Otoritas keuangan dan pemerintah mendapatkan tantangan serius yang harus segera ditanggulangi terkait perkembangan fintech yang pesat.
Dalam sejarah pengelolaan sektor keuangan di Indonesia,
kasus Bank Century adalah noda hitam yang tampaknya masih akan bertahan dan
mengotori rekam jejak otoritas. Di luar faktor politik, pengawasan lembaga keuangan
yang terpisah-pisah disebut-sebut menjadi penyebabnya.
Sebelum 2012, pengawasan di
industri keuangan terbagi pada dua lembaga. Pengawasan industri perbankan
berada di tangan Bank Indonesia, dan untuk industri non bank –asuransi, multifinance, pasar modal, pegadaian,
dana pensiun dll– berada di Departemen
Keuangan.
Kasus Bank Century, meledak
karena perusahaan juga menjual produk-produk investasi milik Antaboga Sekuritas
yang akhirnya menderita gagal bayar. Bank Century terseret. Singkatnya, bank
itu harus menerima suntikan dana total Rp6,7 triliun setelah Komite Stabilitas
Sektor Keuangan menetapkan Century sebagai Bank Gagal. Keputusan itu berdasarkan
assessment BI bahwa jika bank tidak
ditangani dengan benar akan berdampak sistemik.
Sampai sekarang banyak pihak
masih mempertanyakan kesimpulan ‘berdampak sistemik’ yang dilekatkan di Bank
Century ini. Dan tampaknya isu ini akan selalu muncul di waktu-waktu tertentu.
Boleh dibilang, itulah peristiwa
besar terakhir di industri keuangan sebelum akhirnya pemerintah mendirikan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyatukan pengawasan lembaga keuangan dalam
satu atap. Mulai 2013, OJK resmi berdiri dan menjawab persoalan yang kerap
muncul karena terpisahnya pengawasan antara lembaga bank dan non bank.
Akan tetapi kelegaan itu hanya
berlangsung seumur jagung. Seiring mencuatnya praktik layanan keuangan berbasis
teknologi, kekhawatiran mengenai dampak pengawasan per kamar mulai mengemuka.
Sebagaimana diketahui, dalam hal pengawasan, perusahaan yang dikenal dengan
sebutan fintech ini memiliki dua otoritas. Perusahaan fintech yang bergerak di
bidang penyaluran dan pengumpulan dana seperti peer to peer lending dan crowdfunding,
diawasi oleh OJK. Sementara perusahaan fintech yang bergerak di layanan sistem
pembayaran berada di bawah pengawasan Bank Indonesia.
Bibit masalah mulai terasa ketika
muncul efek samping dari maraknya penawaran fintech ini, terutama yang bergerak
di bisnis pengelolaan dana dan penyaluran dana. Beberapa nasabah mulai
mengeluhkan cara-cara yang dipakai oleh perusahaan fintech. Mereka bahkan ada
yang meneror nomor-nomor yang ada dalam daftar sumber yang ada di handphone sang nasabah. Bahkan ada yang
bunuh diri karena hal ini.
Kasus lain, jika mau disebutkan
tentu masih ada lagi. Malahan ancaman dari berkembangnya fintech ini akan
meningkat ketika banyak perusahaan dari China yang melebarkan sayap bisnisnya
ke Indonesia.
Baru-baru ini Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) telah mengumumkan bahwa sepanjang 2019 yang baru berjalan enam
bulan ini, sudah ditemukan 543 entitas fintech P2P lending yang tak terdaftar. Jumlah itu bahkan lebih banyak dari
yang ditemukan sepanjang tahun 2018 yang mencapai 404 entitas.
Tidak sulit menemukan
entitas-entitas ini karena aplikasinya bisa dengan mudah diunduh di Playstore atau
Appstore. Sebut saja nama-nama seperti Go Rupiah, Uang Instan, Ayo Uang, Bos
Uang, Tunai Cepat, dan masih banyak lagi yang kebanyakan ilegal karena belum
mendaftar di OJK.
Dengan pertumbuhan fintech yang
cukup signifikan, Indonesia adalah pasar fintech yang paling menarik di Asia
Tenggara. Asosiasi Fintech mencatat total investasi fintech di Indonesia
meningkat 93 persen dibandingkan 2017. Jika dilihat berdasarkan jenisnya, untuk
fintech pembiayaan atau pinjaman online, total penyaluran pinjaman di 2018
mencapai Rp22,6 triliun yang berasal dari 207.507 lender. Sedangkan jumlah
peminjamnya di 2018 mencapai 4,35 juta nasabah.
Sementara untuk fintech
pembayaran atau digital payment pada
periode 2018 total transaksinya mencapai Rp47 triliun. Sedangkan secara volume
transaksinya mencapai 2,9 miliar transaksi selama 2018.
Nah, dari banyak perusahaan yang ilegal itu berasal dari China.
Sebut saja uang express, satu dari 200 platform
asal China yang sudah diblokir OJK di 2018 silam. Aplikasinya sudah diunduh sebanyak
ratusan ribu kali di Google Play Store sebelum akhirnya dihapus.
Melubernya perusahaan fintech
asal Negeri Tirai Bambu itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan di sana yang
mulai mengetat terhadap layanan ini. Pasalnya sejak 2018, setidaknya 165 platform fintech P2P lending mengalami kesulitan memenuhi
permintaan penarikan tunai lantaran pemilik perusahaan melarikan dana investor.
Bahkan bisnis tersebut makin oleng ketika banyak investor yang menuntut
penarikan dana secara bersamaan. Hal itu tak pelak memunculkan krisis
likuiditas di China.
Belajar dari yang terjadi di
China dan mengantisipasi risiko yang mungkin muncul dari maraknya fintech ini
sudah seharusnya otoritas segera bergegas. Beberapa pengamat bahkan mengatakan
bahwa lembaga pengawas fintech yang masih terpisah ‘kamar’ antara BI dan OJK
menyimpan ‘bom waktu’ koordinasi di industri keuangan seperti masa-masa sebelum
OJK berdiri.
Saat ini kebutuhan tersebut sudah
terlihat ketika penanganan dan koordinasi yang lambat antar lembaga banyak
dikeluhkan pelaku dan juga publik. Pemerintah dan otoritas keuangan juga
tampaknya harus sudah meniru Thailand yang sudah merespons perkembangan ini
dengan cepat. Negeri yang sering terserang kudeta militer ini telah
mentranformasikan Kementerian Informasi, Komunikasi dan Teknologinya menjadi
Kementerian Digital Ekonomi dan Masyarakat pada 2006 lalu.
(dipublikasikan Juni-Juli 2019)