Strategi fiskal pemerintah dalam menarik dana masyarakat
akan direspons bank dengan langkah menerbitkan obligasi sebagai mitigasi risiko
likuiditas. Apakah ini pertanda pertempuran perebutan likuiditas akan dimulai?
Ketika dalam beberapa tahun belakangan –setelah krisis
keuangan global berkecamuk– pembuat
kebijakan memegang kendali perekonomian, pelaku sektor keuangan tidak
lantas berhenti was-was. Peran pemerintah yang kian dominan acapkali tidak
sejalan dengan tujuan mereka sendiri untuk melindungi sektor keuangan dari
krisis, saat kebijakan yang ditelurkannya malah membuat perebutan likuiditas
makin sengit.
Di
Indonesia, selisih jalan antara kebijakan fiskal dan keinginan pelaku sektor
keuangan sudah berlangsung sejak tahun lalu. Tahun ini, keinginan pemerintah
untuk menyelamatkan fiskal sekaligus menggerakkan ekonomi malah memunculkan
benih-benih ‘pertempuran’ di ranah likuiditas.
Kementerian
Keuangan telah memobilisasi kebijakan untuk menyerap lebih banyak dana
masyarakat sejak tahun lalu guna membiayai anggaran sekaligus menambal defisit
yang membesar. Pada APBN 2017, belanja pemerintah ditetapkan sebesar Rp2.080,5
triliun sementara pendapatan ditargetkan sebesar Rp1.750,3 triliun. Sehingga
ada defisit yang tak terhindarkan sebesar Rp330,2 triliun atau mencapai 2,4
persen dari pendapatan nasional.
Upaya
pemerintah untuk menutup defisit dibarengi dengan keinginan untuk menjalankan
proyek-proyek infrastruktur yang memakan dana besar. Jadilah bendahara negara
rajin menerbitkan surat utang negara serta pinjaman dari luar negeri. “Untuk
menutup defisit bersumber dari utang dan non utang. Pembiayaan utang berasal
dari penerbitan surat berharga negara (SBN) serta pinjaman domestik dan luar
negeri,” kata Basuki Purwadi, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan
Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
Total nilai penerbitan SBN sampai dengan akhir kuartal pertama
2017 sudah mencapai Rp 265,77 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 38,71
persen dari target bruto penerbitan SBN sepanjang tahun ini yang senilai Rp
684,8 triliun. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memang telah
menetapkan strategi prefunding untuk
belanja fiskal 2017 dengan cara menerbitkan obligasi negara dan juga menggali
pendapatan dari pajak.
Tak
pelak strategi fiskal pemerintah itu menohok perbankan yang pada satu sisi
sedang membutuhkan likuiditas dari masyarakat, terutama pada tahun ini ketika
risiko likuiditas di mata para pengelolanya sedang meningkat. Sejak tahun lalu
sejatinya bank sudah mengeluhkan kebijakan front
loading dari pemerintah yang dianggap bertubrukan dengan kebutuhan bank
dalam menyerap dana masyarakat. Padahal di saat yang sama, otoritas perbankan
tengah mendesak bank untuk menurunkan suku bunga hingga ke level single digit.
Tahun
ini mau tak mau perbankan harus bersiap menghadapi persaingan dengan pemerintah
dalam berburu likuiditas. Apalagi tahun ini pemerintah diperkirakan akan lebih
agresif dalam menerbitkan aturan-aturan pajak baru untuk menggenjot pendapatan.
“Bersiap-siap saja nanti ada pajak-pajak yang kreatif dan
inovatif dari pemerintah. Ada pajak apartemen nganggur, pajak lahan tidak produktif, pajak cukai plastik, pajak
transaksi e-commerce. Bahkan akan ada
pajak selebgram, selebritas di medsos,” kata peneliti Indef Bhima Yudhistira
Adhinegara.
Selain
kebijakan anggaran pemerintah, perbankan juga tidak luput dari ancaman lain
dari sisi ekonomi global. Bank sentral AS sudah diperkirakan akan menaikkan
suku bunga acuannya dua kali pada tahun ini. Kenaikan Fed Rate, kata Bhima akan
meningkatkan ancaman terhadap keluarnya dana asing yang berpotensi melemahkan
nilai tukar rupiah. “Untuk meminimalisir efek kenaikan Fed Rate secara bertahap di
tahun 2017 diprediksi Bank Indonesia akan cenderung mempertahankan atau bahkan
menaikkan suku bunga acuan,” kata
dia.
Dan
jika yang dipilih BI adalah menaikkan suku bunga acuan, hampir bisa dipastikan
bank akan makin menderita lagi dalam upaya memperebutkan likuiditas masyarakat.
Di sisi lain, yield yang ditawarkan
SBN juga relatif tinggi yaitu antara 8-9 persen sehingga ketika bank mau
menarik dana masyarakat maka bunga yang ditawarkan juga harus lebih menarik
lagi.
Bhima menambahkan bahwa waktu
penerbitan SBN juga menjadi isu krusial bagi pelaku perbankan karena seringkali
berdekatan dengan penerbitan instrumen deposito atau surat utang bank. “Kondisi
miss-koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter mengakibatkan perbankan
saling berebut dana, pada akhirnya cost
of fund perbankan menjadi mahal,” kata dia.
Penderitaan Perbankan
Sementara
itu, perbankan masih merasakan kesusahan dalam mengelola likuiditasnya akibat
pertumbuhan kredit yang selalu lebih tinggi dari pertumbuhan dana pihak ketiga
sejak 2004.
Hal itu tentu saja membuat rasio pinjaman dan kredit (LDR)
meningkat tajam dari 58,1 persen pada 2004 menjadi 90,5 pada akhir 2016. “Dengan
proyeksi pertumbuhan kredit dan DPK, LDR diperkirakan akan mencapai 92 persen pada
tahun 2019,” kata Ahmad Siddik Badruddin, Direktur Manajemen Risiko dan
Kepatuhan Bank Mandiri, pada Seminar mengenai likuiditas yang digelar Majalah
Stabilitas awal Mei lalu.
Proyeksi
pertumbuhan kredit pada tahun ini juga lebih besar dari pertumbuhan pendanaan
di mana angkanya 13,5 persen berbanding 12,5 persen.
Dia
melanjutkan, tahun ini ada dua faktor utama yang akan mempengaruhi likuiditas
perbankan yaitu kebijakan pengelolaan anggaran pemerintah dan aliran modal
asing. Kebijakan fiskal seperti penarikan pajak, belanja pemerintah dan juga
penerbitan SBN akan langsung membuat likuiditas di masyarakat dan juga yang
dikelola perbankan akan terpengaruhi.
Penarikan
pajak yang intensif sudah barang tentu akan mengurangi dana masyarakat dan
akhirnya mengikis dana perbankan. Sebaliknya belanja pemerintah akan menambah
pasokan likuiditas, karenanya peningkatan dalam belanja sangat diharapan oleh
perbankan. “Tahun ini akan ada tambahan likuiditas sebesar Rp157 triliun dari
belanja pemerintah. Kami harapkan pemerintah mengeluarkan belanjanya secara
merata sepanjang tahun, tidak seperti biasanya hanya besar di ujung tahun,”
kata Siddik.
Sementara
itu, ancaman eksternal terkait capital
outflow juga mulai meningkat di saat kepemilikan asing pada surat berharga
baik obligasi maupun equity
meningkat. Berdasarkan data dari Bank Mandiri arus modal asing di pasar domestik
sepanjang Jan-Apr 2017 mencapai Rp99,8 triliun, terdiri atas Rp22,3 triliun di pasar
saham dan Rp77,4 triliun di pasar SBN.
Akan
tetapi, kalangan perbankan mengakui bahwa likuiditas akan menghadapi tantangan
berat tahun ini. Selain karena kondisi pertumbuhan DPK yang makin tipis jika
dibandingkan dengan pertumbuhan kredit, ada pula tantangan lain: aturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Sejak
tahun lalu OJK mengeluarkan aturan yang mengharuskan penempatan dana kelolaan
asuransi dan dana pensiun di instrumen SBN melalui POJK No 1/2016. Aturan
tersebut berdampak kepada penurunan alokasi dana asuransi dan dana pensiun di
instrumen-instrumen deposito perbankan.
Pasca
aturan itu, perbankan cukup menderita karena terjadi pengalihan di portofolio
deposito yang dipegang asuransi dan dana pensiun. Portofolio asuransi di
perbankan dalam bentuk DPK turun dari 23 persen menjadi 15 persen. Sementara di
dana pensiun turun dari 31 persen menjadi 21 persen. “Secara langsung, hal ini
akan mempengaruhi likuiditas perbankan,” kata Siddik.
Dengan
tantangan likuiditas yang ada di hadapan perbankan, tak berlebihan jika para
pengelolanya mempersiapkan strategi untuk mendapatkan dana demi mengamankan
diri. Menurut Panji Irawan, Direktur Keuangan BNI, bank harus sudah mulai
memitigasi risiko likuiditas dengan strategi front loading. “This is the
time for bank to do the fund rising,” kata dia.
BNI dan
beberapa bank sudah menerapkan strategi ini dengan menerbitkan obligasi rupiah
dengan mekanisme penerbitan umum berkelanjutan. Berkelanjutan adalah salah satu
variasi baru dari obligasi, dimana OJK memberikan keleluasaan kepada perusahaan
untuk untuk menerbitkan obligasi dalam kurun waktu dua tahun, dengan cukup
hanya satu kali meminta izin pernyataan efektif.
Strategi
front loading dari perbankan
tampaknya akan marak dalam beberapa bulan ke depan, sehingga persaingan dalam
menarik dana nasabah akan makin ketat di saat pemerintah juga tidak
mengendurkan langkahnya dalam menarik pajak. Dan ‘perang’ antara bank dan
pemerintah dalam mendapatkan likuiditas sudah di ambang pintu.
(dipublikasikan Mei-Juni 2017)