Selasa, 24 Januari 2017

Pelemahan Dibalas Pelonggaran

Pelemahan ekonomi yang bisa mengancam target pertumbuhan tahun ini segera direspons oleh Bank Indonesia dengan menyiapkan pelonggaran pada kredit sektor konsumtif. Jurus ini sudah sering dipakai oleh otoritas dan sejauh ini memetik hasil yang tidak mengecewakan.

‘Awan kelabu’ ternyata masih menggelayuti perekonomian Indonesia ketika cuaca mendung disertai hujan belum juga mau pergi meski seharusnya sudah berganti musim. Tahun ini seharusnya kinerja ekonomi Indonesia sudah bisa meninggalkan jejak pelemahan yang sudah diukirnya tahun lalu –pertumbuhan sepanjang 2015 hanya menyentuh 4,7 persen. Namun apa daya, selama kuartal pertama tahun ini ekonomi hanya tumbuh 4,93 persen, padahal kuartal terakhir tahun lalu sempat menembus 5 persen.
Jika mencari-cari alasan tentu mudah menerangkan kenapa pertumbuhan belum juga membaik meski Presiden Joko Widodo sudah menegaskan bahwa ekonomi tahun ini harus tumbuh lebih tinggi dari tahun lalu. Salah satu yang kerap menjadi kambing hitam tentu penyerapan belanja dari kementerian dan lembaga yang masih melempem.
Sejak beberapa periode ke belakang, penyerapan anggaran di awal-awal tahun memang menjadi momok menakutkan dan selalu disalahkan sebagai biang keladi tak optimalnya pertumbuhan ekonomi. Tahun ini kondisi itu kembali berulang, serapan anggaran pemerintah pusat hingga 31 Maret 2016 tercatat Rp 193,5 triliun atau baru 14,6 persen.
Keadaan itu diperparah lagi dengan belum lancarnya fungsi intermediasi perbankan setelah terhantam pelemahan ekonomi tahun lalu. Pertumbuhan kredit pada kuartal pertama yang ditargetkan sebesar 12-14 persen tidak tercapai. Padahal, Bank Indonesia sudah memberi berbagai kebijakan pelonggaran likuiditas seperti penurunan giro wajib minimum sebesar 150 basis poin dan bunga acuan hingga 75 basis poin.
Di sisi lain, pada periode yang sama konsumsi rumah tangga melambat karena permintaan dan daya beli masyarakat yang sedang turun. Masyarakat menengah ke atas cenderung menahan konsumsi, sedangkan kelas bawah mengalami penurunan daya beli. BPS mencatat pengeluaran konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,94 persen dari biasanya yang selalu di atas lima persen.
Bukti pelemahan konsumsi juga terlihat pada terjadi deflasi pada April yang besarnya mencapai 0,45 persen yang merupakan deflasi tertinggi dalam lima tahun terakhir. Deflasi tertinggi sebelumnya terjadi pada Februari 2015 yang angkanya mencapai 0,36 persen.
Meski penyebab dari sisi eksternal cukup dominan, Kondisi global dinilai juga memberi sumbangan pada pelemahan ekonomi hingga kuartal pertama. Dua pemain global terbesar yaitu, Amerika Serikat dan China hingga kini masih dalam proses pemulihan ekonomi.
Bahkan Senior Economist Standard Chartered Aldian Taloputra menilai, kondisi pelemahan ekonomi global pada tahun ini diprediksi masih terus berlanjut sehingga berdampak terhadap kinerja ekspor Indonesia. “Sebagian negara maju masih mengalami perlambatan, misalnya saja Eropa cenderung masih flat dan Jepang kemungkinan sedikit membaik," ujar Aldian.
                Ekonomi China hingga kuartal pertama masih belum stabil dengan hanya tumbuh 6,7 persen yang merupakan rekor terendah sejak 2009. Ekspor dan impor China sepanjang Februari 2016 mencatatkan penurunan yang sangat signifikan. Ekspor China tercatat mengalami penurunan hingga 25,4 persen sepanjang Februari 2016, sementara impor juga mengalami penurunan hingga 13,8 persen. Padahal, pada Januari lalu penurunan ekspor hanya sebesar 11,2 persen dan impor sebesar 18,8 persen. Penurunan ini juga merupakan yang terburuk sejak Mei 2009. Penyaluran kredit perbankan April juga turun menjadi sebesar 555,6 miliar yuan (85,1 miliar dollar AS) dan bulan Maret tercatat sebanyak 1,37 triliun yuan.
                Sementara itu ekonomi AS juga belum cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi AS selama kuartal pertama 2016 hanya mencapai 0,5 persen. Inflasi di AS juga diprediksi akan naik mendekati dua persen yang menjadi salah satu alasan The Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan bulan Juni. Saat ini, Fed Fun Rate (FFR) ada di level 0,25 - 0,5 persen. Keputusan itu diambil pada FOMC Desember 2015 setelah sebelumnya menahan suku bunga acuannya di level 0 – 0,25 persen selama tujuh tahun.
Aldian menjelaskan, dengan situasi ekonomi global yang masih melambat maka permintaan terhadap produk ekspor juga menurun. Apalagi, ekspor industri manufaktur Indonesia juga masih kecil. Menurut Aldian, agar perekonomian Indonesia terus bergerak pemerintah harus mendorong permintaan domestik dan melakukan stimulus melalui pembangunan infrastruktur.
                Dengan itu pula, Aldian memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 sebesar 5,2 persen dan inflasi 4,2 persen. Selain itu, menurutnya suku bunga Bank Indonesia tidak akan turun lagi dan nilai rupiah pada 2016 ini diperkirakan mencapai Rp 14 ribu.
                Pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 2016 berada di level 5,3 persen dan inflas sebesar 4-4,7 persen.

Jurus Lama

Melihat gelagat yang tidak mengenakkan itu, otoritas moneter kemudian bergerak mengambil kebijakan untuk menyelamatkan target pertumbuhan. Salah satu yang akan dilakukan adalah mendorong kredit yang paling potensial yaitu kredit pemilikan rumah.
Bank Indonesia saat ini masih mengaji untuk melonggarkan aturan kredit di sektor properti. “Bisa saja pelonggaran tersebut adalah mencakup pelonggaran pembiayaan rumah kedua, atau bisa saja terkait aturan uang muka (aturan LTV atau loan to value ratio),” kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara.
LTV adalah rasio nilai kredit yang dapat diberikan bank terhadap nilai agunan di saat awal pemberian kredit. LTV ini mempengaruhi porsi pemberian kredit dari permintaan, sehingga menentukan besaran uang muka yang harus disediakan nasabah sebelum mendapatkan pinjaman.
Pada Juni 2015 lalu, BI sudah melonggarkan aturan uang muka atas kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kredit kepemilikan apartemen. Uang muka KPR konvensional saat itu diturunkan menjadi hanya 20 persen dari sebelumnya 30 persen, untuk syariah menjadi hanya 15 persen dari 20 persen. Aturan tersebut mulai diberlakukan 18 Juni 2015 seiring keluarnya PBI No.17/10/2015 mengenai Rasio Loan To Value atau Rasio Financing To Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti.
BI tengah mengkaji kembali kelonggaran aturan ini. Selain itu, BI juga mengkaji untuk melonggarkan pembiayaan kredit perbankan untuk kepemilikan rumah kedua.
Mengutak-atik kebijakan di kredit properti adalah strategi yang rutin dilakukan oleh BI ketika menghadapi situasi perekonomian yang mengancam dan ketika instrumen suku bunga acuan sudah mulai terbatas dampaknya.
Jauh sebelum sekarang, tepatnya pada pertengahan Juni 2012, BI merilis aturan LTV pertamanya saat melihat krisis subprime mortgage di AS makin tak terbendung dampaknya ke ekonomi global. Ketika itu, BI mewajibkan nasabah untuk menyiapkan dana tunai untuk pembelian rumah bertipe di atas 70 lewat bank dan juga pembelian kredit kendaraan bermotor. Untuk kendaraan pribadi roda empat dengan down payment minimal sebesar 30 persen, kendaraan pribadi roda dua minimal 25 persen, dan kendaraan niaga minimal uang muka sebesar 20 persen.
Dalam tersebut, kredit maksimal yang diberikan bank untuk pembiayaan rumah pertama adalah 80 persen untuk tipe rumah maksimal 70 m2, dan 70 persen untuk tipe rumah di atas tipe 70 m2. Artinya, DP atau uang muka yang harus disetorkan konsumen 20-30 persen dari nilai barang yang dibeli.
Untuk rumah kedua, ditetapkan batas maksimal pemberian kredit bank 70 persen untuk KPR tipe 21-70, serta 60 persen untuk KPR tipe di atas 70 m2. Sementara untuk rumah ketiga dan seterusnya, batas maksimal pemberian kredit bank 60 persen untuk KPR tipe 21-70, serta 50 persen untuk KPR tipe di atas 70 m2.
Untuk di perbankan syariah, kredit rumah pertama tipe 70 meter per segi ke atas dikenakan FTV maksimal 80 persen, rumah kedua 70 persen, rumah berikutnya 60 persen. Ini berlaku juga untuk KPRS tipe 70 meter persegi ke atas. Sedangkan untuk KPR tipe 22-70 meter persegi tak dikenakan FTV untuk kepemilikan pertama, maksimal FTV 80 persen untuk kepemilikan kedua dan maksimal FTV 70 persen untuk kepemilikan ketiga dan seterusnya.

Kebijakan tersebut sejauh ini berhasil meredam situasi yang dikhawatirkan otoritas akan terjadi jika aturan itu tidak dikeluarkan. Lalu apakah kebijakan kali ini berhasil mendorong pertumbuhan seperti yang diinginkan BI?

(dipublikasikan Juni 2016)

Batu Sandungan Penurunan Bunga

Jalannya operasi penurunan suku bunga yang digelar otoritas tidak akan semulus seperti yang direncanakan. Selain tantangan dari rencana kenaikan suku bunga The Fed, tantangan dari sisi otoritas sendiri bisa menjadi batu sandungan keberhasilan operasi tersebut.


Sudah melewati tengah tahun tetapi tanda-tanda suku bunga single digit yang didengung-dengungkan sejak awal tahun belum juga terlihat. Padahal tiga otoritas sudah bahu membahu memberikan dukungan untuk menekan suku bunga baik deposito maupun kredit. Hingga awal Juni suku bunga kredit hanya turun kurang dari 20 basis poin jika dihitung sejak awal tahun. Sementara bunga deposito turun di kisaran 40 basis poin dalam kurun waktu yang sama.
Sebagian kalangan menyebut bahwa keinginan otoritas mengarahkan suku bunga ke level single digit akan menghadapi beberapa tantangan yang tidak ringan, bahkan yang berasal dari otoritas itu sendiri. Salah satunya terkait aturan.
Otoritas Jasa Keuangan memiliki aturan tegas untuk menghindari bank mengenakan bunga seenaknya. Otoritas itu telah mengatur bahwa suku bunga deposito bank tidak boleh melebihi batas tertentu dari suku bunga acuan. Pada Maret lalu capping bunga deposito bank ditetapkan sebesar 75 sampai 100 basis poin dari BI Rate.
Batas atas suku bunga itu diberlakukan hanya kepada bank-bank yang masuk kategori BUKU 3 dan 4, atau bank-bank yang memiliki modal inti minimal Rp5 triliun. Jadi bank-bank itu hanya boleh memberikan suku bunga deposito maksimal 7,50 sampai 7,75 persen. Batasan suku bunga deposito sudah diberlakukan sejak lembaga itu berdiri pada 2004. Hingga akhir 2004, regulator perbankan ini menetapkan batas atas bunga deposito untuk bank BUKU 4 maksimal 200 bps di atas BI rate, sedangkan untuk bank BUKU 3 maksimal 225 bps di atas BI rate
Masalahnya adalah, BI Rate yang sekarang berada di level 6,75 persen dan menjadi acuan bagi bunga 12 bulan, pada Agustus nanti akan diubah menjadi 7 hari atau diubah menjadi 7 Day Repo Rate yang besarnya sekitar 5,5 persen. Artinya posisi suku bunga akan menjadi lebih rendah.
“Jika saat ini otoritas perbankan memiliki batas atas suku bunga deposito yang besarnya BI Rate plus 100 basis poin, nanti kalau BI Rate menjadi 7-Day Repo Rate, apakah ceiling rate-nya jadi 7-Day Repo Rate plus 100 basis poin juga?” kata Leo putra Renaldy, Analis Mandiri Sekuritas.
Jika itu terjadi maka akan ada perubahan signifikan dan mendadak pada pengenaan bunga deposito bank, dan hal itu diperkirakan akan mengguncang bank. Oleh karena itu, Leo memprediksi OJK akan tetap mempertahankan aturan lama. “Kalau menurut saya tetap akan di BI Rate plus 100 dalam arti tidak berubah besaran batas atas bunga depositonya,” kata Leo.
Sampai saat ini memang belum ada aturan resmi yang dikeluarkan oleh OJK menanggapi perubahan suku bunga acuan itu, dan hal itu terus dinantikan oleh pelaku pasar.  "Apa yang akan dilakukan mereka? Market ingin lihat benar tidak OJK akan tetap pakai suku bunga 12 bulan? Walau banyak yang berasumsi demikian, kita tunggu saja respons mereka," kata Leo.
Sementara itu, OJK sejatinya sudah mempersiapkan langkah untuk merespons perubahan aturan bank sentral mengenai BI Rate. Akan tetapi sampai artikel ini ditulis aturan itu masih dikaji. “Nanti kita lihat. Kita tahu dan kita lakukan ini secara hati-hati. Tapi tetap keinginan untuk menjadikan bunga single digit tahun ini tetap jalan. Nanti kita lihat dulu. Akan kita review dulu bagaimana responnya. Karena masa adjustment ini penting," kata Muliaman.
Dalam peraturan OJK soal pembatasan suku bunga deposito, hanya bank yang masuk kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 yang terkena imbas aturan capping bunga itu.
Dengan adanya pembaruan aturan capping tersebut, kata Muliaman, bank BUKU 1 dan bank BUKU 2 harus diatur, meski sebetulnya tidak ada batasan bagi mereka. "BUKU 1 dan BUKU 2 nanti didekati dengan persuasi. Sebenarnya tidak ada batasan, tapi kan mereka harus sejalan," lanjut dia.
Menurut Muliaman, sekitar 80 persen industri keuangan nasional sudah masuk kategori BUKU 3 dan BUKU 4. "Mereka disebut sebagai price sector. Kalau price sector menetapkan, biasanya yang lainnya ngikut," katanya.


Cara lain
Terkait dengan keinginan otoritas keuangan dan regulator lainnya agar bank bisa menurunkan suku bunga hingga single digit, OJK meminta industri perbankan untuk memaksimalkan layanan digital agar biaya operasional semakin efisien sehingga dapat mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon, dalam diskusi mengenai Perbankan Digital, di Jakarta, bulan lalu mengatakan efisiensi perbankan mutlak harus dilakukan.  “Salah satunya dengan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi, dan pada akhirnya bisa menurunkan suku bunga,” ujar dia.
Dalam meningkatkan layanan digital, Nelson mengatakan, perbankan perlu menyiapkan diri, termasuk dalam penganggaran belanja modal teknologi informasi (TI).
Selain belanja modal untuk TI, beberapa tantangan lainnya adalah industri juga perlu mengubah orientasi dari cara konvensional untuk melayani nasabah menjadi pelayanan digital.
Pada sisi lain, katanya lagi, kerja sama perbankan dan industri telekomunikasi juga harus terjalin dengan baik. “Dari sisi regulator, ada juga penyelarasan aturan antarregulator.” ujarnya.
OJK juga telah membentuk Tim Gugus Tugas Perbankan Digital. Tim ini akan mengkaji dan menyimpulkan rekomendasi mengenai peta jalan penerapan perbankan digital di Indonesia. Nelson mengatakan Tim Gugus Tugas itu telah melakukan kajian awal. Berdasarkan kajian tersebut, tim menyimpulkan bahwa perbankan dan penyedia jasa telekomunikasi berkomitmen untuk menghadirkan sejumlah layanan berbasis teknologi digital.
“Namun, ada beberapa hal yang menjadi perhatian yaitu penggunaan identitas tunggal, seperti KTP elektronik bagi perbankan sebagai basis data nasabah,” ujar dia pula.
Hasil kajian itu pula, katanya lagi, OJK melihat perbankan perlu menerapkan manajemen risiko yang baik dan model bisnis yang sesuai dengan kebutuhan nasabah, “Perlu juga peningkatan pengamanan. Penerapan perbankan digital menyebabkan pintu masuk bagi pelaku kriminal siber menjadi lebih terbuka,” katanya.
OJK tengah mendorong peningkatan efisiensi perbankan, dengan mengeluarkan insentif bagi perbankan agar dapat menurunkan biaya operasional (overhead cost) dan biaya risiko kredit bermasalah.

Tantangan Eksternal
Akan tetapi, rencana penurunan bunga mendapatkan tantangan sengit karena bank sentral AS diperkirakan akan melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya setelah akhir tahun lalu dinaikkan pertama kali dalam 15 tahun terakhir.
Menurut pejabat Bank Indonesia, jika The Fed benar-benar menaikkan suku bunga maka BI juga akan mengikutinya. Memang, kalau suku bunga global naik, kita pasti akan naikkan suku bunga juga. Tapi Indonesia saya yakin akan lebih siap," ucap Direktur Departemen Pengelolaan Moneter BI Pribadi Santosodi.
Rencana The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan dinilai bakal meningkatkan tantangan terhadap ekonomi Indonesia di semester II-2016. Terlebih lagi, ada ekspektasi tinggi jika The Fed akan meningkatkan suku bunga dari level saat ini sebesar 0,25 persen sampai dengan 0,5 persen.
Analis Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy menyebutkan, kemampuan pemerintah untuk mencapai target penerimaan juga menjadi tantangan lainnya yang bisa menganggu stabilitas ekonomi di semester kedua. Hal ini termasuk bagaimana pemerintah mengurangi risiko fiskal.
Selain itu, pemerintah juga perlu mewaspadai tingginya kepemilikan asing di obligasi pemerintah. Apalagi dengan porsi kepemilikan asing mencapai 37 persen, akan sangat rentan terjadi gejolak ketika ada kenaikkan suku bunga di negara maju sehingga dana yang ada di Indonesia keluar menuju negara maju tadi.
Di pasar modal kepemilikan asing hampir 60 persen. Ini menjadi perhatian penting bagi Bank Indonesia. Selain Fed Fund Rate, juga investor akan menunggu apakah BI bisa menjaga nilai tukar Rupiah. Juni sampai Agustus paling critical bagi pasar," lanjut dia.
Oleh karena itu, Leo meminta agar pemerintah tidak terlalu optimis dalam menargetkan pertumbuhan ekonomi. Sebab dengan ekspektasi yang tinggi, pasar akan sangat terganggu ketika target pertumbuhan ekonomi tak tercapai. "Gejolak pasar saat itu terjadi karena pemerintah terlalu sering melontarkan ekspektasi tinggi untuk pertumbuhan ekonomi. Di pasar keuangan, ekspektasi yang dilontarkan pemerintah sangat penting untuk dijaga dan itu menentukan sentimen dari pasar," kata dia.

(dipublikasikan Juni 2016)

Aturan yang Mengejar Zaman

Perkembangan bisnis pinjam meminjam tanpa perantara bank seharusnya direspons otoritas dengan menerbitkan regulasi untuk mengaturnya agar tidak merugikan konsumen dan mengganggu perekonomian. Meski demikian sudah ada bank yang menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut.
  
Ungkapan yang mengatakan bahwa bisnis selalu berlari di depan aturan memang tidak berlebihan. Hampir di semua tempat di dunia ini, regulasi hampir selalu muncul ketika sebuah bisnis baru sudah berjalan. Akan tetapi, kemunculan sebuah aturan mengenai sebuah bisnis selalu berbarengan dengan kebutuhan melindungi konsumen.
Kini, dalam lingkungan bisnis muncul fenomena financial technology atau fintech, istilah untuk menyebut suatu inovasi di bidang jasa keuangan. Inovasi-inovasi tersebut bisa berupa proses pembayaran, transfer, jual beli saham, proses peminjaman uang secara peer to peer dan masih banyak lagi.
Bisnis di bidang ini sedang bersiap untuk booming , setidaknya itu menurut beberapa pengamat dan juga pelaku. Bisnis ini sering menjadi andalan pebisnis-pebisnis baru (start up) yang tengah merintis usaha terutama di sektor mikro dan kecil.
Akan tetapi, meski di Indonesia bisnis ini belum memberi ancaman bagi perekonomian dan juga bagi nasabah, bukan berarti potensinya tidak ada. Belajar dari pengalaman di China yang tertimpa masalah dengan ambruknya Ezubao, perusahaan pemberi pemberi pinjaman dengan metode peer-to peer lending. Skema itu memungkinkan nasabah mendapatkan pinjaman tanpa perantara dari bank, dan merupakan salah satu bisnis dalam fintech.
Oleh sebab itu, regulasi yang bisa melingkupi dan melindungi semua stake holder bisnis sekaligus memberikan perlindungan kepada konsumen sudah saatnya dihadirkan. “Regulasi tersebut nantinya bukan hanya bermanfaat untuk fintech companies, tapi juga untuk melindungi nasabah,” kata Direktur Riset Kenta Institute Eric Sugandi.
Ketiadaan aturan baik dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengawas industri jasa financial dan Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran, saat ini memang belum menyebabkan ancaman bagi nasabah. Di sisi lain, pelaku usaha fintech juga belum mendesak otoritas untuk menerbitkan aturan.
                Meski demikian, karakteristik perusahaan fintech membuka peluang terjadi risiko-risiko yang bisa mengganggu ekonomi di masa mendatang. Perusahaan fintech biasanya juga merupakan pemula dalam dunia bisnis sehingga kesadaran untuk menyiapkan mitigasi risiko juga masih rendah. “Selalu ada risiko operasional yang berkait dengan teknologi. Sehingga jika perusahaan fintech tersebut masih start-up, belum tentu perusahaan tersebut bisa memitigasi risiko jika ada masalah,” kata Eric.
Sementara itu, OJK mengatakan bahwa sampai pekan pertama Juni, aturan untuk meregulasi bisnis fintech masih digodok. Otoritas masih terus membahas detil aturan dengan semua pihak yang terkait untuk mendapatkan gambaran lengkap mengenai bisnis tersebut. Agar antinya aturan yang keluar tidak malah menghambat perkembangan fintech. “Aturannya nanti tidak akan terlalu ketat mengatur fintech, tapi juga tidak longgar sekali karena fintech ini sangat khas. Mudah-mudahan akhir tahun sudah bisa keluar (aturan tersebut),” kata Anto Prabowo, Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK.
Sebelumnya, OJK menyebut bahwa aturan itu akan keluar sebelum semester pertama tahun ini kelar. Aturan itu dinilai harus segera disusun dan diterbitkan karena pertumbuhan industri keuangan berbasis dalam jaringan (daring) akan semakin cepat. Contohnya, seperti agen asuransi yang sekarang dapat menjadi agen untuk perusahaan asuransi lain.
"Kalau melalui online, mereka (perusahaan jasa keuangan) punya produk banyak. Kita harus menyesuaikan, nggak bisa ditunda," kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani.
Ditambahkannya, aturan ini dibutuhkan untuk mengembangkan industri serta menyangkut dengan kepercayaan konsumen. Sebab, jika tidak ada pengawasan yang jelas, industri tersebut akan sulit mendapatkan kepercayaan konsumen dengan mudah. “Kami akan mengatur supaya fintech bisa lebih dipercaya oleh masyarakat. Kalau nggak ada pengawasan, nanti nggak akan dipercaya," ujar Firdaus.
Salah satu poin aturan yang sengit dan krusial yang menjadi perdebatan dalam pembahasan adalah berkaitan dengan tingkat suku bunga. Dalam sebuah perusahaan jasa online yang menawarkan pinjaman, suku bunga yang dikenakan adala 10 persen dalam jangka 10 hari, jika pinjam 30 hari maka bunganya 20 persen. “Kalau satu tahun kan besar banget. Itu harus dipikirkan," kata Firdaus.
Sejatinya fintech bukan hal yang sangat baru. Fintech, sudah mulai terlihat sejak 8 tahun lalu, tepatnya di London, Inggris berbarengan dengan kemunculan ekonomi digital. Setahun belakangan ini istilah tersebut baru terasa gaungnya di Indonesia. Di Indonesia, situs DailySocial mencatat fintech sebagai kategori kedua terpopuler setelah e-commerce berdasarkan jumlah start up yang menerima pendanaan sepanjang 2015. Banyaknya para pemula dalam berbisnis akan membuat pamor dari fintech makin tinggi.
Menurut data Accenture, investasi global yang dikucurkan untuk fintech pada 2014 mencapai 12,21 miliar dollar AS, naik tiga kali lipat dibanding 2013 yang hanya 4,05 miliar dolar AS. Di wilayah Asia Pasifik, studi Accenture mencatat nilai investasi ke dalam bidang fintech selama sembilan bulan pertama 2015 sudah mencapai 3,5 miliar dollar AS atau hampir empat kali lebih besar dari angka yang tercatat sepanjang 2014.

Mengancam Bank?
                Bisnis fintech yang juga melingkupi pinjam meminjam dana jelas menjadi kekhawatiran bagi industri perbankan dan juga otoritas. Selain dianggap mengancam eksistensi bank, bisnis ini juga minim pengawasan yang bisa membuat nasabah jatuh ke dalam aksi tipu-tipu dan investasi bodong.
                Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman Hadad, mengatakan, keberadaan fintech tidak seharusnya dijadikan sebagai ancaman bagi industri perbankan. Jasa bisnis baru di industri keuangan tersebut malah bisa menjadi faktor pendukung untuk menciptakan kesuksesan antara fintech dengan perbankan. Terlebih, keberadaan industri fintech di Indonesia masih kecil. “Mestinya FinTech bukan dianggap sebagai ancaman bank. Tapi, enabler dimana sukses partnership bank-fintech bisa dilakukan,” kata dia saat acara fintech beberapa waktu lalu.
Lanjut Muliaman, dengan adanya partnership yang baik antara industri perbankan dan fintech, diyakini mampu membawa industri keuangan nasional jauh lebih baik. Pasalnya, banyak benefit jika kedua industri ini mampu bekerja sama, khususnya bagi perbankan, di mana perbankan bisa lebih efisien dan bisa meningkatkan akses keuangan bagi masyarakat. "Engagement (antara perbankan dengan fintech) yang terjadi harus betul-betul didorong sehingga bank bisa lebih efisien, inklusif, dan menyehatkan daya saing," kata dia.
Sementara itu, CEO Modalku, sebuah perusahaan fintech, Reynold Wijaya mengatakan banyak benefit jika dua industri ini bekerja sama, salah satunya mampu membuat market baru. Bahkan, disebut mampu membantu program pemerintah mengembangkan sektor UKM. “Bank dan fintech bisa bikin market baru. Kalau bisa kolaborasi, UKM pun bisa terbantu," ujarnya.
Di sisi lain, menurut Deputy Akses Keuangan, Badan Ekonomi Kreatif (BeKraf), Fadjar Hutomo, mengatakan, kemajuan zaman tak lepas dari kehadiran inovasi. Kehadiran inovasi akan terasa mengganggu bagi mereka yang tak ingin berinovasi. Seperti halnya saat adanya revolusi industri. “Inovasi menjadi disrupt bagi mereka yang tak ingin berinovasi. Kalau terganggu wajar, tapi seharusnya bisa bersama-sama menemukan solusinya. Sejak zaman dahulu pun begitu, saat revolusi industri inovasi hadir membuat semua jadi berubah dan mampu menyesuaikan," jelasnya.
Saat ini sudah ada lembaga keuangan yang mulai memanfaatkan perkembangan bisnis tersebut. Sebut saja PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang meluncurkan anak perusahaan baru yakni Mandiri Capital Indonesia (MCI). Pembentukan perusahaan tersebut menurut perseroan adalah untuk mendukung pengembangan pengusaha start up  dan bagian dari 'defensive strategy' yang progresif. Menurut Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo pertumbuhan startup di Indonesia, khususnya di bidang inovasi jasa finansial merupakan yang kedua terbesar di ASEAN setelah Singapura. "Melalui Mandiri Capital, kami berharap startup Indonesia dapat tumbuh lebih pesat lagi dan dapat merangsang kreativitas generasi muda menciptakan produk dan jasa yang out of the box, khususnya yang dapat mendukung produk perbankan dan jasa keuangan lainnya," kata Kartika.

 (dipublikasikan Juni 2016)


Menyetarakan Nasabah dengan Bank

Otoritas akan mengeluarkan beberapa ketentuan yang akan mendongkrak posisi tawar nasabah dan sekaligus memproteksinya dari produk-produk keuangan yang bisa membawa bencana. Mulai penyempurnaan penyelesaian sengketa di internal hingga penyeragaman mekanisme penawaran produk menjadi hal yang akan dilakukan otoritas.


“Perlindungan konsumen bukanlah habitat alamiah dari bank sentral”. Kata-kata itu pernah diucapkan oleh Eddie George, Gubernur bank Sentral Inggris atau Bank of England periode 1993-2003. Dan ketika bank sentral Indonesia sudah memisahkan pengawasan perbankan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2014, kata-kata Eddie George masih terngiang-ngiang.
Dalam regulasi yang mengatur OJK, lembaga itu tidak boleh terlibat dalam kasus sengketa yang melibatkan nasabah dan bank. Hal itulah yang membuat lembaga pengawas harus puas hanya menjalankan fungsinya sebagai otoritas yang memverifikasi dan mengklarifikasi kasus-kasus sengketa antara nasabah dan bank.
Meski tidak bisa melindungi nasabah secara langsung ketika terjadi sengketa, bukan berarti OJK berdiam diri meratapi keadaan. Otoritas, khususnya Direktorat Edukasi Dan Perlindungan Konsumen, tetap melindungi nasabah dan terus menyeimbangkan posisi nasabah di hadapan perbankan.
Salah satu cara yang akan dilakukan adalah mendesak perbankan dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan standardisasi internal dispute resolution (IDR). Mekanisme itu menjelaskan bahwa konflik antara nasabah dan perusahaan jasa keuangan diupayakan diselesaikan lewat mekanisme internal misalnya melalui layanan nasabah. “Standardisasi IDR mendesak diperlukan. Kami nanti akan meminta bank harus menyediakan unit kerja khusus (penyelesaian sengketa) dan unit itu harus punya akses ke semua lini,” kata Anto Prabowo, Kepala Departemen Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan.
Dalam draf Standar Internal Dispute Resolution yang tengah disusun OJK dan diperoleh redaksi Stabilitas akan ada beberapa ketentuan yang akan diluncurkan. Di antaranya adalah pejabat yang melaksanakan fungsi IDR wajib bersiifat independensi dan memiliki akses kepada fungsi lainnya. Penunjukan pejabat harus memperhatikan jenis produk atau layanan, jenis jumlah dan penyebaran konsumen, nilai transaksi yang dilakukan, struktur organisasi dan penyebaran kegiatan operasional.
Selain itu, pejabat itu juga harus memiliki pengetahuan mengenai jenis produk atau layanan, pengalaman dibidang pelayanan konsumen, dan kewenangan utk membuat keputusan terhadap pelayanan pengaduan. Dan dia diwajibkan Memonitor dan respons terhadap sistem traceable dan  trackable yang dimiliki OJK. “Kesemua rencana aturan itu berdasarkan pada Pasal 29 Undang-Undang OJK bahwa kami memfasilitasi penanganan pengaduan konsumen keuangan dan masyarakat,” kata Anto.
Untuk mendukung mekanisme IDR, lembaga pengawas juga sudah membentuk layanan keuangan terintegrasi yang dinamakan Financial Costumer Care (FCC) 2012 lalu. FCC bisa dihubungi nasabah jika keluhannya kepada bank belum juga ditanggapi dan direspons serta diselesaikan.
Beberapa bulan lalu, OJK juga sudah, OJK telah membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di semua sektor jasa keuangan. Sebelumnya penyelesaian konflik antara nasabah dan perusahaan jasa keuangan hanya diupayakan lewat mekanisme internal dan FCC. LAPS dijalani nasabah dan bank jika mekanisme tersebut gagal, otoritas juga menyediakan saluran untuk membantu percepatan penyelesaian sengketa. “LAPS diharapkan menjadi sarana bagi penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan. Dalam menjalankan kegiatannya, LAPS wajib menerapkan prinsip- prinsip penyelesaian sengketa berupa aksesibilitas, independensi, keadilan, efisiensi dan efektifitas,” kata Kusumaningtuti S. Soetiono, Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen saat mengumumkan pembentukan lembaga itu.
OJK sekaligus juga mengeluarkan daftar lembaga alternatif yang dinilai memenuhi persyaratan, teruatama dalam hal penerapan prinsip penyelesaian sengketa. Sejak Januari 2016 terdapat 6 LAPS yang terdaftar di OJK setelah melalui proses penilaian yang melibatkan berbagai komponen yang dapat beroperasi melayani konsumen keuangan di sektor jasa keuangan.
Daftar LAPS yang sudah beroperasi yaitu Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP), Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI), dan Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI).

Welcome Call
               
Selain melakukan penyeragaman dalam penyelesaian sengketa nasabah lewat internal, OJK juga berencana mewajibkan lembaga-lembaga keuangan terutama perbankan untuk menerapkan ‘welcome call’. Bank dengan mekanisme itu harus menjelaskan kembali kepada nasabah yang sudah membeli produk atau jasa yang dijualnya dengan menelpon nasabah itu secara langsung. “Penjelasannya berkisar profil produk, risikonya dan biaya-biaya yang harus ditanggung nasabah. Bank harus memastikan nasabah memahami produk yang dia beli,” kata Anto.
Mekanisme itu diperlukan karena masih banyak nasabah yang membeli produk keuangan tanpa mengetahui risiko dan biayanya, dan di sisi lain agen penjual tidak menjelaskan dan membuka semua informasinya. Bahkan ironisnya, pemahaman yang rendah itu kadang dimanfaatkan oleh agen-agen seperti penjual produk unitlink dengan memberi penjelasan yang sederhana dan membandingkannya produk itu dengan tabungan berjangka waktu tertentu. "Banyak agen hanya menjelaskan ini seperti tabungan yang tak bisa diambil lalu nanti akan ada hasilnya," ujar Anto.
Tak heran kalau kemudian produk asuransi yang satu ini menjadi sumber utama pendapatan perusahaan asuransi. Pada kuartal keempat tahun lalu kontribusi premi unitlink mencapai 56,2 persen, lebih besar dibanding konvensional yang hanga 43,8 persen. Akan tetapi hal itu juga memantik perseteruan antara nasabah dan perusahaan asuransi. Menurut OJK sengketa pengaduan yang masuk atas produk unitlink hampir melibatkan semua bank dan perusahaan asuransi.
Untuk mencegah timbulnya persoalan mengenai produk-produk keuangan, OJK akan meminta kepada para pelaku industri untuk melakukan konfimasi dan penjelasan sekali lagi kepada nasabah baru lewat mekanisme wellcome call. "Dari 10 perusahaan yang disurvei OJK, delapan sudah melakukan dengan kesadarannya. Wellcome call  bisa menekan munculnya pengaduan," kata Anto.
Maraknya penawaran produk keuaangan memang sempat membuat gundah OJK. Pasalnya banyak tawaran-tawaran itu yang dilakukan terlalu agresif tanpa mengindahkan kepentingan konsumen. Selain itu, investasi bodong juga menjadi gangguan lain bagi otoritas karena banyak membawa korban kerugian pada masyarakat.
Untuk masalah yang satu itu, lembaga pengawas telah menyiapkan langkah strategis. OJK akan  membentuk satuan tugas (satgas) Waspada Investasi dengan menggandeng lembaga lain. Satgas itu akan bertugas mengawasi pertumbuhan perusahaan investasi ilegal yang tumbuh subur.
“Saat ini OJK sedang menyiapkan rancangan SKB (Surat Keputusan Bersama). Senin depan kami kumpulkan dulu biro hukum, dan tanggal 21 target penandatangan,” kata Direktur Kebijakan dan Dukungan Penyidikan OJK Tongam L. Tobing.
Satgas Waspada Investasi itu terdiri dari lembaga-lembag seperti OJK, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
                Kehadiran satgas itu sangat mendesak mengingat hingga pertengahan tahun ini OJK mendapatkan laporan masyarakat bahwa ada 406 perusahaan investasi ilegal yang beredar dan tengah mengumpulkan dana publik. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibanding pada 2014 yang hanya 262 perusahaan yang diintai.
                Indonesia bukan satu-satunya negara yang tengah bergegas melengkapi aturan untuk melindungi konsumen keuangan. Di AS, otoritas keuangan yang dipegang bank sentral telah menerbitkan Dodd-Frank Act yang mewajibkan pembentukan lembaga baru yang independen di bawah the Fed yang khusus bertugas melindungi konsumen jasa keuangan. Inggris juga berencana mendirikan lembaga perlindungan konsumen keuangan tersendiri. Otoritas memanga harus segera menyesuaikan diri dalam melindungi konsumen karena selama ini hal tersebut memang bukan habitat alamiahnya. Setidaknya itulah yang dikatakan Eddie George, mantan Gubernur bank Sentral Inggris yang meninggal 2009 lalu.

(dipublikasikan Juni 2016)