Penurunan suku bunga yang diharapkan oleh otoritas tampaknya
akan menghadapi tembok besar bernama struktur industri dan kepentingan bank.
Sampai saat ini bank di Indonesia masih mengandalkan suku bunga sebagai mesin
pencipta pendapatan dan laba.
Upaya besar memang tengah
dilaksanakan untuk menekan suku bunga ke level single digit, level yang dinilai mampu mendorong laju sektor usaha
dan pertumbuhan. Meski demikian ada keraguan bahwa rencana otoritas untuk
menurunkan suku bunga kredit itu akan menemui hasil sepadan seperti yang
diinginkan.
Struktur industri perbankan
nasional disebut-sebut sebagai faktor utama yang akan mengganjal penurunan suku
bunga, khususnya kredit. Selain itu, kegaliban pengelola bank untuk lebih
memprioritaskan pendapatan dan laba usah diperkirakan juga menjadi penghalang
yang tak kalah seriusnya.
Bahkan pengamat ekonomi, Tony
Prasetiantono menganggap rencana itu sebagai mission impossible alias misi yang
mustahil, terutama kalau rencana itu ditargetkan terealisasi tahun ini. “Itu
tak masuk akal. Karena itu struktur industri perbankannya memang tidak
memungkinkan. Mustahil," ungkap Pengamat Ekonomi, Tony Prasetiantono di
Kantor Pusat Bank Indonesia (BI).
Menurut dia, struktur perbankan
di Indonesia yang sangat rumit, yang bisa dilihat dari sisi jumlah bank yang
terlalu banyak, akan membuat keinginan itu bagai pungguk merindukan bulan. Saat
ini ada 119 bank yang beroperasi di Indonesia dan yang memiliki permodalan
relatif besar hanyalah sekitar 20 bank. “Bank besar kita itu hanya sekitar 20.
Jadi sisanya itu kecil-kecil yang modalnya Rp 1 triliun maksimal Rp 2
triliun," kata Tony.
Kondisi itu membuat tingkat
persaingan antar bank sangat meruncing, terutama dalam memperebutkan dana pihak
ketiga. Bank kecil, malahan seringkali menawarkan suku bunga tinggi agar
nasabah bersedia menaruh dananya di banknya. Nasabah, di sisi lain, terutama
yang berkantong tebal, tentu mencari bank yang bisa memberikan imbal hasil
lebih tinggi sebelum bersedia menaruh duitnya. Ironisnya, praktik itu diikuti
oleh bank-bank yang notabene adalah bank-bank bermodal besar. "Ketika bank
kecil bunga tinggi, bank besar ikut juga. Bukan karena tak efisien tapi karena
menikmati kue,” kata Tony.
Apa yang dikatakan ekonom UGM itu
ada benarnya. Bank-bank dengan modal kecil memang harus melakukan upaya ekstra
untuk menarik nasabah agar menabung di tempatnya dan salah satu caranya adalah
mengiming-imingi dengan bunga tinggi. “(Permintaan untuk menurunkan suku bunga)
bagus tetapi akan sulit dipenuhi,” kata Direktur Utama Bank Kesejahteraan
Ekonomi Sasmaya Tuhuleley.
Selain itu, lanjut dia, hal yang
membuat suku bunga sulit turun adalah struktur pendapatan bank yang masih
bergantung pada net interest margin (NIM), sehingga bank masih akan menjaga
NIM-nya di level yang tinggi agar bisa mengalirkan pendapatan. Jadi, meskipun
nantinya suku bunga bisa diturunkan relatif lebih rendah dari level sekarang,
NIM akan sulit diturunkan. “Bunga turun gampang, tapi NIM susah,” kata Sasmaya.
Strategi Lawas
Sulitnya otoritas meminta bank
untuk menurunkan suku bunga pernah terjadi 7-8 tahun silam. Saat pengawasan
bank masih di bawah Bank Indonesia, lembaga itu pernah mengultimatum perbankan
agar tidak menawarkan suku bunga tinggi kepada nasabah. Saat itu, pada tahun
2009, Darmin Nasution, yang kini menjadi Menteri Perekonomian, masih menjabat
sebagai Deputi Gubernur Senior.
Darmin mengatakan bahwa pihaknya
akan mengawasi secara ketat, bahkan hari per hari kegiatan bank dalam
menawarkan suku bunga deposito. Saat itu, bank-bank besar dipatok hanya bisa
memberikan bunga deposito sebesar 8 persen per tahun. Namun apa yang terjadi,
kebijakan itu hilang dengan sendirinya tanpa memberikan hasil yang memuaskan.
Tony, ekonom UGM, mengakui bahwa
desakan agar suku bunga bank turun bukan kali ini saja terjadi dan cara yang
paling efektif untuk mewujudkan itu adalah dengan mengurangi jumlah bank. “Menurunkan
suku bunga menurut saya paling efektif ya mengurangi jumlah bank. Dengan jumlah
sedikit jadi efisien," paparnya.
Terkait langkah Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang ingin pemberian insentif terhadap perbankan, yang tujuannya
penurunan Net Interest Margin (NIM), menurut dia sudah tepat namun belum akan mampu
menurunkan suku bunga kredit menjadi single digit hingga akhir tahun ini. “Jadi
menurunkan suku bunga itu tak seperti yang dibayangkan, pemerintah minta
menurunkan akhir tahun nggak seperti itu. Jadi menggeneralisasi semua bank
single digit itu salah karena setiap bank memiliki karakteristik dan struktur
yang berbeda," terang Tony.
Menurut riset yang dilakukan Stabilitas, tingkat suku bunga di
Indonesia masuk kategori tinggi, dibandingkan dengan negara-negara sekawasan.
Selama kurun waktu lima tahun terakhir, suku bunga pinjaman di Indonesia
(rata-rata) di atas 10 persen per tahun. Pada 2010, nilainya 13,25 persen.
Hingga 2015, nilainya cenderung menurun menjadi 12,66 persen pada 2015. Berbeda
dengan Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Tiongkok dan India, tingkat
suku bunga pinjamnnya berada di bawah 10 persen.(lihat: Jalan Terjal Menuju Single Digit).
Komponen Pembentuk
Memang tidak mudah menurunkan
suku bunga kredit di Indonesia yang inflasinya selalu tinggi, biaya logistiknya
tinggi, struktur perbankannya tidak sehat, dan pelaku usaha yang didominasi
segmen mikro dan kecil. Namun, itu juga tidak terlepas dari bentuk kebijakan yang
terkesan sementara dan tidak serius. Semua strategi dan upaya menurunkan suku
bunga kredit selama ini cenderung hanya imbauan dan iming-iming insentif.
Saat ini, pemerintah, bank
sentral, dan OJK kembali mengulang cara-cara lama yang menitikberatkan imbauan,
supervisory action, dan insentif
untuk mendorong penurunan suku bunga kredit. Pemerintah selain meminta
perusahaan-perusahaan negara pemilik dana besar untuk tidak menuntut bunga tinggi
kepada bank, juga sudah meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat dengan bunga
satu digit.
Kendati demikian tidak serta
merta bank menurunkan suku bunga kreditnya. Bank berhadapan dengan tiga
komponen pembentuk suku bunga kredit yakni
harga pokok dana, biaya operasional (overhead)
dan marjin keuntungan (profit margin).Ketiga
komponen itu membentuk apa yang dinamakan suku bunga dasar kredit (SBDK) yang
saat ini diwajibkan oleh bank sentral dicantumkan di website masing-masing
bank.
Harga pokok dana adalah biaya
yang dikeluarkan bank untuk membayar bunga simpanan (dana pihak ketiga/DPK)
seperti tabungan, deposito, dan giro. Harga pokok dana juga termasuk biaya dana
dan biaya regulasi. Sementara itu, cost
of fund bisa dilihat dari biaya bunga dalam komponen biaya operasional
bank.
Berdasarkan riset Stabilitas,hingga triwulan ketiga 2015,
beban bunga mencapai 47,61 persen dari total komponen biaya operasional
industri perbankan di Indonesia. Beban bunga terbesar terdapat dalam komponen
kewajiban kepada pihak ketiga bukan bank sebesar 55,84 persen.
Sedangkan beban biaya nonbunga
meliputi 52,39 persen total biaya operasional. Beban non bunga terbesar
terdapat dalam pos lainnya yang meliputi biaya overhead cost seperti beban gaji
dan operasional seperti operasional kantor yang meliputi 48,25 persen total
beban non bunga. Komponen beban non bunga terbesar kedua terdapat dalam pos
penyusutan (25,44 persen) dan kerugian atas transaksi spot dan derivatif
sebesar 24,50 persen.
Tingginya beban overhead cost perbankan di Indonesia
salah satunya disebabkan oleh karakter industri perbankan Indonesia yang belum
terlalu efisien dan tertata dengan baik seperti di negara-negara maju. Hal ini
terlihat dari tingkat kedalaman sektor keuangan di Indonesia yang masih rendah.
Saat ini kedalaman sektor keuangan Indonesia berkisar pada angka 30 persen dari
produk domestik bruto. Angka ini jauh jika dibandingkan dengan Korea Selatan
sebesar 109 persen, Singapura 102 persen, dan Thailand 97 persen.
(dipublikasikan Mei 2016)