Rabu, 01 Juni 2011

Buruk Citi, Perbankan Dibelah

Langkah BI menghentikan layanan private banking dari semua bank dianggap sebagai kebijakan yang gebyah uyah. Meski begitu, dengan kebijakan itu BI menemukan bahwa semua bank ternyata tidak siap meluncurkan layanan tersebut baik dari dilihat dari sistem maupun SDM.


Kejadian yang menimpa Citibank benar-benar menampar muka industri dan otoritas perbankan. Sampai-sampai organisasi bank swasta terbesar di Indonesia harus meminta maaf kepada masyarakat dan nasabah. Bahkan kejadian itu memaksa otoritas perbankan memperketat aturan, bukan hanya untuk Citibank tapi untuk seluruh perbankan.
Tiga bulan setelah kasus pembobolan Citibank oleh pegawai private banking-nya–yang tentunya sekarang sudah diberhentikan– terkuak , Bank Indonesia memrintahkan seluruh bank untuk memoratorium sementara layanan khusus itu.
Seluruh layanan khusus bank untuk nasabah premium yang saat ini berjumlah 23, tidak boleh menjaring nasabah baru selama sebulan terhitung awal bulan lalu. Bank boleh menarik nasabah baru yang masuk kategori high networth individual, namun tidak menggunakan layanan premium tersebut.
Bankjuga harus menyempurnakan dan memperbaiki sistem, prosedur dan sarana yang menunjang layanan wealth management itu seperti ketersediaan kamera CCTV, voice recorder, dan kamera SDI (serial digital interface) dalam waktu 1 bulan.
Industri perbankan terbengong-bengong karena menganggap keputusan itu akan menahan potensi pendapatannya. Saat ini hampir seluruh bank-bank besar memiliki layanan private banking yang menggaet nasabah berkantong tebal dengan setoran awal minimal Rp500 juta-Rp 1 miliar. Perbankan tentu tidak ingin kehilangan potensi fee-based income besar dan juga sumber dana berbiaya murah. Dan survey dari HSBC pada 2010 mengatakan hampir 95 persen dana nasabah kaya Indonesia diinvestasikan pada deposito. Sementara berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) jumlah rekening dengan kisaran nilai simpanan lebih dari Rp500 juta-Rp1 miliar mencapai 291 ribu rekening.
Ambil contoh layanan private banking di bank beraset terbesar, Bank Mandiri. Jumlah nasabah prioritas dari bank tersebut ada sekitar 50 ribu pada 2010. Layanan yang di bank tersebut dinamakan Mandiri Prioritas mensyaratkan minimal simpanan nasabah Rp500 juta. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan nasabah Mandiri Prioritas mencapai 66,67 persen. Potensi pasar tentu kian besar jika memasukan rekening dengan nilai simpanan di atas Rp1 miliar yang mencapai 245 ribu rekening.
Maka itu tidak mengherankan jika kalangan perbankan menggerutu atas keputusan BI menghentikan layanan private banking meski hanya sebulan. "Ada satu kasus jangan dihukum seluruh industrinya 23 bank, karena ini tidak adil, relatif tidak adil," begitu kata Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono.
Kegusaran Sigit memang beralasan karena layanan priority banking tengah diminati oleh banyak nasabah di Indonesia yang jumlah orang kayanya selalu meningkat dan ditandai naiknya pendapatan per kapita menembus 3.000 dollar AS per tahun. Nasabah-nasabah ini biasanya ingin dilayani lebih baik, lebih private, seperti tidak perlu mengantri, mengambil uang tanpa melalui ATM, pokoknya diurusi semua masalah keuangannya.
Oleh karena itu seperti dikatakan Komisaris Bank BCA itu, janganlah ketika terjadi pembobolan di satu bank yakni Citibank, BI menggeneralisir kalau perbankan di Indonesia tidak aman, sehingga 23 bank lainnya terkena getahnya.
Kehilangan Momentum
Seperti yang diputuskan BI, masa moratorium weallth management akan berakhir pada 2 Juni. Akan tetapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa kebijakan itu akan selesai atau diperpanjang. Yang jelas akibat moratorium layanan private banking itu, bisnis perbankan pada divisi itu praktis terhenti dan potensi tambahan pendapatan dari fee-based income tersendat. Padahal kesempatan bank-bank nasional mengambil celah pasar dan perpindahan nasabah setelah terjadi pembobolan di Citibank yang notabene adalah bank asing sangat terbuka. Selama ini diakui atau tidak, wealth management dari bank asing–khususnya Singapura–memang lebih maju karena lebih terbukanya channel kepada instrumen-instrumen keuangan global yang dimiliki bank tersebut.
Nasabah kakap pemilik dana besar tentunya membutuhkan produk khusus yang membawa inovasi varian dan layanan berkelas serta menguntungkan. Tak mengherankan jika pada akhirnya nasabah memilih bank asing.
Lembaga riset AC Nielsen pernah mengumumkan hasil penelitiannya bahwa nasabah kaya Indonesia cenderung untuk menempatkan dananya di Singapura. Atas alasan itulah bank-bank dari negeri jiran itu berbondong-bondong membuka cabang di Jakarta. Buktinya, lihat saja UBS, DBS dan beberapa bank lain yang sudah mengakuisi bank lokal mempunyai layanan private banking.
Kini peluang itu tertutup karena BI memukul rata hukuman meski pembobolan dana terjadi pada layanan Citigold milik bank asal AS, Citibank.
Alwas K Yarman dari Jakarta Private Bankers Club, mengatakan bahwa semestinya hanya bank yang berbuat salah yang dihukum. Alwas yang juga pengelola layanan wealth management di salah satu bank di Jakarta mengungkapkan bahwa saat ini semua bank yang memiliki layanan tersebut harus selalu memberikan laporan ke BI terkait private banking.
Sementara itu, dengan memanggil para pengelola layanan tersebut BI selain melakukan pemeriksaan tampaknya ingin mendapatkan masukan dari pelaku terkait aturan wealth management yang tengah disiapkan. Kabarnya aturan tersebut akan diluncurkan pada bulan ini dan akan menekankan pada prinsip prudensial. Dengan kata lain, regulasi yang akan terbit akan memastikan prinsip-prinsip kehati-hatian terutama dalam layanan private banking diterapkan oleh bank.
Selama ini dalam pelaksaan wealth management BI menilai bank kurang mengimplementasikan prinsip kehati-hatian yang bisa dilihat dari tidak dijalankannya standard operation procedure (SOP) yang baik oleh bagian operasional sebagai first of line of defense.
BI memang tengah intensif memanggil para bank-bank yang memiliki layanan prioritas tersebut. Berdasarkan pemanggilan itu, BI telah melakukan evaluasi terhadap 23 bank penyedia layanan wealth management dan menyimpulkan bahwa tidak ada satupun bank yang siap 100 persen dalam melakukan pelayanan priority banking.
Dengan kesimpulan itu, BI sekaligus menolak anggapan bahwa keputusannya untuk melarang bank-bank mencari dan menerima nasabah baru wealth management sebagai keputusan yang gebyah uyah, atau menyamaratakan kasus."Dari pemeriksaan kami melihat semua bank memiliki kelemahan bervariasi. Wealth management belum dilakukan secara konsisten dan review yang berkala," ujar Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah
Selain itu, SOP dalam layanan itu juga belum dilaksanakan secara konsisten perbankan. Halim mencontohkan di kasus Citibank, diperbolehkannya penandatanganan blanko kosong meski nasabah tidak datang ke bank. "Juga kelemahan implementasi kebijakan know your employee, kelemahan dalam sistem informasi," sambung Halim.
Kelemahan dalam sistem informasi ini, lanjut Halim, adalah belum ada database yang mengintegrasikan bagaimana profil nasabah dengan perilaku portofolionya. Padahal database itu berguna untuk cegah tindakan pencucian uang atau money laundering.
Database ini juga bisa menjadi early warning jika nasabah memiliki dana Rp 200 miliar, dengan profil yang dikaitkan dengan perilaku sehari-hari dalam penggunaan dana. "Ketika nasabah melakukan transaksi diluar kebiasaanya, ada early warning, lalu akan dikonfirmasi dengan pihak bank," kata dia.