Senin, 11 Mei 2015

Enough is Enough?

Ada baiknya, mulai kini kita sudah belajar, betapa mengelu-elukan pemimpin hendaknya secukupnya saja. Kita juga sudah harus belajar menerima janji manis senormalnya saja. Tidak lebih. Memang sifat manusia memang menyenangi hal-hal yang dramatis, melankolis dan sedikit lebay. Akan tetapi, fakta yang kita hadapi sekarang seharusnya sudah mengajarkan kita bahwa enough is enough.
Angka pertumbuhan ekonomi triwulan pertama tahun ini membuktikan bahwa ekonomi berjalan tanpa sangkut pautnya dengan debat publik yang biasa memenuhi halaman-halaman media massa, maupun media sosial. Infrastruktur dan sederet program ekonomi yang sejak masa kampanye didengungkan akan menjadi jagoan kebijakan yang akan mendongkrak ekonomi, menyediakan lapangan pekerjaan dan lain-lain, nyatanya nyaris jauh panggang dari pada api.
Angka pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan teori seharusnya bisa lebih tinggi karena pemerintah tidak lagi memiliki beban subsidi dan seharusnya bisa lebih fokus berlari, nyatanya hanya mencapai 4,7 persen. Pencapaian ini tentu menjadi pertanda bahwa target ekonomi tahun ini di level 5,7 persen hanya akan berada di awang-awang.
Tak pelak itu membuat banyak kalangan kaget bukan kepalang. Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang diharapkan seperti dari ekspor ternyata tidak menunjukkan kinerja baik. Bahkan ekonom-politisi kritis yang sempat menghilang dari dunia ekonomi, Dradjat Wibowo mengatakan bahwa tim ekonomi pemerintahan sekarang, “masih amatiran,".
Kesimpulan ekonom jebolan dari Indef itu tentu menjugkalkan ekspektasi orang selama ini yang menganggap bahwa tim ekonomi Presiden Joko Widodo adalah orang-orang profesional karena banyak di antara mereka yang merupakan lulusan universitas ternama luar negeri.
Akan tetapi tampaknya tetap masih ada yang bisa dijadikan kambing hitam atas situasi ini. Fokus  pemerintah yang lebih banyak ke sektor hukum, politik dan keamanan membuat perhatian ke sektor ekonomi tersita. Selain itu program jagoan pemerintah yaitu infrastruktur juga belum dimulai.
Dua faktor itu yang akan dijadikan alasan melempemnya pencapaian pertumbuhan ekonomi tiga bulan pertama tahun ini. Dan masih ada sembilan bulan bagi pemerintah untuk memperbaikinya.
Namun begitu, persoalan lain kemudian muncul dan bisa membuat fokus pemerintah kembali terbelah ketika Gubernur Bank Sentral ‘berseteru’ dengan orang nomor dua di pemerintahan soal suku bunga acuan.
Jusuf Kalla secara terang-terangan meminta pihak Kebun Sirih untuk menurunkan suku bunga agar ruang bagi ekonomi untuk bergerak menjadi lebih besar. Tak pelak komentar yang dianggap sebagai bentuk intervensi pada otoritas moneter itu membawa nilai tukar rupai melemah lebih dalam lagi.
 Agus DW Martowardojo pun menimpalinya dengan mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa diintervensi. Bahkan yang lebih ‘menyentil’ lagi Agus meminta pejabat jangan terlalu ‘berkoordinasi’ dengan media terkait makn banyaknya berita yang mengkritisi kinerja bank sentral itu. Perseteruan ini tentu akan mengaburkan lagi fokus pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.



Menyibak Sisi Gelap

Layanan bank tanpa kantor menjadi solusi untuk membuat program keuangan inklusif berhasil. Meski demikian ada sederet potensi masalah yang bisa timbul dari layanan ini yang seharusnya diantisipasi otoritas keuangan.

Di zaman serba tanpa batas dan terbuka, akses adalah hal terpenting. Di dunia keuangan pun demikian. Hampir semua negara di dunia menginginkan semua rakyatnya memiliki akses ke lembaga keuangan. Kemudian muncullah layanan yang dikenal dengan nama branchless banking (BB). Istilah yang mengacu pada layanan bank tanpa harus melalui kantornya sejatinya sudah muncul lebih dari lima tahun lalu. Bahkan di Inggris praktik yang lekat dengan penggunaan teknologi informasi itu sudah mulai muncul sejak awal 90-an.
Bagi Indonesia, booming telepon selular dan kemudian terbentuknya otoritas pengawas lembaga keuangan menjadi momentum munculnya layanan BB yang diawali oleh program inklusi keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berdiri pada awal 2013, sudah memastikan bahwa harus makin banyak masyarakat yang menggunakan jasa lembaga keuangan.
Tantangan program inklusi keuangan sangatlah berat karena menurut survei OJK, dari 100 orang hanya tak lebih dari 22 orang yang mengetahui tentang produk, jasa dan lembaga keuangan. Selain itu, luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau menjadi kesulitan terbesar buat bank mendirikan kantor layanannya di setiap pelosok negeri.
BB tak pelak merupakan strategi ampuh untuk mengatasi tantangan-tantangan keuangan di atas, apalagi melihat bukti bahwa kepemilikan telepon selular sudah melebih jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa.
Dengan menggandeng pihak ketiga yang disebut agen, OJK ingin masyarakat yang belum menggunakan jasa keuangan formal dan sudah memiliki ponsel bisa menikmati produk dan jasa keuangan seperti tabungan, pinjaman dan asuransi.
BB sejatinya merupakan program lanjutan dari kebijakan inklusi keuangan yang sudah digulirkan sewaktu otoritas masih di tangan Bank Indonesia. Pada 2010, BI meluncurkan program Ayo ke Bank dan pada pertengahan 2012 meluncurkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Ketika OJK terbentuk pada 2013, dilaksanakan pilot project BB yang melibatkan lima bank dan dua perusahaan telekomunikasi. “Produk yang dimunculkan adalah e-money dan produk basic saving account (BSA), kredit mikro dan asuransi mikro,” kata Sri Rahayu Widodo, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK.
Tahun ini program yang lebih formal disebut Laku Pandai (kependekan dari Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif) sampai pada tahap yang krusial. OJK hampir secara maraton, bulan lalu roadshow ke ujung-ujung wilayah Indonesia untuk menancapkan program Laku Pandai.   
Pada tahap awal, program tersebut digerakkan oleh empat bank yaitu Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Tabungan Pensiunan Nasional, dan Bank Central Asia. Dan sepanjang tahun ini, ditargetkan akan ada lebih dari 128 ribu agen yang bisa melayani jasa perbankan sederhana seperti BSA, kredit atau pembiayaan kepada nasabah mikro, dan produk keuangan lainnya; seperti asuransi mikro. “Jika 13 bank lain mulai ikut menjalankan program Laku Pandai tahun ini, diperkirakan jumlah agen Laku Pandai mencapai 350 ribu, dengan cakupan 75 persen wilayah di seluruh Indonesia," katanya.
Laku Pandai dinilai bisa menjadi obat mujarab agar industri keuangan yang selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa akan lebih tersebar. “Selama ini industri jasa keuangan lebih terkonsentrasi di Jawa. Sementara itu, akses masyarakat terhadap jasa keuangan di wilayah lain seperti kawasan Indonesia Timur terbatas. "Makanya kami meluncurkan branchless banking pertama di Papua,” kata Muliaman D Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK.

Sisi Gelap
Meskipun demikian, OJK dan perbankan harus mewaspadai sisi gelap dari program BB dan belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu menerapkannya. Salah satunya adalah risiko dari keberadaan agen. Agen yang akan menjadi perwakilan lembaga keuangan tentu memiliki akses kepada data-data nasabah meski hanya sebagian kecil, atas perannya sebagai perantara bank dan nasabah dalam pemberian layanan keuangan.
“Risiko terbesar adalah operasional karena dalam branchless banking karena ini melibatkan sangat banyak agen yang bisa bermasalah,” ujar Ekonom Indef, Aviliani.
Risiko selanjutnya adalah risiko hukum dan kepatuhan para agen, dalam memberikan layanan kepada nasabah. Aviliani menyontohkan, seperti dalam layanan kredit apabila data nasabah dihilangkan agen, bagaimana debitor mengembalikan pinjamannya. “Jadi, agen yang salah, tetapi yang kena adalah bank. Jadi ada risiko reputasi,” kata dia.
Sementara itu Profesor Gerhard Coetze dari Universitas Pretoria di Afrika Selatan, berdasarkan praktik di kawasan Afrika, ada beberapa risiko yang terkait dengan praktik BB. Salah satunya adalah soal turn over yang tinggi dari layanan melalui koresponden ini. “Turn over branchless banking di Kenya, mencapai 30 persen dari PDB-nya dan itu akan menghapus Kenya dari peta ekonomi global,” kata dia. Turn over itu terutama berasal dari keluar masuknya rekening tabungan baru.
Selain itu menurut Direktur Pusat Inklusi Keuangan di Afrika Selatan itu, akan ada over indebted (utang yang terlalu besar), ekploitasi atas orang-orang oleh agen, dan persoalan provisi dari pinjaman-pinjaman yang diberikan oleh kepanjangan tangan bank akibat praktik branchless banking. “Dengan layanan itu, Anda (bank) bisa menyediakan pinjaman kepada orang-orang yang bahkan Anda belum pernah melihatnya,” sambung dia.
Bahkan yang paling mengancam adalah risiko sistemik dari layanan tersebut. “Kita bahkan belum bisa mengira-ngira apa risiko sistemik dari branchless banking,” kata dia yang dikutip dari laman resmi Gordon Institute of Business Science.
Javaid S, Direktur dan Kepala Sistem Informasi (Banking & Branchless Banking) Tameer Microfinance Bank, di Pakistan mengatakan bahwa risiko layanan BB sejatinya sama dengan risiko yang muncul di tangan teller di kantor bank konvensional seperti risiko kredit, risiko operasional, risiko hukum, risiko likuiditas dan risiko reputasi.
Untuk menanggulanginya risiko-risiko itu semua lembaga keuangan harus memiliki penilaian yang tepat dari agen dan juga kelayakan kredit dari mereka. Di samping itu struktur limit kredit yang tepat juga harus didefinisikan untuk agen dan nasabah. “Untuk mengurangi risiko, lembaga keuangan harus memiliki mekanisme keluhan ganti rugi yang tepat dan harus memastikan komunikasi yang tepat dari keluhan ganti rugi yang disusun kepada pelanggan itu,” kata dia seperti dikutip dari sebuah laman profesi.

Praktik Global
Di Kenya, program BB sangat didominasi oleh industri telekomunikasi. Sebuah operator terbesar di negara Afrika itu mempelopori program yang bisa mengirimkan uang dari satu bagian negeri ke bagian lain hanya dalam hitungan detik dalam layanan yang dinamakan M-PESA.
Layanan dasar perbankan bisa diberikan oleh seorang agen penjual pulsa yang mendaftar menjadi agen branchles banking yang bisa menerima dan membayar uang tunai. Ada sekitar 100.000 pedagang pulsa di Kenya yang sudah menjadi agen, melebihi jumlah cabang bank yang ada di negara itu yang mencapai 840 dan menghasilkan 12 juta nasabah baru.
Di Meksiko, salah satu banknya yaitu Wal-Mart Bank menggunakan 1.000 toko Wal-Mart (total 18.000 tempat penjualan) sebagai agen untuk menawarkan kepada nasabah beberapa jasa keuangan, termasuk deposito dan pembayaran. Selain itu, Banamex sebuah bank yang dimiliki Citigroup di Meksiko juga memiliki lebih dari 4.800 agen perbankan memberikan layanan atas nama lembaga tersebut.
Di Pakistan, praktik BB sudah dimulai sejak 2007 dan setahun berikutnya bank sentralnya menerbitkan aturan awal untuk layanan tersebut. Di negara tersebut hampir semua program pemerintah selalu disesuaikan atau dikaitkan dengan layanan perbankan tanpa mengharuskan kehadiran bank langsung di depan masyarakat.

                            

Musim Efisiensi Bank

Penutupan kantor cabang dan pemangkasan karyawan nampaknya akan makin banyak terjadi tahun ini. Bank tengah melanjutkan langkah efisiensi demi menyeimbangkan kinerja keuangannya.
  
Perubahan siklus bisnis tengah menghampiri industri perbankan nasional. Setelah merasakan masa-masa keemasan, kini perbankan tengah menghadapi tahun-tahun yang berat. Dalam beberapa tahun belakangan kinerja keuangan industri tidak lagi sanggup berlari kencang seperti tahun-tahun sebelumnya.
Kini bank tidak lagi mudah mencetak laba dalam berbisnis di Indonesia, terutama dirasakan oleh bank-bank swasta dan campuran. Sepanjang dua tahun ini, laba bank-bank itu tidak bisa lagi tumbuh melampaui pencapaian sebelumnya.
BCA, bank swasta terbesar tak luput dari penurunan laba yang sepanjang 2014 hanya tumbuh 11,57 persen, padahal dalam periode sebelumnya mencapai 21,6 persen. Pelemahan keuntungan usaha juga dialami Bank CIMB Niaga, bank yang mayoritas sahamnya dikuasai CIMB Grup Malaysia, yang mencatat penurunan laba hingga 45 persen, dibandingkan tahun sebelumnya. Sesama bank yang dikuasai investor Malaysia, PT Bank International Indonesia Tbk (BII Maybank) juga mengalami kemerosotan lebih dari separo dalam hal laba bersih.
Bank swasta lainnya yang juga mengalami penurunan laba antara lain Bank Permata sebesar 8,7 persen dan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) yang labanya turun 15,03 persen. Begitu pula Bank Danamon yang mencatat laba bersih setelah pajak melorot hingga 36 persen.
Tak pelak hal itu membuat perbankan menggelar langkah efisiensi demi menyeimbangkan kinerja keuangannya. Beberapa bank bahkan telah melakukan pemangkasan biaya sejak tahun lalu. Salah satunya Bank Danamon.
Setelah dua tahun belakangan labanya turun terus, Bank Danamon berbenah dan memulai gerakan efisiensi internal. Meningkatnya biaya membuat manajemen melakukan program efisiensi yang sudah dimulai dengan menutup beberapa kantor cabangnya sejak tahun lalu. Bahkan tahun ini, Bank Danamon dikabarkan akan menutup divisi-divisi yang dinilai tidak menguntungkan dan biasanya hanya menambah pos biaya. Konsekuensinya tentu, ada pemangkasan karyawan.
“Kalau yang level administratif bisa ditempelkan di divisi yang menghasilkan uang, kalau yang level manajerial ya tinggal menunggu untuk pensiun dini, atau mencari peluang di tempat lain,” kata sumber yang mengetahui persoalan itu.
Karyawan yang bertugas pada divisi pendukung untuk bagian pendanaan atau liabilities itu mengatakan bahwa divisinya tengah dalam proses penutupan. Selama ini dia dan pegawai lain dalam divisi itu bertugas menyiapkan dukungan baik berupa anggaran ataupun support komunikasi pemasaran bagi tiga divisi dalam pendanaan yaitu usaha kecil dan menengah, komersial dan korporat.
Menurut dia, yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja di Danamon, pemangkasan karyawan juga terjadi di divisi-divisi lain yang dianggap tidak menghasilkan.
Berdasarkan laporan keuangan bank tersebut, hampir semua indikator pada beban operasional pada 2014 meningkat, yang menjadikan secara total biaya meningkat menjadi Rp14,379 triliun dibanding periode tahun lalu yang sebesar Rp13,568 triliun. Selain itu, dalam laporan yang sama kenaikan beban operasional yang paling besar adalah untuk bunga yang mencapai lebih dari 40 persen.
Meski begitu dalam siaran pers, manajemen Danamon mengaku sudah bisa menurunkan biaya operasional, meskipun tidak menampik adanya efisiensi dari penutupan kantor cabang.
“Penurunan biaya operasional sebesar 7 persen dibandingkan tahun lalu menunjukkan disiplin pada pengelolaan pengeluaran operasional serta inisiatif Danamon untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, termasuk relokasi cabang dan penyesuaian sumber daya manusia yang menghasilkan perbaikan dalam rasio biaya terhadap pendapatan (Cost Income Ratio/CIR) sebesar 1,9 persen dari 55,2 persen menjadi 53,3 persen dalam kuartal pertama tahun ini,” kata Vera Eve Lim, Direktur Keuangan Danamon. 
Efisiensi terlihat jelas pada penutupan ratusan kantor layanan sepanjang 2014 demi menekan biaya operasional. Sepanjang 2014, bank yang dimiliki investor Singapura telah menutup 24 kantor cabang utama konvensional, seratusan kantor cabang pembantu konvensional dan kantor Danamon Simpan Pinjam, serta seratusan kantor syariah.
Penutupan kantor cabang atau pengalihan dan penggabungan kantor layanan juga berlaku buat beberapa bank swasta lainnya. Meningkatnya biaya operasional menjadi penyebab yang memaksa pengelola bank melakukan efisiensi. Selain iklim bisnis yang berat dan kondisi ekonomi global yang makin ketat, aturan otoritas juga mendesak bank untuk melakukan berbagai penghematan.
Bank CIMB Niaga berdasarkan laporan keuangan akhir tahun lalu meraih perolehan pendapatan operasional selain bunga hingga akhir 2014 mencapai Rp3,1 triliun, turun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp3,6 triliun. Sementara beban operasional non bunga meningkat dari sebelumnya Rp8,1 triliun meningkat menjadi Rp10,5 triliun.
Sementara BCA, mencatatkan beban operasional selain bunga sebesar Rp23,242 triliun. Pengeluaran itu naik di atas 18 persen secara tahunan. Sedangkan, BII Maybank, dari kinerja sepanjang tahun lalu, pendapatan bunga bersih hanya tumbuh 7,5 persen menjadi Rp5,93 triliun ketimbang tahun sebelumnya Rp5,51 triliun. Namun demikian hal itu diikuti dengan melonjaknya beban bunga dari Rp5,39 triliun menjadi Rp7,46 triliun pada 2014.
Selain itu, jumlah pendapatan operasional lainnya turun tipis dari Rp1,94 triliun menjadi Rp1,92 triliun pada akhir tahun lalu. Celakanya, jumlah beban operasional lainnya BII Maybank justru meningkat menjadi Rp6,89 triliun dari sebelumnya Rp5,17 triliun.
Melambatnya kinerja keuangan bank dua tahun belakangan ini tidak bisa dipisahkan dari ‘krisis kecil’ yang terjadi pada Agustus 2013. Anjloknya nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai dampak dari penarikan arus modal asing saat itu membuat bank mengalami guncangan. Pemerintah merespons dengan berbagai langkah pengetatan agar perekonomian tidak terjerembab dalam resesi, mulai dari peluncuran empat kebijakan stimulus ekonomi sampai dengan kenaikan suku bunga (BI Rate).

Benchmark Efisiensi
Sejak dua tahun lalu sewaktu masih memegang fungsi pengawasan perbankan, Bank Indonesia juga sudah mengarahkan agar perbankan lebih efisien dalam menjalankan bisnis. Regulator telah membuat acuan (benchmark) biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) berdasarkan kelompok bank. Dan jika tidak patuh, maka bank dilarang ekspansi cabang.
Benchmark BOPO bagi bank umum kelompok usaha (BUKU) I maksimal 85 persen. BUKU II kisaran 78 – 80 persen, BUKU III sebesar 70-75 persen dan BUKU IV sebesar 65 – 60 persen. Dalam Surat Edaran No. 15/7/DPNP tentang pembukaan jaringan kantor bank umum berdasarkan modal inti yang diterbitkan 8 Maret 2013, ada tiga indikator yang dijadikan pertimbangan BI dalam meluluskan rencana pembukaan cabang. Yakni, ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor bank (theoretical capital), porsi kredit usaha mikro kecil menengah (UMKM) atau usaha mikro kecil (UKM) dan efisiensi melalui BOPO dan NIM.
Aturan itu tak pelak memaksa bank untuk berpikir dua kali sebelum berekspansi membuka kantor cabang. Jadi alih-alih membuka cabang baru, demi efisiensi bank malah banyak yang menutup kantor layanannya. Kenaikan biaya operasional bank yang mencapai 21 persen sepanjang 2014 berpengaruh signifikan pada strategi ekspansi bank, karena kenaikan pendapatan operasional di waktu yang sama hanya 14 persen.
Sementara itu, pengamat perbankan, Ryan Kiryanto mengatakan harus ada perubahan cara pandang atau paradigm terkait dengan aktivitas operasional bank. Orientasi kepada upaya penciptaan nilai yang tercermin dari laba bersih harus melekat di setiap pegawai. Sejalan dengan itu, upaya-upaya untuk menanggulagi penyebab inefisensi harus dituntaskan segera.
Untuk itu bank harus segera membuat struktur organisasi bank yang lebih ramping dan efisien. Jika strukturnya sudah terlanjur gemuk karena terjadi pembesaran, jangan segan-segan untuk dipangkas agar menciut dan ramping. “Karena ramping, urusan birokrasi menjadi lebih cepat dan efisien. Pengambilan keputusan bisnis juga menjadi lebih cepat. Duplikasi pekerjaan karena tugas dan fungsi harus disatukan segera,” kata dia.
Bank, menurut Ryan, juga jangan mudah tergoda untuk membuat unit kerja baru, lebih-lebih unit kerja pendukung atau unit non bisnis. Bahkan jika perlu, bank melakukan konsolidasi organisasi melalui regrouping unit-unit kerja yang menyedot banyak biaya karena terlalu banyak orang dan jenis pekerjaannya pun bersifat bukan pekerjaan inti (non core activities).