.
Sementara itu Gubernur BI, Agus DW Martowardojo mengusulkan agar nilai tukar dipatok di kisaran Rp 12.200 - Rp 12.800 untuk sepanjang tahun ini. “Kita usulkan range Rp 12.200 - Rp 12.800, itu rata rata sepanjang tahun 2015. Itu memberikan satu indikasi bahwa perkembangan eksternal perlu sangat diwaspadai. Kita belum bisa antisipasi dengan lengkap dampak perbaikan ekonomi Amerika, membuat nilai tukar di Amerika menguat," kata dia.

AS Sendirian
Dalam setahun ke depan, tampaknya memang cuma perekonomian AS yang akan membaik sendirian, sementara Eropa, Jepang bahkan China masih akan melempem. Akibat kondisi itu, pemilik dana akan rebutan mencari aset-aset berbentuk dollar AS. Ditambah dengan ekspektasi The Federal Reserve yang akan menaikkan suku bunga acuannya–dan posisi dollar AS sebagai global reserve currency– nilai tukar mata uang di hampir seluruh dunia termasuk Indonesia tentu akan kembali terpuruk.
“Dan dalam sistem moneter yang dikuasai dollar AS, likuiditas itu ya aset berdenominasi dollar AS. Jadi waktu AS terpuruk saja, orang tetap rebutan cari dollar AS. Apalagi sekarang AS recovery sendirian. Karena itulah semua orang cari dollar AS,” kata seorang pejabat Bank Indonesia yang mendalami masalah tersebut.
Untuk kasus Indonesia selain faktor eksternal, sebut dia, ada juga faktor risiko dalam negeri (home grown risk) seperti defisit transaksi berjalan dan peningkatan utang luar negeri swasta.
“Jadi konsentrasi jangka pendek kebijakan sekarang adalah macroeconomic policy framework lewat monetary and fiscal policy buat jaga stabilitas,” kata sumber tersebut. “Jangka menengah panjang tidak bisa ditunda lagi, harus lewat perbaikan infrastruktur.”
Ya, perbaikan infrastruktur bisa menjawab banyak persoalan yang dihadapi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang, tidak hanya moneter tapi juga daya saing industri hingga pertumbuhan.
Namun demikian, solusi untuk permasalahan laten nilai tukar harus dipikirkan secara khusus. Otoritas moneter, mulai bulan ini telah menerapkan aturan yang mewajibkan pelaku usaha di semua bidang, untuk melakukan lindung nilai (hedging) terhadap semua utang-utangnya yang berdenominasi dollar AS.
Dengan cara itu, minimal Bank Indonesia bisa mengontrol kebutuhan dollar AS dan memprediksi saat-saat di mana permintaannya melonjak.

Sumber Masalah
Akan tetapi, sumber masalah dari fluktuasi rupiah tidak benar-benar diurai: rezim devisa bebas.
Indonesia masih mengadopsi Undang-Undang tentang Lalu Lintas Devisa dan Nilai Tukar yang membebaskan dana-dana asing keluar dan masuk tanpa ada batasan. 
Menurut pengamat pasar uang Farial Anwar, aturan tersebut sangat berpengaruh pada gejolak rupiah. “Dana asing bisa menyerbu kita kapan saja, sehingga saat ada berita The Fed mau menaikkan suku bunga panik semua," kata Farial.
Maka dari itu, harus ada batasan waktu atau holding period untuk mengendalikan masuknya dana asing ke saham ataupun surat utang. “Masa kita biarkan nilai mata uang rupiah dibuat gonjang-ganjing karena permainan mata uang asing seperti itu. Itu uang yang manfaat ekonominya di keuangan kita dampaknya tidak hesar. Nah, pembiaran ini yang harus segera tidak kita lakukan lagi," imbuhnya.
Indonesia, memang pernah menerapkan kebijakan ‘setengah kontrol devisa’ pada 2008 ketika cadangan devisa makin menipis karena terus melemahnya kurs rupiah terhadapa dollar AS. Saat itu, pembelian valas oleh pelaku ekonomi selain bank yang jumlahnya melebihi 100 ribu dollar AS per bulan harus memiliki kebutuhan yang mendasarinya (underlying transaction).
Tahun lalu, BI menerbitkan aturan yang lebih luas hingga menyentuh perusahaan-perusahaan swasta nonbank, kali pertama BI terang-terangan membatasi utang luar negeri korporasi swasta.
Dalam aturan yang resmi berlaku bulan ini, otoritas mewajibkan mereka melakukan lindung nilai (hedging).
Rasio Lindung Nilai minimum ditetapkan sebesar 25 persen dari selisih negatif antara aset valas terhadap kewajiban valas, yang akan jatuh tempo sampai tiga bulan ke depan sejak akhir triwulan. Rasio hedging 25 persen juga ditetapkan dari selisih negatif aset valuta asing terhadap kewajiban valas, yang akan jatuh waktu lebih dari tiga sampai enam bulan ke depan sejak akhir triwulan. Utang valas korporasi juga harus memenuhi rasio likuiditas minimum yang ditetapkan paling rendah sebesar 70 persen.
Sementara itu, lembaga riset ekonomi Indef mengatakan bahwa rupiah akan berada di level Rp11.750 sampai 12.250 per dollar AS tahun ini, yang dinilai masih ideal untuk meningkatkan ekspor dan mengendalikan impor.  Pada kondisi ini, produk-produk dalam negeri masih bisa menajdi tuan rumah di negeri sendiri. Harapannya, kondisi ini bisa tercapai paling tidak setelah triwulan pertama tahun depan.
“Kinerja ekspor baik non migas maupun migas pada bulan Desember 2014 hingga triwulan pertama tahun ini diharapkan bisa membaik sehingga neraca perdagangan Indonesia tidak mengalami defisit. Hal ini bisa mendorong penguatan rupiah,” kata Enny Sri Hartati, Direktur Indef.
Memang seperti halnya badai, dengan bantuan alat analisis dan permodelan canggih, posisi nilai tukar bisa diprediksi sampai tingkat yang paling mendekati akurat. Namun demikian, untuk menghitung tingkat keparahan dari kemerosotan nilai tukar rupiah, para analis hanya bisa melakukannya setelah badai ekonomi terjadi. Seperti juga fenomena topan atau siklon.


Bankir, Manipulator Terbaik

Bankir diakui memang profesi yang memiliki kemampuan mengetahui sistem dan siklus bisnis sektor lainnya. Namun demikian pengetahuannya ini bisa membuatnya menjadi pribadi yang berbahaya.

Fungsi utama bisnis perbankan sejatinya adalah menghubungkan mereka yang membutuhkan dana (peminjam) dengan orang-orang dengan kelebihan dana (penabung). Selagi melakukan itu, bank membayar kembali ke penabung lebih sedikit dibanding bunga yang dibebankan kepada peminjam. Karena sifatnya inilah, para pekerja di bank, yang biasa disebut bankir menjadi pihak yang harus selalu diawasi.
Pada masa kini, hampir seluruh gerak-gerik bankir diawasi oleh regulasi, dan setiap tindakannya diukur oleh aturan mulai dari undang-undang, aturan otoritas hingga aturan internal bank. Boleh dibilang tidak ada satupun sisi dari operasional bank yang luput dari peraturan. Inilah yang membuat industri perbankan disebut-sebut sebagai highly regulated sector. Malah, kode etik yang dalam profesi lain hanya berlaku informal, untuk bankir dikukuhkan dalam aturan-aturan yang tegas.
Aturan yang super-ketat itu, akan tetapi, tidak menghalangi bankir untuk berbuat tidak jujur atau bahkan curang. Sebuah studi dari Nature, sebuah jurnal ilmiah internasional online, melakukan tes kepada 128 karyawan sebuah bank internasional besar. Peserta dibagi dua kelompok, satu kelompok peserta ditanyai tentang pekerjaan mereka dan perusahaan mereka, untuk mendorong mereka untuk berpikir tentang identitas mereka sebagai karyawan bank. Setengah lainnya menjawab pertanyaan tentang hobi mereka.
Para peserta kemudian diminta untuk melemparkan koin sebanyak sepuluh kali, tanpa diawasi oleh peneliti, dan melaporkan hasilnya. Para bankir melaporkan hasil sepuluh membalik mereka pada komputer, dan menerima pembayaran secara otomatis. Mereka bisa mendapatkan uang jika mereka bisa melaporkan telah mendapatkan lebih banyak sisi kepala dibandingkan sisi ekor –dan mereka bisa mendapat sampai 200 dollar AS dalam beberapa detik jika bisa mendapatkan seluruh kepala atau seluruh ekor, dalam semua lemparan koinnya.
Kelompok pertama melaporkan mendapatkan sisi kepala 58,2 persen dari total –secara signifikan lebih tinggi dari yang diperkirakan akan terjadi secara kebetulan. Kelompok lainnya melaporkan melemparkan 51,6 persen mendapatkan kepala.
Kelompok pertama, mengatakan bahwa mereka beruntung mendapatkan persentase itu 58 persen, bahkan hampir sepersepuluh dari mereka mengklaim penuh hadiah 200 dollar AS yang berarti telah mendapatkan satu sisi yang sama dalam 10 percobaan, meskipun kemungkinan terjadinya hal itu satu dari seribu kesempatan.
Percobaan itu seakan menyimpulkan betapa bankir-bankir memiliki sifat tidak jujur dalam diri mereka ketika dihadapkan pada kesempatan untuk berbuat hal itu dan memberi keuntungan bagi diri mereka sendiri.

Kecurangan Santai
Bahkan kecenderungan itu disebut sebagai perilaku tidak jujur yang biasa dilakukan secara santai, untuk menerjemahkan apa yang ditulis dalam sebuah artikel Majalah Forbes sebagai casual dishonesty.
Hampir tiga tahun lalu, majalah itu mengomentari kasus kecurangan bankir-bankir dari beberapa bank global yang mencoba mengelabui otoritas dengan mencurangi bunga acuan LIBOR.
LIBOR atau London Inter-Bank Offer Rate adalah suku bunga pinjaman antarbank yang berpusat di London, Inggris dan menjadi acuan dalam penentuan suku bunga global. Ada sekitar 16 bank besar asal Eropa, Kanada, Amerika Serikat dan Jepang yang terlibat dalam penentuan LIBOR.
Otoritas moneter Inggris menetapkan angka LIBOR secara berkala dan berlaku secara internasional, namun pada Juni 2006 diketahui bahwa beberapa bank mematok angka LIBOR seenaknya, tentu tanpa sepengetahuan otoritas.
Secara tersirat, majalah itu mengatakan bahwa sifat serakah menjadi pemicu yang mendorong bankir-bankir memanipulasi angka LIBOR. Padahal perbankan telah menawarkan peluang yang cukup besar bagi bankir untuk memperkaya diri dari proporsi keuntungan bank dan umumnya dari pengambilan risiko dengan menggunakan uang pihak lain.
Kasus manipulasi suku bunga LIBOR yang mencuat pada akhir pertengahan 2012, sebenarnya bermula dari investigasi Harian Wall Street Journal. Dugaan adanya manipulasi ini pertama kali diangkat oleh harian itu pada Mei 2008 setelah melakukan penelitian atas suku bunga harian LIBOR periode April 2007 – Mei 2008, yang merupakan periode puncak krisis keuangan global.
The WSJ rupanya curiga karena periode tersebut yang ditandai dengan gejala perbankan mulai saling tidak percaya satu dengan lainnya, namun kuotasi suku bunga LIBOR justru lebih rendah dari yang seharusnya.
Rendahnya kuotasi, dimaksudkan agar kondisi bank –terutama bank-bank besar kelas dunia–sangat bagus dan tidak bersiko sehingga mereka termasuk Barclays waktu itu, layak meminjam di pasar uang antar bank dengan suku bunga yang rendah, di tengah semakin seretnya aliran likuiditas di pasar uang antar-bank. Namun pada 2012 semua terkuak dan Bank Sentral Inggris (BoE) telah mengambil tindakan.
Menurut Pardi Sudradjat, pakar manajemen risiko, apa yang terjadi kepada bankir-bankir di luar dalam hal memanipulasi keadaan untuk keuntungan pribadi tidak menutup kemungkinan terjadi di Indonesia. Bankir yang sudah bertahun-tahun melakoni pekerjaannya dan sudah akrab dengan segala aturan di dalamnya, memiliki potensi untuk menghindar dari regulasi bahkan menabraknya. Akan tetapi untuk menghindari dari hukuman, kebanyakan dari mereka tak bisa melakukannya.
“Bisa saja (bankir berbuat curang), apabila bankir tersebut dari tipe yang berpikir bahwa bisnis hanya memerlukan intuisi, dan risiko hanya dianggap sebagai kepatuhan pada regulasi, tidak begitu diperlukan untuk upaya pengembangan bisnis,” kata Pardi.

Kasus di Indonesia
Berbagai kasus fraud yang terjadi seakan membuktikan apa yang dikatakan oleh Pardi. Di Indonesia, kasus-kasus juga tidak sepi untuk tidak menyebutnya marak dalam beberapa tahun terakhir. Sebut saja kasus penyelewengan dana nasabah dari seorang private banker Citibank, Malinda Dee beberapa tahun lalu, yang mencuri duit nasabah dengan cara mengakali persetujuan pencairan dana dari sang pemilik dana.
Modus pembobolan Citibank yang dilakukannya terlihat sederhana, memindahkan dana nasabah ke rekening lain dengan menggunakan blanko kosong. Aksinya berjalan mulus hingga lebih dari empat tahun. Dari 22 Januari 2007 hingga 7 Februari 2011, Malinda melakukan dari 64 transaksi dalam rupiah senilai Rp27,36 miliar dan 53 transaksi dollar AS senilai 2,08 juta. Malinda berhasil memanipulasi kepercayaan kliennya. Kontrol manajemen terhadapnya juga dikelabui dengan reputasi besarnya  dalam menjaring banyak nasabah prioritas.
Terungkapnya skandal Melinda tak membuat aksi bankir yang mengakali bank berhenti. Setelah itu, karyawan Bank Jatim terungkap telah terlibat dalam pembobolan dana bank dengan modus pencairan kredit fiktif senilai Rp50 miliar. Proses hukum untuk aksi yang terungkap pada April 2012 tersebut terus berjalan hingga setahun lebih.
Di Singapura, ada kecurangan bankir yang tidak lekang di makan zaman. Aksi seorang bankir, Nick Leeson di Singapore International Monetary Exchange telah membangkrutkan Baring Plc pada 1995. Baring merupakan bank investasi tertua di Inggris, yang sudah berdiri sejak tahun 1762 atau berumur 233 tahun saat itu. Nick tercatat membuat kerugian hingga 862 juta poundsterling (sekitar 1,4 miliar dollar AS atau setara Rp17,7 triliun).
Kepandaian bankir memang membuatnya menjadi profesi yang paling menjanjikan sekaligus berbahaya. Jika pengetahuannya disalurkan dalam jalur yang benar maka dia bisa menjadikan bank maupun perusahaan bisa berjalan dalam kinerja yang menguntungkan. Sebaliknya, bankir pun bisa membuat bank atau perusahaan bangkrut dengan kecerdasannya itu.


Bank, Inkubator CEO Terbaik

Bankir –yang lahir dari rahim perbankan– biasanya memiliki kemampuan spesial dalam bidang-bidang lain. Tuntutan pekerjaan dan ketatnya peraturan membuat mereka muncul sebagai pemimpin-pemimpin yang ‘serba bisa’.

Kehidupan yang keras memang seringkali menciptakan pribadi yang tangguh di kemudian hari. Sama seperti di kehidupan nyata, industri perbankan –dengan regulasi yang superketat, juga kerapkali mencetak pimpinan-pimpinan yang hebat, bahkan ketika mereka keluar dari tempat kerjanya dan menjadi direktur di perusahaan non-perbankan.
Perbankan memang dianggap sebagai industri spesial, dan bankir yang ada di dalamnya menjadi profesi istimewa. Sejak dulu, lembaga itu menjadi tempat orang-orang menitipkan uang, atas dasar kepercayaan, yang kemudian memunculkan wewenang untuk meminjamkan uang tersebut demi membuatnya berkembang.
Karena mengelola duit dari masyarakat inilah maka para pegawai bank ini memang sudah seharusnya merupakan orang-orang yang bisa dipercaya. Dengan alasan itu pula, diterbitkanlah aturan-aturan yang menjaga dan mengatur gerak-gerik bankir dalam melakukan pekerjaannya. Hal itu membuat tidak setiap orang bisa masuk ke dalam industri perbankan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan perbankan.
Kombinasi orang-orang yang memiliki kualitas mumpuni dan peraturan yang ketat, bisa jadi yang membuat masyarakat menganggap bankir sebagai kelompok istimewa dalam strata sosial, hingga akhirnya diajak atau dibajak untuk memimpin sebuah perusahaan.
Di sisi lain, pemilik perusahaan paham betul bahwa bankir memang memiliki beberapa hal yang dicari terutama karena kekuatan pengetahuan orang-orang itu tentang bisnis konsumen. Lainnya adalah karena mereka biasa memberi pinjaman komersial, dan memiliki pemahaman tentang profil risiko portofolio untuk sebuah kredit yang diberikan bank. Tambah lagi, karena mengetahui bisnis sebuah perusahaan luar-dalam, atau seluk-beluk mengelola duit orang-orang kaya.
Tak pelak ekspektasi-ekspektasi terhadap kemampuan itu membuat pemilik perusahaan kepincut untuk meminang bankir sebagai direktur utamanya. Sebuah makalah yang ditulis Antoinette Schoar, yang diterbitkan oleh MIT, mengatakan bahwa hampir 20 persen CEO-CEO di perusahaan-perusahaan AS sebelumnya adalah pegawai dari industri perbankan dan keuangan. jumlah itu lebih banyak dari mereka yang berlatar belakang sebagai konsultan, militer atau akademis.
Bahkan sampel yang dipelajari dari lebih dari 5.000 CEO di seluruh AS itu menyimpulkan bahwa mereka yang sebelumnya bekerja pada industri perbankan rata-rata mencapai posisi CEO lebih cepat dari orang-orang yang mulai dari dalam industri di luar perbankan.
Salah satu fakta yang baru saja terjadi adalah ketika otoritas bursa Jerman, Deutsche Boerse AG, yang mengoperasikan pasar berjangka Eurex dan Bursa Efek Frankfurt, menunjuk seorang mantan bankir UBS AG Carsten Kengeter sebagai CEO, untuk menggantikan Reto Francioni yang jabatannya akan berakhir tahun ini.
Fenomena pindahnya bankir-bankir untuk menjalani bisnis di luar core-nya atau dipinang oleh pihak lain untuk mengelola perusahaan juga terjadi di Amerika Serikat. Dalam masa-masa terjadinya gejolak keuangan global pada akhir tahun 2000-an, banyak dari bankir-bankir muda di AS yang menyeberang lautan untuk kemudian menjadi pengusaha. Beberapa di antaranya mengaku mencari pekerjaan yang lebih bermakna, lainnya ingin bergelut dengan risiko mumpung usia masih muda dan belum terbebani biaya-biaya hidup –seperti pengeluaran rumah tangga dan lain-lain.
Dan sebelum keputusan itu dibuat, mereka tentunya sudah melakukan persiapan dengan baik. Seperti yang dibutuhkan oleh para start-up, bank sudah membekali mereka dengan jiwa kompetitif. Dan seperti yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pengusaha, sewaktu menjadi bankir mereka memang terbiasa dan sangat ahli dengan riset pasar, analisis keuangan, dan bekerja dalam tim. Demikian dijelaskan oleh Majalah Inc terbitan 2013, ketika menerbitkan ulasan mengenai fenomena bankir-bankir Wall Street yang ketika itu hengkang dan beralih menjadi pengusaha.
Hal itu juga terjadi pada Thrillist, sebuah jaringan toko e-commerce, newsletter dan konten untuk pria di Amerika Serikat, telah mengangkat seorang bankir, Oktober tahun lalu, untuk membantu merencanakan kemungkinan penawaran akuisisi atau suntikan dana besar menggalang dana. Kelompok ini memiliki bisnis inti pada media digital, yang dijalankan oleh pengusaha Ben Lerer, dan memiliki nilai 150 juta dollar AS pada 2012.

Kebanyakan BUMN
Di Indonesia, fenomena itu juga tak kalah gres, ketika Sofyan Basir, Dirut BRI, bank pembiayaan mikro terbesar di Tanah Air, ditunjuk untuk memimpin perusahaan negara yang mengelola listrik. Di saat yang hampir bersamaan, koleganya, Lenny Sugihat, juga dipinang oleh pemerintah untuk menjadi CEO pada perusahaan pengelola distribusi pangan nasional.
Kecenderungan seperti itu sejatinya sudah terjadi beberapa belas tahun belakangan. Sebelumnya pada tahun 2005, Arwin Rasyid Direktur Utama Bank Niaga, ditunjuk menjadi CEO Telkom, perusahaan telekomunikasi milik negara. Pada tahun yang sama, Emirsyah Satar, seorang bankir juga diangkat menjadi CEO Garuda Indonesia, maskapai penerbangan terkemuka milik pemerintah. Sebelumnya, pada 2003 – 2005, Emir adalah Wakil Direktur Utama Bank Danamon.
Jauh sebelum itu, ada nama yang meleganda yaitu Robby Djohan, seorang bankir kawakan yang ditunjuk memimpin maskapai penerbangan tersebut. Robby, masuk ke Garuda pada 1998. Tidak sampai setahun di sana, dia dianggap berhasil melakukan perombakan besar-besaran dan membawa Garuda Indonesia menjadi perusahaan yang mampu mencetak laba, padahal sebelumnya masih mengalami pendarahan parah.
Ada pula nama-nama seperti Mochtar Riyadi, eks bankir BCA yang sukses menjalankan bisnis sebagai CEO Lippo Group, konglomerasi bisnis nasional ternama. Atau Sandiaga Uno, eks bankir Bank Summa, yang kini menjalankan bisnis Grup Saratoga dan Patrick Waluyo, eks bankir Goldman Sachs, pemilik Northstar Pacific Partners Ltd. Bahkan ada nama Ignasius Jonan, mantan Managing Director Citibank yang pernah menjadi CEO PT Kereta Api Indonesia, dan kini menjabat sebagai Menteri Perhubungan.
Banyak alasan yang mendasari mengapa pemilik besar cenderung lebih senang jika perusahaannya dipegang oleh mantan bankir, meskipun perusahaan itu tidak bergerak di industri perbankan atau keuangan. Menurut harian The Telegraph dalam laporan khususnya mengenai banyaknya bankir yang banting setir memimpin perusahaan nonbank yang terbit tahun lalu, hal itu dikarenakan mereka telah terlatih bekerja keras dalam bank.
Alasan pertama, karena bankir menghasilkan banyak uang untuk bank, karena distimulan oleh bonus yang besar. Bank memang menghasilkan uang dalam bentuk komisi dan keuntungan transaksi yang disebabkan oleh bankir.
Kedua, bankir terbiasa bekerja dalam tekanan dan tetap bisa bekerja baik selama 12 jam sehari, setiap hari, tidak ada urusan pribadi atau keluarga yang dikerjakan sebelum tugasnya. Untuk kebanyakan bankir-bankir yang biasa disebut investment bankers, siklus itu bahkan bisa berlangsung hingga mereka mencapai usia 40-an.
Kata Axel Springer, pemilik media grup Financial Times dan The Telegraph, di industri perbankan berlaku “Kau berikan hidupmu sampai sampai umur 40 dan saya akan membuatmu jutawan sesudahnya.” Dan mungkin menjadi CEO adalah salah satu doorprise-nya.
Ketiga, adalah karena bankir memang sedari awal berkualitas dan berprestasi akademik baik. Bahkan gaji tinggi ini yang membuat para lulusan berbakat untuk bergabung dengan bank daripada ke sektor lain atau memulai perusahaan.
Apa yang dilukiskan oleh The Telegraph tidaklah berlebihan. Dengan segala kesulitan dan keketatan peraturan yang melekat pada industri perbankan, bankir muncul menjadi sosok pemimpin perusahaan yang mumpuni. Karena baginya mungkin tak ada yang lebih sulit dibanding menjalankan roda bisnis perbankan.               


9 elemen yang biasanya melekat dalam diri bankir
Kompetensi
Leadership
Kepatuhan pada Regulasi
Kemampuan Perencanaan
Kemampuan Bereaksi pada Perubahan Lingkungan
Kualitas Kebijakan dan Kemampuan Mengontrol
Kualitas Tim Manajemen and Potensi Suksesi
Risk of Insider Dealings
Succession Prospect

Sumber: Aristóbulo de Juan, “From God Bankers to Bad Bankers, Economic Develepment Institute of The World bank