Pertumbuhan ekonomi kembali direvisi menjadi 5,2 persen oleh
pemerintah. sektor infrastruktur dan belanja pemerintah lain diharapkan bisa
menolong pertumbuhan ekonomi dari pelemahan.
Sejak pertumbuhan ekonomi tiga bulan pertama tahun ini
diumumkan, kekhawatiran mulai berhembus. Bahkan hingga kini, pertumbuhan
sebesar 4,7 persen membawa pesimisme kepada target perekonomian sepanjang tahun
ini. Pertumbuhan triwulanan itu menjadi lonceng penanda bahwa target tahun ini
akan meleset.
Betul saja, pada Mei pemerintah merevisi pertumbuhan yang
tadinya ditetapkan sebesar 5,7 persen pada APBN-P 2015, menjadi 5,4 persen. Di
hadapan DPR, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan bahwa
pemerintah mencoba realistis setelah melihat realisasi pertumbuhan di kuartal
pertama.
Perekonomian global yang masih melemah dan kondisi negara mitra dagang Indonesia seperti
Tiongkok, Jepang dan Eropa yang masih melesu menjadi alasan Menteri Keuangan
mengubah target itu.
Akan tetapi belum genap dua bulan setelahnya Menteri Bambang
lagi-lagi merevisi target tersebut dan menetapkan angka pertumbuhan di level
5,2 persen. Menurutnya revisi kali kedua ini adalah hal biasa. Sebab,
International Monetary Fund (IMF) bahkan juga cukup sering merevisi pertumbuhan
ekonomi global pada tahun ini. "Wajar kalau kami revisi lagi. Kami cari
yang paling realistis," kata Bambang.
Dijelaskan Bambang, pertumbuhan ekonomi harus direvisi lagi
karena kemungkinan besar serapan belanja modal pemerintah hingga akhir tahun di
kisaran 87-90 persen. Itu sudah dengan berbagai upaya percepatan yang
dilakukan. “Dari sisi pemerintah, belanja modal yang paling berpengaruh
mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Bambang.
Daya serap APBN tidak bisa maksimal, lanjut dia, karena ini
adalah tahun pertama pemerintahan Joko Widodo sehingga membutuhan perubahan
APBN yang telah ditetapkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Banyak perubahan program dan membutuhkan waktu menyiapkan
daftar isian pelaksanaan anggaran. "Kemudian juga karena adanya perubahan
nomenklatur di kementerian teknis seperti Pekerjaan Umum," kata Bambang.
Selain itu, belum membaiknya harga komoditas juga menjadi
alasan penting lain mengapa pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi. Sebab,
anjloknya harga komoditas membuat Indonesia tidak bisa mengandalkan ekspor
untuk menggenjot pertumbuhan.
Menurut kalangan pengamat pertumbuhan ekonomi dalam negeri
memang akan melemah. Bahkan
Ekonom Senior Standard Chartered Eric Sugandi bahkan
memprediksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun hanya mencapai 4,9 persen.
"Awalnya kita sudah mulai dari 4,7 persen. Jadi berat kalau mau di atas
lima persen," jelas Eric.
Dia menambahkan, sebenarnya bisa saja mencapai lima persen
tapi berat bila sampai 5,4 persen atau di atasnya. Ia mengakui, pada kuartal
kedua ini pertumbuhan memang agak membaik, tapi masih berat untuk sampai ke
lima persen. "Anggap kuartal kedua kita tumbuh 4,9 atau 4,8 persen, agar
sampai ke lima persen kan kita perlu tingkatkan di kuartal berikutnya. Nah bisa
nggak?" kata dia.
Eric menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus
menurun. Pada 2010 mencapai 6,4 persen, 2011 turun menjadi 6,2 persen, lalu
2012 menjadi 6 persen. Selanjutnya 2013 tumbuh 5,6 persen, kemudian turun
menjadi 5 persen pada 2014.
Menurutnya, ada empat faktor penyebab turunnya pertumbuhan
ekonomi. Pertama lemahnya harga komoditas, kedua pelemahan nilai tukar rupiah
terhadap dolar, ketiga stabilitas politik, dan terakhir lambatnya belanja
modal.
Akan tetapi menunjuk kondisi global sebagai biang keladi
melemahnya perekonomian tidak benar seratus persen. Direktur Institute for
Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan
buruknya kualitas perekonomian bangsa tidak serta merta dapat kesalahan dari
ekonomi global. Menurut dia, pemerintah seharusnya sudah mengetahui hal ini dan
dapat mengantisipasinya.
"Pertumbuhan ekonomi kita semakin merosot. oke keadaan
global wajar penurunan ekonomi tetapi kualitas pertumbuhan menurun ini juga
yang sangat mengecewakan dan harus menjadi perhatian khusus," tutur Enny.
Menurutnya, banyak indikator yang menujukan kualitas
perekonomian nasional memburuk. Seperti tidak sesuainya target pemerintah dan
realisasinya. Presiden Joko Widodo sejak awal ingin berfokus untuk menumbuhkan
sektor produksi, namun kenyataannya, sambung dia, justru sektor jasa yang
semakin tinggi. Padahal, sektor produksilah yang jauh lebih banyak menyerap tenaga
kerja.
"Padahal sektor-sektor tersebut relatif kedap dalam
menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja formal. Struktur kontribusi lebih
ke jasa, Jokowi lebih kepada penciptaan barang. Tapi justru sektor riil makin
drop, yang tumbuh sektor jasa," ujar Enny.
Menurutnya buruknya kualitas pertumbuhan ekonomi itu
merupakan salah satu dari 10 indikator perekonomian yang berada dalam lampu
kuning. Oleh karena itu Jokowi diminta untuk cepat-cepat mengevaluasi
menteri-menteri di bidang ekonomi.
"Publik ingin evaluasi, apakah evaluasi berujung reshuffle itu kewenangan presiden. Dalam
kinerja ekonomi sampai triwulan I bukan sekedar penurunan ekonomi. Kabinet ini
evaluasi tidak bisa per menteri karena hasil kerja ekonomi tidak semata-mata
tim ekonomi," kata Enny lagi.
Pada tahun 2009, perekonomian nasional masih tumbuh baik
meski sempat terkena imbas resesi global. Di saat puncak resesi dunia pada
2009, Indonesia tercatat menjadi salah satu negara yang membukukan pertumbuhan
ekonomi positif, hanya kalah dari China dan India. Ekonomi Indonesia tumbuh
4,50 persen pada tahun itu. Dalam lima tahun terakhir, perekonomian nasional
rata-rata tumbuh 5,97 persen per tahun. Jika tidak memperhitungan input dari
minyak dan gas, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 6,42 persen pertahun.
Revisi Ramai-Ramai
Perubahan target pertumbuhan tidak hanya dilakukan
pemerintah, malah lembaga-lembaga lain sudah banyak yang menyarankan kepada
pemerintah agar merevisi targetnya. Awal Juni Bank Dunia mengumumkan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya akan mencapai 4,7 persen, sama
seperti pencapaian di kuartal pertama.
Pertumbuhan, menurut prediksi lembaga donor tersebut, baru
akan mencapai level 5 persen mu lai
akhir tahun depan. “Pertumbuhan ekonomi RI akan mulai naik menjadi 5,5 persen
pada 2016-2017. Pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh pemulihan investasi dan
ekspor yang kuat," demikian Laporan Bank Dunia.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Global, Bank Dunia menyatakan
pertumbuhan ekonomi global akan mengalami perlambatan, dengan pertumbuhan
ekonomi global hanya 2,8 persen di 2015.
Bank Dunia menyatakan, negara-negara berkembang menghadapi
serangkaian tantangan berat di 2015. Termasuk, adanya prospek biaya pinjaman
yang lebih tinggi dan harus beradaptasi dengan era baru minyak dan komoditas
penting lainnya yang lebih rendah.
"Semenjak krisis keuangan, negara berkembang adalah
mesin pertumbuhan dunia. Tetapi sekarang mereka menghadapi kondisi ekonomi yang
lebih sulit," kata Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim.
Ekonom senior Bank Dunia, Franziska Ohnsorge, mengatakan
perlambatan yang berlarut-larut berlangsung di banyak negara berkembang.
Disebabkan lemahnya bidang pertanian, listrik, transportasi, infrastruktur, dan
layanan ekonomi penting lainnya. "Reformasi struktural di semua bidang
semakin mendesak," dalam pengumuman yang sama.
Sebelumnya Bank Indonesia juga sudah menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai 5,4 persen, merevisi pernyataan
sebelumnya yang mengatakan 5,1 persen.
Agus DW Martowardojo, Gubernur BI mengatakan, meskipun lebih
rendah namun pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibanding tahun lalu.
Pertumbuhan terutama di kuartal berikutnya, kata dia, akan didorong oleh
konsumsi pemerintah dan investasi bangunan sejalan dengan pembangunan proyek
infrastruktur.
Selain itu pertumbuhan ekspor juga diperkirakan akan tumbuh
positif, meski memang akan tertahan karena lemahnya harga komoditas masih
berlanjut. Untuk kuartal III dan IV, lanjut Agus juga akan didukung oleh
keberlanjutan konsumsi dan investasi, realisasi fiskal pemerintah, dan juga
relalisasi kredit perbankan. "Peningkatan penyaluran kredit masyarakat
diharapkan mampu mendorong konsumsi rumah tangga," kata Agus.
Bulan lalu, BI merevisi aturan persyaratan penyaluran kredit
konsumer di sektor perumahan dan kendaraan bermotor. Uang muka yang sebelumnya
dipersyaratkan sebesar 30 persen setiap pembelian rumah tertentu, kini angkanya
diturunkan lebih rendah.
Semua Merevisi Pertumbuhan 2015 (dalam persen)
Pemerintah 5,7 5,4 (Mei)
Pemerintah 5,4 5,2 (Juli)
Bank Indonesia 5,4 5,1
LPS 5,3 5,0
Bank Dunia 5,1 4,7