Kamis, 10 Januari 2019

Alarm Krisis dari George Soros


Ekonomi dunia tidak henti-hentinya berada dalam ancaman krisis keuangan. Kini ketika otoritas moneter negara maju mulai menaikkan bunga acuan mereka, dan kondisi Eropa masih labil, spekulan kawakan George Soros mengatakan krisis keuangan besar bisa saja terjadi.


George Soros memang momok bagi para pelaku di industri keuangan. Tindak tanduk dan perkataannya terkait pasar keuangan seringkali menjadi acuan para investor, dan bahkan otoritas moneter.
Akhir Mei, George Soros berbicara di Paris, Prancis di hadapan anggota Dewan Uni Eropa bidang Hubungan Luar Negeri. Pidato, dari orang yang bisa menggerakkan pasar keuangan, yang mengguncang pasar keuangan dunia, tentu berpengaruh. Apalagi dalam pidatonya yang berjudul “How to Save Europe” Soros mengungkapkan hal yang kemudian dikutip media-media di seluruh dunia bahwa kita semua kemungkinan menuju krisis keuangan lainnya. 
Mengutip Bloomberg, pemutusan kesepakatan nuklir dengan Iran dan ‘kehancuran’ aliansi transatlantik antara Uni Eropa dan AS akan berdampak negatif pada ekonomi Eropa dan menyebabkan masalah lainnya, termasuk pelemahan mata uang di emerging market. “Kita kemungkinan tengah menuju krisis keuangan besar lainnya,” kata dia yang kemudian menjadi headline media-media di Eropa dan global.
                Peringatan keras dari Soros ini tidak serta merta muncul karena vested interest-nya pada pasar keuangan dan investasi global. Maklum dia dikenal sebagai investor global yang langkahnya bisa menggerakkan investor-investor kakap lainnya dan membuat goncang sebuah negara.
                Peringatan dari Soros itu muncul karena imbal hasil obligasi Italia telah melonjak ke posisi tertinggi beberapa tahun terakhir. Selain itu, negara-negara berkembang utama -termasuk Turki dan Argentina- sedang berjuang untuk menahan kejatuhan ekonomi akibat inflasi yang tinggi.
Dalam kesempatan yang sama, Soros juga menawarkan tiga poin proposal untuk mempertahankan status Uni Eropa. Seperti dilaporkan CNBC, aliansi negara-negara Eropa telah berada di bawah tekanan karena negara yang lebih besar dan lebih kuat menuntut agar mereka mengencangkan ikat pinggang untuk mengurangi utang. Hal ini telah menyebabkan tingginya angka pengangguran di negara-negara seperti Yunani dan Italia. Kondisi ini diperparah dengan tingginya angka migrasi dari Timur Tengah dan Afrika ke sejumlah negara yang saat ini tengah berjuang mengatasi krisis keuangan.
Aliansi Eropa telah berada di bawah tekanan karena negara-negara yang lebih besar dan lebih kuat menuntut agar mereka yang bergumul mengekang pengeluaran mereka untuk mengurangi utang. Penegakan yang diberlakukan ini telah menyebabkan tingginya angka pengangguran di negara-negara seperti Yunani dan Italia. Ditambahkan ke campuran adalah lonjakan migrasi dari Timur Tengah dan Afrika ke banyak negara yang sudah berjuang di belakang krisis keuangan.
                Masalah yang tak kalah krusial yang bisa merusak ekonomi Eropa adalah disintegrasi wilayah. Dalam kesempatan yang sama di Paris, Soros menggambarkan keluarnya Inggris dari Uni Eropa sebagai hal yang "sangat merusak" dan "berbahaya bagi kedua belah pihak". Dia berpendapat, Brussels harus mengubah citra Uni Eropa sebagai sebuah asosiasi bahwa negara-negara ingin bergabung.
                Tak pelak pidato Soros itu menjadi sorotan negara-negara di Eropa dan dunia. Soros adalah investor kawakan yang disebut-sebut bertanggung jawab atas gejolak yang dialami Bank of England yang terkenal akan peristiwa "Hari Rabu Hitam" pada tahun 1992. Waktu itu, dia membeli poundsterling dalam jumlah besar dan kemudian menjualnya hingga membuat nilai mata uang Negeri Ratu Elizabeth itu ambruk dan ekonominya terguncang hebat.
                Soros juga disebut-sebut sebagai biang keladi krisis moneter di Asia 1997-1998 yang akhirnya meluluhlantakkan ekonomi Indonesia. Adalah Mahathir Mohamad, perdana menteri Malaysia saat itu –yang kini menjabat lagi, menuduh pria Hunggaria-Amerika itu sebagai penyebab krisis ekonomi Asia karena tindakan spekulasi di pasar uang. Indonesia adalah negara yang paling parah terdampak dari depresiasi nilai tukar itu hingga mengalami resesi beberapa tahun.

Normalisasi Kebijakan
                Indonesia, sebagai negara terbuka dan juga mengadopsi kebijakan devisa bebas tentu akan selalu terpengaruh dengan gejolak Eropa dan global. Bahkan tantangan otoritas moneter serta fiskal akan lebih berat lagi ketika berhadapan dengan perubahan kebijakan yang terjadi pada Bank Sentral AS dan juga Bank Sentral Eropa.
                The Federal Reserve dan Europe Central Bank tengah melakukan normalisasi kebijakan moneter setelah dalam beberapa tahun belakangan cenderung memompa likuiditas ke pasar untuk menggerakkan ekonomi yang tersandera pelemahan. The Fed diprediksi akan menaikkan bunga acuannya empat kali pada tahun ini, dan sampai Juni sudah dilakukan dua kali. Sementara proses normalisasi kebijakan moneter ECB dilakukan dengan mengurangi penjualan aset mulai September mendatang.
“Risiko di pasar keuangan juga masih tinggi. BI siap untuk melakukan langkah-langkah pre-emtive front loading, dan ahead of the curve dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang akan datang,” kata Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, Juni lalu.
"Bentuknya dapat berupa kenaikan suku bunga, dan juga dalam bentuk relaksasi kebijakan makro prudensial yaitu untuk mendorong sektor perumahan. Itu yang akan kami lakukan pada RDG mendatang.”
Nilai tukar rupiah yang berfluktuasi dalam tren pelemahan dan menembus rekor tertinggi dalam dua tahun terakhir di level Rp14.400-an awal Juli lalu, menjadi fokus utama BI dalam menangkal gejolak ekonomi. Akan tetapi langkah preemptive BI yang menaikkan suku bunga 7 Day Repo Rate tiga kali berturut-turut dalam dua bulan di mana salah satunya melalui rapat gubernur di luar jadwal, akan sulit membawa rupiah menguat kembali.
                Faktor global bisa jadi penghambat keinginan itu yang salah satunya disebabkan instabilitas politik dan ancaman krisis keuangan di Italia. Selain Italia ada Turki dan Argentina yang dikhawatirkan memicu krisis sistemik global, serta negosiasi AS dan China yang belum menemui titik terang dan berpotensi melanjutkan perang dagang kedua negara itu.
                Bahkan kebijakan-kebijakan dari otoritas moneter dunia bisa menjadi pemicu krisis lainnya. Seperti dilaporkan The Economist, berdasarkan sebuah riset dari Deutsche Bank, kecenderungan bank-bank sentral memangkas suku bunga sejak 2008 untuk membeli aset secara langsung, akan memicu krisis. “Langkah ini membawa krisis ke penghentian sementara tetapi setiap siklus tampaknya menghasilkan tingkat utang dan harga aset yang lebih tinggi,” kata tulisan yang dipublikasikan akhir 2017 itu.
                Langkah menurunkan suku bunga disebabkan kecenderungan dari peningkatan utang dari swasta dan negara. Utang digunakan untuk membiayai pembelian aset, dan ketersediaan kredit yang lebih besar mendorong harga aset lebih tinggi. Namun, dari waktu ke waktu, pemberi pinjaman kehilangan kepercayaan pada kemampuan peminjam untuk membayar dan menghentikan pemberian pinjaman; penjualan aset gila-gilaan kemudian menjadi akibatnya dan semakin melemahkan keyakinan dalam kelayakan kredit.
                Hal inilah yang dinilai Deutsch akan memicu krisis. Menurut studi itu, terkait pengembalian aset jangka panjang menunjukkan bahwa krisis di negara-negara maju telah menjadi lebih umum dalam beberapa dekade terakhir. Bahkan siklusnya terjadi dalam waktu yang lebih singkat.
                Deutsche mendefinisikan krisis sebagai periode ketika suatu negara menderita salah satu dari hal berikut. Pertama, penurunan ekuitas tahunan sebesar 15 persen; kedua, jatuhnya mata uang atau obligasi pemerintahnya sebesar 10 persen; ketiga, gagal bayar atas utang nasionalnya; atau suatu periode di mana inflasi terjadi dua digit. “Sejak tahun 1980-an, dalam beberapa tahun lebih dari setengah negara-negara maju mengalami krisis keuangan,” kata tulisan itu.
                Kini bank-bank sentral negara-negara maju mulai menarik diri dari kebijakan moneter yang sangat longgar. Di AS, Fed telah meningkatkan suku bunga dan mulai melepaskan neraca keuangannya, di zona euro ECB mulai memperkecil kebijakan quantitative easing, dan di Inggris, Bank of England bisa berada di ambang kenaikan suku bunga pertama di lebih dari sepuluh tahun.
(DITERBITKAN JULI-AGS 2018)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar