Kamis, 10 Januari 2019

Risiko Global Mulai Merebak


Beberapa ancaman yang berasal dari faktor global sudah mulai menghadang perekonomian nasional, sesuai perkiraan beberapa pihak. Kondisi ini membuat target pertumbuhan ekonomi kembali akan menghadapi jalan terjal.

Sejak akhir tahun lalu, para peramal ekonomi, baik yang berasal dari otoritas, lembaga keuangan, dan dari kampus-kampus ternama, sudah mewanti-wanti kondisi global yang lebih menantang yang harus dihadapi oleh perekonomian Indonesia pada 2018. Menjelang paro pertama tahun ini terlewati, prediksi-prediksi itu mulai muncul di hadapan para pengelola ekonomi.
                Di antara risiko itu adalah perang dagang global dan proteksi yang meningkatkan tekanan pada neraca pembayaran dan juga risiko dari peningkatan utang luar negeri Indonesia. Keduanya sudah membuat nilai tukar rupiah terpuruk yang memunculkan kekhawatiran akan adanya letupan krisis seperti 20 tahun lalu.
                Kondisi itu, dinilai sebagian pengamat, akan memaksa Bank Indonesia memilih untuk lebih fokus pada stabilitas keuangan ketimbang risiko inflasi. Radhika Rao, ekonom dari Bank DBS untuk wilayah Eurozone dan India, mengatakan kondisi itu juga akan memaksa BI mulai mengerek suku bunga paling cepat pada semester kedua. “BI cenderung lebih fokus pada stabilitas keuangan daripada risiko inflasi, meningkatkan risiko bahwa kenaikan suku bunga mungkin dibawa ke depan ke kuartal kedua 2018,” kata dia dalam rilis yang diterima Stabilitas.
                Pilihan untuk lebih memberikan perhatian kepada stabilitas keuangan bukannya tanpa alasan, terutama ketika melihat indikator-indikator yang mulai dan akan muncul di 2018 ini. Pertama, adalah indikator pada defisit transaksi berjalan. Menurut siaran pers yang sama, dikatakan bahwa setelah adanya perbaikan antara tahun 2013-2017, defisit transaksi berjalan tampaknya akan kembali di atas 2 persen dari PDB pada tahun ini.
Harga komoditas yang lebih tinggi telah mengangkat ekspor tetapi ini sebagian diimbangi oleh defisit perdagangan minyak dan gas yang melebar. Impor dan arus keluar yang lebih tinggi di bawah segmen pendapatan primer juga dinilai menambah stres perekonomian.
"Terlepas dari kestabilan ini, ekonomi menghadapi berbagai tantangan – harga minyak tinggi, mata uang dolar AS menguat, dan kenaikan tajam pada suku bunga AS. Ini membawa implikasi negatif bagi posisi neraca pembayaran ekonomi (BOP), fiskal, inflasi, persyaratan pembiayaan, dan arah kebijakan,” jelas Duncan Tan, Bank DBS FX & Rates Strategist – ASEAN.
                Yang kedua, indikator utang luar negeri. Saat ini angkanya jika dibandingkan dengan PDB telah mencapai kurang lebih 30 persen dalam beberapa tahun terakhir. “Dengan rincian, cakupan cadangan untuk pembayaran utang eksternal jangka panjang lebih rendah di 0,4 kali tetapi melebihi 2,0 kali jika dibandingkan dengan utang jangka pendek (asli dan sisa jatuh tempo),” kata Duncan.
Sektor swasta menyumbang lebih dari separuh jumlah total utang luar negeri, lebih dari 80 persen di antaranya dimiliki oleh entitas non-bank. Kombinasi dari suku bunga yang lebih tinggi dan dollar AS yang terus menguat menimbulkan risiko pendanaan potensial. Kondisi itu menitikberatkan perlunya pihak berwenang untuk terus membangun cadangan guna melindungi setiap risiko penurunan terhadap neraca pembayaran dan atau kenaikan lebih lanjut dalam stok utang luar negeri.
                Dengan kondisi itu, menurut para analis dari DBS, ruang untuk stimulus fiskal menjadi semakin terbatas dan membuat prospek pertumbuhan menjadi kian menantang. Selain itu, aturan ketat membatasi defisit anggaran hingga 3 persen dari PDB dan potensi penurunan pendapatan cenderung menahan kapasitas untuk kebijakan fiskal akomodatif. “Defisit anggaran diperkirakan akan melebar hingga di atas 2,5 persen dari PDB untuk empat tahun berturut-turut, lebih tinggi dari target defisit resmi pemerintah sebesar 2,2 persen,” kata siaran pers.
                Pemerintah bukannya tidak menyadari tantangan dan risiko yang dihadapi tersebut, di saat nilai tukar rupiah terus melemah. Dalam beberapa waktu terakhri, nilai tukar rupiah sudah melewati level psikologis Rp14.000 per dollar AS. Dalam rapat yang digelar di kantor Kepresidenan, pertengahan Juni lalu, Presiden Joko Widodo meminta jajarannya mewaspadai risiko ketidakpastian global dan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia.
Beberapa risiko dimaksud Presiden antara lain volatilitas keuangan global yang dipicu normalisasi moneter Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. Lalu ada pula faktor lain seperti meningkatnya harga minyak, perang dagang Amerika-Tiongkok, hingga kondisi geopolitik.
“(Volatilitas keuangan) banyak mengakibatkan depresiasi mata uang dunia, termasuk Indonesia,” kata Jokowi dalam rapat terbatas mengenai kebijakan ekonomi makro dan pokok kebijakan fiskal 2019.
Menurut dia, momentum pertumbuhan ekonomi kuartal pertama sebesar 5,06 persen harus ditingkatkan. Caranya, dengan menjaga daya beli, meningkatkan investasi, serta daya saing ekspor nasional. Karenanya, hambatan ekspor harus diperbaiki antara lain terkait perizinan, akses perbankan dan pembiayaan, perpajakan, serta kepabeanan.
                Ari Kuncoro, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, mengungkapkan risiko global yang berasal dari perkembangan yang terjadi di Amerika Serikat berpotensi menahan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu kebijakan Presiden Trump yang menuai kritik adalah rencana kenaikan bea impor baja sebesar 25 persen dan alumunium sebesar 10 persen.
Jika ekonomi dunia terganggu, Indonesia akan ikut terpengaruh. “Kalau pertumbuhan ekonomi dunia kurang, potensi China dan India untuk membeli barang (ekspor) Indonesia akan turun, jadi tambahannya sekarang yang harus kita lihat juga adalah kondisi luar negeri juga,” ujar Ari.

Rekomendasi IMF
Sebelumnya dalam sebuah pertemuan Musim Semi dengan World Bank, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde memberikan sinyal bahwa perjalanan tahun ini memang akan berat. Di antaranya karena adanya ancaman ancaman perang dagang China dan AS, kebijakan ekonomi yang ketat dari banyak negara, serta naiknya utang publik dan swasta. “Dalam jangka pendek, global ekonomi masih akan terang, hanya di sisi lain, kami juga melihat ada akumulasi hambatan di masa depan,” ujar Lagarde kepada jurnalis di Spring Meeting IMF-World Bank di Washington DC April lalu.
Menurut bos IMF itu, pemerintah di banyak negara harus memperhatikan kenaikan risiko utang. Cataan IMF, utang global saat ini naik 225 persen dari gross domestic product global yakni mencapai 164 triliun dollar AS. Ini adalah rekor utang tertinggi sejak tahun 2016. Bahkan di negara-negara maju kenaikan level utang tertinggi sejak perang dunia kedua, artinya mayoritas utang dilakukan oleh negara-negara maju. Di negara-negara dengan pendapatan rendah juga berhadapan dengan kenaikan utang.
Dengan tantangan berat yang harus dihadapi itu, IMF mengeluarkan beberapa rekomendasi. Pertama, meningkatkan reformasi struktural. Saat ekonomi membaik, segera perbaiki ekonomi, segera indentifikasi apa saja yang bisa mendorong ekonomi dalam jangka menengah, mencegah pemburukan ekonomi. “Untuk negara-negara maju bisa membantu negara-negara dengan pendapatan rendah menuju pembangunan berkelanjutan di 2030,” ujar Lagarde.
Kedua, persiapakan bantalan ekonomi. IMF menyarankan agar pemerintah di banyak negara menyiapkan ruang untuk bisa tetap mendorong ekonomi saat risiko keuangan naik. Rekomendasi IMF adalah dengan menurunkan defisit anggaran secara gradual, termasuk fleksibilitas nilai tukar.
Ketiga, menjauhi semua proteksi perdagangan. “Saya percaya semua negara bisa melakukan lebih untuk melindungi perdagangan di negaranya dari pengaruh global yang muncul sebagai akibat perubahan teknologi dan perdagangan. Hanya perlu diingat, tak ada manfaat dari perang dagang,” kata Lagarde.
Dalam sejarahnya, kata Lagarde, IMF tidak melihat bukti bahwa pembatasan perdagangan secara sepihak terbukti membantu. “Jadi, dalam pandangan IMF, lebih baik kita bekerja sama untuk menyelesaikan ketidaksepahaman perdagangan untuk mengatasi hambatan ekonomi di masa depan,” ujar Lagarde.
Pada akhir tahun lalu, Bank Indonesia sudah memprediksi bahwa ekonomi Indonesia akan menghadapi sederet tantangan global. Di antaranya adalah berlanjutnya tren pengetatan kebijakan moneter di beberapa negara maju yang berisiko memengaruhi arah pergerakan likuiditas dunia. Selanjutnya adalah pertumbuhan ekonomi global yang tidak sekuat perkiraan dan juga risiko memanasnya geopolitik yang disebabkan oleh krisis semenanjung Korea. Selain itu juga tantangan dari kembalinya gejala proteksionisme dari negara utama perdagangan global yang dapat memperlambat pertumbuhan perdagangan dunia.
(DITERBITKAN MEI-JUNI 2018) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar