Ekonomi dunia tidak henti-hentinya berada dalam ancaman
krisis keuangan. Kini ketika otoritas moneter negara maju mulai menaikkan bunga
acuan mereka, dan kondisi Eropa masih labil, spekulan kawakan George Soros
mengatakan krisis keuangan besar bisa saja terjadi.
George Soros memang momok bagi para pelaku di industri
keuangan. Tindak tanduk dan perkataannya terkait pasar keuangan seringkali
menjadi acuan para investor, dan bahkan otoritas moneter.
Akhir Mei, George Soros berbicara
di Paris, Prancis di hadapan anggota Dewan Uni Eropa bidang Hubungan Luar
Negeri. Pidato, dari orang yang bisa menggerakkan pasar keuangan, yang
mengguncang pasar keuangan dunia, tentu berpengaruh. Apalagi dalam pidatonya
yang berjudul “How to Save Europe”
Soros mengungkapkan hal yang kemudian dikutip media-media di seluruh dunia
bahwa kita semua kemungkinan menuju krisis keuangan lainnya.
Mengutip Bloomberg, pemutusan kesepakatan nuklir dengan Iran dan ‘kehancuran’
aliansi transatlantik antara Uni Eropa dan AS akan berdampak negatif pada
ekonomi Eropa dan menyebabkan masalah lainnya, termasuk pelemahan mata uang di emerging market. “Kita kemungkinan
tengah menuju krisis keuangan besar lainnya,” kata dia yang kemudian menjadi headline media-media di Eropa dan global.
Peringatan
keras dari Soros ini tidak serta merta muncul karena vested interest-nya pada pasar keuangan dan investasi global.
Maklum dia dikenal sebagai investor global yang langkahnya bisa menggerakkan
investor-investor kakap lainnya dan membuat goncang sebuah negara.
Peringatan
dari Soros itu muncul karena imbal hasil obligasi Italia telah melonjak ke
posisi tertinggi beberapa tahun terakhir. Selain itu, negara-negara berkembang
utama -termasuk Turki dan Argentina- sedang berjuang untuk menahan kejatuhan
ekonomi akibat inflasi yang tinggi.
Dalam kesempatan yang sama, Soros
juga menawarkan tiga poin proposal untuk mempertahankan status Uni Eropa. Seperti
dilaporkan CNBC, aliansi negara-negara Eropa telah berada di bawah tekanan
karena negara yang lebih besar dan lebih kuat menuntut agar mereka mengencangkan
ikat pinggang untuk mengurangi utang. Hal ini telah menyebabkan tingginya angka
pengangguran di negara-negara seperti Yunani dan Italia. Kondisi ini diperparah
dengan tingginya angka migrasi dari Timur Tengah dan Afrika ke sejumlah negara
yang saat ini tengah berjuang mengatasi krisis keuangan.
Aliansi Eropa telah berada di
bawah tekanan karena negara-negara yang lebih besar dan lebih kuat menuntut
agar mereka yang bergumul mengekang pengeluaran mereka untuk mengurangi utang.
Penegakan yang diberlakukan ini telah menyebabkan tingginya angka pengangguran
di negara-negara seperti Yunani dan Italia. Ditambahkan ke campuran adalah
lonjakan migrasi dari Timur Tengah dan Afrika ke banyak negara yang sudah
berjuang di belakang krisis keuangan.
Masalah
yang tak kalah krusial yang bisa merusak ekonomi Eropa adalah disintegrasi
wilayah. Dalam kesempatan yang sama di Paris, Soros menggambarkan keluarnya
Inggris dari Uni Eropa sebagai hal yang "sangat merusak" dan
"berbahaya bagi kedua belah pihak". Dia berpendapat, Brussels harus
mengubah citra Uni Eropa sebagai sebuah asosiasi bahwa negara-negara ingin
bergabung.
Tak
pelak pidato Soros itu menjadi sorotan negara-negara di Eropa dan dunia. Soros
adalah investor kawakan yang disebut-sebut bertanggung jawab atas gejolak yang
dialami Bank of England yang terkenal akan peristiwa "Hari Rabu
Hitam" pada tahun 1992. Waktu itu, dia membeli poundsterling dalam jumlah
besar dan kemudian menjualnya hingga membuat nilai mata uang Negeri Ratu
Elizabeth itu ambruk dan ekonominya terguncang hebat.
Soros
juga disebut-sebut sebagai biang keladi krisis moneter di Asia 1997-1998 yang
akhirnya meluluhlantakkan ekonomi Indonesia. Adalah Mahathir Mohamad, perdana
menteri Malaysia saat itu –yang kini menjabat lagi, menuduh pria Hunggaria-Amerika
itu sebagai penyebab krisis ekonomi Asia karena tindakan spekulasi di pasar
uang. Indonesia adalah negara yang paling parah terdampak dari depresiasi nilai
tukar itu hingga mengalami resesi beberapa tahun.
Normalisasi Kebijakan
Indonesia,
sebagai negara terbuka dan juga mengadopsi kebijakan devisa bebas tentu akan
selalu terpengaruh dengan gejolak Eropa dan global. Bahkan tantangan otoritas
moneter serta fiskal akan lebih berat lagi ketika berhadapan dengan perubahan
kebijakan yang terjadi pada Bank Sentral AS dan juga Bank Sentral Eropa.
The
Federal Reserve dan Europe Central Bank tengah melakukan normalisasi kebijakan
moneter setelah dalam beberapa tahun belakangan cenderung memompa likuiditas ke
pasar untuk menggerakkan ekonomi yang tersandera pelemahan. The Fed diprediksi
akan menaikkan bunga acuannya empat kali pada tahun ini, dan sampai Juni sudah
dilakukan dua kali. Sementara proses normalisasi kebijakan moneter ECB
dilakukan dengan mengurangi penjualan aset mulai September mendatang.
“Risiko di pasar keuangan juga
masih tinggi. BI siap untuk melakukan langkah-langkah pre-emtive front loading, dan ahead
of the curve dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang akan datang,” kata Perry
Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, Juni lalu.
"Bentuknya dapat berupa
kenaikan suku bunga, dan juga dalam bentuk relaksasi kebijakan makro prudensial
yaitu untuk mendorong sektor perumahan. Itu yang akan kami lakukan pada RDG
mendatang.”
Nilai tukar rupiah yang
berfluktuasi dalam tren pelemahan dan menembus rekor tertinggi dalam dua tahun
terakhir di level Rp14.400-an awal Juli lalu, menjadi fokus utama BI dalam
menangkal gejolak ekonomi. Akan tetapi langkah preemptive BI yang menaikkan
suku bunga 7 Day Repo Rate tiga kali berturut-turut dalam dua bulan di mana
salah satunya melalui rapat gubernur di luar jadwal, akan sulit membawa rupiah
menguat kembali.
Faktor
global bisa jadi penghambat keinginan itu yang salah satunya disebabkan instabilitas
politik dan ancaman krisis keuangan di Italia. Selain Italia ada Turki dan Argentina
yang dikhawatirkan memicu krisis sistemik global, serta negosiasi AS dan China yang
belum menemui titik terang dan berpotensi melanjutkan perang dagang kedua
negara itu.
Bahkan
kebijakan-kebijakan dari otoritas moneter dunia bisa menjadi pemicu krisis
lainnya. Seperti dilaporkan The Economist, berdasarkan sebuah riset dari
Deutsche Bank, kecenderungan bank-bank sentral memangkas suku bunga sejak 2008
untuk membeli aset secara langsung, akan memicu krisis. “Langkah ini membawa
krisis ke penghentian sementara tetapi setiap siklus tampaknya menghasilkan
tingkat utang dan harga aset yang lebih tinggi,” kata tulisan yang
dipublikasikan akhir 2017 itu.
Langkah
menurunkan suku bunga disebabkan kecenderungan dari peningkatan utang dari
swasta dan negara. Utang digunakan untuk membiayai pembelian aset, dan
ketersediaan kredit yang lebih besar mendorong harga aset lebih tinggi. Namun,
dari waktu ke waktu, pemberi pinjaman kehilangan kepercayaan pada kemampuan
peminjam untuk membayar dan menghentikan pemberian pinjaman; penjualan aset gila-gilaan kemudian menjadi akibatnya
dan semakin melemahkan keyakinan dalam kelayakan kredit.
Hal
inilah yang dinilai Deutsch akan memicu krisis. Menurut studi itu, terkait
pengembalian aset jangka panjang menunjukkan bahwa krisis di negara-negara maju
telah menjadi lebih umum dalam beberapa dekade terakhir. Bahkan siklusnya
terjadi dalam waktu yang lebih singkat.
Deutsche
mendefinisikan krisis sebagai periode ketika suatu negara menderita salah satu
dari hal berikut. Pertama, penurunan ekuitas
tahunan sebesar 15 persen; kedua, jatuhnya
mata uang atau obligasi pemerintahnya sebesar 10 persen; ketiga, gagal bayar atas utang nasionalnya; atau suatu periode di
mana inflasi terjadi dua digit. “Sejak tahun 1980-an, dalam beberapa tahun
lebih dari setengah negara-negara maju mengalami krisis keuangan,” kata tulisan
itu.
Kini
bank-bank sentral negara-negara maju mulai menarik diri dari kebijakan moneter
yang sangat longgar. Di AS, Fed telah meningkatkan suku bunga dan mulai
melepaskan neraca keuangannya, di zona euro ECB mulai memperkecil kebijakan quantitative easing, dan di Inggris,
Bank of England bisa berada di ambang kenaikan suku bunga pertama di lebih dari
sepuluh tahun.
(DITERBITKAN JULI-AGS 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar