Keberadaan sosok Gubernur BI sangat urgen mengingat banyaknya keputusan moneter yang mesti diambil. BI juga harus menentukan range antara BI Rate dan bunga kredit bank.
JAKARTA – Bank Indonesia tetap mendorong penurunan suku bunga perbankan dengan memangkas kembali bunga kebijakan atau BI Rate. Di saat respons penyesuaian bunga kredit masih sangat minim, otoritas moneter membawa suku bunga acuan ke level terendahnya sejak BI memperkenalkan istilah BI Rate pada 2005.
“Sinyal yag diberikan BI positif bagi perekonomian. Artinya tren bunga ke depan turun dan seharusnya diikuti oleh penurunan suku bunga dana kemudian suku bunga kredit,” kata ketua umum Perhimpunan Bank Umum Nasional Sigit Pramono di Jakarta, Rabu (3/6).
BI telah memangkas bunga acuan tujuh kali berturut-turut dengan total 250 basis poin menjadi 7,00 persen saat bank sentral dipimpin oleh seorang pejabat gubernur, Miranda Swaray Goeltom. Miranda menggantikan Boediono yang digaet Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden Juli.
Sementara itu, Miranda yang saat ini masih memegang posisi deputi gubernur senior definitif akan habis masa jabatannya 26 Juni dan digantikan Darmin Nasution, yang saat ini menjabat Direktur Jenderal Pajak.
Menurut Sigit Pramono, meskipun keputusan dalam dewan gubernur BI diambil secara kolektif, namun jika ada kebuntuan maka figur gubernur diperlukan untuk mengambil keputusan. “Nanti kalau ada kebijakan yang salah atau menyimpang atau apapun, siapa yang harus disalahkan? Sebaiknya gubernur harus diisi,” kata dia.
Kekosongan posisi gubernur harus segera diisi karena berpotensi menimbulkan masalah politik dalam mengambil keputusan mengenai pengaturan moneter.
“Sebaiknya harus diisi sebelum Bu Mir (Miranda) lengser dan sebelum pilpres, karena komplikasi politiknya sangat besar,” kata Sigit.
Tekan Perbankan
BI dalam pernyataan resminya mengakui bahwa respons perbankan terhadap penurunan BI Rate masih terbatas, yang terlihat dari pertumbuhan kredit dan penurunan suku bunga yang masih belum seperti yang diharapkan.
Menurut data BI, penyaluran kredit perbankan hingga Maret mencapai 1.305 triliun rupiah meningkat delapan triliun rupiah per bulan jika dirata-rata sejak Januari. Rasio penyaluran kredit atau loan to deposit ratio (LDR) perbankan sampai waktu yang sama mencapai 73 persen.
“BI bersama perbankan akan terus berupaya mengurangi kendala-kendala dalam meningkatkan fungsi intermediasi,” kata Direktur hubungan masyarakat BI Dyah NK Makhijani.
Masih belum optimalnya penyaluran kredit saat ini disebabkan masih tingginya pengenaan suku bunga kredit.
Pengamat ekonomi dari CSIS Pande Radja Silalahi menilai, penurunan BI Rate secara progresif harus segera direspons oleh kalangan perbankan dengan menurunkan bunga kreditnya. Namun, kata dia, penurunan bunga bank tidak dapat dipaksakan oleh pemerintah, sebab bank juga memiliki perhitungan terkait cost of fund yang harus
ditanggungnya.
Pande mengusulkan, agar selisih (range) antara level BI Rate dengan bunga bank ditentukan maksimal sekitar 5 persen, sehingga bisa menggerakkan sektor riil. “Kalau semuanya bisa berkorban, maka sektor riil juga bisa bergerak seperti
diharapkan,” kata dia.
Deputi Gubernur BI Muliaman Darmansyah Hadad mengatakan sulitnya mendorong bank untuk menurunkan suku bunga karena banyak bank masih fokus pada peningkatan aset. “Karena berbagai alasan aspek liabilities dinomorduakan. Padahal liabilities (struktur dana yang fokus pada likuiditas dan modal) penting,” kata dia.aph/ito/E-4
Kamis, 04 Juni 2009
BI Fokus pada Pendapatan dari Dollar AS
JAKARTA – Bank Indonesia dinilai sengaja menahan penguatan nilai rupiah terhadap dollar AS meskipun memiliki ruang untuk mendongkrak nilai tukar lebih kuat dari 10.000 per dollar AS.
“BI memang menahan penguatan rupiah untuk mengumpulkan cadangan devisa yang telah dihambur-hamburkan Oktober lalu untuk intervensi rupiah,” ujar Pengamat ekonomi dari InterCafe Iman Sugema saat dihubungi Senin (1/6).
Nilai tukar rupiah seharusnya bisa lebih kuat dari posisinya sekarang di kisaran 10.200 hingga 10.300 per dollar AS saat dana-dana asing banyak masuk ke instrumen investasi dalam negeri. Modal asing yang mengalir di pasar saham domestik hingga saat ini (year to date) mencapai 490 juta dollar AS.
Semakin banyak investor masuk kendati hanya jangka pendek, maka persediaan dollar AS kian melimpah, dan nilai tukar otomatis akan menguat. Kepemilikan asing di Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang Negara meningkat.
Indikator yang paling mudah menjadi acuan membanjirnya suplai dollar AS adalah di pasar saham dan kemarin Indeks Harga Saham Gabungan nyaris menyentuh 2.000.
Pengamat pasar uang Farial Anwar menilai pada dasarnya kurs rupiah bisa menguat lebih jauh hingga ke kisaran 9.000 per dollar AS.
Namun, adanya faktor kepentingan (conflict of interest) di mana bank sentral ingin meningkatkan cadangan dollar AS, maka penguatan nilai tukar rupiah tidak mencapai level yang semestinya.
“Pendapatan BI itu kan dalam dollar AS sementara pengeluarannya untuk membiayai bunga SBI dalam rupiah. Jika rupiah menguat artinya nilai pendapatan BI berkurang, BI tidak mau itu terjadi,” kata Farial.
Dia membandingkan kondisi pada tahun akhir 2007 dan menjelang 2008 ketika IHSG menembus level 2.500 hingga 2.800 pun rupiah tidak juga tembus di bawah 10.000 per dollar AS.
Stimulus Ekspor
Di satu sisi, penahanan nilai tukar rupiah memang memberikan dampak negatif terutama dalam peningkatan daya beli masyarakat, tetapi di sisi lain, penahanan rupiah dinilai perlu dilakukan untuk menstimulasi sektor ekspor. Makin tinggi kurs rupiah terhadap dollar AS maka harga barang-barang ekspor akan dinilai lebih murah oleh negara lain yang membeli dengan dollar AS.
“Kendati ekspor menurun, namun dalam neraca perdagangan kita tetap surplus, jadi pertimbangannya adalah untuk memberikan insetif ke sektor ekspor” jelas Pengamat Ekonomi Unika Atma Jaya Prasetyantoko
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus perdagangan Indonesia pada Mei 2009 mencapai 2,08 miliar dollar AS.
Prasetyantoko juga berpendapat, penahanan rupiah tersebut dilakukan agar investor tidak menarik dananya yang ada di obligasi. Jika kurs rupiah terus menguat, maka pendapatannya akan berkurang secara nominal dalam bentuk dollar AS.aph/E-4
“BI memang menahan penguatan rupiah untuk mengumpulkan cadangan devisa yang telah dihambur-hamburkan Oktober lalu untuk intervensi rupiah,” ujar Pengamat ekonomi dari InterCafe Iman Sugema saat dihubungi Senin (1/6).
Nilai tukar rupiah seharusnya bisa lebih kuat dari posisinya sekarang di kisaran 10.200 hingga 10.300 per dollar AS saat dana-dana asing banyak masuk ke instrumen investasi dalam negeri. Modal asing yang mengalir di pasar saham domestik hingga saat ini (year to date) mencapai 490 juta dollar AS.
Semakin banyak investor masuk kendati hanya jangka pendek, maka persediaan dollar AS kian melimpah, dan nilai tukar otomatis akan menguat. Kepemilikan asing di Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang Negara meningkat.
Indikator yang paling mudah menjadi acuan membanjirnya suplai dollar AS adalah di pasar saham dan kemarin Indeks Harga Saham Gabungan nyaris menyentuh 2.000.
Pengamat pasar uang Farial Anwar menilai pada dasarnya kurs rupiah bisa menguat lebih jauh hingga ke kisaran 9.000 per dollar AS.
Namun, adanya faktor kepentingan (conflict of interest) di mana bank sentral ingin meningkatkan cadangan dollar AS, maka penguatan nilai tukar rupiah tidak mencapai level yang semestinya.
“Pendapatan BI itu kan dalam dollar AS sementara pengeluarannya untuk membiayai bunga SBI dalam rupiah. Jika rupiah menguat artinya nilai pendapatan BI berkurang, BI tidak mau itu terjadi,” kata Farial.
Dia membandingkan kondisi pada tahun akhir 2007 dan menjelang 2008 ketika IHSG menembus level 2.500 hingga 2.800 pun rupiah tidak juga tembus di bawah 10.000 per dollar AS.
Stimulus Ekspor
Di satu sisi, penahanan nilai tukar rupiah memang memberikan dampak negatif terutama dalam peningkatan daya beli masyarakat, tetapi di sisi lain, penahanan rupiah dinilai perlu dilakukan untuk menstimulasi sektor ekspor. Makin tinggi kurs rupiah terhadap dollar AS maka harga barang-barang ekspor akan dinilai lebih murah oleh negara lain yang membeli dengan dollar AS.
“Kendati ekspor menurun, namun dalam neraca perdagangan kita tetap surplus, jadi pertimbangannya adalah untuk memberikan insetif ke sektor ekspor” jelas Pengamat Ekonomi Unika Atma Jaya Prasetyantoko
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus perdagangan Indonesia pada Mei 2009 mencapai 2,08 miliar dollar AS.
Prasetyantoko juga berpendapat, penahanan rupiah tersebut dilakukan agar investor tidak menarik dananya yang ada di obligasi. Jika kurs rupiah terus menguat, maka pendapatannya akan berkurang secara nominal dalam bentuk dollar AS.aph/E-4
Langganan:
Postingan (Atom)