Rabu, 18 Juli 2018

‘Senjata’ Mutakhir Melawan Rentenir


Perang melawan rentenir terus berlangsung di bawah pimpinan Otoritas Jasa Keuangan yang menginisiasi banyak program-program pembiayaan mikro. Hampir semuanya bertujuan agar masyarakat bisa lepas dari jeratan rentenir.


Ibu Narsem sedang sibuk membolak-balikan kue serabi yang dimasaknya di depan ruang pertemuan sebuah pondok pesantren di Purwokerto, Jawa Tengah. Saat itu akan diadakan pertemuan antara pengurus pesantren dengan perwakilan dari Otoritas Jasa Keuangan yang diliput oleh beberapa puluh wartawan.
Perempuan yang berusia 71 tahun itu sudah berjualan Serabi sejak 1981 di lapangan Bancarkembar, Purwokerto. Sebelumnya dia sering meminjam uang pada rentenir yang selalu menunggu korbannya di pasar-pasar sejak pagi. Imbal hasil yang tinggi membuat Munarsem kerap kali terjepit ketika harus membayar. “Ya, misal pinjam Rp100 ribu, kembaliinnya bisa Rp150 ribu. Itu dalam 24 hari,” kata Narsem.
Akan tetapi dalam beberapa bulan terakhir, sang nenek bisa bernapas lega, setelah di dekat rumahnya, tepatnya di sekitar Pondok Pesantren Al Hidayah, Karangsuci, Purwokerto, berdiri Bank Wakaf Mikro (BWM) Amanah Berkah Nusantara. Bank tersebut menawarkan pinjaman yang sangat menenangkan dirinya ketika harus terus berjualan serabi tanpa harus khawatir imbal hasil yang mencekik. “Sekarang lebih suka pinjam di sini (BWM Amanah Berkah Nusantara), bunganya kecil,” kata Narsem.
Setiap pekan, Narsem harus mencicil pinjamannya sebesar Rp25 ribu, ditambah kewajiban menabung Rp 10 ribu. Setiap hari, perempuan tua itu kini bisa mengantongi hasil penjualan serabi antara Rp50 ribu hingga Rp60 ribu. Dan pada akhir pekan dan hari libur penghasilannya bisa lebih besar lagi.
Ahmad Arif Noeris, Ketua BWM Amanah Berkah Nusantara sekaligus Ketua Yayasan Pondok Pesantren Al Hidayah mengatakan bahwa pendirian lembaga keuangan di sekitar pondok disambut antusias oleh masyarakat. Pasalnya, selama ini warga sekitar pesantren merupakan pelanggan rentenir untuk memenuhi kebutuhan pendanaannya.
“Tantangan dari rentenir sudah mulai tampak, meski belum secara frontal. Pergerakan BWM saat ini sudah dipantau oleh rentenir, karena memang mayoritas nasabah BWM pernah meminjam uang dari rentenir dan mungkin juga ada yang merupakan marketing pihak rentenir,” jelas Noeris.
                Otoritas Jasa Keuangan yang sudah bekerja secara penuh sejak 2014, paham betul akan kondisi ini di hampir seluruh daerah di Tanah Air. Oleh karena itu otoritas sejak itu sudah menabuh genderang perang melawan rentenir. Rentenir adalah momok bagi ribuan pelaku ekonomi di desa-desa hingga di kota-kota di Indonesia, karena lazim menuntut imbalan sangat tinggi untuk pinjaman yang diberikan.
Terkini, OJK menginisiasi pembentukan lembaga keuangan mikro yang bisa membantu pelaku ekonomi desa memperoleh akses pendanaan sekaligus menjadi senjata tambahan melawan rentenir. Kali ini otoritas memfasilitasi pondok pesantren untuk mendirikan lembaga keuangan yang beroperasi dengan sistem syariah dan diberi nama Bank Wakaf Mikro (BWM).
Pertama kali diluncurkan November tahun lalu, otoritas terus bekerja keras agar lembaga yang memang dimaksudkan berdiri di sekitar pondok pesantren ini, bisa meningkat jumlahnya. Jumlah pesantren di Indonesia yang berjumlah sekitar 28 ribu, dianggap sebagai potensi besar untuk mendorong perekonomian rakyat, terutama di sekitar pondok pesantren.
“Bank Wakaf Mikro ini akan dimulai dari pesantren, kemudian melihat potensi dari masyarakat di sekitarnya. Harus ada komitmen dari pesantren untuk membantu masyarakat di sekitarnya dengan LKMS (lembaga keuangan mikro syariah),” kata Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK Ahmad Soekro Tratmono.
                Meski menggunakan istilah bank, namun lembaga ini tidak diperkenankan untuk menarik dana simpanan dari masyarakat. Lalu dari mana modal dan pendanaan bank untuk memberikan pinjaman kepada nasabah?
                Menurut Soekro, dana bank yang akan diputar sebagai pembiayaan berasal dari donatur-donatur yang bersedia mewakafkan dananya kepada lembaga itu. Sebagaimana istilah dan hukum wakaf, dana tersebut tidak akan dikembalikan kepada pemberinya dan hanya bisa diputar kembali agar menghasilkan.
                Para penyumbang kemudian mendonasikan dananya melalui Lembaga Amil Zakat dan lembaga ini kemudian akan memberikan pendampingan kepada pihak pesantren yang ingin mendirikan BWM. Setelah bank berdiri, lembaga itu juga memberikan pendampingan dalam pemberian pembiayaan kepada nasabah.
                “Donatur bisa berasal dari seluruh masyarakat yang memiliki dana dan ingin membantu ekonomi umat. Juga bisa berasal dari dana-dana CSR (corporate social responsibility) korporasi atau juga dana abadi umat,” jelas Soekro.
                Dalam mendirikan bank tersebut, tidak semua modal yang berhasil dikumpulkan dari donatur dihabiskan untuk biaya operasional atau untuk dilemparkan sebagai pembiayaan, melainkan sekitar 40-50 persen disimpan sebagai deposito di bank syariah.
                Badan hukum dari Bank ini adalah koperasi, namun izin usahanya adalah lembaga keuangan mikro syariah sehingga pengawasannya berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan begitu BWM memiliki ketentuan tersendiri, seperti tidak bisa menjalankan fungsi bank sebagai penerima simpanan, tapi bisa menyalurkan pembiayaan. Ketentuan lain adalah usaha yang dijalankannya berbasis kelompok, dan memberikan pinajaman imbal hasil rendah atau hanya 3 persen per tahun tanpa agunan.
                Bank wakaf bisa menjadi senjata ampuh untuk mengalahkan pemberi pinjaman dengan bunga mencekik yang berkeliaran di desa-desa karena menawarkan margin imbal hasil sangat rendah. Pinjaman maksimal ditetapkan Rp1 juta dan margin bagi hasil setara 3 persen setahun yang cicilannya dibayarkan setiap minggu. Artinya jika nasabah pinjam Rp1 juta maka dicicil oleh nasabah selama 52 minggu dengan jumlah cicilan per minggunya hanya Rp 20 ribu. Bandingkan dengan pinjaman di bank umum atau BPR yang bisa berkisar 15-20 persen per tahun, belum lagi jika dibandingkan dengan rentenir dengan penghitungan bunga yang mencekik.
                Hingga saat ini baru 20 pesantren yang sudah mendirikan BWM sesuai inisiasi otoritas dan ditargetkan tahun ini angkanya menjadi 50. OJK sangat berharap bahwa program yang satu ini bisa merangkul pesantren-pesantren yang banyak tersebar di seluruh Indonesia.
Tidak hanya itu, proyek ini juga bisa diaplikasikan tidak hanya di pesantren, namun juga di perkumpulan-perkumpulan agama lain. “ Mungkin ada beberapa tempat di luar sana yang ingin membuat kelompok serupa, seperti bank wakaf, tapi dari agama lain. Tentu saja boleh membuat hal serupa, yang penting di daerah tersebut ada masyarakat yang membutuhkan,” kata Soekro.

Program Sebelumnya
Pada 2015, OJK meluncurkan program yang sangat masif untuk meningkatkan akses masyarakat pada lembaga keuangan yang dinamakan Laku Pandai. Program ini bertujuan agar produk-produk keuangan dapat tersedia dengan sederhana, mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang belum dapat menjangkau layanan keuangan saat ini. Singkatnya agar masyarakat lebih mudah menggunakan jasa perbankan, tanpa harus ke kantor bank, sebaliknya bank tidak harus mendirikan kantor untuk melayani transaksi dari masyarakat.
Setelah itu berturut-turut OJK menghadirkan Program Jaring, asuransi pertanian dan ternak, asuransi nelayan, dan penjaminan kredit UMKM. Juga ada perluasan dala program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Selain itu juga menginisiasi pembentukan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD).
Yang terakhir selain, menghadirkan Bank Wakaf Mikro, OJK juga berinisiatif mengembangkan program KUR Klaster yaitu penyaluran Kredit Usaha Rakyat yang berasal dari perbankan kepada para pelaku usaha mikro, petani atau nelayan. Penyaluran itu dilakukan pendampingan serta pemasaran produk yang sudah disiapkan oleh mitra usaha dari perusahaan BUMN, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Badan Usaha Milik Antar Desa (BUMADes) maupun swasta.
                Pemerintah melalui Kementerian Keuangan pun tidak mau ketinggalan dengan meluncurkan program pembiayaan atau kredit untuk pengusaha ultra mikro yang diberi nama kredit ultra mikro (UMi). Program ini juga menyasar kalangan pengusaha kecil yang tak terjangkau oleh perbankan karena tak memiliki aset untuk syarat agunan pinjaman, di hampir seluruh sektor seperti pertanian, perikanan, dan perdagangan.


Emansipasi ‘Kartini’ di Industri Keuangan


Kehadiran perempuan di jagad perbankan memang sudah mengimbangi laki-laki dalam jumlah. Akan tetapi ketika mulai menapaki karier ke jenjang yang lebih tinggi banyak dari mereka yang terpental.


Whatever women do, they must do twice as well as men to be thought half as good. Luckily, this is not difficult”. Kata-kata dari Charlotte Whitton, politisi perempuan dari Kanada, itu bisa menggambarkan sulitnya perjuangan perempuan dalam usahanya menyejajarkan diri dengan laki-laki dalam prestasi kerja. Mereka harus bekerja empat kali lebih keras dari laki-laki untuk dianggap sejajar dengan kaum laki-laki. Meski begitu, Whitton sekaligus juga memberi pujian kepada perempuan dengan mengatakan bahwa mereka sanggup dengan mudah melakukannya.
                Berbicara mengenai sektor industri yang sulit untuk dijalani dalam pekerjaan, perbankan adalah salah satu yang tersulit. Dengan hampir semua sisi sudah memiliki regulasi yang ketat, perbankan menjadi industri yang highly regulated.
Dan bagi perempuan, kondisi ini menjadi kesulitan tersendiri. Hal itu bisa dilihat dari dominasi Kaum Adam di industri ini yang terlihat pada jajaran manajemen puncak bank-bank yang ada di dunia, juga di Indonesia. Dalam deretan 10 bank beraset terbesar di Indonesia, dewan direksi yang diisi oleh mereka yang berjenis kelamin perempuan hanya kurang dari 20 persen dari total direksi.
                Kehadiran perempuan memang belum dianggap memenuhi ekspektasi mayoritas pemegang saham perbankan di Indonesia, meski jumlah pegawai bank perempuan tidak bisa dibilang sedikit. Di beberapa bank besar baik nasional maupun asing, jumlah perempuan sudah mencapai angka yang hampir sama dengan laki-laki, bahkan ada yang melampaui jumlah laki-laki.
                Di Citibank misalnya, terdapat 1.700 karyawan perempuan atau mencapai 57 persen dari total karyawan, di mana 130 orang di antaranya telah menduduki posisi manajerial penting. Di antaranya vice president, senior vice president, director dan managing director. “Angka tersebut di atas rata-rata persentase nasional dan global. Di Citi tidak ada batasan bagi perempuan. Kami mendukung kesetaraaan gender, menerapkan meritrokasi, penilaian berdasarkan kemampuan,” kata CEO Citi Indonesia, Batara Sianturi.
                Di bank nasional seperti BNI, jumlah karyawan perempuan juga lebih banyak yaitu mencapai 52,5 persen dari total, berdasarkan laporan 2016. Sementara jumlah mereka yang masuk jajaran manajer dan atau jabatan lebih tinggi dari itu mencapai 1.300 karyawan dari total 28 ribu karyawan di BNI.       Sementara di Bank Mandiri, jumlah karyawan perempuan juga lebih banyak dibanding laki-laki dengan menguasai 51,6 persen, dari jumlah total 38 ribu, berdasarkan data 2016.
                Akan tetapi, ketika mulai menjalani tangga karier sebagai bankir, jumlah perempuan yang sampai di kursi teratas perbankan makin sedikit. Berdasarkan riset dari Majalah Stabilitas, jumlah eksekutif perempuan terutama yang menduduki jabatan di dewan direksi hanya 18 orang dan mencapai 18,75 persen. Hal itu berdasarkan riset dari 10 bank konvensional terbesar dalam hal aset.
Menilik besaran aset dan komposisi dewan direksi 10 bank dengan aset terbesar (data aset tahun 2016) menunjukkan adanya kecenderungan bank dengan aset besar, komposisi dewan direksi perempuannya cenderung lebih sedikit. Hal ini terlihat pada perbankan konvensional. Dalam jajaran empat besar bank dengan aset terbesar yaitu BRI, Mandiri, BCA dan BNI, ternyata komposisi BoD perempuannya di bawah 13 persen. Komposisi tersebut jauh di bawah komposisi total, yang angka direksi perempuannya mencapai 18,75 persen. Malah di Bank BTN tidak ada satu orang pun direksi dari kalangan perempuan Kaum Hawa.
Di jajaran menengah dalam daftar 10 bank terbesar angkanya bisa sedikit dibanggakan. Bank CIMB Niaga memiliki komposisi direksi perempuan 50 persen, Bank Maybank juga memiliki komposisi 50 persen, diikuti juga dengan Bank Danamon. Tiga bank lain dengan, Bank  Permata, Bank Panin dan Bank BTN masing-masing memiliki komposisi dewan direksi perempuan masing-masing sebesar 30 persen.

Menyusut Seiring Waktu
Berkurangnya jumlah perempuan ketika merambat ke posisi yang lebih tinggi bisa diartikan bahwa Kaum Hawa tidak mampu bertahan dalam seleksi alam di industri perbankan. Kenapa itu bisa terjadi? Jawabannya mungkin ada pada sistem di internal bank, atau lebih luas lagi, pada sistem budaya di Indonesia.
                Menurut penelitian yang dilakukan Accenture, sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang konsultasi manajemen, pada 2012, ada sejumlah hambatan terbesar yang dialami perempuan dalam meningkatkan kariernya. Di antaranya adalah minimnya kesempatan yang diberikan kepada perempuan, yang diakui oleh sekitar 42 persen responden dalam survei yang mendasari riset itu.
Dalam riset itu juga dikatakan bahwa faktor lain yang juga menghambat karier perempuan adalah ketidakjelasan jenjang karier di perusahaan tempat bekerja. Responden yang mengakui hal ini jumlahnya dua kali lipat lebih besar dibandingkan mereka yang melihat tanggung jawab keluarga seperti mengurus anak dan keluarga sebagai penghambat dalam berkarier.
Ada sekitar 20 persen eksekutif perempuan yang mengakui bahwa karier mereka terhambat ketika sudah berkeluarga dan punya anak. Hal ini disebabkan karena perempuan kesulitan mengatur keseimbangan waktu antara pekerjaan dan keluarga. Tak hanya itu, penelitian ini juga menyebutkan karier perempuan cenderung melambat, 40 persen disebabkan penurunan ekonomi pada 2008. Krisis ekonomi ini nyatanya berakibat pada penurunan karier dan ekonomi kaum perempuan, termasuk PHK.

Kondisi Global
Pentingnya kehadiran perempuan dalam sebuah perusahaan sudah disimpulkan oleh sebuah laporan tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Catalyst, lembaga global yang concern dengan pekerja perempuan di perusahaan-perusahaan. “Perempuan juga merupakan pengubah permainan di dalam organisasi,” kata laporan itu.
Menurut riset Catalyst, perusahaan-perusahaan dalam daftar Fortune 500 yang memiliki tiga atau lebih perempuan dalam jajaran manajemen senior, menempati peringkat yang lebih tinggi dalam hal keunggulan organisasi dibanding perusahaan pesaing mereka. Berdasarkan kinerja berjalan pada tahun tersebut, perusahaan-perusahaan itu memiliki daya saing lebih besar 40 persen atau lebih.
Meski demikian, jumlah perempuan dalam jajaran eksekutif bahkan dalam jajaran puncak di perusahaan-perusahaan elit dunia itu masih terbilang minim. Catalyst juga  membuat daftar nama para CEO yang menghuni perusahaan-perusahaan dalam daftar 500 perusahaan versi S&P. Jumlah CEO perempuan hanya berjumlah 26 orang yaitu hanya 2,6 persen dari jumlah keseluruhan CEO dalam daftar itu.
                Padahal, dalam daftar yang sama, jumlah karyawan perempuan keseluruhannya mencapai 44 persen dan hanya 11 persen yang mendapatkan bayaran paling tinggi (top earner). Sementara itu 21 persen perempuan dalam daftar S&P 500 itu telah menduduki jabatan dalam dewan dan 26 persen di antaranya menduduki posisi sebagai pejabat senior (senior level managers).
                Sementara itu, dalam sebuah artikel Harvard Business Review disebutkan bahwa secara historis perempuan telah masuk ke industri keuangan sejak beberapa dekade lalu. Mereka biasanya mengisi posisi sebagai teller, sekretaris, dan staf administrasi junior.
Namun, pada tahun 1980-an, para perintis perempuan mulai bergerak ke dalam peran manajemen dan memasuki area bisnis garis depan, seperti perbankan investasi. Saat ini 47 persen peran manajemen dan profesional di perusahaan keuangan Amerika diduduki oleh wanita, berdasarkan data Biro Statistik Tenaga Kerja AS.
                Lalu apa yang menjelaskan perempuan memiliki prospek karir yang meredup di industri keuangan?  Dalam artikel yang sama dihadapkan riset yang dilakukan oleh Oliver Wyman dengan menyurvei 850 profesional jasa keuangan dari seluruh dunia (baik pria maupun wanita), mewawancarai lebih dari 100 eksekutif wanita senior secara global.
                Dari riset itu muncul temuan yang cukup penting yang dikutip dari wawancara seorang wanita senior. “Perusahaan lebih bersedia mengambil risiko pada laki-laki. Kalau dengan perempuan, maka perempuan itu harus membuktikannya terlebih dahulu. Akibatnya, banyak perempuan kehilangan kepercayaan diri bahwa mereka dapat berhasil, dan menurunkan ambisi mereka atau berhenti.”
Singkatnya, perempuan di industri keuangan menghadapi trade-off karier yang lebih berat dengan biaya yang lebih tinggi dan manfaat yang tersedia lebih rendah. Ketika keputusan untuk berkomitmen mencapai posisi puncak akan berakibat lebih buruk bagi perempuan, maka perempuan yang mau mengambil komitmen itu lebih sedikit dibandingkan yang memutuskan untuk mundur.
Menurut survei itu, banyak wanita harus menghadapi kenyataan pahit. Biaya untuk mengembangkan karier mereka dalam industri keuangan melebihi manfaat potensial, dengan mempertimbangkan ketidakpastian dan rintangan yang lebih besar yang bakal mereka hadapi.


(DIPUBLIKASIKAN APR-MEI 2018)

Risiko Siber, Ancaman Teratas pada 2018


Risiko yang datang dari praktik-praktik digital diproyeksikan akan menjadi ancaman terbesar dari perekonomian sepanjang tahun 2018. Di Indonesia kondisi yang sama juga berlaku dan hal itu sudah diperingatkan oleh otoritas moneter.


Memiliki kemampuan dalam teknologi, meski sedikit, sudah seperti keharusan di zaman ini –sebagai  akibat massifnya perkembangan teknologi terutama terkait digital dalam satu dasawarsa terakhir. Maka dari itu, tidak aneh jika risiko yang muncul banyak bersumber dari pemanfaatan teknologi digital atau dunia siber.
World Economic Forum, sebuah lembaga nonprofit dari Swiss, mengeluarkan laporan mengenai risiko-risiko yang paling mengancam di tahun 2018. Menurut yayasan yang kerap menyelenggarakan pertemuan tahunan di Davos, lembah Pegunungan Alpen, Swiss, itu, ancaman yang datang dari lingkungan dan juga dari dunia siber.
Menurut laporan yang berjudul, World Economic Forum’s 2018 Global Risks Report, kesimpulan itu diambil dari 1.000 orang pemimpin pebisnis, pemerintah dan masyarakat sipil. Para pihak yang disurvei itu menyimpulkan bahwa risiko-risiko global akan memburuk pada 2008 ini. Sebanyak 59 persen yang disurvei memperkirakan adanya peningkatan risiko dan hanya 7 persen yang memperkirakan adanya penurunan risiko.
"Manusia telah menjadi sangat mahir dalam memahami cara mengurangi risiko konvensional, karena mereka dapat relatif mudah diisolasi dan dikelola dengan pendekatan manajemen risiko standar," WEF menjelaskan. “Tapi kita jauh lebih tidak kompeten dalam menghadapi risiko kompleks dalam sistem yang saling terkait yang menopang dunia kita, seperti organisasi, ekonomi, masyarakat dan lingkungan.”
Untuk dua tahun berturut-turut, cuaca ekstrem menduduki puncak daftar sebagai ancaman dunia yang paling mungkin terjadi pada dekade berikutnya. Terlebih lagi, tiga dari lima risiko utama yang dianggap paling mungkin terjadi tahun ini adalah soal lingkungan, dengan bencana alam berada di peringkat kedua dan kegagalan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berada di peringkat kelima.
Namun demikian dalam survei tahun ini, dua ancaman teknologi menyeruak masuk dalam lima risiko paling berisiko untuk pertama kalinya. Risiko keamanan dunia maya meningkat menjadi risiko global ketiga yang paling mungkin terjadi, naik dari posisi keenam tahun lalu. WEF menyoroti meningkatnya kerugian finansial ancaman siber, termasuk serangan ransomware, yang menyumbang 64 persen dari semua surat elektronik bervirus.
“Gesekan geopolitik berkontribusi terhadap lonjakan dalam skala dan kecanggihan serangan cyber,” kata John Drzik, Presiden Risiko Global dan Digital di Marsh, mitra strategis WEF. "Pada saat yang sama, eksposur cyber berkembang karena perusahaan menjadi lebih bergantung pada teknologi.”
Kemudian, tambah Drzik, ketika manajemen cyberrisk membaik, bisnis dan pemerintah perlu berinvestasi jauh lebih banyak dalam upaya memperkuat daya-tahan (resilience) jika kita ingin mencegah kesenjangan 'perlindungan' yang sama antara kerugian ekonomi dan asuransi yang kita lihat untuk bencana alam.
Sementara itu, menurut Rob Clyde, Wakil Ketua Asosiasi Manajemen Cyberrisk dan Pemerintahan ISACA, "Tatkala serangan cyber tidak dihitung sebagai bencana alam, serangan berskala besar mampu menghancurkan infrastruktur penting dengan cara yang sama. Serangan cyber memiliki potensi untuk mengganggu banyak aspek penting kehidupan kita dari penggunaan listrik, gas dan air hingga cakupan perbankan dan ponsel.”
Clyde menyarankan agar perusahaan-perusahaan harus menganggap laporan tersebut sebagai dorongan untuk menilai kebijakan dan prosedur cyberrisk mereka. “Memiliki wawasan ini akan memungkinkan dewan direksi dan manajemen eksekutif membuat peta jalan yang paling masuk akal bagi organisasinya dan bahkan memberi tahu dewan direktur bahwa mereka berada di jalur yang benar," kata dia.
Data fraud telah meningkat menjadi kejadian yang paling sering terjadi. Dalam sebuah laporan Accenture pada 2017 dijelaskan bahwa biaya dari kejahatan siber telah meningkat secara eksponensial selama lima tahun terakhir. Laporan WEF juga menyoroti meningkatnya risiko dari penggunaan internet pada banyak hal pada praktik bisnis.
Sejak studi ini pertama kali dilakukan oleh WEF pada tahun 2008, risiko dengan nilai tertinggi telah beralih dari ekonomi dan geopolitik ke lingkungan dan teknologi. Pada tahun 2008, WEF menganggap ancaman yang paling mungkin terjadi dalam dekade mendatang adalah keruntuhan harga aset, ketidakstabilan Timur Tengah, kegagalan negara, lonjakan harga minyak dan gas, dan penyakit kronis di negara maju. Dalam hal kemungkinan, risiko lingkungan tidak memecahkan lima besar sampai 2011 dan serangan siber hanya masuk ke posisi lima besar di tahun 2012.

Peringatan Otoritas
                Di Indonesia, peringatan akan ancaman dari sisi teknologi ini sudah disampaikan otoritas moneter pada akhir tahun lalu. Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardojo, pada pertemuan tahunan dengan para pelaku industri jasa keuangan mengingatkan akan dampak dari praktik digital yang marak. “Tantangan struktural yang tidak kalah pentingnya datang dari pesatnya perkembangan ekonomi digital,” kata dia.
Perkembangan digital, lanjut Agus, memiliki dua dampak kepada perekonomian dan sektor keuangan. Di satu sisi perkembangan ini akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas di berbagai sektor, seperti di media, ritel, maupun keuangan. Konsumen ditawarkan kemudahan, kecepatan, dan kepraktisan yang belum ada sebelumnya.
Namun perkembangan ini memiliki risiko. Lantaran menganggu bisnis konvensial serta berpotensi mengurangi ketersedian lapangan kerja. “Di sisi lain teknologi digital akan mengubah dan berpotensi mengganggu model bisnis konvensional, meningkatkan otomasi, dan berisiko mengurangi ketersedian lapangan kerja,” ungkap Agus.
                Di sektor keuangan, BI melihat teknologi digital bisa memberikan kemudahan perluasan akses serta kecepatan transaksi dengan biaya murah. Namun, demikian, ada juga risiko yang timbul dari praktik tersebut.
“Di sektor keuangan menawarkan perluasan akses kecepatan transaksi dan biaya yang murah. Namun risiko yang timbul semakin kompleks seperti adanya seperti pencucian uang, kemungkinan pendanaan terorisme, kejahatan cyber, risiko aspek perlindungan konsumen, serta risiko sistemik yang menggangu stabilitas sistem keuangan," kata Agus.
                Sebelumnya, perusahaan penyedia solusi keamanan siber global, Fortinet juga sudah mewanti-wanti munculnya ancaman tingkat lanjut dari perkembangan digital yang merangsek ke hampir seluruh sendi kehidupan. Indikatornya adalah maraknya program-program atau aplikasi-aplikasi berisi virus yang biasa disebut malware. “Serangan WannaCry dan NotPetya yang terjadi beberapa waktu lalu merupakan indikasi awal gangguan masif dan dampak ekonomi yang mungkin terjadi di waktu mendatang,” kata Fortinet.
Maka dari itu, kata penyedia solusi global itu, perlu pendekatan keamanan fabric-based yang memanfaatkan kekuatan otomasi, integrasi, dan segmentasi strategis untuk melawan serangan dengan tingkat intelegensi yang tinggi di masa mendatang.
Fortinet memprediksi selama beberapa tahun mendatang, permukaan serangan akan meluas sementara luasnya visibilitas dan kontrol terhadap infrastruktur saat ini berkurang. “Cybercriminal marketplace mahir dalam mengadopsi teknologi terbaru pada area-area seperti kecerdasan artifisial untuk menciptakan serangan yang lebih efektif,” kata Derek dalam riset tersebut.
Fortinet mengatakan tren ini akan berkembang pada 2018. Beberapa tren serangan tersebut di antaranya dimulai dengan bangkitnya Self-learning Hivenets dan Swarmbots, yakni pola serangan dari kumpulan botnet (program yang saling terhubung) canggih yang dibangun seperti Hajime and Devil’s Ivy or Reaper. Dalam hal ini para penjahat siber akan mengganti botnets dengan kelompok intelijen dari perangkat-perangkat membahayakan yang disebut sebagai hivenets untuk menciptakan vektor serangan yang lebih efektif.
(tulisan ini sebagian disarikan dari laporan rmmagazine.com dengan judul “Environment, Cyberrisk Top WEF Risk Predictions”)

(DIPUBLIKASIKAN MAR-APR 2018)





Dua Mata Pisau Blockchain


Blockchain, teknologi baru yang disebut-sebut sebagai generasi kedua Internet tengah menjadi perhatian industri keuangan. Peluangnya yang begitu besar dalam menciptakan efisiensi dalam bisnis perbankan, berbanding lurus dengan risiko dalam meminggirkan peran lembaga itu.


Setelah tergopoh-gopoh menyambut tantangan dari perusahaan financial technology, perkembangan digital juga telah mengorbitkan hal baru yang akan kembali mengagetkan perbankan. Ia adalah blockchain, yang kini menjadi topik terhangat bagi para pelaku di industri keuangan. Bahkan, menurut media-media internasional, hampir setiap bank global kini tengah bereksperimen dengan blockchain, ketika mereka mencoba memangkas biaya-biaya dan efisiensi operasional seperti yang dijanjikan oleh teknologi itu.
                Mungkin, dalam menghadapi perkembangan teknologi sejak revolusi industri hingga kemunculan Internet, industri keuangan terutama perbankan tidak sekhawatir ketika menghadapi teknologi blockchain ini. Bagaimana tidak, dengan sifatnya yang terbuka dan meniadakan perantara dalam setiap transaksi, blockchain disebut-sebut akan menafikan keberadaan bank sebagai pihak penghubung antara pemilik dana dan peminjam.
                Teknologi tersebut lahir pada 2009 lalu, bersamaan dengan kemunculan apa yang disebut bitcoin, dari seseorang yang memiliki nama di dunia maya Satoshi Nakamoto. Dengan blockchain, seseorang tidak membutuhkan institusi perantara untuk melakukan transfer dana ke pihak lain,
dalam waktu lebih singkat, biaya lebih murah, dan bahkan jauh lebih aman.
                Blockchain, dalam bahasa sederhana adalah basis data global online—yang bisa dipakai siapa saja di seluruh dunia yang terkoneksi internet. Tak seperti basis data lain yang biasanya dimiliki oleh institusi tertentu seperti bank atau pemerintah, blockchain tidak dimilik siapa-siapa. Hal itu membuatnya lebih transparan karena bisa diakses oleh siapa saja.
                Mari kita bayangkan mengenai data transaksi atau informasi kita sebagai nasabah yang dimiliki oleh bank yang disimpan di server secara sentralisasi di suatu tempat. Jika data itu hilang karena bencana alam atau kebakaran, kemana lagi kita bisa mengklarifikasi bahwa kita adalah nasabah mereka?
Berbeda dengan blockchain, yang semua data transaksi bisa dilihat oleh semua penggunanya. Data itu juga disimpan secara permanen di seluruh jaringan penggunanya, karena informasi yang dikumpulkan juga didistribusikan ke semua orang. Setiap pengguna baru akan menjadikan servernya sendiri sebagai penyimpan data transaksi, dan setiap tambahan data akan segera disimpan dan dikunci di sana tepat beberapa menit setelahnya. Hal inilah yang menjadikan blockchain aman.
                Setiap transaksi yang terjadi akan dicatat oleh komputer para pengguna sekaligus diumumkan untuk diverifikasi. Catatan transaksi itu lalu dikombinasikan dengan catatan-catatan transaksi lain, lantas diikat—atau dirantai—sesuai kronologi. Rekaman transaksi itu yang kemudian disebut blok—block. Dan rentetan blok itu yang disebut blockchain.
Menurut salah satu artikel di Harvard Business Review yang terbit tepat tahun lalu, penyimpanan data, uang, ekuitas, kontrak dan aset lainnya lebih aman di blockchain. Penyebabnya, kata artikel itu, kepercayaan muncul bukan oleh perantara yang kuat seperti bank dan pemerintah, namun melalui jaringan konsensus, kriptografi, kolaborasi, dan kode pintar.
Dengan blockchain, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, dua atau lebih pihak, apakah bisnis atau individu yang bahkan mungkin tidak mengenal satu sama lain, dapat membuat  kesepakatan, melakukan transaksi, dan membangun nilai tanpa bergantung pada perantara. Begitu kata artikel Harvard di atas.
Tak pelak hal ini menjadi sorotan utama perbankan dan juga industri keuangan lainnya. Bagaimana tidak, jika perkembangan teknologi lainnya tidak memberikan risiko hilangnya peran mereka dalam transaksi, dengan sistem blockchain, risiko itu nyata di depan mata.
Boleh dibilang di Indonesia belum ada bank yang benar-benar sudah menerapkan blockchain dalam layanan keseharian mereka, namun di luar negeri gelombang itu mulai kentara. Salah satu bank yang telah menerapkan blockchain pada sistemnya adalah Royal Bank of Canada (RBC).
Tahun lalu, mereka mengembangkan sistem yang disebut distributed ledger technology (DLT) yang berbasis teknologi blockchain yang diberi nama Hyperledger. Penerapan itu sudah dilakukan dalam transaksi finansial cabang mereka di Amerika Serikat dan Kanada. Artinya teknologi ini bila dipakai oleh bank konvensional lainnya, bisa jadi akan memakai nama yang berbeda dengan konsep tetap sama karena dikembangkan berbasis open source.
Vice President RBC Martin Wildberger, seperti dikutip dari Reuters, menyebut penerapan sistem ini dilakukan karena kesadaran mereka pada potensi teknologi ini. Selain itu, blockchain juga terbukti mempercepat transaksi pembayaran, mengurangi kompleksitas transaksi terutama di bagian back office, sekaligus menekan biaya.

Risiko Blockchain
Awalnya memang muncul keengganan pada bank untuk mengadopsi teknologi blockchain karena citranya yang sangat melekat pada transaksi bitcoin. Namun setelah citra itu mulai  pudar, bank tampaknya bersemangat untuk menerapkanya pada banyak hal. Blockchain adalah sistemnya, sementara bitcoin ada produk turunannya.
Namun demikian, salah satu dampak besar yang akan dihadapi perbankan ketika blockchain benar-benar diadaptasi penuh oleh banyak bank, adalah disrupsi di sejumlah pekerjaan, terutama di bagian back office. "Bank sadar kalau blockchain menantang model bisnis mereka yang masih tradisional," kata Senior Assosiate di Norton Rose Fullbright Johanessburg, Nerushka Bowan.
Menurutnya, fungsi bank dalam hal perantara pertukaran dana menjadi tak diperlukan lagi ketika blockchain muncul dan berkembang. Dampak itulah yang tampaknya membuat regulator di seluruh dunia, tidak tergesa-gesa merekomendasikan atau melarang penerapan teknologi ini, berbeda ketika menghadapi bitcoin.
Di Indonesia, regulator sistem pembayaran yang dipegang oleh Bank Indonesia dengan tegas melarang penggunaan bitcoin dan sejenisnya untuk dijadikan alat pembayaran yang sah. Meski demikian, ketika menghadapi blockchain, nada pernyataannya tampak lebih ramah.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan & Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Eni V Panggabean berpendapat blockchain dapat memberikan peluang untuk pengembangan sistem keuangan sekaligus membawa tantangan baru.
Peluang yang diciptakan oleh blockchain cukup banyak seperti dapat memperluas akses terhadap layanan keuangan, bisnis proses yang lebih efisien, peningkatan keamanan teknologi, biaya transaksi dan pemprosesan yang relatif lebih murah, serta sisi regulator dan biaya teknologi informasi lebih efisien.
                Akan tetapi, teknologi ini juga menyimpan risiko yang juga tidak ringan. “Blockchain memiliki risiko dalam hal perlindungan konsumen, keamanan data, pencucian uang dan pendanaan terorisme, stabilitas sistem keuangan, efektivitas kebijakan moneter, cyber crime, disintermediasi, dan financial integrity,” jelas Eni.
Dari sisi IT, keamanan data konsumen tidak terjamin seperti di mata uang konvensional. Kehadiran blockchain dapat mempermudah kegiatan pencucian uang oleh berbagai kalangan dengan mudah karena teknologi ini dapat memberikan kemudahan transaksi bagi siapaun dan di manapun.
Pendanaan terorisme juga menjadi lebih sulit untuk ditelusuri jika dibandingkan dengan mata uang konvensional di mana kegiatan terorisme dapat didanai dengan mengirimkan uang digital ke organisasi di berbagai belahan dunia. Selain itu, kejahatan yang dilakukan melalui Internet juga menjadi lebih mudah sehingga menjadi lahan basah bagi para pelaku cyber crime.
Dari sisi keuangan sistem blockchain yang bersifat desentralisasi memberikan ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan di Indonesia yang selama ini bersifat sentralisasi. Kebijakan moneter yang selama ini diatur oleh pihak Bank Indonesia juga terancam dalam segi efektivitas karena hingga saat ini sistem blockchain belum bisa diatur oleh regulator.

(DIPUBLIKASIKAN MAR-APR 2018)

Di Balik Catatan Rekor Indeks


Ada ancaman koreksi ketika rekor indeks terus menerus pecah dan menjangkau level tertinggi. Meski demikian, analis mengatakan kondisi itu belum akan terjadi tahun ini.


Tahun 2017, bisa jadi masa yang tidak bisa dilupakan oleh para pemangku kepentingan bursa saham, setelah indeks saham beberapa kali berhasil mencatatkan rekor tertinggi. Tahun ini, setelah berjalan dua bulan, perkembangan itu tampaknya akan berlanjut.
Sepanjang tahun 2017, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus beranjak naik dan menyentuh tingkat tertinggi sepanjang sejarah berhasil ketika menembus level psikologis 6.000, tepatnya 6.025,53 pada 25 Oktober 2017. Pergerakan itu berlanjut hingga tahun ini, dan mencapai puncaknya ketika pada 29 Januari lalu indeks bertengger di level 6.680.
Namun demikian, pertanyaan yang muncul kemudian, apakah fenomena ini akan terus berlangsung alih-alih menyimpan bom waktu penurunan indeks saham yang terjal dalam jangka pendek dan menengah.
Sebagaimana dimahfumi oleh para pemain di bursa saham, dalam jangka panjang harga saham adalah sebuah penjelasan untuk perubahan yang tiba-tiba dari suasana hati (mood). Investor kebanyakan biasanya akan segera mengikuti tren kenaikan yang pada akhirnya mendorong level indeks ke posisi tertingginya. Akan tetapi ketika sampai di sana maka yang ada adalah koreksi, dan mereka harus berebut untuk menutupi posisi mereka.
Oleh karena itu, ketika IHSG mencapai level tertingginya dalam sejarah dan kemudian mulai beranjak turun beberapa pihak menganggap bahwa indeks akan terus turun. Akan tetapi, tidak demikian menurut Krishna Dwi Setiawan, analis pasar modal.
Menurut Head of LOTS Services Lotus Andalan ini, pergerakan indeks yang terus bullish itu menandakan bahwa ekspektasi publik terutama investor terhadap perekonomian secara makro bagus. “Justru karena sekarang ekonominya so-so saja maka harapan orang ke depan ekonomi akan bagus,” kata dia.
Hal itu sesuai dengan rumusan goldylocks economy. Menurut Investopedia, istilah tersebut mengacu pada gambaran ekonomi yang tidak begitu panas sehingga menyebabkan inflasi, dan tidak terlalu dingin sehingga menyebabkan resesi. “Jadi ekonomi sekarang ini tidak begitu buruk tapi juga tidak begitu bagus,” tambah Krishna.
Pertumbuhan ekonomi RI pada 2017 memang tidak sesuai harapan banyak pihak dan juga target dari pemerintah sendiri dengan hanya mencatatkan angka 5,05 persen. Padahal pemerintah sudah pasang target di angka 5,2 persen.
Namun demikian, hampir semua analis dan juga ekonom memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi selalu lebih baik. “Tidak ada kan yang memproyeksi pertumbuhan kita turun, nah itulah yang mendorong investor untuk terus berinvestasi di pasar modal,”ujar Krishna.
Sementara itu dari sisi mikro, juga tidak ada faktor yang membuat indeks saham akan turun bahkan melorot menjauhi level tertingginya saat ini. Emiten-emiten sektor perbankan memang terus mencatatkan kenaikan harga saham, begitu pula emiten-emiten sektor tambang. Khusus sektor tambang, kata Krishna, hal itu didorong oleh harga komoditas yang mulai membaik bahkan booming kembali. “Lihat saja emiten tambang, kinclong semua (sepanjang 2017),” kata dia.
Sepanjang 2017, sektor perbankan mencatatkan peningkatan harga meski di tengah kondisi melemahnya penyaluran kredit. Sektor ini telah menunjukan perbaikan kualitas aset dengan angka kredit bermasalah (non performing loan /NPL) yang stabil di level 3 persen dan peningkatan coverage ratio di level 115 persen hingga memasuki semester kedua 2017. Selain itu, permodalan bank-bank sepanjang 2017 juga tidak perlu dikhawatirkan karena rasio kecukupan modalnya (CAR) mencapai 23,2 persen hingga semester kedua 2017.
Sektor pertambangan juga bisa dikatakan demikian. Setelah beberapa tahun belakangan terus menerus berada dalam kemerosotan harga, tahun lalu sektor pertambangan mulai menggeliat. Tahun ini, kenaikan harga komoditas minyak dan batu bara juga sudah mulai merangkak naik. Pada awal tahun ini dua harga itu menjadi pemicu kenaikan di sektor komoditas.
           
Siap Terkoreksi
Namun begitu, kenaikan indeks juga menyimpan potensi risiko penurunan, seperti yang pernah terjadi lima tahun lalu (lihat grafis). Pada 24 April 2013, indeks pertama kali menembus level penutupan 5.000, tepatnya di 5.011,61. Akan tetapi, indeks sedikit-sedikit longsor dan pada Agustus turun tajam dan jatuh ke posisi 3.967,84 pada 27 agustus 2013.
Menurut Analis Indosurya Sekuritas William Surya Wijaya investor diharapkan tetap waspada setelah tercapainya rekor baru. Situasi itu dapat dimanfaatkan untuk aksi ambil untung sehingga membuka peluang koreksi. “Jika koreksi terjadi, investor masih dapat melakukan akumulasi, tentunya dengan pemilihan saham secara selektif,” kata dia.
Laju IHSG di sepanjang pekan menjelang libur Tahun Baru Imlek telah rebound 1,32% ke posisi 6.591,58 poin dari 6.505,52 poin pada pekan sebelumnya. Level itu tentu sudah melemah dari rekor 6.800-an yang dicetak pada 29 Januari.
Pada 2007, IHSG juga pernah mencatatkan beberapa rekor ketika sempat menyentuh level 3.300 untuk pertama kalinya. Namun memasuki 2008 indeks serasa susah untuk maju, bahkan sempat melorot ke level 1.700-an.
            Sementara itu, Krishna dari Lotus Sekuritas, memprediksi bahwa indeks akan terus meningkat sepanjang tahun ini. “Indeks akan terus naik sampai dengan ekspektasi (terhadap perekonomian) itu menjadi negatif,” kata dia.
            Menurut dia, publik bisa dengan mudah mendeteksi sinyal-sinyal jika pasar saham akan melemah atau ketika ekspektasi ekonomi mulai turun. “Lihat saja aliran di smart money,” tambah Krishna.
            Aliran smart money lazimnya adalah dana-dana yang ada di instrumen surat utang negara (SUN) dan biasanya disebut sebagai instrumen save haven. Ekspektasi ekonomi mulai turun jika investor terlihat mulai meninggalkan pasar obligasi. Ekspektasi makin turun lagi jika dana-dana mulai meninggalkan pasar saham. “Jika sekarang pasar komoditas mulai ramai itu berarti investor sedang sangat optimistis terhadap pasar,” kata Krishna.

Dow Jones Jungkat-Jungkit
            Ihwal mengenai kekhawatiran akan menurunnya indeks berkaca pada pengalaman yang terjadi di pasar modal Amerika Serikat beberapa saat lalu. Indeks Dow Jones melejit 7.000 poin sejak Presiden Donald Trump terpilih November tahun lalu.
Seperti dilansir The Guardian, para pelaku pasar berpendapat, janji-janji Trump yang diungkapkan pada kampanye tahun lalu seperti melakukan batasan perdagangan dan membangun tembok sepanjang perbatasan Meksiko tampaknya tidak akan terjadi.
Indeks Dow Jones sudah naik lebih dari 7.000 poin atau sekitar 40% sejak Presiden Trump terpilih. Beberapa saham malahan sudah naik sangat tinggi sejak Trump menjadi presiden, seperti saham Amazon yang naik 65 persen, saham Netflix naik 80 persen, saham Nvidia naik 213 persen Demikian pula saham Bank of America yang naik 83 persen, atau Best Buy yang naik 90 persen.
Para pialang saham melihat kesempatan lain. Janji Trump untuk memangkas pajak korporasi dan perorangan tampaknya lebih masuk akal. Para pebisnis menyukai ide ini. Janji Trump untuk memangkas regulasi khususnya pada perbankan juga membuat saham-saham bank menguat. Dilihat dari kacamata bisnis, janji-janji Trump ini memang mendukung para pebisnis di AS, termasuk perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa. 
Jika benar dilakukan, rencana pemangkasan pajak usulan Trump akan memangkas pajak perusahaan dan individu senilai 6 triliun dollar AS. Dana ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk terus berekspansi. Sementara individu dapat memanfaatkan sisa pajak untuk dibelanjakan atau untuk investasi.

(DIPUBLIKASIKAN FEB-MAR 2018)

Babak Baru ‘Perang’ Bank vs Teknologi



‘Perseteruan’ bank dengan teknologi kali ini memasuki babak baru karena bank mulai melakukan serangan balik. Menarik disimak apakah pertempuran akan berlanjut ataukah keduanya akan memilih jalan tengah.


Financial technology, dan layanan-layanan keuangan baru yang berasal dari teknologi informasi memang tengah mengguncang batas-batas perbankan tradisional di saat model bisnis baru memicu kolaborasi lintas industri. Perbankan memang bukan kali pertama ini saja mendapat gangguan dari perkembangan teknologi, tetapi kali ini mungkin yang paling serius karena bisa berujung pada terdisrupsinya layanan bank, bahkan lenyapnya lembaga keuangan itu.
Masih teringat ketika bank pertama kali menghadapi perkembangan teknologi informasi berupa maraknya penggunaan telepon jalur tetap pada dasawarsa 90-an lalu. Bank kemudian menyesuaikan layanannya dengan menghadirkan phone banking dan juga divisi layanan pelanggan.
Atau ketika bank berpapasan dengan gelombang penggunaan telepon selular pada awal 2000-an yang kemudian memaksa mereka meningkatkan layanan phone banking dan juga menghadirkan apa yang dinamakan SMS banking.
Pada saat Internet merajalela ke praktik perdagangan dan bidang ekonomi lainnya, sesaat setelah itu. Bank pun meresponsnya dengan melengkapi teknologinya dan berinvestasi besar pada infrastruktur yang mendukung penggunaan internet.
Kali ini sewaktu fintech muncul sebagai isu utama, respons bank masih simpang siur padahal sudah hampir lima tahun sejak awal kemunculan layanan keuangan itu. Akan tetapi, dengan kecepatan yang mengagetkan banyak nasabah yang mulai mengakrabi pasar digital dan lambat laun meninggalkan layanan dari petahana. Banyak layanan yang dihadirkan fintech yang menarik nasabah karena dirasakan sangat personal.
“Pasar digital yang mencakup layanan keuangan dan non-keuangan muncul untuk menciptakan saluran baru yang menarik bagi konsumen. Didorong oleh peraturan dan dimungkinkan oleh teknologi baru, pasar yang gesit ini, tidak seperti pengecer "pop up" seperti layanan kantor bank, menarik pelanggan melalui produk dan layanan pribadi yang sangat personal,” kata Ame Stuart, Vice President Capgemini’s Financial Services, sebuah lembaga riset wealth management global.
Bank memang tidak bisa dibilang berdiam diri dan hanya pasrah melihat pasarnya makin tergerus. Beberapa bank bahkan sudah memproklamirkan akan menerbitkan layanan digital banking yang memang dimaksudkan untuk mempertahankan posisinya di industri keuangan. Namun demikian pada praktiknya apa yang dimunculkan itu belum sepenuhnya digital seperti halnya fintech.
“Banyak orang bicara digital, tetapi sebatas menyiapkan aplikasi, tetapi kembali lagi, bagaimana dengan networking, device-nya,” kata Direktur Askrindo Utama Asmawi Syam, kepada Stabilitas akhir tahun lalu.
Menurut mantan Dirut BRI ini, bank saat ini berhadapan dengan ancaman yang disebut banking disruption karena maraknya praktik layanan keuangan lewat aplikasi teknologi. “Ada buku yang saya baca, judulnya, Bye Bye Bank. Di situ ditulis bahwa dalam waktu 10 tahun lagi, nasabah akan meninggalkan bank, meninggalkan gedung-gedung bank,” lanjut Asmawi.
Perkembangan teknologi memungkinkan pola transaksi masyarakat beralih, dari yang manual di kantor-kantor melalui petugas menjadi digital yang bisa diakses kapanpun dan dimanapun. Dengan adanya teknologi finansial semua orang bisa menjadi bank sendiri dengan menggunakan gadget di tangan masing-masing. “Transaksi perbankan itu tidak dilakukan lagi di kantor-kantor 80 persen. Transaksi di bank nyatanya sekarang tinggal 20 persen. Kantor bank sudah mulai sepi. Inilah yang disebutnya sebagai gangguan perbankan atau banking disruption,” kata Asmawi.

Serangan Balik

Perlawanan terhadap fintech, meski begitu, tidak berhenti, mengingat fintech lambat tapi pasti merambah ke banyak layanan yang biasanya menjadi andalan bank. Ada beberapa bank yang sudah memiliki ‘senjata’ untuk vis a vis dengan fintech.
Adalah Jenius, sebuah layanan digital yang dikeluarkan oleh Bank BTPN dan Digibank, dari DBS Bank. Keduanya dinilai sebagai manifestasi produk digital sesungguhnya dari bank untuk menghadapi fintech.
Aplikasi Jenius yang sudah hadir sejak 2016, didesain sama seperti fintech yang bisa diunduh melalui ponsel pintar. Ia, menurut Direktur Utama Bank BTPN Jerry Ng,  memberikan kemudahan dengan fitur pengelola keuangan yang bisa dikelola sendiri.
“Kami sangat fokus mengembangkan fintech. Kami menginvestasikan dana hingga Rp 500 miliar. Jumlahnya masih akan bertambah karena kami masih harus mengembangkan teknologi aplikasi tersebut,” kata Jerry.
Pada saat pembuatan aplikasi itu, divisi produk BTPN mengundang sejumlah pihak, seperti para blogger untuk membuat daftar kebutuhan keuangan masyarakat saat ini yang kemudian diwujudkan dalam sebuah layanan digital.
                Pada Agustus tahun lalu, DBS, bank asal negeri jiran meluncurkan aplikasi yang diberi nama digibank. Banyak pihak yang menyebut layanan ini mengekor Jenius. Meski begitu, Digibank melakukan gerakan cepat untuk menutup celah yang tidak dimiliki fintech namun menjadi keunggulan bank yaitu soal prinsip Know Your Customer (KYC).
Pada awal tahun ini bank itu meluncurkan layanan yang dinamakan e-KYC store. Nasabah yang ingin mendaftarkan rekening melalui e-KYC store, harus menyertakan identitas diri dalam bentuk e-KTP atau KTP. "Nanti ada pilihannya, mau buka pakai e-KTP atau KTP. Kalau pakai e-KTP, rekening akan langsung aktif pada saat itu juga. Sementara kalau pakai KTP, nasabah harus menunggu antara 2-4 hari, dan nanti mereka akan dikirim SMS bahwa rekeningnya telah aktif," kata Head of Digital Banking Bank DBS Indonesia Leonardo Koesmanto.
Digibank memiliki beberapa fitur yang cukup berbeda. Diantaranya, teknologi biometrik sebagai metode KYC yang harus dilakukan nasabah sebelum membuat rekening. Alat biometrik dibawa oleh agen DBS yang bertugas membantu calon nasabah untuk pembukaan rekening. Nasabah hanya perlu mengatur jadwal untuk bertemu agen dan menyiapkan KTP.

Kolaborasi dan Sinergi
                Kendati demikian pertarungan antara bank dan fintech itu sejatinya bisa menemukan jalan tengah. Keduanya bisa bersinergi dan berkolaborasi untuk menghadirkan layanan keuangan yang lebih paripurna. Menurut Ame Stuart dari Capgemini dalam sebuah riset yang dipublikasikan awal tahun ini, fintech identik dengan karakternya yang mobile, mudah, dan efisien. Layanan itu sangat baik dalam hal inovasi, pemanfaatan teknologi, serta gesit terhadap perubahan pasar. “Bank dan lembaga keuangan seperti diberi pilihan untuk mengikuti revolusi digital atau kehilangan pangsa pasar,” kata Ame.
Keunggulan komparatif bank seperti basis klien yang besar, data, navigasi peraturan dan perizinan industri yang lebih baik, kata dia, dapat melengkapi keunggulan startup fintech. Kolaborasi antara keduanya mampu membuat pergerakan dan inovasi industri keuangan lebih cepat.
Suara-suara yang menghendaki adanya kolaborasi antara bank dan layanan keuangan berbasis teknologi juga datang dari pelaku fintech. Menurut Reynold Wijaya seorang pengurus Asosiasi FinTech Indonesia, berbagai bentuk kerja sama dapat dilakukan antara kedua industri. “Modalku, contohnya, terlah berhasil menjalin kerjasama dengan Bank Sinarmas yang sangat mendukung inovasi dan fintech,” kata dia yang juga Co-Founder Modalku, sebuah perusahaan fintech di bidang peer to peer lending.
Melalui kerjasama semacam ini, lanjut dia, perbankan dapat turut menyalurkan pembiayaan kepada pelaku usaha kecil dan mikro melalui platform fintech atau menjadi kustodian dan pemegang dana pemberi pinjaman yang sekaligus menjamin keamanan dan transparansi.
“Tanpa fintech, layanan keuangan Indonesia akan berada pada ‘status quo’. Bila Indonesia ingin melaju dalam ekonomi dunia, maka pemanfaatan kemajuan teknologi perlu menjadi fokus dalam menciptakan ekosistem finansial yang lebih lebih kompetitif dan progresif,” jelas Reynold.
Sementara itu, regulator industri keuangan juga sudah mulai merespons cepat setelah melihat pertempuran antara bank dan fintech dalam beberapa tahun ini. Otoritas Jasa Keuangan lebih menaruh perhatian untuk mengatur fintech agar tidak menimbulkan disrupsi berlebihan pada sistem keuangan.
“Kami mendukung inovasi produk teknologi di sektor jasa keuangan selama produk tersebut bermanfaat bagi masyarakat namun tetap dalam koridor tata kelola yang baik berdasarkan asas TARIF (Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi dan Fairness) agar aspek perlindungan nasabah terpenuhi," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso beberapa waktu lalu.
Pada tahun 2018 ini lembaga pengawas itu akan mengeluarkan kebijakan antara lain guiding principles bagi Penyelenggara Layanan Keuangan Digital yang akan mencakup mekanisme pendaftaran dan perizinan serta penerapan regulatory sandbox dan kebijakan tentang crowdfunding atau penggalangan dana. “Kami juga akan mengarahkan lembaga jasa keuangan agar dapat meningkatkan sinergi dengan perusahaan fintech ataupun mendirikan lini usaha fintech," tambah Wimboh.


(DIPUBLIKASIKAN JAN-FEB 2018)

Melewati Tahun yang Berat


Ekonomi tahun depan diperkirakan tidak akan lebih mudah dilewati oleh perbankan. Selain faktor bawaan tahun sebelumnya, tantangan berat 2018 setidaknya akan membawa perbankan tetap mempertahankan kebijakan wait and see.

Akhir tahun biasanya menjadi momentum pelaku bisnis untuk melakukan kaji-ulang strategi bisnisnya sepanjang tahun yang sudah dijalani, sekaligus meneropong ancaman yang mungkin datang tahun depan. Akan tetapi, bagi perbankan dan lembaga keuangan lainnya, kegiatan itu bukan sekadar rutinitas belaka. Tahun ini, bahkan keseriusan pelaku industri keuangan bertambah jika melihat tahun yang lewat dan tantangan yang dihadapi tahun depan.
            Sepanjang tahun 2017 pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang akan rebound ternyata tidak seperti yang diperkirakan. Angka pertumbuhan tampaknya tidak akan bergerak di level 5 persen, meski sejak awal pertumbuhan ditargetkan di level minimal 5,2 persen. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan tahun ini hanya akan sampai pada angka 5,1 persen maksimal.
Bahkan angka yang diproyeksikan dari pemerintah lebih pesimistis lagi yaitu hanya akan mencapai 5,05 persen atau lebih rendah dari asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebesar 5,2 persen. “Sampai akhir tahun, kami perkirakan keseluruhan 5,05 persen. Artinya kuartal IV mungkin lebih tinggi, dengan demikian akan mendekati 5,1 persen, meskipun sekarang dengan akurasi 2 digit," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu RI, Jakarta.
Berdasarkan riset yang dilakukan Majalah Stabilitas, lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan terus berlanjut di tahun mendatang. Realisasi pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan rata-rata hanya 5 persen.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang disertai anomali dari sisi produksi berupa penurunan kinerja sektor riil dan dari sisi pengeluaran konsumsi rumah tangga telah menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Bahkan isu ini sempat menjadi perdebatan karena awalnya dianggap hanya pergeseran cara belanja ke sistem daring.
Berdasarkan riset yang sama ditemukan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga menurun dari 4,95 persen pada triwulan kedua 2017 menjadi 4,93 persen di triwulan berikutnya. Karena kontribusi konsumsi terhadap PDB nasional dominan maka pertumbuhan ekonomi pun akan tertekan. Malahan diperkirakan hal itu akan berlanjut di tahun depan. Apalagi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penyatuan golongan tarif listrik, pembatasan distribusi gas elpiji 3 kg, kenaikan harga bahan bakar, dan juga kenaikan cukai rokok.
Kenyataan yang pahit itu sejatinya sudah diantisipasi perbankan dengan menurunkan target pertumbuhan kreditnya. Bank Indonesia sendiri, berdasarkan rencana bisnis bank, kembali merevisi perkiraan pertumbuhan kredit menjadi 7-9 persen dari sebelumnya yang sebesar 8-10 persen. Angka akhir itu lebih rendah lagi dari target semula yaitu 10-12 persen yang ditetapkan pada rencana bisnis bank tahun lalu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di sisi lain, memprediksi bahwa kredit hanya akan tumbuh maksimal di level 10 persen. Awalnya OJK melihat pertumbuhan kredit ada di 13 persen, kemudian diturunkan lagi menjadi 11 persen, dan pada Oktober 2017 ini, OJK melihat pertumbuhan kredit sepanjang tahun berada di kisaran 8-9 persen.
Menurut Wimboh Santoso, Ketua Komisioner OJK, hingga September 2017, beberapa bank masih terkonsentrasi untuk merestrukturisasi kredit bermasalah sehingga tidak leluasa untuk melakukan ekspansi penyaluran kredit. “Setelah kami ikuti betul beberapa individu bank, sedang restrukturisasi kredit, misalnya yang kategori komersial yang bentuknya modal kerja," ujar dia.
OJK melihat sebuah bank membutuhkan waktu 1-1,5 tahun sejak awal melakukan restrukturusasi kredit untuk dapat kembali mencapai pertumbuhan normal. “Kami perkirakan perlu waktu 1 sampai 1,5 tahun perbaikan NPL (non performing loan) ini. Kami perkirakan NPL akan menurun secara gradual,” kata Wimboh.

Tahun Depan Tidak Ringan
            Dengan mengantongi bekal yang tidak bisa dibilang mencukupi itu, perbankan harus menghadapi tantangan yang tidak bisa dibilang ringan juga tahun depan. Menurut Retno Ponco Windarti, Plt. KepalaGrup di Departemen Kebijakan Makroprudensial, tahun depan ekonomi global menjadi isu yang krusial buat perbankan.
Ada beberapa kondisi yang membuat bisnis  industri perbankan di antaranya adalah ekonomi Tiongkok yang melambat, pengetatan kebijakan moneter di beberapa negara Uni Eropa, ancaman masalah geopolitik, dan investasi dan produktivitas global yang belum pulih.
“Berlanjutnya tren pengetatan kebijakan moneter di beberapa negara maju, berisiko memengaruhi arah pergerakan likuiditas dunia. Tak hanya pengetatan suku bunga The Fed, risiko lain adalah terkait ketidakpastian kebijakan AS, volatilitas harga minyak dan komoditas, serta isu geopolitik global,” kata Retno, dalam seminar Indonesia Risk Management Outlook 2018 di Hotel Fairmont Jakarta yang diselenggarakan oleh Majalah Stabilitas.
Risiko pengetatan The Fed yang berlanjut akan melahirkan permasalahan pada suku bunga AS yang dapat berimplikasi pada akumulasi kerentanan sistem keuangan global. Selain isu fiskal, ekonomi global juga menghadapi ancaman dari kerentanan isu politik yang dilemparkan oleh AS terkait keamanan di Timur Tengah terutama di Palestina, serta isu yang sudah ada lainnya seperti soal nuklir Korea Utara.
Sementara itu, terkait tantangan ekonomi dalam negeri, Direktur Pengawasan Bank OJK, Irnal Fiscallutfi mengatakan, setidaknya ada tiga isu yang akan dihadapi Indonesia pada 2018. Pertama, ketertinggalan infrastruktur. Indonesia, menurutnya, harus mengejar ketertinggalan infrastruktur untuk mendorong aktivitas ekonomi.
Irnal menilai, para pelaku sektor jasa keuangan diharapkan dapat berpartisipasi untuk menyalurkan pembiayaan kreditnya pada sektor infrastruktur nasional. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 diyakini akan lebih optimal.
Kedua, peningkatan kesejahteraan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengemukakan, angka kemiskinan pada Agustus 2017 meningkat menjadi 27,77 juta orang dari Agustus tahun 2016 yang mencapai 27,76 juta. “Saat ini pihak perbankan telah berpartisipasi dalam gerakan peningkatan kesejahteraan melalui penyaluran bantuan sosial secara nontunai,” kata dia.
Ketiga, perkembangan digital. Para pelaku sektor jasa keuangan diharapkan dapat mengantisipasi perkembangan dan inovasi digital. Pasalnya, hal itu bisa memberikan dampak positif maupun dampak persaingan antar pelaku sektor jasa keuangan.

(DIPUBLIKASIKAN NOV -DES 2017) 

Riak-Riak Krisis Kecil


Pembangunan infrastruktur yang masif namun tidak didukung pendanaan mumpuni telah membuka potensi risiko yang serius. Meski hanya krisis mini, namun bukan berarti risiko itu bisa diabaikan begitu saja.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat pantas untuk disebut sebagai orde infrastruktur, karena kegigihannya mendorong proyek pembangunan berbagai macam sarana dan prasaran ekonomi. Tiga tahun berkuasa, fokusnya kepada proyek-proyek besar itu tidaklah berkurang. Jika pada 2014 porsi belanja infrastruktur hanya 8,7 persen dari total anggaran negara dan pada 2017 angkanya dilipatduakan menjadi 18,6 persen.
Akan tetapi, ambisi besar tersebut pada akhirnya terantuk isu yang sejatinya sudah mengintip sejak kali pertama program infrastruktur digulirkan: kemampuan keuangan negara. Pada 2014 anggaran infrastruktur berjumlah Rp177,9 triliun, pada 2015 angkanya menjadi  Rp290,3 triliun, setahun kemudian bertambah menjadi Rp317,1 triliun, dan pada tahun ini berjumlah Rp387 triliun. Pada 2018 angkanya didongkrak lagi menjadi Rp409 triliun.
            Anggaran yang besar itu sayangnya tidak dibarengi oleh kuatnya pendanaan yang berasal dari kantong sendiri, walaupun sebelumnya banyak dana-dana subsidi untuk rakyat sudah dicabut. Walhasil, utang dan juga rekayasa anggaran menjadi jurus yang dipakai oleh pemerintah. Strategi itu, meski demikian, tidak steril dari risiko.
            Satu demi satu risiko-risiko dari proyek-proyek infrastruktur yang bertebaran di Tanah Air mulai muncul. Sebut saja soal minimnya bahan baku lokal yang dipakai ketika data pusat statistik pemerintah membuktikan bahwa banyak dari yang dipakai proyek itu justru dari luar negeri alias impor. Atau soal dominasi perusahaan-perusahaan negara di proyek infrastruktur, sehingga perusahaan swasta yang bergerak di sektor konstruksi mulai berteriak karena tidak kebagian proyek besar tersebut.
Kini, ujung dari semua itu tergambar dari risiko pada anggaran negara yang berada di tepi jurang defisit yang digariskan undang-undang sebesar 3 persen. Bersamaan dengan itu pula muncul kekhawatiran bahwa keagresifan Jokowi dalam sektor infrastruktur akan membawa ekonomi kepada ketidakstabilan.
Sinyal bahaya itu sudah terlihat ketika pemerintah menengok isi kantongnya yang berasal dari pajak. Menurut Faisal Basri, ekonom dari Universitas Indonesia, realisasi penerimaan pajak sepanjang Januari hingga September tahun ini berjumlah Rp770,7 triliun atau 60,0 persen dari target APBN-P. Dibandingkan pendapatan pajak tahun lalu, berarti pertumbuhannya minus 2,68 persen. Namun jika pendapatan dari uang tebusan tidak dihitung maka akan ada pertumbuhan pendapatan sebesar 8,1 persen.
Jika sampai akhir tahun ini penerimaan pajak tumbuh 5 persen, kata Faisal, maka penerimaan pajak 2017 menjadi Rp1.161 triliun atau hanya mencapai 90 persen dari target di APBN-P. Jika hal-hal lain tetap, atau ceteris paribus, kata dia.
Dengan ditambah dengan pemangkasan pengeluaran Rp34 triliun yang sudah ditetapkan sebelumnya, maka pemerintah akan menghadapi risiko melebarnya defisit melewati batas, yang berarti melanggar undang-undang. “Walaupun outlook pengeluaran sudah dipangkas Rp 34 triliun, defisit APBN naik menjadi Rp485 triliun atau 3,57 persen, melebihi batas maksimum 3 persen,” ujar Faisal.
Pemerintah, oleh sebab itu, diminta untuk sesegera mungkin memotong pengeluaran. Ibarat, seseorang yang ingin langsing, kata Faisal, jalannya yang ditempuh adalah diet dan olahraga. Untuk itu dia menyarankan pemerintah untuk menunda penyelesaian beberapa proyek infrastruktur hingga setahun sampai dua tahun ke depan. pemerintah, dengan itu, masih memiliki waktu untuk memperbaiki anggaran karena APBN 2018 sedang dalam tahapan pembahasan.
Menurut dia, sepenting-pentingnya proyek infrastruktur strategis, jauh lebih penting menjaga stabilitas makroekonomi yang sudah dengan susah payah terjaga dengan ongkos yang cukup mahal pula.
“Terlalu riskan dan mahal ongkos politik yang harus dipikul Presiden seandainya demi mengamankan proyek infrastruktur, terjadi krisis kecil akibat stabilitas makroekonomi terganggu atau goyah,” kata Faisal.

Crowding out dan Overinvestment

Nafsu besar pemerintah mendorong infrastruktur saat ini juga dinilai telah menyebabkan munculnya dua eksternalitas negatif yaitu crowding out dan overinvestment . Minimnya pendanaan memaksa pemerintah untuk berutang, baik bilateral maupun lewat pasar modal. Dalam rancangan APBNP 2017, pemerintah menaikkan defisit hingga mencapai Rp397,2 triliun atau 2,92 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sebelumnya dalam APBN 2017 defisit hanya 2,41 persen.
Kenaikan defisit pulalah yang membuat pemerintah rajin menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Dengan mematok suku bunga SUN yang kompetitif agat menarik, maka kenaikan suku bunga di pasar keuangan tidak terelakkan. Kenaikan suku bunga itu membuat investasi swasta turun. Jadi, peningkatan utang pemerintah menimbulkan efek mendesak (crowding out effect).
Sementara itu, dampak lain dari infrastruktur yang getol digenjot pemerintah adalah terjadinya overinvestment. Kondisi ini mengacu pada kegiatan investasi yang selalu lebih besar dari tabungan yang menyebabkan pembiayaan investasi dilakukan dengan menggunakan kredit dari bank. Bahkan dalam hal infrastruktur ini pemerintah sangat mengandalkan utang.
Total utang dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi meroket. Per September 2017, jumlah total utang pemerintah mencapai Rp3.866,45 triliun. Tahun, 2014 pada saat baru memerintah, total utang berjumlah Rp2.604,93 triliun, dan tambahan selama tiga tahun sebesar Rp 1.261,52 triliun. Artinya setiap tahun pemerintah rata-rata bikin utang baru Rp400 triliun, alias setiap hari lebih dari Rp1 triliun ada utang baru.
Kwik Kian Gie, ekonom dan politisi senior, dalam sebuah seminar, mengatakan inti dari teori overinvestment adalah kegiatan investasi lebih besar dari tabungan yang menyebabkan pembiayaan investasi dilakukan dengan kredit bank. Jumlah atau besaran pembentukan modal sendiri atau equity capital dinilai tertinggal dibanding dengan kesempatan dan gairah investasi.
“Jika kredit bank berkurang, investasi mini. Saat itu krisis dimulai. Ini harus dicegah dari sekarang, dengan mengerem investasi,” jelas mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini.
Dengan kalimat lain, jika Indonesia tidak ingin terus menapaki jalur menuju jurang resesi, Kwik menyarankan agar pemerintah mulai mengerem investasinya melalui penjadwalan kembali proyek-proyek besar di program infrastruktur.
Di lain sisi, ekonom sekaligus rektor Universitas Atmajaya Antonius Prasetyantoko mengatakan bahwa sampai saat ini memang ada gejala crowding out namun belum sampai pada risiko overinvestment.
“Mungkin saja ekspansi pembangunan infrastruktur sedikit menimbulkan tekanan pada pasar (crowding-out), namun sepertinya belum sampai mengarah ke risiko overinvestment,” tulis dia pada sebuah kolom di sebuah media.
Menurut Prasetyantoko, di manapun, pembangunan infrastruktur akan menjadi beban dalam jangk pendek, namun jika dikelola dengan baik, akan menimbulkan efek berganda dalam jangka panjang. Pemerintah tentu perlu memastikan efek jangka pendeknya bisa dikendalikan, sementara momentum jangka panjangnya tetap terjaga.
Akan tetapi memperlambat atau bahkan mengerem beberapa proyek infrastruktur juga bukan tanpa risiko. Akibat yang paling cepat terlihat adalah daya beli yang memang sedang melemah akan makin turun, ujung-ujungnya bisa mengganjal pertumbuhan ekonomi yang memang mulai terasa stagnan.
Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti dari Indef mengatakan bahwa mengerem pembangunan infrastruktur memang berisiko membuat pertumbuhan akan makin melamban. “Bahkan 5 persen aja mungkin tidak sampai,” kata dia.
Selama ini, lanjut Bhima, yang menikmati proyek-proyek infrastruktur sebagian besar adalah kontraktor skala besar, hampir sebesar 87 persen. Jadi jika nanti proyek-proyek tersebut itu dirasionalisasi maka yang akan terimbas adalah kontraktor besar yang umumnya adalah perusahaan negara. “Dampak (rasionalisasi) infrastruktur ke masyarakat kecil hampir tidak dirasakan. Jadi kalau di rem efek ke ekonomi masyarakat kecil sekali,” kata dia.
Walaupun demikian, bukan berarti risiko dari opsi itu tidak ada. Salah satunya akan menekan kembali daya beli masyarakat ketika Badan Pusat Statistik mengumumkan konsumsi stagnan di angka 4,93 persen.

(DIPUBLIKASIKAN OKTOBER NOVEMBER 2017) 

Mewaspadai Puncak Gunung Es



 Otoritas bergerak cepat untuk memitigasi risiko munculnya investasi ilegal lainnya pasca kasus First Travel. Selain mengoptimalkan kerja Satgas Waspada Investasi, lembaga itu juga mengeluarkan ‘senjata’ baru yaitu Fintech Center.


Pertengahan tahun ini muncul peristiwa mengagetkan, tidak hanya bagi sebagian orang yang ingin ziarah ke Tanah Suci tetapi juga bagi khalayak ramai. Akan tetapi semua itu, bisa jadi tidak mengalahkan kekagetan yang dialami Otoritas Jasa Keuangan.       
Adalah First Travel, sebuah agen perjalanan haji dan umrah, yang pada praktiknya menjanjikan pendapatan bagi pesertanya jika bisa menggaet peserta lainnya. Namun begitu bukan itu yang lantas membuat otoritas geram. Agen perjalanan itu juga mempraktikkan skema investasi dengan menawarkan imbal hasil tinggi, yang belakangan diketahui imbal hasilnya itu didapat dibayarkan oleh investor berikutnya.
First Travel menetapkan paket umrah seharga Rp14,3 juta, yang dianggap di bawah harga yang dipatok oleh travel-travel sejenis. Harga itu kemudian dianggap tidak mencerminkan biaya-biaya yang muncul dari penyelenggaraan umrah dari banyak agen perjalanan.
Harga itu dianggap tidak logis. Pasalnya, sebagaimana bisa dilihat dari banyak agen perjalanan umrah, harga paling rendah yang dikenakan agen ada di kisaran Rp18 juta, bahkan rata-rata mengenakan harga di atas Rp20 juta.
First Travel menerapkan sistem yang terjadwal dalam memberangkatkan peserta. Jadi meskipun seseorang sudah melunasi ongkosnya belum tentu dia bisa berangkat. Padahal praktik di agen travel pada umumnya ialah, peserta akan berangkat jika sudah melunasi pembayarannya.
Memang banyak yang menggunakan jasa First Travel karena harganya yang miring. Namun lambat laun karena keberangkatan seseorang harus ditopang atau disubsidi oleh dana yang disetorkan peserta berikutnya, pada akhirnya layanan First Travel bermasalah.
Menjelang musim haji tahun ini, bom waktu itu akhirnya meledak. Ribuan orang gagal berangkat umrah karena First Travel tidak mampu lagi menyediakan akomodasi yang dijanjikan kepada peserta yang sudah menyetorkan dananya.
Pengenaan harga yang murah dan cenderung tidak masuk akal akhirnya menemui jalan buntu ketika pesertanya mulai menyusut. Hal itu biasa terjadi pada praktik investasi palsu dengan Skema Ponzi. Ciri-ciri praktik ini adalah tawaran imbal hasil tinggi yang dibayarkan oleh investor berikutnya, bukan dari keuntungan hasil dana yang dikelola pemilik atau perusahaan.
“Untuk memberangkatkan satu orang, pembiayaannya harus ditopang dua orang. Biaya untuk dua orang itu habis, lalu biaya untuk dua orang tadi diambil dari siapa? Itu terus terjadi sampai seperti gunung es,” kata Ketua Himpunan Penyelenggara Haji dan Umrah (HIMPUH) Baluki Ahmad, ketika kasus itu mulai mencuat.
Otoritas mengakui bahwa kasus First Travel hanyalah gunung es praktik investasi legal di agen perjalanan. Bahkan OJK mengatakan ada belasan lagi yang mengenakan skema investasi pada penawaran layanan umrahnya.
Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengungkapkan, saat ini terdapat 118 entitas yang diduga ilegal dan berpotensi merugikan masyarakat. Beberapa diantaranya sudah dihentikan operasinya. “Untuk periode Januari-September sudah 48 yang kita hentikan. Bulan ini juga kami akan memanggil 11 entitas yang terindikasi melakukan praktik ilegal," kata dia.
Tongam mengatakan, banyak di antara investasi ilegal tersebut yang kegiatannya bukan dilakukan oleh entitas jasa keuangan. Misalnya melakukan kegiatan seperti multilevel marketing (MLM), investasi uang dengan bunga tinggi, investasi perkebunan dan perumahan yang menghimpun dana masyarakat dengan memberikan bunga tinggi.
Di sektor sektor penyelenggaraan layanan umrah, Tongam mengatakan kepada Stablitas bahwa pihaknya sudah memanggil Arminareka dan Solusi Balad Lumampah (SBL), keduanya adalah perusahaan resmi penyelenggara jasa haji dan umrah. “Sudah kita panggil keduanya,” kata Tongam, “dan sudah kita ingatkan untuk mengubah caranya menawarkan produk umrah yang terkait dengan investasi.”
Langkah preventif OJK ini tentu tidak bisa dilepaskan dari tujuan pendirian lembaga itu sebagaimana yang dibebankan oleh undang-undang yaitu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Jika produk-produk investasi bodong itu tidak bisa dienyahkan atau minimal dikendalikan, maka akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada produk keuangan. Hal itu tentulah akan membuat kehadiran OJK terlihat sia-sia.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengakui, selama ini regulator kerap terlambat mengetahui keberadaan praktik investasi ilegal yang merugikan masyarakat. OJK terlihat hanya mengandalkan laporan dari masyarakat yang sudah dirugikan dan hal itu tentu membuat tugas OJK lebih berat untuk meredam dampaknya.
Hingga saat ini otoritas mengandalkan langkah edukasi kepadan masyarakat mengenai produk-produk keuangan dan apa saja yang perlu diketahui oleh masyarakat. “Yang harus jadi perhatian adalah legal dan logic. Apakah produk itu legal atau sudah terdaftar, kemudian apakah hasil atau return-nya itu masuk akal,” jelas Wimboh.
Umumnya praktik investasi bodong ini menjanjikan keuntungan yang cepat dan tinggi, dan seringkali tidak masuk akal. "Hati-hati dalam berinvestasi, jangan terpancing iming-iming keuntungan yang besar,” tambah dia.
            Dalam catatan OJK, sejak 2007 hingga 2017, perkiraann total kerugian yang diderita masyarakat dari maraknya investasi bodong telah mencapai Rp105,81 triliun. Yang terbaru yaitu dari kasus First Travel kerugian ditaksir Rp800 miliar dengan korban mencapai 58,6 ribu orang. Beberapa bulan sebelumnya ada juga kasus Koperasi Pandawa yang kerugiannya mencapai Rp3,8 triliun dengan korban sebanyak 549 ribu orang.

Satgas dan Fintech
OJK bukannya tidak mampu memprediksi maraknya tawaran-tawaran investasi bodong itu di masyarakat. Sejak berdirinya, lembaga super-power dalam pengawasan sektor keuangan sudah concern pada edukasi keuangan kepada konsumen. Akan tetapi pada awalnya otoritas sempat kesulitan karena praktik-praktik ilegal itu dilakukan oleh lembaga di luar industri keuangan.
Kemudian pada pertengahan tahun lalu, OJK membentuk Satuan Tugas Waspada Investasi. Saat ini Satgas tersebut beranggotakan OJK, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, BKPM, Kementerian Koperasi dan UKM, Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung.
Selanjutnya kerja sama akan diperluas dengan menggandeng lima K/L yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Bank Indonesia dan PPATK.
            Kehadiran Satgas tersebut, akan tetapi, tidak lantas menjamin musnahnya praktik-praktik investasi bodong di kemudian hari. Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, produk-produk investasi ilegal tetap berpotensi muncul lebih banyak lagi di Indonesia.
Setidaknya ada delapan hal yang membuat otoritas tetap waspada akan munculnya tawaran investasi yang merugikan masyarakat. Di antaranya adalah regulasi dan kebijakan belum terintegrasi, keamanan data konsumen yang masih rentan, perkembangan financial technology (fintech) yang sangat marak, dan pengawasan market conduct yang masih lemah.
Ditambah dengan kecenderungan transaksi lintas negara (cross border) yang terus membesar, tingkat literasi dan inklusi yang masih rendah, asymetric information pada produk keuangan yang kerap terjadi dan kegiatan transaksi keuangan tidak berizin yang terus muncul.
OJK juga merencanakan hadirnya inisiatif baru untuk meredam munculnya investasi ilegal dari maraknya praktik fintech. Lembaga itu mendirikan Fintench Center yang akan memastikan bahwa di industri keuangan tidak ada blind spot dan tidak ada regulatory arbitrage.
Karena ke depan diperkirakan akan semakin banyak produk investasi yang menggunakan dana masyarakat yang muncul dari saluran digital. “Mereka mencari celah dari regulasi. Lembaga yang meluncurkan produknya juga tidak di Indonesia. Lembaga dan produknya virtual, sehingga pengawasannya juga susah," kata Wimboh.

(DIPUBLIKASIKAN SEPT-OKT 2017)