Rabu, 17 Juli 2019

Pengawasan Terpisah dan Kementerian Digital


Otoritas keuangan dan pemerintah mendapatkan tantangan serius yang harus segera ditanggulangi terkait perkembangan fintech yang pesat.

Dalam sejarah pengelolaan sektor keuangan di Indonesia, kasus Bank Century adalah noda hitam yang tampaknya masih akan bertahan dan mengotori rekam jejak otoritas. Di luar faktor politik, pengawasan lembaga keuangan yang terpisah-pisah disebut-sebut menjadi penyebabnya.
Sebelum 2012, pengawasan di industri keuangan terbagi pada dua lembaga. Pengawasan industri perbankan berada di tangan Bank Indonesia, dan untuk industri non bank –asuransi, multifinance, pasar modal, pegadaian, dana pensiun dll– berada  di Departemen Keuangan.
Kasus Bank Century, meledak karena perusahaan juga menjual produk-produk investasi milik Antaboga Sekuritas yang akhirnya menderita gagal bayar. Bank Century terseret. Singkatnya, bank itu harus menerima suntikan dana total Rp6,7 triliun setelah Komite Stabilitas Sektor Keuangan menetapkan Century sebagai Bank Gagal. Keputusan itu berdasarkan assessment BI bahwa jika bank tidak ditangani dengan benar akan berdampak sistemik.
Sampai sekarang banyak pihak masih mempertanyakan kesimpulan ‘berdampak sistemik’ yang dilekatkan di Bank Century ini. Dan tampaknya isu ini akan selalu muncul di waktu-waktu tertentu.
Boleh dibilang, itulah peristiwa besar terakhir di industri keuangan sebelum akhirnya pemerintah mendirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyatukan pengawasan lembaga keuangan dalam satu atap. Mulai 2013, OJK resmi berdiri dan menjawab persoalan yang kerap muncul karena terpisahnya pengawasan antara lembaga bank dan non bank.
Akan tetapi kelegaan itu hanya berlangsung seumur jagung. Seiring mencuatnya praktik layanan keuangan berbasis teknologi, kekhawatiran mengenai dampak pengawasan per kamar mulai mengemuka. Sebagaimana diketahui, dalam hal pengawasan, perusahaan yang dikenal dengan sebutan fintech ini memiliki dua otoritas. Perusahaan fintech yang bergerak di bidang penyaluran dan pengumpulan dana seperti peer to peer lending dan crowdfunding, diawasi oleh OJK. Sementara perusahaan fintech yang bergerak di layanan sistem pembayaran berada di bawah pengawasan Bank Indonesia.
Bibit masalah mulai terasa ketika muncul efek samping dari maraknya penawaran fintech ini, terutama yang bergerak di bisnis pengelolaan dana dan penyaluran dana. Beberapa nasabah mulai mengeluhkan cara-cara yang dipakai oleh perusahaan fintech. Mereka bahkan ada yang meneror nomor-nomor yang ada dalam daftar sumber yang ada di handphone sang nasabah. Bahkan ada yang bunuh diri karena hal ini.
Kasus lain, jika mau disebutkan tentu masih ada lagi. Malahan ancaman dari berkembangnya fintech ini akan meningkat ketika banyak perusahaan dari China yang melebarkan sayap bisnisnya ke Indonesia.
Baru-baru ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengumumkan bahwa sepanjang 2019 yang baru berjalan enam bulan ini, sudah ditemukan 543 entitas fintech P2P lending yang tak terdaftar. Jumlah itu bahkan lebih banyak dari yang ditemukan sepanjang tahun 2018 yang mencapai 404 entitas.
Tidak sulit menemukan entitas-entitas ini karena aplikasinya bisa dengan mudah diunduh di Playstore atau Appstore. Sebut saja nama-nama seperti Go Rupiah, Uang Instan, Ayo Uang, Bos Uang, Tunai Cepat, dan masih banyak lagi yang kebanyakan ilegal karena belum mendaftar di OJK.
Dengan pertumbuhan fintech yang cukup signifikan, Indonesia adalah pasar fintech yang paling menarik di Asia Tenggara. Asosiasi Fintech mencatat total investasi fintech di Indonesia meningkat 93 persen dibandingkan 2017. Jika dilihat berdasarkan jenisnya, untuk fintech pembiayaan atau pinjaman online, total penyaluran pinjaman di 2018 mencapai Rp22,6 triliun yang berasal dari 207.507 lender. Sedangkan jumlah peminjamnya di 2018 mencapai 4,35 juta nasabah.
Sementara untuk fintech pembayaran atau digital payment pada periode 2018 total transaksinya mencapai Rp47 triliun. Sedangkan secara volume transaksinya mencapai 2,9 miliar transaksi selama 2018.
Nah, dari banyak perusahaan yang ilegal itu berasal dari China. Sebut saja uang express, satu dari 200 platform asal China yang sudah diblokir OJK di 2018 silam. Aplikasinya sudah diunduh sebanyak ratusan ribu kali di Google Play Store sebelum akhirnya dihapus.
Melubernya perusahaan fintech asal Negeri Tirai Bambu itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan di sana yang mulai mengetat terhadap layanan ini. Pasalnya sejak 2018, setidaknya 165 platform fintech P2P lending mengalami kesulitan memenuhi permintaan penarikan tunai lantaran pemilik perusahaan melarikan dana investor. Bahkan bisnis tersebut makin oleng ketika banyak investor yang menuntut penarikan dana secara bersamaan. Hal itu tak pelak memunculkan krisis likuiditas di China.
Belajar dari yang terjadi di China dan mengantisipasi risiko yang mungkin muncul dari maraknya fintech ini sudah seharusnya otoritas segera bergegas. Beberapa pengamat bahkan mengatakan bahwa lembaga pengawas fintech yang masih terpisah ‘kamar’ antara BI dan OJK menyimpan ‘bom waktu’ koordinasi di industri keuangan seperti masa-masa sebelum OJK berdiri.
Saat ini kebutuhan tersebut sudah terlihat ketika penanganan dan koordinasi yang lambat antar lembaga banyak dikeluhkan pelaku dan juga publik. Pemerintah dan otoritas keuangan juga tampaknya harus sudah meniru Thailand yang sudah merespons perkembangan ini dengan cepat. Negeri yang sering terserang kudeta militer ini telah mentranformasikan Kementerian Informasi, Komunikasi dan Teknologinya menjadi Kementerian Digital Ekonomi dan Masyarakat pada 2006 lalu.


(dipublikasikan Juni-Juli 2019)

Mencari Celah di Antara Inovasi dan Risiko


Bank sentral dan otoritas keuangan bukannya tidak menginginkan layanan keuangan berbasis teknologi digital berkembang pesat. Namun demikian, regulator lebih mengedepankan stabilitas dan memilih menghindari risiko.


Dua dasawarsa terakhir ini, dunia telah menyaksikan perkembangan teknologi yang sangat pesat yang mengubah kehidupan hampir semua orang di dalamnya. Mulai dari kemunculan internet sampai berkembangnya layanan digital telah mengubah cara orang dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Kini, dari memanggil taksi, beli makanan, nonton film, dokter sampai layanan keuangan, semuanya sudah bisa dilakukan dengan satu ketukan di layar. Dan tampaknya masyarakat yang menjadi pengguna utama layanan digital tidak butuh lama untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan itu, meski ada sedikit onak dan duri.
Akan tetap, hal yang berbeda terjadi pada otoritas dan pemerintah ketika harus menyesuaikan diri dengan perkembangan digital. Hal itu terungkap dari sebuah laporan Bank Dunia, Ekonomi Digital di Asia Tenggara - Memperkuat Fondasi untuk Pertumbuhan Masa Depan. Laporan itu menganalisis peluang dan tantangan yang dihadapi kawasan untuk meningkatkan pengembangan digital, dan untuk memastikan dividen ekonomi dan sosial dari teknologi dapat menjangkau semua orang.
“Negara-negara Asia Tenggara telah membuat kemajuan signifikan dalam sektor digital, ”kata Boutheina Guermazi, Direktur Bank Dunia untuk Pengembangan Digital. “Tetapi meskipun masyarakat telah menerima layanan digital, adopsi oleh bisnis dan pemerintah umumnya lebih lambat. Kemacetan regulasi dan kurangnya kepercayaan pada transaksi elektronik menghambat pertumbuhan sistem digital. Penelitian inovatif ini dapat membantu negara-negara ASEAN mengatasi tantangan ini untuk menciptakan ekonomi digital yang kuat dan inklusif.”
Laporan tersebut mengidentifikasi beberapa langkah yang harus difokuskan untuk pengembangan digital di Asia Tenggara, dimulai dengan perluasan konektivitas, tulang punggung ekonomi digital. Lalu ada menurunkan ‘harga’ untuk mengakses internet, meningkatkan kecepatannya, membuat layanan internet yang andal ke daerah-daerah yang kurang terlayani.
Upaya mencapai solusi dari permasalahan itu lebih banyak dipegang oleh pemerintah dan otoritas keuangan. Keduanya memiliki keistimewaan berupa wewenang menerbitkan regulasi. Meski begitu, keduanya kerapkali tertinggal dalam mengikuti gerak dan perkembangan bisnis, tidak terkecuali pada saat layanan digital merangsek bisnis keuangan.
Fenomena maraknya financial technology (fintech) yang akhirnya mendesak perbankan seharusnya diikuti oleh regulasi yang solutif yang mendukung keinginan bank untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan itu. Namun demikian keinginan itu tertunda karena peraturan yang lambat hadir.
Terlambat lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bank sudah bisa meresponsnya dengan menghadirkan Jenius, produk dari Bank BTPN; Digibank dari DBS; atau bank-bank pelat merah yang melahirkan LinkAja. Ke depan, akan makin banyak perbankan yang menghadirkan layanan digital sebagai ganti layanan manual yang selama ini dipraktikkannya.
Ke semua itu tidak bisa dilepaskan dari diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13 tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) di Sektor Keuangan. Meski baru muncul setelah layanan fintech sudah merebak, namun aturan itu dirasa mumpuni untuk menjadi panduan penerapan tata kelola Fintech untuk lembaga keuangan.
Meski demikian, peraturan ini menurut Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, tidak cukup karena tidak bisa melindungi perbankan dari gempuran keuangan digital, khususnya kelompok Bank Buku I. “BPR-BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan sebagian BPD (Bank Pembangunan Daerah) yang  modalnya kecil sangat kewalahan menghadapi gempuran fintech karena tidak punya kemampuan inovasi dalam layanan digital,” kata dia.
Perkembangan teknologi digital di sektor keuangan, lanjut Tauhid, pada dasarnya telah berkembang pesat sejak dua tahun terakhir, khususnya fintech. Akumulasi jumlah pinjaman layanan ini sudah menyentuh angka Rp41 triliun sampai Mei 2019 dengan pertumbuhan sejak Desember 2018 dengan pertumbuhan sebesar 81,06 persen. Sementara itu jumlah borrowernya adalah 8,7 juta rekening dengan pertumbuhan kurun waktu yang sama 100,72 persen.
Perkembangan ini tentu saja menandakan terjadi arus perubahan yang besar dari perilaku konsumen di sektor keuangan pada financial technology.  Implikasinya sektor keuangan yang tidak melakukan perubahan business modelnya akan tergerus akan techonolgy di sektor keuangan. Tidak hanya perbankan tetapi perusahaan-perusahaan di yang bergerak di pasar saham, obligasi dan lain sebagainya akan tergerus market sharenya oleh perusahaan financial technology ini.
Akan tetapi, perkembangan mengagumkan itu belum bisa berpengaruh signifikan kepada perekonomian nasional. Menurut Tauhid, hal itu dikarenakan sebagian dana pinjaman digunakan untuk konsumsi ketimpang untuk investasi ataupun modal kerja. “Misalnya untuk beli alat elektronik, pakaian,dan dominan bukan kebutuhan primer. Di samping nilai akumulasinya baru sekitar Rp41 triliun. Masih peanut jika dibandingkan dengan kredit perbankan,” ujar dia.
Tetapi ke depan, dia meyakini peran fintech akan lebih besar lagi dan akan menjadi pemain yang berpengaruh cukup signifikan bila dalam tiga tahun mendatang pertumbuhannya tetap stabil di level 13 persen per bulannya. Jika itu terjadi maka nilai pasarnya akan mencapai Rp 2.170 triliun.
“Ini akan sangat luar biasa. Saya kira, bank-bank kecil yang tidak punya unit fintech akan tutup. Ancaman juga bagi bank-bank besar apabila tidak melakukan perubahan dalam strategi bisnisnya,” lanjut Tauhid.
Karena itu, pemerintah dan otoritas, kata dia, perlu mengantisipasi hal ini karena disrupsi di sektor keuangan akan banyak mengubah pilar-pilar sektor ekonomi, khususnya dari dimensi pembiayaan sektor swasta dan masyarakat.

Inovasi vs Risiko
Publik, terutama kalangan pelaku bisnis fintech dan sebagian masyarakat, tentu menginginkan otoritas yang lebih responsif dan peraturan yang lebih longgar. Akan tetapi, pihak otoritas sendiri tentu perlu mengubah mindset-nya dulu. Bahkan di era perubahan yang sangat cepat ini tidak mudah untuk mengubah mindset otoritas yang tentunya mendahulukan stabilitas dan banyak mengkhawatirkan risiko.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng menuturkan bahwa, setidaknya ada dua pendekatan yang ditempuh BI dalam menghadapi perkembangan ekonomi digital. Pendekatan itu adalah menjaga keseimbangan antara upaya menggali inovasi dan menjaga stabilitas.
Dalam upaya menggali inovasi, BI akan mendorong promosi inovasi dalam ekonomi digital, menyediakan ekosistem yang mendukung pengembangan ekonomi digital, dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui ekonomi digital. “Sementara itu, dalam menjaga stabilitas, BI akan mendorong stabilitas ekonomi tetap terjaga, mencegah tindak Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT), dan mendorong perlindungan konsumen,” kata dia, beberapa bulan lalu.
Sugeng melanjutkan, ada lima peran BI dalam pengembangan ekonomi digital. Peran itu adalah mendorong integrasi ekonomi digital, mendorong digitalisasi perbankan, mendorong kolaborasi antara bank dan fintech, mengupayakan keseimbangan yang tepat antara inovasi dan menjaga stabilitas serta persaingan yang sehat di antara pelaku ekonomi digital. "Terakhir, memastikan keamanan nasional dalam ekonomi digital," katanya.
Kekhawatiran mengenai risiko mungkin tidak berlebihan. Bank sentral sudah cukup melihat ketika kemunculan kartu kredit pada tahun 1950 telah merevolusi belanja tetapi juga memicu budaya utang konsumen. Sekuritisasi melumasi pasar modal pada 1980-an tetapi memicu krisis subprime, terutama di AS. Oleh karena itu, tidak kurang dari The Federal Reserve pun menyimpan kekhawatiran sejenis pada perkembangan fintech.
                     The Fed khawatir fintech akan menjadi sumber krisis berikutnya karena dianggap kurang kuat manajemen risiko dan perlindungan konsumennya. Apalagi, perusahaan fintech menginginkan aturan yang fleksibel.  "Mereka mungkin ingin akses ke sistem pembayaran, tapi mereka tidak ingin peraturan yang akan ditetapkan dengan (adanya) akses tersebut," ujar Presiden the Fed wilayah St Louis James Bullard dikutip dari Reuters. "Saya khawatir fintech akan menjadi sumber krisis berikutnya."

(dipublikasikan Juni-Juli 2019)

Jumat, 12 Juli 2019

Momentum Mendongkrak Bank Syariah


Perbankan syariah segera mendapatkan momentum untuk mendongkrak pertumbuhan asetnya ketika bank-bank segera mengaplikasikan aturan formal soal itu. Bagaimana pelaku industri perbankan syariah menanggapinya?


Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, 225 juta dari total 265 juta, Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi yang terbesar di industri syariah. Akan tetapi, sejak batu loncatan pertama industri keuangan syariah hadir pada awal 90-an, Indonesia tetap tidak juga menempati posisi penting dalam industri perbankan syariah.
                Berdasarkan Laporan Islamic Financial Services Board (IFSB), aset perbankan syariah Indonesia masih tertahan di peringkat ke-9 secara global yang mencapai 28,08 miliar dollar AS. Di atasnya ada pemimpin pasar yaitu Malaysia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Kuwait dan lainnya.
                Laporan dari otoritas moneter juga mengonfirmasi bahwa perbankan Indonesia –selanjutnya bisa disebut iB–masih kalah dari negara-negara tersebut, terutama negara jiran Malaysia. Sampai tahun lalu, pangsa iB dalam aset mencapai sekitar 6 persen dari semua bank di Indonesia. Sementara di Malaysia, bank-bank syariahnya memiliki porsi 25 persen dibandingkan industri.
                Tentu, harus diakui, ada yang salah pada pengelolaan bank-bank nirbunga yang selama ini dipraktikkan di Indonesia selama ini. Banyak pihak yang menilai bahwa salah satu faktor utama landainya perkembangan iB selama ini adalah minimnya dukungan pemerintah.
                Penilaian ini dibenarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang pada 2017 meluncurkan peta jalan pengembangan industri keuangan syariah Indonesia. Di dalamnya, juga berisi enam tantangan lainnya. Yaitu permodalan yang terbatas; masalah Sumber Daya Manusia (SDM); produk yang belum inovatif; model bisnis, infrastruktur dan prosedur yang lebih rumit; saluran distribusi yang belum efisien; dan literasi keuangan syariah yang masih rendah.
                Akan tetapi, dukungan pemerintah bukanlah satu-satunya faktor yang membuat iB di Indonesia bergerak layaknya bekicot, yang sejak 90-an akhir hingga 2019, asetnya masih nongkrong di kisaran 5-6 persen. Seperti kata OJK, ada juga faktor minimnya permodalan, produk dan layanan yang kurang inovatif, dan masalah SDM.
                Baik pemerintah maupun otoritas, namun demikian, bukannya tidak pernah memberikan dukungan untuk perkembangan perbankan syariah. Salah satu dukungan yang tampaknya akan memberi dorongan besar adalah penerapan Undang-Undang Perbankan Syariah yang terbit tahun 2008, dan akan terlihat tuahnya pada 2023 nanti.
                Dalam regulasi itu, bank-bank konvensional yang masih memiliki unit usaha syariah, harus sudah memutuskan bahwa unitnya itu akan dipisahkan menjadi bank syariah tersendiri (spin off). Atau pilihan lain, justru bank induknya yang mau mengubah layanannya menjadi syariah (konversi).
                Berkaca pada Bank NTB, yang telah mengonversi layanannya menjadi syariah tahun lalu, bank tersebut sudah menetapkan strategi konversi sejak 2015. Proses perencanaan, internalisasi program, serta perubahan kultur serta  sistem dan lainnya, memerlukan waktu sedikitnya tiga tahun.
Artinya agar 2023 semua bank bisa memenuhi Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, maka mulai tahun ini harus sudah memiliki keputusan apakah akan spin off atau konversi. Sehingga diprediksi tahun ini hingga tahun depan sudah akan pengumuman ke publik mengenai keputusan tersebut.
“Memang keputusan untuk spin off dan konversi membutuhkan waktu minimal dua tahun. Waktu tersebut terutama banyak yang terkait dengan pemegang saham khususnya bila pemegang saham adalah pemerintah daerah yang terdiri dari pemerintah provinsi atau kabupaten kota,” kata Edi Setiady, Staf Ahli Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). “Namun untuk bank-bank swasta non BPD akan relatif lebih bisa cepat karena pemegang sahamnya tidak banyak.”
Selanjutnya, mantan regulator di lini perbankan syariah itu juga mengatakan bahwa keputusan baik itu spin off atau konversi, selain bergantung pada pemegang saham juga sangat bergantung pada tingkat kesehatan bank dan juga permodalan.
Di dalam PBI Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah, mewajibkan calon bank umum syariah memiliki modal Rp1 triliun paling lambat 10 tahun setelah izin diberikan.
Modal tersebut bisa bersumber dari suntikan induknya, pemegang saham, atau investor eksternal. Persyaratan ini memang dimaksudkan agar kualitas pelayanan bank hasil spin off itu tidak menurun setelah menjadi BUS dengan alasan keterbatasan modal.
Selanjutnya ada juga peraturan mengenai tingkat kesehatan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di dalam POJK Nomor 36/POJK.03/2017 disebutkan, ketika melepas anaknya, bank induk harus memiliki tingkat kesehatan dengan nilai komposit 1 atau 2 selama empat semester berturut-turut.
“Karena untuk pilihan spin off dan konversi selain harus diputuskan pemegang saham juga aspek permodalan yang cukup dan persyaratan tingkat kesehatan. Untuk spin off bank induk harus sehat,” kata Edi, yang saat ini juga menjabat Komisaris Utama Bank Muamalat.
Apa yang diutarakan Edi memang ada benarnya. Adalah Bank Kalsel, salah satu bank pembangunan daerah di wilayah Kalimantan Selatan yang mengatakan bahwa untuk memenuhi aturan tersebut memang ada persyaratan yang tidak ringan. “Bagi kami, baik spin off maupun konversi, keduanya adalah keputusan yang berat jika dilihat dari syarat-syaratnya,” kata Agus Syabaruddin, Dirut Bank Kalsel.
Manajemen bank memang sudah menyiratkan bahwa pihaknya akan mengikuti ketentuan undang-undang tersebut dan sampai sekarang keputusan tersebut masih dibahas oleh pemegang saham. Ketika ditanyakan, oleh Stabilitas apakah akan memilih konversi ketimbang spin off, Agus tidak menjawab meski menyiratkan lebih memilih konversi.
“Kalau melihat historisnya, Kalsel itu sering disebut sebagai “Serambi Mekkah-nya” Kalimantan. Dan masyarakat cenderung untuk menghindari transaksi yang mengandung riba,” jelas dia.

Pendongkrak Lain
                Selain adanya Undang-Undang mengenai Perbankan Syariah, sebenarnya peluang mendongkrak performa bank syariah juga berasal dari mulai munculnya komitmen pemerintah dan otoritas. Pada 2017 lalu pemerintah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia secara serius.
                KNKS telah meluncurkan Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia dan juga Masterplan Industri Halal. Keduanya berisi strategi memperkuat infrastruktur keuangan syariah, pendalaman pasar, pengembangan bank syariah dan industri keuangan non-bank lainnya.
Selain itu, otoritas moneter di tahun yang sama juga memberikan dukungan dengan melansir Cetak Biru Ekonomi dan Keuangan Syariah. Di dalamnya ada tiga pilar strategis utama, yaitu pertama, pemberdayaan dan penguatan ekonomi syariah melalui pengembangan rantai nilai halal. Kedua, pendalaman pasar keuangan syariah untuk mendukung pembiayaan syariah. Ketiga, memperkuat penelitian, penilaian dan pendidikan ekonomi dan keuangan syariah untuk meningkatkan literasi publik mengenai ekonomi dan keuangan syariah.
Terkait pilar pertama, pemberdayaan dan penguatan ekonomi syariah dicapai melalui penguatan rantai nilai halal dengan mengembangkan ekosistem dari berbagai tingkat bisnis syariah, termasuk pesantren, UKM, dan perusahaan dalam rantai hubungan bisnis untuk memperkuat struktur ekonomi yang inklusif. Program ini dilaksanakan di empat sektor utama, yaitu industri makanan halal dan halal, sektor pariwisata halal, sektor pertanian dan sektor energi terbarukan.
Dalam pilar kedua, BI mendukung distribusi pembiayaan syariah untuk pengembangan rantai nilai halal melalui pendalaman pasar keuangan syariah untuk meningkatkan efisiensi manajemen likuiditas pasar keuangan syariah.
“Ke depan, untuk meningkatkan peran dan kontribusi ekonomi dan keuangan syariah secara global dan nasional, diperlukan peran aktif semua pihak, baik pembuat kebijakan, pelaku ekonomi maupun dunia pendidikan. BI senantiasa mendorong koordinasi langkah-langkah untuk mensinergikan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah,” kata Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI.
                Dukungan-dukungan tersebut, namun demikian membutuhkan aksi nyata di lapangan.
Karena seperti KNKS yang telah dibentuk hampir dua tahun yang lalu itu, pelaku usaha iB belum merasakan pengaruhnya karena master plan ekonomi syariah belum mulai terwujud. “Kita masih harus tunggu hasil kerja mereka. Dan selama waktu ini, praktis perbankan syariah ini belum bisa mendapatkan insentif untuk tumbuh lebih tinggi,” kata Direktur Syariah Banking CIMB Niaga, Pandji P. Djajanegara.


(dipublikasikan Mei-Juni 2019) 



Membidik Milestone Baru



 Industri syariah sudah lama berharap hadirnya milestone baru. Namun sejatinya hal itu tidak ditunggu, tetapi diciptakan.

Setiap usaha yang diniatkan untuk berkembang, selalu membutuhkan batu pijakan yang menjadi pertanda bahwa prosesnya berada dalam jalur yang benar. Lazimnya tidak hanya satu batu pijakan –atau biasa disebut milestone –yang  dibutuhkan, tapi beberapa. Hal itu untuk memastikan bahwa perkembangan itu menuju sebuah kemajuan.
                Bank syariah pun  demikian. Ketika pertama diletupkan lewat sebuah ghirrah keislaman di era akhir 80-an, pada 1991 berdiri sebuah bank yang melandaskan semua operasional bisnisnya dengan nilai-nilai keislaman. Setelah itu optimisme yang melangit akan berkembangnya iB di Indonesia pun muncul. Wajar saja, dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia diyakini bisa dengan mudah mendongkrak performa bisnisnya dan menjadi pemimpin pasar dalam praktik perbankan syariah.
                Namun demikian, otoritas nampaknya lamban menanggapi semangat publik yang muncul yang menginginkan dukungan ekosistem yang layak agar perbankan syariah –juga keuangan syariah – bisa berkembang  pesat. Setelah tujuh tahun Bank Muamalat, bank syariah pertama di Indonesia, berdiri, pemerintah baru bergerak. Tepatnya pada 10 November 1998, pemerintah mengamendemen Undang-Undang Perbankan, menjadi UU No. 10 tahun 1998 mengantikan UU perbankan sebelumnya. Bank umum konvensional boleh membuka cabang khusus yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah yang menjadi awal berlakunya dual banking system di Indonesia.
                Setelah itu dukungan-dukungan lain mulai berkelindan. Didirikannya Dewan Syariah Nasional, mulai terbitnya fatwa-fatwa dari dewan itu, hingga dibentuknya biro (yang kemudian menjadi direktorat) perbankan syariah di Bank Indonesia menjadi fakta-fakta yang hadir setahun-dua tahun berikutnya.
                 Akan tetapi, upaya-upaya itu dan beragam dukungan lainnya masih belum mampu mempertemukan apa yang menjadi potensi perbankan syariah di Indonesia dengan apa yang diharapkan. Pada akhirnya, setelah 30 tahun berjalan, potensi-potensi yang selalu disebut-sebut dan disematkan kepada Indonesia, masih tetap menjadi potensi.
                Kondisi itu tidak bisa dilepaskan dari batu sandungan yang kerap menjadi momok bagi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia. Salah satu yang oleh para pengamat dan ahli ekonomi syariah dinilai menjadi penghambat adalah pemahaman yang masih rendah dari masyarakat mengenai perbankan syariah.
                Selain itu juga masih adanya keyakinan di sebagian umat muslim seputar haramnya bunga bank. Keyakinan itu disebabkan masih adanya ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama di seputar masalah itu juga. Oleh karena itu sosialisasi pelaku-pelaku perbankan syariah menjadi tidak mudah yang pada akhirnya membuat minat umat Islam untuk berbank syariah menjadi tidak terdongkrak.
                Menurut Ikhwan Abidin, pengamat keuangan syariah, sosialisasi juga mendapat tantangan ketika ormas Islam atau ulama yang disegani, masih enggan berbicara tentang haramnya bunga bank. Bahkan sebagian ada yang memang menganggap enteng persoalan tersebut dan sebagian lainnya merasa sudah cukup nyaman dan mapan dengan kondisi lembaga keuangan yang berbasis riba ini.
                Kendala lain yang menghambat perkembangan bank syariah adalah soal terbatasnya Sumber Daya Insani (SDI). Saat ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa SDI bank syariah pada umumnya adalah tenaga karbitan.
Bank syariah ketika hadir memang terkesan instan dan tiba-tiba, artinya ekosistem penyediaan pegawainya belum selengkap bank konvensional. Oleh karena itu banyak dari pegawai-pegawai bank syariah yang diambil dari bank konvensional, terutama untuk manajemen level menengah ke atas.
Diperlukan pemecahan persoalan dalam jangka pendek dengan cara memberikan pelatihan, worshop atau kursus. Sayangnya lembaga penyedia pelatihan semacam ini masih  sangat jarang seperti Batasa Tazkia, ICDIF-LPPI, Karim Consulting, Muamalat Insitute,  SEBI dan lain-lain.
               
Milestone Baru
                Oleh karena itu masyarakat terus mengharapkan adanya dorongan baru bank syariah agar bisa menciptakan milestone baru agar perkembangan yang ada benar-benar menuju kepada kemajuan. Harapan itu sedikit berpendar ketika Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan tuahnya.
                Dalam undang-undang itu singkatnya disebutkan paling lambat pada 2023, semua bank yang masih memiliki unit usaha syariah diharuskan melepaskan unitnya itu untuk menjadi bank umum syariah tersendiri. Atau bahkan bank induknya sendiri yang memilik unit syariah yang mengonversi seluruh layananannya kepada syariah.
                Meski masih sekitar empat tahun lagi, animo publik terutama para pelaku perbankan syariah diperkirakan sudah akan muncul tahun ini. Pasalnya menjelang tahun yang ditentukan itu, manajemen bank harus mempersiapkan lembaganya jauh sebelumnya. Berkaca dari pengalaman Bank NTB dan Bank Aceh yang sudah mengonversi layanan perbankannya menjadi syariah, dibutuhkan waktu setidaknya tiga tahun, mulai dari persetujuan pemegang saham, persiapan sistem dan prosedur internal, sosialisasi hingga peresmiannya.
                Krusialnya tahun ini bagi perbankan syariah juga disebabkan oleh langkah-langkah strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan dilakukan tahun ini. Di antaranya adalah peningkatan kapasitas kelembagaan, sumber daya manusia (SDM), dan teknologi informasi (TI) industri perbankan syariah. Juga peningkatan ketersediaan produk dan layanan perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Serta peningkatan inklusi produk perbankan syariah melalui sosialisasi dan literasi masyarakat.
                
(dipublikasikan Mei-Juni 2019)

Mengukur Janji Ekonomi Capres


Program-program ekonomi yang dijanjikan pasangan calon presiden memiliki tantangan yang sama ketika harus diimplementasikan lima tahun ke depan. Namun program yang realistis dan terukur tentu akan lebih mudah diwujudkan dan tidak tersisa hanya menjadi janji manis.


Ini seperti deja vu. Kita seperti diantarkan pada suatu kondisi yang rasanya familiar dengan yang pernah kita alami sebelumnya. Ya, pemilihan umum kali ini yang menghadirkan dua calon presiden yang sama dengan lima tahun lalu, membuat publik menebak bahwa pertempurannya akan relatif sama.
            Tidaklah berlebihan jika masyarakat menebaknya demikian. Pasalnya hal-hal yang menjadi kekuatan dan kelemahan dari masing-masing kontestan sudah relatif diketahui oleh masing-masing pesaingnya.          
Namun begitu tidak dengan janji-janji ekonomi yang disiapkan masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Kondisi dan tantangan ekonomi yang bakal dihadapi pemerintahan pada lima tahun ke depan jelas berbeda dengan sebelumnya. Apalagi dengan bekal prestasi ekonomi sepanjanga lima tahun lalu yang tidak bisa terlalu dibanggakan.
Menurut kalangan pengamat, presiden yang akan datang –siapapun dia– akan  tetap berhadapan dengan ancaman pertumbuhan yang lambat. Salah satunya datang dari Eric Aleksander Sugandi. Menurut pengamat ekonomi yang juga Project Consultant Asian Development Bank beberapa tantangan akan tetap menjadi faktor penghambat perekonomian Indonesia, baik dari domestik maupun eksternal. Dari dalam negeri, pemerintah masih harus berhadapan dengan defisit dalam current account (CAD), dan share dana asing yang masih signifikan di bursa saham. “Sehingga rupiah masih akan rentan terhadap capital outflows,” kata dia.
            Dari eksternal, normalisasi suku bunga di negara-negara maju, utamanya kenaikan bunga dari The Federal Reserve akan menjadi tantangan utama tim ekonomi pemerintah yang akan datang. Selain itu kondisi eskalasi konflik dagang yang terjadi antara AS dengan China juga akan menjadi faktor yang akan mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia.
             Selain itu, perkembangan sektor komoditas juga akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. “ Seperti penurunan harga minyak dunia, walau penurunan tersebut bisa menurunkan CAD, tetapi jika terlalu tajam dan persisten bisa berpengaruh negatif pada ekspor Indonesia dan penerimaan Pemerintah,” kata Eric.
                Di samping itu semua jangan lupakan juga tantangan berupa pengangguran dan pemberdayaan ekonomi masyarakat terutama di sektor mikro yang dalam beberapa tahun belakangan eskalasinya cukup meningkat.
Sementara itu pengamat ekonomi dan politik internasional, Asmiati Malik menganalisis bahwa siapapun pasangan yang menang akan menghadapi situasi ketidakpastian ekonomi dan politik. Pada semester pertama 2019, kata dia akan dipenuhi oleh ketidakpastian ekonomi dan politik.
Sementara pada semester kedua, apabila pasangan Jokowi-Ma’ruf tidak terpilih, maka tahun 2019, akan dilewati dengan perubahan dan transisi pola dan penyesuaian kebijakan ekonomi politik dari pemerintahan Jokowi ke Prabowo.
Penyesuaian kebijakan dalam pergantian presiden biasanya membutuhkan waktu setidaknya setahun lebih sejak terpilih. Sehingga kemungkinan besar, realisasi dan dampak kebijakan baru akan terlihat pada tahun 2021.
Dalam istilah Keynesian Ekonomi, dikenal dengan Time Lags, yang secara sederhana berarti setiap kebijakan membutuhkan waktu untuk bisa terlihat dampaknya. Oleh karena itu, pergerakan ekonomi Indonesia, tahun 2019-2021 tidak akan menunjukkan pertumbuhan GDP yang cukup signifikan. Perkiraan saya, pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka 5-5,5 persen,” jelas Asmiati.
Sementara itu, apabila Jokowi-Ma’ruf terpilih pada tahun 2019, maka sudah pasti program yang sama akan terus dijalankan, sehingga secara hitungan ekonomis lebih bermanfaat buat pasar dan investor. Pasalnya pasar dan investor sudah familiar dengan pola kebijakan Jokowi pada pemerintahan sebelumnya, sehingga mereka bisa melakukan hitungan ekonomis yang lebih jelas.
Meskipun demikian, Indonesia tidak serta merta bebas dari berbagai permasalahan ekonomi yang kemungkinan besar akan lebih berat pada tahun 2019. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak akan menunjukkan pergerakan yang signifikan, kemungkinan besar akan berada pada 5-5,7%. Hal ini disebabkan belum ada pergerakan ekonomi yang berarti dari segi peningkatan pendapatan negara, serta belum adanya kerangka yang jelas dan hitungan empiris yang pasti  bagaimana mengatasi permasalahan tersebut.
Siapapun presiden yang terpilih, mereka akan berhadapan dengan permasalahan menahun yang dialami juga oleh Presiden Indonesia sebelumnya sejak orde baru, yaitu tingkat produktivitas yang sangat rendah. Kemudian, ketergantungan pada impor bahan bakar minyak,” terang Asmiati.
Dua permasalahan ini akan terus menghantui nilai pergerakan rupiah, inflasi, dan kesehatan keuangan negara. Minimnya pendapatan negara dari sektor pajak, yang disebabkan oleh rendahnya nilai ekspor akan terus menggerus keuangan negara.
Di lain pihak, untuk meningkatkan produktivitas yang berbasis teknologi terapan dibutuhkan kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Kalau dilihat dari kondisi pembangunan sumber daya manusia dari tingkat competitiveness index di tahun 2018 menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-45, jauh tertinggal dari negara tetangga terdekat, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura, meskipun dalam kurun sepuluh tahun Indonesia sudah naik 10 digit dari posisi 55 ke posisi 45.
Ini harus menjadi perhatian utama dari Pemerintah Indonesia, siapapun presidennya, permasalahan kualitas pendidikan Indonesia harus menjadi target dan capaian utama dalam pembangunan jangka panjang,” ujar Asmiati.

Janji-Janji Ekonomi
                Tantangan ke depan yang tidak ringan itu tentunya harus sudah diantisipasi oleh kedua calon pasangan pucuk pimpinan pemerintahan yang tengah bertarung ini. Maka tidaklah mengherankan jika dua kandidat yang bertarung pada pemilihan kali ini memiliki sederet janji-janji ekonomi yang bakal dijalankan jika menang nanti.
                Pasangan Jokowi-Ma’ruf memiliki program ekonomi yang masih terbilang umum, setidaknya jika dilihat dari janji-janji yang sudah dipublikasikan di media sejak awal kampanye. Pasangan mengelompokkan program ekonominya menjadi empat kelompok besar.
                Pertama, menumbuhkan kewirausahaan Bonus demografi dan hadirnya Revolusi Industri 4.0 harus dihadapi dengan menumbuhkan wirausahawan-wirausahawan baru terutama dari kalangan generasi muda/milenial. Kedua, menguatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
                Ketiga,  menciptakan struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing. Dan keempat, pembangunan yang merata dan berkeadilan.
                Di sisi lain, pasangan Prabowo-Sandi, memiliki program ekonomi yang lebih spesifik dengan mengeluarkan janji-janji mencapai 36 poin. Di antaranya adalah, pertama, menyelenggarakan politik pembangunan yang memprioritaskan rakyat, melalui penyusunan anggaran pro-rakyat, kebijakan ekonomi pro-penciptaan lapangan kerja, kebijakan fiskal yang pro daya beli masyarakat, kebijakan subsidi yang mendorong kemampuan produksi, kebijakan menjadi harga yang terjangkau dan stabil serta pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan yang mendukung berkembangnya sektor produktif.
Kedua, membangun industri hulu dan industri manufaktur nasional berbasis inovasi nasional untuk meningkatkan daya saing, berbahan baku lokal guna memberikan nilai tambah bagi komoditas dalam negeri, mendorong berkembangnya industri rakyat, serta menyokong penyerapan angkatan kerja.
Ketiga, membangun kembali industri strategis nasional yang mampu memproduksi barang-barang modal, untuk mengurangi ketergantungan impor barang modal. Keempat, membenahi BUMN sebagai benteng pertahanan ekonomi nasional. (daftar lengkapnya pada info grafis).
                Publik tinggal membandingkan antara janji-janji dengan realisasi nanti ketika pemenangnya nanti memerintah dalam lima tahun ke depan. Jika perlu masyarakat menagih kembali janji-janji ekonomi itu persis seperti yang tertulis dalam program ekonomi yang diusung pemenang kontestasi ketika kampanye.
                Kita semua tentunya tidak mau lagi mengalami déjà vu pertumbuhan ekonomi seperti lima tahun belakangan ini.

(dipublikasikan Apr-Mei 2019)

Beban Ganda Perusahaan Pelat Merah


Pengelolaan perusahaan-perusahaan negara mendapat sorotan tajam dalam masa pemerintahan sekarang ketika mereka mendapat ‘berkah’ dalam program infrastruktur. Namun demikian persoalan utang dan juga politik menjadi isu yang mendapat sorotan lebih tajam lagi.


With great power comes great responsibility”. Ungkapan tematik yang merupakan ucapan Paman Ben dalam film karakter superhero Spiderman sering dikutip. Ungkapan ini juga cocok disematkan kepada perusahaan negara saat ini dengan menambahkan, “With great power comes great responsibility and great problems.”
Sejak awal milenium ini, pembahasan mengenai BUMN makin menarik terutama ketika pada tahun 1999, ada kementerian khusus mengenai lembaga itu. Bahkan sejak Presiden Joko Widodo berkantor di Istana Negara pada 2014, peran BUMN makin terdongkrak seiring dengan gegap gempitanya program infrastruktur. Sejak itu pun BUMN menunjukkan tajinya dalam menggerakkan ekonomi nasional di tengah perlambanan pertumbuhan domestik dan gejolak global.
Namun demikian dorong besar dari perusahaan pelat merah itu menimbulkan dampak yang tak bisa dielakkan oleh manajemen dan juga oleh negara. Infrastruktur yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan namun pada kenyataannya malah menimbulkan banyak persoalan. Mulai dari soal utang yang makin menumpuk, hingga dampak dari pekerjaan proyek yang dikebut. Bahkan praktik penguasaan BUMN atas proyek infrastruktur membuat sektor swasta menderita yang ditandai banyaknya perusahaan konstruksi yang bangkrut.
Tahun ini tampaknya akan menjadi pembuktian apakah kebijakan BUMN dari pemerintahan sekarang berpengaruh baik pada kinerja atau tidak. Hal itu akan dibuktikan dari laporan keuangan BUMN secara keseluruhan.
Menteri BUMN, Rini Marini Soemarno mengatakan berdasarkan prognosa laporan tahunan yang belum diaudit, laba bersih perusahaan-perusahaan di bawah koordinasinya mencapai Rp188 triliun. Sementara prognosis realisasinya akan mencapai Rp200 triliun.
Jumlah itu, meski demikian lebih rendah sedikit dari proyeksi kementerian yang diungkapkan akhir tahun lalu yang mencapai Rp218 triliun. Dari sisi pendapatan, jumlah yang dikantongi memang terus meningkat sepanjang 2015 sampai 2018. Pendapatan pada 2015 mencapai Rp1.699 triliun, setahun kemudian mencapai Rp1.710 triliun, dan pada 2017 sebanyak Rp2.027 triliun, hingga tahun lalu yang mencapai Rp2.339 triliun.
                Akan tetapi, prestasi itu tidak bisa menutupi melonjaknya utang yang dimiliki BUMN selama rezim infrastruktur ini berlangsung. Di tengah keterbatasan anggaran negara yang diestimasi mencapai Rp 4.700 triliun selama periode 2015-2019, membuka pintu utang yang cukup lebar buat BUMN. Apalagi kemampuan dana internal BUMN yang tidak mencukupi untuk membiayai pengerjaan proyek-proyek yang bernilai triliunan. Di kantong BUMN hanya tersedia dana maksimal Rp1.034 triliun alias 22 persen dari kebutuhan.
                Jumlah utang perusahaan negara pun meningkat cukup massif sebesar 84,3 persen dalam empat tahun terakhir, dari Rp 1.299 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp 2.394 triliun pada tahun 2018. Sementara dalam rentang tahunan, peningkatan utang BUMN tertinggi terjadi pada tahun 2018 sebesar 47,5  persen.
                “Pembiayaan utang memang bukan suatu hal yang terlarang bagi BUMN, namun persoalannya sejauh mana peningkatan utang linear dengan kinerja BUMN. Sebab, apabila akumulasi utang BUMN semakin menumpuk tetapi performa bisnis BUMN tidak membaik maka utang BUMN justru akan menyimpan risiko yang justru membahayakan BUMN itu sendiri,” kata peneliti Indef Abra Talattov.
Menurut dia, penumpukan utang BUMN tidak cukup dibarengi dengan performa bisnis yang semenjana yang ditorehkan sepanjang 2018 di mana laba hanya naik tipis 1,08 persen dari Rp186 triliun pada 2017 menjadi Rp188 triliun pada 2018. Selain itu, penambahan ekuitas BUMN juga hanya tumbuh 4,16 persen dari Rp2.380 triliun pada 2017 menjadi Rp2.479 triliun pada 2018.
                “Pemerintah tentunya perlu mewaspadai risiko yang timbul dari setiap pembangunan infrastruktur yang bertumpu pada utang,” ujar Abra.
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mendiagnosa risiko utang BUMN adalah debt to equityratio (DER). Rasio DER memperlihatkan komposisi utang terhadap modal BUMN. Masalahnya, DER BUMN terus mengalami kenaikan dari hanya 0,68 pada 2017 menjadi 0,97 pada 2018.  Di samping itu, rasio utang terhadap aset (debt to asset ratio) juga bertambah dari 0,23 pada 2017 menjadi 0,30 pada 2018. Kedua indikator tersebut membuktikan bahwa utang BUMN yang terus melonjak tidak dibarengi dengan peningkatan modal serta aset BUMN.
Pemerintah bukannya tidak mengakui pembengkakkan utang BUMN sebagai akibat dari pengerjaan proyek infrastruktur. Namun begitu, pemerintah mengatakan hal itu masih bisa ditolelir melihat kemampuan bayar perusahaan-perusahaan tersebut.
Sekretaris Jenderal Kementerian BUMN Imam Apriyanto Putro mengungkapkan tingkat utang BUMN tersebut masih berada di level aman. “Namanya perusahaan, tumbuh berkembang besar," ujar Imam Februari lalu.
Besarnya jumlah utang masih bisa diimbangi dan dibayar oleh pendapatan BUMN serta besarnya aset yang dikelola. Berdasarkan data sementara Kementerian BUMN, total aset BUMN meningkat 12,2 persen dari Rp7. 210 triliun menjadi Rp8.092 triliun pada 2018. “Amanlah kalau bayar. Pendapatannya kan berapa ribu triliun itu. Kemampuan bayarnya kan dilihat dari berapa besar pendapatannya," ujar Imam.

Isu Holding
                Sementara itu, isu lain yang menyeruak adalah keinginan Kementerian BUMN untuk menyegerakan pembentukan induk usaha untuk masing-masing sektor yang menjadi fokus perusahaan negara. Bahkan Menteri BUMN Rini Soemarno akan merampungkan pembentukan delapan holding perusahaan pelat merah sebelum bulan Maret berganti.
                Alasannya adalah mengejar perayaan hari jadi Kementerian BUMN yang ke-21 pada April nanti. "Karena kita April Kementerian BUMN berumur 21 tahun. Jadi 21 tahun, sudah dianggap dewasa penuh maka selesaikan holding-holding," kata Rini pertengahan Januari lalu.
                Delapan holding tersebut adalah untuk sektor infrastruktur, perumahan, asuransi, pertahanan, farmasi, pelabuhan, semen, dan BUMN sektor kawasan. Adapun, tujuan pembentukan holding juga agar pembinaan dan pengawasan BUMN menjadi lebih terukur dan prudent. Selain itu, pembentukan holding juga agar BUMN lincah dan mampu bersaing di kancah internasional.
Selain itu, Rini juga meminta kepada masing-masing Deputi Kementerian BUMN mencari para pegawai yang tepat dalam menjalankan perusahaan. "Bukan saya nggak hargai ASN (aparatur sipil negara), tapi memang ke depannya harus berfikir korporasi, karena pengawasan dan pembinaan itu dilakukan kalau nggak ngerti korporasi timing-nya nggak sama," ungkap dia.
                Akan tetapi ketergesaan ini mendapat respons sinis dari kalangan pengamat. Menurut Abra, dari Indef, ketergesaan ini tidak bisa menghindari munculnya kecurigaan bahwa pemerintah ingin menghindari DPR. Karena saat ini tengah digodok Rancangan Undang-Undang Tentang BUMN yang diinisiasi DPR. Draf itu pertama kali diusulkan pada 2 Februari 2018 dan tahun 2019 ini kembali masuk Prolegnas Prioritas. “Dalam draf RUU BUMN, DPR ingin adanya intervensi dalam proses penggabungan BUMN, makanya pemerintah secepatnya ingin bentuk holding,” kata Abra.
Menurut dia, RUU itu sebenarnya ingin menjawab tantangan BUMN yang selama ini selalu terjerat intervensi politik parlemen dan juga beban politik pemerintah. Namun demikian, dirinya lebih khawatir jika BUMN semakin sulit lagi diawasi oleh Parlemen sebagai perwakilan rakyat, maka ia justru berpotensi semakin terjerumus dijadikan alat politik penguasa.
Oleh karena itu, lanjut Abra, meskipun nantinya Holding dan Superholding BUMN terbentuk, tidak ada jaminan gerak bisnis BUMN bebas dari intervensi penguasa. “Buktinya, beberapa direksi BUMN acapkali dibongkar pasang dalam waktu yang relatif singkat karena sulitnya menolak intervensi kebijakan pemerintah. Belum lagi, jabatan Direksi dan Komisaris yang ditempati banyak “relawan” membuktikan tidak mudahnya membebaskan BUMN dari cengkeraman kepentingan penguasa,” jelas dia.
                Selain itu, strategi holding juga tidak menjamin perbaikan kinerja keuangan BUMN. Buktinya yang bisa dilihat adalah dari holding Semen Indonesia (Persero) Tbk yang terbentuk akhir 2012 memiliki kinerja yang tidak bisa dibilang ok.
Sebagai perusahaan holding, current ratio Semen Indonesia turun dari 220,9 persen per Desember 2014 menjadi 172,14 persen per September 2018, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, Februari lalu. Sementara itu dividen juga turun dan earning per share juga turun dari Rp 938,35 menjadi Rp351,91 pada periode analisis yang sama.

(dipublikasikan Mar-Apr 2019)

E-Commerce yang Menggores Luka


Maraknya pola perdagangan dengan menggunakan jalur daring tidak lantas membuat perekonomian Indonesia beroleh manfaat. Hal itu setidaknya terlihat dari meningkatnya impor barang konsumsi yang pada akhirnya memperlebar defisit neraca perdagangan.


Akhir 90-an, bahkan di awal milenium ini, ketika Internet mulai dikenal, belum ada perubahan mencolok dalam praktik jual beli di masyarakat Indonesia. Namun nyaris dua dekade berlalu, internet mengguncang cara berdagang yang biasa berlaku di Tanah Air.
                Beberapa tahun belakangan, hampir semua komoditas dan kebutuhan pokok bisa dijualbelikan melalui internet, yang mana praktik tersebut biasa disebut perdagangan elektronik (electronic commerce/ e-commerce). Bahkan kini dengan perkembangan teknologi digital yang marak, praktik perdagangan dalam jaringan (daring) atau online tersebut menjadi hal yang lumrah.
Maraknya e-commerce ini kemudian melahirkan dan menyuburkan marketplace, istilah untuk menjelaskan sebuah website atau aplikasi online yang memfasilitasi proses jual beli dari berbagai toko atau lapak. Online marketplace memiliki konsep yang kurang lebih sama dengan pasar tradisional dimana ada penjual yang menjual barang, namun pembeli tidak berhadapan fisik secara langsung melainkan melalui Intenet. Sistem pembayarannya pun lebih banyak dilakukan melalu transfer, alih-alih tunai.
                Nama-nama seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, Shopee, dan JD.ID sudah sangat familiar bagi masyarakat dan aplikasinya lazim berada dalam smartphone mereka. Meningkatnya penggunaan ponsel pintar memang makin menyuburkan penggunaan aplikasi marketplace tersebut, yang pada akhirnya mendongkrak transaksi e-commerce.
Transaksi lewat e-commerce pada 2017 diperkirakan mencapai Rp80  triliun hingga 100 triliun. Jumlah tersebut memang belum angka resmi karena belum ada institusi resmi yang mencatat transaksi-transaksi jual beli online.
Sekilas, maraknya perdagangan online memberikan gambaran bahwa ekonomi Indonesia dalam kondisi –setidaknya berjalan ke arah– yang menggembirakan. Akan tetapi yang tampak dalam gambar besarnya tidak seindah itu. Maraknya jual beli daring setidaknya telah membuat luka bagi perekonomian Indonesia. Luka pertama bisa dilihat dari dampaknya pada perdagangan internasional.
Selama bertahun-tahun perdagangan elektronik berlangsung di Indonesia, dampaknya pada kualitas ekonomi tidak tampak juga. Setidaknya jika dilihat dari sisi ekspor-impor. Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, barang-barang yang diperjualbelikan di Indonesia khususnya melalui marketplace, hampir 90 persen adalah produk impor. Artinya minim sekali barang-barang yang dijual  itu diproduksi di dalam negeri.
Hal itu tentu menjadi sinyal bahwa maraknya praktik e-commerce tidak berbanding dengan peningkatan sektor usaha terutama di lini bisnis mikro, kecil, dan menengah. Dengan kondisi itu maka dapat dikatakan bahwa dampaknya pada pertumbuhan ekonomi yang berkualitas pun sangat minim.
Melihat hal tersebut, Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih berjanji akan mendorong sejumlah marketplace agar proporsi produk lokal, terutama produk industri kecil dan menengah, bisa meningkat.
Menurut data dari Sensus Ekonomi 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan industri e-commerce Indonesia telah tumbuh 17 persen dalam dalam sepuluh tahun terakhir. Bahkan, pertumbuhan itu disebut-sebut sebagai yang tertinggi di dunia. Sementara nilai transaksi e-commerce 2018 ini diprediksi akan mencapai Rp144 triliun.
Praktik impor juga membawa dampak buruk pada nilai tukar karena memaksa pelaku ekonomi untuk terus menerus bergantung kepada mata uang asing terutama dollar AS, yang membuat kurs rupiah terombang-ambing. Sepanjang tahun ini, nilai tukar rupiah masih bertengger di level Rp14.000 sampai 15.000 per dollar AS. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah akan melakukan seleksi ketat terhadap 900 komoditas impor yang masuk ke Indonesia.
Apa yang diungkapkan oleh pemerintah senada dengan data yang dimiliki lembaga riset terkemuka Indef. Menurut salah seorang penelitinya, Bhima Yudhistira Adhinegara, hanya 6-7 persen dari keseluruhan produk yang beredar di pasar-pasar elektronik ini berasal dari pengusaha lokal. “Spending investasi start up e-commerce yang cukup besar membuat secara tidak langsung marketplace mempromosikan produk-produk impor ketimbang produk-produk dalam negeri,” kata dia. “Perkembangan e-commerce berkorelasi  dengan naiknya impor barang konsumsi.”
Sementara itu produk-produk lokal yang diproduksi oleh pengusaha mikro kecil dan menengah yang sudah masuk e-commerce, didominasi oleh pelaku usaha yang baru saja memasuki industri. Di sisi lain, tambah Bhima, pelaku UMKM di sektor pertanian, peternakan, kehutanan (fresh food product) kebanyakan belum masuk platform e-commerce.
Luka lain akibat maraknya e-commerce yang belakangan ini mulai mewujud adalah makin melebarnya defisit neraca perdagangan. Sebagaimana disebutkan oleh BPS bahwa defisit neraca dagang sepanjang 2018 mencapai  8,57 miliar dollar AS, yang merupakan defisit terbesar sepanjang sejarah perekonomian Indonesia sejak merdeka.
Memang penyebab melebarnya defisit bukan semata-mata dipicu oleh melonjaknya impor dari barang-barang yang dijual lewat daring yang belakangan memang marak. Meski begitu perkembangan jual beli daring harus menjadi perhatian tersendiri dari pemerintah karena bisa menimbulkan kekhawatiran.
Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia mengatakan, keberadaan e-commerce mendorong minat investor asing untuk menaruh dananya di Indonesia. Tetapi  lanjut dia, hal tersebut akan meningkatkan impor Indonesia.
Impor yang meningkat pada akhirnya akan memicu defisit neraca perdagangan Indonesia. Karena seperti yang selama ini dilihat Faisal, sebagian besar yang diperjualbelikan dalam transaksi e-commerce adalah barang-barang impor. “Era digital telah mengubah aspek kehidupan, pola produksi, pola transaksi, dan gaya hidup,” katanya.
Terlebih, kondisi tersebut juga berdampak negatif pada produk-produk dalam negeri yang diproduksi oleh pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Hal ini juga tercermin dari mulai melemahnya pertumbuhan kredit di sektor tersebut. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, kredit UMKM sampai Desember 2018 tercatat tumbuh 9,9 persen. Sedangkan pertumbuhan kredit secara total mencapai 11,7 persen dan sektor korporasi naik sebesar 13,4 persen. BI melihat angka pertumbuhan kredit UMKM disebabkan oleh perlambatan kredit modal kerja UMKM yang diimbangi dengan peningkatan kredit investasi
"Di era digital ini, kemudian transaksi semakin marak, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) naik, tetapi yang diperdagangkan semakin banyak barang dan jasa yang impor. Maka dari itu jika sektor produksinya tak dibenahi, maka basis pajak jangka panjang kurang kokoh," ucapnya.


Masalah Pajak
Sebelum tahun 2018, praktik jual beli daring yang makin merebak tidak memberikan dampak signifikan ke dalam pendapatan negara. Pasalnya, meskipun angka perdagangan bisa mencapai Rp100 triliun, pemerintah tidak bisa menarik pajak dari transaksi tersebut. Setidaknya hingga triwulan pertama tahun lalu.
Mengetahui begitu besarnya uang yang beredar di industri tersebut akhirnya pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No 210/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan untuk E-Commerce. Salah satu yang diatur dalam aturan ini adalah kewajiban pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP) dan memberitahukannya kepada pihak penyedia platform marketplace.
Jika belum memiliki NPWP, dapat memilih opsi mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atau memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace. Pedagang daring juga harus melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini termasuk membayar pajak final dengan tarif 0,5 persen dari omzet dalam hal omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun.
Aturan yang telah dirilis pemerintah tersebut setidaknya bisa sedikit mengobati luka yang diakibatkan goresan perkembangan e-commerce. Atau setidaknya pemerintah bisa memiliki modal tambahan untuk mengobat luka tersebut.

(dipublikasikan Jan-Feb 2019)

Kamis, 11 Juli 2019

Menguji Keberlanjutan Keuangan Berkelanjutan


Inisiatif keuangan keberlanjutan kembali digulirkan otoritas, kali ini tampaknya lebih serius. Respons industri perbankan pun terlihat bagus dengan membentuk kelompok yang terdiri beberapa bank yang sejak awal mendukung program itu.



Sejak John Elkington, penulis, penasihat, dan pengusaha, tahun 1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line, atau 3P yaitu People, Planet and Profit; diskusi dan upaya untuk mengarahkan bisnis agar lebih memperhatikan keseimbangan alam mulai tumbuh. Bahkan ketiga konsep dianggap sebagai pilar yang mengukur nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Sektor keuangan, namun begitu, merupakan industri yang paling sulit untuk mengadopsi nilai-nilai 3P. Sudah lebih dari 3 dasawarsa, konsep itu tidak juga menyentuh sektor keuangan, terutama di Indonesia. Sebelum tahun lalu, secara formal konsep ini belum terlembaga secara utuh. Baru setelah OJK mengeluarkan aturan Tentang Laporan Keberlanjutan pada 2017 lalu, inisiasi ini mulai diterapkan secara formal.
Tahun ini boleh dibilang tahun pertama keuangan berkelanjutan mulai diaplikasikan terutama oleh bank-bank besar. Harapan besar tentu ditumpukan pada semua stakeholder industri keuangan agar program ini bisa berlanjut mengingat otoritas masih sering terkena sindrom konsistensi.
Beberapa tahun lalu, otoritas perbankan yang semasa itu masih berada di tangan Bank Indonesia sudah sempat merintis konsep triple bottom line dengan memperkenalkan praktik green banking pada perbankan. Gerakan ini sempat marak, seiring dengan booming-nya gaya hidup berolahraga dalam bekerja seperti banyaknya pekerja yang menggunakan sepeda ke kantor, atau meningkatnya minat orang untuk ber-jogging. Bahkan tren itu berlanjut dengan mulai didirikannya parkir-parkir sepeda di gedung-gedung kantor untuk menunjang aktivitas tersebut.
 Namun begitu gerakan ini sepertinya mati suri di tengah jalan, karena tidak ada kewajiban bagi bank untuk melaksanakannya dan sebaliknya tidak ada sanksi bagi yang tidak melaksanakannya. Baru pada tahun 2017, ada gerakan yang lebih sistematis tatkala Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan aturan tentang Penerapan Prinsip Keuangan  Berkelanjutan. Aturan itu mewajibkan bank untuk membuat Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) dan Laporan Keberlanjutan. Rencana dan laporan itu harus segera dilakukan secara bertahap, yang mana untuk Bank BUKU 3, BUKU 4, dan Bank Asing harus sudah disampaikan pada 30 April 2018 lalu. selanjutnya bank-bank yang lebih kecil dari itu menyusul mulai tahun ini.
                Menurut berbagai literatur, praktik keuangan berkelanjutan mengacu pada segala bentuk layanan keuangan yang mengintegrasikan kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) ke dalam keputusan bisnis atau investasi untuk keuntungan jangka panjang baik klien maupun masyarakat luas.
                Lalu apakah program ini akan berlanjut atau akan kandas di tengah jalan? Untuk pertanyaan tersebut Ketua The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) Gendut Suprayitno optimistis gerakan yang satu ini akan berlanjut. “Perusahaan sebagai sebuah entitas bisnis tidak lepas dari pengaruh dan dukungan sosial dan lingkungan dalam meraih keuntungan. Konsep triple bottom lines telah menjadi pemahaman bersama dan pendekatan yang dipakai dalam merangkai dua kata governance dan sustainability menjadi praktik umum,” kata dia.
Governance dan sustainability, lanjut Suprayitno, merupakan dua hal yang saling beriringan, yaitu komitmen dalam penerapan tata kelola perusahaan yang baik tidak hanya ditujukan untuk penciptaan nilai perusahaan secara ekonomi. Namun begitu tidak meninggalkan tujuan untuk menciptakan nilai secara sosial dan lingkungan. “Dengan demikian maka bank dalam governansinya perlu memperhatikan konsep Triple Bottom lines yang memiliki aspek sosial (People), lingkungan (Planet) dan ekonomi (Profit)  atau 3P,” kata Suprayitno.
Dalam siaran resmi OJK disebutkan bahwa Keuangan Berkelanjutan di Indonesia didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. OJK juga sudah mengeluarkan peta jalan (road map) untuk industri keuangan dalam menerapkan konsep Keuangan Berkelanjutan.
Dalam peta jalan itu disebutkan bahwa dalam jangka menengah yang berakhir tahun ini kegiatan penguatan keuangan berkelanjutan difokuskan pada kerangka dasar pengaturan dan sistem pelaporan, peningkatan pemahaman, pemberian insentif serta koordinasi dengan instansi terkait. Dalam jangkan panjang yang dimulai 2020 sampai 2024, kegiatan difokuskan pada integrasi manajemen risiko, tata kelola perusahaan, penilaian tingkat kesehatan bank dan pembangunan sistem informasi terpadu keuangan berkelanjutan.

Respons Industri
Boleh dibilang program yang mengharuskan industri agar lebih memperhatikan lingkungan kali ini akan bisa bertahan lebih lama. Pasalnya program yang didorong OJK itu direspons positif dan aktif oleh pelaku industri.
Setelah otoritas melansir aturan mengenai Keuangan Berkelanjutan tahun 2017, pelaku industri meresponsnya dengan membentuk Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI). Kelompok yang diresmikan pertengahan tahun lalu itu di dalamnya ada delapan bank nasional yang mewakili 46 persen aset perbankan di Indonesia.
Mereka adalah Bank Artha Graha Indonesia, BRI Syariah, Bank Central Asia, Bank  Mandiri, Bank  Muamalat,  Bank  Negara  Indonesia,  Bank  Pembangunan  Daerah  Jawa Barat dan Banten,  dan Bank Rakyat Indonesia.
Pembentukan  IKBI  merupakan  wujud  nyata  komitmen  perbankan Indonesia dalam menerapkan praktik keuangan berkelanjutan yang inklusif pada sektor jasa keuangan. Platform  ini  bersifat  terbuka  untuk  industri  jasa  keuangan  bank  dan  non-bank, emiten, dan sektor industri relevan lainnya.
Sebelum membentuk IKBI, otoritas pada 2015 silam telah menginisiasi proyek yang disebut First Steps to become Sustainable Bank yang anggotanya kemudian membentuk IKBI. Proyek tersebut merupakan kerja sama dengan salah satu organisasi nirlaba WWF-Indonesia.
Dalam proyek tersebut, kedelapan bank ‘First Movers’ memperoleh bimbingan terkait implementasi manajemen risiko lingkungan hidup dan tata kelola. Beberapa output dari proyek rintisan ini termasuk perbaikan kebijakan dan Standar Prosedur Operasi pada masing-masing bank serta perbaikan kualitas pembiayaan khususnya pada sektor usaha yang memiliki risiko lingkungan hidup dan sosial yang tinggi.
Dalam siaran pers dari WWF-Indonesia ini dikatakan bahwa IKBI merupakan inisiatif riil berbasis-pasar dari Industri Jasa Keuangan (IJK) yang diharapkan mampu mendukung implementasi peta jalan (roadmap) keuangan berkelanjutan yang termaktub pada Peraturan OJK No.51 tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Keuangan  Berkelanjutan.
Sejalan dengan ‘First  Movers’,  IKBI bertujuan menguatkan kelembagaan, khususnya pada bidang manajemen risiko lingkungan hidup, sosial dan tata kelola. Inisiatif ini juga dibangun untuk  berkontribusi sekaligus menangkap peluang bisnis terhadap upaya pembangunan ekonomi  Indonesia yang memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim dan berkontribusi langsung pada upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
“IKBI berorientasi menangkap peluang-peluang bisnis baru dan mendorong penerapan keuangan berkelanjutan yang inklusif, sejalan dengan target pemerintah mewujudkan pembangunan berkelanjutan,” kata Mohammad Irfan, Direktur Manajemen Risiko Bank BRI.
Irfan yang juga ditunjuk sebagai Ketua IKBI melanjutkan bahwa selain sosialisasi dan penguatan kelembagaan, program IKBI di tahun pertama akan berorientasi pada peningkatan   portofolio hijau yang berkualitas dengan fokus pengembangan proyek perdana bersama para anggota, mitra strategis lainnya dan regulator.
Berdasarkan data studi yang dilansir oleh UNEP dan Development Bank of Singapore (DBS) pada November 2017, peluang investasi hijau di ASEAN pada periode 2016-2030 mencapai sekitar 2,3 - 3 triliun dollar AS. Indonesia dinilai merupakan negara berpotensi tertinggi untuk menangkap investasi hijau tersebut.
Menurut identifikasi, setidaknya 36 persen dari total potensi investasi sektor infrastruktur dan energi terbarukan sebesar 8 triliun dollar AS dapat diserap oleh Indonesia. Hal ini tentu merupakan potensi bahwa program keuangan berkelanjutan akan berlanjut.


 -------------------------------------------------------------------------------------------------------


Aturan terkait konsep green banking

1.            UU No. 23 Tahun 1997 yang mengatur Pengelolaan Lingkungan Hidup Yang Berkelanjutan (sustainable).
2.            Surat Edaran BI No.21/9 UKU Tanggal 25 Maret 1989 perihal Kredit Investasi dan Penyertaan Modal yang mewajibkan adanya Analisis Mengenai Dampak lingkungan (AMDAL). Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kegiatan perusahaan terhadap lingkungan.
3.            Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/2/PBI/2005 yang mengatur keharusan perbankan melakukan penilaian prospek usaha debitur yang dikaitkan upaya pemeliharaan lingkungan.
4.            Nota kesepahaman antara BI dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengenai Koordinasi Peningkatan Peran Perbankan dalam rangka Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Desember 2010 silam.
5.            Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengakomodasi instrumen ekonomi lingkungan agar menjadi pertimbangan dalam konteks ekonomi


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 


Road Map Sustainable Finance di Indonesia

2015
Landasan Penerapan SF
1. Kebijakan Prinsip SF
2. Kebijakan Peningkatan Porsi SF
3. Kebijakan pengawasan SF

2016
Insentif
1. Insentif Prudensial
2. Information Hub
3. SF Award
4. Kebijakan Pelaporan

2017-2018
Insentif kerjasama dengan
Instansi lain.
1. Insentif Fiskal
2. Insentif Non Fiskal

2019-2024
Penguatan Ketahanan.
Penguatan Manajemen
Risiko dan GCG terkait
lingkungan dan sosial

(dipublikasikan Jan-Feb 2019)

Belum Usai Masa Suram



Tahun 2019 seharusnya bisa menjadi akhir dari masa-masa pelambanan ekonomi yang mendera ekonomi sepanjang empat tahun belakang. Akan tetapi tampaknya pelaku industri keuangan harus lebih lama menahan sabar melihat perlambatan ekonomi.


Apa yang akan Anda lakukan ketika mengetahui bahwa esok hari cuaca diprediksi akan cenderung mendung, berkabut, dan kemungkinan akan turun hujan lebat? Payung atau jas hujan tentu harus segera dipersiapkan, atau keputusan untuk tetap di rumah bisa menjadi pilihan.
Sepertinya itulah yang sedang dialami oleh industri keuangan, utamanya sektor perbankan di Indonesia. Dari sekian banyak prediksi yang sudah diterbitkan oleh lembaga-lembaga riset independen bahkan oleh riset internal perbankan sendiri, hampir seluruhnya mengingatkan bahwa kondisi tahun 2019 tidak akan lebih ringan dari sebelumnya.
Isu utama yang jadi pusat perhatian tidak berbeda jauh dengan yang menimpa perekonomian pada 2018, terutama soal faktor eksternal. Menurut Anton Gunawan, Chief Economist Bank Mandiri, faktor global yang akan mempengaruhi perekonomian adalah masih berlangsungnya ketidakpastian geopolitik. “ Setidaknya ada tiga ketidakpastian geopolitik. Pertama soal dampak dari Trumponomics, kedua soal kebijakan moneter AS yang akan dinormalisasi, dan ketiga soal perkembangan ekonomi China,” kata dia dalam paparannya dalam sebuah diskusi.
Mengenai kebijakan ekonomi dari Presiden AS Donlad Trump dalam kaitannya dengan perang dagang melawan China, kata Anton, akan membuat dana-dana berdenominasi dollar AS kembali ke Negeri Paman Sam itu. “Presiden Trump menerbitkan tambahan daftar tarif baru dalam kaitannya dengan perang dagang dengan China. Dollar AS akan menguat karena stimulus fiskal akan mendorong pertumbuhan AS, dan membuat dana-dana global kembali ke AS,” jelas dia.
Menyangkut normalisasi yang tengah terjadi pada kebijakan moneter AS, banyak analis memprediksi bahwa tahun ini akan ada tiga kali lagi kenaikan suku bunga The Fed Fund Rate dan satu lagi di tahun 2020 yang akan membuat suku bunga menyentuh level 3,5 persen. Menurut Anton, neraca bank sentral AS itu akan menyusut dari 4,5 triliun dollar AS menjadi hanya 2,5 triliun sampai 3 triliun dollar AS.
Apa yang akan dan sedang dilakukan otoritas moneter AS tentu akan akan mempengaruhi kebijakan di bank sentral Eropa dan Bank Sentral Jepang. Hal ini tentu juga akan mempengaruhi bank-bank sentral dunia secara keseluruhan.
Mengenai ekonomi China, Anton mengatakan bahwa pertumbuhannya akan melambat dari 6,9 persen menjadi 6,6 persen tahun ini dan 6,4 persen tahun 2019. Mata uang yuan, akan melemah dikarenakan kebijakan devaluasi dalam kaitannya dengan konflik perdagangan melawan AS. Hal itu akan membuat pemerintah China menegluarkan stimulus fiskal yang lebih agresif dari sebelumnya, yang akan menambah level utang lebih besar.
“Pengetatan kebijakan moneter global dan persaingan dagang yang makin sengit antara AS dan China akan mebuat pertumbuhan ekonomi global melamban. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada prospek dari harga-harga komoditas. Sehingga GDP 2019 diprediksi akan lebih rendah dari 2018, dimana hanya mencapai 5,11 sedangkan 2018 diperkirakan mencapai 5,16,” jelas Anton.
Sebelumnya Bank Mandiri memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 akan mencapai 5,5 persen yang kemudian direvisi menjadi hanya 5,1 persen.
Angka pertumbuhan ekonomi memang akan menjadi sumbu dari semua prediksi bisnis di sektor keuangan. dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, setidaknya dalam empat tahun terakhir, belum menjadi faktor yang mendorong optimisme pelaku industri.
Bahkan banyak lembaga ekonomi yang akhirnya memangkas angka prediksi pertumbuhan  ekonomi Indonesia tahun 2019. Fitch Ratings misalnya yang memangkas proyeksi laju ekonomi dari 5,1 persen menjadi 5 persen.
Kondisi tersebut terjadi karena kondisi finansial yang ketat. Utamanya didorong oleh laju investasi yang melambat. "Biaya pembiayaan yang lebih tinggi, ditambah langkah pemerintah yang mengekang laju impor yang tinggi diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran modal," jelas Fitch dalam laporan tertulisnya.
Risiko Perbankan
Di sisi industri keuangan, meski begitu, nada optimis masih bisa digaungkan oleh lembaga-lembaga riset di tengah perekonomian global yang menantang. Moody's Investors Service dalam proyeksi 2019 menyatakan bahwa bank-bank Asia Pasifik (APAC) masih relatif stabil tahun depan. Namun, kondisi dan beban operasional perbankan di kawasan ini dinilai bakal lebih menantang dari tahun 2019.
Melansir analisis yang dirilis, Moody's mengungkapkan bahwa prospek untuk bank di Asia Pasifik masih stabil paling tidak sampai 12 bulan ke depan. Secara khusus, Moody's mengatkaan bahwa modal, biaya pencadangan, laba bank-bank di APAC masih cukup untuk mengantisipasi potensi kerugian. Ditambah dari sisi pendanaan atau likuiditas sejumlah perbankan, sejauh ini masih tetap stabil.
"Pandangan kami, bahwa dukungan pemerintah untuk bank akan tetap kuat, dan bahwa biaya untuk membayar dana untuk penyelamatan bank tidak akan diperlukan. Meskipun, Hong Kong tetap dalam pengecualian dalam hal ini," kata Eugene Tarzimanov, Wakil Presiden dan Pejabat Kredit Senior Moody's.
Bank Indonesia lebih optimis lagi. Bank sentral memproyeksikan memproyeksikan pertumbuhan kredit pada 2019 mencapai 10-12 persen, sementara pertumbuhan DPK perbankan mencapai 8 persen-10 persen dengan kecukupan likuiditas yang terjaga.
Prediksi itu segendang sepenarian dengan Otoritas Jasa Keuangan, bedanya lembaga ini memprediksi pertumbuhan simpanan perbankan di kisaran 7-9 persen. Deputi Komisioner Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi OJK Yohanes Santoso Wibowo mengatakan bahwa faktor yang dominan mempengaruhi kinerja industri keuangan adalah faktor eksternal yaitu normalisasi kebijakan moneter AS dan dan perang dagang AS-China yang belum menemukan titik surutnya. “Kami akan terus menghitung asumsi makro untuk memetakan arah industri keuangan nasional tahun depan. Kemenkeu juga sudah menyebutkan penurunan proyeksi dari asumsi APBN yang di pasang 5,3 persen. Jadi, kami juga sejalan menurunkan,” ujar Yohanes.
Risiko Fiskal Meningkat
Di sisi lain, lembaga riset ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengingatkan akan adanya risiko fiskal yang meningkat. Sejatinya harus diakui kinerja penerimaan dan belanja pemerintah tahun ini sebenarnya lebih baik dibanding tahun 2017, terlihat dari realisasi belanja maupun penerimaan yang mengalami perbaikan signifikan.
Realisasi belanja Pemerintah sampai dengan November tahun ini meningkat 11 persen, atau lebih tinggi dibanding tahun lalu yang mencapai 7 persen. Pertumbuhan realisasi belanja negara juga ditunjang oleh meningkatnya realisasi penerimaan perpajakan. Hingga November 2018 pertumbuhan penerimaan perpajakan mencapai 15 persen, meski pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 5,17 persen.
Namun demikian, menurut Menurut Piter Abdullah Redjalam Direktur Riset CORE Indonesia, walaupun realisasi belanja dan penerimaan APBN secara umum membaik, risiko pembiayaan fiskal pada tahun 2018 juga cenderung makin tinggi.
Pasalnya, peningkatan suku bunga acuan sebanyak empat kali oleh The Fed yang menekan nilai tukar rupiah tahun ini telah mengakibatkan peningkatan pembiayaan utang. “Total utang pemerintah pusat sampai dengan November 2018 mencapai Rp 4.395 triliun, atau meningkat 12 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp 3.928 triliun,” ungkap Piter.
Utang yang terus meningkat melalui penerbitan obligasi pemerintah ini yang menurut Faisal Basri, membantu menguatnya nilai tukar mata uang rupiah untuk sementara waktu beberapa waktu lalu. Menurut dia, rupiah menguat karena aliran modal yang masuk ke Indonesia. Diantaranya melaluai investasi langsung, portofolio dan investasi lainnya. Sejak 2014, kata Faisal, investasi di portofolio (pembelian aset-aset finansial seperti saham, surat utang atau commercial papers) selalu lebih besar ketimbang investasi langsung (FDI).
Namun, aliran modal yang masuk dari portfolio investment tidak bisa dikendalikan masuk dan keluarnya. Seperti pada medio 2018, banyak aliran modal yang lari dari Indonesia karena kondisi perekonomian global. “Jadi saat pemerintah rajin tarik utang melalui obligasi, berlomba dengan bank menarik dana masyarakat dengan menaikan bunga simpanan dengan penawaran bunga yang tinggi. Ini juga jadi risiko, sebagai dampak dari pengetatan moneter,” katanya.
Nah, risiko-risiko tersebut bisa dianggap sebagai pertanda bahwa cuaca ekonomi masih akan suram. Jadi sebaiknya pelaku industri keuangan menyiapkan jas hujan, atau minimal payung, agar tidak sakit.

* * * 


Proyeksi Pertumbuhan 2019

Lembaga                              Sebelumnya                       Revisi
Bank Mandiri                     5,5                                          5,1
Fitch Ratings                       5,1                                          5,0
Bank Dunia                         5,3                                          5,2
Bank Indonesia                                 5,1-5,5                                  revisi ke bawah
OJK                                        5,3                                          5,2
IMF                                        5,3                                          5,1



(dipublikasikan Des 2018-Jan 2019