Pelemahan ekonomi yang bisa mengancam target pertumbuhan
tahun ini segera direspons oleh Bank Indonesia dengan menyiapkan pelonggaran
pada kredit sektor konsumtif. Jurus ini sudah sering dipakai oleh otoritas dan
sejauh ini memetik hasil yang tidak mengecewakan.
‘Awan kelabu’ ternyata masih
menggelayuti perekonomian Indonesia ketika cuaca mendung disertai hujan belum
juga mau pergi meski seharusnya sudah berganti musim. Tahun ini seharusnya
kinerja ekonomi Indonesia sudah bisa meninggalkan jejak pelemahan yang sudah
diukirnya tahun lalu –pertumbuhan sepanjang 2015 hanya menyentuh 4,7 persen.
Namun apa daya, selama kuartal pertama tahun ini ekonomi hanya tumbuh 4,93
persen, padahal kuartal terakhir tahun lalu sempat menembus 5 persen.
Jika mencari-cari alasan tentu
mudah menerangkan kenapa pertumbuhan belum juga membaik meski Presiden Joko
Widodo sudah menegaskan bahwa ekonomi tahun ini harus tumbuh lebih tinggi dari
tahun lalu. Salah satu yang kerap menjadi kambing hitam tentu penyerapan
belanja dari kementerian dan lembaga yang masih melempem.
Sejak beberapa periode ke
belakang, penyerapan anggaran di awal-awal tahun memang menjadi momok
menakutkan dan selalu disalahkan sebagai biang keladi tak optimalnya
pertumbuhan ekonomi. Tahun ini kondisi itu kembali berulang, serapan anggaran
pemerintah pusat hingga 31 Maret 2016 tercatat Rp 193,5 triliun atau baru 14,6
persen.
Keadaan itu diperparah lagi
dengan belum lancarnya fungsi intermediasi perbankan setelah terhantam
pelemahan ekonomi tahun lalu. Pertumbuhan kredit pada kuartal pertama yang
ditargetkan sebesar 12-14 persen tidak tercapai. Padahal, Bank Indonesia sudah
memberi berbagai kebijakan pelonggaran likuiditas seperti penurunan giro wajib
minimum sebesar 150 basis poin dan bunga acuan hingga 75 basis poin.
Di sisi lain, pada periode yang
sama konsumsi rumah tangga melambat karena permintaan dan daya beli masyarakat
yang sedang turun. Masyarakat menengah ke atas cenderung menahan konsumsi,
sedangkan kelas bawah mengalami penurunan daya beli. BPS mencatat pengeluaran
konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,94 persen dari biasanya yang selalu di
atas lima persen.
Bukti pelemahan konsumsi juga
terlihat pada terjadi deflasi pada April yang besarnya mencapai 0,45 persen
yang merupakan deflasi tertinggi dalam lima tahun terakhir. Deflasi tertinggi sebelumnya
terjadi pada Februari 2015 yang angkanya mencapai 0,36 persen.
Meski penyebab dari sisi
eksternal cukup dominan, Kondisi global dinilai juga memberi sumbangan pada
pelemahan ekonomi hingga kuartal pertama. Dua pemain global terbesar yaitu,
Amerika Serikat dan China hingga kini masih dalam proses pemulihan ekonomi.
Bahkan Senior Economist Standard
Chartered Aldian Taloputra menilai, kondisi pelemahan ekonomi global pada tahun
ini diprediksi masih terus berlanjut sehingga berdampak terhadap kinerja ekspor
Indonesia. “Sebagian negara maju masih mengalami perlambatan, misalnya saja
Eropa cenderung masih flat dan Jepang kemungkinan sedikit membaik," ujar
Aldian.
Ekonomi
China hingga kuartal pertama masih belum stabil dengan hanya tumbuh 6,7 persen
yang merupakan rekor terendah sejak 2009. Ekspor dan impor China sepanjang
Februari 2016 mencatatkan penurunan yang sangat signifikan. Ekspor China
tercatat mengalami penurunan hingga 25,4 persen sepanjang Februari 2016,
sementara impor juga mengalami penurunan hingga 13,8 persen. Padahal, pada
Januari lalu penurunan ekspor hanya sebesar 11,2 persen dan impor sebesar 18,8
persen. Penurunan ini juga merupakan yang terburuk sejak Mei 2009. Penyaluran
kredit perbankan April juga turun menjadi sebesar 555,6 miliar yuan (85,1
miliar dollar AS) dan bulan Maret tercatat sebanyak 1,37 triliun yuan.
Sementara
itu ekonomi AS juga belum cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi AS selama
kuartal pertama 2016 hanya mencapai 0,5 persen. Inflasi di AS juga diprediksi
akan naik mendekati dua persen yang menjadi salah satu alasan The Federal
Reserve untuk menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan bulan Juni. Saat
ini, Fed Fun Rate (FFR) ada di level 0,25 - 0,5 persen. Keputusan itu diambil
pada FOMC Desember 2015 setelah sebelumnya menahan suku bunga acuannya di level
0 – 0,25 persen selama tujuh tahun.
Aldian menjelaskan, dengan
situasi ekonomi global yang masih melambat maka permintaan terhadap produk ekspor
juga menurun. Apalagi, ekspor industri manufaktur Indonesia juga masih kecil.
Menurut Aldian, agar perekonomian Indonesia terus bergerak pemerintah harus
mendorong permintaan domestik dan melakukan stimulus melalui pembangunan
infrastruktur.
Dengan
itu pula, Aldian memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 sebesar
5,2 persen dan inflasi 4,2 persen. Selain itu, menurutnya suku bunga Bank
Indonesia tidak akan turun lagi dan nilai rupiah pada 2016 ini diperkirakan
mencapai Rp 14 ribu.
Pemerintah
menetapkan target pertumbuhan ekonomi 2016 berada di level 5,3 persen dan
inflas sebesar 4-4,7 persen.
Jurus Lama
Melihat gelagat yang tidak
mengenakkan itu, otoritas moneter kemudian bergerak mengambil kebijakan untuk
menyelamatkan target pertumbuhan. Salah satu yang akan dilakukan adalah
mendorong kredit yang paling potensial yaitu kredit pemilikan rumah.
Bank Indonesia saat ini masih
mengaji untuk melonggarkan aturan kredit di sektor properti. “Bisa saja
pelonggaran tersebut adalah mencakup pelonggaran pembiayaan rumah kedua, atau
bisa saja terkait aturan uang muka (aturan LTV atau loan to value ratio),” kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza
Adityaswara.
LTV adalah rasio nilai kredit
yang dapat diberikan bank terhadap nilai agunan di saat awal pemberian kredit.
LTV ini mempengaruhi porsi pemberian kredit dari permintaan, sehingga
menentukan besaran uang muka yang harus disediakan nasabah sebelum mendapatkan
pinjaman.
Pada Juni 2015 lalu, BI sudah
melonggarkan aturan uang muka atas kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kredit
kepemilikan apartemen. Uang muka KPR konvensional saat itu diturunkan menjadi hanya
20 persen dari sebelumnya 30 persen, untuk syariah menjadi hanya 15 persen dari
20 persen. Aturan tersebut mulai diberlakukan 18 Juni 2015 seiring keluarnya
PBI No.17/10/2015 mengenai Rasio Loan To
Value atau Rasio Financing To Value
untuk Kredit atau Pembiayaan Properti.
BI tengah mengkaji kembali
kelonggaran aturan ini. Selain itu, BI juga mengkaji untuk melonggarkan
pembiayaan kredit perbankan untuk kepemilikan rumah kedua.
Mengutak-atik kebijakan di kredit
properti adalah strategi yang rutin dilakukan oleh BI ketika menghadapi situasi
perekonomian yang mengancam dan ketika instrumen suku bunga acuan sudah mulai
terbatas dampaknya.
Jauh sebelum sekarang, tepatnya
pada pertengahan Juni 2012, BI merilis aturan LTV pertamanya saat melihat
krisis subprime mortgage di AS makin tak terbendung dampaknya ke ekonomi
global. Ketika itu, BI mewajibkan nasabah untuk menyiapkan dana tunai untuk
pembelian rumah bertipe di atas 70 lewat bank dan juga pembelian kredit
kendaraan bermotor. Untuk kendaraan pribadi roda empat dengan down payment minimal sebesar 30 persen,
kendaraan pribadi roda dua minimal 25 persen, dan kendaraan niaga minimal uang
muka sebesar 20 persen.
Dalam tersebut, kredit maksimal
yang diberikan bank untuk pembiayaan rumah pertama adalah 80 persen untuk tipe
rumah maksimal 70 m2, dan 70 persen untuk tipe rumah di atas tipe 70 m2.
Artinya, DP atau uang muka yang harus disetorkan konsumen 20-30 persen dari
nilai barang yang dibeli.
Untuk rumah kedua, ditetapkan
batas maksimal pemberian kredit bank 70 persen untuk KPR tipe 21-70, serta 60
persen untuk KPR tipe di atas 70 m2. Sementara untuk rumah ketiga dan
seterusnya, batas maksimal pemberian kredit bank 60 persen untuk KPR tipe
21-70, serta 50 persen untuk KPR tipe di atas 70 m2.
Untuk di perbankan syariah,
kredit rumah pertama tipe 70 meter per segi ke atas dikenakan FTV maksimal 80
persen, rumah kedua 70 persen, rumah berikutnya 60 persen. Ini berlaku juga
untuk KPRS tipe 70 meter persegi ke atas. Sedangkan untuk KPR tipe 22-70 meter
persegi tak dikenakan FTV untuk kepemilikan pertama, maksimal FTV 80 persen
untuk kepemilikan kedua dan maksimal FTV 70 persen untuk kepemilikan ketiga dan
seterusnya.
Kebijakan tersebut sejauh ini
berhasil meredam situasi yang dikhawatirkan otoritas akan terjadi jika aturan
itu tidak dikeluarkan. Lalu apakah kebijakan kali ini berhasil mendorong
pertumbuhan seperti yang diinginkan BI?
(dipublikasikan Juni 2016)