Rabu, 19 Oktober 2016

Keraguan Berlandaskan Pengalaman

Penurunan suku bunga yang diharapkan oleh otoritas tampaknya akan menghadapi tembok besar bernama struktur industri dan kepentingan bank. Sampai saat ini bank di Indonesia masih mengandalkan suku bunga sebagai mesin pencipta pendapatan dan laba.


Upaya besar memang tengah dilaksanakan untuk menekan suku bunga ke level single digit, level yang dinilai mampu mendorong laju sektor usaha dan pertumbuhan. Meski demikian ada keraguan bahwa rencana otoritas untuk menurunkan suku bunga kredit itu akan menemui hasil sepadan seperti yang diinginkan.
Struktur industri perbankan nasional disebut-sebut sebagai faktor utama yang akan mengganjal penurunan suku bunga, khususnya kredit. Selain itu, kegaliban pengelola bank untuk lebih memprioritaskan pendapatan dan laba usah diperkirakan juga menjadi penghalang yang tak kalah seriusnya.
Bahkan pengamat ekonomi, Tony Prasetiantono menganggap rencana itu sebagai mission impossible alias misi yang mustahil, terutama kalau rencana itu ditargetkan terealisasi tahun ini. “Itu tak masuk akal. Karena itu struktur industri perbankannya memang tidak memungkinkan. Mustahil," ungkap Pengamat Ekonomi, Tony Prasetiantono di Kantor Pusat Bank Indonesia (BI).
Menurut dia, struktur perbankan di Indonesia yang sangat rumit, yang bisa dilihat dari sisi jumlah bank yang terlalu banyak, akan membuat keinginan itu bagai pungguk merindukan bulan. Saat ini ada 119 bank yang beroperasi di Indonesia dan yang memiliki permodalan relatif besar hanyalah sekitar 20 bank. “Bank besar kita itu hanya sekitar 20. Jadi sisanya itu kecil-kecil yang modalnya Rp 1 triliun maksimal Rp 2 triliun," kata Tony.
Kondisi itu membuat tingkat persaingan antar bank sangat meruncing, terutama dalam memperebutkan dana pihak ketiga. Bank kecil, malahan seringkali menawarkan suku bunga tinggi agar nasabah bersedia menaruh dananya di banknya. Nasabah, di sisi lain, terutama yang berkantong tebal, tentu mencari bank yang bisa memberikan imbal hasil lebih tinggi sebelum bersedia menaruh duitnya. Ironisnya, praktik itu diikuti oleh bank-bank yang notabene adalah bank-bank bermodal besar. "Ketika bank kecil bunga tinggi, bank besar ikut juga. Bukan karena tak efisien tapi karena menikmati kue,” kata Tony.
Apa yang dikatakan ekonom UGM itu ada benarnya. Bank-bank dengan modal kecil memang harus melakukan upaya ekstra untuk menarik nasabah agar menabung di tempatnya dan salah satu caranya adalah mengiming-imingi dengan bunga tinggi. “(Permintaan untuk menurunkan suku bunga) bagus tetapi akan sulit dipenuhi,” kata Direktur Utama Bank Kesejahteraan Ekonomi Sasmaya Tuhuleley.
Selain itu, lanjut dia, hal yang membuat suku bunga sulit turun adalah struktur pendapatan bank yang masih bergantung pada net interest margin (NIM), sehingga bank masih akan menjaga NIM-nya di level yang tinggi agar bisa mengalirkan pendapatan. Jadi, meskipun nantinya suku bunga bisa diturunkan relatif lebih rendah dari level sekarang, NIM akan sulit diturunkan. “Bunga turun gampang, tapi NIM susah,” kata Sasmaya.


Strategi Lawas
Sulitnya otoritas meminta bank untuk menurunkan suku bunga pernah terjadi 7-8 tahun silam. Saat pengawasan bank masih di bawah Bank Indonesia, lembaga itu pernah mengultimatum perbankan agar tidak menawarkan suku bunga tinggi kepada nasabah. Saat itu, pada tahun 2009, Darmin Nasution, yang kini menjadi Menteri Perekonomian, masih menjabat sebagai Deputi Gubernur Senior.
Darmin mengatakan bahwa pihaknya akan mengawasi secara ketat, bahkan hari per hari kegiatan bank dalam menawarkan suku bunga deposito. Saat itu, bank-bank besar dipatok hanya bisa memberikan bunga deposito sebesar 8 persen per tahun. Namun apa yang terjadi, kebijakan itu hilang dengan sendirinya tanpa memberikan hasil yang memuaskan.     
Tony, ekonom UGM, mengakui bahwa desakan agar suku bunga bank turun bukan kali ini saja terjadi dan cara yang paling efektif untuk mewujudkan itu adalah dengan mengurangi jumlah bank. “Menurunkan suku bunga menurut saya paling efektif ya mengurangi jumlah bank. Dengan jumlah sedikit jadi efisien," paparnya.
Terkait langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ingin pemberian insentif terhadap perbankan, yang tujuannya penurunan Net Interest Margin (NIM), menurut dia sudah tepat namun belum akan mampu menurunkan suku bunga kredit menjadi single digit hingga akhir tahun ini. “Jadi menurunkan suku bunga itu tak seperti yang dibayangkan, pemerintah minta menurunkan akhir tahun nggak seperti itu. Jadi menggeneralisasi semua bank single digit itu salah karena setiap bank memiliki karakteristik dan struktur yang berbeda," terang Tony.
Menurut riset yang dilakukan Stabilitas, tingkat suku bunga di Indonesia masuk kategori tinggi, dibandingkan dengan negara-negara sekawasan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir, suku bunga pinjaman di Indonesia (rata-rata) di atas 10 persen per tahun. Pada 2010, nilainya 13,25 persen. Hingga 2015, nilainya cenderung menurun menjadi 12,66 persen pada 2015. Berbeda dengan Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Tiongkok dan India, tingkat suku bunga pinjamnnya berada di bawah 10 persen.(lihat: Jalan Terjal Menuju Single Digit).

Komponen Pembentuk

Memang tidak mudah menurunkan suku bunga kredit di Indonesia yang inflasinya selalu tinggi, biaya logistiknya tinggi, struktur perbankannya tidak sehat, dan pelaku usaha yang didominasi segmen mikro dan kecil. Namun, itu juga tidak terlepas dari bentuk kebijakan yang terkesan sementara dan tidak serius. Semua strategi dan upaya menurunkan suku bunga kredit selama ini cenderung hanya imbauan dan iming-iming insentif.
Saat ini, pemerintah, bank sentral, dan OJK kembali mengulang cara-cara lama yang menitikberatkan imbauan, supervisory action, dan insentif untuk mendorong penurunan suku bunga kredit. Pemerintah selain meminta perusahaan-perusahaan negara pemilik dana besar untuk tidak menuntut bunga tinggi kepada bank, juga sudah meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat dengan bunga satu digit.
Kendati demikian tidak serta merta bank menurunkan suku bunga kreditnya. Bank berhadapan dengan tiga komponen pembentuk suku bunga kredit yakni  harga pokok dana, biaya operasional (overhead) dan marjin keuntungan (profit margin).Ketiga komponen itu membentuk apa yang dinamakan suku bunga dasar kredit (SBDK) yang saat ini diwajibkan oleh bank sentral dicantumkan di website masing-masing bank.
Harga pokok dana adalah biaya yang dikeluarkan bank untuk membayar bunga simpanan (dana pihak ketiga/DPK) seperti tabungan, deposito, dan giro. Harga pokok dana juga termasuk biaya dana dan biaya regulasi. Sementara itu, cost of fund bisa dilihat dari biaya bunga dalam komponen biaya operasional bank.
Berdasarkan riset Stabilitas,hingga triwulan ketiga 2015, beban bunga mencapai 47,61 persen dari total komponen biaya operasional industri perbankan di Indonesia. Beban bunga terbesar terdapat dalam komponen kewajiban kepada pihak ketiga bukan bank sebesar 55,84 persen.
Sedangkan beban biaya nonbunga meliputi 52,39 persen total biaya operasional. Beban non bunga terbesar terdapat dalam pos lainnya yang meliputi biaya overhead cost seperti beban gaji dan operasional seperti operasional kantor yang meliputi 48,25 persen total beban non bunga. Komponen beban non bunga terbesar kedua terdapat dalam pos penyusutan (25,44 persen) dan kerugian atas transaksi spot dan derivatif sebesar 24,50 persen.
Tingginya beban overhead cost perbankan di Indonesia salah satunya disebabkan oleh karakter industri perbankan Indonesia yang belum terlalu efisien dan tertata dengan baik seperti di negara-negara maju. Hal ini terlihat dari tingkat kedalaman sektor keuangan di Indonesia yang masih rendah. Saat ini kedalaman sektor keuangan Indonesia berkisar pada angka 30 persen dari produk domestik bruto. Angka ini jauh jika dibandingkan dengan Korea Selatan sebesar 109 persen, Singapura 102 persen, dan Thailand 97 persen.


 (dipublikasikan Mei 2016)



How Low Can You Go?

Keinginan menurunkan suku bunga sudah ditunjukkan oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Pemerintah. Meski tanda-tanda ke arah situ sudah terlihat namun persoalan besar yang akan mengganjal penurunan bunga masih ada.


Isu penurunan suku bunga sudah muncul ketika pemerintah ‘mendesak’ bank sentral untuk menurunkan suku bunga acuan sejak tahun lalu. Pemerintah tentu berkepentingan melakukan itu –meski ia tahu bahwa Bank Indonesia sejak 1999 sudah independen, lepas dari pengaruh dan perintahnya–demi menolong pertumbuhan ekonomi yang melempem.
Pada akhirnya, di bulan Januari, Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan untuk pertama kalinya setelah hampir setahun belakangan tidak berubah. Bukan hanya sekali tapi tiga kali berturut-turut BI rajin menurunkan bunga acuannya dari 7,5 persen hingga berada di level 6,75 persen. Hal itu pertama kalinya sejak 2011, BI Rate diturunkan 75 basis poin sepanjang tiga bulan berturut-turut.
Meskipun BI mengaku bahwa langkah itu dilakukan karena tekanan inflasi yang sudah mereda, namun tidak dipungkiri terselip juga tujuan agar suku bunga bank ikut luruh. Selama ini BI Rate adalah bunga acuan bank untuk menetapkan suku bunga deposito dan kemudian suku bunga kredit. Ketika BI Rate turun, bunga simpanan bisa langsung bisa turun dan selanjutnya bunga pinjaman juga turun.
Hal itu memang memberikan harapan besar ketika beberapa bank milik negara mulai mengikuti langkah otoritas dengan menurunkan bunga deposito dan yang terpenting adalah bunga kredit. Dua bulan setelah BI Rate turun di bulan Januari, dua dari empat bank pelat merah telah mengumumkan adanya tren penurunan suku bunga dasar kredit (SKBD). Berdasarkan data resmi PT Bank Negara Indonesia (BNI), SBDK yang berlaku per Akhir Maret 2016, Kredit Korporasi sebesar 10,25 persen, Kredit Ritel sebesar 9,95 persen, Kredit KPR 10,50 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Apabila dibandingkan dengan data yang tertera di situs Bank Indonesia (BI) per 1 Januari 2016, besaran SBDK bank tersebut turun sekitar 0,25-0,50 persen. Ketika itu, Kredit Korporasi masih sebesar 10,75 persen, Kredit Ritel sebesar 11,75 persen, Kredit KPR sebesar 11 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Hal serupa juga terjadi di PT Bank Tabungan Negara (BTN). Berdasarkan data di situs resmi BTN, SBDK yang berlaku per 31 Maret 2016, Kredit Korporasi sebesar 11,25 persen, Kredit Ritel sebesar 12 persen, Kredit KPR 10,75 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 11,75 persen.
Bila dibandingkan dengan data yang tertera di BI per 1 Januari 2016, besaran SBDK BTN mengalami penurunan sekitar 0,25 persen. Kredit Korporasi sebesar 11,50 persen, Kredit Ritel sebesar 12,25 persen, Kredit KPR sebesar 11 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12 persen.
Bank memang biasanya baru akan menyesuaikan pengenaan suku bunga kredit minimal tiga bulan setelah penurunan BI Rate. Penurunan BI Rate akan melalui transmisi ke bunga deposito dan juga penyesuaian dari biaya pendanaan (cost of fund) dan juga biaya dana yang akan dilemparkan ke masyarakat (cost of loanable fund). Jika penurunan dihitung penurunan BI Rate sejak Januari maka pada April lalu seharusnya bank sudah mulai menurunkan suku bunga kredit.
Akan tetapi sampai April, bunga kredit bank yang tercantum pada SBDK yang ada dalam data Bank Indonesia tidak berubah banyak. Dalam daftar 10 bank teratas, penurunan terjadi hanya untuk kredit korporasi yang terjadi di hampir semua bank dan penurunannya rata-rata 25 basis poin. Begitu pula dengan kredit pemilikan rumah (KPR).
Selain upaya dari BI, pihak lain yang tak kalah berjuang agar suku bunga kredit bisa turun adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada Januari lalu, OJK disebut-sebut berencana untuk membuat aturan yang bisa mengarahkan penuruna suku bunga bank. Namun rencana itu direspons negatif dengan menyimpulkan bahwa OJK akan melakukan pembatasan suku bunga lewat pembatasan net interest margin (NIM).
Sontak saja isu itu berbuah penurunan pada harga-harga saham industri perbankan. Saham perbankan dengan kapitalisasi besar tercatat menjadi top losers alias saham yang terkoreksi paling dalam hari itu. Pada penutupan 19 Februari, sesaat setelah muncul isu tersebut, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tercatat turun 2,6 persen, saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) terjun 4,9 persen, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) amblas 4,37 persen dan saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) meluncur 6,4 persen.
Melihat gelagat tersebut otoritas bursa buru-buru angkat bicara agar tidak terjadi panic selling berkepanjangan. “Ada berita yang saya harus katakan salah di-quote. Diberitakan bahwa otoritas akan intervensi dengan mengatur marjin keuntungan perbankan, saya katakan berita itu tidak betul. Saya tidak percaya dan saya sudah berbicara dengan Pak Ketua (Muliaman D Hadad), tidak betul bahwa OJK entah regulator manapun akan mengatur keuntungan margin suatu industri," kata Tito Sulistio, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, ketika itu.
Meski demikian, dipastikan rencana untuk mengarahkan suku bunga bank ke level yang lebih rendah tidak hilang. OJK sejak sebulan belakang tetap menjanjikan akan menerbitkan aturan untuk mengarahkan suku bunga bank ke level yang lebih rendah melalui beberapa insentif. Aturan itu dijanjikan keluar akhir bulan April atau selambatnya awal bulan Mei.
Bahkan OJK optimistis bahwa suku bunga bank akan mencapai level single digit dalam tahun ini. “Sampai hari ini masih optimistis (bunga single digit). Karena biaya dana cenderung menurun. Kemudian kami dorong sisi efisiensi juga," katanya Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad.

Ada Kartel?
Selama ini lambannya penurunan suku bunga sering dikeluhkan oleh beberapa pihak seperti pemerintah, dan juga pengusaha. Bahkan beberapa tahun lalu muncul isu bahwa penurunan suku bunga di perbankan terganjal adanya praktik oligopoli yang dilakukan bank-bank besar.
Oligopoli atau praktik kartel dalam sebuah industri bisa ditelusuri dengan teknik penghitungan Concentration Ratio 4 (CR4) dan juga Herfindahl-Hirschman Index (HHI).
Dalam CR4, tingkat konsentrasi dihitung dengan cara menjumlahkan total seluruh aset yang dimiliki 4 bank besar dibagi total aset seluruh bank yang ada kemudian dikalikan 100 persen. Jika hasilnya antara 85 persen lebih, berarti ada indikasi kartel. Meski begitu concentration ratio sejatinya tidak harus empat perusahaan, bisa tiga (CR3), atau lima (CR5).
Sementara itu metode HHI juga mirip dengan concentratio ratio, tapi jumlah seluruh perusahaan di sebuah industri harus diketahui. Skor HHI didapat dengan cara menjumlahkan hasil kuadrat pangsa pasar tiap perusahaan. Kalau suatu industri tidak terkonsentrasi, HHI akan mendekati nol, sebaliknya kalau sangat terkonsentrasi akan mendekati 10.000. Atau jika ingin dinyatakan dalam persentase, tinggal dibagi 100 saja.
Berdasarkan penghitungan yang dilakukan Pusat Data dan Analisis Stabilitas (PDAS), pada metode CR4 tidak menunjukkan adanya indikasi oligopoli karena angkanya menunjukkan 49 persen. Artinya 4 bank terbesar mengindikasikan penguasaan hampir separo aset industri.
Namun berdasarkan penghitungan yang sama, diperoleh kesimpulan bahwa pendapatan bunga menjadi porsi terbesar dari isi kantong perbankan, jumlahnya mencapai 80 persen. Di sisi lain, biaya bunga juga menjadi porsi biaya terbesar yang angkanya di kisaran 50 persen. (Lihat: Riset soal suku bunga).
Sebuah penelitian yang sempat dilakukan mengenai tingkat oligopoli dalam perbankan RI pernah dimuat dalam Bulletin of Monetary Economy and Banking milik Bank Indonesia yang terbit Oktober 2011. Penelitian mengenai kompetisi di perbankan dalam rentang waktu 2001-2009 itu dilakukan oleh peneliti dari luar BI.
Kesimpulannya dari penelitian itu antara lain pertama struktur pasar perbankan Indonesia lebih rentan dibandingkan negara-negara Asia Timur lainnya. “Jumlah bank di Indonesia banyak tapi pasarnya hanya terkonsentrasi di beberapa bank saja. Bank-bank besar menguasai sebagain besar pasar,” kata riset tersebut. Sementara setengah lebih perbankan lainnya mengambil jatah sisanya. Kondisi tu dikarenakan bank-bank kecil ini modalnya kurang dari Rp1 triliun.
Kedua, konsentrasi pasar perbankan semakin berkurang selama penerapan kebijakan konsolidasi yang dilakukan BI. Pada tahun-tahun setelah krisis, BI memang mulai menerapak konsolidasi perbankan baik lewat aturan modal minimum maupun penerbitan cetak biru perbankan nasional. Ketiga, dalam riset itu juga disimpulkan bahwa sebelum periode penelitian itu, industri perbankan cenderung monopolistik.***


Menanti Musim Bunga Turun

Penurunan BI Rate tiga kali berturut-turut menerbitkan harapan bahwa era suku bunga rendah akan segera datang. Demi memastikan langkah itu berpengaruh pada penurunan bunga kredit, otoritas menyiapkan insentif agar bank segera memangkas suku bunga.


Akankah musim suku bunga rendah segera tiba? Jika melihat kecenderungan keputusan Bank Indonesia selama tiga bulan berturut-turut sebelum ini, kemungkinan itu sangat terbuka. Akan tetapi, seperti yang selama ini terjadi di Indonesia, penurunan suku bunga acuan tidak serta merta bisa memaksa suku bunga perbankan mengikuti.
Maret menjadi bulan ketiga secara beruntun bank sentral menurunkan BI Rate, sehingga posisinya berada di level 6,75 persen. Tentu target inflasi menjadi pertimbangan utama BI dalam memutuskan angka BI Rate setiap bulan.
Dalam pengumuman resminya otoritas mengatakan bahwa terus menurunnya tekanan inflasi di 2016 dan 2017, serta meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global menjadi faktor utama kebijakan tersebut. Bahkan “keputusan tersebut sejalan dengan masih terbukanya ruang pelonggaran kebijakan moneter”.
Sepanjang tiga bulan pertama inflasi memang terkendali. Indeks harga konsumen pada Februari 2016 turun 0,09 persen dari bulan sebelumnya. Ekonomi Indonesia mencatatkan deflasi setelah membukukan inflasi 0,59 persen pada Januari. Inflasi tahun ini diprediksi akan sesuai besaran target BI sebesar 4 persen dengan kemungkinan lebih tinggi atau lebih rendah satu persen.
Penurunan itu juga diperkirakan tidak akan mengganggu penguatan nilai tukar yang beberapa waktu belakangan terjadi. Sepanjang Januari-Februari tahun ini, nilai tukar rupiah menguat sebesar 3,09 persen ke level Rp 13.372 per dollar AS. Tren penguatan itu sejalan dengan meningkatnya aliran masuk modal asing. Persepsi positif investor akan ekonomi Indonesia setelah penurunan BI Rate sebelumnya dan sederet paket deregulasi pemerintah ditambah implementasi proyek infrastruktur menjadi alasan kenapa kurs rupiah terus menguat.
Bahkan jika melihat kecenderungan faktor eksternal yang palin dominan yaitu kebijakan suku bunga Bank Sentral AS, kondisi penurunan bunga lebih lanjut masih bisa terjadi. Belakangan masih santer dikabarkan bahwa The Federal Reserve akan meneruskan kebijakan menaikkan suku bunga yang sudah dimulai Desember lalu.
Jika hal itu terjadi dalam tahun ini, banyak kalangan yang khawatir akan membuat dana-dana asing yang sebelumnya menghampiri pasar keuangan nasional harus hengkang lagi menuju Negeri Paman Sam.
Akan tetapi ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri menepis kekhawatiran itu. Menurut dia kemungkinan modal akan lari dari Indonesia ketika The Fed menaikkan bunga relatif sangat kecil karena suku bunga riil obligasi Indonesia jauh lebih tinggi dari negara-negara maju. Bahkan, perbedaan suku bunga yang cukup tinggi itu mendorong modal asing masuk.
“Selain itu pasar saham Indonesia belakangan ini cukup menarik minat asing. Beberapa waktu terakhir, pembelian bersih asing mencapai triliunan rupiah. Kinerja pasar saham Indonesia jauh di atas rerata emerging markets,” kata dia dalam catatannya di laman pribadi.
Sementara itu, menanggapi penurunan BI Rate, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegro mengatakan, penurunan tersebut wajar karena memang terdapat ruang untuk penurunan. Selain itu, Bank Snetral AS yang memberi sinyal tidak akan ada kenaikan suku bunga dalam waktu dekat membuat peluang penurunan ini semakin nyata. "The Fed juga sifatnya tidak akan naik dalam waktu dekat," ujar Menkeu.
Meski the Fed memberi sinyal baik karena tidak menaikkan suku bunga, Bambang belum berani berekspektasi BI Rate bisa kembali turun dalam waktu dekat. Sebab, hal itu harus dilihat dengan perkembangan global yang masih dinamis.
Dengan penurunan BI Rate, Bambang berharap keputusan BI tersebut akan memengaruhi suku bunga perbankan. Turunnya suku bunga perbankan diharapkan bisa berpengaruh pada sektor rill. "Tingkat bunga pinjaman bisa menurun dan sektor rill bergerak," kata Menkeu.

Pertanda Baik
Jika memang demikian maka tidak berlebihan jika publik sangat berharap bahwa suku bunga kredit perbankan juga akan segera menurun. Dan jika melihat beberapa bank besar, harapan itu tampaknya akan segera terwujud.
Bulan lalu saja dua dari empat bank pelat merah telah mengumumkan adanya tren penurunan suku bunga dasar kredit (SKBD) dan kecenderungan itu sudah terjadi dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Berdasarkan data resmi PT Bank Negara Indonesia (BNI), SBDK yang berlaku per 29 Februari 2016, Kredit Korporasi sebesar 10,50 persen, Kredit Ritel sebesar 11,50 persen, Kredit KPR 10,50 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Bila dibandingkan dengan data yang tertera di situs Bank Indonesia (BI) per 1 Januari 2016, besaran SBDK BNI mengalami penurunan sekitar 0,25-0,50 persen. Kredit Korporasi sebesar 10,75 persen, Kredit Ritel sebesar 11,75 persen, Kredit KPR sebesar 11 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Hal serupa juga terjadi di PT Bank Tabungan Negara (BTN). Berdasarkan data di situs resmi BTN, SBDK yang berlaku per 31 Maret 2016, Kredit Korporasi sebesar 11,25 persen, Kredit Ritel sebesar 12 persen, Kredit KPR 10,75 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 11,75 persen.
Bila dibandingkan dengan data yang tertera di BI per 1 Januari 2016, besaran SBDK BTN mengalami penurunan sekitar 0,25 persen. Kredit Korporasi sebesar 11,50 persen, Kredit Ritel sebesar 12,25 persen, Kredit KPR sebesar 11 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12 persen.
Bank memang berjanji, baru akan menyesuaikan pengenaan suku bunga minimal tiga bulan setelah penurunan BI Rate. Jika penurunan BI Rate pada Januari sudah dihitung maka, pada April ini seharusnya bank mulai menurunkan suku bunga kredit.
Bahkan kemungkinan turunnya bunga kredit akan makin terlihat jika Otoritas Jasa Keuangan benar-benar menerbitkan aturan insentif untuk itu. Sedari awal tahun OJK memang sigap melaksanakan niat untuk mengarahkan penurunan bunga perbankan, meskipun hal itu sempat membuat harga saham sektor perbankan terguncang dua bulan lalu.
Insentif yang kemungkinan akan terbit pertengahan bulan ini akan berisi kemudahan-kemudahan bagi bank yang memiliki rasio margin bunga bersih (net interest margin/ NIM) dan biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) rendah. Iming-iming yang OJK berikan adalah kemudahan mendirikan jaringan kantor cabang di Indonesia tanpa harus memiliki modal tinggi.
OJK berkali-kali mengatakan agar bank-bank di Indonesia memiliki rasio NIM dan BOPO seperti bank-bank di negara ASEAN yang rendah. Regulator akan menjadikan tingkat efisiensi NIM dan BOPO negara tersebut sebagai contoh pembuatan aturan. Pada tahun 2014, OJK pernah mengarahkan perbankan agar rasio NIM berada di level 4 persen dan BOPO di level 60 persen.
Keinginan untuk menekan suku bunga kredit bank memang bukan kali ini saja mencuat. Akan tetapi kerapkali keinginan itu tidak terwujud karena disinyalir ada praktik kartel pengenaan suku bunga pada bank-bank besar.
Pada pertengahan 2013, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penyelidikan untuk membuktikan adanya praktik oligopoli di perbankan. Meskipun tidak bisa membuktikan adanya praktik tersebut KPPU menemukan beberapa indikator yang memang ditengarai mengarah kepada adanya kongkalingkong antar bank besar dalam menentukan suku bunga.
Indikasi tersebut, pertama, bunga kredit bank sangat tinggi sementara bunga acuan sudah sangat rendah. Ketika BI Rate berada di level 8,5 persen pada 2008, suku bunga kredit rata-rata berada di kisaran 12 persen. Pada Akhir 2011, ketika BI Rate turun menjadi 6,00 persen, suku bunga kredit masih berkisar 12-14 persen. Pada akhir 2012 ketika bunga acuan berada pada level 5,75 persen, suku bunga kredit rata-rata berada pada 12,06 persen.
Kedua, konsentrasi pasar perbankan semakin berkurang selama penerapan kebijakan konsolidasi yg dilakukan BI. Pada tahun-tahun setelah krisis, BI memang mulai menerapak konsolidasi perbankan baik lewat aturan modal minimum maupun penerbitan cetak biru perbankan nasional. Ketiga, dalam riset itu juga disimpulkan bahwa sebelum periode penelitian itu, industri perbankan cenderung monopolistik.






Nama Bank
Suku Bunga Dasar Kredit (%)
Kredit
Kredit
Kredit
Kredit Konsumsi
Korporasi
Ritel
Mikro
KPR
Non KPR

PT BANK MANDIRI (PERSERO), Tbk
           10.50
           12.25
           19.25
           11.00
           12.50
PT BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO), Tbk
           10.75
           11.25
           17.50
           10.25
           12.50
PT BANK CENTRAL ASIA, Tbk
           10.25
           11.25
                  -  
           10.25
              8.63
PT BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO), Tbk
           10.50
           11.50
                  -  
           10.50
           12.50
PT BANK CIMB NIAGA, Tbk
           11.25
           12.00
           19.50
           11.25
           11.50
PT BANK PERMATA, Tbk
           11.75
           12.00
                  -  
           11.75
           11.75
PT PAN INDONESIA BANK, Tbk
           11.35
           11.89
           19.71
           11.53
           11.53
PT BANK DANAMON INDONESIA, Tbk
           11.60
           12.25
           19.95
           11.75
           17.50
PT BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO), Tbk
           11.50
           12.25
                  -  
           11.00
           12.00
PT BANK INTERNASIONAL INDONESIA, Tbk
           11.00
           12.00
           18.30
           10.25
           11.50

Sumber Bank Indonesia
 (terbit bulan April 2016)















Di Bawah Bayang-Bayang China

Peta ekonomi dunia akan segera berubah dengan China yang bersiap menyodok sebagai raksasa ekonomi dalam beberapa tahun ke depan. Sementara itu Indonesia, saat ini, sudah berada di bawah bayang-bayang kekuatan ekonomi China.

Pada masa-masa awal dibukanya perdagangan bebas dengan China akhir 90-an, negara-negara barat sesumbar bahwa tak lama lagi China akan tampak ‘kebarat-baratan’. Karena pengaruh Barat akan segera mendominasi perekonomian China yang sebelumnya dianggap tertutup dan lazim disebut ‘Negeri Tirai Bambu’.
Akan tetapi, yang terjadi sekarang ini kebalikannya. Seperti yang dikatakan oleh Martin Jacques, seorang professor tamu di beberapa universitas di China dan penulis buku When China Rules the World yang terbit pada 2009, “Time will not make China more Western; it will make the West, and the world, more Chinese.”
Tulisan dari komentator ekonomi itu makin menemukan kenyataannya ketika Amerika dan Eropa kewalahan dengan maraknya barang-barang dari China yang seperti tak bisa lagi dibendung.
Gelombang barang-barang China di Negeri Paman Sam itu telah memicu terjadinya defisit perdagangan AS atas China.
Bahkan 2014 merupakan tahun terakhir, AS menyandang gelar sebagai ekonomi terbesar dunia, karena tahun berikutnya China menyerobot posisi itu dalam hal kekuatan daya beli (purchasing power parity). Bank Dunia yang menginisiasi penilaian tersebut. Banyak yang tak menganggap itu sebagai hitungan yang tepat, namun setidaknya banyak pakar juga yang menyatakan bahwa penghitungan daya beli bisa memberikan dasar yang baik untuk menilai ukuran relatif dua perekonomian yang berbeda.
Akan tetapi dominasi China makin diteguhkan ketika pada triwulan ketiga tahun lalu, berdasarkan data yang dirilis Departemen Perdagangan AS menyatakan bahwa defisit perdagangan AS membengkak sebesar 15,6 persen menjadi 48,3 miliar dollar AS pada Agustus. Meningkatnya impor dari China menjadi penyebab makin melebarnya defisit itu, setelah China melemahkan nilai tukarnya yang menjadikan dollar menguat dan melemahkan ekspor AS.
China memang telah mengubah dirinya menjadi pemain utama pada perdagangan dunia. Dengan memproduksi barang-barang murah dan melemparnya ke luar negeri, China mengalahkan pemain-pemain utama yang sebelumnya menguasai perdagangan. Pada tahun 1990 China memproduksi kurang dari 3 persen dari nilai output manufaktur global, namun saat ini porsinya hampir seperempatnya. China memproduksi sekitar 80 persen dari AC di dunia, 70 persen dari ponsel dan 60 persen dari sepatu yang beredar. Dan negara yang disebut sebagai "Pabrik Asia" oleh majalah The Economist itu, sekarang membuat hampir setengah barang-barang yang ada di dunia.
Selama lebih dari satu dekade sebelum sekarang, China telah menjadi mesin pertumbuhan global. Meski saat ini kecepatannya telah berkurang, namun dominasinya terhadap perekonomian global tak berkurang banyak. Tak terkecuali di Indonesia. Belakangan ini, pemerintah Indonesia terkesan sangat akrab dengan (dana-dana dan investor) China.
Keakraban itu terlihat ketika pemerintah memutuskan menunjuk investor China untuk menggarap proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, meski pada proyek-proyek infrastruktur lain pengaruh China sudah ada. Pemberian pinjaman pada tiga bank BUMN, juga menjadi bukti lainnya betapa mesranya hubungan Indonesia-China kini.
Sejak Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN (ASEAN-Cina Free Trade Agreement/ ACFTA) diberlakukan 1 Januari 2010, barang-barang China mulai dari peniti hingga mesin modal membanjiri pasar Indonesia. Maklum, dengan bea masuk 0 persen, barang-barang China leluasa masuk ke Indonesia. Sebelumnya, barang China sudah membanjiri pasar Indonesia karena harganya yang sangat murah.
ACFTA memang membuat China makin bergairah menyerbu pasar Indonesia. Bahkan, beberapa perusahaan raksasa China terus hadir dalam berbagai pameran teknologi dan produk China. Hingga saat ini lebih 1.000 perusahaan China beroperasi di Indonesia, baik  bidang infrastruktur, kelistrikan, energi, komunikasi, agrikultural, manufaktur dan sektor lainnya.
November tahun lalu, saat Presiden Joko Widodo anjangsana ke Beijing, China, telah ditandatangani 12 perjanjian (MoU) investasi antara 11 perusahaan domestik dengan investor China senilai 17,8 miliar dollar AS. Beberapa perusahaan yang menjalin kerja sama investasi adalah Maspion Group dengan Shining Resources Co Ltd untuk membangun pabrik pelat tembaga di Gresik, Jawa Timur senilai 120 juta dollar AS. Kemudian PT Indomobil Sukses Internasional Tbk juga bekerja sama membangun industri otomotif dengan pabrikan China. Saat ini,  produk otomotif China yang masuk pasar Indonesia antara lain Geely, Chery, Foton, dan FAW.
China Sonangol, sebagai contoh. Selain membiayai bisnis minyak PT Surya Energi Raya milik Surya Paloh di Blok Cepu, China Sonangol, masuk bisnis properti. Anak usaha Grup Sonangol Angola ternyata sudah sejak tiga tahun lalu membeli EX Plaza Jakarta senilai 71 juta dollar AS.
China Sonangol juga berkongsi dengan Grup Sampoerna dan memiliki saham Sampoerna Strategic Square Jakarta. Di Bali, China Sonangol masuk ke Intercontinental Bali Resort, hasil kongsi dengan Grup Media milik Surya Paloh.
Di bisnis energi, perusahaan plat merah asal Tiongkok, China Huadian, akan membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Mulut Tambang Sumatera Selatan 8. Nilai investasi PLTU berkapasitas 2x600 Megawatt (MW) ini sekitar 1,5 miliar dollar AS. China Huadian menggandeng PT Bukit Asam Tbk di proyek ini.

Dominasi atas Indonesia

Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, saat ini China tengah memiliki kelebihan dana dalam sektor investasi. Infrastruktur yang hampir memadai di Negeri Panda itu telah membuat mereka tidak harus lagi membangun jalan tol atau pembangkit listrik karena semua sudah tersedia. “Mereka punya uang dan tidak punya obyek untuk investasi dalam negeri. Mereka sudah over investment, makanya strategi kita ke mereka mengubah dari perdagangan ke investasi,” ujar Menkeu.
Oleh karena itu mereka mencari-cari tempat untuk melempar dananya agar bisa memberikan return yang menguntungkan, salah satunya ke Indonesia. Untuk itu, investasi langsung dari Tiongkok harus direalisasikan karena dampaknya dalam jangka panjang bisa membantu peningkatan ketahanan perekonomian nasional terhadap perlambatan.
"Kita optimistis terhadap perekonomian nasional, karena ada kesempatan untuk mengubah pola ekspor ke Tiongkok dan kita bisa mencari partner FDI (foreign direct investment) juga dari Tiongkok," kata Bambang.
Gelagat China akan mendominasi perekonomian Indonesia dan mendesak pelaku ekonomi domestik seharusnya membuat pemerintah lebih waspada. Derasnya produk China yang masuk Indonesia dengan harga murah harus disikapi dengan hati-hati.
Presiden Komisaris Grup Panasonic Gobel, Rachmat Gobel mengingatkan masalah ini. Menurut dia dampak dari membanjirnya barang-barang China sudah membuat banyak perusahaan kesulitan melanjutkan bisnis. “Bagaimana kita mau bersaing jika banyak produk berkualitas KW 4 (imitasi-red) asal China masuk ke sini," kata Gobel.
Menurut mantan Menteri Perdagangan ini, pemerintah seharusnya bertindak bijaksana dengan melindungi industri dalam negeri yang sudah berjalan. Konkretnya harus ada kebijakan yang bernuansa protected terhadap industri di dalam negeri.
"Makanya, penting sekali itu penerapan standar nasional (Standar Nasional Indonesia/SNI) untuk melindungi industri di Tanah Air dari serbuan produk impor murah namun tak berkualitas ," ujar Gobel.
Sewaktu, dia masih menjabat, beberapa aturan yang ditujukan untuk melindungi pelaku usaha dalam negeri diluncurkan seperti melarang impor pakaian bekas dan melarang impor batik dari China. Bisa jadi, Gobel sudah bisa memprediksi bahwa dampak negatif gelombang barang-barang China kepada ekonomi dalam negeri masih bisa dihadang dengan aturan.
Akan tetapi, Jacques, sebagaimana ditulis dalam bukunya, mengatakan bahwa pengaruh China tidak terbendung. Mengutip penelitian Goldman Sachs, yang memproyeksikan bahwa  ekonomi China akan lebih besar dari Amerika pada 2027, dan hampir dua kali lebih besar pada tahun 2050, Jacques
menggambarkan bahwa yuan akan menggantikan dollar AS sebagai mata uang cadangan dunia. Selanjutnya dia mengatakan bahwa Shanghai akan menaungi New York dan London sebagai pusat keuangan; negara-negara Eropa akan menjadi peninggalan kuno dari masa lalu yang mulia, bukan seperti Athena dan Roma hari ini; warga global akan menggunakan banyak bahasa Mandarin; pikiran Konfusius akan menjadi begitu akrab, sama dengan yang berasal dari Plato; dan seterusnya.