Selasa, 11 Agustus 2015

Tahun Kesedihan

Tidak mudah untuk tidak bersedih melihat kondisi ekonomi makro Indonesia hingga pertengahan tahun ini. Pengumuman Badan Pusat Statistik awal Agustus tampaknya hanya menambah kesedihan itu. Sedih dan cemas, saat ini seolah menjadi satu. Pada awal tahun, tanda-tanda itu sejatinya sudah mulai muncul ketika nilai tukar rupiah mulai melemah meskipun pada akhir tahun subsidi bahan bakar minyak sudah tidak ada lagi. Padahal salah satu tujuan pencabutan subsidi itu untuk menghindari dampak buruk pada ekonomi kita.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hingga paro pertama tahun ini terlewati indikator-indikator perekonomian belum menampakkan pesan yang menggembirakan. Di depan publik bisa jadi para ekonom terbelah mengenai kondisi ini. Ada yang masih bertahan bahwa ekonomi ‘baik-baik saja’ dan menganggap pelemahan indikator yang ada hanya fenomena sesaat, ada yang sudah terang-terangan bahwa alarm krisis sejatinya sudah berbunyi dan pemerintah harus segera bergerak.
Ironisnya lagi, beberapa peristiwa-peristiwa di bidang politik dan keamanan, disebut-sebut menjadi alat pengalihan perhatian publik pada beberapa peristiwa besar ekonomi terutama perjanjian antara negara dan korporasi asing.
Awal tahun ini, ketika muncul kasus KPK vs Kepolisian, sebagian besar perhatian masyarakat Indonesia luput dari sebuah peristiwa penting. Pemerintahan melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersepakat dengan PT Freeport Indonesia untuk memperpanjang pembahasan amandemen kontrak hingga enam bulan ke depan.
Media-media pendukung pemerintah tampaknya memiliki andil besar mengaburkan perhatian publik terhadap kondisi ekonomi sebenarnya. Sehingga tampak seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Selain itu, makin banyaknya indikator ekonom yang memburuk tidak lantas membuat pemerintah menyegerakan langkah-langkah konkret untuk membenahinya. Pemerintah tampaknya hilang fokus kepada ekonomi. Alih-alih memberikan pesan dan upaya yang jelas kepada perbaikan ekonomi, pemerintah malah sibuk mengurusi hal lain: soal penghinaan kepada Presiden.
Pemerintah kini sangat bersemangat untuk mengajukan pasal penghinaan Presiden yang sebelumnya sudah dihilangkan dari Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Mahkamah Konstitusi.
Akan tetapi, alih-alih menghentikan keinginan itu, pemerintah saat ini menyatakan bahwa keinginan untuk menghidupkan ‘pasal karet’ itu dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Bahkan Presiden dengan enteng mengatakan, "Namanya juga rancangan, terserah di Dewan dong. Itu rancangan saja kok ramai."
Mungkin pemerintah harus kembali diingatkan soal penyebab timbulnya kejahatan, bahwa ia timbul karena ada niat dan kesempatan. Mungkin harus ada pula yang mengingatkan bahwa banyak rakyatnya yang bersedih, meski tidak pernah diungkapkan dan tak pernah berniat mengalihkan isu kesedihan itu.


Di Bawah Bayang-Bayang Krisis

Pelemahan ekonomi yang terus berlanjut, ditambah dengan nilai tukar yang terus melorot menambah kecemasan akan datangnya krisis. Meski begitu, otoritas masih meyakinkan bahwa krisis masih jauh dan jika datang pun mereka sudah siap.

Tidak perlu bersusah payah untuk menyimpulkan bahwa perekonomian Indonesia berada dalam tekanan dan menuju pelemahan. Tak banyak yang bisa dibanggakan dari perkembangan indikator-indikator yang terjadi hingga saat ini.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua tahun ini yang kembali melemah menjadi 4,67 persen menambah daftar tekanan pada perekonomian. Padahal triwulan sebelumnya, pertumbuhan hanya mencapai 4,71 persen yang merupakan angka terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Nilai tukar rupiah, indikator lainnya, tak pernah meninggalkan level 13.000 dan melanjutkan pelemehannya hingga memasuki semester kedua ini. Ironisnya, depresiasi tersebut tidak menolong merangsang ekspor karena angkanya tetap turun hingga akhir semester pertama.
Industri perbankan sebagai pembawa aliran darah pada perekonomian pun mengalami tekanan melalui pelemahan kredit, peningkatan rasio kredit bermasalah yang berujung pada mengempisnya profit.
Akan tetapi Indonesia termasuk anak baru dalam hal pelemahan perekonomian yang hampir menyeluruh, setidaknya dalam sepuluh tahun belakangan. Dunia sudah sejak 2007 sudah mengalami pelemahan, bahkan di antara negara-negara di dunia banyak yang jalan di tempat bahkan mengalami kemunduran dan resesi.
Menurut laporan IMF, pada 2015, untuk pertama kalinya sejak tahun 2007 negara-negara ekonomi maju akan mulai berekspansi. Pertumbuhan negara kaya akan melebihi 2 persen untuk pertama kalinya sejak 2010 di saat kemungkinan bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga dari rekor terendahnya. Dunia, meski demikian, masih akan terancam oleh saga utang Yunani dan gejola pasar modal di China. Perekonomian global hingga saat ini pun masih diselimuti oleh kerapuhan.
Bank Indonesia, tidak menutupi bahwa kondisi perekonomian global masih akan mengancam ekonomi dalam negeri. Menurut keterangan resmi bank sentral, pertumbuhan ekonomi global masih memperlihatkan kecenderungan yang bias ke bawah dari perkiraan semula, di tengah pasar keuangan global yang masih diliputi ketidakpastian. “Kecenderungan bias ke bawah tersebut terutama disebabkan oleh perkiraan ekonomi AS yang tidak setinggi perkiraan semula dan ekonomi China yang masih melambat,” kata keterangan tersebut.
Meski terdapat indikasi awal perbaikan, secara umum perekonomian AS diperkirakan akan lebih rendah dari proyeksi semula. Sementara itu, perekonomian China, dinilai BI, masih melambat, walaupun beberapa indikator moneter mulai memperlihatkan perbaikan sejalan dengan berbagai kebijakan pelonggaran yang ditempuh.
Sebaliknya, perekonomian Eropa membaik, ditopang oleh permintaan domestik yang meningkat di tengah bergulirnya krisis Yunani. “Di pasar keuangan global, ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed, ketidakpastian krisis Yunani, serta anjloknya harga saham di Tiongkok menunjukkan bahwa risiko di pasar keuangan global masih tinggi,” kata BI.

Nilai Tukar
Pada sisi nilai tukar, sejak awal tahun ini hampir tidak ada penguatan pada mata uang rupiah jika berhadapan dengan dollar AS. Bahkan akhir-akhir ini kecenderungan pelemahan makin sering terjadi. Sampai awal Agustus, rupiah diperdagangkan pada level 13.500-an berdasarkan kurs transaksi BI.
Pelemahan rupiah yang berkepanjangan tentu akan membawa ekonomi pada trauma tahun 1997-1998 ketika krisis moneter menerpa Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah hingga level Rp 15.000 per dollar AS akan menghantam perbankan. Setidaknya akan ada lima bank nasional yang akan terhuyung-huyung.
Hal itu didasarkan hasil uji tekanan (stress test) yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan. "Depresiasi rupiah terhadap dollar AS jika sampai Rp 15.000 per dollar AS akan meng-hit (menghantam) permodalan satu hingga lima bank nasional," ujar Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Irwan Lubis.
Sehubungan dengan hasil tesebut OJK sudah memanggil manajemen bank yang kinerjanya berpotensi terganggu oleh pelemahan rupiah. "(Tetapi) Kalau rupiahnya Rp 14.000 per dollar AS, bank-bank di sini masih oke," kata Irwan.
Irwan menambahkan, jika depresiasi rupiah menembus Rp 15.000 per dollar AS, maka kondisi tersebut akan mengganggu stabilitas makro ekonomi. Variabel pertumbuhan ekonomi dinilai akan mengalami penurunan, mengikuti pelemahan rupiah.
Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan hingga akhir Januari 2015 tercatat sebesar 21,01 persen, naik dibandingkan Desember 2014 yang mencapai 19,57 persen. Menurut Irwan, peningkatan tersebut disebabkan oleh membesarnya jumlah laba yang ditahan oleh bank. Rasio tersebut juga dinilai masih jauh lebih tinggi dari batas normal yang sebesar 14 persen.

Krisis?
Menurut kesepakatan ekonom-ekonom dunia, krisis moneter suatu negara bisa dilihat dari banyaknya modal asing yang masuk ke dalam sektor keuangan negara tersebut. Tahap pertama krisis ditandai dengan membanjirnya modal asing ke perbankan dan tahap kedua modal asing masuk tidak lagi melalui perbankan, tetapi juga sudah membanjiri pasar modal.
Pada tahap ketiga, dan yang bisa membawa pada krisis moneter adalah ketika modal-modal asing tersebut hengkang dari sebuah negara.
Saat ini, Indonesia sudah berada di fase kedua yang mana modal asing masuk tidak lagi melalui perbankan, tetapi juga sudah membanjiri pasar modal. Sekitar 60 persen saham asing yang beredar di pasar modal nasional dan surat berharga negara sudah 40 persen dikuasai oleh asing. “Artinya, jika investor asing suatu saat 'bermigrasi' dari Indonesia, bukan hal yang tidak mungkin Indonesia akan menghadapi krisis moneter,” kata Kepala Departemen Pengembangan Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Imansyah suatu waktu.
Sementara itu, terkait dengan krisis utang Yunani, Indonesia tidak akan bisa lepas dari dampak negatifnya. Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, I Kadek Dian Sutrisna Artha, mengatakan krisis ekonomi Yunani dalam jangka pendek akan memberi dampak terhadap pasar keuangan global, terutama nilai tukar euro terhadap dollar AS yang menurun. Konsekuensinya, dollar AS kian kuat di dunia.
Di Indonesia, penguatan dollar AS mengakibatkan nilai tukar rupiah dan situasi itu, menurut Kadek, merugikan sektor riil Indonesia, terutama industri.
“Sebab, bahan baku bahkan barang modal industri domestik banyak tergantung impor. Dengan terdepresiasinya rupiah terhadap dolar AS, mengimpor bahan baku akan semakin mahal,” kata Kadek.

Antisipasi

Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menyatakan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah adalah cara mengelola krisis yang mungkin terjadi kapan saja. Pasalnya, otoritas yang mengatur jika krisis terjadi tidak lagi hanya berada di tangan Bank Indonesia, tetapi juga ada di tangan OJK.
''Dulu persoalan makro prudential dan mikro ada di tangan BI. Artinya, bank diatur dan diawasi BI.  Sekarang mikronya ada di OJK. Makronya di BI yang menyangkut moneter. Ini adalah batu ujian bagaimana bangsa ini mengelola krisis,'' kata Sigit.
Oleh karena itu, dia meminta pemerintah, BI, dan OJK untuk saling berkoordinasi sebelum krisis moneter terjadi dan mendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
“'Harus ada UU JPSK. Kalau tidak, nanti begitu ada ancaman krisis, orang-orang yang mengambil keputusan akan diadili lagi secara politis, secara pidana. Kita melihat pengalaman 2008, dengan mengambil alih Bank Century,'' lanjutnya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto menuturkan saat ini sudah sering dilakukan koordinasi antar deputi dan pimpinan dalam lingkup BI, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Koordinasi itu dilakukan untuk saling berbagi informasi terkait situasi pasar dan respon pasar terhadap kebijakan otoritas yang ada.

Ia mengklaim koordinasi yang dilakukan selama ini sudah merupakan bentuk antisipasi terhadap krisis moneter yang tidak dapat diprediksi datangnya. ''Kita siap aja. Krisis itu bisa karena faktor domestik atau internasional. Saling berkaitan. Yang penting semua bersiap. Kita akan merumuskan kebijakan dalam rangka merespon kondisi market,” kata Rahmat.

Jalur Riskan di Belanja On line

Ekspansi Internet dan ponsel pintar memang telah memunculkan fenomena belanja digital yang makin meluas. Meski begitu dampak negatif yang mengikutinya juga tak kalah ekspansif yaitu pencurian dana dan pencurian data.

Seingkali kita tidak bisa membatasi bahwak mengukur dampak dari sebuah perkembangan. Begitu juga dengan perkembangan teknologi informasi. Meluasnya penggunaan Internet dan smartphone di Indonesia memunculkan fenomena baru yang tidak kalah besar gelombangnya. Ya, belanja online telah menjadi kebiasaan baru masyarakat perkotaan di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan. Dalam tiga tahun belakangan, pengguna Internet telah meningkat pesat.
Menurut data Google Indonesia, pada Oktober 2012, penggunanya berjumlah 55 juta dan pada awal 2015 melonjak menjadi 72,7 juta. Dari data yang sama, pengguna Internet mobile telah menembus angka 308 juta.
Penggunaan Internet dan ponsel pintar yang terus meningkat di Indonesia lambat laun merangsang belanja online. Pada tahun 2000 ketika pertama kali toko online berbentuk website di Indonesia muncul, peminat atau pembelinya belum banyak. Kegiatan jual beli online kemudian berkembang di dalam forum Internet, hingga memunculkan forum khusus jual beli. Bahkan banyak pedagang menggunakan akun media sosial untuk menawarkan barang.
Kini belanja online atau e- commerce sudah menjadi kebiasaan baru dan akan semakin pesat pertumbuhannya. BMI Research, sebuah perusahaan di bawah bendera Fitch Group, pada awal tahun ini memprediksi akan terjadi pertumbuhan belanja online seiring dengan peningkatan penggunaan internet di Indonesia.
“Online shopping di Indonesia diprediksikan akan tumbuh hingga 57 persen pada tahun 2015 atau meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun lalu,” ujar BMI Research Head, Yoanita Shinta Devi.
Sebelumnya, hasil riset BMI Research mencatat di tahun 2014, layanan belanja di internet mencapai 24 persen dari total pengguna internet di Indonesia. Riset tersebut dilakukan di 10 kota besar dengan mengambil sampel dari 1.213 orang dengan usia antara 18-45 tahun menggunakan metode survei lewat telepon.
“Dilihat dari perputaran uangnya, hasil riset BMI Research mencatat pada 2014 mencapai Rp21 triliun dengan nilai rata-rata per orangnya dalam satu tahun mengeluarkan Rp825 ribu. Dengan asumsi nilai belanja yang sama, maka di tahun 2015 diprediksikan menjadi Rp50 triliun," tutur Yoanita.
Besarnya kue yang diperebutkan itu membuat perbankan tidak mau ketinggalan untuk segera menikmatinya. Apalagi berdasarkan riset di atas, sekitar 80 persen pengguna belanja online melakukan transfer antar bank untuk menjadi media pembayaran. Sementara metode pembayaran lainnya seperti Cash On Delivery (COD) masih digunakan oleh 20 persen konsumen.
Kini hampir semua bank yang masuk 10 besar dalam aset, memiliki layanan untuk transaksi e-commerce. Yang baru saja masuk dalam barisan adalah Bank Danamon dan Bank CIMB Niaga. Sebelumnya pemain-pemain besar seperti Bank Mandiri dan BCA sudah lebih dulu menggarap pasar. Bahkan beberapa bank berinisiatif meluncurkan situs belanja atau bekerja sama dengan pihak ketiga mengelola situs belanja demi meraup potensi dana yang menggiurkan (lihat Menggarap Langsung E Commerce).
Sementara itu, maraknya perdagangan online akan memberikan berkah tersendiri kepada literasi keuangan. seperti diketahui, Indonesia salah satu negara yang memiliki jumlah populasi yang rendah dalan hal menggunakan layanan perbankan. Lambat laun, seiring peningkatan aktivitas masyarakat dengan menggunakan ponsel terutama lewat e-commerce yang terus tumbuh, akan makin banyak orang yang menggunakan layanan bank.
Dalam catatan Criteo  di laporan berjudul State of Mobile Commerce Triwulan Kedua 2015, Indonesia menempati urutan pertama negara dengan persentase penggunakan mobile commerce terbesar di Asia yaitu 34 persen menyusul  Taiwan di posisi kedua dengan 31 persen dan Singapura di posisi ketiga dengan 29 persen.
Bank Indonesia sejak tahun lalu terus mendorong program penggunaan teknologi untuk memudahkan transaksi yang disebut Layanan Keuangan Digital (LKD). Program itu adalah kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan terbatas yang dilakukan tidak melalui kantor fisik, namun dengan menggunakan sarana teknologi antara lain mobile based maupun web based dan jasa pihak ketiga (agen), dengan target masyarakat yang belum tersentuh lembaga keuangan.
BI menetapkan hanya yang memiliki modal di atas Rp 30 triliun yang boleh menyediakan layanan tersebut. Saat ini ada empat bank yang masuk kategori itu yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Central Asia (BCA). Rencananya pada paro kedua tahun ini BI akan memperluas cakupannya lebih luas yaitu membolehkan bank yang memiliki modal inti Rp5 triliun-30 triliun untuk menjalankan program LKD. “Semester kedua atau kuartal tiga ini revisi aturan LKD akan dikeluarkan,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Ronald Waas, bulan lalu.

Kerentanan Indonesia
Meski demikian, dampak negatif dari maraknya transaksi online juga mulai muncul yaitu meningkatnya risiko pencurian dana dan data melalui perangkat teknologi Internet ataupun mobile.
Sebuah studi yang dilakukan BlackBerry kepada individu yang bertanggung jawab atas tata kelola, risiko dan kepatuhan pada lebih dari 1.000 perusahaan, menyatakan bahwa risiko mobilitas paling besar dari sebuah perusahaan adalah kehilangan atau pencurian perangkat yang berisi materi tak terlindungi, atau berisi data sensitif. Ancaman ini adalah nyata, dengan didukung oleh 59 persen responden menunjukkan bahwa jumlah data yang diambil dari organisasi mereka yang dilakukan melalui perangkat mobile meningkat pada tahun lalu.
Risiko itu dialami sendiri oleh Indonesia yang tengah menuju booming penggunaan Internet sekaligus belanja online. Menurut Kepolisian, Indonesia berada di urutan kedua dalam daftar lima besar negara asal serangan kejahatan siber atau cyber crime, berdasar laporan State of The Internet pada 2013.
Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombespol Agung Setya mengatakan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir dari saat ini, tercatat 36,6 juta serangan cyber crime terjadi di Indonesia. “Hal ini sesuai dengan data Security Threat 2013 yang menyebutkan Indonesia adalah negara paling berisiko mengalami serangan cyber crime,” kata dia.
Sejak 2012 sampai dengan April 2015, kepolisian terutama divisi cyber crime telah menangkap 497 orang tersangka kasus kejahatan di dunia maya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 389 orang di antaranya merupakan warga negara asing, dan 108 orang merupakan warga negara Indonesia. Total kerugian cyber crime di Indonesia mencapai Rp 33,29 miliar.

======================================================= 


Memitigasi Pencurian Dana dan Data

Pencurian dana dan data nasabah bisa lewat hampir seluruh fasilitas yang disediakan oleh perbankan. Mulai dari ATM, SMS Banking, Internet Banking sampai pada kartu kredit. Untuk meminimalisir pencurian dana nasabah, perbankan perlu memperkuat sistemnya dengan adopsi teknologi enkripsi.
Selain itu yang jauh lebih penting adalah perbankan wajib melakukan edukasi pada nasabah sebagai pemegang otentifikasi akhir untuk bertransaksi. Berikut beberapa tips yang bisa dilakukan nasabah untuk mengamankan transaksi dengan sarana yang disediakan perbankan via Online.

Internet Banking

Ini adalah model transaksi paling aman yang bisa digunakan oleh nasabah perbankan pada umumnya. Sempat ramai karena kasus sinkronisasi token yang menyerang dua bank besar nasional.
Sebenarnya transaksi dengan internet banking relatif aman dibanding cara lainnya, karena dibantu dengan adanya token yang memberikan kode otentifikasi final secara acak. Walau begitu, nasabah tetap harus waspada. Caranya dengan mengecek alamat situs internet banking. Bila alamat webnya dirasa bermasalah tidak seperti biasanya, nasabah bisa menghubungi call center resmi bank bersangkutan. Kejadian semacam ini pernah ada di pertengahan 2000-an.
Nasabah pengguna layanan perbankan saat itu diserang web palsu dengan nama yang cukup mirip. Para pelaku biasanya menjebak nasabah lewat email phising dan memberikan tautan yang mengarah ke web palsu.
Selain itu, nasabah juga harus mengecek apakah web internet banking milik bank cukup aman, minimal sudah mengadopsi HTTPS.
Tak kalah penting adalah gunakan jaringan sendiri, jangan sampai melakukan proses internet banking dengan WiFi umum yang terbuka, serta hindari transaksi lewat gadget orang lain. Jika ini dilakukan, orang lain bisa masuk dan mengetahui user name maupun password kita.
Terakhir, secara berkala gantilah password akun internet banking. Minimal pergantian password dilakukan setiap tiga bulan. Jangan menggunakan nama, tanggal lahir, maupun hal lain yang relasinya mudah ditebak orang lain.

SMS Banking

Sarana SMS Banking ini lebih rentan dibandingkan internet banking. Terutama karena di Indonesia metode SMS Banking tidak disertai pengamanan enkripsi yang memadai. Tercatat masih banyak bank besar di Indonesia tidak mengamankan SMS Banking dengan enkripsi, akibatnya orang lain bisa saja membaca transaksi secara kasat mata.
Ditambah lagi, pengamanan jaringan yang digunakan. Bagi yang mengerti bisa saja mereka mengintersep proses transfer dan mengalihkan ke rekening lain. Karena itu, gunakan SMS Banking dalam keadaan terdesak saja, dan pastikan dalam keadaan sinyal yang cukup.

Anjungan Tunai Mandiri (ATM)

Transaksi melalui ATM sangatlah umum bagi masyarakat Indonesia. Namun yang perlu diketahui adalah ATM di Indonesia sangat rentan terhadap kejahatan. Alasannya jelas karena lebih dari 80% masih mengadopsi Windows XP pada sistem ATM-nya. Microsoft sudah tidak lagi mendukung keamanan Windows XP, sehingga mereka tidak menggulirkan update keamanan untuk siapa saja pemakainya.
Inilah yang menjadi alasan Indonesia dijadikan “home base” kejahatan ATM yang menyerang para turis asing. Para tersangka mengaku menjebol ATM di Indonesia jauh lebih mudah dibanding di Eropa dan Amerika Serikat.
Karena itu, periksalah apakah ada kejanggalan pada ATM yang kita pakai. Misalnya terpasang benda aneh yang tidak biasanya ada di ATM. Selain itu bisa terjadi macet dan kartu tidak mau keluar, langsung hubungi call center yang disediakan bank, jangan tertipu dengan kontak palsu yang ditempel para pencuri.

Kartu Kredit

Pemakai kartu kredit adalah target terbesar para peretas di internet. Lembaga keuangan terkemuka JP Morgan misalnya, pernah menjadi korban peretasan yang data para nasabahnya dicuri dan disebar di internet. Para pemakai kartu kredit harus selektif memilih toko online maupun merchant tempat mereka membayar memakai kartu kredit.
Selain itu, setiap transaksi menggunakan kartu kredit usahakan kita melihat langsung saat pegawai atau kasir menggesek. Hal ini mencegah terjadinya gesek ulang atau pembayaran lebih dari satu kali. Lebih penting lagi adalah memastikan tiga angka di belakang yang berfungsi sebagai Card Security Code (CSC) tidak dicatat oleh orang lain.

[Sumber: Pusat Riset Keamanan Cyber dan Komunikasi (CISSReC)]



Ekonom

Akhir Juni lalu, Presiden Joko Widodo memanggil sebelas ekonom untuk mendiskusikan dan meminta masukan tentang kondisi perekonomian terkini. Seperti mendapatkan kesempatan untuk melontarkan kegelisahannya, ekonom-ekonom itu mengatakan apa saja yang ada di pikiran mereka mengenai kondisi ekonomi saat ini yang sepertinya tidak menjadi lebih baik, meski Jokowi sudah menjadi Presiden.
Mereka, dalam dialog yang berlangsung hampir dua jam, mengatakan bahwa pasar saat ini tengah meragukan pemerintah terutama berkaitan dengan target-target yang ditetapkan pemerintah yang dinilai berlebihan. Selain soal infrastruktur dan inflasi, juga dibahas mengenai persepsi pasar yang saat ini tengah negatif kepada Indonesia.
Nilai tukar rupiah yang terus melemah juga tak luput menjadi bahasan yang hangat di pertemuan itu.
Padahal  kurang lebih setahun sebelumnya, beberapa di antara ekonom itu sangat optimistis bahwa kondisi akan lebih baik jika Jokowi –yang saat itu bersaing dalam Pemilu dengan Prabowo– menjadi  Presiden maka ekonomi akan lebih baik.
Mereka –saat itu– memproyeksikan bahwa nilai tukar rupiah akan menguat signifikan di posisi Rp11.000 bahkan di kisaran Rp10.000 per dollar AS. Dana asing yang akan makin banyak mengalir ke Indonesia menjadi pangkal penyebab proyeksi tersebut. Saat itu juga, kata-kata ekonom itu ditangkap pasar dengan gegap gempita. Namun kini mereka tampaknya akan menarik kembali pernyataan terdahulu setelah melihat nilai tukar rupiah tak pernah menguat dari level 13.000 per dollar AS.
Yang jadi pertanyaan mengapa Presiden harus memanggil ekonom-ekonom tersebut untuk mengetahui mengenai kondisi ekonomi ataupun meminta masukan ketika dia memiliki Tim Ekonomi. Jawaban yang mungkin adalah Presiden ingin mendapatkan perspektif yang berbeda terhadap kondisi ekonomi yang terjadi.
Namun demikian, kemungkinan bahwa Presiden tengah meragukan informasi dari Tim Ekonomi kemudian muncul menjadi jawaban yang lebih menarik untuk dipercaya publik. Mungkin jawaban Tim Ekonomi yang selalu mengatakan bahwa “kondisi ekonomi baik-baik saja, pelemahan rupiah masih bisa ditolerir karena negara lain melemah lebih besar”, oleh Jokowi ingin dibandingkan dengan jawaban ekonom-ekonom itu.
Presiden memang diketahui kecewa dengan kinerja menteri-menteri ekonominya, tidak semua hanya beberapa. Dan dengan mengundang ekonom-ekonom itu serta meminta pendapat mereka, Presiden tampaknya sedang melakukan fit and proper test untuk menggantikan menteri yang dianggap mengecewakan itu.
Ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetyantono, yang ikut dalam pertemuan itu mengatakan bahwa Jokowi membutuhkan, “ekonom bintang yang bisa ditangkap pasar. Jadi, istilahnya, butuh seperti playmaker.”

Lalu apakah Jokowi memang sedang mencari ekonom yang memproyeksikan nilai tukar bisa menguat ke Rp10.000 seperti saat masa kampanye dulu?

Pesimisme yang Berlanjut

Pertumbuhan ekonomi kembali direvisi menjadi 5,2 persen oleh pemerintah. sektor infrastruktur dan belanja pemerintah lain diharapkan bisa menolong pertumbuhan ekonomi dari pelemahan.

Sejak pertumbuhan ekonomi tiga bulan pertama tahun ini diumumkan, kekhawatiran mulai berhembus. Bahkan hingga kini, pertumbuhan sebesar 4,7 persen membawa pesimisme kepada target perekonomian sepanjang tahun ini. Pertumbuhan triwulanan itu menjadi lonceng penanda bahwa target tahun ini akan meleset.
Betul saja, pada Mei pemerintah merevisi pertumbuhan yang tadinya ditetapkan sebesar 5,7 persen pada APBN-P 2015, menjadi 5,4 persen. Di hadapan DPR, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan bahwa pemerintah mencoba realistis setelah melihat realisasi pertumbuhan di kuartal pertama.
Perekonomian global yang masih melemah dan  kondisi negara mitra dagang Indonesia seperti Tiongkok, Jepang dan Eropa yang masih melesu menjadi alasan Menteri Keuangan mengubah target itu.
Akan tetapi belum genap dua bulan setelahnya Menteri Bambang lagi-lagi merevisi target tersebut dan menetapkan angka pertumbuhan di level 5,2 persen. Menurutnya revisi kali kedua ini adalah hal biasa. Sebab, International Monetary Fund (IMF) bahkan juga cukup sering merevisi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini. "Wajar kalau kami revisi lagi. Kami cari yang paling realistis," kata Bambang.
Dijelaskan Bambang, pertumbuhan ekonomi harus direvisi lagi karena kemungkinan besar serapan belanja modal pemerintah hingga akhir tahun di kisaran 87-90 persen. Itu sudah dengan berbagai upaya percepatan yang dilakukan. “Dari sisi pemerintah, belanja modal yang paling berpengaruh mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Bambang.
Daya serap APBN tidak bisa maksimal, lanjut dia, karena ini adalah tahun pertama pemerintahan Joko Widodo sehingga membutuhan perubahan APBN yang telah ditetapkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Banyak perubahan program dan membutuhkan waktu menyiapkan daftar isian pelaksanaan anggaran. "Kemudian juga karena adanya perubahan nomenklatur di kementerian teknis seperti Pekerjaan Umum," kata Bambang. 
Selain itu, belum membaiknya harga komoditas juga menjadi alasan penting lain mengapa pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi. Sebab, anjloknya harga komoditas membuat Indonesia tidak bisa mengandalkan ekspor untuk menggenjot pertumbuhan.
Menurut kalangan pengamat pertumbuhan ekonomi dalam negeri memang akan melemah. Bahkan
Ekonom Senior Standard Chartered Eric Sugandi bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun hanya mencapai 4,9 persen. "Awalnya kita sudah mulai dari 4,7 persen. Jadi berat kalau mau di atas lima persen," jelas Eric.
Dia menambahkan, sebenarnya bisa saja mencapai lima persen tapi berat bila sampai 5,4 persen atau di atasnya. Ia mengakui, pada kuartal kedua ini pertumbuhan memang agak membaik, tapi masih berat untuk sampai ke lima persen. "Anggap kuartal kedua kita tumbuh 4,9 atau 4,8 persen, agar sampai ke lima persen kan kita perlu tingkatkan di kuartal berikutnya. Nah bisa nggak?" kata dia.
Eric menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menurun. Pada 2010 mencapai 6,4 persen, 2011 turun menjadi 6,2 persen, lalu 2012 menjadi 6 persen. Selanjutnya 2013 tumbuh 5,6 persen, kemudian turun menjadi 5 persen pada 2014.
Menurutnya, ada empat faktor penyebab turunnya pertumbuhan ekonomi. Pertama lemahnya harga komoditas, kedua pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ketiga stabilitas politik, dan terakhir lambatnya belanja modal.
Akan tetapi menunjuk kondisi global sebagai biang keladi melemahnya perekonomian tidak benar seratus persen. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan buruknya kualitas perekonomian bangsa tidak serta merta dapat kesalahan dari ekonomi global. Menurut dia, pemerintah seharusnya sudah mengetahui hal ini dan dapat mengantisipasinya.
"Pertumbuhan ekonomi kita semakin merosot. oke keadaan global wajar penurunan ekonomi tetapi kualitas pertumbuhan menurun ini juga yang sangat mengecewakan dan harus menjadi perhatian khusus," tutur Enny.
Menurutnya, banyak indikator yang menujukan kualitas perekonomian nasional memburuk. Seperti tidak sesuainya target pemerintah dan realisasinya. Presiden Joko Widodo sejak awal ingin berfokus untuk menumbuhkan sektor produksi, namun kenyataannya, sambung dia, justru sektor jasa yang semakin tinggi. Padahal, sektor produksilah yang jauh lebih banyak menyerap tenaga kerja.
"Padahal sektor-sektor tersebut relatif kedap dalam menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja formal. Struktur kontribusi lebih ke jasa, Jokowi lebih kepada penciptaan barang. Tapi justru sektor riil makin drop, yang tumbuh sektor jasa," ujar Enny.
Menurutnya buruknya kualitas pertumbuhan ekonomi itu merupakan salah satu dari 10 indikator perekonomian yang berada dalam lampu kuning. Oleh karena itu Jokowi diminta untuk cepat-cepat mengevaluasi menteri-menteri di bidang ekonomi.
"Publik ingin evaluasi, apakah evaluasi berujung reshuffle itu kewenangan presiden. Dalam kinerja ekonomi sampai triwulan I bukan sekedar penurunan ekonomi. Kabinet ini evaluasi tidak bisa per menteri karena hasil kerja ekonomi tidak semata-mata tim ekonomi," kata Enny lagi.
Pada tahun 2009, perekonomian nasional masih tumbuh baik meski sempat terkena imbas resesi global. Di saat puncak resesi dunia pada 2009, Indonesia tercatat menjadi salah satu negara yang membukukan pertumbuhan ekonomi positif, hanya kalah dari China dan India. Ekonomi Indonesia tumbuh 4,50 persen pada tahun itu. Dalam lima tahun terakhir, perekonomian nasional rata-rata tumbuh 5,97 persen per tahun. Jika tidak memperhitungan input dari minyak dan gas, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 6,42 persen pertahun.

Revisi Ramai-Ramai
Perubahan target pertumbuhan tidak hanya dilakukan pemerintah, malah lembaga-lembaga lain sudah banyak yang menyarankan kepada pemerintah agar merevisi targetnya. Awal Juni Bank Dunia mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya akan mencapai 4,7 persen, sama seperti pencapaian di kuartal pertama.
Pertumbuhan, menurut prediksi lembaga donor tersebut, baru akan mencapai level 5 persen mu            lai akhir tahun depan. “Pertumbuhan ekonomi RI akan mulai naik menjadi 5,5 persen pada 2016-2017. Pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh pemulihan investasi dan ekspor yang kuat," demikian Laporan Bank Dunia.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Global, Bank Dunia menyatakan pertumbuhan ekonomi global akan mengalami perlambatan, dengan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,8 persen di 2015.
Bank Dunia menyatakan, negara-negara berkembang menghadapi serangkaian tantangan berat di 2015. Termasuk, adanya prospek biaya pinjaman yang lebih tinggi dan harus beradaptasi dengan era baru minyak dan komoditas penting lainnya yang lebih rendah.
"Semenjak krisis keuangan, negara berkembang adalah mesin pertumbuhan dunia. Tetapi sekarang mereka menghadapi kondisi ekonomi yang lebih sulit," kata Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim.
Ekonom senior Bank Dunia, Franziska Ohnsorge, mengatakan perlambatan yang berlarut-larut berlangsung di banyak negara berkembang. Disebabkan lemahnya bidang pertanian, listrik, transportasi, infrastruktur, dan layanan ekonomi penting lainnya. "Reformasi struktural di semua bidang semakin mendesak," dalam pengumuman yang sama.
Sebelumnya Bank Indonesia juga sudah menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai 5,4 persen, merevisi pernyataan sebelumnya yang mengatakan 5,1 persen.
Agus DW Martowardojo, Gubernur BI mengatakan, meskipun lebih rendah namun pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibanding tahun lalu. Pertumbuhan terutama di kuartal berikutnya, kata dia, akan didorong oleh konsumsi pemerintah dan investasi bangunan sejalan dengan pembangunan proyek infrastruktur.
Selain itu pertumbuhan ekspor juga diperkirakan akan tumbuh positif, meski memang akan tertahan karena lemahnya harga komoditas masih berlanjut. Untuk kuartal III dan IV, lanjut Agus juga akan didukung oleh keberlanjutan konsumsi dan investasi, realisasi fiskal pemerintah, dan juga relalisasi kredit perbankan. "Peningkatan penyaluran kredit masyarakat diharapkan mampu mendorong konsumsi rumah tangga," kata Agus.
Bulan lalu, BI merevisi aturan persyaratan penyaluran kredit konsumer di sektor perumahan dan kendaraan bermotor. Uang muka yang sebelumnya dipersyaratkan sebesar 30 persen setiap pembelian rumah tertentu, kini angkanya diturunkan lebih rendah.



Semua Merevisi Pertumbuhan 2015 (dalam persen)


Pemerintah                        5,7          5,4 (Mei)
Pemerintah                        5,4          5,2 (Juli)
Bank Indonesia                 5,4          5,1
LPS                                         5,3          5,0
Bank Dunia                         5,1          4,7


Menangkal Ancaman Konglomerasi

Tekanan dari otoritas perbankan terjadi di hampir semua belahan dunia setelah ekonomi global mengalami beberapa kisruh keuangan. Salah satu isu penting yang menjadi perhatian adalah membenahi mitigasi risiko yang muncul dari praktik konglomerasi.

Salah satu pelajaran dari krisis keuangan yang sudah mendera dunia sepuluh tahun belakangan adalah pentingnya menilai dan merepons risiko-risiko apapun yang bisa mengancam stabilitas di level manapun dalam sektor keuangan. Malah jika dapat, potensi munculnya risiko harus bisa dipadamkan sebelum menyala.
Otoritas di semua negara di dunia ini, oleh karena itu, mengarahkan sektor keuangan –terutama perbankan, untuk meningkatkan ketahanan lembaga seperti permodalan, leverage dan likuiditas. Dengan begitu otoritas ingin mengatasi risiko sejak dari sumbernya.
Yang dirasakan oleh industri kemudian adalah munculnya berbagai aturan yang dinilai makin menekan bank. Laporan KPMG yang berjudul Evolving Bank Regulation yang diterbitkan Maret 2015, menunjukkan bahwa indeks tekanan peraturan di industri perbankan di hampir semua negara dunia terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. “Tekanan regulasi terus meningkat di bank. Bahkan jika laju inisiatif peraturan yang baru sudah mulai berkurang, dampak dari reformasi yang dilakukan sebelumnya mulai menjadi muncul,”kata laporan itu.
Di Eropa, hampir sepanjang 2014, otoritas melakukan finalisasi dan pelaksanaan elemen substansial dari peraturan perbankan. Dimulai dengan penerapan aturan permodalan dan aturan yang terkait dengan pasar modal. Yang lebih penting dari itu adalah ditunjuknya Bank Sentral Eropa (ECB) menjadi menjadi pengawas perbankan tunggal di wilayah tersebut.
Pengawasan ECB juga akan berarti bahwa bank-bank secara langsung tunduk tidak hanya untuk sebuah buku aturan tunggal, tetapi juga kepada otoritas pengawas tunggal yang menafsirkan dan menerapkan aturan.
Di tengah perlambatan ekonomi yang menimpa kawasan Eropa dalam beberapa tahun terakhir hingga kini, ECB memperketat perbankan di kawasan dengan mendesak mereka untuk memperkuat permodalan, likuiditas, standar kredit, serta manajemen risiko.
“Kami mulai melihat tanda awal dari tekanan pengawasan, ketika pengawas menggabungkan minat mereka yang meningkat pada analisis bisnis model dengan perhatian mereka pada dampak dari bank yang tidak bisa mempertahankan profit,” kata laporan KPMG.

Indonesia: Pengawasan Terintegrasi
Lembaga pengawas jasa keuangan di Indonesia, juga menerapkan hal yang sama. Sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi berdiri dua tahun lalu, dan menyempurnakan  tangan pengawasannya tahun lalu, pada November 2014 menerbitkan aturan yang serius untuk menangkal krisis. Dua aturan sekaligus yang dirilis ditujukan untuk mengendalikan konglomerasi keuangan melalui tata kelola dan manajemen risiko yang lebih terintegrasi.
Dalam beberapa belas tahun belakangan pasca sembuh dari krisis moneter, otoritas telah mendorong industri perbankan untuk konsolidasi. Pemilik modal global datang dan membeli bank di Indonesia, di samping investor dalam negeri, yang kemudian membuahkan konglomerasi keuangan.
Tidak bisa dipungkiri, saat ini beberapa lembaga keuangan sudah melengkapi tangan-tangan mereka di hampir semua layanan jasa keuangan. Untuk menghadapi tantangan tersebut, yaitu adanya keterkaitan antara lembaga jasa keuangan di berbagai subsektor, OJK memang sepatutnya memperlengkapi alat pengawasan mereka. Dari total 118 bank umum, OJK sudah memetakan 16 bank yang membentuk kelompok usaha keuangan yang jika dikonsolidasikan, telah menguasai kurang lebih 60 persen total aset keuangan nasional.
“Proses konglomerasi tersebut meningkatkan risiko-risiko yang telah ada, dan menimbulkan risiko-risiko baru, baik bagi kelompok usaha keuangan, maupun sistem keuangan secara keseluruhan,” kata kata Nelson Tampubolon, Komisioner OJK bidang Perbankan.
Untuk menangkal risiko-risiko yang bisa muncul dari maraknya konglomerasi maka sistem pengawasan yang terintegrasi mutlak dibutuhkan. Oleh karena itu dalam dua aturan yang diluncurkan, lembaga keuangan yang memiliki banyak anak usaha diwajibkan untuk memiliki Komite Tata Kelola Terintegrasi yang memitigasi hal-hal terkait mitigasi risiko yang ada dalam konglomerasi.
Dalam aturan soal manajemen risiko, entitas utama diwajibkan menerapkan manajemen risiko terintegrasi secara komprehensif dan efektif kepada seluruh anak usahanya.
Konglomerasi keuangan yang akan diawasi secara ketat oleh OJK tidak terbatas pada kelompok yang memiliki belasan atau banyak entitas usaha, tetapi juga mereka yang hanya terdiri dari dua atau tiga entitas. “Semakin besar sebuah konglomerasi maka eksposur risikonya juga akan semakin besar,” kata Nelson. “Apalagi jika risiko dari masing-masing entitas tidak terkelola dengan baik.”
Menurut dia lagi, aturan yang diterbitkan otoritas juga memberikan pesan bahwa jangan sampai ada praktik dalam konglomerasi yang menomorduakan anak usahanya misalnya dalam hal penempatan pegawai. Karena lazimnya, anak-anak usaha mendapatkan SDM yang kualitasnya jauh di bawah entitas usaha atau bahkan pensiunan dari entitas usaha itu sendiri. Hal itu tentu bisa memunculkan risiko. “Jika ada satu saja dari 16 yang terbesar saat ini konglomerasi keuangan bermasalah, maka tidak hanya entitas itu yang bermasalah tetapi juga stabilitas keuangan,”

AS: Tekanan Regulasi
Pengawasan yang ketat terhadap konglomerasi keuangan itu juga diterapkan oleh otoritas di Amerika Serikat. Di Negara Paman Sam, konglomerasi disebut-sebut sebagai bentuk usaha yang harus diawasi secara lebih ketat karena berpotensi untuk menimbulkan krisis. Dalam sebuah tulisan, Arthur E. Wilmarth, Jr Profesor hukum dari George Washington University Law School, mengatakan bahwa konglomerasi keuangan adalah katalis utama terjadinya bom kredit destruktif yang menyebabkan krisis keuangan subprime. “Mereka (konglomerasi keuangan) telah menjadi episentrum kekacauan keuangan global saat ini. Kerugian besar dialami oleh institusi keuangan besar dan bantuan luar biasa dari pemerintah yang mereka terima mengungkapkan kegagalan menakjubkan regulasi keuangan dan perluasan belum pernah terjadi sebelumnya dari dukungan pemerintah untuk pasar keuangan,” kata dia dalam artikel berjudul Dark Side of Universal Banking: Financial Conglomerates and the Origins of the Subprime Financial Crisis.
Sementara itu berdasarkan sebuah studi, perbankan dan lembaga kredit yang melakukan bisnis di Amerika Serikat, sejak dua tahun lalu, merasakan bahwa mereka berada di bawah tekanan lebih besar dari sebelumnya. Tekanan itu berasal dari berbagai persyaratan peraturan dan manajemen risiko baru dari otoritas yang mereka harus memenuhi.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Wolters Kluwer Financial Services, sebuah lembaga konsultasi manajemen risiko global, yang mengungkapkan hasil Regulatory & Risk Indicator Manajemen, sebagian besar pelaku industri di AS merasakan adanya tambahan tekanan.
Studi itu menyimpulkan, indeks tekanan berada pada level 136, hasil dari umpan balik 430 perusahaan yang disurvey mengenai tantangan industri. Penelitian ini menggunakan sepuluh faktor untuk menghitung risiko lingkungan untuk lembaga keuangan, tujuh di antaranya berdasarkan masukan langsung dari responden tentang keprihatinan utama mereka, sementara tiga didasarkan pada data peraturan terbaru.
Dalam hasil survei yang dipublikasikan Juni 2013, ada empat tekanan kunci yang mendorong indeks naik. Ini termasuk sejumlah peraturan perbankan yang baru dan peningkatan jumlah uang dikeluarkan untuk sanksi karena tidak patuh pada aturan tersebut.
Perusahaan juga harus mencurahkan umber daya dengan jumlah yang lebih besar untuk menangani masalah ini, sementara jajaran pemimpin perusahaan juga menghadapi tantangan ekstra ketika harus mengendalikan dan mengelola risiko dalam organisasi.
"Bank-bank dan lembaga kredit semakin concern dengan mengelola pertumbuhan jumlah perubahan peraturan di industri saat ini," kata Timothy Burniston, Wakil Presiden Eksekutif dan Direktur Senior Bidang Risiko Wolters Kluwer.
“Mereka juga mencari untuk tim eksekutif dan jajaran dewan untuk memainkan peran yang lebih signifikan dalam membantu mengurangi dan mengendalikan banyak risiko regulasi dan operasional yang mereka hadapi setiap hari.”


Korban Ekspektasi Tinggi


Dirut RNI, dicopot dari jabatannya ketika kinerjanya dianggap mengecewakan karena terus mencatatkan kerugian. Namun demikian, menurut anggota DPR, penggantinya tidak memberikan harapan yang lebih baik.


Kementerian BUMN menjadi lembaga yang paling disorot beberapa bulan terakhir terkait dengan pemecatan jajaran direksinya. Dengan dalih tidak sesuai ekspektasi dalam menjalankan usaha, pemerintah mencopot beberapa direktur utama perusahaan negara. Setelah perusahaan umum Badan Usaha Logistik (Bulog), pemerintah juga merombak jajaran direksi produsen gula nasional, Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
Kinerja, disebut-sebut menjadi alasan paling utama yang membuat Menteri BUMN, Rini Soemarno, mengganti direksi sebelumnya. “Kinerjanya sangat jelek. Selama 2014 perusahaan menderita kerugian. Situasinya tidak kondusif makanya diusulkan pergantian,” kata Rini.
Memang kerugian tidak bisa dipungkiri menjadi penyebab Direktur Utama RNI Ismed Hasan Putro dicopot dari jabatan yang dipegangnya selama tiga tahun belakangan. RNI mencatat rugi Rp22 miliar di 2011, sebelum Ismed masuk dan dipercaya menjadi Dirut RNI.
Saat Ismed diangkat sebagai dirut pada awal 2012, mantan wartawan itu mampu membalikkan kinerja keuangan sehingga RNI dari rugi bisa berubah menjadi untung sebesar Rp307 miliar. Akan tetapi, laba RNI turun ke angka Rp 33 miliar di tahun 2013. Bahkan pada tahun 2014, RNI mencatat rugi Rp 200 miliar (belum diaudit).
Ismed yang dicopot sejak Mei lalu, baru pada Juni efektif digantikan oleh B. Didik Prasetyo yang sebelumnya adalah Asisten Deputi bidang Usaha Energi, Pertambangan, Percetakan dan Pariwisata Kementerian BUMN, dan pernah menjadi Komisaris RNI pada 2013.
Namun prestasi membawa perusahaan mencetak laba di tahun pertamanya menjabat, tak membuat pemegang saham menahan rasa tidak puasnya pada kinerja Ismed. Pada Mei tahun ini, Ismed dicopot dari jabatannya.
Sebelumnya, Menteri BUMN juga mengganti Dirut Perum Bulog yang dijabat oleh Lenny Sugihat, yang awal penunjukannya digadang-gadang akan membawa perusahaan pengelola logistik nasional itu bergerak lebih baik dengan pengalamannya sebagai bankir dan alumnus IPB. Namun karena dinilai tidak perform dalam menyerap produksi beras dan gabah nasional, Lenny dipecat dan digantikan oleh Djarot Kusumayakti, yang menariknya adalah koleganya di BRI dan sempat menjalani uji kelayakan dan kepatutan enam bulan sebelumnya di tempat yang sama.
Namun berbeda Bulog, pengganti dari Ismed di RNI bukanlah koleganya atau orang yang sebelumnya menjalani ujian untuk jabatan yang sama. Kementerian BUMN menunjuk B. Didik Prasetyo, yang sebelumnya adalah Asisten Deputi bidang Usaha Energi, Pertambangan, Percetakan dan Pariwisata Kementerian BUMN dan pernah menjadi komisaris di RNI sepanjang 2008-2013.  
Selain posisi dirut, Kementerian juga mengganti jajaran direksi yang lain kecuali Djoko Retnadi sebagai Direktur Strategi Bisnis dan Inovasi.
Ismed yang diberhentikan mengaku akan fokus ke bisnisnya sendiri yang selama ini telah dirintis, setelah dia diberhentikan oleh Menteri BUMN dari posisi Dirut RNI. "Sejak saya diangkat menjadi dirut, ekspektasi saya tidak ingin lama-lama menduduki posisi ini. Saya akan fokus di perusahaan pribadi yang bergerak di bidang properti, trading. Saya juga tengah membangun pondok pesantren di Lembang Bandung," kata Ismed.
Dia menyatakan tidak ingin mempermasalahkan pergantian tersebut. Hal ini karena keputusan itu merupakan hak pemegang saham. Dia sendiri juga menyatakan siapapun yang diangkat untuk menduduki suatu jabatan, dia suatu saat harus bersiap turun.


Senasib
Ismed dan Lenny mungkin tidak pernah menyangka bahwa karier mereka dalam mengelola perusahaan negara akan berakhir hampir bersamaan. Karena pada April tahun ini, kedua perusahaan yang mereka pimpin telah menjalin kerjasama melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) mengenai pengembangan outlet pemasaran, kerjasama distribusi gula, dan distribusi beras.
Dalam sambutannya ketika itu, Ismed mengatakan, melalui kerjasama ini Bulog akan membantu RNI menyuplai kebutuhan beras untuk didistribusikan melalui Waroeng Rajawali dan Rajawalimart yang gerainya telah berjumlah ratusan. “Ritel milik RNI dapat menjadi simpul pendistribusian bahan pokok. Bersamaan dengan itu RNI pun kini tengah mengembangkan produk hilir Raja Beras, tentunya itu dapat disinergikan dengan Bulog. Dengan begitu kedua BUMN pangan ini dapat saling mengisi dalam menstabilkan harga kebutuhan bahan pokok,” ujar Ismed.
Ismed mengatakan, kerja sama ini tidak terbatas pada produk gula dan beras, dan merambah pada kebutuhan pokok lainnya, seperti daging sapi. RNI memiliki peternakan sapi dan kini terus mengembangkan sapi sawit di Sumatera Selatan, sementara Bulog memilaiki coolstorage dan tempat pemotongan, dan kedua hal itu dapat disinergikan.
Namun apa daya, rencana mereka untuk menindaklanjuti kesepakatan itu dengan membentuk tim pelaksana khusus untuk melakukan follow up hasil beserta target yang harus dicapai harus pupus. RNI kini dipimpin oleh B. Didik Prasetyo dan jajarannya yang sama sekali baru. Ada pun jajaran direksi lainnya adalah Eka Wahyudi sebagai direktur, Agung Primanto Murdantono sebagai direktur, dan Mochammad Yana Aditya sebagai direktur.
Namun demikian, kalangan DPR meragukan kemampuan jajaran direksi baru RNI, kalau mereka mampu menyehatkan BUMN di sektor industri gula tersebut. “Mestinya ditunjuk orang yang benar-benar memahami permasalahan internal PT RNI. Penunjukan Dirut RNI dari kalangan birokrat dianggap kurang tepat untuk menjawab tantangan zaman," kata Ketua Komisi VI DPR, Ahmad Hafizs.
Hafisz menyatakan memang tidak ada larangan bagi birokrat menjadi pimpinan di BUMN. "Hanya saja langkah itu tidak pas dengan situasi sekarang. Selain itu, birokrat tidak pernah memiliki pengalaman memimpin perusahaan  BUMN. Wajar publik mengkhawatirkan," ujar Hafizs.
Dia menilai RNI perlu direformasi total agar menjadi BUMN gula yang kuat dan mampu mendorong swasembada pangan. Pasalnya, sejumlah anak perusahaan itu dilaporkan merugi. "Rekam jejak direksinya tak ada yang bisa dibanggakan. Solusinya, RNI harus direformasi total agar menjadi BUMN gula yang kuat dan mampu mendorong swasembada pangan," kata Hafizs.


Dari Agro Industri Hingga Kondom
RNI bergerak di empat bidang usaha, yaitu agroindustri, farmasi dan alat kesehatan, perdagangan dan distribusi serta properti. Saat ini RNI sebagai perusahaan induk memiliki 13 anak perusahaan. Dalam bidang agro-industri, RNI memiliki dan mengelola 10 pabrik gula yang tersebar di Jawa Barat, Yogyakarta dan Jawa Timur, perkebunan sawit dan perkebunan teh serta beberapa pabrik pengolahan produk hulu dan samping berbasis tebu.
Di bidang perdagangan dan distribusi, RNI memiliki anak perusahaan dengan cabang-cabang yang terdapat di kota besar seluruh Indonesia dan gerai – gerai mini market dengan nama Rajawali Mart dan Waroeng Rajawali di Bali, Lombok, Makasar, Surabaya, Malang, Semarang, Jabodetabek, Serang Banten, Medan, menyusul akan dibuka di Yogyakarta, Palembang, Cirebon, Solo dan Madiun serta beberapa kota yang tengah digarap di Indonesia. Di bidang farmasi dan alat kesehatan meliputi pabrik obat, pabrik alat suntik dan kondom.



Profil Direksi RNI

B. Didiek Prasetyo,  Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), sebelumnya beliau sebagai Asisten Deputi bidang Usaha Energi, Pertambangan, Percetakan dan Pariwisata Kementerian BUMN. Pernah menjadi komisaris di PT RNI pada tahun 2008-2013.  

M. Yana Aditya atau biasa dipanggit Adit adalah lulusan Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Jabatan sebelumnya adalah Direktur Keuangan & SDM PT Balai Pustaka (Persero). Beliau juga seorang praktisi bisnis di bidang manajemen strategis dan manajemen keuangan. Sebelum bergabung di Balai Pustaka berkiprah di perbankan dan perhotelan.

Agung P. Murdanoto, Meraih Gelar Sarjana dari IPB, Gelar Master dan Doktor bidang Agricultural di Kyoto University. Beliau menjabat sebagai Direktur PT Mitra Kerinci sejak Maret 2012. Karir sebelumnya adalah Deputi Direktur Pengembangan  PT RNI tahun 2007-2012 dan Deputi Direktur Pengambangan Usaha Agro PT RNI 2004-1007

Elka Wahyudi, Meraih Gelar Sarjana Pertanian dari Universitas Jember pada tahun 1982. Menjabat sebagai Direktur Utama PTP Mitra Ogan pada tahun 2007-2013. Pernah menjadi GM Perdagangan Agro PT Rajawali Nusindo 2004-2007

Djoko Retnadi, Meraih Gelar Sarjana Ekonomi Studi Pembangunan dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1988 dan gelar Magister of Business, konsentrasi pada Finance and Banking dari Monash University Melbourne pada tahun 2000 sebelumnya menjabat sebagai Direktur Strategi Bisnis & Inovasi PT RNI sejak Mei 2014. Beliau memulai karir di BRI Pusat di Jakarta sempat menjabat sebagai Wakil Pemimpin Wilayah BRI Banjarmasin, Bandung, dan Jakarta.
(Sumber: RNI)



Ceceran Masalah Petral

Anak usaha Pertamina dalam jasa perdagangan minyak akhirnya dibubarkan Mei lalu. Meski diklaim memunculkan penghematan namun langkah tersebut menimbulkan masalah lain yang diklaim juga terkait efisiensi.


Salah satu berita besar bulan ini adalah keputusan pemerintah untuk membubarkan anak usaha PT Pertamina yakni Pertamina Energy Trading Limited (Petral). Perusahaan yang menjadi buah bibir dalam hampir setiap pembicaraan terkait pengelolaan minyak dan gas itu dianggap menjadi sumber beban Pertamina dan negara karena adanya mafia. Kewenangan jual beli migas kini dipegang oleh Integrated Supply Chain (ISC) anak usaha Pertamina lainnya.
Mafia migas memang masih belum bisa ditangkap meski kabarnya sudah diketahui, namun persoalan lain terkait efisiensi sudah muncul belum lagi penolakan dari karyawan Pertamina sendiri. Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengaku belum bisa mengungkap siapa saja yang kerap mengambil keuntungan dalam urusan impor bahan bakar minyak, namun dia mengklaim penghematan yang sudah bisa diwujudkan.
“Hanya dalam 2 bulan impor minyak mentah dan BBM dilakukan ISC, Pertamina sudah hemat 20 juta dollar AS, jumlah yang besar," klaim dia.
Setelah pembubaran, pemerintah selanjutnya akan melakukan audit menyeluruh kepada perusahaan itu untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang disebut mafia migas sambil menyelamatkan aset-aset perusahaan yang masih ada. Audit baru akan selesai enam bulan ke depan.
Banyak yang mendukung pembubaran perusahaan yang bermarkas di Singapura itu, tak terkecuali Faisal Basri yang sempat ditunjuk sebagai ketua sebuah tim yang mereformas kebijakan migas. Bahkan kata ekonom dari Universitas Indonesia itu, harus ada langkah lanjutan selepas audit investigasi. ”Setelah audit investigasi, hasil-hasilnya juga harus dilanjutkan kembali dengan audit forensik. Jadi, jangan berhenti di audit investigasi saja,” kata dia.
Dengan audit forensik, lanjut Faisal, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan mengetahui lebih jauh lagi penyimpangan dan kecurangan saat dan selama Petral berdiri.
”Seperti audit forensik yang dilakukan saat cessie Bank Bali, kita harapkan penyimpangan dan kecurangan selama keberadaan Petral bisa terungkap, di antaranya seperti aliran dana ke mana saja dan untuk apa saja, mulai dari ke kantong pejabat di DPR atau pemerintah, untuk pemilihan presiden, dan lain-lainnya,” kata dia.
Faisal mengatakan, dengan audit investigasi dan forensik, Petral tidak sekadar menjadi dongeng pada masa lalu tentang kisah impor minyak mentah dari Indonesia. ”Dengan bukti audit forensik, polisi bisa menjadikan hasil audit tersebut sebagai bukti hukum dalam perkara pidana,” ujar Faisal.
Selain itu dukungan juga datang dari Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto mengaku setuju dengan pembubaran Petral. Menurut dia, anak usaha Pertamina yang bermarkas di Singapura ini tak berkontribusi besar bagi pendapatan dan penerimaan negara dalam perdagangan migas internasional.
"Selama ini Petral tak berkontribusi besar ke negara, malah mereka lebih banyak (memberi kontribusi) pada Singapura. Saya setuju pembubaran Petral ini dilakukan oleh Pemerintah melalui Pertamina," ujar Yenny.
Namun, setelah Petral dibubarkan, ia berharap agar pemerintah dan Pertamina dapat menggenjot fungsi PES dalam perdagangan migas. Ini harus dilakukan, sebab migas merupakan sumber daya alam (SDA) yang jumlahnya terbatas.
"Yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana kelanjutan anak perusahaan pengganti Petral selanjutnya. Pengganti Petral tersebut harus digenjot dan dialihkan (penerimaannya) ke Indonesia bukan ke negeri orang, karena ini berkaitan dengan sumber daya alam," tegas Yenny.

Langkah Keliru
Meski demikian, tidak sedikit pihak yang menyayangkan keputusan pemerintah tersebut dan menganggapnya hanya membawa masalah lain yang lebih pelik.
Salah satunya adalah Sugiharto, mantan Menteri BUMN mengatakan bahwa sesungguhnya Petral masih penting jika memang mau dipertahankan. Petral memang didirikan ketika Indonesia tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, ketika produksi Pertamina sudah tidak bisa lagi mencapai satu juta barel per hari.
Dalam sebuah diskusi di televisi nasional, pelaku bisnis migas ini, mengatakan bahwa semua perusahaan migas memiliki kepanjangan tangan dalam hal perdagangan, seperti halnya Pertamina yang memiliki Petral. “Adalah sebuah kemunduran langkah dari pemerintah menutup Petral. Karena saat ini negara kita sangat tergantung impor. Recovery rate kita hanya 40 persen. dari setiap 100 barel yang gunakan di dalam negeri, yang kita temukan hanya 40 barel,” jelas Sugiharto.
Saat ini ketika produksi minyak dalam negeri semakin menurun yang dihadapkan dengan kebutuhan yang semakin meningkat, sangat penting untuk mendapatkan impor migas dengan harga seefisien mungkin. Petral, lanjut dia, sebelumnya sudah bisa mendapatkan fasilitas pendanaan sebesar 5,1 miliar dollar AS, dan mendapatkannya dengan harga separo dari yang didapatkan oleh Pertamina di kantor pusat.
Dana tersebut sangat penting sebagai buffer buat Pertamina dan juga negara dalam manajemen keuangan untuk mengimpor migas. “Jika nanti ada kenaikan harga minyak dunia, maka Pertamina akan kehilangan line sebesar 5,1 miliar atau mencapai Rp65 triliun. Karena kita mengimpor dalam dollar dan menjualnya ke masyarakat dengan rupiah. Maka kita akan menghadapi kemungkinan kesulitan dalam modal kerja Pertamina dan juga risiko nilai tukar,” jelas Sugiharto.
Saat ini Pertamina adalah perusahaan negara yang paling banyak membutuhkan valas dalam transaksinya sehari yaitu mencapai 150 juta sampai 200 juta dollar AS per hari.
“Nah line offshore inilah jaring pengaman buat rupiah dan Pertamina sekaligus,” kata dia.
Petral berdiri pada 1969 dengan nama PT Petral Group dengan dua pemegang sahamnya dari Petra Oil Marketing Corporation Limited yang terdaftar di Bahama dengan kantornya Hong Kong, serta Petral Oil Marketing Corporation yang terdaftar di California, Amerika Serikat.
Pada 1978, kedua perusahaan pemegang saham Petral tersebut melakukan marger dengan mengubah nama perusahaanya menjadi Petra Oil Marketing Limited yang terdaftar di Hong Kong.
Singkat cerita pada1998, perusahaan tersebut diakusisi oleh Pertamina dan pada 2001 mengubah namanya menjadi PT Pertamina Energy Trading Ltd (Petral). Selain Pertamina, sahamnya juga dimiliko Zambesi Invesments Limited dan Pertamina Energy Services Pte Limited.
Tugas Petral adalah melakukan jual-beli minyak. Lebih tepatnya membeli minyak dari mana saja untuk dijual ke Pertamina. Semua aktivitas itu dilakukan di Singapura.
Sementara itu, penolakan penutupan Petral muncul dari kalangan pegawai Pertamina. Ugan Gandar, Ketua Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, mengatakan bahwa kegaduhan soal penutupan Petral ini tidak lebih dari upaya pengalihan perhatian publik.
“Kondisi ini persis tahun 2001 saat Undang Undang Migas mau diterbitkan. Pada saat itu, lembaga PwC bilang ada ratusan kasus korupsi pertamina, namun tidak ada yang ditangkap. Nah, pada saat ribut-ribut itu Undang-Undang Migas diterbitkan,” kata dia.
Saat ini muncul ribut-ribut soal Petral sarang mafia yang akhirnya harus ditutup. Namun sampai sekarang pihak yang disebut mafia tidak pernah jelas namun perusahaannya sudah terlanjur dibubarkan.
“Sekarang modusnya sama, dan sebentar lagi akan keluar UU Migas yang baru. UU Migas itu akan mengerdilkan kembali Pertamina,”kata Ugan.
Bahkan seorang pegawai di Pertamina yang namanya tidak ingin disebutkan mengatakan kepada Stabilitas bahwa kondisi ini membuat mereka marah sekaligus sedih.
“Kita berhak tersinggung, bahkan cuma sedih. Ini kan perusahaan Indonesia yang memberi dividen Rp9 triliun, kasih Rp70 triliun tapi kok digembosin terus,” kata dia yang sudah bekerja lebih dari 15 tahun.
Oleh karena itu muncul keinginan untuk mogok bekerja untuk memberi pesan kepada pemerintah dan publik bahwa mereka juga punya suara. “Kita mau merenung setengah hari artinya mogok setengah hari. Pertamina disebut sarang penyamun tetapi tidak ada yang ditangkap dan dibawa ke KPK. Lalu Petral disebut mafia migas tetapi audit investigasinya belum ada,” kata sumber tersebut.

Indikator Kekhawatiran

Indikator adalah sesuatu ukuran yang menjadi petunjuk atau keterangan tentang sesuatu. Dalam ekonomi, indikator menjadi pertanda yang penting untuk menilai, minimal menebak, apa yang akan terjadi nanti. Di kalangan orang-orang yang bergelut di bidang ekonomi mereka menyebutnya: ekspektasi.
Di Indonesia, sepanjang tiga bulan pertama tahun ini beberapa indikator ekonomi muncul dan menunjukkan kesamaan pola yaitu penurunan. Pertumbuhan ekonomi, sebagai indikator utama, memperlihatkan angka yang lebih rendah dari periode sebelumnya, bahkan dari ekspektasi.
Pertumbuhan ekonomi sepanjang waktu itu hanya menyentuh level 4,7 persen, lebih rendah dari yang dijanjikan dalam APBN yaitu sebesar 5,7 persen. Memang masih ada tiga triwulan lagi untuk mencapainya, namun itu berarti setiap periodenya harus berada di level 5,7 persen.
Sebagai catatan pertumbuhan ekonomi terus menurun dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi 6,2 persen, tahun 2012 menurun menjadi 6,0 persen, tahun 2013 menurun menjadi 5,6 persen, dan tahun 2014 merosot lagi menjadi 5 persen.
Selain itu, nilai tukar rupiah juga terus melemah sejak awal tahun. Bahkan pada awal Juni angkanya nyaris menyentuh level 13.300, mendekati titik terlemahnya pada waktu krisis 1998.
Yang menyebabkan rupiah terperosok ke level tersebut adalah aksi jual obligasi di pasar sekunder.
Harga obligasi negara bertenor 10 tahun jatuh 1,17 persen sedangkan global bond pemerintah RI bertenor 10 tahun jatuh 1,49 persen pada awal Juni.
Di tengah pelemahan rupiah muncul berita tak sedap, pemecatan karyawan meningkat. Padahal secara logika, pelemahan rupiah memacu ekspor karena meningkatkan daya saing produk nasional, yang ujungnya seharusnya justru menambah daya serap pekerja. Namun karena ekonomi dunia melemah yang tercermin dari permintaan global yang melemah, kondisi itu tidak terjadi.
Indikator berikutnya adalah ekspor. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa ekspor April turun 4,04 persen dibanding ekspor di bulan sebelumnya. Sementara, apabila dibandingkan ekspor April tahun sebelumnya, tercatat penurunan sebesar 8,46 persen. bahkan jika dikumulatifkan sepanjang Januari- April ekspor tetap menunjukkan penurunan.
Pertumbuhan dan perdagangan luar negeri yang menurun tentu akan memukul sektor perbankan. Meski belum ada data resmi sepanjang triwulan pertama ini, namun beberapa bank sudah menyatakan bahwa kredit mereka turun. Pada kuartal  pertama 2015, outstanding penyaluran kredit BCA menurun sekitar 5 persen dibandingkan posisi akhir tahun lalu. Hal itu membuat bank swasta terbesar di Indonesia itu akan menahan pertumbuhan kreditnya di level yang konservatif.
Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa kredit perbankan hingga Februari 2015 melambat, karena hanya tumbuh 12 persen, sedangkan pertumbuhan kredit periode sama tahun lalu yang sebesar 19,9 persen.

Jika sederet indikator ekonomi tersebut banyak yang menurun dan melemah, lalu apa yang meningkat? Mungkin, kekhawatiran.

Setelah Persepsi Disamakan


Bertahun-tahun lalu mekanisme lindung nilai tidak pernah disentuh oleh perusahaan negara karena belum adanya kesepahaman bahwa strategi itu hanyalah sebuah siasat manajemen risiko belaka. Namun sejak tahun lalu, setelah disusun prosedur dan tata cara standar dalam melakukan transaksi tersebut, hedging mulai marak digunakan.


Hedging sejatinya adalah praktik lazim para pelaku pasar keuangan terutama untuk menekan kerugian di neraca keuangannya karena risiko nilai tukar. Para trader biasanya melakukan hedging untuk melindungi investasinya dalam mata uang tertentu –misalkan dollar AS, dengan mata uang lain seperti euro. Ketika trader membeli dollar AS dengan menggunakan rupiah, untuk berjaga-jaga terhadap pelemahan mata uang itu, dia juga membeli euro pada saat bersamaan. Jika dollar AS melemah yang membuat investasi berkurang, trader berharap pada saat bersamaan euro menguat agar investasinya bertambah dan bisa menutup kerugian dari investasi dollar AS. Itu adalah praktik hedging jangka pendek.
Untuk perusahaan-perusahaan besar yang ingin menyelamatkan utang valuta asingnya dari pembengkakan akibat pelemahan kurs, hedging dilakukan dengan cara yang lebih kompleks dan dalam waktu yang lebih panjang. Mereka meminjam dana valas dari bank untuk digunakan dalam beberapa waktu yang akan datang namun dengan kurs yang berbeda dengan yang saat ini berlaku. Dalam praktik ini, bank juga mengenakan biaya tambahan atas transaksi itu yang disebut premi.
Namun, meski transaksi tersebut itu sudah biasa dilakukan di dunia bisnis, tidak demikian bagi perusahaan milik negara di Indonesia. Strategi yang disebut lindung nilai itu sempat dianggap horor oleh badan usaha milik negara, meskipun mereka sangat membutuhkannya.
Bagi BUMN dan perusahaan yang memiliki penyertaan modal negara, selisih nilai dalam kasus hedging bisa disalahtafsirkan sebagai tindakan yang merugikan keuangan negara dan berimplikasi hukum. Jadi ada semacam ketakutan dari para pengelola BUMN terutama bank, jikalau strategi itu kemudian dianggap merugikan negara dan malah membawa mereka ke balik jeruji besi.
Padahal di sisi lain, ketika kurs rupiah melemah atas dollar AS, perusahaan pelat merah ketar-ketir karena utang valasnya atau biaya produksi yang biasa dikeluarkan menggunakan dollar AS akan melonjak. Hasil akhir yang bisa terlihat di neraca keuangan mereka adalah munculnya kerugian selisih kurs. Neraca keuangan yang buruk tentu akan memunculkan rapor merah pada para pengelolanya.
Sementara BUMN adalah pihak yang paling membutuhkan valuta asing. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, BUMN mendominasi pembelian valas di pasar domestik, terutama oleh Pertamina dan PLN yang pembeliannya mencapai sekitar 30 persen dari total pembelian valas korporasi. Kebutuhan harian Pertamina berkisar antara 150 juta sampai 200 juta dollar AS, sementara PLN butuh sekitar 20 juta dollar AS per hari.
Ketika beberapa BUMN mulai turun ke pasar valas harian (spot) untuk mencari dollar AS, kurs rupiah kemudian melemah karena pasokan dalam negeri yang minim. Karena itu BI sangat berkepentingan untuk mendorong penggunaan hedging lebih luas lagi.
“Stok valas di Indonesia masih sangat tipis, hal ini kemudian sering memunculkan spekulasi pada nilai tukar rupiah,” kata Hartadi Agus Sarwono, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia. “Bank Indonesia selalu berupaya mengurangi volatilitas rupiah atas dollar AS.”
Pasar valuta asing, berdasarkan data BI pada 2014, yang dihitung dari nilai transaksi harian rata-rata hanya sebesar 5 miliar dollar AS, tidak sampai separo transaksi di Malaysia dan Thailand, terlebih lagi Singapura. Transaksi valas juga didominasi spot yang mencapai 68 persen, sementara swap sebesar 28 persen dan forward sebesar 4 persen.
Itulah sebabnya, bank sentral, sejak beberapa tahun lalu bergerilya mendatangi lembaga-lembaga negara yang terkait untuk menyamakan persepsi bahwa hedging adalah transaksi bisnis biasa sebagai bagian dari manajemen risiko.


Kesamaan Persepsi
Akan tetapi pada tahun ini keadaan mulai berubah. Beberapa BUMN mulai menggunakan hedging untuk pembelian valasnya. Adalah kehadiran standard operational procedur (SOP) yang disepakati oleh setidaknya delapan lembaga negara yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kementerian BUMN, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan dan Kepolisian.
Di dalam SOP itu dibeberkan mengenai mekanisme transaksi lindung nilai yang disepakati yang berisi persiapan transaksi, pelaksanaan transaksi, dan monitoring transaksi hedging. Tak lupa juga dijelaskan mengenai jatuh temponya.
Pedoman SOP setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, pedoman penyusunan SOP hanya diperuntukkan untuk perusahaan BUMN. Kedua, pedoman SOP ini hanya untuk transaksi hedging yang mencakup risiko nilai tukar. Ketiga, pengaturan minimum yang harus ada pada setiap tahapan dalam transaksi hedging yakni tahap persiapan, pelaksanaan, monitoring, penyelesaian, evaluasi hingga tahap dokumentasi
Sejak ditekennya SOP itu, maka kekhawatiran mengenai risiko hukum buat BUMN lambat laun sirna. Mulai dua bulan lalu, beberapa perusahaan negara mulai menghedging utang-utang dan transaksi valasnya. Awalnya Garuda dan PLN yang menggunakan transaksi ini, dan yang baru-baru saja adalah Pertamina, yang semuanya menggunakan fasilitas dari bank-bank pelat merah juga.
Dengan adanya lampu hijau dari pihak-pihak yang selama menjadi sumber kekhawatiran perusahaan maka strategi hedging seharusnya sudah bisa menjadi pilihan bagi seluruh BUMN. Dan jika perusahaan negara sudah banyak yang menggunakan maka sektor swasta tentu akan ikut meramaikannya.
Menurut General Manager Treasury Bank Negara Indonesia Ario Bimo Notowidagdo, melalui SOP yang ada maka pihaknya semakin percaya diri untuk melakukan lindung nilai. Dari sisi infrastruktur Bimo menyatakan perseroan siap memfasilitasi korporasi dan BUMN sejak tahun lalu untuk lindung nilai. Dia mengatakan, kebutuhan lindung nilai bisa beragam, yakni lindung nilai terhadap nilai tukar dan suku bunga. “Kami saat ini sedang membantu perusahaan BUMN dan swasta untuk hedging,” kata Bimo.
Memang cara terbaik untuk memahami hedging adalah dengan menganggapnya sebagai asuransi. Ketika sebuah perusahaan memutuskan untuk melakukan transaksi lindung nilai, maka mereka mengasuransikan perusahaan terhadap peristiwa negatif. Langkah tersebut memang tidak mencegah peristiwa negatif terjadi, tetapi jika itu tidak terjadi dan hedging sudah dilakukan, maka dampak dari peristiwa itu pada neraca keuangan perusahaan akan berkurang.
Meski begitu bukan berarti auditor negara tidak akan memeriksa transaksi tersebut. Menurut Agus Joko Pramono, Anggota II BPK, pihaknya tetap akan mengaudit keempat tahap dari pelaksanaan hedging. “Dalam tahap persiapan kami melakukan asesmen dan menganalisa kebutuhan lindung nilai itu bagi BUMN. Kemudian juga memastikan underlying dan melakukan price checking di pasar,” kata dia dalam sebuah seminar awal Mei lalu. Bahkan tambah dia, pemeriksa dari BPK akan menguji risiko-risiko yang ditetapkan oleh perusahaan sejak perencanaan hingga monitoring marked to market.

Hal itu memang harus tetap dilakukan agar transaksi yang lazim ini tidak membuka pintu kecurangan atau fraud.

Menggali dan Memperlebar Kolam

Bank Indonesia terus berupaya memperdalam pasar keuangan Tanah Air setelah transaksi hedging mulai digunakan oleh perusahaan negara. Beberapa aturan yang akan merelaksasi pasar valas akan segera diterbitkan.


Mungkin tidak ada pihak yang memiliki keinginan begitu kuat agar penggunaan transaksi hedging bisa marak dan digunakan lebih banyak pihak, selain Bank Indonesia. Bukannya mengecilkan peran dan keinginan lembaga lain yang sudah menggolkan aturan resmi mekanisme hedging buat perusahaan negara.
Namun, sebagai otoritas yang bertanggung jawab terhadap kestabilan nilai tukar rupiah, keinginan ini adalah wajar. Selama ini, ketiadaan peminat layanan hedging membuat nilai tukar rupiah sangat fluktuatif karena ketika perusahaan besar –biasanya milik negara, membutuhkan rupiah dan mencarinya di pasar, maka nilai tukar akan sontak bergerak volatil. Hal itu tentu mempersulit tugas BI dalam mengelola kestabilan rupiah.
Oleh karena itu sejak beberapa tahun lalu, BI bergerilya mendatangi lembaga-lembaga negara menyamakan persepsi mengenai hedging agar strategi manajemen risiko itu tidak lagi menjadi momok bagi BUMN. Dan tahun ini hasil dari kerja keras itu membuahkan hasil ketika beberapa BUMN mulai menggunakan layanan transaksi hedging dari bank.
Tugas tersebut, kendati begitu, tidak selesai begitu saja. Pasca mulai digunakannya mekanisme lindung nilai atas transaksi valuta asing, BI tentu memiliki tugas lanjutan yaitu pendalaman pasar.
“Saat ini pelaku masih belum memiliki standar atas penetapan premi dan juga harga kurs dari strategi lindung nilai,” kata mantan Deputi Gubernur BI, Hartadi A Sarwono.
Memang, penentuan premi dan juga kurs yang digunakan dalam hedging dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersandarkan pada mekanisme pasar. Namun demikian, di pasar-pasar keuangan yang infrastrukturnya sudah lengkap seperti di Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat, Inggris dan lainnya penentuan premi dan harga kurs bisa dilihat secara transparan.
Di Indonesia, kondisi itu masih jauh dari ideal. Bahkan minimnya infrastruktur pasar keuangan Indonesia dalam mendukung hedging terlihat dari masih belum dimanfaatkannya fasilitas Swap yang disediakan oleh beberapa negara. Pada tahun 2003, BI menandatangani perjanjian fasilitas Bilateral Swap Arrangement (BSA) dengan gubernur bank sentral Cina senilai 1 miliar dollar AS.
BSA adalah sebuah fasilitas bantuan keuangan jangka pendek dalam bentuk penukaran mata uang asing (foreign exchange swap) yang bertujuan untuk memperkuat cadangan devisa. BI juga mendapatkan fasilitas itu dari Jepang, dan Korea. Pada 2009, BI juga mengadakan perjanjian mengenai BSA dengan tiga negara tersebut, dengan Jepang yang meningkatkan jumlahnya menjadi 12 miliar dollar AS dari 6 miliar dollar AS.


Pendalaman Pasar
Tahun ini, jalan ke arah pendalaman pasar keuangan sudah terlihat setelah Bank Indonesia bersama beberapa lembaga negara dan lembaga hukum menyepakati standard operational procedure (SOP) dalam penggunaan hedging. Meski satu tahap sudah terwujud, namun masih terbentang tantangan Bank Indonesia untuk membuat pasar keuangan khusunya pasar valuta asing lebih dalam dan stabil. Menurut Nanang Hendarsah Nanang Hendarsah, Deputi Gugus Tugas Sektor Keuangan Bank Indonesia, pendalaman pasar valas harus ditandai oleh ketersediaan likuiditas yang memadai, kemudahan dalam pelaksanaan transaksi, harga yang wajar dan risiko yang minimal guna menjaga stabilitas perekonomian.
Untuk mewujudkan pasar keuangan yang lebih dalam, BI dipastikan akan menyempurnakan aturan yang sebelumnya sudah ada soal hedging. Sebelumnya BI memiliki aturan dalam PBI No. 16/18/PBI/2014 tentang Transaksi Lindung Nilai kepada Bank yang merupakan revisi atas PBI Nomor 15/8/PBI/2014.
“Penyempurnaan ini juga mendukung kegiatan ekonomi di Tanah Air dengan mendukung dilakukannya lindung nilai (hedging) oleh pelaku ekonomi untuk memitigasi risiko pasar dan likuiditas valas,” kata Nanang.
Setidaknya akan ada tiga PBI yang akan diterbitkan (sampai tulisan ini dibuat, belum diterbitkan).
Dalam aturan itu BI akan menyempurnakan transaksi forward. Nantinya jika eksportir atau importir yang memiliki utang luar negeri dan memiliki transaksi forwad tiga bulan, pada saat mendekati bulan terakhir belum bisa bayar, eksportir bisa melakukan netting atau hanya membayar selisihnya.
“Nah, artinya kalau saat jatuh tempo, uangnya tidak ada, mereka bisa melakukan netting. Dulu tidak boleh dilakukan netting, harus full amount. Sekarang sudah boleh nett. Jadi pada saat jatuh tempo, ekportir belum dapat uangnya, hitung forward-nya berapa, spot-nya berapa, yang dibayar selisihnya saja,” kata Nanang.
Dalam aturan baru nanti, netting juga bisa dilakukan di tengah jalan ketika eksportir melihat hedging-nya tidak menguntungkan karena biayanya sudah terlalu besar, sementara suku bunga turun. Pelaku bisnis bisa membatalkannya melalui netting dengan hanya menghitung selisih, tidak perlu full delivery.
Selain itu, pada aturan sebelumnya BI mensyaratkan perusahaan yang melakukan hedging, underlying (transaksi yang mendasarinya) harus dirinci oleh Bank Indonesia. Sekarang BI menentukan underlying yang hanya terkait dengan perdagangan dan investasi.
BI minta list-nya dari bank, kira-kira banyak yang dipakai yang mana, dan di-approved oleh BI, tetapi ini akan disesuaikan terus,” ujar Nanang.
Perubahan juga terjadi pada persyaratan dokumen. Jika sebelumnya dokumen yang di-submit nasabah ke bank, kalau dulu harus invoice impor final, sekarang tidak begitu, yang penting datanya benar. Akan tetapi yang harus digarisbawahi BI tidak mau kalau eksportir menjual forward tanpa underlying dan hanya menjual forward hanya untuk dapat premi.
“Pokoknya, transaksi derivatif seperti forward, swap, option, kalau di atas 1 juta dollar AS harus dibuktikan dengan dokumen underlying. Nah, underlying ini diserahkan maksimum lima hari setelah deal terjadi. Premi itu tergantung dua pihak, kita tidak mengatur, itu market create,” jelas Nanang.
Ringkasnya, transaksi ini akhirnya akan seperti non delivery forward (NDF), karena lebih fleksibel. Saat ini Indonesia bisa netting, hanya perlu underlying, sementara di Singapura tidak perlu. Jadi ini yang memagari bahwa tranasi derivatif ini benar-benar mencerminkan transaksi real perekonomian.
Dalam melakukan pendalaman pasar BI juga akan mengoptimalkan kapasitas dan fleksibilitas perbankan untuk melakukan transaksi valas dengan menghapus kewajiban bank dalam menjaga posisi devisa netto (PDN) setiap 30 menit, bersamaan dengan penyesuaian pengaturan transaksi valuta asing terhadap rupiah.
“Itu dilakukan dengan melalui perluasan instrumen transaksi derivatif berupa cross currency swap valas terhadap rupiah, kredit atau pembiayaan sebagai underlying dan perluasan cakupan underlying transaksi,” kata Nanang.
Aturan-aturan BI yang merelaksasi pasar valas juga ditujukan memberikan kepastian pihak asing untuk mengoptimalkan instrumen-instrumen derivatif sebagai instrumen hedging atas investasinya di Indonesia. “Untuk itu, dilakukan penghapusan persyaratan jangka waktu minimum transaksi derivatif selama sepekan untuk pihak asing,” kata Nanang.
Namun demikian, penyesuaian pengaturan transaksi valas terhadap rupiah, dilakukan secara pruden dan tetap memperhatikan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan dengan mewajibkan bank untuk memenuhi pengaturan-pengaturan terkait mitigasi risiko sebagaimana yang telah diatur oleh otoritas perbankan sebagai rujukan.
Dengan sejumlah relaksasi dan penyempurnaan aturan Bank Sentral berharap makin banyak pihak yang menggunakan transaksi hedging dan infrastrukturnya pasar semakin lengkap. Menurut Nanang, saat ini transaksi valas didominasi spot sebesar 68 persen, sementara swap 28 pesen, dan forward 4 persen.
Bank Indonesia menargetkan pada tahun 2020, transaksi spot harus berada di bawah angka 50 persen. “Ini tantangan kami di BI. Karena ekspor impor kita di 2005 hanya 5 miliar dollar AS per bulan, sekarang sudah 25 miliar dollar AS per bulan. Tetapi transaksi kita hanya begitu saja,” ujar Nanang sambil menambahkan akan mengembangkan cross currency swap agar hedging bisa berkembang. (Sandy Romualdus berkontribusi pada tulisan ini)



Cara Bank Indonesia Berkompromi

BI mempertahankan bunga acuan di level 7,5 persen untuk meredam inflasi yang mengancam pada satu-dua bulan ke depan. Akan tetapi, di tengah desakan untuk ikut mendorong pertumbuhan, BI dinilai akan melonggarkan kebijakan lainnya.

Tidak ada yang semenarik penetapan bunga acuan dari Bank Indonesia bulan lalu. Ketika sebelumnya ada drama antara pemerintah dan bank sentral soal permintaan untuk membawa BI Rate lebih rendah, publik menunggu apakah yang akan dilakukan otoritas moneter setelahnya.
Pada akhirnya Bank Indonesia, pada pengumuman 19 Mei lalu, memang mempertahankan BI Rate di level 7,5 persen. Namun selain dilema antara mendorong pertumbuhan dan mengendalikan inflasi, keputusan tersebut juga memiliki implikasi penting pada integritas bank sentral.
Pada 7 Mei lalu, ketika membuka acara “Institute of International Finance Asia Summit 2015”, secara terbuka Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla meminta BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Penurunan suku bunga diharapkan dapat memacu kinerja pertumbuhan ekonomi yang tengah berada dalam tren perlambatan.
Permintaan dari Wapres yang juga pengusaha itu cukup dipahami mengingat pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun ini meleset dari target. Hal itu menjadi peringatan bagi pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang sedari awal berjanji akan membawa pertumbuhan ekonomi RI di angka 7 persen dalam masa jabatan mereka.
Tak pelak dengan pertumbuhan tiga bulan pertama yang hanya mencapai 4,7 persen, popularitas pasangan yang memenangkan pemilihan presiden terketat sejak memakai cara pemilihan langsung langsung itu mulai tergelincir. Untuk menyelamatkan target tahun ini sebesar 5,7 persen dan mendorong ekonomi pemerintah meminta BI untuk menurunkan bunga acuan.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo yang tidak senang dengan desakan yang bisa mengganggu independensi lembaganya menjawab secara tak langsung kepada Wapres bahwa pihaknya tidak bisa diintervensi. Maka dari itu, dilihat dari sisi integritas BI, keputusan untuk tidak menurunkan BI Rate, sekaligus mempertahankan kebijakan moneter ketat pada pengumuman yang dilakukan 19 Mei lalu, bisa dimengerti.
Jika saat itu BI menurunkan suku bunga acuan untuk mendorong pertumbuhan yang memang diperlukan oleh ekonomi, maka kredibilitas BI akan sedikit tercoreng, karena sebelumnya ada desakan dari pemerintah. Berbeda jika sebelumnya Wapres tidak meminta bank sentral menurunkan suku bunga. "Jika BI akan memberikan kejutan lain dengan menurunkan bunga acuan..., melawan komentar publik mereka kepada media, nilai tukar rupiah dan obligasi kemungkinan akan berada di bawah tekanan karena kredibilitas mereka bisa dikompromikan," kata analis di Australia & New Zealand Banking Group Ltd, Devika Mehndiratta dalam sebuah catatan sebelum BI mengumumkan suku bunga acuan, seperti dikutip dari Bloomberg.

Pemerintah, bukan BI
Akan tetapi menilai keputusan BI yang mempertahankan bunga acuan sebagai tindakan yang tak mendukung pertumbuhan juga salah alamat, ketika di saat yang sama belanja pemerintah masih minim. Padahal peran pemerintah untuk mendorong pertumbuhan melalui penyerapan anggaran dan pembangunan infrastruktur jauh lebih besar dibanding otoritas moneter.
Menurut Ahmad Erani Yustika, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, salah satu opsi yang paling mungkin untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang melambat adalah mempercepat penyerapan anggaran pemerintah. “Hal itulah yang akan mendorong aktivitas ekonomi yang berujung pada perbaikan pertumbuhan ekonomi. Bagi saya, percepatan penyerapan anggaran bakal jadi trigger utama pertumbuhan ekonomi pada saat ini,” kata dia.
Penyerapan anggaran kementerian dan lembaga sampai April 2015 hanya sebesar 4,5 persen.
Wapres Jusuf Kalla kemudian meminta kementerian dan lembaga untuk meningkatkan penyerapan anggaran belanja modal yang diakuinya sejauh ini belum besar. “Bulan-bulan inilah kita harus tingkatkan," kata Kalla.
Menurut dia, angka penyerapan anggaran di tiap-tiap kementerian dan lembaga berbeda-beda. Di samping anggaran rutin kementerian, Kalla meminta agar anggaran pembangunan infrastruktur yang nilainya lebih dari Rp300 triliun bisa segera berjalan.
Dalam siaran pers terkait pengumuman BI Rate, otoritas moneter mengakui bahwa belum terealisasinya belanja pada beberapa kementerian menjadi pangkal penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini. Hal itu juga didorong lemahnya kinerja beberapa komponen permintaan domestik dan investasi pada sektor bangunan.
“Belum terealisirnya belanja pada beberapa kementerian dan lembaga yang baru serta masih terbatasnya belanja modal terkait dengan implementasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah mengakibatkan lemahnya kinerja konsumsi pemerintah dan investasi bangunan,” kata siaran itu.
Bahkan secara spasial, perlambatan ekonomi pada tiga bulan pertama 2015 terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, baik di wilayah Jawa dan Jakarta, yang mengandalkan sektor manufaktur, maupun wilayah Sumatera dan Kalimantan, daerah penghasil komoditas sumber daya alam.
BI mengharapkan pada kuartal kedua realisasi pengeluaran fiskal oleh pemerintah bisa ditingkatkan yang didukung didukung oleh meningkatnya konsumsi dan investasi serta meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan.
Sementara itu, dalam pengumuman yang sama, BI mengakui bahwa nilai tukar rupiah mengalami tekanan seiring penguatan dollar AS terhadap hampir semua mata uang. Pada triwulan I 2015, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 4,4 persen (antar triwulan) ke level Rp12.807 per dollar AS. Penguatan mata uang negeri Paman Sam yang terjadi terhadap mayoritas mata uang dunia ditopang oleh ekonomi AS yang membaik dan kebijakan pelonggaran kuantitatif dari Bank Sentral Eropa. Namun, rupiah kembali menguat di bulan April 2015 sejalan dengan koreksi dolar AS dan persepsi risiko perekonomian domestik yang membaik. Menurut catatan BI, rupiah secara rata-rata menguat 0,95 persen (dari bulan lalu) ke level Rp12.944 per dolar AS.
Menurut catatan Bloomberg, mata uang rupiah telah turun sekitar 6 persen tahun ini terhadap dollar AS, yang menjadikannya sebagai mata uang yang melemah paling besar di antara 11 mata uang Asia yang paling diperdagangkan. Sehingga, jikalaiu saja BI menurunkan tingkat suku bunga pada Rapat Dewan Gubernur bulan lalu, rupiah akan terjerembab lebih dalam lagi.

Jalan Lain
Oleh karena itu mempertahankan BI Rate merupakan jalan terbaik yang bisa diambil bank sentral. Selain untuk meneruskan pertahanan melawan inflasi yang kemungkinan akan naik dalam dua bulan ke depan jelang bulan puasa dan Hari Raya Idul Fitri, langkah ini juga menjaga citra independensi bank sentral.
Untuk mendorong perekonomian setidaknya dalam jangka pendek, BI tampaknya bisa menggunakan cara lain. Salah satunya adalah pelonggaran aturan giro wajib minimum (GWM) yang bisa mengucurkan tambahan likuiditas buat perbankan.
Saat ini kewajiban yang berlaku untuk bank umum konvensional adalah GWM Primer sebesar 8 persen dari dana pihak ketiga rupiah dan GWM Sekunder sebesar 4 persen dari dana rupiah. Pembayaran reserve requirement sekunder dikaitkan dengan jumlah kredit dibandingkan dengan dana atau loan to deposit ratio (LDR). GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 8 persen dari DPK dalam valuta asing.
Selain itu, BI juga sudah mewacanakan akan meninjau kembali aturan loan to value (LTV) untuk membeli rumah pertama. Menurut aturan yang ada saat ini, LTV ditetapkan sebesar 70 persen. Artinya, jika ada orang yang hendak membeli rumah pertama, dia harus menyediakan pembiayaan sendiri sebesar 30 persen dan 70 persen sisanya dapat diperoleh melalui kredit bank.
Penurunan LTV ini akan membuat pembeli membiayai sendiri rumahnya dengan dana yang lebih kecil. Diharapkan, semakin banyak orang yang mampu membeli rumah melalui penurunan LTV ini sehingga meningkatkan konsumsi domestik yang menopang pertumbuhan ekonomi.
Hal itu memang menjadi kompromi terbaik saat ini dan BI tetap bisa menjaga independensinya sekaligus bisa memberi ‘andil’ pada pertumbuhan ekonomi.