Kamis, 16 April 2015

Anomali

Inilah zaman anomali. Ketika sebuah kesalahan di sebuah zaman berbuah kritikan pedas dan cacian,  kesalahan yang sama saat ini mendapat dukungan hangat. Ketika keterpurukan ekonomi di sebuah zaman berbuah pemakzulan, keterpurukan yang sama kini mendapatkan pembelaan dan pujian.
Kita bisa membayangkan, di zaman sebelumnya, ketika nilai tukar rupiah terperosok sampai melewati Rp13.000 per dollar AS, maka akan ada gelombang protes di jalanan, di parlemen di ruang-ruang opini media bahkan di warung-warung kopi.
Kini, pejabat dengan enteng bilang bahwa pelemahan rupiah akan membuat banyak investor asing tertarik ke Indonesia. Teman-teman kuliah saya, dari statusnya di media sosial, bertanya: pejabat tersebut kuliahnya di mana? Memang itu merupakan pertanyaan retoris, yang tidak perlu dijawab, namun menyederhanakan masalah pelemahan nilai tukar bukanlah hal sepele.
Pelemahan nilai tukar suatu negara, di satu sisi memang membuat barang-barang yang diproduksi suatu negeri akan lebih kompetitif dibanding negara counterpar-nya. Namun di sisi lain, pelemahan rupiah justru mengirimkan inflasi negara itu ke Indonesia.
Selain itu, modal asing akan cenderung mengalir ke negara-negara yang memiliki pemerintahan yang kuat, ekonomi yang dinamis dan mata uang yang stabil. Jadi, suatu negara harus memiliki mata uang yang relatif stabil untuk menarik modal investasi dari investor asing. Itu yang lazim terjadi.
Kelaziman lain, soal daya saing. Jika sebuah mata uang melemah maka seharusnya ekspor negara pemiliknya meningkat karena lebih murah dibanding barang-barang negara pesaingnya.
Badan Pusat Statistik mencatat pada Maret, ekspor Indonesia jatuh ke tingkat terendah dalam dua setengah tahun terakhir akibat penurunan ekspor minyak dan gas, namun kejatuhan dalam impor menahan angka itu pasca surplus perdagangan untuk bulan ketiga berturut-turut. Ekspor-ekspor pada Februari merosot 16,02 persen dari setahun sebelumnya, kejatuhan terbesar sejak Agustus 2012. Pada waktu yang sama impor juga menurun 16,24 persen.
Kini beban ada di pundak rakyat, utamanya masyarakat berpendapatan rendah. Pendapatan rakyat terus tergelincir, akibat melemahnya nilai tukar yang menyebabkan inflasi. Beban ditambah ketika harga barang-barang naik sebagai dampak kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM).
Akan tetapi, saya yakin rakyat kebanyakan akan tetap berkata bahwa mereka “masih beruntung”, ungkapan khas bangsa Indonesia meskipun dirundung musibah. Karena menganggap terhindar dari musibah yang lebih besar lagi.
Namun, menurut saya tidak hanya rakyat yang beruntung ada beberapa pihak yang juga beruntung dari keadaan ini. Misalnya, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beruntung karena banyak orang yang mulai menilai bahwa pemerintahan sekarang ini tidak lebih baik dari padanya. Prabowo juga beruntung tidak jadi presiden karena kalau mantan pesaing Joko Widodo dalam pemilihan presiden lalu itu jadi presiden, bisa jadi kritikan terhadapnya akan lebih dahsyat.

Pemerintahan sekarang di bawah Presiden Jokowi juga beruntung karena pendukungnya ‘tetap konsisten’ mendukungnya terutama lewat saluran-saluran media yang masif, baik media massa ataupun media sosial.

Meredam Bahaya Laten

Pembobolan dana bank bisa terjadi kapan saja, lewat mana saja, dan dilakukan oleh siapa saja. Otoritas dan para pengelola terus berupaya menghalaunya, dengan menerapkan aturan anti fraud yang sudah dirilis Bank Indonesia dan kini diadopsi oleh OJK.

Di industri perbankan, fraud adalah bahaya laten yang terus diwaspadai. Ia adalah ancaman tak terlihat bagi semua pemangku kepentingan. Fraud bisa muncul kapan saja, dan tak pandang bank, bahkan tak peduli secanggih apapun sistem pengawasan dan seketat apapun sistem pengendalian internal.
Selama ini, pembobolan dana bank yang terjadi di Indonesia dan menjadi perhatian publik, memang kerap terjadi dengan modus yang terbilang ‘konvensional’. Para penjahat mengajukan kredit fiktif, atau bekerja sama dengan orang dalam mengelabui sistem yang ada. Atau yang kebih parah, orang dalam bank sendiri yang menelikung aturan dan sistem yang ada demi mencuri uang nasabah.
Dalam tahun ini saja, yang baru berjalan selama tiga bulan sudah ada tiga kasus pembobolan bank yang menjadi perhatian khalayak umum. Dimulai dengan munculnya kasus pembobolan dana milik Bank Syariah Mandiri yang mencapai Rp50 miliar dengan modus menggunakan bilyet deposito palsu. Bilyet itu menjadi jaminan untuk mendapatkan kredit dari bank dengan jumlah yang sama. Kasus itu sejatinya terjadi pada akhir tahun lalu, tetapi kemudian baru terungkap awal tahun.
Juga ada kasus raibnya dana nasabah yang disimpan di Bank Permata sebesar Rp245 juta. Kejadiannya juga pada tahun lalu, namun baru 25 Februari 2015, nasabah baru melaporkan hal itu ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Yang tak kalah menyita perhatian adalah lenyapnya dana milik Pemerintah Kota Semarang, Jawa Tengah yang disimpan di BTPN. Pada bulan lalu, Pemkot Semarang melaporkan BTPN ke Kepolisian karena simpanan berjangka sebesar Rp22,7 miliar miliknya menyusut tinggal Rp80 juta.
Kecurigaan raibnya uang deposito milik Pemkot Semarang itu berawal dari sikap BTPN yang menolak meneken nota kesepahaman (MoU) dengan Pemerintah Kota Semarang. Setiap awal tahun, pemerintah bertemu dengan tujuh bank tempat dana Pemerintah Kota disimpan. Dari tujuh bank, hanya BTPN yang tak datang.
Sementara itu, BTPN mengaku bahwa Pemkot Semarang tak menyimpan deposito di bank tersebut. “Padahal sertifikat deposito atas nama Pemerintah Kota Semarang yang dikeluarkan oleh BTPN masih tersimpan di kotak besi,” ujar salah satu pejabat Pemkot Semarang.
Melihat kejadian-kejadian itu, boleh dibilang pembobolan dana dengan cara-cara old style memang masih mewarnai risiko operasional perbankan, namun tetap mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan, dalam beberapa tahun belakangan fraud telah membuat perbankan kehilangan duit Rp845 miliar. Jumlah itu hanya 0,20 persen dari seluruh pendapatan dan hanya 0,89 dari laba bank selama ini. Bahkan jumah itu masih semenjana jika dibandingkan dengan kerugian total akibat fraud di seluruh dunia.
“(angkanya) kecil tapi bukan berarti membuat kita tidak waspada,” kata Mulya E Siregar, Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK.
Meski didominasi oleh kecurangan lewat modus konvensional, bukan berarti pembobolan dengan teknik yang lebih canggih menjadi sepi. Dalam tiga tahun belakangan, seiring meningkatnya transaksi melalui saluran elektronik, pembobolan melalui layanan teknologi informasi terus meningkat. Bahkan ancaman itu bertambah besar ketika tersiar kabar bahwa beberapa bank besar di Eropa dan Asia dibobol oleh sekelompok peretas (hacker) dengan cara menyalin data-data rahasia bank lewat peranti lunak yang digunakan bank.
Perangkat lunak tersebut sudah tertanam berbulan-bulan dalam komputer karyawan perbankan dan merekam setiap gerakan karyawan baik pembukuan maupun kata kunci yang digunakan dalam pencatatan sehari-hari. Perangkat lunak ini ternyata sebuah malware yang kemudian mengirimkan aktivitas karyawan tersebut berupa rekaman, gambar ataupun data ke para hacker. Kemudian kelompok hacker tadi menyamar sebagai petugas bank yang tidak hanya mampu menyalakan mesin ATM uang, tetapi juga mentransfer jutaan dollar dari bank Rusia, Jepang, Swiss, Amerika Serikat dan Belanda ke rekening-rekening palsu mereka di berbagai negara.
Dalam laporan yang kemudian dipublikasikan oleh The New York Times, Kapersky Lab mengatakan bahwa serangan ini telah merebak di lebih dari 100 bank dan lembaga keuangan di 30 negara serta menghilangkan dana total 1 miliar dollar AS (Rp12 triliun). Tak pelak ini menjadi salah satu pencurian bank yang terbesar yang pernah ada tanpa adanya tanda-tanda perampokan.
Mengingat jaringan perbankan yang sudah mengglobal, bukan tidak mungkin perbankan Indonesia juga terancam akan modus yang sama. Apalagi banyak peranti lunak bajakan yang beredar luas di Indonesia.
Sebuah riset yang dinamakan Malware Study yang dilakukan 2013 menyimpulkan bahwa program-program yang berisi virus komputer yang masuk melalui software palsu dan lalu di-install ke dalam komputer, banyak tersebar di Indonesia.
Studi itu meneliti secara acak sebanyak 216 hard disk drive (HDD) dan pemutar DVD yang terpasang dalam komputer dan laptop di beberapa negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam; dengan cara membeli komputer secara acak di toko-toko. Hampir separo dari komputer dan lapto itu dibeli di Indonesia.
Penelitian itu menyimpulkan bahwa sebanyak 59,09 persen sampel HDD yang didapatkan di Indonesia terinfeksi oleh malware. Sementara yang lebih ironis, 100 persen dari sampel DVD yang diambil di Indonesia terinfeksi oleh malware. Sementara negara yang terjangkit perangkat perusak terendah dari yang disurvei adalah Filipina yaitu dua dari lima komputer dan pemutar DVD yang terinfeksi.
Studi yang dilakukan oleh tim dari Microsoft Security Forensics lebih jauh juga mengungkap bahwa banyak komputer yang menggunakan sistem operasi Windows bajakan. Akan tetapi banyak konsumen yang tidak tahu bahwa di dalam sistem operasi itu tertanam malware. Bahkan program-program jahat itu tidak pilih-pilih karena hampir semua merek ternama bisa dijangkiti. 
Tidak berlebihan kiranya, jika perbankan Indonesia sangat terpapar risiko operasional yang diakibatkan maraknya penggunaan program-program komputer bajakan atau palsu.

Anti fraud
Otoritas sejatinya sudah mengeluarkan aturan agar fraud, dari manapun asalnya, bisa dihalau dan yang potensial akan muncul dari dalam bisa diredam. Adalah peraturan anti fraud yang sudah dirilis Bank Indonesia dan kini diadopsi oleh OJK yang mewajibkan bank memiliki manajemen strategi anti fraud. Strategi itu memilik empat komponen penting yaitu pencegahan, deteksi, investigasi, dan evaluasi.
Pilar pencegahan memuat langkah-langkah dalam rangka mengurangi potensi risiko terjadinya fraud, yang paling kurang mencakup kesadaran terhadap bahaya fraud (anti fraud awareness), identifikasi kerawanan, dan penerapan prinsip mengenal karyawan (know your employee).
Pilar deteksi memuat langkah-langkah dalam rangka mengidentifikasi dan menemukan fraud dalam kegiatan bank, yang mencakup paling kurang kebijakan dan mekanisme whistleblowing, pelaksanaan audit secara mendadak (surprise audit), dan sistem pengamatan (surveillance system).
Pilar investigasi, pelaporan, dan sanksi paling kurang memuat langkah-langkah dalam rangka menggali informasi, sistem pelaporan, dan pengenaan sanksi atas fraud dalam kegiatan usaha bank.
Pilar evaluasi paling kurang memuat langkah-langkah dalam rangka memantau dan mengevaluasi fraud.
Meski memiliki aturan manajemen anti fraud, bukan berarti pembobolan dan kecurangan bisa hilang sama sekali. Mulya E Siregar dari OJK mengatakan bahwa praktik fraud biasanya baru tercium setelah pembobolan dana terjadi. “Ada time lag untuk mengetahui terjadinya fraud di bank. Bank membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengetahui atau menemukan fraud,” kata dia. “Oleh karena itu keberadaan whistle blower sangat penting bagi kita.”
Selama ini, berdasarkan catatan OJK, 43 persen kasus fraud di perbankan diketahui karena informasi dari whistle blower atau orang yang melaporkannya, sementara hanya 14 persen kasus pembobolan dana baru diketahui dari hasil audit.

Sementara itu, bahaya laten itu juga tetap mengintai jika berkaca pada hasil temuan OJK yang mengatakan bahwa banyak perusahaan yang tidak memperketat kebijakan anti fraud walaupun sebelumnya perusahaan itu mengalami fraud. “Pengendalian internal harus dilakukan secara continous,” kata Mulya.

Rupiah yang Bingung

Nilai tukar rupiah cenderung terus melemah ketika rencana normalisasi kebijakan monter AS masih simpang siur. Ironisnya pelemahan rupiah tidak mendorong ekspor karena struktur industri nasional masih lemah.

Pada 2014, perekonomian Indonesia dinilai mulai terlepas dari turbulensi pasar keuangan global. Di tengah isu pengurangan stimulus moneter AS, pada akhir Februari tahun lalu, nilai tukar rupiah menguat lebih dari tiga persen, penguatan tertinggi dibanding  kurs negara-negara emerging market. Padahal setahun sebelum itu, badai keuangan yang memukul pasar negara berkembang, memasukkan Indonesia ke dalam kelompok Fragile Five bersama Brazil, India, Turki, dan Afrika Selatan. Nilai tukar rupiah melemah dari Rp9.600-an pada awal 2013, tersungkur di level Rp12.200 per dollar AS pada Desember.
Kondisinya seperti berulang di saat rupiah terjerembap atas dollar AS dan tidak kunjung menguat sejak awal tahun 2015. Bahkan kurs rupiah mencapai titik terendahnya dalam kurun waktu 17 tahun terakhir ketika menyentuh level Rp13.220 per dollar AS pada pertengahan bulan lalu. Sementara itu, jika dibandingkan dengan posisinya pada awal Januari tahun, pada 19 Maret, nilai tukar rupih telah terdepresiasi lebih dari 4 persen. Pelemahan rupiah terus terjadi meski banyak dana-dana asing mengalir masuk ke pasar keuangan. Lihat saja Indeks Harga Saham Gabungan yang terus mencatatkan rekor tertinggi didorong oleh aksi beli investor asing. Pada Januari, indeks masih berada di level 5.200-an dan pada pertengahan bulan lalu angkanya meningkat menjadi 5.453. Triliunan dana asing dinilai menjadi faktor pendorong naiknya indeks, namun tidak pada nilai tukar rupiah.
Hal itu tentu menimbulkan keheranan, karena biasanya dana asing yang masuk akan memperkuat rupiah. Tak kurang dari Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara yang heran dengan kondisi tersebut. Menurut dia depresiasi nilai tukar saat ini sudah berlebihan dan membawa rupiah di bawah level fundamentalnya (under value) karena ditekan sentimen eksternal dan internal. “Kalau ditanya apakah pelemahannya sudah under value, memang iya. Mata uang kita melemahnya sebenarnya sudah berlebihan," ujar dia.
Mirza menjelaskan, faktor eksternal yang membuat rupiah terdepresiasi adalah rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat tahun ini. Stimulus moneter sebesar 20 persen dari PDB Amerika akan ditarik perlahan oleh bank sentral AS itu dengan menaikkan suku bunga.
"Saat ini suku bunganya 0,25 persen. Dalam tiga tahun ke depan akan naik 2,5-3 persen, sementara itu suku bunga Eropa negatif, Jepang hanya nol koma sekian, China juga turun. AS ekonominya meningkat sendiri," kata Mirza.
Sebelumnya, pada saat pengumuman suku bunga acuan, Bank Indonesia mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terutama didorong oleh terus berlanjutnya penguatan dolar AS terhadap semua mata uang dunia. Melemahnya mata uang euro seiring dengan quantitative easing yang ditempuh Bank Sentral Eropa semakin meningkatkan tekanan pelemahan mata uang emerging markets, termasuk Indonesia.
 “Bank Indonesia terus meningkatkan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar Rupiah, termasuk intervensi di pasar valas maupun pembelian SBN di pasar sekunder. Ke depan, Bank Indonesia akan tetap konsisten untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai kondisi fundamentalnya,” kata siaran pers tersebut.
Kondisi ini jelas menjadi dilema buat Bank Indonesia. Jika dollar AS dibiarkan menguat terus maka dampaknya bagi kenaikan harga tidak bisa dielakkan lagi dan ini berarti lonceng tanda bahaya bagi target inflasi yang ditetapkan BI.
Produsen dan pengusaha di bidang makanan dan minuman nasional mengancam akan segera menaikkan harga. Bulan lalu, Ketua GAPMMI Adhi Lukman mengatakan akan bahwa para pelaku industri segera menaikkan harga mengingat ongkos produksi mereka sudah melonjak akibat naiknya kurs dollar AS. “Meski hal itu (menaikkan harga) cukup dilematis dan bukan tidak mungkin akan menjadi bumerang mengingat daya beli masyarakat juga tengah tertekan,” kata dia.

Ekspor Tak Terangsang?
Akan tetapi, pelemahan nilai tukar tidak kunjung mendorong ekspor. Hal itu tentu patut menjadi keheranan selanjutnya. Melemahnya nilai tukar otomatis membuat mata uang sebuah negara menjadi lebih murah dibanding mata uang pasangannya sehingga bisa mendongkrak ekspor. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia kebalikannya.
Badan Pusat Statistik mencatat pada Maret, ekspor Indonesia jatuh ke tingkat terendah dalam dua setengah tahun terakhir akibat penurunan ekspor minyak dan gas, namun kejatuhan dalam impor menahan angka itu pasca surplus perdagangan untuk bulan ketiga berturut-turut. Ekspor-ekspor pada Februari merosot 16,02 persen dari setahun sebelumnya, kejatuhan terbesar sejak Agustus 2012. Angka impor pada waktu yang sama juga menurun 16,24 persen.
“Ekonomi Indonesia telah terpukul penurunan harga minyak global dan komoditas yang lemah.
sementara kejatuhan rupiah belum mendorong ekspor namun telah mengurangi konsumsi domestik,” kata Ahmad Erani Yustika, pengamat ekonomi Indef.
Menurut Guru Besar Universitas Brawijaya itu, rupiah yang jatuh ke tingkat terendah dalam 17 tahun terakhir, belum mendorong ekspor karena telah membuat impor bahan baku dan barang modal lebih mahal. “Secara teori, mata uang yang lemah seharusnya membantu daya saing ekspor, namun karena kita memproduksi barang dengan bahan baku impor, kelemahan rupiah malah meningkatkan biaya dan mempengaruhi ekspor.”
Mantan Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution mengatakan bahwa ketidakmampuan ekspor memanfaatkan depresiasi dikarenakan industri dalam negeri khususnya manufaktur belum pulih.
Akibatnya kinerja ekspor nasional terus menurun. Bahkan sejak 2012, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit karena ekspor Indonesia yang selama ini mengandalkan produk komoditas tidak memberikan hasil maksimal karena harga di pasar internasional yang cenderung turun.
“Setelah krisis hingga kini, industri dalam negeri belum betul-betul pulih sehingga belum mampu memproduksi bahan baku dan barang modal lebih banyak. Selama ini pertumbuhan sektor industri selalu di bawah pertumbuhan GDP,” kata Darmin.
Persoalan defisit transaksi berjalan, kata pria yang kini menjadi Komisaris Utama Bank Mandiri itu, menjadi penyebab lainnya. Tahun ini angka defisit yang ditargetkan maksimal 2,5 persen mendapatkan cobaan berat ketika defisit neraca perdagangan di sektor barang modal dan bahan baku.
Hal itu, sambung Darmin, yang membuat persoalan defisit transaksi berjalan lebih dalam dari yang terlihat. “Industrialisasi harus segera dijalankan secepatnya.” 

Menunda Normalisasi
Pelemahan rupiah merupakan imbas dari rencana otoritas AS yang ingin menaikkan suku bunga karena menilai ekonomi Negeri Paman Sam itu sudah normal. Hal itu diharapkan dapat memanggil pulang dollar AS yang selama ini menyebar ke segala penjuru dunia ketika The Federal Reserve menerapkan kebijakan pembelian aset-aset beracun dengan mencetak uang mulai 2009.
Rencana yang mulai berhembus sejak akhir 2013 lalu itu tak pelak membuat konfigurasi dana-dana asing yang dikelola hedge fund berubah. Banyak dollar AS yang masih berada di emerging market serta merta angkat kaki, dan hal itu menggoyang perekonomian global secara keseluruhan.
Akan tetapi, tampaknya harapan The Fed belum menjadi kenyataan, karena hingga dua bulan di sepanjang 2015, jumlah dollar AS yang kembali ke pelukan ‘Dewi Liberty’ tidak sesuai harapan. Hal itu membuat rencana kenaikan suku bunga kembali ditunda.
Dalam pertemuan Dewan Gubernur Bank Sentral AS (FOMC), pertengahan Maret, Janet Yellen, Ketua The Fed mengatakan bahwa pihaknya memastikan target suku bunga 0,25 persen. “Hanya karena kami menghapus kata sabar dalam pernyataan, bukan berarti kami tidak sabar. Kami menilai kondisi ekonomi belum pasti akan membaik saat pertemuan April mendatang. Kenaikan suku bunga bisa terjadi di pertemuan-pertemuan selanjutnya, tergantung situasi ekonomi,” kata dia dalam konferensi pers setelah pertemuan.
Pernyataan itu kembali menambah panjang kesimpangsiuran tengat waktu pelaksanaan normalisasi kebijakan. Sebelumnya banyak analis yang memperkirakan bahwa pertengahan tahun ini The Fed akan merealisasikan rencana menaikkan suku bunga dan dalam tiga tahun ke depan angkanya terus naik hingga 2,5 persen. 
Jadi, pelemahan rupiah akan menjadi sebuah keniscayaan lagi?


Akhir Cerita Merger

Rencana merger tampaknya akan kembali kandas. Meski demikian, ada harapan bahwa pemerintah akan menempuh jalan lain sebelum mengonsolidasikan bank-bank pelat merah ke dalam sebuah induk usaha.
  
Perubahan memang bisa terjadi dalam semalam. Dua bulan sebelumnya, pemerintah tampak bersemangat ingin menggabungkan dua bank besar untuk menjadi sebuah bank raksasa. Hal itu kembali memicu polemik publik dan diwarnai penolakan dari pengelolanya. Meski begitu, terlihat pemerintah tetap keukeuh menyatukan dua bank itu.
Kini, setelah ada pergantian dalam jajaran direksi dan komisaris bank-bank negara, isu merger dua bank besar, BNI dan Bank Mandiri, tampaknya tidak layak untuk diperbincangkan lagi.
Ketika dikonfirmasi kepada Darmin Nasution yang ditunjuk menjadi Komisaris Utama Bank Mandiri, mantan Gubernur Bank Indonesia itu hanya tersenyum. Seolah mengelak, dia mengatakan bahwa merger itu memang ada benefitnya, tetapi saat ini harus diperhitungkan mengenai prioritas pemerintah soal ekonomi.
“Membentuk bank besar dan kuat harus memperhitungkan kekuatan yang ada di negara kita. sekarang ini bukan saatnya kita harus menghasilkan semuanya sendiri, harus mencari apa kekuatan kita. (Lagi pula) merger tidak bisa selesai hanya dalam waktu setahun,” kata Darmin ditunjuk menjadi Komisaris Utama bank beraset paling gemuk pada bulan lalu,  bersama beberapa nama yang biasa muncul di industri keuangan seperti Aviliani, pengamat ekonomi; Goei Siauw Hong, pengamat pasar modal; Suwhono, mantan Dirut Pegadaian.
Bank Mandiri sejak awal tahun santer diberitakan akan digabung dengan BNI guna menghadapi pasar bebas ASEAN 2020. Rencana itu muncul lagi setelah beberapa kali timbul tenggelam dalam beberapa pemerintahan.
Pada medio Agustus tahun lalu, Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional, Ikatan Bankir Indonesia dan Kementerian Keuangan, kembali memunculkan isu itu. Bahkan, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Muliaman Darmansyah Hadad telah bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, guna meminta restu menjalankan roadmap konsolidasi perbankan.
Dikatakan Muliaman saat itu, Presiden Jokowi mendukung rencana OJK terkait penambahan kapasitas likuiditas perbankan dalam menghadapi persaingan di dunia internasional.
Di akhir Januari 2015, Muliaman kembali mengungkapkan bahwa OJK akan menerbitkan Master Plan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI) pada pertengahan tahun ini. Di dalam roadmap tersebut, OJK akan mengenalkan konsep baru konsolidasi perbankan, asuransi, multifinance, dan sektor keuangan lain. Di dalamnya, OJK juga akan mendorong konsolidasi bank BUMN agar  bisa meningkatkan efisiensi.
Akan tetapi, kelihatannya, rencana besar OJK itu akan menabrak tembok tebal nan tinggi. Susunan komisaris di bank BUMN yang ditetapkan bulan lalu setidaknya menguatkan indikasi itu. Di BNI, Komisaris Utama dipegang oleh Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Perekonomian, yang didampingi oleh nama-nama macam Pradjoto, pengamat hukum bisnis keuangan; Revrisond Baswir, pengamat ekonomi; dan Josh Luhukay, bankir yang kuat di bidang teknologi informasi.
Tahun lalu, Rizal bersama dengan seribuan pegawai Bank Tabungan Negara (BTN), menolak rencana Kementerian BUMN saat itu yang tengah mendorong akuisisi BTN oleh Bank Mandiri.
Penunjukkan komisaris itu seolah memperkuat keengganan pemerintah melanjutkan rencana merger yang berpotensi menciptakan sebuah bank raksasa milik Indonesia. Akhir Februari lalu, Presiden Joko Widodo mengutarakan secara gamblang bahwa rencana merger ataupun pembentukan induk usaha bukan prioritas pemerintahannya.
“Sampai hari ini belum ada planning (merger perbankan BUMN),” kata Jokowi usai makan siang di Rumah Makan Medan Baru, Jakarta, akhir Februari lalu.
Keinginan menggabungkan bank-bank negara sudah muncul sejak sembilan tahun lalu.
Wacana penggabungan bank-bank pemerintah mencuat dengan Bank Tabungan Negara, penguasa sektor properti, sebagai obyek sasarannya. BTN saat itu diincar oleh Bank BNI, bank yang handal di sektor korporasi dan BRI, pemimpin di sektor pembiayaan mikro. Dalam tahun itu pula, wacana itu meredup.
Dua tahun setelahnya, drama itu muncul lagi dengan pemeran utama yang sama, namun dalam tahun itu pula kembali hilang disapu angin. Meski, baik BNI maupun BRI sama-sama menunjukkan keseriusannya ingin mengakuisisi BTN.


Wajah Baru, Konsolidasi
Sementara itu, perombakan besar-besaran juga terjadi dalam jajaran direksi bank-bank pelat merah dan beberapa di antaranya hanya pindah kapal. BNI mendapatkan dua direksi dari BRI yakni Ahmad Baiquni sebagai Dirut dan Suprajarto sebagai direksi. Bankir BRI lain, Sulaiman Arif Arianto berpindah tugas menjadi Wakil Direktur Utama Bank Mandiri. Sebaliknya, satu direktur Bank Mandiri yakni Sunarso menjadi wakil direktur Utama BRI.
Dari para direksi bank BUMN itu tercium rencana bahwa konsolidasi akan dilakukan bukan dengan cara menggabungkan, namun penyatuan dalam sistem operasional dan bisnis bank seperti dalam layanan ATM.
Asmawi Syam, Direktur Utama BRI terpilih mengatakan, pihaknya sedang mendiskusikan operasional konsolidasi ATM dengan bank BUMN lain. Ada beberapa opsi yang tengah dijajaki. Opsi pertama adalah membentuk jaringan switching baru yang dimiliki bank BUMN. Bila ini menjadi pilihan, kelak empat bank BUMN akan menyetor modal ke perusahaan switching ini.
Kedua, menggunakan jaringan yang sudah ada yakni melalui jaringan LINK. "Kami akan memilih cara yang paling efisien," kata Asmawi. Opsi lain yang juga muncul adalah memindahkan mesin ATM bank BUMN yang ada di satu lokasi. Contoh, di satu lokasi ada tiga mesin ATM milik bank BUMN, dua mesin ATM lain akan dipindah ke lokasi lain. Sinergi ini akan menghemat pengeluaran operasional bank.
"Kalau seperti ini biaya operasional bank akan berkurang karena tidak perlu tambah ATM," imbuh Asmawi. Menurutnya, rencana konsolidasi ATM ini masih dalam kajian termasuk biaya (fee) yang hendak dikenakan ke nasabah. “Dalam dua bulan hingga tiga bulan ke depan kami akan menyampaikan konsep modalnya," kata Asmawi.
Achmad Baiquni, Direktur Utama BNI menambahkan, konsolidasi ATM adalah salah satu tujuan utama sinergi bank BUMN. Selanjutnya, bank BUMN akan melakukan konsolidasi dari bisnis yang lain. Misal, pembiayaan kredit untuk swasta atau BUMN. Konsolidasi juga akan berlanjut yakni dalam pengelolaan bisnis hedging valas.
Dengan demikian, agaknya konsolidasi bank-bank BUMN yang berjalan lancar barulah akan berada dalam tataran kerjasama operasional. Konsolidasi bank-bank BUMN dalam hal penggabungan menjadi satu entitas bisnis masih akan membutuhkan waktu yang panjang. Bahkan bisa jadi konsolidasi bank-bank BUMN menjadi satu akan tinggal kenangan saja. Atau sebaliknya, konsolidasi perbankan dalam hal operasional akan menjadi pijakan baru untuk membuka tahapan konsolidasi perbankan ke tahap berikutnya.

 *********************************************

Cerita Merger Sebelumnya
                                                   
Jelang akhir kekuasaannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlihat serius menyelesaikan rencana konsolidasi bank BUMN. Manakala roadmap konsolidasi bank BUMN di akhir Agustus 2014 sudah masuk Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan alias UKP4. Kementerian BUMN memang harus cepat menyelesaikan roadmap konsolidasi bank BUMN lantaran program ini jadi prioritas kerja Presiden SBY yang harus diselesaikan 100 hari terakhir, atau sebelum 10 Oktober 2014.
Ada beberapa opsi yang menjadi kajian pemerintah dalam konsolidasi ini. Pertama, pemerintah akan membentuk perusahaan induk atau holding company. Satu bank BUMN menjadi induk bagi bank-bank lain. Bank terbesar secara modal dan aset akan menauingi bank-bank lainnya. Cara ini mirip seperti yang sudah dilakukan di sektor semen, perkebunan dan kehutanan.
Opsi kedua, pemerintah tak hanya membuat satu induk, tapi bisa dua hingga induk bank BUMN dengan segmen bisnis berbeda. Misal, bank yang kuat di UKM akan menggarap sektor UKM dengan jadi induk bank BUMN lain. Makanya, detail anak usaha bank jadi pertimbangan. Upaya ini dilakukan agar tak hanya satu bank BUMN siap bersaing dengan bank-bank negara lain saat Masyarakat Ekonomi ASEAN di sektor keuangan berlaku di 2020, tapi ada dua sampai tiga bank.
Opsi lain yang mirip muncul pada April 2014 lalu. Saat itu, Bank Mandiri diskenariokan mengakuisisi BTN kemudian BNI. Sementara, BRI jadi induk bank yang fokus menggarap sektor mikro dengan akuisisi Bahana Pembinaan Usaha (BPUI), Pegadaian, dan Permodalan Nasional Madani (PNM).
Kini, tampaknya semua skenario itu tak berjalan, meski ada harapan pemerintah dinilai tengah merencanakan membuat holding sesuai fokus bisnis bank. Yang pasti, merajuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan Tunggal, fungsi holding hanya dapat dilakukan pemegang saham pengendali berupa bank berbadan hukum Indonesia atau instansi Pemerintah RI.




Menyerang Bank dari Dalam

Perbankan harus segera menyiagakan diri terhadap risiko operasional yang kemungkinan akan datang lewat peranti lunak asing atau palsu yang digunakan. Perbankan di Eropa sudah merasakan dampaknya.


Risiko operasional perbankan makin bertambah. Selain potensi serangan dari internal bank melalui praktik curang dan pihak eksternal yang lazimnya terjadi yaitu serangan para pembobol kartu, kini perbankan juga tengah diancam oleh para peretas dari dunia maya.
Di tengah berkembangnya transaksi pembayaran lewat saluran elektronik dan Internet, ancaman ini tentu akan membuat bisnis bank makin berisiko. Adalah Kaspersky Lab, produsen anti virus dari Rusia,  yang bulan lalu, melaporkan adanya serangan peretas dunia maya (hacker) terhadap perbankan dunia yang sampai saat ini masih aktif. Kelompok penjahat dunia maya itu diperkirakan sudah menyerang lebih dari 100 bank.
Laporan itu berawal pada kejadian pada akhir 2013 lalu,ketika sebuah mesin ATM di Kiev, Ukraina mengeluarkan uang secara otomatis dalam waktu yang acak. Tidak ada proses masuknya kartu atau menyentuh tombol, uang tersebut keluar secara tiba-tiba dan diambil oleh orang yang kebetulan melintas di sana.
Perusahaan Kaspersky Lab yang berbasis di Rusia lalu menemukan bahwa mesin ATM tersebut bermasalah. Komputer internal yang di gunakan oleh karyawan untuk memproses transfer harian dan melakukan pembukuan telah ditembus oleh malware yang memungkinkan para peretas untuk merekam setiap gerakan karyawan. Perangkat lunak yang tertanam berbulan-bulan di dalam komputer karyawan tadi mengirimkan kembali rekaman video dan gambar ke para hacker tentang bagaimana aktivitas bank dalam keseharian. Kemudian kelompok hacker tadi menyamar sebagai petugas bank yang tidak hanya mampu menyalakan mesin ATM uang, tetapi juga mentransfer jutaan dollar dari bank Rusia, Jepang, Swiss, Amerika Serikat dan Belanda ke rekening-rekening palsu mereka di berbagai negara.
Dalam laporan yang diterbitkan pada Senin, tengah bulan lalu dan dirillis oleh The New York Times, Kapersky Lab mengatakan bahwa serangan ini telah merebak di lebih dari 100 bank dan lembaga keuangan di 30 negara. Tak pelak ini menjadi salah satu pencurian bank yang terbesar yang pernah ada tanpa adanya tanda-tanda perampokan.
Perusahaan keamanan siber yang berbasis di Moskow mengatakan bahwa karena perjanjian soal menjaga rahasia dengan bank-bank yang terkena dampak kejahatan itu, mereka tidak menyebutkan nama-nama bank tersebut. Tapi pemerintah Amerika Serikat dan FBI telah memiliki nama-nama tersebut untuk di invetarisir kerugian-kerugian yang terjadi.
Kapersky Lab sendiri telah melihat bukti bahwa lembaga-lembaga keuangan telah merugi 300 juta dollar AS dan ini bisa saja bertambah tiga kali lipat. Bahkan menurut hitung-hitungan pembuat anti virus itu, total dana yang sudah dicuri mencapai total 1 miliar dollar AS (Rp12 triliun). Sebagian besar target berada di Rusia, tapi juga ada di Jepang, Amerika Serikat dan Eropa.
Meski demikian, sampai saat ini belum ada bank yang mengaku telah mengalami pencurian. Seorang penyidik Interpol menyatakan bahwa tim spesial penyidik kejahatan digital yang berbasis di Singapura telah mengkoordinasikan penyelidikan dengan menggunakan hukum di negara-negara yang terkena dampak. Petinggi Kasparsky Amerika Utara di Bostoh, Chris Dogget, mengatakan bahwa nama malware itu adalah "Carbanak Cybergang". Malware canggih ini sementara masih menyerang perusahaan jasa keuangan. "Ini mungkin serangan paling canggih di dunia sampai saat ini dalam hal taktik, metode yang digunakan dalam operasi yang tetap terjaga rahasianya,”ungkap Dogget.
Sebuah kelompok cybersecurity menyatakan sudah menyebarkan data mengenai serangan ini kepada para anggotanya. Pusat Informasi dan Analisis Jasa Keuangan pun mengaku sudah mendapatkan imbauan dari penegak hukum untuk lebih waspada.

Sasaran Empuk
Bukan tidak mungkin perangkat lunak yang mampu merekam kegiatan pegawai bank juga sudah tersebar ke Indonesia. Sebuah riset yang dinamakan Malware Study 2013 menemukan bahwa program-program yang berisi virus komputer itu masuk melalui pintu peranti lunak palsu yang di-install ke dalam komputer. Studi itu meneliti secara acak sebanyak 216 hard disk drive (HDD) dan pemutar DVD yang terpasang dalam komputer dan laptop di beberapa negara. Penelitian dilakukan di beberapa negara Asia Tenggar yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam dengan cara membeli komputer secara acak di toko-toko. Menariknya , hampir separo dari komputer dan laptop itu dibeli di Indonesia.
Penelitian itu menyimpulkan bahwa sebanyak 59,09 persen sampel HDD yang didapatkan di Indonesia terinfeksi oleh malware. Ironisnya lagi, 100 persen dari sampel DVD yang diambil terinfeksi oleh malware.
Studi yang dilakukan oleh tim dari Microsoft Security Forensics lebih jauh juga mengungkap bahwa banyak komputer di Indonesia yang menggunakan sistem operasi Windows bajakan. Akan tetapi banyak konsumen yang tidak tahu bahwa di dalam sistem operasi itu tertanam malware.
Fenomena itu tentu membuat Indonesia menjadi sasaran empuk pembobolan dana seperti yang dilakukan oleh para peretas dunia maya di Rusia dan beberapa negara lainnya seperti yang dilaporkan oleh Kapersky.
Sebelumnya, bank-bank di Indonesia juga sempat dibobol oleh peretas meskipun caranya lebih sederhana. Seperti yang menimpa BCA pada tahun 2001, ketika layanan Internet banking-nya dibobol dengan modus membuat situs asli tapi palsu.
Hal itu berawal dari ide untuk membuat situs yang mirip dengan BCA dengan menjebak orang-orang yang salah mengetikkan nama situs tersebut. Kemudian si penipu membeli domain-domain internet dengan harga sekitar 20 dollar AS yang menggunakan nama dengan kemungkinan orang-orang salah mengetikkan dan tampilan yang sama persis dengan situs Internet banking BCA.

Mitigasi Risiko
Otoritas sejatinya sudah mewanti-wanti sejak awal agar bank terus meningkatkan kehati-hatiannya dalam mengelola risiko operasional. Risiko itu muncul disebabkan ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
Dalam banyak kasus, risiko operasonal menimbulkan kerugian keuangan secara langsung maupun tidak langsung dan kerugian potensial atas hilangnya kesempatan memperoleh keuntungan. Besarnya potensi kerugian dari risiko operasional tersebut mendorong regulator menginisiasi aturan yang memaksa bank untuk mengukur dan men-disclose risiko yang dihadapinya. Basel II yang telah diadopsi di Indonesia mewajibkan bank untuk memasukkan risiko operasional sebagai salah satu komponen didalam perhitungan kecukupan modal suatu bank.
Sejalan dengan itu, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, yang menjadi dasar penerapan manajemen risiko operasional, mensyaratkan penerapan manajemen risiko yang mencakup pilar-pilar pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi, kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit, kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko dan sistem pengendalian internal. Pengelolaan eksposur risiko operasional mencakup pengelolaan eksposur risiko hukum, reputasi, kepatuhan, dan stratejik yang terdapat pada setiap proses bisnis dan aktivitas operasional.
Perbankan juga diwajibkan untuk memiliki strategi antifraud sebagai bagian dari sistem pengendalian internal. Ada empat elemen antipembobolan yang harus dipenuhi oleh perbankan.
Ketentuan tersebut diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.13/28/DPNP pada 9 Desember 2011 tentang Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum. Aturan itu sendiri mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Landasan penerbitan aturan itu karena terungkapnya berbagai kasus fraud di sektor perbankan yang merugikan nasabah dan bank, sehingga perlu diatur ketentuan mengenai penerapan strategi anti-fraud.“Ini mengarahkan bank dalam melakukan pengendalian fraud melalui upaya yang tak hanya untuk pencegahan, tetapi juga untuk mendeteksi dan melakukan investigasi serta memperbaiki sistem sebagai bagian dari strategi yang bersifat integral dalam mengendalikan fraud,” kata keterangan otoritas.






Menyambut Perang Moneter

Rencana bank sentral AS yang ingin menaikkan suku bunga acuan demi menarik kembali dollar AS tidak semulus dugaan sebelumnya, karena reaksi yang tak terduga dari otoritas negara lain. Hal ini diprediksi akan menimbulkan ‘perang ‘ baru dalam moneter global.


Prediksi ekonomi memang kerapkali meleset, jika tidak mau dibilang hampir selalu meleset. Tahun lalu, kita begitu khawatir normalisasi kebijakan dari bank sentral AS terkait quantitative easing dan juga rencana dinaikannya suku bunga The Fed, akan membuat ekonomi kita makin berat.
Dengan berakhirnya kebijakan pembelian obligasi negara dan juga perusahaan-perusahaan swasta AS oleh The Federal Reserve ditambah dengan kenaikkan suku bunga, bisa dipastikan sektor keuangan nasional akan kembali mendapat guncangan. Suku bunga dalam negeri akan melonjak, pelarian modal marak dan ekonomi akan terpuruk.
Akan tetapi memasuki triwulan pertama tahun ini, kenyataan mulai menjauh dari prediksi. Berawal dari sikap The Fed yang tampaknya mulai ragu untuk menjalankan rencana menaikkan suku bunga sesuai jadwal. Pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) awal tahun, tersiar kabar bahwa The Fed memundurkan target yang merupakan hasil pertemuan pada 2013 lalu. target kebijakan kenaikan The Fed Rate yang tadinya dilakukan Januari 2015 digeser ke April 2015.
Malahan kejelasan kenaikan bunga di bulan April 2015 pun sekarang terkesan mulai pudar dari sesuatu yang pasti menjadi tidak pasti. Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen memberi sinyal bahwa ‘The Fed akan sabar, sampai perekonomian Amerika Serikat benar-benar kuat’.
Perkembangan ini tentu membuat ‘persiapan’ yang sudah dilakukan oleh sebagian besar otoritas moneter dunia berubah lagi untuk meresponsnya. Meski begitu, tidak hanya dari sisi dampak yang menarik untuk disimak, tetapi juga dari sisi penyebab mengapa The Fed tiba-tiba memundurkan rencana tersebut.
Menurut pengamat ekonomi dan keuangan, Yanuar Rizky, keputusan The Fed yang menunda keputusan untuk menaikkan suku bunga yang sudah bertahan sejak lebih dari enam tahun tidak terlepas dari respons otoritas di negara lain dan juga pergerakan dollar AS.
Sebagaimana dipahami, kebijakan AS yang akan menaikkan suku bunga adalah ‘panggilan’ kepada dollar AS untuk kembali ke kampung halamannya. Akan tetapi, setelah The Fed memberikan sinyal tersebut, mata uang green back itu tidak kunjung tiba seperti yang diharapkan. “(jumlah dollar AS yang kembali)  tampaknya tidak sederas harapan The Fed. Pertumbuhan deposito di perbankan Amerika Serikat cenderung stagnan,” kata Yanuar.
Sebaliknya yang menarik terjadi justru respons dari otoritas moneter Swiss. Pasar keuangan dikagetkan oleh aksi ‘mendadak’ dari Bank Sentral Swiss (SNB) pada 14 Januari 2015 lalu yang melepaskan kebijakan kurs tetap franc Swiss (CHF) terhadap Euro. Hal itu sontak saja menyebabkan volatilitas franc Swiss atas Euro menjadi tertinggi dalam hari itu sekaligus yang tertinggi sepanjang sejarah pasar uang dunia.
Berdasarkan data dari Bejana Invesdata Globalindo, lembaga riset keuangan yang dikepalai Yanuar, terlihat ada kenaikan agresif dari dana-dana deposito yang disimpan di perbankan Swiss. Dari data yang sama juga terlihat bahwa sejak isu tapering off dan kenaikkan Fed Rate” dihembuskan di 2013, dollar AS lebih memilih Swiss dibandingkankan ke kampung halamannya di Amerika.
Menurut Yanuar, aksi Swiss melepas peg mata uangnya atas euro adalah dampak dari aksi dan reaksi antara SNB dengan Bank Sentral Eropa (ECB) merespons aksi moneter The Fed. Aksi reaksi dari otoritas moneter dunia ini akan membawa kurs-kurs di dunia menuju keseimbangan baru. “ Saya menyebutnya ‘perang moneter dunia’,” kata dia.
Meski begitu, lanjut Yanuar, menarik juga ditelusuri apakah maraknya dana menuju Swiss yang merupakan negara yang paling melindungi kerahasiaan nasabah perbankan merupakan tanda-tanda bahwa dunia tengah dilanda gelombang ‘uang panas’ yang tidak jelas.
‘Kekecewaan’ The Fed terkait tidak berjalan mulusnya rencana kebijakan moneternya juga terjadi pada 2013. Saat ini, The Fed mengumumkan akan menghentikan kebijakan stimulus moneter tak biasa (tapering off) pada Mei 2013.
Akan tetapi, kurang dua hari setelah pengumuman itu. Tanpa sinyal sebelumnya, BoJ menaikkan belanja stimulus tahunannya, dari semula 450 miliar dollar AS menjadi 730 miliar dollar AS untuk pembelian surat utang, dan dari 10 miliar dollar AS menjadi 30 miliar dollar AS untuk saham.
Pengumuman itu tak pelak menerbangkan indeks Nikkei ke level tertinggi dalam 8 tahun, sekaligus memperlemah nilai tukar Yen terhadap dolar AS ke level terendah 7 tahun. “Kami sedang berada pada masa-masa kritis untuk membebaskan diri dari deflasi,” kata Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda.
Dengan nilai tukar yen yang lebih rendah, ekspor Jepang di pasar global menjadi lebih kompetitif, hingga perekonomiannya secara umum melaju lebih ringan. Singkatnya, dengan sekali dayung QE, dua pulau yaitu deflasi dan daya saing ekspor, terlampaui.

Berani Bertarung
Omong-omong soal uang panas, pasar modal Indonesia tampaknya juga sedang mengalaminya.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tengah kedatangan gelombang dana-dana asing sehingga beberapa kali mencatatkan rekor sepanjang dua bulan pada tahun ini. Banyaknya investor asing yang masuk bursa pada 37 perdangangan terakhir tahun ini telah menggelontorkan dana mencapai i Rp 8,571 triliun yang merupakan foreign net buy.
Bahkan hingga tengah pekan terakhir bulan lalu, dalam sehari perdagangan, rata-rata uang investor luar negeri ini masuk sekitar Rp 400-800 miliar. Hal itu telah mendorong indeks menyentuh level tertinggi sepanjang masa 5.434,938.
Akan tetapi yang terjadi di pasar modal, tak berlaku di pasar uang. Nilai tukar rupiah pada waktu yang sama bertengger di level 12.800-an, melanjutkan pelemahan yang sudah terjadi sejak awal Februari. Melansir Bloomberg Dollar Index, Jakarta, Selasa (24/2), rupiah pada perdagangan non-delivery forward (NDF) bergerak ke Rp12.868 per dollar AS. Pergerakan selama 52 minggu sebelumnya berada di kisaran Rp11.254-Rp12.938 per  dollar AS.
Rupiah dinilai hanya bisa mengurangi tekanan pelemahannya tetapi tidak bisa menguat. Meski
rupiah terus berada dalam tren melemah terhadap dolar AS, pada saat yang sama kurs rupiah justru menguat terhadap mata uang yang lain seperti euro. Pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia bulan lalu, otoritas mengakui nilai tukar rupiah melemah seiring dengan apresiasi dollar AS yang terjadi secara luas. 
Pada triwulan keempat 2014, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 3,9 persen (qtq) ke level Rp12.244 per dolar AS. Semakin solidnya perekonomian AS mendorong penguatan dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia. Tekanan terhadap rupiah berlanjut di bulan Januari 2015, sejalan dengan terus berlangsungnya penguatan dolar AS akibat rencana ECB melakukan kebijakan pelonggaran moneter yang diikuti oleh sejumlah negara. Sementara itu pada Februari, rupiah secara rata-rata melemah 1,21 persen (mtm) ke level Rp12.581 per dolar AS.
Bank Indonesia memandang bahwa pergerakan nilai tukar mendukung perbaikan defisit transaksi berjalan, baik melalui penurunan impor khususnya barang konsumsi maupun meningkatkan daya saing ekspor khususnya manufaktur. “Ke depan, Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya sehingga dapat mendukung stabilitas makroekonomi dan penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat dan berkesinambungan,” kata Siaran Pers BI.
Bulan lalu, bank sentral menurunkan suku bunga acuan yang telah bertahan lebih dari setahun, dan kini bertengger di level 7,5 persen. Langkah itu tidak terlepas dari perkembangan global yang dinilai membaik. Padahal pada November, BI Rate dikerek 25 basis poin ke angka 7,75 persen setelah perekonomian global dianggap memburuk dan pemerintah baru saja menghapus subsidi bahan bakar minyak.
Yanuar mengatakan, nilai tukar rupiah akan terus berada dalam kecenderungan melemah dalam suasana ‘perang moneter global’ yang terjadi. Bank sentral, lanjut dia, harus bertarung lebih sengit dalam kondisi seperti itu untuk menjaga perekonomian nasional agar tidak mendapatkan dampak buruk dari perang itu. “Namun BI tidak bisa bertarung sendirian. Karena negara lain, selain bank sentral, pemerintah dan parlemennya juga ikut bertarung,” kata dia.
Sebelumnya, dunia juga mengalami apa yang dinamakan perang kurs pada 2010 ketika Menteri Keuangan Brazil Guido Mantega mempopulerkan istilah itu pertama kalinya. Langkah penggelontoran dana raksasa dalam kebijakan quantitative easing yang dilakukan The Fed telah melemahkan dollar AS di seluruh dunia dan membuat produk asal Negeri Paman Sam itu lebih kompetitif.
Hal itu menimbulkan reaksi dari China yang merupakan pesaing AS yang melakukan devaluasi dalam mata uang yuan untuk melindungi ekspornya. Negara-negara lain yang tak mau menderita karena kehilangan daya saing, kemudian melakukan hal yang sama.
Dan perang itu diperkirakan akan muncul lagi.      


Eranya Generasi Milenium di Perbankan

Generasi milenium yang lahir ketika revolusi komputer dan merebaknya Internet, kini mulai banyak mengisi berbagai posisi di perbankan. Apakah kehadiran mereka menjadi peluang atau ancaman buat perbankan?


Perubahan tidak dapat ditolak. Sebagai institusi yang dianggap selalu merespons perubahan, perbankan sekali lagi tengah diuji. Di internal bank, ketika rekrutmen rutin selalu dilakukan, tidak ada yang sepenting seperti masa-masa sekarang. Jika dilihat lebih dalam, akan ditemukan pembatas yang tak terlihat yang membedakan antara pegawai-pegawai yang baru masuk dan pegawai senior di level manajer menengah.
Mereka orang-orang baru ini begitu peka terhadap perubahan informasi, gaya hidup dan tentunya gadget. Jumlah mereka kini mulai banyak di industri perbankan. Berdasarkan data statistik nasional, jumlah angkatan kerja pada Agustus tahun lalu mencapai lebih dari 121 juta yang mana 66 persennya sudah bekerja. Sementara itu dalam periode yang sama, ada sekitar 500 ribu yang bekerja di bank dan jika dimisalkan 5 persennya saja adalah pegawai rekrutan baru, maka ada 25 ribu orang yang baru saja bekerja di bank.
Nah, pegawai baru di perbankan itu memang ‘sedikit’ berbeda dengan para senior. Mereka mewakili manusia-manusia yang dilahirkan pada periode antara akhir 80-an sampai akhir 90-an, bahkan sebagian sampai awal 2000-an. Dekade itu ditandai oleh merebaknya teknologi dan merupakan masa-masa awal revolusi komputer, sehingga muncul kesadaran akan pentingnya kekuatan teknologi dan informasi. Generasi ini kemudian dinamai Generasi Millenials atau Generasi Y atau disingkat Gen Y.
Menurut laman wikipedia, istilah tersebut pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat untuk menyebut bayi yang lahir antara tahun 1982 sampai 2000. Generasi ini memiliki pengharapan dan keyakinan yang tinggi akan masa depan, menyenangi kehidupan yang dinamis, dan bergerak cepat. Boleh dikata, kegandrungan soal teknologi sangat melingkupi generasi ini.
Di sisi lain, mereka juga tumbuh dalam perekonomian yang beberapa kali mengalami krisis global. Dimulai dari krisis ekonomi di Asia Tenggara hingga krisis Eropa. Tak pelak hal tersebut mempengaruhi cara berpikir dan cara mereka merespons hubungan yang ada di dunia kerja.
“Generasi Y terbiasa dengan teknologi, terutama gadget. Lingkungan mereka tidak terbatas hanya sebuah negara, bahkan hingga lingkungan internasional. Cara berpikirnya pun sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Perusahaan harus mengakomodasi gaya hidup generasi ini,” kata Sarlito Wirawan, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia.
Singkatnya, anak-anak muda yang baru masuk ke dunia kerja, khususnya sektor perbankan, adalah mereka yang terbiasa dengan teknologi dalam kesehariannya. Mereka juga tidak pernah merasakan hidup tanpa komputer dan Internet dan hanya mengandalkan informasi dari koran dan sebagian dari TV. Bagi mereka informasi yang cepat adalah sesuatu yang menjadi keharusan, begitu pula dalam hal mengambil keputusan.
Generasi Millenials ini akan menjadi dominan dalam perusahaan-perusahaan dalam beberapa tahun ke depan. Bank tentu harus bergegas mengubah kebiasaan mereka dalam mengelola pegawai, baik sejak perekrutan, persoalan praktik meritokrasi di internal perusahaan hingga mengatur hubungan antargenerasi.    

Tantangan Perusahaan          
Menurut laporan Deloitte Consulting, sebuah lembaga konsultasi SDM global beberapa tahun lalu, seiring dengan pemulihan ekonomi dunia beberapa tahun belakangan, kalangan bisnis menyadari kondisi tenaga kerja saat ini telah berubah. Pegawai yang terampil mulai langka, dan di lain pihak, pekerja-pekerja saat ini memiliki harapan yang tinggi, yang penanganannya harus segera diubah.
Tenaga kerja abad ke-21, kata laporan itu, memiliki sifat global, sangat terhubung, cerdas secara teknologi, dan penuntut. Karyawan di abad ini juga berjiwa muda, ambisius, dan selalu memiliki semangat dan tujuan.
Karyawan-karyawan seperti itu mulai mendominasi perusahaan-perusahaan, di saat yang sama karyawan-karyawan senior (older workers) masih aktif dan bahkan menjadi kontributor berharga bagi perusahaan. “Seringkali, hal ini memunculkan gesekan-gesekan,” kata Deloitte.
Gen Y, atau juga sering disebut Net Geners –mengacu pada keterkaitannya pada Internet, seringkali merasa tidak nyaman dengan hal-hal yang berbau pemaksaaan kehendak karena jabatan yang lebih tinggi. Mereka lebih menyukai gaya atasan yang kolaboratif dan mau mendengar masukan-masukan termasuk dari mereka.
Menurut laporan The Economist, Majalah Ekonomi terkemuka, kondisi itu seringkali membuat Net Geners tidak betah berlama-lama di satu kantor.
Hal ini menciptakan masalah baru bagi para manajer. Karena penurunan, Net Geners merasakan lebih sulit untuk melompat ke pekerjaan baru. Pada saat yang sama, ketidakpuasan mereka tumbuh di saat perusahaan yang dilanda krisis mengadopsi gaya pendekatan perintah dan kendalikan (command-and-control) untuk manajemen –antitesis dari sifat terbuka, gaya kolaboratif yang lebih dipilih pekerja muda.
Situasi kantor yang kurang bebas dan lebih banyak perintah telah memicu keluhan di antara Gen Y dan mengatakan bahwa kantor atau tempat mereka bekerja telah berubah ‘alat masak yang panas’ atau ‘kamar didih’. “Resesi menciptakan frustrasi lebih tinggi di kalangan anak muda yang terjebak dalam pekerjaan," kata Cam Marston, konsultan SDM dalam laporan majalah itu.
Gesekan antar generasi memang tak bisa dihindarkan di saat keberadaan Baby Boomers, Gen X dan Gen Y dalam satu kantor tak bisa dihindarkan. Meski begitu, Gen Y nampaknya yang paling bisa menyesuaikan. Dalam sebuah survey yang dilakukan Ernst & Young, lembaga konsultasi manajemen itu mendapatkan bahwa ketika mereka diminta untuk bekerja sukarela dengan membuat sebuah tim lintas generasi. Gen Y, dalam survey itu, tidak mengalami masalah dengan hal itu, namun tidak dengan kolega kantor dari generasi lain.
Survei itu dilakukan online pada akhir Juni 2013, dari 1.215 profesional lintas-perusahaan di luar organisasi EY dan di Amerika Serikat, termasuk sedikitnya 200 manajer dan 200 nonmanagers dalam tiga generasi (Generasi Y / milenium: usia 18-32, generasi X: usia 33-48 dan baby boomer: usia 49-67).
Jadi meskipun, generasi milenium digambarkan sebagai generasi yang kurang suka dengan sikap otoritas, mereka juga bisa menyesuaikan diri dengan sifat dan sikap generasi yang lain.
                                                                                       

-------======--------======-------======--------======--------======--------=======--------


Siklus Generasi di Abad ke 20


The Depression Era
Lahir :    1912-1921
Umur pada 2014: 100 tahun lebih

Orang-orang pada era depresi cenderung konervatif, kompulsif, menjaga utang tetap rendah dan menggunakan lebih banyak produk keuangan yang aman ketimbang bermain saham. Orang-orang pada generasi ini merasa bertanggung jawab untuk mewarisi peninggalan yang berharga kepada anak-anak mereka. Cenderung patriotik, berorientasi kerja ketimbang bersenang-senang, tunduk pada otoritas, dan memiliki tanggung jawab moral yang tinggi.

Perang Dunia II
Lahir : 1922 sampai 1927
Umur pada 2014: 87-94

Kelompok orang-orang ini memiliki kesamaan tujuan dalam mengalahkan kekuatan kutub yang berkuasa. Tidak mengejar atau menuntut kepentingan pribadi.


Kelompok Pasca Perang
Lahir : 1928-1945
Usia pada 2014: 69 sampai 86
Generasi ini memiliki kesempatan yang signifikan dalam pekerjaan dan pendidikan saat perang berakhir dan ledakan ekonomi pasca perang melanda Amerika. Namun, ketegangan Perang Dingin, potensi perang nuklir menyebabkan tingkat ketidaknyamanan dan ketidakpastian yang belum ada sebelumnya. Anggota dari kelompok ini mengedepankan keamanan, kenyamanan, dan keakraban.

The Baby Boomers
Lahir : 1946-1954
Usia pada 2014: 50-70

Pengalaman hidup generasi ini sama sekali berbeda. Sikap, perilaku dan masyarakat yang sangat berbeda. Di AS, kelompok boomer pertama dibatasi oleh Pembunuhan Kennedy dan Martin Luther King, gerakan Hak Sipil dan Perang Vietnam.

Boomers II or Generation Jones
Lahir : 1955-1965
Age in 2014: 49-59

Sementara Boomers generasi I ditandai oleh perang Vietnam, Boomers II ditandai oleh munculnya penyakit AIDS sebagai bagian dari ritus mereka. Anggota termuda dari generasi Boomer II sebenarnya tidak mendapatkan manfaat dari kelas Boomer I karena banyak pekerjaan terbaik, peluang, fasilitas perumahan diambil oleh kelompok yang lebih besar dan lebih awal.

                                     
Generation X
Born: akhir 1960-an hingga 1970-an

Sometimes referred to as the “lost” generation, this was the first generation of “latchkey” kids, exposed to lots of daycare and divorce. Known as the generation with the lowest voting participation rate of any generation, Gen Xers were quoted by Newsweek as “the generation that dropped out without ever turning on the news or tuning in to the social issues around them.”

Gen X is often characterized by high levels of skepticism, “what’s in it for me” attitudes and a reputation for some of the worst music to ever gain popularity. Now, moving into adulthood William Morrow (Generations) cited the childhood divorce of many Gen Xers as “one of the most decisive experiences influencing how Gen Xers will shape their own families”.


Kadang-kadang disebut sebagai ‘generasi yang hilang’,  di AS ditandai dengan banyaknya tempat penitipan anak dan perceraian. Dikenal sebagai generasi dengan tingkat partisipasi pemilih terendah setiap generasi, Gen X dikutip oleh Newsweek sebagai "generasi yang putus tanpa pernah menyimak berita atau tertarik dengan isu-isu sosial di sekitar mereka.

Gen X sering ditandai oleh tingginya tingkat skeptisisme, sikap ‘apa untungnya bagi saya’ dan masa di mana beberapa musik terburuk pernah mendapatkan popularitas.


Generation Y, Echo Boomers or Millenniums
Born: 1980-an  hingga awal 1990-an
Usia pada 2014: 20-an hingga awal 30-an.

Kelompok usia terbesar sejak Baby Boomers, angka yang tinggi mencerminkan kelahiran mereka seperti yang generation orang tuanya. Anak-anak Gen Y dikenal sangat canggih, dan melek teknologi, kebal terhadap cara pemasaran paling tradisional. Mereka juga well-inform, dan sangat menjunjung tinggi kecepata informasi. Mereka dididik oleh ekspansi yang cepat di saluran TV kabel, radio satelit, internet.
Gen Y juga kurang loyal terhadap brand, dan kecepatan Internet telah membuat mereka menjadi fleksibel dan berubah-ubah dalam gaya busana.

Generation Z
Born: 1995-2012
Usia pada 2014: 10-19

Generasi ini tumbuh di lingkungan yang sangat beragam. Lingkungan yang beragam ini akan membuat lulusan sekolah dari generasi berikut ini yang paling berbeda. Level tinggi dari teknologi akan membuat terobosan yang signifikan di bidang akademik yang memungkinkan pemodifikasian instruksi.
Anak-anak Gen Z akan tumbuh dengan lingkungan media dan komputer yang sangat canggih dan akan lebih ‘cerdas Internet’ dan ahli dibanding pelopor mereka pada Gen Y. Akan lebih banyak lagi yang akan dicapai oleh Gen Z.