“It takes 20 years to
build a reputation and five minutes to ruin it. If you think about that, you’ll
do things differently.” (Warren Buffet)
Bagi sebuah perusahaan reputasi yang baik adalah hal yang
mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Risiko lainnya masih bisa dihadapi
perusahaan dengan lebih tenang, namun tidak dengan risiko reputasi.
Reputasi, ibarat sebuah gedung megah atau sebuah rumah
mewah, dibangun dengan sangat material yang paling bagus dan dilakukan dengan
hati-hati sedari awal. Proses itu tentu tidak pernah bisa dibangun dalam waktu
singkat, ia merupakan proses yang dilakukan secara konsisten selama
bertahun-tahun.
Ada
beberapa hal yang membentuk reputasi perusahaan, seperti social
responsibility, emotional appeal, financial performance, product
and service, vision and leadership,
dan workplace environment.
Beberapa
tahun belakangan ini, Bank Mandiri tampaknya tengah menikmati reputasi yang
disematkan publik padanya bahwa mereka adalah bank dengan bankir-bankir yang andal
dan mumpuni. Tidak mengherankan jika lulusan bank tersebut –biasa dipanggil
Mandirians, kerap menjadi rebutan bank-bank lain bahkan perusahaan di sektor
lain.
Yang
teranyar adalah ketika Kartika Wirjoatmodjo dan Budi Gunadi Sadikin direkrut
oleh pemerintah untuk menjadi Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara. Keduanya
adalah lulusan Bank Mandiri, nama pertama adalah Direktur Utama yang masih
menjabat, nama yang kedua adalah Direktur Utama sebelumnya.
Fakta
itu seolah menambah daftar Mandirians yang direkrut oleh lemabaga lain.
Fenomena itu, kalau boleh dibilang dimulai oleh Agus Dermawan Wintarto
Martowardojo, Direktur Utama Bank Mandiri 2005-2010, yang dipilih menjadi
Menteri Keuangan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Padahal
kalau boleh dibilang, bank ini adalah bank yang memiliki masalah fundamental
ketika pertama kali dibentuk dari hasil merger empat bank pelat merah. Salah
satu yang paling krusial adalah masalah penyamaan visi pegawainya yang berasal
dari budaya kerja yang berbeda. Apalagi merger empat bank pemerintah pada 1998
itu terjadi di tengah ekonomi Indonesia dilanda krisis.
Robby Djohan yang sebelumnya
dinilai berhasil dalam merestrukturisasi Maskapai Garuda ditunjuk sebagai
pemimpin dalam proses pemulihan Bank Mandiri pada 1999. Robby yang mantan
bankir Citibank bergerak cepat dengan membentuk sebuah tim yang dipercayainya
bisa membantunya mereparasi Bank Mandiri. Belakangan beberapa orang dari tim
itu juga dikenal sebagai bankir-bankir handal dalam soal merestrukturisasi bank
bermasalah. Sebut saja, Agus DW Martowardojo dan Sigit Pramono. Dua nama itu
merupakan anggota tim yang dipilih Roby Djohan dalam proses memulihkan Bank
Mandiri pasca merger.
Dalam bukunya, Leading in Crisis:
Praktik Kepemimpinan dalam Mega Merger Bank Mandiri (2006), Robby bertutur bahwa pemimpin harus mampu
menemukan inti masalah dan mempunyai kepercayaan diri bahwa ia mampu mengatasi
masalah tersebut. Berikutnya, agar masalah bisa terurai lebih cepat, tulis dia,
pemimpin harus membentuk tim yang ahli di bidangnya. Pemimpin juga harus mampu
menularkan keyakinan mengatasi masalah kepada seluruh anggota timnya.
Menurut
Sigit Pramono ketika diminta komentar mengenai Robby beberapa tahun setelahnya,
“Pak Roby pandai memilih anak buah yang membantu dia. Dia berani memilih
orang-orang yang bakal lebih pintar dari dia supaya pekerjaaanya lebih mudah.
Dan dia mengkader orang.”
Pada tahap awal proses
transformasi Mandiri, ada dua hal pokok yang dibenahi Robby beserta tim yang
dibentuk pada masa-masa awal yaitu masalah personalia atau SDM dan teknologi
yang terkait dengan operasional. Kurang lebih tiga tahun proses itu dijalankan
tim, strategi Robby diakui sukses. Masing-masing pegawai dinilai sudah tidak
ada lagi yang membawa ego dari bank mana mereka berasal. Semuanya sudah bersatu
dalam keluarga besar Bank Mandiri.
Bank Mandiri tampaknya tengah
menikmati buah keberhasilan para founding fathers yang telah membangun fondasi
SDM sedari awal. Tepat seperti yan dikatakan oleh Warren Buffet, begawan
investasi global, bahwa dibutuhkan waktu 20 tahun untuk membangun sebuah
reputasi.
Namun
pengelola SDM Bank Mandiri saat ini harus menyadari bahwa tantangan tidak
berubah menjadi lebih ringan. Karena mereka harus menyiapkan penerus yang bisa
mempertahankan reputasi itu, di saat generasi baby boomers yang banyak memberikan legacy harus digantikan oleh generasi milenial yang kini
mendominasi.
Eksodusnya
generasi yang dalam nada bercanda kerap disebut generasi kolonial ini tentu
diharapkan tidak ikut membawa segudang pengetahuan dan kebijaksanaan yang
dimiliki mereka. Ada transfer of
knowledge, transfer of wisdom
kepada milenial dan bahkan Gen Z yang mulai menduduki jabatan-jabatan penting
di Bank Mandiri.
Reputasi
yang dimiliki Bank Mandiri sekarang ini adalah legacy dari para founding
fathers dan juga penerus-penerusnya. Dan saat ini legacy itu berada di tangan milenial dan Gen Z. Melihat
kecenderungan generasi terkini itu dalam hal loyalitas pada perusahaan dan attitude bernada negatif lainnya yang
disematkan pada mereka, memang muncul kekhawatiran. Apakah reputasi itu tetap
akan menjadi legacy yang diturunkan
para Mandirians dari generasi ke generasi?