Selasa, 17 Desember 2019

Dari Reputasi ke Legacy


  
“It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it. If you think about that, you’ll do things differently.” (Warren Buffet)

Bagi sebuah perusahaan reputasi yang baik adalah hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Risiko lainnya masih bisa dihadapi perusahaan dengan lebih tenang, namun tidak dengan risiko reputasi.
Reputasi, ibarat sebuah gedung megah atau sebuah rumah mewah, dibangun dengan sangat material yang paling bagus dan dilakukan dengan hati-hati sedari awal. Proses itu tentu tidak pernah bisa dibangun dalam waktu singkat, ia merupakan proses yang dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun.
                Ada beberapa hal yang membentuk reputasi perusahaan, seperti social
responsibility, emotional appeal, financial performance, product and service, vision and leadership, dan workplace environment.
                Beberapa tahun belakangan ini, Bank Mandiri tampaknya tengah menikmati reputasi yang disematkan publik padanya bahwa mereka adalah bank dengan bankir-bankir yang andal dan mumpuni. Tidak mengherankan jika lulusan bank tersebut –biasa dipanggil Mandirians, kerap menjadi rebutan bank-bank lain bahkan perusahaan di sektor lain.
                Yang teranyar adalah ketika Kartika Wirjoatmodjo dan Budi Gunadi Sadikin direkrut oleh pemerintah untuk menjadi Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara. Keduanya adalah lulusan Bank Mandiri, nama pertama adalah Direktur Utama yang masih menjabat, nama yang kedua adalah Direktur Utama sebelumnya.
                Fakta itu seolah menambah daftar Mandirians yang direkrut oleh lemabaga lain. Fenomena itu, kalau boleh dibilang dimulai oleh Agus Dermawan Wintarto Martowardojo, Direktur Utama Bank Mandiri 2005-2010, yang dipilih menjadi Menteri Keuangan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
                Padahal kalau boleh dibilang, bank ini adalah bank yang memiliki masalah fundamental ketika pertama kali dibentuk dari hasil merger empat bank pelat merah. Salah satu yang paling krusial adalah masalah penyamaan visi pegawainya yang berasal dari budaya kerja yang berbeda. Apalagi merger empat bank pemerintah pada 1998 itu terjadi di tengah ekonomi Indonesia dilanda krisis.
Robby Djohan yang sebelumnya dinilai berhasil dalam merestrukturisasi Maskapai Garuda ditunjuk sebagai pemimpin dalam proses pemulihan Bank Mandiri pada 1999. Robby yang mantan bankir Citibank bergerak cepat dengan membentuk sebuah tim yang dipercayainya bisa membantunya mereparasi Bank Mandiri. Belakangan beberapa orang dari tim itu juga dikenal sebagai bankir-bankir handal dalam soal merestrukturisasi bank bermasalah. Sebut saja, Agus DW Martowardojo dan Sigit Pramono. Dua nama itu merupakan anggota tim yang dipilih Roby Djohan dalam proses memulihkan Bank Mandiri pasca merger.
Dalam bukunya, Leading in Crisis: Praktik Kepemimpinan dalam Mega Merger Bank Mandiri (2006),  Robby bertutur bahwa pemimpin harus mampu menemukan inti masalah dan mempunyai kepercayaan diri bahwa ia mampu mengatasi masalah tersebut. Berikutnya, agar masalah bisa terurai lebih cepat, tulis dia, pemimpin harus membentuk tim yang ahli di bidangnya. Pemimpin juga harus mampu menularkan keyakinan mengatasi masalah kepada seluruh anggota timnya.
                Menurut Sigit Pramono ketika diminta komentar mengenai Robby beberapa tahun setelahnya, “Pak Roby pandai memilih anak buah yang membantu dia. Dia berani memilih orang-orang yang bakal lebih pintar dari dia supaya pekerjaaanya lebih mudah. Dan dia mengkader orang.”
Pada tahap awal proses transformasi Mandiri, ada dua hal pokok yang dibenahi Robby beserta tim yang dibentuk pada masa-masa awal yaitu masalah personalia atau SDM dan teknologi yang terkait dengan operasional. Kurang lebih tiga tahun proses itu dijalankan tim, strategi Robby diakui sukses. Masing-masing pegawai dinilai sudah tidak ada lagi yang membawa ego dari bank mana mereka berasal. Semuanya sudah bersatu dalam keluarga besar Bank Mandiri.
Bank Mandiri tampaknya tengah menikmati buah keberhasilan para founding fathers yang telah membangun fondasi SDM sedari awal. Tepat seperti yan dikatakan oleh Warren Buffet, begawan investasi global, bahwa dibutuhkan waktu 20 tahun untuk membangun sebuah reputasi.
                Namun pengelola SDM Bank Mandiri saat ini harus menyadari bahwa tantangan tidak berubah menjadi lebih ringan. Karena mereka harus menyiapkan penerus yang bisa mempertahankan reputasi itu, di saat generasi baby boomers yang banyak memberikan legacy harus digantikan oleh generasi milenial yang kini mendominasi.
                Eksodusnya generasi yang dalam nada bercanda kerap disebut generasi kolonial ini tentu diharapkan tidak ikut membawa segudang pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki mereka. Ada transfer of knowledge, transfer of wisdom kepada milenial dan bahkan Gen Z yang mulai menduduki jabatan-jabatan penting di Bank Mandiri.
                Reputasi yang dimiliki Bank Mandiri sekarang ini adalah legacy dari para founding fathers dan juga penerus-penerusnya. Dan saat ini legacy itu berada di tangan milenial dan Gen Z. Melihat kecenderungan generasi terkini itu dalam hal loyalitas pada perusahaan dan attitude bernada negatif lainnya yang disematkan pada mereka, memang muncul kekhawatiran. Apakah reputasi itu tetap akan menjadi legacy yang diturunkan para Mandirians dari generasi ke generasi?



Bankir Mandiri Mengambil Alih Panggung


Satu dekade belakangan banyak perusahaan di industri keuangan yang kini mengincar lulusan Bank Mandiri untuk dipinang menjadi salah satu eksekutifnya. Mengapa fenomena itu bisa terjadi?


Bank Mandiri memang tengah menjadi fenomena di industri keuangan Indonesia. Terutama karena ia bisa menjadi ‘pintu kemana saja’ bagi para bankirnya yang ingin pindah ke lembaga lain. Ditunjuknya Kartika Wirjoatmojo menjadi wakil menteri yang mengurus perusahaan-perusahaan pelat merah, makin membenarkan anggapan yang sudah berkembang beberapa tahun belakangan itu.
                Tiko –panggilan akrabnya, menambah daftar panjang Mandirian –sebutan untuk pegawai Bank Mandiri, yang dipercaya menjadi eksekutif di perusahaan atau lembaga lain. Sebelumnya para Mandirians ini sudah bercokol di beberapa perusahaan, baik sektor keuangan dan sektor lain, atau yang lebih mencolok lagi di beberapa perusahaan negara yang tergolong berukuran besar.
                Citra bahwa Mandirians adalah para profesional andal meski ditempatkan di perusahaan non keuangan, memang tidak didapat Bank Mandiri dalam waktu singkat. Namun demikian bank yang berdiri Oktober 1998 itu juga tidak mendapatkan dalam masa yang terlalu lama, sesuatu yang sangat sulit terwujud.
Lazimnya, sebuah bank  yang berhasil mendongkrak namanya ke level atas industri keuangan membutuhkan jejak langkah yang cukup panjang. Citibank, misalnya. Bank yang terkenal karena melahirkan banyak bankir andal (biasa disebut Citibankers) mencapainya dalam waktu yang sangat panjang. Berdiri tahun 1817 dan meluaskan operasinya ke global pada awal Abad 20, masuk ke Indonesia pada 1968, pegawai Citibank menjadi rebutan bank-bank di Indonesia di era 80-an dan 90-an. Gelombang itu terakhir muncul ketika Batara Sianturi dipercaya memimpin Bank CIMB Niaga pada 2017.
Akan tetapi dalam satu dekade ke belakang Mandirians tampaknya mengambil panggung yang tadinya dikuasai Citibankers. Sederet bankir lulusan Mandiri dipercaya mengisi jajaran direksi bahkan menjadi orang nomor satu, sebuah perusahaan.
Gelombang tersebut, boleh dibilang mulai muncul setelah Agus Dermawan Wintarto Martowardojo dipinang menjadi Menteri Keuangan pada 2010 dan juga terpilih menjadi Gubernur BI pada 2013. Agus yang menjadi Dirut Bank Mandiri pada 2005-2010, boleh dibilang adalah anak didik terbaik Robby Djohan, bankir legenda yang pernah ada di Indonesia yang dibesarkan Citibank.
Robby pernah memimpin Bank Mandiri yang merupakan gabungan empat bank milik negara yang terdiri dari Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) pada 1999. Sedangkan Agus di tahun yang sama adalah Direktur Utama Bank Exim, yang kemudian diboyong Robby untuk membantunya menjadi direktur pelaksana.
Namun demikian, kemungkinan bukan di Bank Mandiri, Agus menyerap ilmu manajemen dan leadership Robby, melainkan di Bank Niaga. Agus bergabung dengan Bank Niaga pada 1986, ketika Robby menjadi direktur utamanya. Sembilan tahun di bawah ‘bimbingan’ Robby, Agus kemudian meloncat ke Bank Bumiputera untuk menjadi direktur utama.
Robby yang berhasil meroketkan Bank Niaga selama 1984-1996, kemudian ditunjuk untuk memimpin maskapai Garuda Indonesia yang saat itu merugi dan terancam bangkrut. Dalam kurun waktu dua tahun, dia dinilai sukses ‘menerbangkan’ kembali maskapai Garuda. Pada 1998, Robby dipercaya memimpin Bank Mandiri yang baru saja dibentuk.
Setelah era Robby, praktis tidak ada nakhoda yang bisa dibanggakan karena berbagai masalah bawaan internal dari bank-bank pembentuknya serta penanganan restrukturisasi kredit yang sulit ketika itu. Baru pada 2005, ketika Agus dipanggil kembali ke Bank Mandiri untuk menjadi direktur utama, kondisi itu lambat laun membaik.
Pasca Agus, pucuk pimpinan Bank Mandiri selalu dipilih dari internal bank, terutama yang sebelumnya menjadi dewan direksi. Zulkifli Zaini adalah pengganti Agus yang sebelumnya menjabat direktur teknologi dan operasional pada 2010.
Setelah itu muncul nama Budi Gunadi Sadikin menjadi direktur utama, yang pada zaman Zulkifli Zaini menjadi direktur mikro dan ritel. Kini, bank beraset sekitar Rp1.200-an triliun dipimpin oleh Kartika Wirjoatmojo, yang menggantikan Budi pada 2016. Sebelumnya pria yang akrab dipanggil Tiko ini menjabat sebagai direktur keuangan dalam kabinet Budi.
Tiko boleh dibilang adalah sebuah fenomena. Dirinya dipercaya sebagai Direktur mandiri Sekuritas saat usianya masih 35 tahun dan menjadi direktur bank terbesar di Indonesia dalam usia 43 tahun. Jika mengacu teori yang menyatakan generasi milenial merupakan generasi yang lahir pada era 1980-an, Tiko bisa disebut sebagai milenial pinggiran sebagaimana joke yang dilontarkannya pada Forum IBEX 2018 lalu. Dengan gap usia yang tidak begitu jauh, dirinya tentu masih mampu memahami karakter dan gaya hidup generasi milenial.
Fakta itu tentu memberi keuntungan tersendiri pada bank seperti Mandiri karena saat ini, lebih dari 75 persen Mandirians merupakan generasi milenial. Pemahaman terhadap kebutuhan milenial bisa menjadi kunci keberhasilan bank Mandiri dalam mengelola dan mengembangkan kapasitas kerja karyawannya.

Strategi Pro-Hire
Ali Damanik, praktisi dan pengamat pengembangan SDM, mengatakan bahwa banyaknya eksekutif Bank Mandiri yang menduduki posisi puncak di institusi lain adalah hasil dari investasi SDM yang dilakukan bank itu. Sebagaimana diketahui, Bank Mandiri berdiri ketika industri keuangan nasional ambruk karena krisis ekonomi 1998. Tetapi masa-masa sulit itu tidak membuat bank yang masih berusia muda itu menafikan perihal investasi SDM. “Bank Mandiri justru serius investasi di SDM ketika bank-bank lain mengurangi dana pengembangan SDM-nya karena Indonesia masih terlilit krisis ekonomi saat itu,” kata pria yang juga Direktur Kinerja-BlessingWhite, sebuah perusahaan konsultan pengembangan SDM
Dia juga mengakui bahwa pada era Dirut Agus Martowardojo lah, pondasi pengembangan SDM menemukan momentumnya. Saat Agus memimpin, mantan bankir Bank of America ini, kata Ali, luar biasa serius mengembangkan SDM dan membangun kultur baru, justru ketika bank lain menurunkan perhatiannya pada soal SDM. Bahkan warisan Agus masih terlihat hingga kini ketika bank bersimbol BMRI itu masih tetap agresif dalam mengembangkan karyawan berbagai level di saat bank lain masih konvensional dalam berinvestasi SDM.
“Beliau menjadi milestone pengembangan SDM di Bank Mandiri terutama pada strategi meng-hire profesional-profesional yang memang dibutuhkan bank atau biasa disebut pro hire,” kata pria yang sempat berkarier di Citibank ini.
Bank Mandiri memang cukup sering memenangkan kompetisi di bidang pengembangan SDM yang dilakukan oleh beberapa konsultan atau lembaga yang mengkhususkan diri di bidang tersebut. Sebut saja ajang employee engagement, service of excellence, dan lainnya.
Tak pelak, Ali mengatakan bahwa Bank Mandiri bisa disebut sebagai bank champion dalam soal pengelolaan SDM di industri perbankan bahkan sektor keuangan nasional. “Saat ini Bank Mandiri lewat Mandirians mengambil alih panggung yang sebelumnya disematkan kepada Citibank lewat Citibankers,” kata dia.
                Sementara itu, menurut Direktur Kepatuhan dan SDM Agus Dwi Handaya, apa yang diraih Bank Mandiri saat ini tidak terlepas dari strategi perusahaan dalam mengelola dan membangun SDM. Di internal bank, manajemen memberlakukan konsep unik dalam pengembangan SDM, yaitu apa yang disebut Mandiri 5 Cores Triangle yang terdiri dari Capability, Culture & Ethic, Leadership, Mindset dan Purpose). “Konsep ini menjadi platform fundamental dalam pengembangan SDM yang memastikan kelima aspek tersebut dijalankan secara berimbang dan menyeluruh,” kata Agus.
                Konsep tersebut sebagai pengembangan dari core values Bank Mandiri yaitu Trust, Integrity, Professionalism, Customer Focus dan Excellence, Code of Conduct, dan Business Ethics sebagai landasan untuk membangun karakter Mandirian yang kuat.
                Atas konsep yang dijalankan tersebut, tahun lalu manajemen bank yang diwakili oleh Agus diundang pada 21st Century Education Forum yang merupakan forum peneliti dan praktisi pendidikan global yang dapat mempengaruhi pembentukan kebijakan dan praktik pendidikan.
Bank Mandiri adalah satu-satunya instituasi dari Indonesia yang mengisi acara yang diselenggarkan di Harvard University dan melibatkan 50 pembicara dari berbagai negara. “Kami bersyukur dapat membawa Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia di kancah internasional,” kata Agus
Sebelumnya dalam sebuah publikasi di Majalah Forbes yang didasarkan hasil survei lembaga riset Statista dalam ‘Global 2000 Best Employers 2018’, Bank Mandiri menduduki peringkat 11 dari 500 perusahaan dunia yang menjadi idaman. Yang menakjubkan, bank tersebut masih berada di posisi 83 setahun sebelumnya. Bank Mandiri mengalahkan perusahaan-perusahaan global seperti Siemens, IBM, Mastercard, dan General Electric. Dibanding perusahaan nasional, peringkat Mandiri jauh di atas BCA (32), Gudang Garam (109), Telkom Indonesia (112), Bank BNI (157), dan Bank BRI (186).
               


Minggu, 20 Oktober 2019

Peringatan Dini Resesi



when your neighbors lose their jobs, it's recession, when you lose your job it's depression. (Harry Truman) 

Petunjuk bahwa ada masalah krusial di perekonomian sejatinya sudah muncul terutama lima tahun belakangan ini. Kegagalan pemerintah mencapai target pertumbuhan yang sudah disetorkan ke DPR adalah pertanda bahwa program ekonomi yang selama ini dijalankan tidak mencapai tujuan akhirnya.
Pertanda lain adalah ketika daya beli masyarakat melemah sehingga sektor ritel mulai limbung. Sederet pelaku usaha ritel bahkan memutuskan untuk menutup usahanya beberapa tahun belakangan, sebut saja 7-Eleven, Lotus, Debenhams dan yang terakhir adalah Giant.
Kini kode keras dari perekonomian global muncul. AS, pemilik ekonomi terbesar di jagat ini hampir dipastikan akan mengalami resesi. China, rival dari ekonomi AS pun mengalami perlambatan dan menyentuh level terendah dalam tiga dekade terakhir.
Pengampu perekonomian Indonesia nampaknya tidak bisa berbuat banyak menghindari turbulensi itu, yang bisa dilakukan adalah memperkuat pegangan. Dalam pengertian sesungguhnya, pemerintah tampaknya akan memperkuat pondasi ekonomi, memperkuat anggaran negara, dan memperkuat sistem keuangan.
Untuk yang pertama, pemerintah tampaknya akan kembali mengandalkan sektor usaha mikro kecil dan menengah agar bisa menjadi bumper perekonomian. Ini semacam template kebijakan ketika perekonomian nasional tengah dihadapkan oleh suatu masalah serius.
Untuk yang kedua, tanda-tanda itu sudah semakin terlihat dengan langkah pemerintah memangkas banyak pengeluaran belanja. Sayangnya hal itu berimbas pada dinaikkannya iuran-iuran yang harus dibayarkan masyarakat yang pada akhirnya akan mendongkrak beban rakyat. Sebut saja kenaikan tarif BPJS, tarif listrik, tarif cukai rokok, dan tarif tol.
Tentu saja pada ujungnya situasi itu akan makin menekan daya beli masyarakat. Padahal dalam porsi pembentukan produk domestik bruto Indonesia, konsumsi masih menjadi faktor dominan, dengan menyumbang lebih dari 56 persen. Jika hal itu terjadi tentu pertumbuhan ekonomi akan makin melemah.
Sementara itu dalam hal memperkuat sektor keuangan, otoritas memang sudah mulai memitigasi imbas resesi yang sudah muncul di AS dan beberapa negara di Eropa. Otoritas Jasa Keuangan sejatinya masih menggunakan cara lama dalam mengkomunikasin adanya ancaman ekonomi. OJK mengatakan bahwa fundamental ekonomi masih cukup baik dalam menangkal kisruh ekonomi.
Padahal kalau mau sedikit jujur, ada masalah cukup serius di sektor keuangan. Di sektor keuangan non bank misalnya, masih ada persoalan di industri asuransi ketika kisruh perusahaan asuransi Bumiputera yang tak kunjung usai sampai kini. Ditambah lagi dengan kasus Jiwasraya dan juga krisis yang terjadi di perusahaan Sunprima sejak tahun lalu.
Di sektor perbankan, masalah likuiditas masih tetap membayangi dan masalah kredit macet masih menghantui. Ancaman kekeringan likuiditas selalu muncul ketika ekonomi mengalami persoalan serius, karena saat itu muncul kecenderungan semua pihak untuk menggenggam likuiditasnya erat-erat. Saat ini ancaman resesi muncul pada waktu bank harus berebut dana masyarakat dengan pemerintah yang masih getol menerbitkan obligasi untuk menambal anggaran.
Ancaman kredit macet, malah, tahun ini harus diperhatikan serius karena beberapa waktu lalu ada debitur yang gagal bayar dan terkait dengan beberapa bank besar. Penurunan kualitas kredit biasanya akan menjadi akibat langsung dari turbulensi ekonomi.
Sejauh ini, OJK mengatakan bahwa likuditas perbankan cukup untuk mencapai target pertumbuhan  penyaluran kredit sebesar 12 persen sampai akhir tahun. Bank Indonesia juga memastikan bahwa kebijakan penurunan GWM dan suku bunga acuan akan membantu melonggarkan likuiditas perbankan tersebut.
Terakhir, BI telah menurunkan tingkat setoran wajib bank ke bank sentral atau GWM 50 basis poin seraya menurunkan suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate yang saat ini berada di level 5,25 persen. Penurunan GWM tersebut, kata BI, secara otomatis menambah likuiditas bank senilai Rp26,3 triliun. Sejatinya BI telah mempersiapkan sejumlah strategi baru untuk menjaga likuiditas. Caranya masih menggunakan operasi moneter, namun ada beberapa hal yang baru dilakukan tahun ini untuk menyesuaikan kondisi global. Hal ini salah satunya disebabkan likuiditas yang tak merata di industri perbankan.
Sampai sekarang resesi memang belum sampai di rumah kita karena angka pertumbuhan masih positif di angka 5 persen. Meski begitu dari kacamata ekonomi kapitalisme, resesi adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam sebuah siklus bisnis. Kegiatan usaha, atau secara umum perekonomian, ketika sudah membuka langkah awal maka setelah melewati periode tertentu akan mencapai puncaknya dan kembali akan turun.
Siklus ekonomi terbagi dalam empat periode: pertama periode pada waktu kegiatan ekonomi mencapai puncaknya (ekspansi). Kedua, periode pada waktu kegiatan ekonomi mengalami penurunan (resesi dan atau krisis). Ketiga, periode pada waktu kegiatan ekonomi mencapai titik terendah (depresi). Keempat, periode pada waktu kegitan ekonomi mulai meningkat kembali.
Namun begitu, resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga-harga (deflasi), atau, kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi. Dan seharusnya itu sudah cukup dijadikan petunjuk untuk serius memitigasi risiko.






Resesi Sudah Dekat


Ekonomi AS yang dinilai akan mengalami resesi tahun depan diakui akan memberi guncangan ke perekonomian nasional. Pemerintah sudah mengakuinya dan mulai menyiapkan mitigasinya.

Lebih dari dua dekade lalu, pemerintah sejatinya sudah melihat adanya tanda-tanda krisis moneter ketika defisit transaksi berjalan meningkat tajam bersamaan dengan utang luar negeri yang meningkat. Ketika mata uang negara tetangga merosot, banyak pembuat kebijakan yang masih percaya diri bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat. Namun kenyataan berkata lain dan krisis pun meledak pada paro kedua 1997.
Kini muncul pertanda resesi di AS ketika pada Agustus lalu imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor lebih pendek meningkat dan melampaui imbal hasil obligasi jangka  panjang. Sebelumnya kondisi itu juga pada Maret tahun lalu yang mana hal itu terjadi pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade belakangan.
                Normalnya yield obligasi AS jangka pendek memang selalu lebih rendah dibanding yang berjangka panjang. Inversi, atau pembalikan ini, baru terjadi lagi setelah terakhir kalinya muncul pada Juni 2007 yang kemudian setahun setelahnya terjadi krisis subprime mortgage AS. Negara Paman Sam itu kemudian terjerembab dalam resesi yang menular ke ekonomi negara-negara lain.
Resesi ekonomi adalah kondisi di mana perekonomian yang tercermin dari Produk Domestik Bruto (PDB) menurun dan pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Belajar dari pengalaman 1997 lalu, pemerintah kali ini tidak mau gegabah untuk bilang bahwa kondisi itu tidak akan berdampak pada perekonomian. Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, Indonesia harus mewaspadai ancaman resesi yang kian nyata ini. "Jadi kalau ada orang yang bilang Indonesia jauh dari ancaman resesi, jauh apanya? Coba cek. Suka enggak suka kita harus waspada (resesi),” kata dia, September.
                Kementerian Koordinator Perekonomian tentu menjadi pihak yang paling memahami bagaimana ancaman ini memang nyata bagi Indonesia. Apalagi sebelumnya Bank Dunia juga sudah mengeluarkan laporan bertajuk "Global economic risks and implications for Indonesia" dan sudah dipresentasikan di hadapan Presiden Joko Widodo.
                Kata laporan itu, Indonesia akan terkena dampak resesi karena pertumbuhan ekonomi global terus melambat dan kemungkinan resesi terlihat semakin besar. Kesimpulan itu berdasarkan pertanda pembalikan yield obligasi AS; mesin ekonomi Eropa, yaitu Jerman dan Inggris, yang makin melambat; dan pelemahan di China.
Faktor lain yang akan membuat ekonomi RI terdampak resesi adalah makin intensifnya perang dagang AS-China dan juga risiko geopolitik lainnya. Dua negara ekonomi terbesar dunia telah ‘memproklamirkan’ perseteruannya pada triwulan kedua tahun lalu. Perang tarif antara keduanya tak pelak membuat negara-negara lain di dunia mendapat pukulan yang tak ringan.
Bank Dunia dalam laporannya juga menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih lamban akan terus merosot bersama pelemahan ekonomi global. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus menurun karena produktivitas yang lemah dan pertumbuhan angkatan kerja yang melambat,” kata Laporan itu. “Pelemahan global yang menyebabkan harga komoditas menurun akan semakin menekan pertumbuhan PDB Indonesia.”
Setiap 1 persen penurunan ekonomi China, lanjut Laporan itu, berdampak pada penurunan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 persen. Pada resesi 2009, misalnya, pertumbuhan ekonomi global turun hingga 6,2 persen dari tahun 2007, disertai dengan harga komoditas yang jatuh. Saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melambat 1,7 persen.
Akibat konflik dagang, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia akan semakin melemah. Bahkan lembaga itu meyakini bahwa pertumbuhan dunia tahun ini akan menjadi yang terlemah sejak krisis keuangan global pada 2008-2009. Diperkirakan pertumbuhan akan melambat dari 3,6 persen pada 2018, menjadi 2,9 persen di 2019 dan 3,0 persen di 2020.
Tak kurang dari Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde mengkhawatirkan kondisi ini. Lagarde, yang akan menggantikan Mario Draghi memimpin ECB per 1 November nanti, mengatakan konflik dagang bakal memangkas 0,8 persen dari pertumbuhan ekonomi global di 2020. "Itu jumlah yang sangat besar," kata Lagarde dalam sebuah wawancara. "Saya pikir perdagangan (ancaman terhadap perdagangan saat ini) adalah rintangan terbesar bagi ekonomi global, ya, memang,".

Kondisi Indonesia
                Perihal dampak resesi global ke Indonesia, untuk kali ini pemerintah memang meresponsnya cukup serius, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Misalnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Resesi ekonomi global, kata dia, tidak bisa dinafikan lagi. Namun yang terpenting menurut perempuan yang pernah menjadi pejabat penting di Bank Dunia ini, adalah menyiapkan strategi untuk menghadapinya.
                Ani, panggilan akrabnya, mengatakan pemerintah telah memiliki strategi atau kebijakan countercylical dari sisi fiskal untuk mengantisipasi adanya potensi resesi ekonomi. “Paling penting dari sisi makroekonomi adalah melakukan countercylical policy sesuai kebutuhan. Itu berarti kami melihat apakah APBN kita sehat dan punya space untuk melakukan," kata dia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga mendaku tengah mengatur strategi untuk memperkuat ekonomi dalam negeri di tengah risiko resesi ekonomi global. Strategi yang disusun pemerintah, ditujukan agar ekonomi nasional tak terkena imbas gejolak ekonomi global, sehingga masih bisa tumbuh positif. “Ada atau tidak resesi, kami harus mempersiapkan diri, membenahinya. Ibaratnya, sedia payung sebelum hujan,” ujar Darmin.
Kendati demikian, ia enggan merinci berbagai jurus yang sedang disiapkan. Yang pasti, ia menekankan jurus tersebut merupakan kombinasi kebijakan yang melibatkan regulator industri keuangan, seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sementara itu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro menyatakan pembangunan Ibu Kota baru bisa menangkal risiko resesi yang kini juga sedang dihadapi oleh sejumlah negara. "Saya harapkan kami coba mengarahkan pembangunan ibu kota baru adalah countercyclical (penyangga) untuk menghadapi resesi tahun depan," kata dia.
Pembangunan Ibu Kota baru tentu akan mendatangkan banyak investasi, khususnya di sektor properti. Dari investasi inilah, Bambang berharap dapat membantu mendorong ekonomi nasional. "Kebetulan Ibu Kota baru bukan banyak di sektor manufaktur, tapi properti. Bicara properti bukan sekadar sektor kekinian, pengusaha properti berpikir jauh," jelasnya.
Dalam simulasi yang dilakukan oleh Bappenas, pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur (Kaltim) bisa mendorong investasi hingga 47,7 persen di kawasan itu. Sementara, di Pulau Kalimantan sendiri akan menambah sekitar 34,5 persen dan untuk Indonesia 4,7 persen.
"(Ibu kota baru) ini dibangun untuk 1,5 juta orang. Nah, otomatis pembangunan ibu kota baru menjadi salah satu kota terbesar di Kalimantan Timur, sehingga wajar kalau investasi riil naik hampir 50 persen," ujar Bambang.
Sepanjang lima tahun belakangan ini, perekonomian Indonesia selalu dibekap angka pertumbuhan yang rendah sehingga pemerintah gagal mewujudkan target PDB yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Pada 2014, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1 persen padahal targetnya adalah 5,5 persen. Setahun setelah itu, angkanya bahkan hanya mencapai 4,79 persen ketika sebelumnya ditargetkan mencapai 5,7 persen.
Pada 2016 dan 2017 pertumbuhan ditargetkan sama-sama mencapai 5,2 persen namun di akhir tahun masing-masing hanya mencapai 5,0 dan 5,07 persen. Pada 2018, terutama di kuartal kedua, harapan seketika membuncah sewaktu angka pertumbuhan mencapai 5,27 persen, tertinggi di masa Jokowi. Tetapi di akhir tahun pemerintah harus puas dengan angka 5,17 persen, sedangkan targetnya dipatok sebesar 5,4 persen.
Melihat respons pemerintah setidaknya publik memiliki sedikit harapan bahwa guncangan resesi global akan dihadapi dengan persiapan yang mumpuni. Karena jika ingin menyelesaikan masalah sangat penting untuk mengakui bahwa memang ada masalah.




Minggu, 13 Oktober 2019

1.000 Startup dan Cerita 1001 Malam


Sebagian besar dari kita mungkin pernah mendengar Kisah 1001 malam. Akan tetapi tidak semua mengetahui bahwa dongeng itu adalah rangkuman dari cerita-cerita yang dilantunkan seorang istri raja untuk mengulur waktu kematiannya. Sang Ratu yang bernama Scheherazade, yang baru dipersunting oleh Raja Shahryar, mengetahui bahwa suaminya itu memiliki kebiasaan membunuh istrinya setelah melewati malam pertama. Untuk menunda eksekusi itu, sang istri terus menerus menceritakan dongeng kepada suami hingga suaminya terlelap dan alpa untuk membunuhnya malam itu.       
Dalam dongeng itu sendiri tidak ada kisah tentang kuda bersayap yang memiliki tanduk tunggal di dahinya atau biasa disebut Unicorn. Akan tetapi Unicorn kini menjadi mimpi dari banyak anak muda saat ini, entah memiliki perusahaan seperti Unicorn, atau setidaknya bekerja di perusahaan Unicorn.             
Indonesia, saat ini setidaknya, memiliki empat Unicorn dalam diri Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Namun belakangan jumlahnya bertambah satu lagi setelah dimasukkan nama Grab, meskipun secara orisinal startup itu mengawali bisnisnya di Singapura. Jadi keputusan untuk mengadopsi Grab menjadi Unicorn Nusantara masih menyimpan pertanyaan besar untuk dijawab.
Memang tidak mudah mencetak Unicorn yang memiliki nilai di atas 1 miliar dollar AS, atau jika dirupiahkan bisa mencapai Rp14 triliun lebih. Namun bukan berarti kita mencari jalan pintas mengadopsi startup luar hanya karena mereka membuka markas atau pusat pelayanan di sini.
Harus ada rencana dan proses serta tahap pengembangan yang serius untuk mencetak satu Unicorn. Pemerintah memang sudah punya langkah pertama dengan meluncurkan Gerakan Nasional 1.000 Startup pada 2016, yang harus sudah tercapai paling lambat 2020.
Dilihat dari situs resminya, 1000startupdigital.id, baru ada lima startup yang dianggap sudah oke dan memberikan dampak positif ke masyarakat. Tetapi menurut Kementerian Komunikasi dan Informastika, sampai paro pertama tahun ini sudah ada 500-an startup yang dianggap bisa mengorbit. Kementerian bahkan melakukan rebranding dari gerakan tersebut menjadi Program The Next 1000++ Digital Startups.
Tetapi seharusnya juga ada langkah lanjutan yaitu program mencetak 5 Unicorn lagi dalam lima tahun setelah itu. Karena prestasi dan prestisenya justru terletak di situ.
Mimpi itu tentu tidak mudah diwujudkan. Dukungan, terutama dalam hal pendanaan karena startup sangat bergantung kepada promosi dan publikasi yang jor-joran, sangat dibutuhkan dan harus terintegrasi. Sokongan dari pemerintah tentu sudah ada, terlihat dari beberapa lembaga negara yang menyiapkan dana hibah untuk usaha-usaha rintisan terpilih. Namun dukungan yang masif dari lembaga keuangan (yang artinya jika dilihat dari mekanisme pasar, tindakan itu menguntungkan) lebih penting ketimbang hanya bergantung kepada pemerintah.
Dalam iklim perubahan saat ini, mimpi itu membutuhkan banyak keberuntungan. Usaha dan rencana yang matang dan dukungan yang cukup, namun demikian , tetap harus menjadi modal dasar mimpi itu. Saat ini, perusahaan rintisan di Indonesia masih kesulitan untuk mendapatkan pendanaan, bahkan bagi mereka yang aplikasinya sudah banyak diunduh ribuan orang.
Lembaga keuangan di Indonesia masih belum berani mengambil risiko memupuk startup-startup untuk kemudian memetik keberhasilan dari beberapa dari mereka. Ibarat menanam pohon, biaya pemupukan untuk disebarkan beberapa startup, bisa jadi tidak membuat semua startup bertahan. Namun satu atau dua startup yang bertahan itu nantinya bisa mengompensasi keseluruhan biaya ‘pupuk’ yang disebarkan.
Bank yang memiliki dana yang paling melimpah, tentu menjadi lembaga yang diharapkan untuk bisa memupuk banyak startup di Indonesia. Tetapi lembaga itu pula yang paling banyak memilik barriers yang menghalanginya memberikan pendanaan bagi startup.
Harapan beralih ke modal ventura, sebagai lembaga yang paling berpotensi membiayai perusahaan startup, seperti yang dipraktikkan negara-negara maju. Namun karena lembaga ini dinilai masih minim pengalaman, maka peran itu akhirnya banyak dijalankan oleh perusahaan asing.
Lihat saja di jajaran Unicorn Tanah Air. Berdasarkan data Tech-Crunch, GoJek dimiliki oleh beberapa penyandang dana seperti Google, JD.com, dan Tencent.Hanya ada dua perusahaan dari dalam negeri, yakni Astra International Tbk (Indonesia) dan Global Digital Niaga, anak perusahaan modal ventura Global Digital Prima (GDP) milik Djarum Group.
Kemudian Tokopedia, hanya ada satu investor lokal, yaitu Indonusa Dwitama, di antara sembilan perusahaan yang terdata oleh crunchbase.com. Startup ini disuntik dana oleh Alibaba Group (China) dan Softbank Vision Fund (Inggris).
Unicorn lokal lain, Traveloka, juga berkembang dengan kucuran dana dari investor AS, China, Jepang, dan India. Tak tercatat satu pun investor lokal di perusahaan agregasi jasa perjalanan online ini.
Sementara itu, untuk saham Bukalapak masih dikuasai PT Emtek, melalui anak perusahaannya, PT Kreatif Media Karya (KMK). Investor lainnya adalah Batavia Incubator, perusahaan join Corfina Group dengan mitranya, Rebright Partners, spesialis inkubator dari Jepang. Dari lima investor asing Bukalapak, tiga perusahaan dari Jepang, satu dari AS, dan satu perusahaan Korea Selatan.
Maka tidak heran kalau beberapa waktu lalu, pejabat pemerintah ‘keceplosan’ kalau deretan Unicorn itu sejatinya milik asing bukan milik Indonesia. Jika sudah begitu, apakah kita tidak khawatir kalau nanti seribuan startup yang mulai kita pupuk saat ini pada akhirnya justru dipanen oleh asing. Dan yang tersisa buat kita cuma mimpi atau cerita pengantar tidur.




Benih Minim di Ladang 'Startup'


Jalan terjal masih akan dihadapi para pelaku bisnis rintisan di Indonesia mengingat dukungan modal kepada mereka masih minim. Sementara harapan yang ada di pundak mereka sangat besar.

Tiga dekade lalu, perusahaan-perusahaan di bidang industri dan sumber daya alam masih mendominasi jajaran 10 bisnis global teratas. Namun menjelang masuk milenium baru, beberapa perusahaan di bidang teknologi mulai masuk ke dalam daftar, yang ditandai oleh hadirnya Microsoft dan Cisco.
Setelah itu, teknologi seolah menjadi idola, dan korporasi yang mengusungnya menjadi penguasa kapitalisasi pasar global mengungguli sektor lainnya. Nama-nama seperti Intel, IBM dan dua nama yang disebut di awal terus mempertahankan posisinya hingga awal dekade di tahun 2000-an.
Kondisi itu tidak bertahan lama, karena muncul apa yang dinamakan gelombang new technology akibat merangseknya internet dan maraknya penggunaan teknologi digital. Perusahaan-perusahaan semacam Facebook, Alibaba, Twitter, Pinterest, Whatsapp, dan Xiaomi kemudian muncul mengambil alih panggung. Mulanya perusahaan-perusahaan ini tidak diperhitungkan namun seiring meningkatnya praktik digital, mereka kemudian menjadi perusahaan raksasa.
Di Indonesia, keadaannya tidak jauh berbeda. Sebagai negara pengguna internet kelima terbanyak di dunia, kehadiran perusahaan-perusahaan di bidang teknologi mendapat perhatian besar. Sebut saja Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka dan lainnya. Keempat perusahaan rintisan di bidang teknologi digital (startup) itu bahkan sudah mendapatkan julukan Unicorn, karena nilai pasarnya sudah melebihi 1 miliar dollar AS.
Lalu bagaimana bisnis ini bisa berkembang? Beragam analisis telah menyimpulkan bahwa bisnis-bisnis yang baru dirintis selalu mengandung risiko namun risiko startup di bidang teknologi lebih besar lagi. Sebagaimana usaha-usaha pemula lainnya, startup teknologi selalu dihindari bank dengan alasan belum bankable dan peluangnya untuk berkembang tidak jelas.
“Saya awalnya sudah mencoba mendatangi bank untuk meminjam atau mengajukan kredit tetapi ditolak,” kata Febbie Hadidalas, Founder Indoris, sebuah aplikasi kesehatan dan kedokteran.
Akhirnya aplikasi yang digagasnya pada 2010 itu pun ditawarkan kepada investor individual yang berasal dari perusahaan swasta. Sementara itu, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro hanya mendapat 15 persen dari kepemilikan aplikasi yang dia temukan.
Akan tetapi, demi tetap memegang kendali merek yang dia miliki, Indoris telah didaftarkan kepada lembaga paten yang mana hak cipta merek itu akan menjadi miliknya selama 50 tahun. “Memang keuntungan atau kebanggan agak berkurang, tapi minimal royaltinya tetap kuat,” ujar dia.
Kini aplikasi yang memungkinkan pasien untuk mengakses CT Scan dan MRI lewat aplikasi di telepon androin itu sudah diunduh oleh seribuan orang.
Pengalaman senada juga diungkapkan oleh M. Tesar Sandikapura, CEO dan juga Founder liteBIG, aplikasi pesan singkat buatan Indonesia. Dia mengaku tidak mendapat pendanaan dari lembaga keuangan sejak memperkenalkan aplikasinya hingga kini yang sudah berjalan sekitar lima tahun.
Namun menurut dia, hal itu adalah sebuah kondisi yang wajar mengingat startup teknologi memang sebuah bisnis yang sangat berisiko dan tentunya unbankable. Oleh karena itu yang biasanya mendekati pebisnis rintisan adalah para angel investor atau lembaga modal ventura (Venture Capital/VC).
Seperti di negara-negara maju, di Indonesia peran pemodal malaikat dan VC juga sudah mulai terasa bahkan juga mendominasi pendanaan untuk para startup. Meski demikian pemodal ventura lokal belum banyak bergerak mendanai startup di Indonesia, dibanding dengan pemodal asing.
Kedewasaan pemodal lokal yang belum setara investor asing memang bisa dipahami karena kebanyakan memang belum memahami startup solution. Kondisi itu juga bisa diartikan bahwa ekosistem pendanaan startup di Indonesia belum dewasa. “Pemahaman kebanyakan VC Indonesia adalah kalau menyuntikkan modal ke startup itu cuma ‘bakar duit’,” kata Tesar.
Dalam pandangan dia, siklus pertumbuhan startup yang unik memang membutuhkan pemahaman khusus dari investor. Disebutkan bahwa pada tahap awal ketika perintis usaha mulai mengerjakan proyek startup dan mulai melakukan prototiping bisnis dibutuhkan dana Rp200 juta-500 juta. “Untuk tahap ini tidak akan ada bank yang tertarik mendanai, karena itu biasanya startup dibiayai oleh angel investor,” jelas Tesar.
Tahap berikutnya adalah market validation untuk memastikan bisnisnya bisa jalan dan diterima publik. Tahap ini juga sering disebut market and customer development. Pada bagian ini perusahaan membutuhkan suntikan dana Rp1 miliar sampai Rp3 miliar, dan kata Tesar, hal itu biasanya hanya ‘diminati oleh angel investor.
Tahap selanjutnya adalah menuju growth yang artinya bisnis mulai dijalankan secara massal. Pada tahap ini maka dana angel investor sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan startup. “Di tahap ini investor yang berasal dari venture capital mulai masuk atau menjajaki kemungkinan memberikan pendanaan,” kata Tesar.
Ada perbedaan mencolok yang bisa terlihat ketika investor akan menyuntikkan modal. Pemodal asing, karena ekosistemnya mapan dan pengalamannya panjang, terlihat lebih longgar dalam pendanaan kepada startup. Perusahaan itu bisa saja menggelontorkan dana besar pada startup yang dipilihnya tanpa ada peraturan yang ketat soal kepemilikan.
“Sementara pemodal modal ventura lokal, saat ini baru berani mengucurkan dana jika sudah ada pemodal asing yang masuk terlebih dahulu, atau mereka memang sejak awal sudah menggandeng asing,” ujar Tesar.
Pemodal ventura lokal juga terbilang lebih ‘ganas’. Jika mereka sudah memutuskan unutk memodali startup yang dipilihnya, maka, lanjut Tesar, mereka harus menguasai seluruh kepemilikan dari startup tersebut, sedangkan penemunya hanya disisakan sedikit saham saja. “Bisa dilihat dari kasus pembelian blibli.com dan tiket.com atau kaskus,” kata dia.

Dana Pasar Modal
Ketatnya aturan yang membebat perbankan ditambah besarnya risiko yang dikandung bisnis rintisan membuat keduanya sulit dipertemukan. Akan tetapi, pemerintah yang sudah kadung berjanji akan mencetak 1.000 startup, tentu tidak ingin program tersebut gagal.
Ya, sudah sejak 2016 lalu Presiden Joko Widodo meluncurkan sebuah program ambisius, Gerakan Nasional 1000 Startup Digital. Dengan program tersebut, pemerintah berharap bisa melahirkan 1.000 startup pada tahun 2020, dengan total valuasi yang mencapai 10 miliar dollar AS (sekitar Rp133 triliun).
Oleh karena itu dicari solusi agar startup bisa memperoleh pendanaan dari saluran lain selain bank. Salah satunya lewat pasar modal. Seperti dikatakan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso pada penutupan perdagangan bursa akhir 2018 lalu, pihaknya akan mendorong startup untuk memanfaatkan pasar modal. “Kami mempermudah startup company memperoleh pendanaan dari pasar modal melalui equity crowdfunding,” kata dia.
OJK sejak tahun lalu sudah meluncurkan aturan mengenai skema tersebut, di mana pengusaha startup bisa menawarkan saham perusahaannya secara langsung kepada pemodal melalui jaringan internet. Dalam aturan itu disebutkan bahwa penawaran saham melalui perusahaan crowdfunding atau disebut sebagai Layanan Urun Dana, bukan merupakan Penawaran Umum untuk IPO pada umumnya di Bursa Efek Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, tentu saja tetap diharapkan bahwa tahun depan akan muncul 1.000 startup dengan bisnisnya yang diterima oleh pasar dan kemudian akan menjadi Unicorn beberapa tahun setelah itu. Dan dalam satu dekade ke depan mereka kemudian akan bertengger dalam daftar 10 besar perusahaan-perusahaan terbesar di Indonesia.





Grafis

Rabu, 14 Agustus 2019

Disrupsi Baru Standar Moneter


Kemunculan Libra bisa menjadi disrupsi baru pada sistem moneter dunia dan mengubah tatanan moneter yang berlaku saat ini.

Di ranah ekonomi, di bawah kolong langit ini, segala sesuatu selalu berkembang dan mengalami perbaikan. Perubahan selalu terjadi dan seringkali dipicu oleh guncangan di dalamnya yang bisa berupa stagnasi, krisis bahkan resesi. Di dalam kebijakan ekonomi global hal itu sudah hampir menjadi rumus tetap.
                Pada awal mulai mengenal perdagangan, logam mulia terutama emas dan perak dikenal sebagai alat transaksi yang diterima oleh hampir semua orang. Pada perkembangannya kemudian emas mulai dibentuk dan dijadikan mata uang. Beberapa mata uang berbahan emas dan perak dari negara yang cukup dominan dalam menjadi pemasok komoditas dagang bahkan dapat menjadi mata uang perdagangan internasional.
Mulai abad ke-18 ketika mulai muncul negara, pemerintah mulai turut campur dalam pengaturan mata uang ini, mulai pembuatan hingga peredaran. Tetapi hal itu tidak membuat pengaruh emas dan perak berkurang dalam lalu lintas perdagangan dunia
                Kebutuhan akan emas dan perak yang terus meningkat mengakibatkan kedua logam tersebut menjadi sesuatu yang langka serta mahal sehingga tidak sesuai lagi untuk menukarkannya dengan barang yang bernilai murah. Untuk itu pemerintah berusaha menanggulangi hal ini dengan menciptakan uang kertas yang tidak mengandung nilai intrinsik, tapi lebih kepada nilai nominal yang disahkan oleh negara.
                Kemudian guncangan besar pada ekonomi global pada tahun 1940-an membuat semua itu berubah. Singkat kata sistem Gold Exchange Standard dirasa sudah tidak bisa dipertahankan lagi dan pada 1944, ketika 44 negara bersepakat di Bretton Woods, New Hampshire lahirlah sistem moneter baru yang dinamkan sesuai kota itu.
                Dalam sistem Bretton Woods ditetapkan metode ‘Nilai Tukar Tetap’ (Fixed Exchange Rate), dimana dollar AS menggantikan standar emas dan menjadi mata uang cadangan utama. Penggunaan mata uang AS itu dilandasi oleh kondisi saat itu ketika perekonomian AS mendominasi ekonomi dunia. Namun saat itu penggunaan standar dollar AS tetap didukung dengan cadangan emas yang disimpan bank sentral. Disepakati bahwa setiap peredaran 35 dollar AS harus didukung dengan 1 ons emas. Kurs tetap (fixed rate) dapat diberlakukan.
Namun kesepakatan menjadikan dollar AS sebagai acuan dengan didukung cadangan emas itu berakhir pada awal 1970-an. Ketika itu AS yang tengah sibuk berperang kewalahan mengelola anggarannya dan selalu mengalami defisit besar yang membuat kurs dollar AS fluktuatif.
Karena AS kesulitan untuk menyimpan emas dalam jumlah yang sebanding dengan peredaran dollar AS, maka kesepakatan yang mengikat dollar AS dengan emas dihapus. Pemerintah AS pun melenggang untuk mencetak mata uangnya tanpa harus melihat cadangan emasnya. Tetapi hal itu justru membuat dollar AS semakin fluktuatif, seperti yang dirasakan selama ini.
Kini, setelah hampir 50 tahun berlalu, tampaknya sistem moneter sudah waktunya direvisi lagi. Perekonomian AS memang masih menjadi kekuatan terbesar di dunia, dengan produk domestik bruto yang mencapai 20,5 triliun dollar AS (2019).
Namun di bawahnya muncul pergolakan dari China. Negara Tirai Bambu yang 10 tahun lalu masih berada di bawah Jepang, kini mengalahkan Negeri Sakura itu di tempat ketiga dengan PDB mencapai 13,61 triliun dollar AS. Sejatinya China berada di tempat kedua, karena kawasan Euro yang memiliki PDB 13,67 triliun terdiri dari beberapa negara.
Akan tetapi, perubahan sistem moneter tampaknya tidak akan disebabkan oleh krisis, atau adanya perubahan komposisi yang drastis pada peringkat negara-negara yang berpengaruh dalam ekonomi global. Perubahan itu akan disebabkan oleh disrupsi.
Adalah rencana dari salah satu raksasa jejaring sosial yang akan menerbitkan mata uang digitalnya yang dinamakan Libra, mulai tahun depan. Mata uang berbasis blockchain atau cryptocurrency itu tak pelak telah mengganggu kemapanan moneter global karena akan diterbitkan oleh Facebook, media sosial yang memiliki pengguna miliaran orang di seantero dunia. 
Di era ketika data menjadi sesuatu yang sangat diperebutkan oleh semua pihak, keinginan atau rencana Facebook itu jelas menjadi kode keras bagi otoritas moneter di dunia, khususnya di AS. Dollar AS yang selama ini menjadi ‘raja’ yang diterima di seantero jagad, akan menghadapi ancaman serius dengan kehadiran Libra.
Libra disebut-sebut akan bisa digunakan untuk berbelanja, menabung, dan juga mengirimkan dana ke pihak lain dengan cara yang sama seperti mengirimkan pesan singkat. Yang masih belum bisa dilakukan bahkan dimiliki oleh Libra adalah kepercayaan.
Dengan berbasis pada blockchain –teknologi buku induk yang menyimpan semua transaksi dan bisa diakses oleh siapapun tanpa perantara pihak ketiga –otoritas moneter memang pantas khawatir. Dan sepertinya tidak sulit dan tidak akan membutuhkan waktu lama untuk memperoleh apa yang belum dimiliki oleh Libra itu.
Namun demikian, publik tentu masih terngiang bagaimana Facebook tersandung skandal penyalahgunaan data penggunanya tahun lalu. Ya, awal tahun 2018 lalu, Facebook tersandung skandal penyalahgunaan data pribadi yang konon mencapai 87 juta data yang berada di tangan firma analis data Cambridge Analytica. Hal itu pulalah yang membuat pimpinan Facebook berhadapan dengan pengadilan dan juga pembuat aturan, dan tentunya juga publik di AS.
                Dalam dunia horoskop, Libra adalah suatu rasi bintang yang redup dan tidak memiliki bintang dengan magnitudo pertama. Apakah ini bisa jadi pertanda Libra tidak jadi terbit dan akan redup sebelum bersinar?


Libra (Bakal) Mengguncang Dunia


Mata uang kripto yang akan diluncurkan Facebook tahun depan telah menyedot perhatian dunia. Kekhawatiran akan merebaknya dampak negatif dari alat pembayaran itu memaksa pelaku keuangan dan regulator untuk waspada.


Saat ini hampir semua pemerhati masalah keuangan menolehkan pandangannya ke Facebook, sebuah media sosial yang dimiliki hampir sepertiga orang di dunia. Bukan untuk memeloti status yang bersliweran di linimasa mereka, namun kepada rencana perusahaan jejaring sosial itu yang ingin membuat mata uang digital sendiri.
Facebook –bermula dari ‘mainan’ Mark Zuckerberg untuk menghubungkan teman-teman kampusnya dalam sebuah jaringan, telah berubah menjadi perusahaan raksasa yang pada 2019 bernilai 45 miliar dollar AS (setara dengan Rp630 triliun lebih, atau seperempat APBN 2019).
Setelah berhasil menempelkan beragam aplikasi pada Facebook, nampaknya Mark menginginkan sesuatu yang lebih besar lagi: alat pembayaran untuk digunakan pada aplikasi-aplikasinya. Disebut-sebut, bahwa Mark terinspirasi oleh perkembangan cryptocurrency setelah mata uang digital pertama, Bitcoin, dirilis pada 2009 dan dibayangkan sebagai jenis uang baru yang tidak dikendalikan oleh otoritas keuangan.
Meski menampiknya, kehadiran mata uang yang dinamakan Libra, bakal membuat Facebook dengan pengguna 2,6 miliar di seluruh dunia, menjadi lembaga penyedia jasa transaksi keuangan terbesar di jagad. Sebagai pembanding, pengguna mata uang dollar AS saat ini diprediksi tidak sampai 1 miliar orang, sementara pengguna yuan mungkin hanya sekitar 1,3 miliar orang lebih sesuai penduduk China. Dengan skenario paling pesimistis saja, yaitu hanya 10 persen dari jumlah anggota yang memanfaatkan Libra, maka Facebook akan menjadi ‘bank’ terbesar sejagad.
Untuk merealisasikan rencana ini, Facebook menggandeng puluhan entitas bisnis lain yang namanya sudah cukup mentereng. Di bidang saluran pembayaran global setidaknya ada Mastercard, Visa dan Paypal. Di sektor perdagangan elektronik ada e-Bay, Booking Holding, Uber Technologies. Di bidang telekomunikasi adal Vodafone dan Iliad. Di industri blockchain ada Anchorage, Bison Trails, Coinbase, Inc., Xapo Holdings Limited. Di modal ventura ada Andreessen Horowitz, Breakthrough Initiatives, Ribbit Capital, Thrive Capital, Union Square Ventures. Dan masih ada banyak lagi yang sedang dijajaki yang jumlahnya konon akan mencapai 100 entitas.
Semua entitas itu kemudian mendirikan asosiasi yang membawahi Libra, yang tujuannya memperkuat transaksi dan keamanan uang digital itu. Juga menjadi penyokong utama permodalan dari Libra.
Asosiasi ini akan mengatur Libra, termasuk melakukan tindakan yang diperlukan agar nilainya tetap stabil. Dengan jumlah anggota yang mencapai 100, bisa diharapkan tidak ada tindakan ilegal yang merusak dengan sebab semua anggota akan saling mengawasi.
Setiap kali orang menukarkan uang ke Libra, maka uang tersebut akan masuk ke dalam dana jaminan Libra dan sekian Libra (sesuai dengan jumlah uang yang ditukarkan) akan diterbitkan. Sebaliknya jika Libra ditukarkan ke mata uang biasa, maka Libra yang ditukarkan tersebut akan dihancurkan (dikeluarkan dari peredaran) sehingga jumlah Libra yang beredar akan selalu sesuai dengan dana jaminan yang disimpan.
Dengan adanya stabilitas maka pedagang tidak akan ragu untuk menerima pembayaran dengan Libra. Tidak seperti mata uang kripto lainnya, yang hari ini bisa bernilai 100 dan besok terjun bebas ke 20.

Resistensi Terbit
Akan tetapi, rencana dari Zuckerberg dan kawan-kawan untuk meluncurkan revolusi pembayaran online dinilai akan membawa banyak risiko. Kekhawatiran yang menyeruak di antaranya adalah kecenderungan monopoli hingga ancaman yang mungkin ditimbulkannya terhadap stabilitas keuangan.
Libra yang dinilai berpotensi jadi mata uang dunia, tentu akan mengancam bank-bank, pemerintahan, dan lembaga keuangan. “Ini benar-benar mengancam pemerintah yang mengeluarkan mata uang, bank-bank yang menyimpannya, dan jaringan transmisi yang sebenarnya," kata Tally Jason Brown, seorang CEO dari aplikasi pembayaran utang otomatis, dikutip dari CNBC, Rabu (26/6). “Orang-orang tidak mengerti bagaimana ini bisa mengganggu jika benar-benar diluncurkan,” lanjut Brown.
Dia memprediksi, setelah Libra resmi dirilis pada 2020, nanti tata cara pengiriman dan pembayaran uang tradisional, seperti membayar tagihan, akan bekerja lambat. Tapi kabar baiknya, peluncuran Libra membantu orang mendapatkan uang dengan cepat dari belahan dunia mana pun. "Libra akan dengan cepat menjadi cara utama orang mendapatkan uang dari negara-negara dunia," ungkap Brown.
Tidak cuma itu, keraguan mengenai proyek cryptocurrency milik Facebook juga muncul dari otoritas moneter negerinya sendiri. Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell di depan kongres pada pertengahan Juli lalu mengatakan Libra telah mengangkat sejumlah keprihatinan serius terutama terkait dampak negatif yang ditimbulkannya. “Libra menimbulkan banyak keprihatinan serius mengenai privasi, pencucian uang, perlindungan konsumen dan stabilitas keuangan," kata Powell kepada anggota parlemen di sidang Komite Jasa Keuangan di Washington. "Ini adalah masalah yang harus ditangani secara menyeluruh dan terbuka sebelum melanjutkan."
Powell melanjutkan bawah potensi penggunaan cryptocurrency Facebook yang sangat luas meningkatkan kemungkinan bahwa hal itu dapat menimbulkan ancaman bagi sistem keuangan yang lebih luas. “Jika ada masalah di sana terkait dengan pencucian uang atau pendanaan teroris - hal-hal yang kita semua fokuskan, termasuk perusahaan - mereka akan naik ke tingkat yang penting secara sistemik hanya karena ukuran jaringan Facebook semata," Kata Powell.
Dia mengatakan The Fed tidak ingin mencegah inovasi keuangan. "Kami hanya ingin itu terjadi dengan cara yang aman dan sehat," katanya.
Sementara itu nada yang keluar dari pemerintahan Presiden Trump juga tak kalah keras. Dalam sebuah pengarahan di Gedung Putih, Mentri Keuangan Steven Mnuchin mengatakan cryptocurrency menjadi ancaman keamanan nasional karena ia dapat digunakan untuk mendanai kegiatan ilegal. Dia juga mengatakan bahwa pemerintahanTrump tidak nyaman dengan rencana Facebook untuk memulai proyek mata uang digital.
Sebelumnya komentar serupa juga diutarakan oleh Presiden Trump, yang mengatakan dalam serangkaian posting Twitter awal Juli bahwa dia "bukan penggemar" cryptocurrency dan bahwa nilainya berfluktuasi dan "berdasarkan pada udara tipis." Bahkan Trump memperingatkan Facebook bahwa entitas itu harus menemukan aturan lembaga keuangan dan mengikuti semua peraturan bank jika ingin berada dalam bisnis mata uang digital.
Desty Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang baru terpilih, menyiratkan nada positif ketika diminta pendapatnya ketika uji kelayakan dan kepatutan di depan parlemen awal Juli. Mata uang virtual, ujar dia memang tidak bisa dihindari apalagi di tengah perkembangan teknologi saat ini. “Untuk cryptocurrency enggak bisa dihindari baik Bitcoin ataupun Libra. Bank sentral Eropa lihat Libra ini belum jelek posisinya," ujar Destry.
Pendapat itu berbeda dengan suara dari otoritas moneter itu beberapa waktu sebelumnya. Gubernur BI Perry Warjiyo, Juni, mengatakan akan meneliti dan mengkaji lebih lanjut soal Libra, tetapi dia menegaskan uang digital itu tidak bisa jadi alat pembayaran di Indonesia.

Belum Sempurna
Merebaknya kengerian mengenai Libra memang beralasan. Di samping memang menyimpan dampak negatif yang tak terelakkan, produk cryptocurrency itu juga diakui belum sempurna. Bahkan untuk isu yang kedua, pihak Facebook sendiri mengakuinya, meski berjanji akan melakukan serangkaian perbaikan untuk menangkal segala kontroversi dan kekhawatiran yang menyertainya.
"Kami tahu kami perlu meluangkan waktu untuk memperbaikinya," David Marcus, salah seorang eksekutif Facebook, mengatakan dalam kesaksian yang dirilis menjelang sidang Komite Perbankan Senat seperti dikutip di laman resmi New York Times. "Dan saya ingin menjadi jelas: Facebook tidak akan menawarkan mata uang digital Libra sampai kami sepenuhnya mengatasi masalah regulasi dan menerima persetujuan yang sesuai."
Facebook telah mendesain Libra yang akan dijalankan oleh asosiasi yang bermarkas di Swiss yang berisi setidaknya seratus perusahaan dan mitra lainnya, bukan hanya Facebook sendiri. Oleh sebab itulah, tidak seperti cryptocurrency yang pernah mencuat sebelumnya seperti Bitcoin, etherium dan sejenisnya, Libra akan lebih masif penyebarannya. Dan tentunya akan lebih besar dampaknya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 


Sekilas Libra

Berdasarkan dokumen registrasinya, tujuan dari penerbitan Libra Network adalah menyediakan layanan di bidang keuangan dan teknologi, serta mengembangkan dan memproduksi perangkat lunak dan infrastruktur terkait, terutama yang berkaitan dengan kegiatan investasi, operasi pembayaran, pembiayaan, manajemen identitas, analisis data, big data, blockchain dan teknologi lainnya.
Pada Mei 2019, dilaporkan bahwa Facebook telah merekrut dua mantan karyawan Coinbase. Keduanya bernama, Mikheil Moucharrafie dan Jeff Cartwright, yang merupakan pegawai-pegawai di bidang kepatuhan (compliance). Pada akhir Mei 2019, muncul kabar bahwa cryptocurrency Facebook itu akan diluncurkan pada kuartal pertama 2020, di 12 negara yang berbeda.
                Disebutkan juga bahwa tujuan dari Libra adalah sebagai stablecoin. Alih-alih hanya didukung oleh satu mata uang tunggal, cryptocurrency tersebut akan dipatok ke beberapa mata uang yang berbeda untuk mencegah fluktuasi harga. Libra diharapkan dapat ditransfer melalui produk-produk seperti Facebook Messenger dan WhatsApp, dengan biaya nol.
(dari berbagai sumber)


Rabu, 17 Juli 2019

Pengawasan Terpisah dan Kementerian Digital


Otoritas keuangan dan pemerintah mendapatkan tantangan serius yang harus segera ditanggulangi terkait perkembangan fintech yang pesat.

Dalam sejarah pengelolaan sektor keuangan di Indonesia, kasus Bank Century adalah noda hitam yang tampaknya masih akan bertahan dan mengotori rekam jejak otoritas. Di luar faktor politik, pengawasan lembaga keuangan yang terpisah-pisah disebut-sebut menjadi penyebabnya.
Sebelum 2012, pengawasan di industri keuangan terbagi pada dua lembaga. Pengawasan industri perbankan berada di tangan Bank Indonesia, dan untuk industri non bank –asuransi, multifinance, pasar modal, pegadaian, dana pensiun dll– berada  di Departemen Keuangan.
Kasus Bank Century, meledak karena perusahaan juga menjual produk-produk investasi milik Antaboga Sekuritas yang akhirnya menderita gagal bayar. Bank Century terseret. Singkatnya, bank itu harus menerima suntikan dana total Rp6,7 triliun setelah Komite Stabilitas Sektor Keuangan menetapkan Century sebagai Bank Gagal. Keputusan itu berdasarkan assessment BI bahwa jika bank tidak ditangani dengan benar akan berdampak sistemik.
Sampai sekarang banyak pihak masih mempertanyakan kesimpulan ‘berdampak sistemik’ yang dilekatkan di Bank Century ini. Dan tampaknya isu ini akan selalu muncul di waktu-waktu tertentu.
Boleh dibilang, itulah peristiwa besar terakhir di industri keuangan sebelum akhirnya pemerintah mendirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyatukan pengawasan lembaga keuangan dalam satu atap. Mulai 2013, OJK resmi berdiri dan menjawab persoalan yang kerap muncul karena terpisahnya pengawasan antara lembaga bank dan non bank.
Akan tetapi kelegaan itu hanya berlangsung seumur jagung. Seiring mencuatnya praktik layanan keuangan berbasis teknologi, kekhawatiran mengenai dampak pengawasan per kamar mulai mengemuka. Sebagaimana diketahui, dalam hal pengawasan, perusahaan yang dikenal dengan sebutan fintech ini memiliki dua otoritas. Perusahaan fintech yang bergerak di bidang penyaluran dan pengumpulan dana seperti peer to peer lending dan crowdfunding, diawasi oleh OJK. Sementara perusahaan fintech yang bergerak di layanan sistem pembayaran berada di bawah pengawasan Bank Indonesia.
Bibit masalah mulai terasa ketika muncul efek samping dari maraknya penawaran fintech ini, terutama yang bergerak di bisnis pengelolaan dana dan penyaluran dana. Beberapa nasabah mulai mengeluhkan cara-cara yang dipakai oleh perusahaan fintech. Mereka bahkan ada yang meneror nomor-nomor yang ada dalam daftar sumber yang ada di handphone sang nasabah. Bahkan ada yang bunuh diri karena hal ini.
Kasus lain, jika mau disebutkan tentu masih ada lagi. Malahan ancaman dari berkembangnya fintech ini akan meningkat ketika banyak perusahaan dari China yang melebarkan sayap bisnisnya ke Indonesia.
Baru-baru ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengumumkan bahwa sepanjang 2019 yang baru berjalan enam bulan ini, sudah ditemukan 543 entitas fintech P2P lending yang tak terdaftar. Jumlah itu bahkan lebih banyak dari yang ditemukan sepanjang tahun 2018 yang mencapai 404 entitas.
Tidak sulit menemukan entitas-entitas ini karena aplikasinya bisa dengan mudah diunduh di Playstore atau Appstore. Sebut saja nama-nama seperti Go Rupiah, Uang Instan, Ayo Uang, Bos Uang, Tunai Cepat, dan masih banyak lagi yang kebanyakan ilegal karena belum mendaftar di OJK.
Dengan pertumbuhan fintech yang cukup signifikan, Indonesia adalah pasar fintech yang paling menarik di Asia Tenggara. Asosiasi Fintech mencatat total investasi fintech di Indonesia meningkat 93 persen dibandingkan 2017. Jika dilihat berdasarkan jenisnya, untuk fintech pembiayaan atau pinjaman online, total penyaluran pinjaman di 2018 mencapai Rp22,6 triliun yang berasal dari 207.507 lender. Sedangkan jumlah peminjamnya di 2018 mencapai 4,35 juta nasabah.
Sementara untuk fintech pembayaran atau digital payment pada periode 2018 total transaksinya mencapai Rp47 triliun. Sedangkan secara volume transaksinya mencapai 2,9 miliar transaksi selama 2018.
Nah, dari banyak perusahaan yang ilegal itu berasal dari China. Sebut saja uang express, satu dari 200 platform asal China yang sudah diblokir OJK di 2018 silam. Aplikasinya sudah diunduh sebanyak ratusan ribu kali di Google Play Store sebelum akhirnya dihapus.
Melubernya perusahaan fintech asal Negeri Tirai Bambu itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan di sana yang mulai mengetat terhadap layanan ini. Pasalnya sejak 2018, setidaknya 165 platform fintech P2P lending mengalami kesulitan memenuhi permintaan penarikan tunai lantaran pemilik perusahaan melarikan dana investor. Bahkan bisnis tersebut makin oleng ketika banyak investor yang menuntut penarikan dana secara bersamaan. Hal itu tak pelak memunculkan krisis likuiditas di China.
Belajar dari yang terjadi di China dan mengantisipasi risiko yang mungkin muncul dari maraknya fintech ini sudah seharusnya otoritas segera bergegas. Beberapa pengamat bahkan mengatakan bahwa lembaga pengawas fintech yang masih terpisah ‘kamar’ antara BI dan OJK menyimpan ‘bom waktu’ koordinasi di industri keuangan seperti masa-masa sebelum OJK berdiri.
Saat ini kebutuhan tersebut sudah terlihat ketika penanganan dan koordinasi yang lambat antar lembaga banyak dikeluhkan pelaku dan juga publik. Pemerintah dan otoritas keuangan juga tampaknya harus sudah meniru Thailand yang sudah merespons perkembangan ini dengan cepat. Negeri yang sering terserang kudeta militer ini telah mentranformasikan Kementerian Informasi, Komunikasi dan Teknologinya menjadi Kementerian Digital Ekonomi dan Masyarakat pada 2006 lalu.


(dipublikasikan Juni-Juli 2019)

Mencari Celah di Antara Inovasi dan Risiko


Bank sentral dan otoritas keuangan bukannya tidak menginginkan layanan keuangan berbasis teknologi digital berkembang pesat. Namun demikian, regulator lebih mengedepankan stabilitas dan memilih menghindari risiko.


Dua dasawarsa terakhir ini, dunia telah menyaksikan perkembangan teknologi yang sangat pesat yang mengubah kehidupan hampir semua orang di dalamnya. Mulai dari kemunculan internet sampai berkembangnya layanan digital telah mengubah cara orang dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Kini, dari memanggil taksi, beli makanan, nonton film, dokter sampai layanan keuangan, semuanya sudah bisa dilakukan dengan satu ketukan di layar. Dan tampaknya masyarakat yang menjadi pengguna utama layanan digital tidak butuh lama untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan itu, meski ada sedikit onak dan duri.
Akan tetap, hal yang berbeda terjadi pada otoritas dan pemerintah ketika harus menyesuaikan diri dengan perkembangan digital. Hal itu terungkap dari sebuah laporan Bank Dunia, Ekonomi Digital di Asia Tenggara - Memperkuat Fondasi untuk Pertumbuhan Masa Depan. Laporan itu menganalisis peluang dan tantangan yang dihadapi kawasan untuk meningkatkan pengembangan digital, dan untuk memastikan dividen ekonomi dan sosial dari teknologi dapat menjangkau semua orang.
“Negara-negara Asia Tenggara telah membuat kemajuan signifikan dalam sektor digital, ”kata Boutheina Guermazi, Direktur Bank Dunia untuk Pengembangan Digital. “Tetapi meskipun masyarakat telah menerima layanan digital, adopsi oleh bisnis dan pemerintah umumnya lebih lambat. Kemacetan regulasi dan kurangnya kepercayaan pada transaksi elektronik menghambat pertumbuhan sistem digital. Penelitian inovatif ini dapat membantu negara-negara ASEAN mengatasi tantangan ini untuk menciptakan ekonomi digital yang kuat dan inklusif.”
Laporan tersebut mengidentifikasi beberapa langkah yang harus difokuskan untuk pengembangan digital di Asia Tenggara, dimulai dengan perluasan konektivitas, tulang punggung ekonomi digital. Lalu ada menurunkan ‘harga’ untuk mengakses internet, meningkatkan kecepatannya, membuat layanan internet yang andal ke daerah-daerah yang kurang terlayani.
Upaya mencapai solusi dari permasalahan itu lebih banyak dipegang oleh pemerintah dan otoritas keuangan. Keduanya memiliki keistimewaan berupa wewenang menerbitkan regulasi. Meski begitu, keduanya kerapkali tertinggal dalam mengikuti gerak dan perkembangan bisnis, tidak terkecuali pada saat layanan digital merangsek bisnis keuangan.
Fenomena maraknya financial technology (fintech) yang akhirnya mendesak perbankan seharusnya diikuti oleh regulasi yang solutif yang mendukung keinginan bank untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan itu. Namun demikian keinginan itu tertunda karena peraturan yang lambat hadir.
Terlambat lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bank sudah bisa meresponsnya dengan menghadirkan Jenius, produk dari Bank BTPN; Digibank dari DBS; atau bank-bank pelat merah yang melahirkan LinkAja. Ke depan, akan makin banyak perbankan yang menghadirkan layanan digital sebagai ganti layanan manual yang selama ini dipraktikkannya.
Ke semua itu tidak bisa dilepaskan dari diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13 tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) di Sektor Keuangan. Meski baru muncul setelah layanan fintech sudah merebak, namun aturan itu dirasa mumpuni untuk menjadi panduan penerapan tata kelola Fintech untuk lembaga keuangan.
Meski demikian, peraturan ini menurut Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, tidak cukup karena tidak bisa melindungi perbankan dari gempuran keuangan digital, khususnya kelompok Bank Buku I. “BPR-BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan sebagian BPD (Bank Pembangunan Daerah) yang  modalnya kecil sangat kewalahan menghadapi gempuran fintech karena tidak punya kemampuan inovasi dalam layanan digital,” kata dia.
Perkembangan teknologi digital di sektor keuangan, lanjut Tauhid, pada dasarnya telah berkembang pesat sejak dua tahun terakhir, khususnya fintech. Akumulasi jumlah pinjaman layanan ini sudah menyentuh angka Rp41 triliun sampai Mei 2019 dengan pertumbuhan sejak Desember 2018 dengan pertumbuhan sebesar 81,06 persen. Sementara itu jumlah borrowernya adalah 8,7 juta rekening dengan pertumbuhan kurun waktu yang sama 100,72 persen.
Perkembangan ini tentu saja menandakan terjadi arus perubahan yang besar dari perilaku konsumen di sektor keuangan pada financial technology.  Implikasinya sektor keuangan yang tidak melakukan perubahan business modelnya akan tergerus akan techonolgy di sektor keuangan. Tidak hanya perbankan tetapi perusahaan-perusahaan di yang bergerak di pasar saham, obligasi dan lain sebagainya akan tergerus market sharenya oleh perusahaan financial technology ini.
Akan tetapi, perkembangan mengagumkan itu belum bisa berpengaruh signifikan kepada perekonomian nasional. Menurut Tauhid, hal itu dikarenakan sebagian dana pinjaman digunakan untuk konsumsi ketimpang untuk investasi ataupun modal kerja. “Misalnya untuk beli alat elektronik, pakaian,dan dominan bukan kebutuhan primer. Di samping nilai akumulasinya baru sekitar Rp41 triliun. Masih peanut jika dibandingkan dengan kredit perbankan,” ujar dia.
Tetapi ke depan, dia meyakini peran fintech akan lebih besar lagi dan akan menjadi pemain yang berpengaruh cukup signifikan bila dalam tiga tahun mendatang pertumbuhannya tetap stabil di level 13 persen per bulannya. Jika itu terjadi maka nilai pasarnya akan mencapai Rp 2.170 triliun.
“Ini akan sangat luar biasa. Saya kira, bank-bank kecil yang tidak punya unit fintech akan tutup. Ancaman juga bagi bank-bank besar apabila tidak melakukan perubahan dalam strategi bisnisnya,” lanjut Tauhid.
Karena itu, pemerintah dan otoritas, kata dia, perlu mengantisipasi hal ini karena disrupsi di sektor keuangan akan banyak mengubah pilar-pilar sektor ekonomi, khususnya dari dimensi pembiayaan sektor swasta dan masyarakat.

Inovasi vs Risiko
Publik, terutama kalangan pelaku bisnis fintech dan sebagian masyarakat, tentu menginginkan otoritas yang lebih responsif dan peraturan yang lebih longgar. Akan tetapi, pihak otoritas sendiri tentu perlu mengubah mindset-nya dulu. Bahkan di era perubahan yang sangat cepat ini tidak mudah untuk mengubah mindset otoritas yang tentunya mendahulukan stabilitas dan banyak mengkhawatirkan risiko.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng menuturkan bahwa, setidaknya ada dua pendekatan yang ditempuh BI dalam menghadapi perkembangan ekonomi digital. Pendekatan itu adalah menjaga keseimbangan antara upaya menggali inovasi dan menjaga stabilitas.
Dalam upaya menggali inovasi, BI akan mendorong promosi inovasi dalam ekonomi digital, menyediakan ekosistem yang mendukung pengembangan ekonomi digital, dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui ekonomi digital. “Sementara itu, dalam menjaga stabilitas, BI akan mendorong stabilitas ekonomi tetap terjaga, mencegah tindak Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT), dan mendorong perlindungan konsumen,” kata dia, beberapa bulan lalu.
Sugeng melanjutkan, ada lima peran BI dalam pengembangan ekonomi digital. Peran itu adalah mendorong integrasi ekonomi digital, mendorong digitalisasi perbankan, mendorong kolaborasi antara bank dan fintech, mengupayakan keseimbangan yang tepat antara inovasi dan menjaga stabilitas serta persaingan yang sehat di antara pelaku ekonomi digital. "Terakhir, memastikan keamanan nasional dalam ekonomi digital," katanya.
Kekhawatiran mengenai risiko mungkin tidak berlebihan. Bank sentral sudah cukup melihat ketika kemunculan kartu kredit pada tahun 1950 telah merevolusi belanja tetapi juga memicu budaya utang konsumen. Sekuritisasi melumasi pasar modal pada 1980-an tetapi memicu krisis subprime, terutama di AS. Oleh karena itu, tidak kurang dari The Federal Reserve pun menyimpan kekhawatiran sejenis pada perkembangan fintech.
                     The Fed khawatir fintech akan menjadi sumber krisis berikutnya karena dianggap kurang kuat manajemen risiko dan perlindungan konsumennya. Apalagi, perusahaan fintech menginginkan aturan yang fleksibel.  "Mereka mungkin ingin akses ke sistem pembayaran, tapi mereka tidak ingin peraturan yang akan ditetapkan dengan (adanya) akses tersebut," ujar Presiden the Fed wilayah St Louis James Bullard dikutip dari Reuters. "Saya khawatir fintech akan menjadi sumber krisis berikutnya."

(dipublikasikan Juni-Juli 2019)

Jumat, 12 Juli 2019

Momentum Mendongkrak Bank Syariah


Perbankan syariah segera mendapatkan momentum untuk mendongkrak pertumbuhan asetnya ketika bank-bank segera mengaplikasikan aturan formal soal itu. Bagaimana pelaku industri perbankan syariah menanggapinya?


Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, 225 juta dari total 265 juta, Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi yang terbesar di industri syariah. Akan tetapi, sejak batu loncatan pertama industri keuangan syariah hadir pada awal 90-an, Indonesia tetap tidak juga menempati posisi penting dalam industri perbankan syariah.
                Berdasarkan Laporan Islamic Financial Services Board (IFSB), aset perbankan syariah Indonesia masih tertahan di peringkat ke-9 secara global yang mencapai 28,08 miliar dollar AS. Di atasnya ada pemimpin pasar yaitu Malaysia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Kuwait dan lainnya.
                Laporan dari otoritas moneter juga mengonfirmasi bahwa perbankan Indonesia –selanjutnya bisa disebut iB–masih kalah dari negara-negara tersebut, terutama negara jiran Malaysia. Sampai tahun lalu, pangsa iB dalam aset mencapai sekitar 6 persen dari semua bank di Indonesia. Sementara di Malaysia, bank-bank syariahnya memiliki porsi 25 persen dibandingkan industri.
                Tentu, harus diakui, ada yang salah pada pengelolaan bank-bank nirbunga yang selama ini dipraktikkan di Indonesia selama ini. Banyak pihak yang menilai bahwa salah satu faktor utama landainya perkembangan iB selama ini adalah minimnya dukungan pemerintah.
                Penilaian ini dibenarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang pada 2017 meluncurkan peta jalan pengembangan industri keuangan syariah Indonesia. Di dalamnya, juga berisi enam tantangan lainnya. Yaitu permodalan yang terbatas; masalah Sumber Daya Manusia (SDM); produk yang belum inovatif; model bisnis, infrastruktur dan prosedur yang lebih rumit; saluran distribusi yang belum efisien; dan literasi keuangan syariah yang masih rendah.
                Akan tetapi, dukungan pemerintah bukanlah satu-satunya faktor yang membuat iB di Indonesia bergerak layaknya bekicot, yang sejak 90-an akhir hingga 2019, asetnya masih nongkrong di kisaran 5-6 persen. Seperti kata OJK, ada juga faktor minimnya permodalan, produk dan layanan yang kurang inovatif, dan masalah SDM.
                Baik pemerintah maupun otoritas, namun demikian, bukannya tidak pernah memberikan dukungan untuk perkembangan perbankan syariah. Salah satu dukungan yang tampaknya akan memberi dorongan besar adalah penerapan Undang-Undang Perbankan Syariah yang terbit tahun 2008, dan akan terlihat tuahnya pada 2023 nanti.
                Dalam regulasi itu, bank-bank konvensional yang masih memiliki unit usaha syariah, harus sudah memutuskan bahwa unitnya itu akan dipisahkan menjadi bank syariah tersendiri (spin off). Atau pilihan lain, justru bank induknya yang mau mengubah layanannya menjadi syariah (konversi).
                Berkaca pada Bank NTB, yang telah mengonversi layanannya menjadi syariah tahun lalu, bank tersebut sudah menetapkan strategi konversi sejak 2015. Proses perencanaan, internalisasi program, serta perubahan kultur serta  sistem dan lainnya, memerlukan waktu sedikitnya tiga tahun.
Artinya agar 2023 semua bank bisa memenuhi Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, maka mulai tahun ini harus sudah memiliki keputusan apakah akan spin off atau konversi. Sehingga diprediksi tahun ini hingga tahun depan sudah akan pengumuman ke publik mengenai keputusan tersebut.
“Memang keputusan untuk spin off dan konversi membutuhkan waktu minimal dua tahun. Waktu tersebut terutama banyak yang terkait dengan pemegang saham khususnya bila pemegang saham adalah pemerintah daerah yang terdiri dari pemerintah provinsi atau kabupaten kota,” kata Edi Setiady, Staf Ahli Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). “Namun untuk bank-bank swasta non BPD akan relatif lebih bisa cepat karena pemegang sahamnya tidak banyak.”
Selanjutnya, mantan regulator di lini perbankan syariah itu juga mengatakan bahwa keputusan baik itu spin off atau konversi, selain bergantung pada pemegang saham juga sangat bergantung pada tingkat kesehatan bank dan juga permodalan.
Di dalam PBI Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah, mewajibkan calon bank umum syariah memiliki modal Rp1 triliun paling lambat 10 tahun setelah izin diberikan.
Modal tersebut bisa bersumber dari suntikan induknya, pemegang saham, atau investor eksternal. Persyaratan ini memang dimaksudkan agar kualitas pelayanan bank hasil spin off itu tidak menurun setelah menjadi BUS dengan alasan keterbatasan modal.
Selanjutnya ada juga peraturan mengenai tingkat kesehatan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di dalam POJK Nomor 36/POJK.03/2017 disebutkan, ketika melepas anaknya, bank induk harus memiliki tingkat kesehatan dengan nilai komposit 1 atau 2 selama empat semester berturut-turut.
“Karena untuk pilihan spin off dan konversi selain harus diputuskan pemegang saham juga aspek permodalan yang cukup dan persyaratan tingkat kesehatan. Untuk spin off bank induk harus sehat,” kata Edi, yang saat ini juga menjabat Komisaris Utama Bank Muamalat.
Apa yang diutarakan Edi memang ada benarnya. Adalah Bank Kalsel, salah satu bank pembangunan daerah di wilayah Kalimantan Selatan yang mengatakan bahwa untuk memenuhi aturan tersebut memang ada persyaratan yang tidak ringan. “Bagi kami, baik spin off maupun konversi, keduanya adalah keputusan yang berat jika dilihat dari syarat-syaratnya,” kata Agus Syabaruddin, Dirut Bank Kalsel.
Manajemen bank memang sudah menyiratkan bahwa pihaknya akan mengikuti ketentuan undang-undang tersebut dan sampai sekarang keputusan tersebut masih dibahas oleh pemegang saham. Ketika ditanyakan, oleh Stabilitas apakah akan memilih konversi ketimbang spin off, Agus tidak menjawab meski menyiratkan lebih memilih konversi.
“Kalau melihat historisnya, Kalsel itu sering disebut sebagai “Serambi Mekkah-nya” Kalimantan. Dan masyarakat cenderung untuk menghindari transaksi yang mengandung riba,” jelas dia.

Pendongkrak Lain
                Selain adanya Undang-Undang mengenai Perbankan Syariah, sebenarnya peluang mendongkrak performa bank syariah juga berasal dari mulai munculnya komitmen pemerintah dan otoritas. Pada 2017 lalu pemerintah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia secara serius.
                KNKS telah meluncurkan Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia dan juga Masterplan Industri Halal. Keduanya berisi strategi memperkuat infrastruktur keuangan syariah, pendalaman pasar, pengembangan bank syariah dan industri keuangan non-bank lainnya.
Selain itu, otoritas moneter di tahun yang sama juga memberikan dukungan dengan melansir Cetak Biru Ekonomi dan Keuangan Syariah. Di dalamnya ada tiga pilar strategis utama, yaitu pertama, pemberdayaan dan penguatan ekonomi syariah melalui pengembangan rantai nilai halal. Kedua, pendalaman pasar keuangan syariah untuk mendukung pembiayaan syariah. Ketiga, memperkuat penelitian, penilaian dan pendidikan ekonomi dan keuangan syariah untuk meningkatkan literasi publik mengenai ekonomi dan keuangan syariah.
Terkait pilar pertama, pemberdayaan dan penguatan ekonomi syariah dicapai melalui penguatan rantai nilai halal dengan mengembangkan ekosistem dari berbagai tingkat bisnis syariah, termasuk pesantren, UKM, dan perusahaan dalam rantai hubungan bisnis untuk memperkuat struktur ekonomi yang inklusif. Program ini dilaksanakan di empat sektor utama, yaitu industri makanan halal dan halal, sektor pariwisata halal, sektor pertanian dan sektor energi terbarukan.
Dalam pilar kedua, BI mendukung distribusi pembiayaan syariah untuk pengembangan rantai nilai halal melalui pendalaman pasar keuangan syariah untuk meningkatkan efisiensi manajemen likuiditas pasar keuangan syariah.
“Ke depan, untuk meningkatkan peran dan kontribusi ekonomi dan keuangan syariah secara global dan nasional, diperlukan peran aktif semua pihak, baik pembuat kebijakan, pelaku ekonomi maupun dunia pendidikan. BI senantiasa mendorong koordinasi langkah-langkah untuk mensinergikan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah,” kata Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI.
                Dukungan-dukungan tersebut, namun demikian membutuhkan aksi nyata di lapangan.
Karena seperti KNKS yang telah dibentuk hampir dua tahun yang lalu itu, pelaku usaha iB belum merasakan pengaruhnya karena master plan ekonomi syariah belum mulai terwujud. “Kita masih harus tunggu hasil kerja mereka. Dan selama waktu ini, praktis perbankan syariah ini belum bisa mendapatkan insentif untuk tumbuh lebih tinggi,” kata Direktur Syariah Banking CIMB Niaga, Pandji P. Djajanegara.


(dipublikasikan Mei-Juni 2019)