Minggu, 21 Februari 2016

Optimisme yang Mulai Meredup

Awal tahun, banyak optimisme yang muncul setelah setahun sebelumnya perekonomian berada dalam masa suram. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang hanya mencapai 4,7 persen dipercaya akan melejit kembali ke level 5 persen, bahkan 7 persen di tahun-tahun berikutnya. Setidaknya itulah optimisme Presiden Joko Widodo ketika kampanye dan di awal-awal memangku jabatan presiden.
Akan tetapi, belum sampai satu bulan optimisme itu tampaknya mulai meredup. Satu persatu berita tidak mengenakkan mengenai perekonomian Indonesia datang lagi. Dimulai ketika Ford, raksasa otomotif asal Amerika Serikat mengumumkan untuk menarik investasinya di Indonesia dengan menutup pabrik dan menghentikan penjualan langsung produk-produknya.
Parahnya lagi, perusahaan asing lain juga akan mengikuti langkah Ford. Sebut saja Sandoz Indonesia yang berencana menutup bisnisnya mulai Maret 2016 dan akan me-lay off  ratusan pegawainya, Chevron Indonesia yang kabarnya tengah mempertimbangkan mem-PHK 1.700 an orang.
Tak cuma itu dua ‘raksasa’ elektronik Jepang yakni Panasonic dan Toshiba juga telah mengumumkan menutup pabriknya di Indonesia awal tahun ini. Akibatnya akan ada gelombang pemutusan hubungan kerja sekitar 2.500 karyawan. Sampai penulis membuat catatan ini, beberapa perusahaan dikabarkan juga sudah bersiap-siap merumahkan karyawannya.
Dampak dari pemecatan ribuan karyawan itu tentu akan menambah barisan pengangguran di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang, bertambah 320 ribu orang dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kondisi itu memang tidak bisa dibilang remeh. Apalagi di tengah risiko eksternal ketika The Federal Reserve tengah melakukan pengetatan dan harga minyak bumi dunia yang terus terjerembab. Jika risiko-risiko itu muncul di tengah sinyal kesuraman ekonomi nasional maka yang muncul adalah kerentanan ekonomi kita makin memuncak, apalagi ketika ada pembalikan arus modal. Dan rute ke arah itu bukanlah perkiraan kosong belaka. Belum lagi ditambah dengan kondisi defisit transaksi berjalan yang masih terbilang besar dan kecenderungan peningkatan utang luar negeri.
Berdasarkan laporan dari Institute of International Finance, arus keluar modal bersih dari pasar negara berkembang sepanjang tahun 2015 bahkan lebih besar dari yang diperkirakan oleh lemabag itu sebelumnya. Asosiasi lembaga keuangan global itu memperkirakan jumlah arus keluar modal bersih (termasuk arus masuk yang tidak tercatat ditangkap oleh kesalahan bersih dan kelalaian) mencapai 735 miliar dollar AS, naik dari arus keluar berjumlah  111 miliar dollar AS pada 2014.
Seperti diketahui, perekonomian kita paling takut dengan kemungkinan atau kejadian hengkangnya modal-modal asing secara bersamaan. Kita memiliki pengalaman traumatik dengan hal itu seperti yang terjadi di tahun 1998 yang tak mungkin bisa dilupakan.

Akan tetapi tampaknya, pemerintah tetap bersikap optimistis seperti biasanya, seperti seharusnya. Dan bagi kita, masyarakat, yang bisa dilakukan hanya berharap. Mudah-mudahan ini seperti film happy ending, yang pada awalnya penonton disuguhkan kisah kesedihan dan duka namun di akhir cerita, semuanya berbahagia.

Transmisi Lamban Bunga Acuan

Struktur pasar akan menghambat transmisi penurunan BI Rate kepada penurunan bunga kredit, di samping secara historis bank juga lama merespons penurunan itu dengan pemangkasan bunga kredit. Meski begitu, sudah ada beberapa bank yang berjanji akan secepatnya menurunkan bunga kredit.

Setelah hampir berulang tahun di level yang sama, akhirnya suku bunga acuan dikerek juga oleh Bank Indonesia. Meskipun momen penurunan BI Rate berbarengan dengan tragedi Bom Sarinah, yang membuat gaungnya kalah santer dengan aksi teroris itu, namun banyak pihak optimistis bahwa kebijakan itu akan bertahan lebih lama ketimbang peristiwa bom.
Langkah penurunan bunga acuan memang sudah beberapa bulan belakangan dinantikan publik, terutama setelah Bank Sentral AS menurunkan Fed Fund Rate Desember lalu yang membuat ruang pelonggaran moneter makin terbuka. Bahkan sejak pertengahan tahun lalu, pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sudah berulang kali mendesak BI untuk segera menurunkan bunga agar pelaku ekonomi lebih leluasa bergerak. Namun otoritas moneter nampaknya baru mewujudkan keinginan pemerintah bulan lalu setelah semuanya dianggap aman, malahan BI akan melanjutkan pelonggaran moneter ini.
“Pelonggaran lebih lanjut akan dilakukan setelah dilakukan asesmen menyeluruh terhadap perekonomian domestik dan global dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” kata Tirta Segara, juru bicara BI dalam keterangannya.
Akan tetapi yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kebijakan penurunan bunga acuan ini bisa membuat bank-bank segera menurunkan bunga kredit, seperti yang diinginkan pelaku usaha. Untuk menjawabnya memang tidak mudah, apalagi ketika melihat kebiasaan bank-bank di Indonesia yang tidak lantas menurunkan bunga kreditnya, tidak seperti pada bunga simpanan, meski BI sudah menurunkan bunga acuan. Data historis membuktikan bahwa penurunan BI Rate seringkali tidak direspons bank sesuai harapan khalayak ramai.
Saat BI Rate turun, kebanyakan bank justru menahan suku bunga kreditnya atau turun sedikit dengan tetap menjaga rentang spread suku bunganya (selisih suku bunga kredit dengan suku bunga deposito). Pada tahun 2009 misalnya. Meski BI Rate telah dipangkas hingga 275 basis poin sepanjang tahun itu, suku bunga kredit perbankan hanya turun tipis. Rata-rata suku bunga kredit secara agregat, yakni rata-rata suku bunga kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi, hanya mampu turun 85 basis poin saja. Penurunan tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan penurunan BI Rate dan suku bunga deposito 1 bulan.
Struktur pasar kredit yang cenderung terkonsentrasi juga berdampak pada keengganan bank menurunkan suku bunga kreditnya. Sekitar 63,17 persen kredit mengalir dari 10 bank terbesar di Indonesia. Hal itu bisa jadi menjadi faktor yang menyebabkan pemangkasan BI Rate tidak diikuti oleh turunnya suku bunga kredit. Bahkan spread cenderung makin lebar saat BI Rate turun. Mengacu pada data historis, pada periode 2006-2007 misalnya. Saat BI Rate terus turun dari posisi 12,75 persen ke 8,25 persen, spread rata-rata suku bunga rupiah naik dari 4,63 persen hingga 6,93 persen. Dan pada 2009-2010, saat BI Rate terpaku pada angka 6,50 persen selama 18 bulan, spread suku bunga rupiah pun sempat naik dari 6,60 persen hingga 7,63 persen, untuk kemudian turun perlahan-lahan. Pada 2011, spread cenderung konstan mengikuti pergerakan BI Rate. Hal yang berbeda terjadi pada spread rata-rata suku bunga dollar AS saat itu, yang cenderung fluktuatif.

Respons Berbeda
Hal itu menemui kenyataan ketika bank-bank nampaknya enggan untuk menurunkan suku bunga kredit atau kalaupun diturunkan paling cepat tiga bulan ke depan. Seperti yang direncanakan oleh Bank Mandiri. Bank dengan aset tergemuk ini mengatakan belum akan langsung menurunkan bunga kredit dalam waktu dekat, meskipun BI Rate sudah turun 25 basis poin menjadi 7,25 persen. “‎Kita mungkin baru akan menyesuaikan pada kuartal II," kata Direktur Finance & Strategy Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo.
Keputusan soal bunga kredit, kata dia, harus mempertimbangkan kondisi likuiditas dan deposito terlebih dahulu. Pada kuartal pertama, di Mandiri, kecenderungan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) masih lambat. “‎Kalau pertumbuhan deposito masih lambat, itu sulit bagi kita untuk menurunkan bunga kredit," kata Kartika.
Salah satu faktor yang bisa menopang pertumbuhan deposito bank saat ini adalah realisasi proyek-proyek besar yang digaungkan pemerintah sejak tahun lalu.
“Kita berharap smoga percepatan pelaksanaan proyek-proyek ini bisa lebih cepat sehingga nanti pertumbuhan DPK membaik dan depositnya juga, bunga bisa turun kredit bisa disesuaikan. Tapi biasanya ada timeline sekitar 3-6 bulanan," kata dia.
Dalam memutuskan untuk menurunkan bunga kredit, bank tidak hanya mempertimbangkan bunga acuan sebagai satu-satunya faktor penentu. Akan tetapi hal itu memang akan menekan biaya dana (cost of fund) dan biaya dana yang siap dipinjamkan (cost of loanable fund/COLF) bank.
Biaya dana didapat dengan menjumlahkan seluruh biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penghimpunan dana (funding) dibagi dengan total dana yang dihimpun bank pada tahun yang sama. Karena bunga untuk funding biasanya akan cepat menyesuaikan begitu ada perubahan BI Rate maka biaya dana otomatis juga akan turun.
Sementara itu, perhitungan COLF adalah dengan memasukkan biaya penempatan dana pada giro wajib minimum di BI pada angka cost of fund. Setelah tahu angka biaya dana yang siap dipinjamkan maka bank akan menambahkan dengan biaya-biaya atau angka lainnya untuk kemudian menjadi suku bunga dasar kredit. Di antaranya adalah profit margin, pajak atas profit margin, cadangan, dan biaya overhead dan tenaga kerja.
Saat ini, sebagai imbas dari tahun lalu, bank tampaknya masih mengeluarkan biaya yang cukup signifikan dalam persaingan mendapatkan likuiditas. Bahkan karena masih ketatnya likuiditas bank juga tidak akan lantas menurunkan suku bunga depositonya.
Seperti yang diutarakan oleh pejabat Bank BRI. Menurut Direktur Keuangan BRI, Haru Koesmahargyo, saat ini bukan waktu yang tepat untuk menurunkan suku bunga. Khususnya, bunga simpanan. Pasalnya tahun ini, kondisi likuiditas pasar masih relatif ketat. Sehingga perbankan masih akan bersaing dalam memperebutkan dana.).
Begitu juga yang diungkapkan oleh Citibank Indonesia. Penurunan BI Rate tidak lantas membuat bank asal AS itu ikut memangkas suku bunganya. “Kami masih melihat kondisi pasar, karena masih banyak kejadian yang mempengaruhi ekonomi,” kata Batara Sianturi, CEO Citi Indonesia.
Meski demikian, banyak pula bank-bank yang merespons penurunan bunga acuan dengan rencana penurunan bunga kredit. Bank BNI dan Bank BTN adalah beberapa di antaranya.
Bahkan BNI sudah ancang-ancang akan mendongkrak penyaluran kreditnya karena didorong oleh penurun bunga kredit. "Yang pasti kemarin BI Rate turun. Kita sudah putuskan suku bunga dana kita juga akan turun. Turunnya sekitar 25 basis poin. Kemudian  akan diikuti juga dengan penurunan suku bunga kredit ritel," kata Direktur Utama BNI Achmad Baiquni.
Berdasarkan laman resmi BNI, suku bunga tabungan (Taplus) BNI untuk simpanan Rp 1 – 50 juta sebesar satu persen per tahun. Sementara bunga deposito untuk simpanan di bawah Rp 100 juta sebesar 4,25 persen. Untuk bunga kredit, BNI mematok Kredit Pemilikan Rumah (KPR) atau BNI Griya sebesar 13,5 persen per tahun efektif.
Menurut Baiquni, penurunan suku bunga akan berdampak pada naiknya penyaluran kredit. Artinya, penyerapan kredit tahun ini diperkirakan lebih cepat dibandingkan tahun lalu. Karena itu, pada tahun ini, BNI menargetkan pertumbuhan kredit sebesar 18 persen, atau lebih tinggi dibandingkan 2015 yang sekitar 17 persen.
Sementara itu, Maryono, Direktur Utama BTN mengatakan, pihaknya bakal segera merespons keputusan penurunan BI Rate dengan penurunan bunga di banknya. Menurutnya, langkah BI menurunkan BI rate sebagai aksi yang tepat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
“BTN akan menurunkan bunga simpanan antara 0,5-1 persen pada bulan depan,” kata Maryono. Langkah penurunan bunga simpanan ini juga akan serta merta memangkas suku bunga kredit, meski dia belum dapat menyampaikan akan berapa besar penurunan bunga kredit yang akan dilakukan.



Pekerja Indonesia dalam Bahaya

Sumber daya manusia Indonesia dinilai belum siap menghadapi para pesaingnya dari negara-negara ASEAN. Bahkan dalam sebuah survei Internasional, daya saing pekerja Indonesia masih tertinggal.

Gong pasar bebas kawasan Asia Tenggara sudah dibunyikan. Inilah pertamakalinya, kita merasakan bagaimana negara kita boleh dimasuki oleh orang, barang dan investasi dari negara lain dengan bebas, berdasarkan sebuah aturan atau kesepakatan Internasional. Mungkin yang paling terasa dari kesepakatan yang sudah ditandantangani sejak 2007 itu adalah dibebaskannya arus jasa yang berarti juga arus tenaga kerja dari dan ke negara-negara ASEAN. Dengan jumlah penduduk dan wilayah terbesar di kawasan, Indonesia tentu menghadapi tantangan yang berat meski juga mendapatkan peluang yang lebih besar ketimbang negara lain.
Berdasarkan kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), mulai awal tahun ini, ada delapan profesi yang dibebaskan untuk hilir mudik di wilayah ini. Mereka adalah insinyur, arsitek, tenaga pariwisata, akuntan, dokter gigi, tenaga Survei, praktisi medis, dan perawat.
Lalu apakah gong pasar bebas itu juga merupakan sirene tanda bahaya bahwa pasar tenaga kerja Indonesia jebol dan akan dikuasai oleh pekerja-pekerja dari ASEAN? Jika kita tanya kepada Menteri Tenaga Kerja, M. Hanif Dakhiri tentu jawabannya adalah tidak. Persaingan dalam era MEA, kata Menaker, bukan lagi persoalan membendung atau mengendalikan tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia, tapi mendorong agar pekerja Indonesia berdaya saing tinggi dan mampu bersaing dengan pekerja asing. “MEA urusannya dengan daya saing. Bukan urusannya dengan bendung-membendung pekerja antar negara ASEAN. Kalo bendung-membendung lalu apa gunanya MEA?,“ kata Hanif.
Menurut Hanif, ada asumsi yang salah soal MEA dan perlu diluruskan, terutama terkait isu bakal maraknya tenaga kerja asing yang masuk Indonesia setelah berlakunya MEA. Pemberlakuan MEA jangan diibaratkan sebagai bendungan yang jebol dan akan mengakibatkan masuknya TKA secara besar-besaran.
"Banyak yang berpikir MEA itu seperti bendungan dijebol, sehingga ada dua kelompok pekerja (luar dan dalam negeri) yang saling berhadapan. Masyarakat jangan khawatir, karena asing yang masuk harus mempunyai kompetensi yang sesuai dengan jabatan yang ditawarkan. Justru saya malah khawatir banyak tenaga profesional kita yang bekerja di luar negeri karena tingkat kesejahteraannya lebih tinggi," kata Hanif.
Apa yang diutarakan oleh Menteri Hanif memang benar. Berdasarkan aturan pasar bebas kawasan, pekerja-pekerja yang boleh melintas batas adalah mereka-mereka yang memiliki kemampuan mumpuni (skilled labour), dan juga telah tersertifikasi.
Dalam aturan MEA disebutkan bahwa setiap warga negara anggota ASEAN yang memiliki keterampilan di bidang tertentu dimana suatu negara memberikan komitmen, dapat keluar dan masuk dari satu negara ke negara lain untuk mendapatkan pekerjaan. Tanpa adanya hambatan di negara yang dituju, mereka bisa bekerja dalam bidang perdagangan barang, jasa dan investasi sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara penerima.
Tenaga kerja dalam MEA memang hanya ditujukan khusus kepada skilled labour. Mengingat tenaga kerja kurang terampil sangat sensitif, maka pembahasan mengenai tenaga kerja kurang terampil (unskilled labour) tidak menjadi bagian dalam AEC 2015. Secara umum skilled labour dapat diartikan sebagai pekerja yang mempunyai keterampilan atau keahlian khusus, pengetahuan, atau kemampuan di bidangnya, yang bisa berasal dari lulusan perguruan tinggi, akademisi atau sekolah teknik ataupun dari pengalaman kerja yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi atau ijazah.

Daya saing SDM            
Akan tetapi, Menteri Hanif mungkin belum mengetahui bahwa daya saing pekerja Indonesia tidak setara dengan jumlah penduduknya dan luas wilayahnya. Saat ini, daya saing tenaga kerja terampil Indonesia masih jauh tertinggal di bawah negara-negara ASEAN. Berdasarkan penelitian dari lembaga riset global, dari 1.000 tenaga kerja Indonesia, SDM yang terampil hanya 4,3 persen sedangkan rasio Filipina 8,3 persen dan Malaysia 32 persen. Singapura dan Thailand memiliki rasio yang lebih besar lagi.          
Sementara itu, dalam laporan dari Institute of Management Development (IMD) yang merupakan lembaga pendidikan bisnis terkemuka di Swiss, yang berjudul IMD World Talent Report 2015 terlihat bahwa profesional Indonesia masih relatif kalah bersaing dengan negara-negara di Kawasan ASEAN. Laporan IMD itu berdasarkan penelitian berbasis survei yang menghasilkan peringkat tenaga berbakat dan terampil di dunia tahun pada tahun 2015. Tujuan dari diadakannya pemeringkatan oleh IMD adalah untuk menilai sejauh mana negara tersebut menarik dan mampu mempertahankan tenaga berbakat dan terampil yang tersedia di negaranya untuk ikut berpartisipasi dalam perekonomian di suatu negara.
Indonesia, yang merupakan salah satu dari 61 negara di dunia yang di survei, berada pada peringkat ke-41. Posisi itu turun 16 peringkat karena pada 2014, Indonesia berada pada peringkat ke-25. Posisi Indonesia berada jauh di bawah posisi negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, bahkan Thailand. Posisi Indonesia juga hanya sedikit lebih baik dari Filipina.
Pemeringkatan ini dihitung dengan bobot tertentu dengan mempertimbangkan tiga faktor yaitu faktor pengembangan dan investasi, faktor daya tarik suatu negara, dan faktor kesiapan sumber daya manusia. Masing masing faktor terbagi lagi ke dalam beberapa rincian lainnya.
Pada dua faktor pertama, Indonesia mempunyai peringkat yang relatif sama dengan tahun sebelumnya. Akan tetapi untuk faktor ketiga yaitu kesiapan sumber daya manusia merupakan hal yang paling dominan menyumbang angka penurunan peringkat tenaga terampil Indonesia di tahun 2015. Pada tahun 2014, Indonesia masih menduduki peringkat ke-19 untuk faktor ini. Di tahun 2015, peringkat kesiapan tenaga kerja Indonesia terjerembab ke peringkat 42.
Faktor kesiapan tenaga kerja Indonesia juga dianggap masih kurang bersaing dari negara lain di tahun 2015. Untuk faktor ini, Indonesia hanya unggul dalam pertumbuhan angkatan kerja saja dimana Indonesia menduduki peringkat kelima. Indikator lainnya seperti pengalaman internasional, kompetensi senior manajer, sistem pendidikan, pendidikan manajerial, dan pada keterampilan bahasa berada pada peringkat di atas 30. Bahkan untuk keterampilan keuangan, Indonesia berada pada peringkat ke-44.
Oleh karena itu, pengamat ekonomi Universitas Airlangga Kresnayana Yahya berani menyimpulkan bahwa sebagian besar pekerja jasa di Indonesia belum siap menghadapi MEA. “Di Indonesia sendiri, kerja jasa itu masih belum populer. Dalam arti penghargaannya, bukan hanya uang tapi pengakuannya juga belum sebesar itu," kata Kresnayana.
"Di Singapura dan Malaysia pariwisata itu contohnya sudah jadi main source of income (pemasukan utama). Indonesia masih sangat kecil. Karena itu, profesional dalam bidang ini juga masih sangat terbatas," jelas Kresnayana.*


Mereka yang akan bersaing:

1. Insinyur
Ini berlaku untuk semua insinyur, yang kalau di Indonesia memakai gelar ST alias sarjana teknik. Para insinyur bergabung dalam organisasi profesi yang disebut Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Saat ini ada 14 jenis profesi insinyur di Indonesia, mulai dari insinyur mesin, geodesi, teknik fisika, teknik sipil, dan teknik kimia.

2. Arsitek
Arsitek adalah mereka yang ahli arsitektur, yaitu ahli rancang bangun atau ahli lingkungan binaan.
Lingkup pekerjaan arsitekur sangat luas dan meliputi interior, lingkup bangunan, lingkup kompleks bangunan, sampai dengan lingkup kota, dan regional.
Posisinya yang strategis bahkan bisa membuat sebuah pembangunan dihentikan karena tidak sesuai dengan persyaratan yang sudah disepakati.

3. Tenaga pariwisata
Tenaga pariwisata merupakan profesi yang sangat dibutuhkan di Indonesia karena potensi objek pariwisata Indonesia yang cukup banyak.
Pada dasarnya, jenis tenaga kerja pariwisata cukup banyak karena banyaknya profesi yang berhubungan dengan sektor yang satu ini. Beberapa contoh di antaranya adalah bidang maskapai penerbangan yang mencakup agen tiket, pilot, pramugari, katering, dan lain-lain. Bisa juga bidang perhotelan, di mana yang terlibat adalah manager hotel, room service staff, controller, dan lain-lain.

4. Akuntan
Akuntan adalah mereka yang ahli di bidang akuntansi. Profesi akuntan dibedakan atas beberapa macam, di antaranya adalah akuntan publik, akuntan intern, akuntan pemerintah, dan akuntan pendidikan. Tugas masing-masing akuntan juga berbeda-beda. Ada yang mengurus akuntansi keuangan (financial), akutansi biaya (cost), bahkan akuntasi pajak (tax).

5. Dokter gigi
Dokter gigi bertugas untuk melakukan pencegahan kerusakan dan penyakit pada gigi dan mulut. Saat ini yang mengambil profesi dokter gigi di Indonesia masih sedikit, sehingga banyak peluang kerja untuk profesi yang satu ini.

6. Tenaga survei
Tenaga survei yang dimaksud di sini adalah mereka yang ahli dalam bidang pengukuran bumi, dalam hal ini pengukuran tanah ataupun darat. Jadi bukan tenaga survei untuk pemilu atau badan survei yang selama ini sering kamu dengar.
Umumnya, tenaga survei atau surveyor berasal dari sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu pengukuran bumi, di antaranya adalah lulusan Teknik Geodesi dan Geomatika dari universitas atau lulusan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (BPN), dan institusi lain yang bergerak dalam kerekayasaan konstruksi. Hingga saat ini kebutuhan untuk tenaga survei masih sangat tinggi di Indonesia.

7. Praktisi medis                   
Dengan masuknya praktisi medis dalam daftar profesi yang boleh wara-wiri di ASEAN, maka jangan heran bila kamu bertemu dokter asing di sebuah rumah sakit yang kamu kunjungi.

8. Perawat
Selain dokter dan dokter gigi, perawat juga memiliki kesempatan kerja di seluruh negara ASEAN bila mereka memiliki kompetensi yang meyakinkan plus jam terbang yang lumayan tinggi.