Penurunan suku bunga acuan dan setoran wajib moneter oleh
Bank Indonesia dinilai akan membuat risiko likuiditas sedikit termitigasi.
Meski begitu, bank tidak lantas harus jor-joran mendongkrak pertumbuhan pinjaman.
Perjalanan perekonomian kita pada 2015 memang berat karena
di sepanjang jalan banyak sekali aral melintang dan diperparah dengan mesin
mobil ekonomi yang masih lemah. Perlambatan ekonomi tahun lalu pun tak bisa
dielakkan dan berdampak pada perbankan dengan meningkatnya kredit bermasalah.
Untuk menyelamatkan performanya, bank harus menyisihkan
dananya sebagai pencadangan kredit karena jika tidak maka angka kredit macetnya
akan melonjak. Akan tetapi pilihan tindakan itu harus dibayar dengan
berkurangnya laba perusahaan.
Sejatinya, potensi kenaikan non performing loan (NPL) perbankan sudah terlihat sejak kuartal
kedua tahun lalu, persis setelah pelemahan pertumbuhan ekonomi kuartal pertama
baru saja diumumkan. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan, pada April 2015,
pertumbuhan NPL nominal naik menjadi 33,8 persen dari 12,2 persen pada periode
sama 2014. Artinya, jumlah nominal kredit yang termasuk kategori bermasalah,
angkanya naik signifikan. Sementara untuk rasio NPL sepanjang 2015, LPS
memperkirakan angkanya akan mencapai 2,7 persen.
“Angka 2,7 persen tersebut perlu mendapat perhatian lebih
karena ada kencenderungan nilai NPL meningkat dua kali lipat dalam rentang
tahun 2013-2015. Selain itu, yang perlu diwaspadai juga adalah melambatnya dana
pihak ketiga (DPK),” kata Dewan Komisioner LPS, Destry Damayanti.
Kondisi tersebut jelas merupakan
alarm bagi munculnya risiko likuiditas. Pasalnya, menurut aturan bank wajib
menyisihkan dana untuk meng-cover
kredit macet itu dalam bentuk PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif)
yang pada 2006 istilah itu diubah menjadi CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan
Nilai Aset Keuangan).
Berdasarkan data Otoritas Jasa
Keuangan sepanjang pada Desember 2015, jumlah CKPN melonjak hampir 30 persen
dibanding setahun sebelumnya. Dari Rp 90,454 triliun menjadi Rp116,54 triliun.
“Jika keadaan tersebut terjadi, likuiditas akan semakin
ketat yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan padahal bank harus mengelurakan
kredit lebih cepat. Akibatnya bank sulit menurunkan suku bunga,” jelas Destry.
Akan tetapi, melonjaknya pencadangan juga bukan satu-satunya
ancaman bagi likuiditas perbankan. Tahun lalu likuiditas bank juga tergerus
karena penarikan dana yang cukup besar dari nasabah untuk membayar pajak dan
keperluan lain di akhir tahun.
Hal itu diakui oleh Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi
Sadikin yang mengatakan, pada akhir tahun lalu perseroan mengalami pengetatan
likuiditas akibat dana simpanan ditarik oleh nasabah untuk membayar pajak.
Tanda-tanda risiko likuiditas sudah mulai tercium menjelang
tutup tahun 2015 ketika, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, rasio
pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) perbankan nasional
mencapai 90,48 persen.
Menepis Ancaman
Tampaknya Bank Indonesia sudah bisa membaca gelagat akan
mengetatnya likuiditas perbankan tahun ini. Oleh karena itu bukanlah kebetulan
jika BI memutuskan untuk menurunkan kembali bunga acuan pada Rapat Dewan
Gubernur pada Februari, kedua kali secara berturut-turut pada tahun ini. Tidak
cuma menurunkan BI Rate, bank sentral juga menurunkan rasio giro wajib minimum
bank-bank sebesar 1 persen menjadi 6,5 persen.
BI memang memaksudkan kebijakan itu untuk mendorong
tersedianya likuiditas mengingat pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada
Desember 2015 tercatat sebesar 7,3 persen (setahunan), lebih rendah dari
pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 7,7 persen (setahunan).
Oleh karena Dua langkah itu dipercaya akan menambah pasokan
likuiditas yang beredar di pasar keuangan. Jika keputusan penurunan BI Rate
harus menunggu transmisi kepada penurunan suku bunga yang akan meningkatkan
penyaluran kredit, maka penurunan GWM akan segera menambah likuiditas. BI
berani memperkirakan bahwa kebijakan itu akan memberikan dampak positif
terhadap perbankan karena akan ada peningkatan likuiditas sampai dengan Rp 34
triliun.
"GWM akan membuat likuiditas meningkat Rp 34 triliun.
Tentu bagi bank, ini akan menjadi peluang untuk lebih efektifikan penyaluran
dana kredit ke depannya," kata Gubernur BI Agus Martowardojo dalam
konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) Februari lalu.
Agus juga menambahkan, jika tanpa penurunan GWM, kredit
perbankan diperkirakan naik menjadi 12,5 persen tahun ini dari posisi sekarang
10,5 persen. Maka dengan penurunan ini, maka perkiraan kredit perbankan dapat
mencapai level 14 persen.
Dalam pengumuman resminya pasca penurunan BI Rate, otoritas
mengatakan akan menjaga kondisi likuiditas dalam perekonomian agar cukup untuk
mendukung penyaluran kredit lebih lanjut. Dan, untuk mendukung transmisi
penurunan suku bunga kebijakan, struktur suku bunga operasi moneter (term structure) juga diturunkan sesuai
dengan kondisi likuiditas di masing-masing tenor.
Sementara itu dana-dana asing yang mulai masuk lagi juga
akan memompa likuiditas di dalam negeri. Dana-dana asing itu sudah menguatkan nilai
tukar rupiah dalam beberapa bulan belakangan ini. Selama triwulan keempat tahun
lalu, menurut data BI, rupiah menguat sebesar 6,27 persen secara point to point (ptp) dan mencapai level
Rp 13.785 per dollar AS. Penguatan terus berlanjut hingga Januari 2016. Rupiah
berhasil menguat 0,1 persen (ptp) dan ditutup di level Rp.13.775 per dollar AS
pada akhir Januari.
“Tren apresiasi rupiah ditopang oleh meningkatnya aliran
masuk modal asing, terutama ke pasar surat berharga negara. Hal itu didorong
oleh persepsi positif investor terhadap arah perekonomian Indonesia, seiring
dengan penurunan BI Rate, paket kebijakan Pemerintah untuk memperbaiki iklim
investasi, serta semakin efektifnya implementasi berbagai proyek
infrastruktur,” kata Tirta Segara, Juru Bicara BI.
Pengamat mengakui bahwa apa yang dilakukan bank sentral
memang untuk meratakan jalan bisnis perbankan tahun ini. Bank, tahun ini,
didorong untuk meningkatkan penyaluran kredit yang pada tahun lalu nyaris hanya
satu digit. Pelemahan ekonomi yang dianggap berlalu ditambah dengan potensi
maraknya proyek-proyek besar dari pemerintah seharusnya bisa membuat bank
bergerak menyalurkan dana lebih besar lagi.
Oleh karena itu, menurunkan suku bunga menjadi ‘perintah tak
tertulis’ BI kepada perbankan untuk mendongkrak pinjaman. “Bank tidak perlu
lagi khawatir akan ancaman risiko likuiditas dengan adanya kebijakan penurunan
BI Rate dan penurunan GWM,” kata Gayatri Rawit Angreni, pakar manajemen risiko.
Meski begitu ancaman likuiditas, kata mantan Direktur BRI
itu, tidak lantas sirna begitu saja. Apalagi jika bank membaca tanda BI itu
sebagai isyarat untuk jor-joran kredit sehingga tumbuh dua kali lipat dibanding
2015. “Kalau kemudian kredit melesat jadi 20 persen, ya masih ada ancaman
risiko likuiditas. Apalagi kalau kredit konsumtif yang tumbuh. Ibaratnya
pertumbuhannya sebagian besar hanya untuk menambal pengurangan plafon yang
terus menurun,” kata Gayatri.
Idealnya menurut dia, kredit tahun ini tumbuh sebesar 12
persen.
Laba Tertekan
Menyisihkan sebagian dana sebagai strategi untuk meng-cover kredit macet sudah barang tentu
akan mengurangi laba bank. Tidak mengherankan jika langkah itu pada akhirnya
membuat pertumbuhan laba perbankan menjadi berkurang bahkan mandeg.
Salah satu bank yang merasakan dampaknya adalah Bank BNI. Bank
berlogo 46 ini mencatat penurunan laba dengan membukukan laba bersih sebesar Rp
9,1 triliun di sepanjang 2015, turun 15,9 persen dibanding tahun sebelumnya.
Sang Direktur Utama sendiri mengakui bahwa, perolehan laba
bersih menyusut karena cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) meningkat 101,4
persen menjadi Rp 7,3 triliun.
Kenaikan dana cadangan ini imbas dari kenaikan rasio kredit
bermasalah. "BNI meningkatkan CKPN hingga coverage ratio naik ke 140,4 persen dari 130,1 persen di tahun lalu.
Namun, laba sebelum pencadangan naik 10,4 persen menjadi Rp 18,7 triliun,"
ujar Ahmad Baiquni.
Sementara itu, Bank Mandiri mencatat laba bersih tahun 2015
sebesar Rp 20 triliun, berdasarkan laporan keuangan yang belum diaudit (anaudited) yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Perolehan tersebut relatif tidak bergerak dibandingkan laba
tahun 2014 yang sebesar Rp 19,9 triliun.
Laba tersebut didorong oleh pendapatan bunga bersih yang
mencapai Rp 40,13 triliun.