Beberapa ancaman yang berasal dari faktor global sudah mulai
menghadang perekonomian nasional, sesuai perkiraan beberapa pihak. Kondisi ini
membuat target pertumbuhan ekonomi kembali akan menghadapi jalan terjal.
Sejak akhir tahun lalu, para peramal ekonomi, baik yang
berasal dari otoritas, lembaga keuangan, dan dari kampus-kampus ternama, sudah
mewanti-wanti kondisi global yang lebih menantang yang harus dihadapi oleh
perekonomian Indonesia pada 2018. Menjelang paro pertama tahun ini terlewati,
prediksi-prediksi itu mulai muncul di hadapan para pengelola ekonomi.
Di
antara risiko itu adalah perang dagang global dan proteksi yang meningkatkan
tekanan pada neraca pembayaran dan juga risiko dari peningkatan utang luar
negeri Indonesia. Keduanya sudah membuat nilai tukar rupiah terpuruk yang
memunculkan kekhawatiran akan adanya letupan krisis seperti 20 tahun lalu.
Kondisi
itu, dinilai sebagian pengamat, akan memaksa Bank Indonesia memilih untuk lebih
fokus pada stabilitas keuangan ketimbang risiko inflasi. Radhika Rao, ekonom
dari Bank DBS untuk wilayah Eurozone dan India, mengatakan kondisi itu juga
akan memaksa BI mulai mengerek suku bunga paling cepat pada semester kedua. “BI
cenderung lebih fokus pada stabilitas keuangan daripada risiko inflasi,
meningkatkan risiko bahwa kenaikan suku bunga mungkin dibawa ke depan ke kuartal
kedua 2018,” kata dia dalam rilis yang diterima Stabilitas.
Pilihan
untuk lebih memberikan perhatian kepada stabilitas keuangan bukannya tanpa
alasan, terutama ketika melihat indikator-indikator yang mulai dan akan muncul
di 2018 ini. Pertama, adalah
indikator pada defisit transaksi berjalan. Menurut siaran pers yang sama,
dikatakan bahwa setelah adanya perbaikan antara tahun 2013-2017, defisit
transaksi berjalan tampaknya akan kembali di atas 2 persen dari PDB pada tahun
ini.
Harga komoditas yang lebih tinggi
telah mengangkat ekspor tetapi ini sebagian diimbangi oleh defisit perdagangan
minyak dan gas yang melebar. Impor dan arus keluar yang lebih tinggi di bawah
segmen pendapatan primer juga dinilai menambah stres perekonomian.
"Terlepas dari kestabilan
ini, ekonomi menghadapi berbagai tantangan – harga minyak tinggi, mata uang
dolar AS menguat, dan kenaikan tajam pada suku bunga AS. Ini membawa implikasi
negatif bagi posisi neraca pembayaran ekonomi (BOP), fiskal, inflasi,
persyaratan pembiayaan, dan arah kebijakan,” jelas Duncan Tan, Bank DBS FX
& Rates Strategist – ASEAN.
Yang kedua, indikator utang luar negeri. Saat
ini angkanya jika dibandingkan dengan PDB telah mencapai kurang lebih 30 persen
dalam beberapa tahun terakhir. “Dengan rincian, cakupan cadangan untuk
pembayaran utang eksternal jangka panjang lebih rendah di 0,4 kali tetapi
melebihi 2,0 kali jika dibandingkan dengan utang jangka pendek (asli dan sisa
jatuh tempo),” kata Duncan.
Sektor swasta menyumbang lebih
dari separuh jumlah total utang luar negeri, lebih dari 80 persen di antaranya
dimiliki oleh entitas non-bank. Kombinasi dari suku bunga yang lebih tinggi dan
dollar AS yang terus menguat menimbulkan risiko pendanaan potensial. Kondisi
itu menitikberatkan perlunya pihak berwenang untuk terus membangun cadangan
guna melindungi setiap risiko penurunan terhadap neraca pembayaran dan atau kenaikan
lebih lanjut dalam stok utang luar negeri.
Dengan
kondisi itu, menurut para analis dari DBS, ruang untuk stimulus fiskal menjadi
semakin terbatas dan membuat prospek pertumbuhan menjadi kian menantang. Selain
itu, aturan ketat membatasi defisit anggaran hingga 3 persen dari PDB dan
potensi penurunan pendapatan cenderung menahan kapasitas untuk kebijakan fiskal
akomodatif. “Defisit anggaran diperkirakan akan melebar hingga di atas 2,5
persen dari PDB untuk empat tahun berturut-turut, lebih tinggi dari target
defisit resmi pemerintah sebesar 2,2 persen,” kata siaran pers.
Pemerintah
bukannya tidak menyadari tantangan dan risiko yang dihadapi tersebut, di saat
nilai tukar rupiah terus melemah. Dalam beberapa waktu terakhri, nilai tukar
rupiah sudah melewati level psikologis Rp14.000 per dollar AS. Dalam rapat yang
digelar di kantor Kepresidenan, pertengahan Juni lalu, Presiden Joko Widodo
meminta jajarannya mewaspadai risiko ketidakpastian global dan dampaknya
terhadap ekonomi Indonesia.
Beberapa risiko dimaksud Presiden
antara lain volatilitas keuangan global yang dipicu normalisasi moneter Bank
Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. Lalu ada pula faktor lain seperti
meningkatnya harga minyak, perang dagang Amerika-Tiongkok, hingga kondisi geopolitik.
“(Volatilitas keuangan) banyak
mengakibatkan depresiasi mata uang dunia, termasuk Indonesia,” kata Jokowi
dalam rapat terbatas mengenai kebijakan ekonomi makro dan pokok kebijakan
fiskal 2019.
Menurut dia, momentum pertumbuhan
ekonomi kuartal pertama sebesar 5,06 persen harus ditingkatkan. Caranya, dengan
menjaga daya beli, meningkatkan investasi, serta daya saing ekspor nasional.
Karenanya, hambatan ekspor harus diperbaiki antara lain terkait perizinan,
akses perbankan dan pembiayaan, perpajakan, serta kepabeanan.
Ari
Kuncoro, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia,
mengungkapkan risiko global yang berasal dari perkembangan yang terjadi di
Amerika Serikat berpotensi menahan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah
satu kebijakan Presiden Trump yang menuai kritik adalah rencana kenaikan bea
impor baja sebesar 25 persen dan alumunium sebesar 10 persen.
Jika ekonomi dunia terganggu, Indonesia akan ikut
terpengaruh. “Kalau pertumbuhan ekonomi dunia kurang, potensi China dan India
untuk membeli barang (ekspor) Indonesia akan turun, jadi tambahannya sekarang
yang harus kita lihat juga adalah kondisi luar negeri juga,” ujar Ari.
Rekomendasi IMF
Sebelumnya dalam sebuah pertemuan
Musim Semi dengan World Bank, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional
(IMF) Christine Lagarde memberikan sinyal bahwa perjalanan tahun ini memang
akan berat. Di antaranya karena adanya ancaman ancaman perang dagang China dan
AS, kebijakan ekonomi yang ketat dari banyak negara, serta naiknya utang publik
dan swasta. “Dalam jangka pendek, global ekonomi masih akan terang, hanya di
sisi lain, kami juga melihat ada akumulasi hambatan di masa depan,” ujar
Lagarde kepada jurnalis di Spring Meeting IMF-World Bank di Washington DC April
lalu.
Menurut bos IMF itu, pemerintah
di banyak negara harus memperhatikan kenaikan risiko utang. Cataan IMF, utang
global saat ini naik 225 persen dari gross
domestic product global yakni mencapai 164 triliun dollar AS. Ini adalah
rekor utang tertinggi sejak tahun 2016. Bahkan di negara-negara maju kenaikan
level utang tertinggi sejak perang dunia kedua, artinya mayoritas utang
dilakukan oleh negara-negara maju. Di negara-negara dengan pendapatan rendah
juga berhadapan dengan kenaikan utang.
Dengan tantangan berat yang harus
dihadapi itu, IMF mengeluarkan beberapa rekomendasi. Pertama, meningkatkan reformasi struktural. Saat ekonomi membaik,
segera perbaiki ekonomi, segera indentifikasi apa saja yang bisa mendorong
ekonomi dalam jangka menengah, mencegah pemburukan ekonomi. “Untuk
negara-negara maju bisa membantu negara-negara dengan pendapatan rendah menuju
pembangunan berkelanjutan di 2030,” ujar Lagarde.
Kedua, persiapakan bantalan ekonomi. IMF menyarankan agar
pemerintah di banyak negara menyiapkan ruang untuk bisa tetap mendorong ekonomi
saat risiko keuangan naik. Rekomendasi IMF adalah dengan menurunkan defisit
anggaran secara gradual, termasuk fleksibilitas nilai tukar.
Ketiga, menjauhi semua proteksi perdagangan. “Saya percaya semua
negara bisa melakukan lebih untuk melindungi perdagangan di negaranya dari
pengaruh global yang muncul sebagai akibat perubahan teknologi dan perdagangan.
Hanya perlu diingat, tak ada manfaat dari perang dagang,” kata Lagarde.
Dalam sejarahnya, kata Lagarde,
IMF tidak melihat bukti bahwa pembatasan perdagangan secara sepihak terbukti
membantu. “Jadi, dalam pandangan IMF, lebih baik kita bekerja sama untuk
menyelesaikan ketidaksepahaman perdagangan untuk mengatasi hambatan ekonomi di
masa depan,” ujar Lagarde.
Pada akhir tahun lalu, Bank
Indonesia sudah memprediksi bahwa ekonomi Indonesia akan menghadapi sederet
tantangan global. Di antaranya adalah berlanjutnya tren pengetatan kebijakan
moneter di beberapa negara maju yang berisiko
memengaruhi arah pergerakan likuiditas dunia. Selanjutnya adalah pertumbuhan
ekonomi global yang tidak sekuat perkiraan dan juga risiko memanasnya
geopolitik yang disebabkan oleh krisis
semenanjung Korea. Selain itu juga tantangan dari kembalinya gejala
proteksionisme dari negara utama perdagangan global yang dapat memperlambat pertumbuhan perdagangan
dunia.
(DITERBITKAN MEI-JUNI 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar