Perang melawan rentenir terus berlangsung di bawah pimpinan
Otoritas Jasa Keuangan yang menginisiasi banyak program-program pembiayaan
mikro. Hampir semuanya bertujuan agar masyarakat bisa lepas dari jeratan
rentenir.
Ibu Narsem sedang sibuk membolak-balikan kue serabi yang
dimasaknya di depan ruang pertemuan sebuah pondok pesantren di Purwokerto, Jawa
Tengah. Saat itu akan diadakan pertemuan antara pengurus pesantren dengan
perwakilan dari Otoritas Jasa Keuangan yang diliput oleh beberapa puluh
wartawan.
Perempuan yang berusia 71 tahun
itu sudah berjualan Serabi sejak 1981 di lapangan Bancarkembar, Purwokerto.
Sebelumnya dia sering meminjam uang pada rentenir yang selalu menunggu
korbannya di pasar-pasar sejak pagi. Imbal hasil yang tinggi membuat Munarsem
kerap kali terjepit ketika harus membayar. “Ya, misal pinjam Rp100 ribu, kembaliinnya bisa Rp150 ribu. Itu dalam
24 hari,” kata Narsem.
Akan tetapi dalam beberapa bulan
terakhir, sang nenek bisa bernapas lega, setelah di dekat rumahnya, tepatnya di
sekitar Pondok Pesantren Al Hidayah, Karangsuci, Purwokerto, berdiri Bank Wakaf
Mikro (BWM) Amanah Berkah Nusantara. Bank tersebut menawarkan pinjaman yang
sangat menenangkan dirinya ketika harus terus berjualan serabi tanpa harus
khawatir imbal hasil yang mencekik. “Sekarang lebih suka pinjam di sini (BWM
Amanah Berkah Nusantara), bunganya kecil,” kata Narsem.
Setiap pekan, Narsem harus mencicil
pinjamannya sebesar Rp25 ribu, ditambah kewajiban menabung Rp 10 ribu. Setiap
hari, perempuan tua itu kini bisa mengantongi hasil penjualan serabi antara
Rp50 ribu hingga Rp60 ribu. Dan pada akhir pekan dan hari libur penghasilannya bisa
lebih besar lagi.
Ahmad Arif Noeris, Ketua BWM
Amanah Berkah Nusantara sekaligus Ketua Yayasan Pondok Pesantren Al Hidayah
mengatakan bahwa pendirian lembaga keuangan di sekitar pondok disambut antusias
oleh masyarakat. Pasalnya, selama ini warga sekitar pesantren merupakan
pelanggan rentenir untuk memenuhi kebutuhan pendanaannya.
“Tantangan dari rentenir sudah
mulai tampak, meski belum secara frontal. Pergerakan BWM saat ini sudah
dipantau oleh rentenir, karena memang mayoritas nasabah BWM pernah meminjam
uang dari rentenir dan mungkin juga ada yang merupakan marketing pihak rentenir,” jelas Noeris.
Otoritas
Jasa Keuangan yang sudah bekerja secara penuh sejak 2014, paham betul akan
kondisi ini di hampir seluruh daerah di Tanah Air. Oleh karena itu otoritas
sejak itu sudah menabuh genderang perang melawan rentenir. Rentenir adalah
momok bagi ribuan pelaku ekonomi di desa-desa hingga di kota-kota di Indonesia,
karena lazim menuntut imbalan sangat tinggi untuk pinjaman yang diberikan.
Terkini, OJK menginisiasi
pembentukan lembaga keuangan mikro yang bisa membantu pelaku ekonomi desa
memperoleh akses pendanaan sekaligus menjadi senjata tambahan melawan rentenir.
Kali ini otoritas memfasilitasi pondok pesantren untuk mendirikan lembaga keuangan
yang beroperasi dengan sistem syariah dan diberi nama Bank Wakaf Mikro (BWM).
Pertama kali diluncurkan November tahun lalu, otoritas terus
bekerja keras agar lembaga yang memang dimaksudkan berdiri di sekitar pondok
pesantren ini, bisa meningkat jumlahnya. Jumlah pesantren di Indonesia yang berjumlah
sekitar 28 ribu, dianggap sebagai potensi besar untuk mendorong perekonomian
rakyat, terutama di sekitar pondok pesantren.
“Bank Wakaf Mikro ini akan
dimulai dari pesantren, kemudian melihat potensi dari masyarakat di sekitarnya.
Harus ada komitmen dari pesantren untuk membantu masyarakat di sekitarnya
dengan LKMS (lembaga keuangan mikro syariah),” kata Kepala Departemen Perbankan
Syariah OJK Ahmad Soekro Tratmono.
Meski
menggunakan istilah bank, namun lembaga ini tidak diperkenankan untuk menarik
dana simpanan dari masyarakat. Lalu dari mana modal dan pendanaan bank untuk
memberikan pinjaman kepada nasabah?
Menurut
Soekro, dana bank yang akan diputar sebagai pembiayaan berasal dari
donatur-donatur yang bersedia mewakafkan dananya kepada lembaga itu.
Sebagaimana istilah dan hukum wakaf, dana tersebut tidak akan dikembalikan
kepada pemberinya dan hanya bisa diputar kembali agar menghasilkan.
Para
penyumbang kemudian mendonasikan dananya melalui Lembaga Amil Zakat dan lembaga
ini kemudian akan memberikan pendampingan kepada pihak pesantren yang ingin
mendirikan BWM. Setelah bank berdiri, lembaga itu juga memberikan pendampingan
dalam pemberian pembiayaan kepada nasabah.
“Donatur
bisa berasal dari seluruh masyarakat yang memiliki dana dan ingin membantu
ekonomi umat. Juga bisa berasal dari dana-dana CSR (corporate social responsibility) korporasi atau juga dana abadi
umat,” jelas Soekro.
Dalam
mendirikan bank tersebut, tidak semua modal yang berhasil dikumpulkan dari
donatur dihabiskan untuk biaya operasional atau untuk dilemparkan sebagai
pembiayaan, melainkan sekitar 40-50 persen disimpan sebagai deposito di bank
syariah.
Badan
hukum dari Bank ini adalah koperasi, namun izin usahanya adalah lembaga keuangan
mikro syariah sehingga pengawasannya berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Dengan begitu BWM memiliki ketentuan tersendiri, seperti tidak bisa
menjalankan fungsi bank sebagai penerima simpanan, tapi bisa menyalurkan
pembiayaan. Ketentuan lain adalah usaha yang dijalankannya berbasis kelompok, dan
memberikan pinajaman imbal hasil rendah atau hanya 3 persen per tahun tanpa
agunan.
Bank
wakaf bisa menjadi senjata ampuh untuk mengalahkan pemberi pinjaman dengan
bunga mencekik yang berkeliaran di desa-desa karena menawarkan margin imbal
hasil sangat rendah. Pinjaman maksimal ditetapkan Rp1 juta dan margin bagi
hasil setara 3 persen setahun yang cicilannya dibayarkan setiap minggu. Artinya
jika nasabah pinjam Rp1 juta maka dicicil oleh nasabah selama 52 minggu dengan
jumlah cicilan per minggunya hanya Rp 20 ribu. Bandingkan dengan pinjaman di
bank umum atau BPR yang bisa berkisar 15-20 persen per tahun, belum lagi jika
dibandingkan dengan rentenir dengan penghitungan bunga yang mencekik.
Hingga
saat ini baru 20 pesantren yang sudah mendirikan BWM sesuai inisiasi otoritas
dan ditargetkan tahun ini angkanya menjadi 50. OJK sangat berharap bahwa
program yang satu ini bisa merangkul pesantren-pesantren yang banyak tersebar
di seluruh Indonesia.
Tidak hanya itu, proyek ini juga
bisa diaplikasikan tidak hanya di pesantren, namun juga di
perkumpulan-perkumpulan agama lain. “ Mungkin ada beberapa tempat di luar sana
yang ingin membuat kelompok serupa, seperti bank wakaf, tapi dari agama lain.
Tentu saja boleh membuat hal serupa, yang penting di daerah tersebut ada
masyarakat yang membutuhkan,” kata Soekro.
Program Sebelumnya
Pada 2015, OJK meluncurkan
program yang sangat masif untuk meningkatkan akses masyarakat pada lembaga
keuangan yang dinamakan Laku Pandai. Program ini bertujuan agar produk-produk
keuangan dapat tersedia dengan sederhana, mudah dipahami dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang belum dapat menjangkau layanan keuangan saat ini.
Singkatnya agar masyarakat lebih mudah menggunakan jasa perbankan, tanpa harus
ke kantor bank, sebaliknya bank tidak harus mendirikan kantor untuk melayani
transaksi dari masyarakat.
Setelah itu berturut-turut OJK
menghadirkan Program Jaring, asuransi pertanian dan ternak, asuransi nelayan,
dan penjaminan kredit UMKM. Juga ada perluasan dala program Kredit Usaha Rakyat
(KUR). Selain itu juga menginisiasi pembentukan Tim Percepatan Akses Keuangan
Daerah (TPAKD).
Yang terakhir selain,
menghadirkan Bank Wakaf Mikro, OJK juga berinisiatif mengembangkan program KUR
Klaster yaitu penyaluran Kredit Usaha Rakyat yang berasal dari perbankan kepada
para pelaku usaha mikro, petani atau nelayan. Penyaluran itu dilakukan
pendampingan serta pemasaran produk yang sudah disiapkan oleh mitra usaha dari
perusahaan BUMN, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Badan Usaha Milik Antar
Desa (BUMADes) maupun swasta.
Pemerintah
melalui Kementerian Keuangan pun tidak mau ketinggalan dengan meluncurkan program
pembiayaan atau kredit untuk pengusaha ultra mikro yang diberi nama kredit
ultra mikro (UMi). Program ini juga menyasar kalangan pengusaha kecil yang tak
terjangkau oleh perbankan karena tak memiliki aset untuk syarat agunan
pinjaman, di hampir seluruh sektor seperti pertanian, perikanan, dan
perdagangan.