Selasa, 17 Desember 2019

Dari Reputasi ke Legacy


  
“It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it. If you think about that, you’ll do things differently.” (Warren Buffet)

Bagi sebuah perusahaan reputasi yang baik adalah hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Risiko lainnya masih bisa dihadapi perusahaan dengan lebih tenang, namun tidak dengan risiko reputasi.
Reputasi, ibarat sebuah gedung megah atau sebuah rumah mewah, dibangun dengan sangat material yang paling bagus dan dilakukan dengan hati-hati sedari awal. Proses itu tentu tidak pernah bisa dibangun dalam waktu singkat, ia merupakan proses yang dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun.
                Ada beberapa hal yang membentuk reputasi perusahaan, seperti social
responsibility, emotional appeal, financial performance, product and service, vision and leadership, dan workplace environment.
                Beberapa tahun belakangan ini, Bank Mandiri tampaknya tengah menikmati reputasi yang disematkan publik padanya bahwa mereka adalah bank dengan bankir-bankir yang andal dan mumpuni. Tidak mengherankan jika lulusan bank tersebut –biasa dipanggil Mandirians, kerap menjadi rebutan bank-bank lain bahkan perusahaan di sektor lain.
                Yang teranyar adalah ketika Kartika Wirjoatmodjo dan Budi Gunadi Sadikin direkrut oleh pemerintah untuk menjadi Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara. Keduanya adalah lulusan Bank Mandiri, nama pertama adalah Direktur Utama yang masih menjabat, nama yang kedua adalah Direktur Utama sebelumnya.
                Fakta itu seolah menambah daftar Mandirians yang direkrut oleh lemabaga lain. Fenomena itu, kalau boleh dibilang dimulai oleh Agus Dermawan Wintarto Martowardojo, Direktur Utama Bank Mandiri 2005-2010, yang dipilih menjadi Menteri Keuangan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
                Padahal kalau boleh dibilang, bank ini adalah bank yang memiliki masalah fundamental ketika pertama kali dibentuk dari hasil merger empat bank pelat merah. Salah satu yang paling krusial adalah masalah penyamaan visi pegawainya yang berasal dari budaya kerja yang berbeda. Apalagi merger empat bank pemerintah pada 1998 itu terjadi di tengah ekonomi Indonesia dilanda krisis.
Robby Djohan yang sebelumnya dinilai berhasil dalam merestrukturisasi Maskapai Garuda ditunjuk sebagai pemimpin dalam proses pemulihan Bank Mandiri pada 1999. Robby yang mantan bankir Citibank bergerak cepat dengan membentuk sebuah tim yang dipercayainya bisa membantunya mereparasi Bank Mandiri. Belakangan beberapa orang dari tim itu juga dikenal sebagai bankir-bankir handal dalam soal merestrukturisasi bank bermasalah. Sebut saja, Agus DW Martowardojo dan Sigit Pramono. Dua nama itu merupakan anggota tim yang dipilih Roby Djohan dalam proses memulihkan Bank Mandiri pasca merger.
Dalam bukunya, Leading in Crisis: Praktik Kepemimpinan dalam Mega Merger Bank Mandiri (2006),  Robby bertutur bahwa pemimpin harus mampu menemukan inti masalah dan mempunyai kepercayaan diri bahwa ia mampu mengatasi masalah tersebut. Berikutnya, agar masalah bisa terurai lebih cepat, tulis dia, pemimpin harus membentuk tim yang ahli di bidangnya. Pemimpin juga harus mampu menularkan keyakinan mengatasi masalah kepada seluruh anggota timnya.
                Menurut Sigit Pramono ketika diminta komentar mengenai Robby beberapa tahun setelahnya, “Pak Roby pandai memilih anak buah yang membantu dia. Dia berani memilih orang-orang yang bakal lebih pintar dari dia supaya pekerjaaanya lebih mudah. Dan dia mengkader orang.”
Pada tahap awal proses transformasi Mandiri, ada dua hal pokok yang dibenahi Robby beserta tim yang dibentuk pada masa-masa awal yaitu masalah personalia atau SDM dan teknologi yang terkait dengan operasional. Kurang lebih tiga tahun proses itu dijalankan tim, strategi Robby diakui sukses. Masing-masing pegawai dinilai sudah tidak ada lagi yang membawa ego dari bank mana mereka berasal. Semuanya sudah bersatu dalam keluarga besar Bank Mandiri.
Bank Mandiri tampaknya tengah menikmati buah keberhasilan para founding fathers yang telah membangun fondasi SDM sedari awal. Tepat seperti yan dikatakan oleh Warren Buffet, begawan investasi global, bahwa dibutuhkan waktu 20 tahun untuk membangun sebuah reputasi.
                Namun pengelola SDM Bank Mandiri saat ini harus menyadari bahwa tantangan tidak berubah menjadi lebih ringan. Karena mereka harus menyiapkan penerus yang bisa mempertahankan reputasi itu, di saat generasi baby boomers yang banyak memberikan legacy harus digantikan oleh generasi milenial yang kini mendominasi.
                Eksodusnya generasi yang dalam nada bercanda kerap disebut generasi kolonial ini tentu diharapkan tidak ikut membawa segudang pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki mereka. Ada transfer of knowledge, transfer of wisdom kepada milenial dan bahkan Gen Z yang mulai menduduki jabatan-jabatan penting di Bank Mandiri.
                Reputasi yang dimiliki Bank Mandiri sekarang ini adalah legacy dari para founding fathers dan juga penerus-penerusnya. Dan saat ini legacy itu berada di tangan milenial dan Gen Z. Melihat kecenderungan generasi terkini itu dalam hal loyalitas pada perusahaan dan attitude bernada negatif lainnya yang disematkan pada mereka, memang muncul kekhawatiran. Apakah reputasi itu tetap akan menjadi legacy yang diturunkan para Mandirians dari generasi ke generasi?



Bankir Mandiri Mengambil Alih Panggung


Satu dekade belakangan banyak perusahaan di industri keuangan yang kini mengincar lulusan Bank Mandiri untuk dipinang menjadi salah satu eksekutifnya. Mengapa fenomena itu bisa terjadi?


Bank Mandiri memang tengah menjadi fenomena di industri keuangan Indonesia. Terutama karena ia bisa menjadi ‘pintu kemana saja’ bagi para bankirnya yang ingin pindah ke lembaga lain. Ditunjuknya Kartika Wirjoatmojo menjadi wakil menteri yang mengurus perusahaan-perusahaan pelat merah, makin membenarkan anggapan yang sudah berkembang beberapa tahun belakangan itu.
                Tiko –panggilan akrabnya, menambah daftar panjang Mandirian –sebutan untuk pegawai Bank Mandiri, yang dipercaya menjadi eksekutif di perusahaan atau lembaga lain. Sebelumnya para Mandirians ini sudah bercokol di beberapa perusahaan, baik sektor keuangan dan sektor lain, atau yang lebih mencolok lagi di beberapa perusahaan negara yang tergolong berukuran besar.
                Citra bahwa Mandirians adalah para profesional andal meski ditempatkan di perusahaan non keuangan, memang tidak didapat Bank Mandiri dalam waktu singkat. Namun demikian bank yang berdiri Oktober 1998 itu juga tidak mendapatkan dalam masa yang terlalu lama, sesuatu yang sangat sulit terwujud.
Lazimnya, sebuah bank  yang berhasil mendongkrak namanya ke level atas industri keuangan membutuhkan jejak langkah yang cukup panjang. Citibank, misalnya. Bank yang terkenal karena melahirkan banyak bankir andal (biasa disebut Citibankers) mencapainya dalam waktu yang sangat panjang. Berdiri tahun 1817 dan meluaskan operasinya ke global pada awal Abad 20, masuk ke Indonesia pada 1968, pegawai Citibank menjadi rebutan bank-bank di Indonesia di era 80-an dan 90-an. Gelombang itu terakhir muncul ketika Batara Sianturi dipercaya memimpin Bank CIMB Niaga pada 2017.
Akan tetapi dalam satu dekade ke belakang Mandirians tampaknya mengambil panggung yang tadinya dikuasai Citibankers. Sederet bankir lulusan Mandiri dipercaya mengisi jajaran direksi bahkan menjadi orang nomor satu, sebuah perusahaan.
Gelombang tersebut, boleh dibilang mulai muncul setelah Agus Dermawan Wintarto Martowardojo dipinang menjadi Menteri Keuangan pada 2010 dan juga terpilih menjadi Gubernur BI pada 2013. Agus yang menjadi Dirut Bank Mandiri pada 2005-2010, boleh dibilang adalah anak didik terbaik Robby Djohan, bankir legenda yang pernah ada di Indonesia yang dibesarkan Citibank.
Robby pernah memimpin Bank Mandiri yang merupakan gabungan empat bank milik negara yang terdiri dari Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) pada 1999. Sedangkan Agus di tahun yang sama adalah Direktur Utama Bank Exim, yang kemudian diboyong Robby untuk membantunya menjadi direktur pelaksana.
Namun demikian, kemungkinan bukan di Bank Mandiri, Agus menyerap ilmu manajemen dan leadership Robby, melainkan di Bank Niaga. Agus bergabung dengan Bank Niaga pada 1986, ketika Robby menjadi direktur utamanya. Sembilan tahun di bawah ‘bimbingan’ Robby, Agus kemudian meloncat ke Bank Bumiputera untuk menjadi direktur utama.
Robby yang berhasil meroketkan Bank Niaga selama 1984-1996, kemudian ditunjuk untuk memimpin maskapai Garuda Indonesia yang saat itu merugi dan terancam bangkrut. Dalam kurun waktu dua tahun, dia dinilai sukses ‘menerbangkan’ kembali maskapai Garuda. Pada 1998, Robby dipercaya memimpin Bank Mandiri yang baru saja dibentuk.
Setelah era Robby, praktis tidak ada nakhoda yang bisa dibanggakan karena berbagai masalah bawaan internal dari bank-bank pembentuknya serta penanganan restrukturisasi kredit yang sulit ketika itu. Baru pada 2005, ketika Agus dipanggil kembali ke Bank Mandiri untuk menjadi direktur utama, kondisi itu lambat laun membaik.
Pasca Agus, pucuk pimpinan Bank Mandiri selalu dipilih dari internal bank, terutama yang sebelumnya menjadi dewan direksi. Zulkifli Zaini adalah pengganti Agus yang sebelumnya menjabat direktur teknologi dan operasional pada 2010.
Setelah itu muncul nama Budi Gunadi Sadikin menjadi direktur utama, yang pada zaman Zulkifli Zaini menjadi direktur mikro dan ritel. Kini, bank beraset sekitar Rp1.200-an triliun dipimpin oleh Kartika Wirjoatmojo, yang menggantikan Budi pada 2016. Sebelumnya pria yang akrab dipanggil Tiko ini menjabat sebagai direktur keuangan dalam kabinet Budi.
Tiko boleh dibilang adalah sebuah fenomena. Dirinya dipercaya sebagai Direktur mandiri Sekuritas saat usianya masih 35 tahun dan menjadi direktur bank terbesar di Indonesia dalam usia 43 tahun. Jika mengacu teori yang menyatakan generasi milenial merupakan generasi yang lahir pada era 1980-an, Tiko bisa disebut sebagai milenial pinggiran sebagaimana joke yang dilontarkannya pada Forum IBEX 2018 lalu. Dengan gap usia yang tidak begitu jauh, dirinya tentu masih mampu memahami karakter dan gaya hidup generasi milenial.
Fakta itu tentu memberi keuntungan tersendiri pada bank seperti Mandiri karena saat ini, lebih dari 75 persen Mandirians merupakan generasi milenial. Pemahaman terhadap kebutuhan milenial bisa menjadi kunci keberhasilan bank Mandiri dalam mengelola dan mengembangkan kapasitas kerja karyawannya.

Strategi Pro-Hire
Ali Damanik, praktisi dan pengamat pengembangan SDM, mengatakan bahwa banyaknya eksekutif Bank Mandiri yang menduduki posisi puncak di institusi lain adalah hasil dari investasi SDM yang dilakukan bank itu. Sebagaimana diketahui, Bank Mandiri berdiri ketika industri keuangan nasional ambruk karena krisis ekonomi 1998. Tetapi masa-masa sulit itu tidak membuat bank yang masih berusia muda itu menafikan perihal investasi SDM. “Bank Mandiri justru serius investasi di SDM ketika bank-bank lain mengurangi dana pengembangan SDM-nya karena Indonesia masih terlilit krisis ekonomi saat itu,” kata pria yang juga Direktur Kinerja-BlessingWhite, sebuah perusahaan konsultan pengembangan SDM
Dia juga mengakui bahwa pada era Dirut Agus Martowardojo lah, pondasi pengembangan SDM menemukan momentumnya. Saat Agus memimpin, mantan bankir Bank of America ini, kata Ali, luar biasa serius mengembangkan SDM dan membangun kultur baru, justru ketika bank lain menurunkan perhatiannya pada soal SDM. Bahkan warisan Agus masih terlihat hingga kini ketika bank bersimbol BMRI itu masih tetap agresif dalam mengembangkan karyawan berbagai level di saat bank lain masih konvensional dalam berinvestasi SDM.
“Beliau menjadi milestone pengembangan SDM di Bank Mandiri terutama pada strategi meng-hire profesional-profesional yang memang dibutuhkan bank atau biasa disebut pro hire,” kata pria yang sempat berkarier di Citibank ini.
Bank Mandiri memang cukup sering memenangkan kompetisi di bidang pengembangan SDM yang dilakukan oleh beberapa konsultan atau lembaga yang mengkhususkan diri di bidang tersebut. Sebut saja ajang employee engagement, service of excellence, dan lainnya.
Tak pelak, Ali mengatakan bahwa Bank Mandiri bisa disebut sebagai bank champion dalam soal pengelolaan SDM di industri perbankan bahkan sektor keuangan nasional. “Saat ini Bank Mandiri lewat Mandirians mengambil alih panggung yang sebelumnya disematkan kepada Citibank lewat Citibankers,” kata dia.
                Sementara itu, menurut Direktur Kepatuhan dan SDM Agus Dwi Handaya, apa yang diraih Bank Mandiri saat ini tidak terlepas dari strategi perusahaan dalam mengelola dan membangun SDM. Di internal bank, manajemen memberlakukan konsep unik dalam pengembangan SDM, yaitu apa yang disebut Mandiri 5 Cores Triangle yang terdiri dari Capability, Culture & Ethic, Leadership, Mindset dan Purpose). “Konsep ini menjadi platform fundamental dalam pengembangan SDM yang memastikan kelima aspek tersebut dijalankan secara berimbang dan menyeluruh,” kata Agus.
                Konsep tersebut sebagai pengembangan dari core values Bank Mandiri yaitu Trust, Integrity, Professionalism, Customer Focus dan Excellence, Code of Conduct, dan Business Ethics sebagai landasan untuk membangun karakter Mandirian yang kuat.
                Atas konsep yang dijalankan tersebut, tahun lalu manajemen bank yang diwakili oleh Agus diundang pada 21st Century Education Forum yang merupakan forum peneliti dan praktisi pendidikan global yang dapat mempengaruhi pembentukan kebijakan dan praktik pendidikan.
Bank Mandiri adalah satu-satunya instituasi dari Indonesia yang mengisi acara yang diselenggarkan di Harvard University dan melibatkan 50 pembicara dari berbagai negara. “Kami bersyukur dapat membawa Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia di kancah internasional,” kata Agus
Sebelumnya dalam sebuah publikasi di Majalah Forbes yang didasarkan hasil survei lembaga riset Statista dalam ‘Global 2000 Best Employers 2018’, Bank Mandiri menduduki peringkat 11 dari 500 perusahaan dunia yang menjadi idaman. Yang menakjubkan, bank tersebut masih berada di posisi 83 setahun sebelumnya. Bank Mandiri mengalahkan perusahaan-perusahaan global seperti Siemens, IBM, Mastercard, dan General Electric. Dibanding perusahaan nasional, peringkat Mandiri jauh di atas BCA (32), Gudang Garam (109), Telkom Indonesia (112), Bank BNI (157), dan Bank BRI (186).