Rabu, 16 Maret 2016

Perdagangan Bebas

Perdagangan bebas memang selalu menjadi momok bagi perekonomian negara berkembang, apalagi bagi Indonesia yang penduduknya banyak dan selalu menjadi pasar potensial atas produk apapun. Sebaliknya membiarkan pelaku usaha dalam negeri tanpa saingan akan menumbuhkan monopoli, seperti yang dirasakan sebelum krisis moneter.
Lalu apakah dengan memutuskan untuk segera bergabung dengan perjanjian-perjanjian internasional dalam hal perdagangan bebas, kita otomatis akan terhindar dari monopoli sekaligus tidak hanya menjadi penonton dalam persaingan bisnis global.
Melepaskan pengusaha-pengusaha kita menghadapi pesaing-pesaingnya yang sudah going global jelas bukan strategi jitu untuk menghadapi perdagangan bebas. Itu ibarat, lomba lari antara juara dunia dengan para pemula, atau antara anak-anak muda yang segar-bugar dengan orang tua yang sakit-sakitan. Analogi kedua memang agak keterlaluan. Namun demikianlah adanya.
Tim Harford, penulis buku The Undercover Economist memberikan solusi agar perlombaan berjalan adil yaitu dengan mengubah garis start. Untuk para profesional dalam perlombaan, garis itu diundurkan beberapa langkah.
Jika tujuan perdagangan bebas adalah untuk kesejahteraan bersama semua peserta, maka alangkah benarnya jika para pesertanya bisa mencapai kesejahteraan (atau minimal keuntungan darinya) dalam kurun waktu yang tidak terlampau berbeda.
Memang jika bertumpu pada pendapat David Ricardo, sang ekonom pengusung Teori Comparative Advantages, maka semua pihak akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan bebas. Akan tetapi pertanyaannya, apakah waktunya bersamaan dan apakah besaran keuntungannya relatif sama.
Jika waktunya terpaut apalagi cukup jauh maka negara-negara yang lebih lama mendapatkan keuntungan akan selalu tertinggal. Terutama di era sekarang ketika satu perjanjian akan ditimpa dengan perjanjian lain.
Jika besaran keuntungannya juga terpaut jauh maka negara-negara yang mendapatkan keuntungan lebih sedikit jelas akan makin kalah karena, dalam beberapa waktu ke depan, tentu negara penerima laba besar akan mengeluarkan aturan tambahan lagi. Tentunya agar keuntungannya tetap besar.
Lihat saja kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas yang ada selalu diperbarui, dan perbaruannya mau tidak mau akan selalu berpihak kepada negara yang sebelumnya sudah menang dan unggul.
Tulisan ini tidak sedang menolak perdagangan bebas, karena tidak diragukan lagi hal itu memang dibutuhkan. Namun seharusnya kita tidak cuma berpedoman pada perkiraan “kalau tidak dilakukan sekarang maka kapan kita bisa siap”. Atau menvonis orang Indonesia sebagai pihak yang tidak akan maju kalau tidak diberi pesaing atau sebagai orang yang harus dihadapkan pada persoalan dulu baru bangkit.
Memutuskan untuk menerima persaingan bebas tidak sesederhana itu. Karena ada yang dipertaruhkan. Mungkin pengangguran yang bertambah jutaan orang karena pemutusan hubungan kerja tidak akan berarti kalau nantinya ada peluang atau lowongan kerja lebih banyak dari itu. Akan tetapi empati negara tetap harus diberikan kepada orang-orang yang dipecat dari pekerjaannya dan kehilangan kesempatan menafkahi keluarganya meski itu hanya untuk sementara waktu.




Meratakan Jalan

Penurunan suku bunga acuan dan setoran wajib moneter oleh Bank Indonesia dinilai akan membuat risiko likuiditas sedikit termitigasi. Meski begitu, bank tidak lantas harus jor-joran mendongkrak pertumbuhan pinjaman.
                        
Perjalanan perekonomian kita pada 2015 memang berat karena di sepanjang jalan banyak sekali aral melintang dan diperparah dengan mesin mobil ekonomi yang masih lemah. Perlambatan ekonomi tahun lalu pun tak bisa dielakkan dan berdampak pada perbankan dengan meningkatnya kredit bermasalah.
Untuk menyelamatkan performanya, bank harus menyisihkan dananya sebagai pencadangan kredit karena jika tidak maka angka kredit macetnya akan melonjak. Akan tetapi pilihan tindakan itu harus dibayar dengan berkurangnya laba perusahaan.
Sejatinya, potensi kenaikan non performing loan (NPL) perbankan sudah terlihat sejak kuartal kedua tahun lalu, persis setelah pelemahan pertumbuhan ekonomi kuartal pertama baru saja diumumkan. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan, pada April 2015, pertumbuhan NPL nominal naik menjadi 33,8 persen dari 12,2 persen pada periode sama 2014. Artinya, jumlah nominal kredit yang termasuk kategori bermasalah, angkanya naik signifikan. Sementara untuk rasio NPL sepanjang 2015, LPS memperkirakan angkanya akan mencapai 2,7 persen.
“Angka 2,7 persen tersebut perlu mendapat perhatian lebih karena ada kencenderungan nilai NPL meningkat dua kali lipat dalam rentang tahun 2013-2015. Selain itu, yang perlu diwaspadai juga adalah melambatnya dana pihak ketiga (DPK),” kata Dewan Komisioner LPS, Destry Damayanti.
Kondisi tersebut jelas merupakan alarm bagi munculnya risiko likuiditas. Pasalnya, menurut aturan bank wajib menyisihkan dana untuk meng-cover kredit macet itu dalam bentuk PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif) yang pada 2006 istilah itu diubah menjadi CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Keuangan).
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan sepanjang pada Desember 2015, jumlah CKPN melonjak hampir 30 persen dibanding setahun sebelumnya. Dari Rp 90,454 triliun menjadi Rp116,54 triliun.
“Jika keadaan tersebut terjadi, likuiditas akan semakin ketat yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan padahal bank harus mengelurakan kredit lebih cepat. Akibatnya bank sulit menurunkan suku bunga,” jelas Destry.     
Akan tetapi, melonjaknya pencadangan juga bukan satu-satunya ancaman bagi likuiditas perbankan. Tahun lalu likuiditas bank juga tergerus karena penarikan dana yang cukup besar dari nasabah untuk membayar pajak dan keperluan lain di akhir tahun.
Hal itu diakui oleh Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin yang mengatakan, pada akhir tahun lalu perseroan mengalami pengetatan likuiditas akibat dana simpanan ditarik oleh nasabah untuk membayar pajak.
Tanda-tanda risiko likuiditas sudah mulai tercium menjelang tutup tahun 2015 ketika, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) perbankan nasional mencapai 90,48 persen.

Menepis Ancaman
Tampaknya Bank Indonesia sudah bisa membaca gelagat akan mengetatnya likuiditas perbankan tahun ini. Oleh karena itu bukanlah kebetulan jika BI memutuskan untuk menurunkan kembali bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur pada Februari, kedua kali secara berturut-turut pada tahun ini. Tidak cuma menurunkan BI Rate, bank sentral juga menurunkan rasio giro wajib minimum bank-bank sebesar 1 persen menjadi 6,5 persen.
BI memang memaksudkan kebijakan itu untuk mendorong tersedianya likuiditas mengingat pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Desember 2015 tercatat sebesar 7,3 persen (setahunan), lebih rendah dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 7,7 persen (setahunan).
Oleh karena Dua langkah itu dipercaya akan menambah pasokan likuiditas yang beredar di pasar keuangan. Jika keputusan penurunan BI Rate harus menunggu transmisi kepada penurunan suku bunga yang akan meningkatkan penyaluran kredit, maka penurunan GWM akan segera menambah likuiditas. BI berani memperkirakan bahwa kebijakan itu akan memberikan dampak positif terhadap perbankan karena akan ada peningkatan likuiditas sampai dengan Rp 34 triliun.
"GWM akan membuat likuiditas meningkat Rp 34 triliun. Tentu bagi bank, ini akan menjadi peluang untuk lebih efektifikan penyaluran dana kredit ke depannya," kata Gubernur BI Agus Martowardojo dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) Februari lalu.
Agus juga menambahkan, jika tanpa penurunan GWM, kredit perbankan diperkirakan naik menjadi 12,5 persen tahun ini dari posisi sekarang 10,5 persen. Maka dengan penurunan ini, maka perkiraan kredit perbankan dapat mencapai level 14 persen.
Dalam pengumuman resminya pasca penurunan BI Rate, otoritas mengatakan akan menjaga kondisi likuiditas dalam perekonomian agar cukup untuk mendukung penyaluran kredit lebih lanjut. Dan, untuk mendukung transmisi penurunan suku bunga kebijakan, struktur suku bunga operasi moneter (term structure) juga diturunkan sesuai dengan kondisi likuiditas di masing-masing tenor.
Sementara itu dana-dana asing yang mulai masuk lagi juga akan memompa likuiditas di dalam negeri. Dana-dana asing itu sudah menguatkan nilai tukar rupiah dalam beberapa bulan belakangan ini. Selama triwulan keempat tahun lalu, menurut data BI, rupiah menguat sebesar 6,27 persen secara point to point (ptp) dan mencapai level Rp 13.785 per dollar AS. Penguatan terus berlanjut hingga Januari 2016. Rupiah berhasil menguat 0,1 persen (ptp) dan ditutup di level Rp.13.775 per dollar AS pada akhir Januari.
“Tren apresiasi rupiah ditopang oleh meningkatnya aliran masuk modal asing, terutama ke pasar surat berharga negara. Hal itu didorong oleh persepsi positif investor terhadap arah perekonomian Indonesia, seiring dengan penurunan BI Rate, paket kebijakan Pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi, serta semakin efektifnya implementasi berbagai proyek infrastruktur,” kata Tirta Segara, Juru Bicara BI.
Pengamat mengakui bahwa apa yang dilakukan bank sentral memang untuk meratakan jalan bisnis perbankan tahun ini. Bank, tahun ini, didorong untuk meningkatkan penyaluran kredit yang pada tahun lalu nyaris hanya satu digit. Pelemahan ekonomi yang dianggap berlalu ditambah dengan potensi maraknya proyek-proyek besar dari pemerintah seharusnya bisa membuat bank bergerak menyalurkan dana lebih besar lagi.
Oleh karena itu, menurunkan suku bunga menjadi ‘perintah tak tertulis’ BI kepada perbankan untuk mendongkrak pinjaman. “Bank tidak perlu lagi khawatir akan ancaman risiko likuiditas dengan adanya kebijakan penurunan BI Rate dan penurunan GWM,” kata Gayatri Rawit Angreni, pakar manajemen risiko.
Meski begitu ancaman likuiditas, kata mantan Direktur BRI itu, tidak lantas sirna begitu saja. Apalagi jika bank membaca tanda BI itu sebagai isyarat untuk jor-joran kredit sehingga tumbuh dua kali lipat dibanding 2015. “Kalau kemudian kredit melesat jadi 20 persen, ya masih ada ancaman risiko likuiditas. Apalagi kalau kredit konsumtif yang tumbuh. Ibaratnya pertumbuhannya sebagian besar hanya untuk menambal pengurangan plafon yang terus menurun,” kata Gayatri.
Idealnya menurut dia, kredit tahun ini tumbuh sebesar 12 persen.

Laba Tertekan
Menyisihkan sebagian dana sebagai strategi untuk meng-cover kredit macet sudah barang tentu akan mengurangi laba bank. Tidak mengherankan jika langkah itu pada akhirnya membuat pertumbuhan laba perbankan menjadi berkurang bahkan mandeg.
Salah satu bank yang merasakan dampaknya adalah Bank BNI. Bank berlogo 46 ini mencatat penurunan laba dengan membukukan laba bersih sebesar Rp 9,1 triliun di sepanjang 2015, turun 15,9 persen dibanding tahun sebelumnya.
Sang Direktur Utama sendiri mengakui bahwa, perolehan laba bersih menyusut karena cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) meningkat 101,4 persen menjadi Rp 7,3 triliun.
Kenaikan dana cadangan ini imbas dari kenaikan rasio kredit bermasalah. "BNI meningkatkan CKPN hingga coverage ratio naik ke 140,4 persen dari 130,1 persen di tahun lalu. Namun, laba sebelum pencadangan naik 10,4 persen menjadi Rp 18,7 triliun," ujar Ahmad Baiquni.
Sementara itu, Bank Mandiri mencatat laba bersih tahun 2015 sebesar Rp 20 triliun, berdasarkan laporan keuangan yang belum diaudit (anaudited)  yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Perolehan tersebut relatif tidak bergerak dibandingkan laba tahun 2014 yang sebesar Rp 19,9 triliun.
Laba tersebut didorong oleh pendapatan bunga bersih yang mencapai Rp 40,13 triliun.






Ber-Digital Banking Tanpa Jadi Sinting

Tren digitalisasi dalam operasional dan layanan perbankan dinilai akan membuat bank-bank di Indonesia ikut lebur di dalamnya. Namun demikian ada kiat-kiat agar bank tidak menjadi gila hanya karena ingin dikatakan sebagai perbankan yang sudah masuk kategori digital bank.


Sebelum krisis keuangan, bank-bank di global sangat bergantung pada leverage keuangan untuk menciptakan nilai tambah bagi pemegang saham. Hari ini, iklim ekonomi, peningkatan intervensi otoritas dalam bentuk peraturan dan tantangan kompetitif memaksa bank untuk mengurangi leverage itu dan mencari sumber-sumber pendapatan lain.
Perkembangan ini, menurut PWC, lembaga konsultasi keuangan global ternama, akan memaksa sektor keuangan untuk mencari model baru dan ketika perkembangan teknologi tengah memuncak, digital akan memainkan peran penting pada pencarian itu.
“Digital akan memainkan peran penting dalam mencapai strategi ini. Preferensi
untuk digital sekarang meresap di semua segmen pelanggan, secara global, dan khususnya bagi Generasi Y,” kata riset lembaga itu yang dipublikasikan. Gen Y adalah generasi yang mengacu pada orang-orang yang lahir pada 1980-an dan 1990-an.
Bahkan kata riset itu lagi, kelompok ini, sekarang di ambang memutuskan hubungan dengan layanan perbankan yang konservatif, karena perkembangan teknologi digital yang sudah menyebar ke hampir semua segi kehidupan mereka.
Di Indonesia, gelombang itu juga sudah sampai. Setelah beberapa bank pasang kuda-kuda menyambutnya sejak tahun lalu, tahun ini akan makin banyak bank yang siap berselancar di gelombang digitalisasi perbankan.
Bahkan dengan fakta bahwa pengguna telepon selular (ponsel) di Indonesia, menurut data riset Accenture, yang sudah mencapai 308 juta, ketika penduduk Indonesia berjumlah 255,5 juta orang, maka tidak ada kata “nanti” lagi bagi perbankan jika tidak ingin kalah bersaing. Bank tentu akan berlomba-lomba menggapai potensi nasabah dan juga memenangkan persaingan di masa depan
Menurut Managing Director Financial Services Lead Accenture Indonesia Meliza Rusli, beberapa bank sudah mulai menyiapkan penerapan digital banking sejak tahun lalu. “Kendala yang paling sering ditemui adalah kesiapan teknologi. Mereka bingung harus menyatukan usaha bank tradisional mereka dengan bank digital atau memisahkan kedua unit ini menjadi dua unit usaha yang berbeda,” kata dia.
Pernyataan Meliza bukan omong kosong belaka. Sejak tahun lalu, salah satu bank terbesar di Indonesia, BNI sudah merintis strategi going digital. Strategi itu berbarengan dengan rencana bank-bank yang terus memperbanyak sayap bisnis dengan mendirikan anak usaha di bidang keuangan selain perbankan. Pendek kata sekarang muncul kecenderungan perubahan yang tak bisa ditawar dari bentuk bank tradisional menjadi bank digital. “Dulu kami tidak pernah membayangkan kalau kita itu akan terkoneksi dengan yang namanya gadget. Ini era digital native untuk generasi masa depan,” kata Direktur Operasional dan IT BNI, Bob Tyasika Ananta, kepada Stabilitas beberapa waktu lalu.
 Dia menuturkan, pertumbuhan transaksi perbankan lewat internet tiap tahunnya mencapai 28 persen. Maka fokus perbankan untuk saat ini adalah menyediakan kebutuhan nasabah dalam transaksi online tersebut. “Kami akan improve digitalisasi untuk pelanggan. Seperti electronic channel, electronic banking transaction, dan electronic e-commerce, dan mobile banking,” ujarnya.
Melihat animo perbankan yang besar, otoritas pun segera bergerak. Sebagaimana fungsinya sebagai pengawas, maka regulator tidak ingin fenomena ini berakhir buruk bagi iklim ekonomi secara keseluruhan dan menyiapkan regulasi untuk memitigasi risiko yang mungkin timbul.
Bulan lalu, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku tengah menyiapkan beragam kebijakan agar gelombang digital banking tidak membawa bencana pada sektor keuangan. “Ada banyak peraturan yang menjadi dasar BI dalam membuat kebijakan," ujar Farida Peranginangin, Direktur Grup Kebijakan dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia dalam sebuah diskusi.
Undang-undang Bank Indonesia memang memberi wewenang BI untuk mengatur sistem pembayaran dan juga makro-ekonomi agar tetap mendukung perekonomian. menjadi dasar BI sebagai bank sentral dalam membuat kebijakan.
Sementara itu, Direktur Grup Pengawas Spesial III Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jasmi mengatakan OJK pun tengah menyiapkan aturan manajemen risiko terkait dengan pengembangan perbankan menuju era digital. "Perbankan harus ikut berubah atau nanti dimuseumkan. OJK sekarang menyiapkan manajemen risiko seperti apa yang harus disiapkan saat memasuki digitalisasi perbankan," ujar Jasmi.
                                    
Mengoptimalkan Digitalisasi

Menjadi digital tidak harus berarti menggelontorkan puluhan bahkan ratusan miliar investasi baru atau membiarkan adanya pergolakan sengit di divisi IT. Memang investasi yang cukup besar tak diragukan lagi diperlukan di beberapa area, tapi secara umum, banyak elemen bank yang dinilai sudah ada dan mendukung strategi untuk digitalisasi. Bank hanya perlu memanfaatkan mereka lebih baik dan berinvestasi dalam hal-hal yang yang memang dibutuhkan.
Tunde Olanrewaju, Kepala Kantor McKinsey London, sebagaimana dikutip dari McKinsey.com bulan lalu, menuliskan setidaknya ada tiga strategi agar bank tidak ‘menjadi gila’ karena keinginan menjadi bank digital.
Pertama,memaksimalkan penggunaan teknologi yang ada. Banyak bank telah banyak menggunakan sistem imaging dan alur kerja, layanan daring, software kapasitas manajemen, sistem respon suara interaktif, serta konektivitas dan teknologi manajemen kerja lainnya. Tapi banyak bank belum menggunakan semua itu secara luas atau semestinya. Sebuah bank di Eropa, misalnya, memasang sebuah platform baru dalam resolusi pencitraan tinggi (high resolution imaging) tapi tidak pernah sepenuhnya memaksimalkan penggunaannya. “Pegawai pada layanan pelanggan terus mengirim laporan melalui fax, dan kualitas gambar yang buruk menyebabkan inefisiensi yang signifikan dalam proses bisnis di hilir,” tulis Tunde.
Kedua, menerapkan intervensi teknologi ringan. Bank dapat meningkatkan keuntungan kinerja yang signifikan dengan investasi kecil kepada hal-hal yang memang dibutuhkan. Contohnya termasuk penyebaran yang lebih luas dari penggunaan formulir elektronik (e-forms) dan sistem alur kerja (work-flow systems), yang dapat diimplementasikan relatif cepat, kadang-kadang malah tanpa harus mengintegrasikan sistem itu ke dalam arsitektur kompleks dari teknologi yang sudah ada.
“Relationship manager dan kepala bagian kredit di satu bank, misalnya, bisa berdiskusi dengan bagian TI untuk merancang aplikasi yang simpel dan permohonan pinjaman secara online yang user-friendly. Bentuknya secara otomatis menyesuaikan dengan input data dan panduan bagian kredit yang proses risikonya harus diikuti,” jelas Tunde.
Sebuah bank Eropa lain mempercepat keputusan KPR dengan mengutak-atik aplikasi yang ada untuk mengikuti aturan standar, seperti batas minimum uang muka dan data rating, yang memungkinkan aplikasi untuk dinilai dan diarahkan lebih cepat, dengan sedikit intervensi manual.
Ketiga, fokuskan strategi digitalisasi pada beberapa tujuan yang selektif. Akan ada tempat di mana Anda perlu untuk mengejar investasi transformasi yang lebih mengena pada kinerja. Namun, alih-alih mencoba untuk mengotomatisasi setiap aspek dari suatu proses atau produk, fokuskan saja pada beberapa yang bisa mendorong kapasitas paling besar dan memberikan keuntungan terbesar. Jangan membangun kerajaan digital berkilauan hanya agar dikatakan telah menjadi bank digital.
Salah satu bank Eropa yang melakukan pemetaan sistematis dari prosesnya untuk diarahkan pada otomatisasi, menemukan kurang dari sepuluh proses saja yang mewakili sebagian besar pekerjaan yang biasa dilakukan karyawan. Di area-area inilah, bank bisa memulai investasi lebih radikal, memensiunkan platform lama, menggelar solusi digital baru, dan menciptakan kembali cara proses kerja.

                       
                                        






‘Tsunami’ Digital Banking

Digital banking saat ini adalah sebuah keharusan. Gelombangnya tak bisa dielakkan oleh industri perbankan di Indonesia. Dan otoritas tengah menyiapkan aturan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan era baru di sektor keuangan itu.


Seorang CEO bank asing terkemuka mengatakan dalam sebuah acara bincang-bincang, bahwa salah satu tren yang tengah melanda dunia saat ini adalah digitalisasi. Dia tidak sedang membesar-besarkan fakta, tidak pula mengecilkannya. Dia menjabarkan apa yang sudah dialami oleh perusahaannya ketika era digitalisasi sudah tidak bisa dibendung. Bank ini pun kemudian mengeluarkan alat pembayaran digitalnya sendiri: Citicoin, sebagai respons atas perkembangan digital yang mau tak mau merambah ke sektor keuangan.
Bersama masifnya penggunaan telepon pintar, maraknya penggunaan Internet telah membawa dunia ke fase kemajuan selanjutnya. Menurut data global, selama lima tahun terakhir pengguna Internet melonjak hingga 128 persen. hal itu tidak terlepas dari perkembangan teknologi pada smartphone makin mendukung penyebarluasan Internet.
Saat ini hampir tidak ada sendi kehidupan yang tidak tersentuh Internet, termasuk perbankan. Dan hal inilah yang mendorong tsunami digitalisasi di sektor perbankan. Boleh dibilang, gelombang pertama digitalisasi dunia terjadi di era 80-an, ketika revolusi digital mengubah teknologi mekanik dan elektronik analog kepada teknologi digital.
Di dunia perbankan hal itu mulai berdampak pada pertengahan hingga akhir 90-an ketika industri terutama di Amerika Serikat mengadopsinya dengan menghadirkan call center untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah. Pada saat itu industri perbankan AS juga tengah melihat kemunculan online banking.
Gelombang kedua dimulai pasca 90-an atau awal 2000-an, ketika Internet merebak dan mencapai puncak ketika gelembung industri dotcom meletus di AS. Ketika itu istilah Internet banking mulai muncul di AS dan Barat dan kemudian menyebar ke seantero dunia seiring dengan menjalarnya penggunaan Internet.
Menurut majalah ekonomi terkemuka, The Economist, kemajuan teknologi saat ini membuat gelombang ketiga era bank digital terlihat lebih berkelanjutan. “Proliferasi dan kecanggihan smartphone dan tablet memungkinkan bank untuk menawarkan layanan yang lebih banyak online,” kata majalah itu. Daripada harus memilih antara antrian di cabang atau duduk di depan komputer, pelanggan kini dapat memeriksa saldo atau membayar tagihan menggunakan ponsel mereka sambil duduk di bus. “Mereka dapat menyimpan cek dengan memotret mereka dan menerima pembayaran kartu kredit menggunakan ponsel mereka. Akibatnya, jumlah transaksi yang terjadi di cabang terus merosot.”
Oleh karena itu, satu dampak yang tidak bisa dielakkan dari perkembangan era digitalisasi adalah merosotnya jumlah kantor cabang bank. Menurut majalah itu pula, di artikel yang lain, selama bertahun-tahun jumlah kantor cabang di negara-negara kaya telah berada di jalan menurun, sebuah tren yang tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mereda. Di Amerika kantor jumlah cabang bank yang telah lenyap pada 2015 mencapai 1.441 kantor dibandingkan tahun sebelumnya, dan amblas sebanyak 5.439 kantor dibanding jumlahnya pada masa puncak tahun 2008.
Bahkan di Eropa telah berdiri bank yang menjalankan semua operasinya dan layanannya dengan cara digital. Hello Bank! adalah bank digital yang dimiliki oleh BNP Paribas dan mulai beroperasi pada tahun 2013. Bank yang beroperasi di Perancis, Belgia, Jerman, Italia dan Austria ini mengklaim bahwa mereka adalah bank pertama yang menjalankan bank 100 persen secara mobile digital di Eropa (dan dunia).

Indonesia
Di Indonesia sendiri, jumlah pengguna telepon pintar telah melebih jumlah penduduknya. Sejak dua-tiga tahun belakangan, penggunaan Internet, yang disokong kehadiran smartphone  sudah menyergap hampir semua sendi kehidupan: booking tiket pesawat, membeli buku atau musik, membeli barang-barang grosir atau ritel, hingga alat transportasi. Silakan perpanjang sendiri daftarnya.
Perbankan di Indonesia sejak tahun 2000-an sudah mulai mengadopsi kemajuan teknologi lewat Internet dengan menyediakan layanan yang memudahkan transaksi dan bisnis nasabahnya. Saat itu, istilah Internet banking mulai diperdengarkan dan kini istilah online banking mulai sering diperkenalkan.
Meski gelombang digitalisasi bank terus membesar, namun tidak seperti yang terjadi di negara maju, jumlah kantor cabang di Indonesia malah terus meningkat, minimal dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia, pada 2015, kantor cabang menjadi 8.383 lebih banyak dari pada jumlahnya di tahun 2011. Bank regional milik pemerintah daerah bahkan melipatgandakan jumlah cabangnya disepanjang tahun 2011-2015. Bank asing merupakan satu-satunya golongan bank yang mengurangi jumlah kantornya selama kurun waktu itu hingga separonya.
Direktur Utama BNI Syariah punya jawaban mengenai fenomena ini. Menurut Imam Teguh Saptono, faktor wilayah Indonesia yang luas membuat kebutuhan akan kantor cabang bank secara fisik masih muncul. “Lebih karena aspek geografis Indonesia sebagai negara Kepulauan sehingga kehadiran bank secara fisik tetap diperlukan. Selain itu juga faktor infrastruktur teknologi informasi yang belum merata di semua wilayah seperti bandwith, jaringan dan lain sebagainya,” kata dia.
Namun demikian, era menyusutnya jumlah kantor cabang tampaknya akan juga sampai di Indonesia ketika otoritas perbankan mendorong terus kebijakan branchless banking. Perluasan layanan bank tanpa harus membuka kantor ini memang sejalan dengan berkembangnya digitalisasi transaksi perbankan.
Bank dapat melebarkan sayap layanannya dengan menggandeng orang yang memiliki usaha legal dan menyelipkan layanan perbankan pada usahanya. Dengan bermodalkan telepon genggam dan beberapa persyaratan, orang yang disebut agen itu bisa menerima dana masyarakat dan memberikan pinjaman dalam jumlah tertentu.
Boleh dibilang strategi branchless banking merupakan kombinasi antara agent banking dan mobile banking. Agent banking adalah kegiatan usaha non-bank termasuk agen keliling atau warung dan toko yang membantu bank memberikan layanan perbankan. Sedangkan mobile banking adalah akses layanan perbankan melalui telepon seluler.

Tantangan
Perbankan bukannya tidak bakal menghadapi ancaman serius seiring maraknya layanan perbankan digital ini. Menurut Imam dari BNI Syariah, untuk mendorong layanan digital, industri perbankan menghadapi tantangan yang tak ringan salah satunya soal literasi masyarakat akan sektor dan lembaga keuangan. “Hambatannya adalah literasi terhadap IT dan perbankan,” kata dia.
Berdasarkan survei tahun 2013, Otoritas Jasa Keuangan menemukan bahwa tingkat literasi keuangan di Indonesia masih sangat rendah dimana hanya 36 persen penduduk berusia di atas 15 tahun, yang menggunakan jasa lembaga keuangan.
Literasi bukanlah satu-satunya tantangan bagi era digitalisasi indsutri perbankan, karena ada yang paling penting dari itu yaitu mitigasi risiko. Saat ini belum ada pedoman  khusus yang mengatur bergulirnya gelombang digitalisasi itu sekaligus aturan mengenai manajemen risikonya.
OJK mengakui hal itu namun tidak berdiam diri. Saat ini pengawas sektor keuangan tengah mengkaji peraturan dan semua yang berhubungan dengan perbankan digital. “Kajian itu dilakukan oleh gugus tugas ('task force') yang sudah disahkan sejak awal Januari 2016 dan ditargetkan bisa menyelesaikan tugas pada tahun ini," ujar Direktur Departemen Pengawasan Bank (DPB) 3 OJK Jasmi
Adapun guideline tersebut akan terkait beberapa hal seperti manajemen risiko, teknologi informasi, bisnis, prosedur operasional standar dan sumber daya manusia perbankan. Pedoman itu nantinya akan menjadi satu-satunya acuan mengenai perbankan digital.
Konsep digitalisasi perbankan menurut OJK sendiri adalah bagaimana nasabah atau konsumen bisa melakukan apapun dari laman resmi atau ATM bank, termasuk jika ingin melakukan perdagangan elektronik (e-commerce), cara jual-beli yang kini tengah marak.
Ya, digitalisasi yang bagai tsunami memang tak bisa dibendung, yang bisa dilakukan mungkin berselancar di atasnya.