Rabu, 27 September 2017

Di Ambang Perang Likuiditas

Strategi fiskal pemerintah dalam menarik dana masyarakat akan direspons bank dengan langkah menerbitkan obligasi sebagai mitigasi risiko likuiditas. Apakah ini pertanda pertempuran perebutan likuiditas akan dimulai?

Ketika dalam beberapa tahun belakangan –setelah krisis keuangan global berkecamuk– pembuat  kebijakan memegang kendali perekonomian, pelaku sektor keuangan tidak lantas berhenti was-was. Peran pemerintah yang kian dominan acapkali tidak sejalan dengan tujuan mereka sendiri untuk melindungi sektor keuangan dari krisis, saat kebijakan yang ditelurkannya malah membuat perebutan likuiditas makin sengit.
                Di Indonesia, selisih jalan antara kebijakan fiskal dan keinginan pelaku sektor keuangan sudah berlangsung sejak tahun lalu. Tahun ini, keinginan pemerintah untuk menyelamatkan fiskal sekaligus menggerakkan ekonomi malah memunculkan benih-benih ‘pertempuran’ di ranah likuiditas.
                Kementerian Keuangan telah memobilisasi kebijakan untuk menyerap lebih banyak dana masyarakat sejak tahun lalu guna membiayai anggaran sekaligus menambal defisit yang membesar. Pada APBN 2017, belanja pemerintah ditetapkan sebesar Rp2.080,5 triliun sementara pendapatan ditargetkan sebesar Rp1.750,3 triliun. Sehingga ada defisit yang tak terhindarkan sebesar Rp330,2 triliun atau mencapai 2,4 persen dari pendapatan nasional.
                Upaya pemerintah untuk menutup defisit dibarengi dengan keinginan untuk menjalankan proyek-proyek infrastruktur yang memakan dana besar. Jadilah bendahara negara rajin menerbitkan surat utang negara serta pinjaman dari luar negeri. “Untuk menutup defisit bersumber dari utang dan non utang. Pembiayaan utang berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) serta pinjaman domestik dan luar negeri,” kata Basuki Purwadi, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
                Total nilai penerbitan SBN sampai dengan akhir kuartal pertama 2017 sudah mencapai Rp 265,77 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 38,71 persen dari target bruto penerbitan SBN sepanjang tahun ini yang senilai Rp 684,8 triliun. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memang telah menetapkan strategi prefunding untuk belanja fiskal 2017 dengan cara menerbitkan obligasi negara dan juga menggali pendapatan dari pajak.
                Tak pelak strategi fiskal pemerintah itu menohok perbankan yang pada satu sisi sedang membutuhkan likuiditas dari masyarakat, terutama pada tahun ini ketika risiko likuiditas di mata para pengelolanya sedang meningkat. Sejak tahun lalu sejatinya bank sudah mengeluhkan kebijakan front loading dari pemerintah yang dianggap bertubrukan dengan kebutuhan bank dalam menyerap dana masyarakat. Padahal di saat yang sama, otoritas perbankan tengah mendesak bank untuk menurunkan suku bunga hingga ke level single digit.
                Tahun ini mau tak mau perbankan harus bersiap menghadapi persaingan dengan pemerintah dalam berburu likuiditas. Apalagi tahun ini pemerintah diperkirakan akan lebih agresif dalam menerbitkan aturan-aturan pajak baru untuk menggenjot pendapatan.
“Bersiap-siap saja nanti ada pajak-pajak yang kreatif dan inovatif dari pemerintah. Ada pajak apartemen nganggur, pajak lahan tidak produktif, pajak cukai plastik, pajak transaksi e-commerce. Bahkan akan ada pajak selebgram, selebritas di medsos,” kata peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara.
                Selain kebijakan anggaran pemerintah, perbankan juga tidak luput dari ancaman lain dari sisi ekonomi global. Bank sentral AS sudah diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya dua kali pada tahun ini. Kenaikan Fed Rate, kata Bhima akan meningkatkan ancaman terhadap keluarnya dana asing yang berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah. “Untuk meminimalisir efek kenaikan Fed Rate secara bertahap di tahun 2017 diprediksi Bank Indonesia akan cenderung mempertahankan atau bahkan menaikkan suku bunga acuan,” kata dia.
                Dan jika yang dipilih BI adalah menaikkan suku bunga acuan, hampir bisa dipastikan bank akan makin menderita lagi dalam upaya memperebutkan likuiditas masyarakat. Di sisi lain, yield yang ditawarkan SBN juga relatif tinggi yaitu antara 8-9 persen sehingga ketika bank mau menarik dana masyarakat maka bunga yang ditawarkan juga harus lebih menarik lagi.
Bhima menambahkan bahwa waktu penerbitan SBN juga menjadi isu krusial bagi pelaku perbankan karena seringkali berdekatan dengan penerbitan instrumen deposito atau surat utang bank. “Kondisi miss-koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter mengakibatkan perbankan saling berebut dana, pada akhirnya cost of fund perbankan menjadi mahal,” kata dia.

Penderitaan Perbankan
                Sementara itu, perbankan masih merasakan kesusahan dalam mengelola likuiditasnya akibat pertumbuhan kredit yang selalu lebih tinggi dari pertumbuhan dana pihak ketiga sejak 2004.
Hal itu tentu saja membuat rasio pinjaman dan kredit (LDR) meningkat tajam dari 58,1 persen pada 2004 menjadi 90,5 pada akhir 2016. “Dengan proyeksi pertumbuhan kredit dan DPK, LDR diperkirakan akan mencapai 92 persen pada tahun 2019,” kata Ahmad Siddik Badruddin, Direktur Manajemen Risiko dan Kepatuhan Bank Mandiri, pada Seminar mengenai likuiditas yang digelar Majalah Stabilitas awal Mei lalu.
                Proyeksi pertumbuhan kredit pada tahun ini juga lebih besar dari pertumbuhan pendanaan di mana angkanya 13,5 persen berbanding 12,5 persen.
                Dia melanjutkan, tahun ini ada dua faktor utama yang akan mempengaruhi likuiditas perbankan yaitu kebijakan pengelolaan anggaran pemerintah dan aliran modal asing. Kebijakan fiskal seperti penarikan pajak, belanja pemerintah dan juga penerbitan SBN akan langsung membuat likuiditas di masyarakat dan juga yang dikelola perbankan akan terpengaruhi.
                Penarikan pajak yang intensif sudah barang tentu akan mengurangi dana masyarakat dan akhirnya mengikis dana perbankan. Sebaliknya belanja pemerintah akan menambah pasokan likuiditas, karenanya peningkatan dalam belanja sangat diharapan oleh perbankan. “Tahun ini akan ada tambahan likuiditas sebesar Rp157 triliun dari belanja pemerintah. Kami harapkan pemerintah mengeluarkan belanjanya secara merata sepanjang tahun, tidak seperti biasanya hanya besar di ujung tahun,” kata Siddik.
                Sementara itu, ancaman eksternal terkait capital outflow juga mulai meningkat di saat kepemilikan asing pada surat berharga baik obligasi maupun equity meningkat. Berdasarkan data dari Bank Mandiri arus modal asing di pasar domestik sepanjang Jan-Apr 2017 mencapai Rp99,8 triliun, terdiri atas Rp22,3 triliun di pasar saham dan Rp77,4 triliun di pasar SBN.
                Akan tetapi, kalangan perbankan mengakui bahwa likuiditas akan menghadapi tantangan berat tahun ini. Selain karena kondisi pertumbuhan DPK yang makin tipis jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit, ada pula tantangan lain: aturan Otoritas Jasa Keuangan.
                Sejak tahun lalu OJK mengeluarkan aturan yang mengharuskan penempatan dana kelolaan asuransi dan dana pensiun di instrumen SBN melalui POJK No 1/2016. Aturan tersebut berdampak kepada penurunan alokasi dana asuransi dan dana pensiun di instrumen-instrumen deposito perbankan.
                Pasca aturan itu, perbankan cukup menderita karena terjadi pengalihan di portofolio deposito yang dipegang asuransi dan dana pensiun. Portofolio asuransi di perbankan dalam bentuk DPK turun dari 23 persen menjadi 15 persen. Sementara di dana pensiun turun dari 31 persen menjadi 21 persen. “Secara langsung, hal ini akan mempengaruhi likuiditas perbankan,” kata Siddik.
                Dengan tantangan likuiditas yang ada di hadapan perbankan, tak berlebihan jika para pengelolanya mempersiapkan strategi untuk mendapatkan dana demi mengamankan diri. Menurut Panji Irawan, Direktur Keuangan BNI, bank harus sudah mulai memitigasi risiko likuiditas dengan strategi front loading. “This is the time for bank to do the fund rising,” kata dia.
                BNI dan beberapa bank sudah menerapkan strategi ini dengan menerbitkan obligasi rupiah dengan mekanisme penerbitan umum berkelanjutan. Berkelanjutan adalah salah satu variasi baru dari obligasi, dimana OJK memberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk untuk menerbitkan obligasi dalam kurun waktu dua tahun, dengan cukup hanya satu kali meminta izin pernyataan efektif.
                Strategi front loading dari perbankan tampaknya akan marak dalam beberapa bulan ke depan, sehingga persaingan dalam menarik dana nasabah akan makin ketat di saat pemerintah juga tidak mengendurkan langkahnya dalam menarik pajak. Dan ‘perang’ antara bank dan pemerintah dalam mendapatkan likuiditas sudah di ambang pintu.
(dipublikasikan Mei-Juni 2017)


Strategi Perang Bank Daerah


Ketika bank umum dan pemerintah tengah bertarung memperebutkan dana masyarakat, bank daerah mau tak mau harus ikut dalam persaingan itu. Meski demikian, tantangan yang dihadapi oleh bank-bank milik pemerintah daerah dalam memperoleh likuiditas itu lebih rumit.

Ada cerita menarik ketika organisasi bank sentral dunia menelurkan aturan memperkuat modal yang harus dipenuhi oleh bank-bank di seluruh dunia. Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) yang tadinya ingin menerapkan aturan yang menekankan pada permodalan pada 2008, kemudian harus merevisinya karena meletusnya krisis sektor keuangan di AS. Kemudian aturan Basel II
yang semula hanya menekankan pada permodalan bank untuk mengcover risiko, disempurnakan menjadi Basel III yang menitikberatkan pada pengelolaan likuiditas.
                Kini aturan tersebut diaplikasikan oleh hampir semua bank terutama yang berasal dari negara-negara anggota G-20. Dengan diterapkannya Basel III menunjukkan bahwa likuiditas menjadi faktor penting yang bagi perbankan, sekaligus menjadi tantangan.
Di Indonesia, tantangannya tidak hanya dirasakan oleh bank umum, tetapi juga oleh bank daerah. Bahkan bagi bank-bank milik pemerintah provinsi dan kabupaten ini, kondisi lebih rumit. Menurut Ketua Umum Asosiasi Bank-bank Daerah (Asbanda), Kresno Sediarsi, setidaknya ada tiga faktor yang harus dihadapi Bank Pembangunan Daerah.
Pertama, BPD harus menghadapi tantangan likuiditas yang rutin karena siklus keuangan pemerintah daerah. “Cyclical cash flow pada akhir tahun dimana likuiditas pasar biasanya cenderung mengetat, BPD harus berjuang mempertahankan likuiditasnya karena banyak dana Pemda ditarik untuk penyerapan anggaran daerah,” jata Kresno.
Kedua, terkait dengan pencairan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari Pemda yang selama ini merupakan komponen utama likuiditas BPD yang tidak dapat diperkirakan jadwal pencairannya. Sehingga BPD kerap mengalami permasalahan dalam pengaturan ataupun proyeksi cash flow.
“Sebagai contoh, Dana Bagi Hasil (DBH) Pemprov DKI Jakarta seharusnya masuk ke Bank DKI tiap triwulanan, namun pada pelaksanaannya DBH terhutang tahun 2015 baru masuk pada bulan Februari 2017 lalu dan DBH terhutang tahun 2016 masuk pada bulan Maret 2017,” kata dia yang juga Direktur Utama Bank DKI.
Ketiga, Rencana Pemerintah untuk mengganti penyaluran dana daerah dalam bentuk SPN yang non tradable. Hal itu tentu akan makin memperparah kondisi likuiditas BPD karena sumber likuiditas utamanya akan terkikis.
Kresno mengakui, hingga saat ini BPD sangat bergantungan pada penempatan dana pemda yang masih mencapai rata-rata 70 persen di setiap bank daerah. Kondisi ini menyebabkan perbankan daerah rentan mengalami pengetatan likuiditas ketika pemda sedang dalam musim menarik dananya, seperti untuk gajian dan di akhir tahun.
Keunikan kondisi yang harus dihadapi bank daerah itu membuat pengelolanya harus berpikir dan mengeluarkan strategi yang berbeda dari bank lain. Salah satu strateginya –seperti yang dijalankan oleh Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJB) –adalah terus berupaya mengurangi ketergantungan terhadap dana pemda dalam komposisi dana pihak ketiga
Wakil Pemimpin Divisi Komunikasi Korporat BJB Asadi Budiman mengatakan, porsi dana pemda di dalam tubuh BJB semakin rendah. Ini menjadi pendorong bagi perseroan yang kini sudah menyamai bank umum dalam soal permodalan, untuk terus melakukan pengalihan profiling dana dari mayoritas pemerintah daerah menjadi pihak ketiga lain. “Per Maret 2017, komposisi dana pemda yang ada pada kami tinggal 45 persen, biasanya melimpah dana pemda pada awal tahun karena berbagai macam dana masuk dan belum dipakai,” kata dia saat Seminar Risiko Likuiditas yang digelar Majalah Stabilitas, Mei lalu.
Namun demikian, BJB mengaku optimistis porsi dana pemda akan semakin berkurang. Guna menjaga likuiditas maka manajemen BPD dituntut untuk kreatif mencari sumber-sumber pendanaan yang lebih andal, misalnya dana pihak ketiga dari masyarakat. “Yang membuat BPD tergantung kepada pemda karena memang dana kas mereka di simpan pada kami. Kami ingin menggali lebih jauh potensi pendanaan dari masyarakat, makanya kami genjot layanan online BJB,” tutur Asadi.
Opsi lain yang bisa dilakukan BPD untuk memperkuat pendanaan, kata dia, adalah mencari sumber pendanaan secara nonkonvensional melalui penerbitan obligasi maupun medium term notes (MTN). Selain itu juga dengan meningkatkan CASA yang berasal dari retail dan institusi non Pemda alias korporat juga dengan meningkatkan kerjasama dengan bank lain untuk kerjasama PUAB, Term Loans dan lainnya. “Satu lagi yang bisa dilakukan BPD adalah mengembangkan digital banking dan branchless banking,” kata Asadi.
Dalam hal pengembangan layanan digital perbankan, BJB tidak hanya meningkatkan pelayanan bagi nasabah umum melainkan pula untuk pemerintah daerah.  BJB mendukung pemda dari sisi infrastruktur agar proses penerimaan asli daerah lebih mudah. “Misalnya, pelayanan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor melalui e-channel BPD dan penerimaan PBB online melalui jaringan kantor BPD BJB,” tambah dia.
Meski begitu, likuiditas bank daerah saat ini tengah terdesak oleh kebijakan pemerintah khususnya terkait Dana Perimbangan yang berasal dari Pemerintah Pusat. Tahun lalu Kementerian Keuangan telah menerbitkan aturan Nomor 125/PMK.07/2016 Tentang Penundaan Penyaluran Sebagian Dana Alokasi Umum Tahun Anggaran 2016. Tahun sebelumnya ada juga aturan Nomor 235/PMK.07/2015 Tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk Non Tunai.


Pegang Dana BUMD
Sementara itu Kresno Sediarsi, Dirut Bank DKI menambahkan, untuk menambah dan mengamankan likuiditas, pihaknya mengupayakan agar semua transaksi dan manajemen kas perusahaan di bawah kontrol pemerintah DKI harus menggunakan banknya. “Kita minta seluruh dana operasional BUMD harus ada di kita. Lagipula buat apa ada di luar (Bank DKI) dan siapa yang mengontrol,” kata mantan bankir Bank Mandiri itu.
Upaya lain yang bisa dilakukan oleh bank daerah, lanjut Kresno, adalah dengan menjadi treasurer atau pengelola keuangan pemda dimana bank tersebut menjadi saluran bagi aliran pendapatan maupun biaya daerah bersangkutan. Pendapatan bisa berasa dari pajak daerah dan retribusi dan pendapatan lainnya, sedangkan biaya bisa dari biaya subsidi, pengeluaran rutin dan lainnya, termasuk pengeluaran dari BUMD.
Menurut Kresno, hal tersebut akan makin mudah ketika BPD bisa membangun sebuah sistem keuangan terintergrasi dengan semua perusahaan daerah. Bank DKI mengaplikasikan hal itu dengan membangun dan menerbitkan suatu sistem terintegrasi yang disebut dengan JakartaOne. “JakartaOne merupakan sistem terpadu pendukung pengelolaan kebijakan layanan publik yang melingkupi tiga fungsi yakni identifikasi profil pengguna,penyaluran kebijakan publik dan pendukung sistem pembayaran,” kata dia.
Karenanya tidak mengherankan jika kini di tempat-tempat rekreasi di Jakarta, masyarkat diminta untuk menggunakan kartu elektronik untuk sarana pembayaran, yang salah satu tujuannya agar pendapatan daerah bisa terkontrol.
Sementara itu di sisi kredit, Kresno mengatakan, permintaan kredit BPD tidak akan naik jika hanya mengandalkan realisasi proyek pemerintah pusat. Pasalnya, proses lelang kerap berjalan lambat sehingga pelaksanaan proyeknya pun lebih lambat. 
“Harusnya proyek pemda yang mendorong permintaan kredit BPD. Harus pemda sendiri yang mendorong daerah karena proses lelang yang dilakukan tentu lebih cepat selesai seperti di Pemda DKI,” kata dia.

 (dipublikasikan Mei-Juni 2017)


               




Mendobrak Pintu Akhir Kerahasiaan

Pemerintah menerbitkan aturan darurat sebagai pintu masuk ke dalam sistem informasi keuangan perbankan dan jasa keuangan lainnya. Aturan ini memang ditujukan untuk mendongkrak pendapatan pemerintah, namun demikian dampaknya tidak kecil.


Pemerintah benar-benar merealisasikan janjinya. Pembuat kebijakan memenuhi janjinya untuk terus agresif menambah pundui-pundi pendapatannya dengan segala cara yang ada. Juga memenuhi janjinya atau lebih tepatnya ancamannya ketika menggulirkan Program Pengampunan Pajak tahun lalu.
                Pertengahan Mei lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang alias Perppu No 1 Tahun 2017 Tentang Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Dengan keluarnya regulasi ini, petugas pajak memiliki lisensi mendapatkan akses informasi keuangan mengenai data nasabah untuk kepentingan perpajakan, sesuatu yang tadinya dilindungi aturan kerahasiaan bank.
                Aturan ini sejatinya tidak mengagetkan bagi bank karena sejak dua tahun lalu sudah mulai diwacanakan. Namun, tidak bisa dipungkiri kebijakan ini akan menjadi pukulan telak buat perbankan dan juga buat nasabah yang selama ini menjadi pihak yang selalu dijaga oleh bank.
                Para pemimpin bank-bank mungkin masih bermimpi bahwa kerahasiaan data-data nasabah tetap pada tempatnya, tanpa bisa diakses dengan bebas. Namun mereka harus menyadari bahwa kini pintu kerahasiaan bank sudah didobrak. Bahkan petugas pajak juga bisa mengakses informasi ke lembaga keuangan lainnya dan pelaku di pasar modal.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memastikan, kerahasiaan data nasabah perbankan dianulir oleh terbitnya Perppu tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Dalam aturan kerahasiaan bank dalam membuka data nasabah perbankan untuk kepentingan perpajakan, petugas pajak mesti harus mendapatkan persetujuan dari berbagai sektor. “Kalau dulu kan begitu, minta persetujuan ke menteri keuangan, minta persetujuan OJK. Sekarang enggak, langsung saja, artinya Perppu itu yang menganulir pasal itu,” kata Darmin.
                Pemerintah memang tengah membutuhkan pendanaan yang besar untuk pembangunan nasional, tak ada yang mengingkari hal itu. Dan sumber pendanaan paling besar adalah dari pajak. Keberhasilan menembus perolehan pajak Rp1.000 triliun akhir 2015 lalu adalah suatu prestasi Direktorat Pajak yang patut dicatat. Namun demikian pencapaian itu tidak bisa menutupi ketidakmampuan pemerintah memenuhi target penerimaan pajak yang selama ini ditetapkan.
Untuk itulah, pemerintahan Joko Widodo menerbitkan kebijakan tax amnesty yang selain untuk meningkatkan pendapatan pajak, juga untuk menarik pajak-pajak yang selama ini dikemplang oleh wajib pajak kakap yang biasanya sembunyi di luar negeri. Namun, kebijakan itu dinilai masih belum mencapai sasaran yang selama ini didengungkan. Dana repatriasi yang dijanjikan oleh Pemerintah masuk ke Indonesia lebih dari Rp1.000 triliun sampai penutupan program tax amnesty hanya tercapai Rp147 triliun. Sementara uang tebusan yang disetor ke kas Pemerintah mencapai Rp114 triliun.
Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan jurus berikutnya yaitu mengincar para penunggak pajak yang lolos dari jeratan tax amnesty, yang selama pemerintah tidak bisa mengaksesnya karena dilindungi aturan kerahasiaan bank. Perppu akses informasi keuangan juga mendapatkan momentumnya ketika Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yang mewajibkan negara untuk bertukar informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information/ AEoI). Pemerintah Indonesia, dengan menerbitkan aturan itu berarti sudah siap melakukan pertukaran informasi pajak dengan negara anggota G20 tahun ini, meski secara global dimulai pada 2018.
Pada saat menjalankan Program Tax Amnesty, Wakil Presiden M Jusuf Kalla sudah mewanti-wanti para pemilik dana kakap yang menyimpan dana di luar negeri agar ikut Program Tax Amnesty. Jika mereka tidak ungkap, tebus, maka pemerintah tetap akan mengetahui dana yang mereka sembunyikan untuk menghindari pajak.
Karena hampir semua negara di dunia akan berbagi informasi itu kepada pemerintah Indonesia dan dengan data itu otoritas akan mengejar pajak mereka beserta dendanya. “Kenapa itu (mengungkapkan aset dan membayar tebusan) dilakukan sekarang? Karena apabila dilakukan dua tahun lagi, maka yang melanggar itu jadi musuh bersama dunia," kata Wapres tahun lalu.
Saat AEoI berlaku, masing-masing negara akan bertukar informasi soal dana warga negara lain. Maka dari itu dengan mudah, para pengemplang pajak akan diketahui. “Tahun2018 kalau sudah berlaku sistem informasi terbuka di bidang pajak, maka siapa yang melakukan pelanggaran jadi musuh bersama dunia. Misalnya di Swiss ada dana orang Indonesia belum dilaporkan, langsung dilaporkan," kata JK.
Sejatinya pemerintah sendiri juga terancam di hadapan negara-negara G20 jika tidak melakukan ratifikasi aturan yang sering disebut AEoI itu. Hal itu diakui pemerintah dalam mukaddimah Perppu tersebut. “Apabila Indonesia tidak segera memenuhi kewajiban sesuai batas waktu yang ditentukan (30 Juni 2017), Indonesia dinyatakan sebagai negara yang gagal untuk memenuhi komitmen pertukaran informasi keuangan secara otomatis (fail to meet its commitment), yang akan mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia,” kata aturan itu.
Ancaman itu berupa menurunnya kredibilitas Indonesia sebagai anggota G20, menurunnya kepercayaan investor, dan berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional, serta dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penempatan dana ilegal.

Perbaiki Moral Hazard
                Akan tetapi, keleluasan pemerintah mengakses informasi ke semua lembaga jasa keuanan harus dibarengi dengan perbaikan layanan dan kualitas pegawai pajak. Hal itu diutarakan oleh peneliti Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara.
Menurut dia, citra pegawai pajak yang kerap melakukan tindakan moral hazard menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah. “Siapa yang bisa menjamin data tidak bocor untuk kepentingan lain? Sudah bukan rahasia lagi, data rentan disalahgunakan,” kata dia kepada Stabilitas.
Dia mengatakan petugas pajak yang memiliki akses ke data nasabah berpeluang mengetahui informasi jumlah uang di rekening secara detail. Kemudian, si petugas dikhawatirkan akan menghubungi nasabah tersebut sehingga rentan terjadi pemerasan atas nama tunggakan pajak. “Praktik kongkalikong dengan begitu jadi hambatan keterbukaan informasi yang dituntut oleh aturan di Perppu itu,” tambah Bhima.
Di sisi lain perbankan diprediksi akan makin menderita dengan aturan ini di tengah persaingan likuiditas yang makin sengit, terutama ketika berhadapan dengan pemerintah. Perbankan, kata Bhima, akan mengalami kejutan jangka pendek dengan kemungkinan turunnya dana masyarakat yang dikelolanya.
Terkait tiadanya protes dari perbankan, Bhima mengatakan bahwa hal itu karena pengelola bank tidak mau dianggap melawan pemerintah. Selain itu, kata lelaki berkaca mata itu, perbankan –terutama yang besar–terpaksa  menerima kebijakan pemerintah tersebut karena kemarin mendapatkan guyuran dana dari repatriasi tax amnesty. “Untuk 15 bank persepsi mereka pasti akan nerima-nerima aja, tapi yang bank buku 1 dan 2 pasti banyak yang protes,” lanjut dia.
Menurut Bhima lagi kebijakan ini akan membuat nasabah-nasabah perbankan nasional berpaling kepada bank-bank negara tetangga terutama Singapura. “Nanti satu tahun ke depan bisa dilihat pertumbuhan DPK bank di singapura naik berapa persen,” kata dia.

Pemerintah sudah melakukan beberapa gebrakan sebelumnya demi meningkatkan pendapatan negara. Pada awal 2016 lalu, Kementerian Keuangan menggandeng Badan Intelijen Negara (BIN) untuk membantu melacak para pengemplang pajak kakap lewat penyadapan. Berdasarkan  Undang-Undang 17/2011 tentang Intelijen Negara, BIN mengaku memiliki kewenangan penyadapan untuk membantu pemerintah. Bahkan lembaga intel itu merasa berhak menelusuri dan memeriksa aliran dana wajib pajak dan mengatakan lembaga negara lain baik BI maupun OJK wajib memberikan keterangan yang dibutuhkan bila diminta BIN.
(dipublikasikan Mei-Juni 2017) 

Hantu Pengurus Baru

Para komisioner di lembaga pengawas sektor keuangan akan menghadapi tantangan berat di industri yang makin berkembang. Akan tetapi sebelumnya, mereka harus melewati cobaan dalam menyelesaikan masalah koordinasi yang berpotensi mengganjal kerja mereka.


Setelah ribut-ribut pemilihan kepala daerah, publik akan segera mengalihkan perhatiannya pada pemilihan pengurus lembaga pengawas sektor keuangan paling super di negeri ini. Nama-nama kandidat yang akan mengisi jajaran Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sudah diserahkan Presiden kepada parlemen. Dari 14 nama yang diserahkan, DPR bertugas menyaringnya hingga hanya tujuh orang melalui tes kelayakan dan kepantasan.
                Tidak mudah menebak siapa saja yang bakal mengisi kursi –mulai dari ketua dewan komisioner hingga kepala pengawas setiap sektor–mengingat hampir semua nama memiliki keunggulan. Akan tetapi, karena hampir semua adalah muka-muka baru, bisa dipastikan para pengurus OJK nanti akan berhadapan dengan masalah yang lebih besar.
Tidak hanya akan menghadapi persoalan di sektor keuangan, mereka juga harus menghadapi tantangan internal yang berat karena harus memulai koordinasi dari awal. Padahal masalah koordinasilah yang menjadi penyebab pemerintah memaksakan diri untuk mendirikan lembaga yang mampu mengawasi lintas sektor industri keuangan pada 2012.
 Kabinet pertama di OJK, sudah selesai menghadapi masalah koordinasi, terutama di internal lembaganya sendiri. Maklum saja, dengan latar belakang dua lembaga negara yang berbeda –Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan– tentu akan sulit bagi OJK untuk mengawasi industri jika diinternalnya sendiri tidak satu suara. Fondasi itu dinilai banyak pihak selesai dibangun oleh pengurus awal OJK dan kini lembaga itu sudah bisa berjalan sebagai satu kesatuan.
Kini dengan kehilangan wajah-wajah lama di pucuk pimpinan maka tantangan tentu akan lebih berat dihadapi muka-muka baru petinggi OJK terutama dalam soal koordinasi internal. Hal itu diakui oleh peneliti dari Indef Abra PG Talattov.
Menurut dia, koordinasi internal akan menjadi isu penting yang harus diselesaikan oleh kabinet OJK yang baru nanti saat pertama kali berkantor di Lapangan Banteng. Koordinasi itu harus dilakukan antar Dewan Komisioner yang rata-rata baru pertama berkantor di OJK dan yang lebih penting lagi mempertahankan budaya kerja internal yang sudah dibangun pengurus yang lama.
“Tidak hanya konsolidasi antar DK OJK, tetapi sama pentingnya juga konsolidasi internal dengan seluruh pengawas dan pegawai di OJK,” kata Abra.
                Dengan latar belakan profesi yang berbeda dan juga kenyataan bahw mereka baru pertama kali disatukan dalam sebuah organisasi yang besar dan super, maka para anggota komisioner harus membangun Visi-Misi bersama dan komitmen yang kokoh sehingga OJK akan lebih kuat dalam menghadapi guncangan berbagai persoalan di depan. Selain itu, dengan jumlah pegawai mencapai 1.200 orang, tentunya butuh waktu bagi pengurus baru untuk meyakinkan bahwa yang akan mereka lakukan di internal tidak akan menabrak fondasi sistem yang sudah terbangun.
Setelah langkah memantapkan kembali koordinasi yang berpotensi melonggar, para petinggi OJK yang baru akan menghadapi tantangan membangun sinergi kebijakan dengan instansi terkait seperti Bank Indonesia dan Kementeri Keuangan. Di pundak OJK tetap ada ekspektasi tinggi dalam mendorong sektor keuangan lebih kontributif dalam pembangunan di tengah tekanan ekonomi.
“Lembaga itu harus mampu memastikan bahwa sektor keuangan tidak terlarut dalam upaya menyelamatkan dan memperkaya dirinya sendiri, tapi lupa atau enggan menstimulasi sektor-sektor lainnya terutama sektor produktif,” kata Abra.
Selanjutnya kabinet baru OJK juga harus sudah siap langsung bekerja, karena tidak boleh ada lagi masa penyesuaian dalam hal pengawasan lembaga keuangan. Pasalnya ancaman risiko sistemik bisa muncul kapan saja, atau yang lebih ringan adalah praktik-praktik fraud dan investasi bodong selalu mengintai.
Pengurus OJK baru harus sudah belajar dari pengalaman pahit Financial Services Authority (FSA) di Inggris yang gagal mengawasi dengan baik sektor keuangannya sehingga terjadilah kasus Northern Rock. Bank itu mengalami kesulitan likuiditas dan otoritas menyuntikkan dananya namun tetap tak bisa menolong bank itu. Akibat kasus tersebut, FSA pun akhirnya dibubarkan dan fungsi pengawasan perbankan akhirnya ditarik kembali ke Bank Sentral.
Di Indonesia kasus serupa pernah terjadi ketika Bank Century dinyatakan berisiko sistemik lalu pemerintah memutuskan untuk menyuntikkan modal. Langkah tersebut bermasalah karena bank itu dianggap menyalahi aturan karena fraud dari pemiliknya sendiri yang menggondol dana nasabah.

Tangkal Krisis
Sejatinya, untuk mengantisipasi ancaman krisis dan risiko sistemik, OJK sudah mengeluarkan tiga peraturan (POJK) sebagai landasan hukum dalam upaya mengatasi permasalahan stabilitas sistem keuangan. Hal itu sebagai tindak lanjut dari keluarnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK).
"UU PPKSK memberikan landasan hukum bagi OJK dan lembaga atau otoritas lain untuk menangani stabilitas sistem keuangan serta melakukan tindakan dalam upaya mengatasi permasalahan stabilitas sistem keuangan berdasarkan tugas dan kewenangannya. Sebagai tindak lanjutnya kami keluarkan POJK ini,"ujar Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad.
Tiga aturan itu terdiri dari pertama, POJK tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. Regulasi ini memuat aturan penanganan permasalahan bank, baik penanganan terhadap bank sistemik maupun selain bank sistemik. Dalam ketentuan ini, diatur status pengawasan bank terdiri dari tiga tahap, yakni pengawasan normal, intensif, dan pengawasan khusus.
Kedua, POJK tentang Bank Perantara, memuat aturan mengenai prosedur pendirian bank perantara, mulai dari proses pendirian, operasional, dan pengakhiran Bank Perantara. Bank Perantara hanya dapat didirikan dan dimilikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Ketiga, POJK tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) bagi Bank Sistemik, memuat aturan kewajiban bank sistemik untuk mempersiapkan rencana dalam rangka mencegah dan mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di Bank Sistemik dengan cara menyusun suatu rencana aksi.
Saat ini, upaya menghindarikan ekonomi dari krisis dinilai lebih penting ketimbang mendorong pertumbuhan. Menurut Majalah the Economist edisi 8 April 2017 yang mengutip riset Stepehen Broadberry dari Oxford University dan John Wallis dari Universitas Maryland, peran untuk menangkal dan menyelesaikan krisis ekonomi adalah sangat penting.
 “Faster growth is not due to bigger booms, but to less shrinking in recessions” demikian salah satu kesimpulan dari dua ekonomi itu. (baca: Riset Tantangan Kabinet Baru OJK). Pandangan itu menunjukkan bahwa peran untuk menangkal dan menyelesaikan krisis ekonomi lebih penting ketimbang kebijakan ekonomi untuk mendorong pertumbuhan.
Di dunia yang semakin maju dan modern seperti sekarang ini, konektivitas antar negara semakin erat, permasalahan krisis, terutama krisis finansial, akan semakin intens gejalanya(symptom). “Di sinilah peran otoritas keuangan di masing-masing negara menjadi sangat vital dalam mencegah dan mengelola krisis, termasuk Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan,” kata riset Stabilitas.

Tantangan Lain
Tantangan lain yang tak kalah gentingnya bakal dihadapi para komisioner baru adalah pelaksanaan Auotmatic Exchange of Information (AEoI) yang akan dimulai sejak 1 Januari 2018. Sebagai bagian dari komunitas negara-negara di dunia, sepakat atau tidak sepakat Indonesia juga harus turut menerapkan sistem tersebut.
“Bagaimana pun kita harus masuk karena semua negara juga sudah masuk ke sana. Maka calon komisioner harus paham tentang AeoI, tentang common reporting standard (CRS). Sejauh mana otoritas bisa membuka data bank. Kalau tidak hati-hati, aturan akan meleset, dan orang malah narik duit dari bank (rush money),” ujar ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI), Dradjad H Wibowo.
Meski berkaitan dengan data perbankan, potensi rush money yang bisa saja terjadi di masyarakat tentu tidak hanya semata-mata berpengaruh pada industri perbankan saja namun juga pada seluruh perekonomian dalam negeri. Tak terkecuali di industri pasar modal. Terlebih situasi ekonomi global sejauh ini juga masih belum stabil dan diperkirakan bakal terus berlanjut dalam beberapa tahun ke depan. 
(dipublikasikan April-Mei 2017)

Skil Komplet untuk Sektor Krusial

Risiko sistemik, praktik fraud dan juga pembobolan akan tetap menjadi perhatian utama otoritas pada sektor perbankan. Dibutuhkan komisioner yang mumpuni tidak hanya dalam bidang perbankan, namun juga manajemen risiko, makroekonomi, sekaligus  teknologi.


Sektor perbankan tetap menjadi concern utama Otoritas Jasa Keuangan ketika dibentuk lima tahun lalu dan diserahi tanggung jawab untuk memastikan industri dijalankan dengan manajemen risiko dan tata kelola yang baik. Meskipun pada saat berdiri tahun 2012, sektor perbankan belum berada di bawah pengawasan OJK dan baru Januari 2014 sektor itu masuk pengawasan lembaga itu.
Perhatian besar dari otoritas itu tidak berlebihan mengingat sektor tersebut masih mendominasi perekonomian Indonesia. Jika sektor itu terganggu tentu ekonomi secara keseluruhan akan terkena dampaknya. Pemerintah –yang menggagas pembentukan OJK, tentu tidak menginginkan hal itu.
Hingga akhir tahun 2016, aset perbankan mencapai Rp6.839 triliun sedangkan aset di industri keuangan nonbank jika semua disatukan hanya seperlimanya yaitu Rp1.827 triliun. Bahkan jika dibandingkan dengan kapitalisasi pasar di bursa saham pada 27 Maret 2017 yang sebesar Rp6.050, aset perbankan masih lebih besar.
                Oleh karena itu, ketika periode pertama tugas OJK menjelang berakhir dan ketika periode kedua akan diisi –hampir semua– oleh  orang-orang baru, publik pantas gelisah. Sederet pertanyaan pun mengemuka mengenai bagaimana kabinet baru otoritas yang menjadi lembaga super-power di sektor keuangan ini akan bekerja.
Pertanyaan utama yang dilontarkan publik adalah mengenai apakah ekonomi akan kisruh jika sektor perbankan guncang atau salah satu bank besar tiba-tiba harus tutup. Risiko sistemik memang menjadi perhatian otoritas, bahkan sejak pengawasan bank dipegang Bank Indonesia.
OJK telah meminta 12 bank besar yang dinilai bisa mengganggu perekonomian jika mereka tutup untuk menyusun rencana aksi (recovery plan). Permintaan itu tercantum dalam peraturan yang diterbitkan awal April sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Peraturan tersebut memberikan kejelasan dan ketegasan dalam penerapan kebijakan penanganan krisis di sektor keuangan.
“UU PPKSK ini memberikan landasan hukum bagi OJK dan lembaga atau otoritas lain untuk menangani stabilitas sistem keuangan serta melakukan tindakan dalam upaya mengatasi permasalahan stabilitas sistem keuangan berdasarkan tugas dan kewenangannya," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad.
Recovery plan itu harus memasukkan rencana dan strategi perbankan menghadapi serta mengantisipasi kesulitan keuangan, likuiditas, juga permodalan. Kewajiban pembuatan recovery plan itu dikenakan kepada bank-bank yang termasuk dalam kategori bank sistemik atau domestic systematically important bank (DSIB). Target yang diberikan oleh OJK adalah hingga 31 Desember 2017.
Bank sistemik merupakan bank-bank yang memiliki aset besar dan anak usaha yang terinterkoneksi. Bank-bank tersebut harus diawasi lebih ketat agar ketika krisis bank tersebut tidak jatuh dan membahayakan perekonomian Indonesia.
OJK telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan daya tahan sektor jasa keuangan. Misalnya mengeluarkan ketentuan terkait capital surcharge untuk bank-bank sistemik dan Peraturan OJK tentang penyediaan Modal Minimum Bank Umum, yang mewajibkan bank menyediakan capital conservation buffer, dan countercyclical buffer.
Dari sisi pengawasan, OJK juga meningkatkan kapasitas surveillance, sehingga dapat mengukur secara tepat kondisi sektor jasa keuangan dan memprediksi potensi tekanan di masa mendatang melalui early-warning system (EWS). Serta penggunaan berbagai alat ukur yang tepat dalam mendukung pengambilan keputusan terkait langkah-langkah antisipatif yang perlu dilakukan.
Menurut Abra PG Talattov, peneliti dari Indef, sebuah think tank ekonomi terkemuka di Indonesia, terkait risiko sistemik, OJK tidak boleh lengah sedikit pun terhadap gejala (symptom) risiko krisis di sektor keuangan itu sendiri, terutama dengan semakin terintegrasinya produk-produk investasi baik antar sektor (perbankan dan nonperbankan) maupun antar negara. “Jangan sampai ada celah atau loopholes terjadinya kecurangan dari pelaku sektor keuangan yang mengakibatkan krisis,” kata dia.

Pembobolan dan Fraud
                Pertanyaan berikutnya yang paling sering muncul terkait pengelolaan bank adalah mengenai pembobolan bank. Sejak 2012, saat OJK beroperasi, pembobolan bank mulai banyak bermunculan –meskipun bukan berarti sebelumnya tidak ada. Bahkan setahun sebelum itu, muncul kasus menghebohkan ketika bank sekelas Citibank bisa dibobol oleh pegawainya sendiri di layanan khusus nasabah kaya. Juga kasus Kepala Cabang Bank Mega yang menilep uang PT Elnusa setelah kongkalikong dengan pejabat perusahaan itu.
                Setelah itu, pembobolan bank atau praktik fraud di perbankan masih kerap terjadi. Bahkan yang terbaru adalah pembobolan Bank BTN oleh karyawannya sendiri. Modusnya adalah pemalsuan bilyet deposito oleh oknum karyawan yang dipakai untuk menawarkan produk deposito dan beroperasi di luar sistem perseroan.
                Pembobolan dan fraud memang masih menjadi ancaman konkret perbankan setiap saat. Parahnya lagi, kejahatan ini hampir selalu terjadi dan dilakukan oleh orang dalam, atau minimal ada bantuan dari pegawai bank itu sendiri. Hal itu diakui oleh Direktur Pengawasan Bank OJK Anung Herlianto. “Kasus pembobolan itu 90 persen selalu melibatkan orang dalam atau terjadi karena adanya peran orang dalam yang mengetahui celah dalam sistem,” kata dia.
                Akan tetapi hal itu bukan satu-satunya faktor penentu munculnya fraud atau pencurian uang di bank, karena nasabah sendiri sejatinya memiliki peran di dalamnya. Selain dilakukan oleh orang dalam, kata Anung, kebanyakan kasus fraud tersebut juga didukung oleh kurang pedulinya para nasabah dalam mengelola dana yang didepositokan dan terlalu percaya dengan pihak perbankan. “Kasus fraud di banyak bank terjadi karena nasabah malas berhubungan dengan administrasi bank. Lalu ada pegawai bank yang memanfaatkan hal itu. Jadinya duit nasabah dikelola orang lain,” kata Anung.
                Memang sulit untuk menghilangkan praktik fraud atau zero defect di perbankan. Meski begitu untuk mengikis jumlahnya OJK mendesak bank untuk selalu membenahi pengawasan internal. Tahun lalu, lembaga itu sudah melansir aturan tegas mengenai sistem pengendalian internal bank. Dalam aturan POJK NO 18 tahun 2016 itu, bank wajib melaksanakan sistem pengendalian internal secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan
operasional pada seluruh jenjang organisasi bank. Pelaksanaan sistem tersebut paling tidak harus
mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi.
                Pada pasal 14 dalam aturan tersebut, sistem pengendalian internal wajib memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan perundangundangan serta kebijakan atau ketentuan internal bank serta efektivitas budaya risiko (risk culture) pada organisasi bank secara menyeluruh.
                Yang tidak boleh dinafikan juga adalah dampak negatif dari perkembangan inovasi keuangan yang terus bergulir kencang hingga sekarang. Seperti terlihat pada fenomena financial technology (fintech) terlihat terus berlari bahkan lebih cepat dari regulasi yang ada. Nah, di sinilah perlunya sosok kepala pengawas perbankan yang mumpuni dalam pengetahuan dan praktik mengenai gabungan dari teknologi dan juga keuangan.
                “Anggota DK-OJK yang menjabat saat ini sudah melakukan upaya yang baik dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Yang perlu ditingkatkan adalah kecepatan OJK dalam membuat regulasi dan melakukan pengawasan terhadap inovasi-inovasi keuangan baru, misalnya fintech,” Eric Alexander Sugandi, Chief Economist di SIGC (SKHA Institute for Global Competitiveness).
                Ditambahkan dia, anggota DK-OJK yang baru juga harus meningkatkan kemampuan personil OJK dan rekrutmen tenaga profesional berpengalaman dari pasar finansial dan lembaga keuangan untuk menjadi regulator dengan seleksi yang ketat.
(dipublikasikan April-Mei 2017)


Solusi Jitu 'Mengikat' Karyawan

Keterlibatan penuh karyawan kepada perusahaan tempat dia bekerja menjadi senjata ampuh untuk mempertahankan kinerja bisnis. Leadership yang kuat, kebanggan terhadap tempat kerja dan juga jalinan komunikasi yang mantap adalah beberapa prasyaratnya.


Strategi mengelola pegawai dalam industri keuangan –terutama perbankan, akan selalu dikaitkan dengan risiko operasional. Lembaga keuangan memiliki segudang taktik agar pegawainya melaksanakan tugas sesuai prosedur operasional standar yang digariskan oleh pengawas industri keuangan. Ya, untuk urusan regulasi, sektor perbankan menjadi salah satu kalau tidak satu-satunya industri yang memiliki aturan super-ketat (highly regulated).
Regulasi yang ketat, namun begitu, juga dibarengi dengan bayaran yang tinggi. Berdasarkan survei dari sebuah lembaga, perbankan secara rata-rata selalu menjadi sektor teratas dalam hal memberikan salary yang tinggi kepada karyawannya, dibanding sektor lainnya seperti pertambangan, properti atau migas.
Akan tetapi gaji tinggi tidak melulu menjadi jaminan moncernya kinerja perusahaan, atau paling tidak berfungsinya proses internal bahkan minimnya kesalahan pegawai. Malahan boleh dibilang, risiko tinggi dari fraud karyawan terus menghantui lembaga-lembaga keuangan terutama perbankan meski pendapatan mereka sudah tinggi.
Risiko operasional lazimnya muncul dari faktor manusia dan juga sistem yang mempengaruhi jalannya bisnis bank. Risiko itu dapat menimbulkan kerugian keuangan secara langsung maupun tidak langsung, atau minimal dapat mengakibatkan kerugian potensial atas hilangnya kesempatan memperoleh keuntungan.
Risiko ini, sebagaimana disebut oleh otoritas lembaga keuangan, merupakan risiko yang melekat pada setiap aktivitas bank, seperti kegiatan intermediasi, tresuri, dan investasi. Selain itu juga risiko yang muncul pada pengelolaan sumber daya manusia perbankan itu sendiri.
Buat perbankan, risiko operasional merupakan ancaman yang paling sering terjadi yang pada akhirnya berujung pada pembobolan dana bank. Menurut pakar hukum dari Universitas Trisakti Yenti Garnasih, pembobolan itu kerapkali terjadi disebabkan ulah karyawan bank itu sendiri. “Sebetulnya sulit sekali membobol bank tanpa ada kerja sama dengan pihak bank, apalagi bila sistem kontrol berjalan dengan baik yang didukung dengan kecanggihan teknologi perbankan,” kata dia.
Lalu mengapa di industri yang memberikan gaji selangit dan tingkat kesejahteraan tinggi, masih ada saja karyawannya yang ‘mencuri’ atau melakukan tindakan yang merugikan perusahaannya sendiri? Jawabannya, bisa jadi, karena kurangnya kepuasan karyawan dalam bekerja atau juga kurangnya rasa memiliki perusahaan. Lebih dari itu, menurut pengalaman beberapa perusahaan global, penyebab yang lebih mendasar adalah kurang engaged-nya karyawan terhadap perusahaan.
Kepuasan karyawan (employee satisfaction) saja, pada saat ini sudah dianggap kurang memadai bagi organisasi untuk menunjang kinerja karyawan. Bisa saja terjadi karyawan yang memiliki kepuasan tinggi, justru tidak termotivasi untuk menunjukkan kinerja yang terbaik atau minimal berkontribusi positif pada perusahaan. Ironisnya ada sebagian di antaranya justru hanya menerima kepuasan dari fasilitas dan gaji yang diberikan perusahaan tanpa memberikan kontribusi untuk kesuksesan perusahaan.
Perusahaan-perusahaan yang paham dalam pengelolaan SDM yang baik, biasanya memiliki apa yang dinamakan “paket kesejahteraan”. Paket Kesejahteraan yang bagus merupakan hal penting dalam menarik talenta terbaik di pasar tenaga kerja kompetitif. Perusahaan-perusahaan yang kini banyak berkantor di Silicon Valley, banyak yang mengkonsep hal itu.
Banyak dari perusahaan itu menyulap kantornya seperti taman bermain bahkan karyawannya bisa makan gratis, bermain bilyar, mini golf, karaoke, bahkan tidur di kantor. Sekilas karyawan akan merasa nyaman di kantor dan merasa puas bekerja di perusahaan itu.
Namun fasilitas yang mentereng dan program-program kesejahteraan yang mahal itu ternyata tidak lantas membuat talenta-talenta perusahaan lebih engaged dengan perusahaan. Berdasarkan riset global yang dipublikasikan Harvard Business Review pada 2013, fasilitas ‘wah’ tersebut justru bisa menumbuhkan “disengagement” sehingga organisasi justru akan diisi oleh orang-orang yang tidak tepat.

Engagement bukan Satisfaction
Hal itu diakui oleh Willy Saelan, Direktur Sumber Daya Manusia Unilever Indonesia, yang mengatakan bahwa karyawan tidak melulu merasa puas dengan gaji tinggi ataupun tingkat kesejahteraan yang baik. “Ada keinginan lain dari mereka terutama untuk memuaskan batinnya. Kalau saya sendiri misalnya, merasa puas kalau bisa berkontribusi terhadap lingkungan sosial,” kata dia.
Ketika banyak karyawan puas atas pekerjaannya tetapi perusahaannya justru tidak mendapatkan kontribusi maksimal dari si karyawan, maka bisa dipastikan belum ada employee engagement di sana. Employee engagement atau bisa dipadankan dengan istilah keterlibatan karyawan, akan terlihat jelas pada kinerja perusahaan yang menanjak berkesinambungan.
Namun demikian, strategi itu belumlah menjadi strategi populer bagi industri keuangan dalam mendongkrak ataupun menjaga kinerja bisnisnya. Padahal employee engagement mampu mendorong karyawan melakukan pekerjaannya secara luar biasa, bahkan lebih dari ekspektasi perusahaan. Sebaliknya strategi employee satisfaction, hanya mendorong seorang karyawan untuk memikirkan kesuksesan dirinya sendiri.
                Untuk meningkatkan engagement karyawan, di Unilever, kata Willy, karyawannya diwajibkan untuk menuliskan apa tujuannya (purpose) dalam hidup dan dalam bekerja. Perusahaan melalui manajernya, kemudian, bersama karyawan itu mencari jalan agar bisa mewujudkan dan mengembangkan purpose tersebut. “Sehingga karyawan tidak melulu meminta gaji lebih tinggi. Dia sudah mendapatkan kepuasan karena my purpose of life has been serve,” kata dia.
Dalam sistem internal Unilever, lanjut Willy, dalam satu tahun setelah berdiskusi dengan manajernya, harus membuat peta purpose dari kondisi setahun belakangan dan bagaimana purpose tersebut mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
                Sementara itu, berdasarkan penelitian Harvard seperti yang disebutkan di atas dikatakan, karyawan yang melibatkan diri dengan sepenuh hati terhadap pekerjaannya (highly-engaged employee) adalah solusi dari pertumbuhan maupun strategi bertahan hidup dalam bisnis. Highly-engaged employee, bisa diibaratkan sebagai pasukan tempur khusus yang dimiliki perusahaan untuk menjamin perusahaan tetap berkinerja baik meski dalam kondisi ekonomi yang berat.
Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap tumbuhnya employee engagement. Menurut studi Harvard yang sama, tiga pendorong teratas adalah recognition for high performers, clear understanding how job contributes to strategy, dan communication strategy from senior leadership.
Dalam sambutannya dalam acara Indonesia Employee Engagement Award yang diselenggarakan oleh Majalah Stabilitas 1 Maret lalu, Ketua Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D Hadad mengatakan bahwa karyawan yang engaged itu akan sangat memengaruhi kinerja perusahaan. “Sudah banyak survei dan juga penelitian yang mengaitkan antara engagement dengan performance atau engagement dengan kinerja perusahaan,” kata dia.
Menurut Muliaman, ada tiga hal penting dalam mewujudkan keterlibatan penuh karyawan pada perusahaan. Pertama, adalah kepemimpinan (leadership) yang kuat. Hal itu penting karena seorang leader yang baik lazimnya bisa memberikan perspektif mau dibawa ke mana organisasi atau perusahaan itu. Perspektif menggambarkan cakupan berbagai hal yang dihadapi oleh perusahaan, kemudian ini memberikan kesempatan bagi karyawan untuk memikirkan positioning masing-masing di dalam menyusun perjalanan ke depan perusahaan itu.
“Jadi kalau disurvei, engagement yang baik itu biasanya selalu diasosiasikan dengan leadership yang kuat. Menurut saya ini menjadi salah satu prasyarat penting membangun leadership yang kuat yang kemudian mampu memberikan perspektif di dalam organisasi. Ini kemudian akan menghasilkan engagement yang baik,” jelas Muliaman.
Faktor kedua adalah, adanya kebanggaan bekerja pada organisasi atau perusahaan tersebut yang kemudian menimbulkan antusiasme dari karyawan dan akhirnya mengasilkan output kinerja yang baik. Kebanggaan menjadi karyawan suatu perusahaan itu menjadi satu hal yang penting, kata Muliaman, walaupun kebangaan itu satu hasil, satu proses dari beberapa elemen yang mengakibatkan munculnya rasa bangga menjadi karyawan organisasi. “Ini sangat straight power, sangat common sense. Orang begitu bangga menjadi karyawan kemudian antusias, ini tentu saja menjadi suatu engagement tinggi nantinya,” ujar dia.
Faktor terakhir, kata Muliaman adalah hubungan yang harmonis lewat membangun komunikasi yang baik. Menurut dia, hal ini juga menjadi satu elemen yang saling berkaitan satu sama lain. “Pemimpin yang baik tentu saja bisa membangun iklim komunikasi yang baik dan komunikasi yang baik ini yang pada dasarnya mendorong engagement yang saya kira juga meningkat,” ujar dia.



Menyiapkan Pendorong Ekonomi Digital

Praktik digital dalam bidang ekonomi sudah tidak bisa dibendung lagi. Otoritas sudah seharusnya merespons dengan menyiapkan aturan agar transaksi digital bisa berpengaruh positif pada ekonomi Indonesia.


Ekonomi digital yang sebelumnya masih belum dipahami, kini seolah sudah menjadi praktik sehari-hari. Hampir semua pihak sudah menganggap praktik ini tidak bisa lagi dianggap hanya urusan sektor teknologi semata.
Bahkan berdasarkan publikasi McKinsey Global Institute pada 2016, ekonomi digital memberikan kontribusi sebesar 22 persen terhadap output ekonomi global. Selain itu, dikatakan bahwa aplikasi teknologi digital diperkirakan akan meningkatkan PDB global sebesar 2 trilliun dollar AS pada tahun 2020.
Sayangnya, pemanfaatan ekonomi digital di Indonesia sendiri sampai saat ini masih belum optimal. Seperti dilaporkan Asian Development Bank pada 2016 bahwa kontribusi perdagangan elektronik (e-commerce) pada pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kurang dari 1 persen. Sangat minim jika dibandingkan dengan Tiongkok yang kontribusi e-commerce-nya mencapai 9-10 persen.
Otoritas sektor keuangan, sebagai salah satu pihak yang paling concern dengan praktik ekonomi digital, akan tetapi tidaklah berdiam diri. Sejak setahun belakangan, lembaga itu mencari cara untuk membuat praktik digital itu tumbuh di satu pihak, namun tidak memberikan ancaman kepada ekonomi di pihak lain.
Yang terbaru, Otoritas Jasa Keuangan berjanji akan merilis sebuah peraturan baru terkait pihak-pihak yang memiliki bisnis pada bidang ekonomi digital terutama di bidang pembayaran dan pinjam meminjam atau biasa disebut dengan perusahaan fintech. Nantinya aturan tersebut akan fokus mengatur mengenai perusahaan fintech yang bisa menyalurkan pendanaan ke masyarakat dari kas internalnya sendiri atau on balance sheet.
Sebelumnya, lembaga itu sudah merilis aturan mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang diterbitkan akhir 2016 lalu. Regulasi itu  diterbitkan khusus untuk mengatur fintech berbasis peer to peer lending alias usaha fintech yang melakukan penyaluran modal dari pemilik modal ke penerima dana.
"Targetnya (peraturan baru terbit) sebelum saya mengakhiri tugas saya di Dewan Komisioner OJK. Mudah-mudahan April-Mei bisa selesai," kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Firdaus Djaelani.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang OJK, lembaga itu sudah menyiapkan regulasi terkait ekonomi digital. Institusi tersebut bahkan membentuk “Tim Pengembangan Inovasi Digital Ekonomi dan Keuangan” yang terdiri dari gabungan sejumlah satuan kerja di OJK untuk mengkaji dan mempelajari perkembangan fintech dan menyiapkan peraturan, serta strategi pengembangannya.
“OJK secara intensif terus mempelajari perkembangan fenomena fintech ini, agar OJK dapat mengawal evolusi ekonomi ini supaya mampu mendukung perkembangan industri jasa keuangan ke depan dan terus menjamin perlindungan konsumen,” kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto, di Jakarta.
Kehadiran fintech, bagi OJK sebagai otoritas jasa keuangan merupakan peluang untuk terus meningkatkan perkembangan sektor tersebut terutama untuk mendorong program inklusi keuangan. akan tetapi sebagai lembaga pengawas OJK juga harus memastikan keandalan, efisiensi dan keamanan dari transaksi online agar tidak merugikan konsumen.
Rencana tersebut antara lain peluncuran Fintech Innovation Hub sebagai sentra pengembangan dan menjadi one stop contact Fintech nasional untuk berhubungan dan bekerja sama dengan institusi dan lembaga yang menjadi pendukung ekosistem keuangan digital. Selain itu menindaklanjuti perjanjian bersama Kominfo, OJK menyiapkan Certificate Authority (CA) di sektor jasa keuangan.
CA sebagai penerbit sertifikat suatu tanda tangan digital pelaku jasa keuangan, dapat menjamin bahwa suatu transaksi elektronik yang ditandatangani secara digital telah diamankan dan berkekuatan hukum sesuai ketentuan yang ada di Indonesia.
Rencana lainnya adalah penerbitan Sandbox Regulatory untuk fintech. Peraturan ini mengatur hal-hal yang minimal agar tumbuh kembang fintech memiliki landasan hukum untuk menarik investasi, efisiensi, melindungi kepentingan konsumen dan tumbuh berkelanjutan.
Selain OJK, bank sentral juga tidak kalah sigap dalam menyikapi perkembangan ekonomi digital. Pada akhir tahun lalu, Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran bahkan sudah meresmikan fintech office, untuk mendukung perkembangan transaksi keuangan berbasis teknologi.
Menurut BI, fintech office didirikan dengan empat tujuan utama. Pertama, memfasilitasi perkembangan inovasi dalam ekosistem keuangan berbasis teknologi di Indonesia. Kedua, mempersiapkan Indonesia untuk mengoptimalkan perkembangan teknologi dalam rangka pengembangan perekonomian. Ketiga, meningkatkan daya saing industri keuangan berbasis teknologi Indonesia. Keempat, menyerap informasi dan memberikan umpan balik untuk mendukung perumusan kebijakan Bank Indonesia, sebagai respons terhadap perkembangan berbasis teknologi. 
Untuk mencapai tujuan utama tersebut, fintech office akan beroperasi dengan empat fungsi, yaitu fungsi katalisator atau fasilitator, fungsi business intelligence, fungsi asesmen, serta fungsi koordinasi dan komunikasi. “Bank Indonesia Fintech Office dilengkapi pula dengan regulatory sandbox, yang memungkinkan unit usaha fintech melakukan kegiatan secara terbatas, tentunya setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,” kata Direktur Department Komunikasi BI, Arbonas Hutabarat, dalam pernyataan resminya.

Respons Pemerintah

Respons yang sigap tidak hanya ditunjukkan oleh otoritas keuangan, pemerintah daerah pun tidak mau ketinggalan untuk memanfaatkan perkembangan ekonomi digital. Salah satunya, adalah Kotamadya Bandung, Jawa Barat. Kota yang terkenal akan kreatifitasnya ini sudah terlebih dahulu memproklamirkan diri sebagai kota yang ramah digital. 
Sejak 2011, kota tersebut telah menginisiasi pembentukan Bandung Digital Valley (BDV) yang memang terinspirasi konsep Sillicon Valley yang ada di Amerika Serikat yang menjadi lokasi tempat bernaungnya perusahaan-perusahaan IT terkemuka dunia, seperti Google.
“Keunggulan kompetitif masyarakat bukan karena penguasaan terhadap sumber daya alam, melainkan ditentukan oleh kemampuan mengolah sumber daya buatan,” demikian sambutan tertulis Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil pada Lokakarya dan Jaring Masukan Daerah Peluang dan Tantangan Pengembangan Ekonomi Digital di Indonesia, Kamis (9/3) di Bandung, Jawa Barat.
Hal itulah yang mendorong Bandung yang secara faktual tidak memiliki sumber daya alam berlimpah memilih untuk menguatkan sumber daya manusia dan berorientasi pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Konsep ekonomi kreatif ini menjadikan Bandung sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan eknomi terbaik di Indonesia, yakni sebesar 8,5 persen di akhir tahun 2015.
                Pemerintah sendiri tengah menyiapkan roadmap pengembangan e-commerce di Indonesia agar dapat membantu menciptakan ekosistem yang mendukung guna terwujudnya 1.000 technopreneurs dan mendongkrak nilai e-commerce Indonesia sebesar 130 milliar dollar AS di tahun 2020.
                Tahun lalu, pemerintah telah mengumumkan akan menerbitkan aturan mengenai peta jalan perdagangan elektronik. Melalui Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin nasution, pemerintah berjanji akan memberikan kepastian dan kemudahan berusaha dalam memanfaatkan e-commerce dengan menyediakan arah dan panduan strategis untuk mempercepat pelaksanaan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik pada periode 2016-2019.
Kebijakan ini nantinya akan mengutamakan dan melindungi kepentingan nasional, khususnya terhadap UMKM serta pelaku usaha pemula (start-up). Selain itu, juga mengupayakan peningkatan keahlian sumber daya manusia pelaku e-commerce. Kebijakan ini akan menjadi acuan bagi Pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya dalam menetapkan atau menyesuaikan kebijakan sektoral demi pengembangan e-commerce.
“Selama ini kita memang belum memiliki peta jalan pengembangan e-commerce nasional yang menjadi acuan pemangku kepentingan, di samping adanya berbagai peraturan/ketentuan yang tidak mendorong tumbuh kembangnya e-commerce,” kata Darmin.
Sementara itu, di tataran internasional, pembahasan ekonomi digital semakin bergulir, diantaranya di forum G20, WTO dan APEC. Diskursus di WTO yang pada saat ini fokus kepada pembahasan moratorium pengenaan bea masuk bagi bisnis e-commerce juga menjadi pekerjaan rumah bagi setiap anggota dalam konteks perundingan di WTO.
(dipublikasikan Maret-April 2017)



Private Bank Singapura Meradang

Layanan andalan Singapura yang mengelola duit orang-orang kaya mulai limbung karena dampak kebijakan amnesti pajak yang digulirkan pemerintah RI sejak tahun lalu. Sejalan dengan itu, jumlah orang kaya di Negeri Singa itu diprediksi terus menyusut.


Setiap isu yang berkenaan dengan nasabah kaya di Indonesia hampir selalu dikaitkan dengan sektor keuangan di Singapura. Pun demikian, ketika tahun lalu pemerintah mengumumkan Program Pengampunan Pajak yang mengincar konglomerat-konglomerat nasional yang ditengarai banyak mengemplang pajak. Singapura sontak kegerahan.
                Sejak awal program yang memberikan fasilitas amnesti pajak itu bergulir, pelaku jasa keuangan di Negeri Singa sudah ketar-ketir. Hal itu tidak mengherankan karena sudah menjadi rahasia publik kalau banyak orang kaya di Indonesia yang mendepositokan dananya di Singapura. Bahkan sempat muncul isu bahwa mereka akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan duit nasabah kaya Indonesia agar tetap bertahan di sana.
                Kini, Kebijakan Tax Amnesty sudah memasuki tahap akhir. Meski banyak pihak menilai bahwa target dari kebijakan itu meleset dari yang awal-awal ditargetkan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa perbankan Singapura terpukul oleh Program Tax Amnesty itu, terutama pada layanan private banking.
                Alwas Kurniadi Yarman, seorang private bankers di Jakarta menegaskan kembali hal itu ketika dia bersama keluarganya liburan di Negeri Singa akhir tahun 2016 lalu. “Sekarang Orchard Road sudah mulai sepi,” kata dia yang sudah sekitar dua dekade berada dalam layanan nasabah orang kaya.
                Selama ini kawasan elit di negeri jiran itu selalu penuh terutama pada musim liburan dan biasanya dipenuhi oleh pelancong-pelancong asal Indonesia. Mungkin indikator itu tidak terlalu kuat untuk membuktikan bahwa tetangga dengan wilayah terkecil itu memang tengah meradang.
                Namun Alwas menyebutkan kalau para relationship manager (RM) asal bank Singapura juga sudah mulai panik karena pasar mereka yang makin mengecil. Bank-bank seperti DBS, OCBC atau UOB mengintensifkan daya jelajahnya untuk menggarap pasar RI dan lalu menawarkan produk-produk bank eksklusif kepada orang kaya RI.
                “Kini private bankers mereka dalam seminggu, bisa tiga hari di Jakarta, tiga hari di Singapura, hanya untuk bertemu atau menawarkan layanan wealth management-nya ke nasabah kaya di Indonesia,” kata Alwas.
                Diakui Alwas, intensifnya para RM dari bank-bank Singapura menyambangi Ibukota Negara tidak terlepas dari tuah program amnesti pajak yang sudah dijalankan pemerintah sejak tahun lalu. Hasil dari pengembalian dana-dana miliki konglomerat RI yang disimpan di luar negeri tidak bisa dibilang sedikit. Hingga Januari atau akhir periode kedua dari Program Pengampunan Pajak, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, nilai deklarasi harta wajib pajak telah menembus angka Rp 4.296 triliun. Adapun jumlah uang tebusan berdasarkan SPH yang disampaikan mencapai Rp 103 triliun.
                Pada September tahun lalu, media lokal Singapura banyak memberitakan keberatan atau kekhawatiran dari banyak pihak di sana mengenai kebijakan yang akan memulangkan dana-dana milik orang Indonesia ke kampung halamannya. Jumlah rekening milik nasabah Indonesia mencapai sekitar 200 miliar dollar AS (setara Rp2.700 triliun dengan kurs Rp13.500 per dollar AS) dari aset perbankan swasta yang dikelola di Singapura, atau 40 persen dari total.
                Karenanya tidak mengherankan jika bank-bank Singapura akan sangat terpukul dengan dampak dari tax amnesty dan berusaha keras untuk menampung kembali dana-dana itu dengan menjemput bola hingga ke Jakarta. “Bahkan tidak jarang mereka juga bikin gathering-gathering di hotel-hotel besar di Jakarta untuk menjaring nasabah kaya indonesia agar kembali menaruh duitnya dengan ikut layanan wealth management mereka,” kata Alwas.

Singapura Limbung        
Dalam laporan di awal 2016, orang kaya di Singapura disebutkan telah mengalami penurunan. Menurut sebuah studi oleh konsultan properti yang berbasis di Inggris, Knight Frank orang kaya Singapura dengan kekayaan lebih dari 30 juta dollar AS (atau lebih dari Rp400 miliar) telah susut. Jumlah orang super-kaya itu turun dari 2.565 orang pada 2014 menjadi 2.360 orang di awal 2016.
Hal itu kemudian menempatkan Singapura di tempat keenam dalam tabel liga global, di belakang New York (5.600), London (4.905), Hong Kong (3.854), Moskow (3.457) dan Los Angeles (2.820).
Penurunan jumlah orang super-kaya di Singapura sebenarnya juga merupakan fenomena global. Pada tahun 2015, menurut riset New World Health, hampir 6.000 orang terlempar dari jajaran orang-orang ultra-kaya (ultra-high net worth individuals/ UHNWI). Penyusutan hampir tiga persen dari data tahun sebelumnya itu mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Laju pertumbuhan ekonomi global melambat di tahun 2015, sementara pertumbuhan ekuitas, komoditas dan harga aset lainnya juga melambat. Bahkan, sebagian besar indeks pasar saham utama turun pada tahun 2015.
"Beberapa negara yang tumbang dengan angka paling besar termasuk Kanada, yang berakhir turun 24 persen, Singapura, di mana ekuitas turun 20 persen, dan Afrika Selatan dengan jatuh 23 persen,” jelas Andrew Amoils, Kepala Riset New World Wealth, seperti dikutip dari riset itu.
Sementara itu, menurut Boston Consulting Group, sebuah lembaga konsultan dan riset dunia, dalam bisnis layanan pengelolaan nasabah, wilayah Asia Pasifik adalah satu-satunya wilayah yang mencatat pertumbuhan dua digit pada tahun 2015. Jumlah kekayaan pribadi di wilayah itu meningkat 13 persen menjadi 37 triliun dollar AS. Ekspansi itu lebih didorong oleh meningkatnya pendapatan rumah tangga dibandingkan kinerja aset
China, dalam laporan yang dipublikasikan medio 2016 itu, dinilai tetap motor pertumbuhan utama di wilayah ini. Pertumbuhan kekayaan Asia-Pasifik diperkirakan akan terus berlanjut sampai tahun 2020, meskipun pada kecepatan yang berkurang dibandingkan pada 2015, karena kemungkinan volatilitas pasar yang sedang berlangsung di seluruh wilayah.
Secara keseluruhan, Asia-Pasifik akan terus mendapatkan pangsa total kekayaan global melalui 2020 (dari 22 persen pada tahun 2015 menjadi sekitar 27 persen pada tahun 2020), sebagian besar didorong oleh penciptaan kekayaan baru yang bertentangan dengan kinerja aset yang ada.
Secara regional pula, menurut lembaga konsultan itu, wilayah Asia Pasifik terutama Indonesia, bersama China, Taiwan dan Hong Kong, disebut sebagai sumber terbesar dari nasabah-nasabah kaya dunia. Bahkan lembaga itu tidak menyebut Singapura di dalamnya, padahal sebelumnya dianggap sebagai pusat dari aset-aset yang jumlahnya melimpah.
Riset tersebut sejatinya tidak bertolak belakang dengan yang terjadi di Tanah Air. Sampai menjelang akhir 2016, jumlah rekening bank di Indonesia yang memiliki dana di atas Rp 2 miliar naik 1,91 persen, dari 228.148 rekening (Oktober 2016) menjadi 232.501 rekening (November 2016).
Jumlah nominal dana simpanannya juga naik 1,89 persen (MoM), dari Rp 2.666,474 triliun (Oktober 2016) menjadi Rp 2.716,864 triliun (November 2016). Hingga akhir November 2016, total simpanan nasabah perbankan di Indonesia adalah Rp 4.809,306 triliun, naik Rp 80,37 triliun atau 1,7 persen dibanding posisi akhir Oktober 2016.
Jika dibandingkan setahun sebelumnya, jumlah itu meningkat cukup pesat. Pada November 2015, jumlah rekening dengan simpanan dengan nilai di atas Rp2 miliar masih berada di angka 220.608. Sementara, nominal keseluruhan simpanan di atas Rp2 miliar masih berada di angka Rp 2.503 triliun.
Jumlah orang kaya di Indonesia dari masa ke masa selalu bertambah. Pada tahun 2016, berdasarkan Wealth Report 2016 yang dilansir oleh Knight Frank, terdapat 48.500 orang dengan kekayaan di atas 1 juta dollar AS. Padahal, pada satu dekade sebelumnya atau tahun 2005, kalangan dengan aset sekitar Rp13 miliar lebih itu tercatat hanya 10.800 orang, atau telah melonjak hingga 400 persen dalam satu dekade.
Menurut laporan itu, jumlah orang kaya dengan aset 1 juta dollar AS mencapai 26.600 orang. Lalu orang kaya beraset di atas 10 juta dollar AS, jumlahnya sebanyak 2.530 orang dan orang dengan aset 30 juta dollar AS, jumlahnya mencapai 1.096 orang. Terakhir, sisanya jumlah orang yang sangat kaya dengan kekayaan lebih dari 100 juta dollar AS,  sekitar 200 orang.
Knight Frank menghitung aset jutawan dolar itu berdasarkan aset tak bergerak, seperti properti yang meliputi vila, hotel, pergudangan, dan kondotel. Begitu juga dengan aset bergeraknya seperti saham. Aset yang dihitung itu tidak termasuk rumah pribadi yang didiami. Lembaga itu memproyeksi, hingga sepuluh tahun mendatang, jumlah jutawan di Indonesia akan melejit 112 persen.





               


Lembaga Rating Bikin Pusing

Lembaga pemeringkatan kredit memiliki dua wajah. Ia bisa membuat dana-dana asing masuk ke sebuah negara dengan kesimpulan yang baik dalam lembaran risetnya. Sebaliknya jika ia memberi pemeringkatan yang ‘buruk’ bagi sebuah negara, alamat negara itu akan menghadapi ujian berat.


  
“There are two superpowers in the world today in my opinion. There’s the United States and there’s the Moody’s Bond Rating Service. The United States can destroy you by dropping bombs and Moody’s can destroy you by downgrading your bonds. And believe me, it’s not clear sometimes who’s more powerful.” Kalimat tersebut keluar dari seorang jurnalis AS dan pemenang tiga kali hadiah Pulitzer,  Thomas Friedman pada 1996.
                Lebih dari 20 tahun, apa yang dikatakan jurnalis yang kini menjadi kolumnis tetap di The New York Times, media paling berpengaruh di Negeri Paman Sam itu, tampaknya masih terbukti. Lembaga pemeringkat masih menjadi pihak yang mampu mempengaruhi perekonomian suatu negara, atau minimal dikhawatirkan akan memberi dampak buruk.
                Apa yang terjadi pada Indonesia ketika memasuki masa-masa awal tahun baru lalu bisa menjadi bukti. Setelah mendapatkan penilaian ‘buruk’ dari sebuah lembaga keuangan global, pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak menggunakan jasa lembaga itu lagi. Lembaga itu adalah JP Morgan Chase Bank NA. Persoalannya tidak berhenti di situ karena lembaga itu sekaligus juga ditunjuk sebagai agen penjual obligasi negara RI sekaligus sebagai bank penampung dana-dana dari program pajak.
                JP Morgan mengeluarkan riset yang memangkas rekomendasi kepemilikan aset‎ Indonesia dari overweight menjadi underweight dengan alasan yang dinilai tidak kredibel.   Ada tiga peringkat a la JP Morgan ini yaitu Overweight, Neutral, dan Underweight. Peringkat Overweight artinya adalah selama 6 hingga 12 ke depan, pasar keuangan akan bergerak di atas rata-rata ekspektasi dari para analis. Neutral artinya dalam rentang yang sama, pergerakannya sesuai espektasi. Sedangkan underweight artinya di bawah espektasi atau diperkirakan lebih buruk.
Atas peringkat Indonesia yang turun drastis, maka JPMorgan menyarankan agar investor untuk berpikir membeli surat utang dari negara lain yang lebih baik. JP Morgan tak menjelaskan secara rinci terkait alasan melakukan penurunan peringkat atas Indonesia. Namun, JP Morgan menyatakan, pasca pemilu AS, imbal hasil obligasi 10 tahun bergerak dari 1,85 persen menjadi 2,15 persen.
Riset tersebut kemudian direspons oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lewat surat Nomor S-1006/MK.08/2016 tanggal 17 November 2016. Dalam surat itu, Sri Mulyani menyatakan, riset berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Bahkan Kemenkeu menganggap lembaga keuangan yang mengumpulkan pembayaran hukuman dalam program amnesti pajak dan distributor terbesar dari obligasi pemerintah Indonesia di luar negeri telah mempermainkan Indonesia.
Pemerintah kemudian memutuskan semua hubungan kemitraan dengan JP Morgan dan membuat lembaga itu tidak boleh lagi menerima setoran penerimaan negara Indonesia dari siapapun. “Pemutusan kontrak kerja sama ini berlaku efektif per 1 Januari 2017,” kata Dirjen Perbendaharaan Marwanto Harjowiryono dalam suratnya bertanggal 9 Desember 2016 kepada Direktur Utama JP Morgan di Jakarta, lewat siaran resminya.
Pemerintah juga menambahkan bahwa riset yang dirilis JP Morgan pada 13 November lalu merupakan bentuk ketidakprofesionalan manajemen bank tersebut. Riset itu membuat investor enggan membeli surat berharga negara (SBN) yang seharusnya dijual JP Morgan sebagai salah satu mitra penjualan surat berharga negara (SBN) pemerintah. Ketika SBN tersebut tidak laku diserap investor, bank itu kemudian memborongnya dengan harga murah untuk kemudian dilepas kembali. JP Morgan terakhir kali mengikuti lelang SUN pada 8 November 2016 untuk seri SPN03170209 dan SPN12171109 dengan target indikatif Rp10 triliun dan maksimal Rp15 triliun.
Sebagian publik memuji langkah Kementerian Keuangan yang berani memecat lembaga keuangan bertaraf internasional karena dianggap merugikan negara. Selain itu, JP Morgan juga dianggap tidak etis dan profesional, karena selain memiliki divisi riset yang menjual riset, ia juga memiliki divisi pemasaran yang bertugas menjual obligasi beberapa negara yang dengannya ia mendapatkan komisi.
Meski begitu ada juga yang menganggap keputusan itu berlebihan. Kondisi keuangan RI cukup menjadi alasan penurunan pemeringkat dari lembaga rating itu. Indonesia masih didera shortfall atau selisih antara target dan penerimaan pajak pada 2016 yang masih cukup tinggi, yaitu diprediksi di atas Rp 230 triliun, kendati sudah dibantu dengan pengampunan pajak. Jika penerimaan tidak tercapai, defisit dipastikan terus melebar di atas 2,7 persen terhadap PDB.
Selain itu, kondisi fiskal yang gawat ini berkaitan dengan kebergantungan pemerintah terhadap utang. Meskipun sering terdapat klaim rasio utang terhadap PDB masih aman, di bawah 30 persen, pengukuran tingkat risiko utang terlalu sederhana jika hanya dibandingkan dengan PDB. Lihat misalnya defisit keseimbangan primer atau kemampuan bayar utang dibanding sisi penerimaan, angkanya sangat mengejutkan, yakni Rp105,5 triliun, atau meningkat dibanding 2014 yang masih Rp93,3 triliun.
Karena itu, menurut peneliti Indef, Bhima Yudhistira, analisis JP Morgan sebenarnya hanya menguatkan analisis lembaga pemeringkat sebelumnya. “Tidak ada yang baru dari rekomendasi JP Morgan untuk menjual surat utang Indonesia karena adanya kenaikan risiko,” kata dia.
Sebelumnya, pada Agustus 2015, di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, pemerintah sudah pernah melayangkan keberatan atas hasil laporan JP Morgan. Bahkan saat itu pemerintah menuding JP Morgan membuat panik dan mengancam stabilitas keuangan domestik.
Sejatinya, tidak hanya di Indonesia saja hubungan negara dengan lembaga rating sempat memanas. Di AS, pada 2013 pasca krisis subprime mortgage, pemerintah lewat Departemen Kehakiman menuntut Standard & Poor (S&P), karena lembaga pemeringkat itu melakukan penipuan. Selain itu juga karena lembaga itu menerbitkan pemeringkatan yang dinilai untuk terlalu menguntungkan pihaknya dan agar klien meningkatkan permintaan atas layanannya.
Pada Februari 2015 kasus diakhiri dengan pengenaan denda kepada S&P sebesar 1,37 miliar dollar AS, kurang dari sepertiga dari tuntutan awal Departemen Kehakiman sebesar 5 miliar dollar AS. Namun hal tersebut tidak mengurangi kesimpulan Departemen Kehakiman AS bahwa lembaga rating itu "menyesatkan publik dan menipu investor".

Apa Manfaat Rating?

Pertanyaan yang sering muncul di benak orang kebanyakan, apa sih pentingnya pemeringkatan ini? Dalam perekonomian yang sudah mengglobal saat ini, investor antar negara umumnya akan mencari informasi sebelum memutuskan menaruh dana di negara tertentu dan secara spesifik pada instrumen investasi tertentu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa tinggi risiko yang harus ditanggung dan seberapa tinggi hasil investasi yang diharapkan sebagai kompensasi dari risiko yang harus mereka tanggung.
Nah, untuk mempermudah mendapatkan informasi itu, dan dalam praktik bertahun-tahun kemudian, muncullah alat ukur kelayakan kredit yang dijadikan pedoman oleh pemilik dana. Di situlah sebuah lembaga muncul mengisi celah tersebut yang melakukan pemeringkatan kredit (credit rating) dengan indikator dan analisis yang dimilikinya.
Dalam konteks indikator ekonomi, peringkat kredit suatu negara mencerminkan kelayakan kredit sebuah negara yang didasarkan kemampuan negara itu membayar kembali utang-utangnya sehingga tidak menimbulkan risiko gagal bayar. “Peringkat kredit dihitung dari sejarah keuangan dan aset dan kewajiban lancar," tulis riset PT Eastpring Investment Indonesia, perusahaan Manajer Investasi dan bagian dari Prudential Corporation Asia.
Sementara itu, peringkat dari credit rating agency itu, bagi sebuah negara ibarat etalase yang menunjukkan bagus atau tidaknya ekonomi mereka, sebagai bahan investor sebelum memutuskan membeli obligasi yang diterbitkannya atau tidak.
Akan tetapi, keberadaan lembaga rating ini tidak melulu diterima sepenuhnya. Pasalnya CRA kerap dituduh sebagai biang keladi setiap pergolakan pasar modal. Banyak riset yang membuktikan, sovereign credit rating suatu negara berkorelasi negatif dengan indeks tekanan pasar spekulatif (speculative market pressure index). Imbas-imbasnya menjadi semakin kuat dari sebelumnya pada kasus pasar modal pada negara berkembang.
“Pada negara-negara berkembang korelasi negatif ini diperkuat oleh ketidakpastian dan pasar negara berkembang dikenal sebagai negara dengan tingkat derajat yang lebih rendah pada stabilitas politik, transparansi serta indikasi tingginya assymetric information,” kata Siaga Ridha Hutama, staf salah satu Bank BUMN dalam blognya yang dipublikasikan di sebuah media daring.
Jadi, tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa, kalimat Thomas Friedman di atas, justru lebih jelas terlihat pada negara-negara berkembang, seperti Indonesia. (dipublikasikan pada Februari-Maret 2017)