Minggu, 20 Oktober 2019

Peringatan Dini Resesi



when your neighbors lose their jobs, it's recession, when you lose your job it's depression. (Harry Truman) 

Petunjuk bahwa ada masalah krusial di perekonomian sejatinya sudah muncul terutama lima tahun belakangan ini. Kegagalan pemerintah mencapai target pertumbuhan yang sudah disetorkan ke DPR adalah pertanda bahwa program ekonomi yang selama ini dijalankan tidak mencapai tujuan akhirnya.
Pertanda lain adalah ketika daya beli masyarakat melemah sehingga sektor ritel mulai limbung. Sederet pelaku usaha ritel bahkan memutuskan untuk menutup usahanya beberapa tahun belakangan, sebut saja 7-Eleven, Lotus, Debenhams dan yang terakhir adalah Giant.
Kini kode keras dari perekonomian global muncul. AS, pemilik ekonomi terbesar di jagat ini hampir dipastikan akan mengalami resesi. China, rival dari ekonomi AS pun mengalami perlambatan dan menyentuh level terendah dalam tiga dekade terakhir.
Pengampu perekonomian Indonesia nampaknya tidak bisa berbuat banyak menghindari turbulensi itu, yang bisa dilakukan adalah memperkuat pegangan. Dalam pengertian sesungguhnya, pemerintah tampaknya akan memperkuat pondasi ekonomi, memperkuat anggaran negara, dan memperkuat sistem keuangan.
Untuk yang pertama, pemerintah tampaknya akan kembali mengandalkan sektor usaha mikro kecil dan menengah agar bisa menjadi bumper perekonomian. Ini semacam template kebijakan ketika perekonomian nasional tengah dihadapkan oleh suatu masalah serius.
Untuk yang kedua, tanda-tanda itu sudah semakin terlihat dengan langkah pemerintah memangkas banyak pengeluaran belanja. Sayangnya hal itu berimbas pada dinaikkannya iuran-iuran yang harus dibayarkan masyarakat yang pada akhirnya akan mendongkrak beban rakyat. Sebut saja kenaikan tarif BPJS, tarif listrik, tarif cukai rokok, dan tarif tol.
Tentu saja pada ujungnya situasi itu akan makin menekan daya beli masyarakat. Padahal dalam porsi pembentukan produk domestik bruto Indonesia, konsumsi masih menjadi faktor dominan, dengan menyumbang lebih dari 56 persen. Jika hal itu terjadi tentu pertumbuhan ekonomi akan makin melemah.
Sementara itu dalam hal memperkuat sektor keuangan, otoritas memang sudah mulai memitigasi imbas resesi yang sudah muncul di AS dan beberapa negara di Eropa. Otoritas Jasa Keuangan sejatinya masih menggunakan cara lama dalam mengkomunikasin adanya ancaman ekonomi. OJK mengatakan bahwa fundamental ekonomi masih cukup baik dalam menangkal kisruh ekonomi.
Padahal kalau mau sedikit jujur, ada masalah cukup serius di sektor keuangan. Di sektor keuangan non bank misalnya, masih ada persoalan di industri asuransi ketika kisruh perusahaan asuransi Bumiputera yang tak kunjung usai sampai kini. Ditambah lagi dengan kasus Jiwasraya dan juga krisis yang terjadi di perusahaan Sunprima sejak tahun lalu.
Di sektor perbankan, masalah likuiditas masih tetap membayangi dan masalah kredit macet masih menghantui. Ancaman kekeringan likuiditas selalu muncul ketika ekonomi mengalami persoalan serius, karena saat itu muncul kecenderungan semua pihak untuk menggenggam likuiditasnya erat-erat. Saat ini ancaman resesi muncul pada waktu bank harus berebut dana masyarakat dengan pemerintah yang masih getol menerbitkan obligasi untuk menambal anggaran.
Ancaman kredit macet, malah, tahun ini harus diperhatikan serius karena beberapa waktu lalu ada debitur yang gagal bayar dan terkait dengan beberapa bank besar. Penurunan kualitas kredit biasanya akan menjadi akibat langsung dari turbulensi ekonomi.
Sejauh ini, OJK mengatakan bahwa likuditas perbankan cukup untuk mencapai target pertumbuhan  penyaluran kredit sebesar 12 persen sampai akhir tahun. Bank Indonesia juga memastikan bahwa kebijakan penurunan GWM dan suku bunga acuan akan membantu melonggarkan likuiditas perbankan tersebut.
Terakhir, BI telah menurunkan tingkat setoran wajib bank ke bank sentral atau GWM 50 basis poin seraya menurunkan suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate yang saat ini berada di level 5,25 persen. Penurunan GWM tersebut, kata BI, secara otomatis menambah likuiditas bank senilai Rp26,3 triliun. Sejatinya BI telah mempersiapkan sejumlah strategi baru untuk menjaga likuiditas. Caranya masih menggunakan operasi moneter, namun ada beberapa hal yang baru dilakukan tahun ini untuk menyesuaikan kondisi global. Hal ini salah satunya disebabkan likuiditas yang tak merata di industri perbankan.
Sampai sekarang resesi memang belum sampai di rumah kita karena angka pertumbuhan masih positif di angka 5 persen. Meski begitu dari kacamata ekonomi kapitalisme, resesi adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam sebuah siklus bisnis. Kegiatan usaha, atau secara umum perekonomian, ketika sudah membuka langkah awal maka setelah melewati periode tertentu akan mencapai puncaknya dan kembali akan turun.
Siklus ekonomi terbagi dalam empat periode: pertama periode pada waktu kegiatan ekonomi mencapai puncaknya (ekspansi). Kedua, periode pada waktu kegiatan ekonomi mengalami penurunan (resesi dan atau krisis). Ketiga, periode pada waktu kegiatan ekonomi mencapai titik terendah (depresi). Keempat, periode pada waktu kegitan ekonomi mulai meningkat kembali.
Namun begitu, resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga-harga (deflasi), atau, kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi. Dan seharusnya itu sudah cukup dijadikan petunjuk untuk serius memitigasi risiko.






Resesi Sudah Dekat


Ekonomi AS yang dinilai akan mengalami resesi tahun depan diakui akan memberi guncangan ke perekonomian nasional. Pemerintah sudah mengakuinya dan mulai menyiapkan mitigasinya.

Lebih dari dua dekade lalu, pemerintah sejatinya sudah melihat adanya tanda-tanda krisis moneter ketika defisit transaksi berjalan meningkat tajam bersamaan dengan utang luar negeri yang meningkat. Ketika mata uang negara tetangga merosot, banyak pembuat kebijakan yang masih percaya diri bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat. Namun kenyataan berkata lain dan krisis pun meledak pada paro kedua 1997.
Kini muncul pertanda resesi di AS ketika pada Agustus lalu imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor lebih pendek meningkat dan melampaui imbal hasil obligasi jangka  panjang. Sebelumnya kondisi itu juga pada Maret tahun lalu yang mana hal itu terjadi pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade belakangan.
                Normalnya yield obligasi AS jangka pendek memang selalu lebih rendah dibanding yang berjangka panjang. Inversi, atau pembalikan ini, baru terjadi lagi setelah terakhir kalinya muncul pada Juni 2007 yang kemudian setahun setelahnya terjadi krisis subprime mortgage AS. Negara Paman Sam itu kemudian terjerembab dalam resesi yang menular ke ekonomi negara-negara lain.
Resesi ekonomi adalah kondisi di mana perekonomian yang tercermin dari Produk Domestik Bruto (PDB) menurun dan pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Belajar dari pengalaman 1997 lalu, pemerintah kali ini tidak mau gegabah untuk bilang bahwa kondisi itu tidak akan berdampak pada perekonomian. Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, Indonesia harus mewaspadai ancaman resesi yang kian nyata ini. "Jadi kalau ada orang yang bilang Indonesia jauh dari ancaman resesi, jauh apanya? Coba cek. Suka enggak suka kita harus waspada (resesi),” kata dia, September.
                Kementerian Koordinator Perekonomian tentu menjadi pihak yang paling memahami bagaimana ancaman ini memang nyata bagi Indonesia. Apalagi sebelumnya Bank Dunia juga sudah mengeluarkan laporan bertajuk "Global economic risks and implications for Indonesia" dan sudah dipresentasikan di hadapan Presiden Joko Widodo.
                Kata laporan itu, Indonesia akan terkena dampak resesi karena pertumbuhan ekonomi global terus melambat dan kemungkinan resesi terlihat semakin besar. Kesimpulan itu berdasarkan pertanda pembalikan yield obligasi AS; mesin ekonomi Eropa, yaitu Jerman dan Inggris, yang makin melambat; dan pelemahan di China.
Faktor lain yang akan membuat ekonomi RI terdampak resesi adalah makin intensifnya perang dagang AS-China dan juga risiko geopolitik lainnya. Dua negara ekonomi terbesar dunia telah ‘memproklamirkan’ perseteruannya pada triwulan kedua tahun lalu. Perang tarif antara keduanya tak pelak membuat negara-negara lain di dunia mendapat pukulan yang tak ringan.
Bank Dunia dalam laporannya juga menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih lamban akan terus merosot bersama pelemahan ekonomi global. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus menurun karena produktivitas yang lemah dan pertumbuhan angkatan kerja yang melambat,” kata Laporan itu. “Pelemahan global yang menyebabkan harga komoditas menurun akan semakin menekan pertumbuhan PDB Indonesia.”
Setiap 1 persen penurunan ekonomi China, lanjut Laporan itu, berdampak pada penurunan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 persen. Pada resesi 2009, misalnya, pertumbuhan ekonomi global turun hingga 6,2 persen dari tahun 2007, disertai dengan harga komoditas yang jatuh. Saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melambat 1,7 persen.
Akibat konflik dagang, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia akan semakin melemah. Bahkan lembaga itu meyakini bahwa pertumbuhan dunia tahun ini akan menjadi yang terlemah sejak krisis keuangan global pada 2008-2009. Diperkirakan pertumbuhan akan melambat dari 3,6 persen pada 2018, menjadi 2,9 persen di 2019 dan 3,0 persen di 2020.
Tak kurang dari Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde mengkhawatirkan kondisi ini. Lagarde, yang akan menggantikan Mario Draghi memimpin ECB per 1 November nanti, mengatakan konflik dagang bakal memangkas 0,8 persen dari pertumbuhan ekonomi global di 2020. "Itu jumlah yang sangat besar," kata Lagarde dalam sebuah wawancara. "Saya pikir perdagangan (ancaman terhadap perdagangan saat ini) adalah rintangan terbesar bagi ekonomi global, ya, memang,".

Kondisi Indonesia
                Perihal dampak resesi global ke Indonesia, untuk kali ini pemerintah memang meresponsnya cukup serius, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Misalnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Resesi ekonomi global, kata dia, tidak bisa dinafikan lagi. Namun yang terpenting menurut perempuan yang pernah menjadi pejabat penting di Bank Dunia ini, adalah menyiapkan strategi untuk menghadapinya.
                Ani, panggilan akrabnya, mengatakan pemerintah telah memiliki strategi atau kebijakan countercylical dari sisi fiskal untuk mengantisipasi adanya potensi resesi ekonomi. “Paling penting dari sisi makroekonomi adalah melakukan countercylical policy sesuai kebutuhan. Itu berarti kami melihat apakah APBN kita sehat dan punya space untuk melakukan," kata dia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga mendaku tengah mengatur strategi untuk memperkuat ekonomi dalam negeri di tengah risiko resesi ekonomi global. Strategi yang disusun pemerintah, ditujukan agar ekonomi nasional tak terkena imbas gejolak ekonomi global, sehingga masih bisa tumbuh positif. “Ada atau tidak resesi, kami harus mempersiapkan diri, membenahinya. Ibaratnya, sedia payung sebelum hujan,” ujar Darmin.
Kendati demikian, ia enggan merinci berbagai jurus yang sedang disiapkan. Yang pasti, ia menekankan jurus tersebut merupakan kombinasi kebijakan yang melibatkan regulator industri keuangan, seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sementara itu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro menyatakan pembangunan Ibu Kota baru bisa menangkal risiko resesi yang kini juga sedang dihadapi oleh sejumlah negara. "Saya harapkan kami coba mengarahkan pembangunan ibu kota baru adalah countercyclical (penyangga) untuk menghadapi resesi tahun depan," kata dia.
Pembangunan Ibu Kota baru tentu akan mendatangkan banyak investasi, khususnya di sektor properti. Dari investasi inilah, Bambang berharap dapat membantu mendorong ekonomi nasional. "Kebetulan Ibu Kota baru bukan banyak di sektor manufaktur, tapi properti. Bicara properti bukan sekadar sektor kekinian, pengusaha properti berpikir jauh," jelasnya.
Dalam simulasi yang dilakukan oleh Bappenas, pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur (Kaltim) bisa mendorong investasi hingga 47,7 persen di kawasan itu. Sementara, di Pulau Kalimantan sendiri akan menambah sekitar 34,5 persen dan untuk Indonesia 4,7 persen.
"(Ibu kota baru) ini dibangun untuk 1,5 juta orang. Nah, otomatis pembangunan ibu kota baru menjadi salah satu kota terbesar di Kalimantan Timur, sehingga wajar kalau investasi riil naik hampir 50 persen," ujar Bambang.
Sepanjang lima tahun belakangan ini, perekonomian Indonesia selalu dibekap angka pertumbuhan yang rendah sehingga pemerintah gagal mewujudkan target PDB yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Pada 2014, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1 persen padahal targetnya adalah 5,5 persen. Setahun setelah itu, angkanya bahkan hanya mencapai 4,79 persen ketika sebelumnya ditargetkan mencapai 5,7 persen.
Pada 2016 dan 2017 pertumbuhan ditargetkan sama-sama mencapai 5,2 persen namun di akhir tahun masing-masing hanya mencapai 5,0 dan 5,07 persen. Pada 2018, terutama di kuartal kedua, harapan seketika membuncah sewaktu angka pertumbuhan mencapai 5,27 persen, tertinggi di masa Jokowi. Tetapi di akhir tahun pemerintah harus puas dengan angka 5,17 persen, sedangkan targetnya dipatok sebesar 5,4 persen.
Melihat respons pemerintah setidaknya publik memiliki sedikit harapan bahwa guncangan resesi global akan dihadapi dengan persiapan yang mumpuni. Karena jika ingin menyelesaikan masalah sangat penting untuk mengakui bahwa memang ada masalah.




Minggu, 13 Oktober 2019

1.000 Startup dan Cerita 1001 Malam


Sebagian besar dari kita mungkin pernah mendengar Kisah 1001 malam. Akan tetapi tidak semua mengetahui bahwa dongeng itu adalah rangkuman dari cerita-cerita yang dilantunkan seorang istri raja untuk mengulur waktu kematiannya. Sang Ratu yang bernama Scheherazade, yang baru dipersunting oleh Raja Shahryar, mengetahui bahwa suaminya itu memiliki kebiasaan membunuh istrinya setelah melewati malam pertama. Untuk menunda eksekusi itu, sang istri terus menerus menceritakan dongeng kepada suami hingga suaminya terlelap dan alpa untuk membunuhnya malam itu.       
Dalam dongeng itu sendiri tidak ada kisah tentang kuda bersayap yang memiliki tanduk tunggal di dahinya atau biasa disebut Unicorn. Akan tetapi Unicorn kini menjadi mimpi dari banyak anak muda saat ini, entah memiliki perusahaan seperti Unicorn, atau setidaknya bekerja di perusahaan Unicorn.             
Indonesia, saat ini setidaknya, memiliki empat Unicorn dalam diri Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Namun belakangan jumlahnya bertambah satu lagi setelah dimasukkan nama Grab, meskipun secara orisinal startup itu mengawali bisnisnya di Singapura. Jadi keputusan untuk mengadopsi Grab menjadi Unicorn Nusantara masih menyimpan pertanyaan besar untuk dijawab.
Memang tidak mudah mencetak Unicorn yang memiliki nilai di atas 1 miliar dollar AS, atau jika dirupiahkan bisa mencapai Rp14 triliun lebih. Namun bukan berarti kita mencari jalan pintas mengadopsi startup luar hanya karena mereka membuka markas atau pusat pelayanan di sini.
Harus ada rencana dan proses serta tahap pengembangan yang serius untuk mencetak satu Unicorn. Pemerintah memang sudah punya langkah pertama dengan meluncurkan Gerakan Nasional 1.000 Startup pada 2016, yang harus sudah tercapai paling lambat 2020.
Dilihat dari situs resminya, 1000startupdigital.id, baru ada lima startup yang dianggap sudah oke dan memberikan dampak positif ke masyarakat. Tetapi menurut Kementerian Komunikasi dan Informastika, sampai paro pertama tahun ini sudah ada 500-an startup yang dianggap bisa mengorbit. Kementerian bahkan melakukan rebranding dari gerakan tersebut menjadi Program The Next 1000++ Digital Startups.
Tetapi seharusnya juga ada langkah lanjutan yaitu program mencetak 5 Unicorn lagi dalam lima tahun setelah itu. Karena prestasi dan prestisenya justru terletak di situ.
Mimpi itu tentu tidak mudah diwujudkan. Dukungan, terutama dalam hal pendanaan karena startup sangat bergantung kepada promosi dan publikasi yang jor-joran, sangat dibutuhkan dan harus terintegrasi. Sokongan dari pemerintah tentu sudah ada, terlihat dari beberapa lembaga negara yang menyiapkan dana hibah untuk usaha-usaha rintisan terpilih. Namun dukungan yang masif dari lembaga keuangan (yang artinya jika dilihat dari mekanisme pasar, tindakan itu menguntungkan) lebih penting ketimbang hanya bergantung kepada pemerintah.
Dalam iklim perubahan saat ini, mimpi itu membutuhkan banyak keberuntungan. Usaha dan rencana yang matang dan dukungan yang cukup, namun demikian , tetap harus menjadi modal dasar mimpi itu. Saat ini, perusahaan rintisan di Indonesia masih kesulitan untuk mendapatkan pendanaan, bahkan bagi mereka yang aplikasinya sudah banyak diunduh ribuan orang.
Lembaga keuangan di Indonesia masih belum berani mengambil risiko memupuk startup-startup untuk kemudian memetik keberhasilan dari beberapa dari mereka. Ibarat menanam pohon, biaya pemupukan untuk disebarkan beberapa startup, bisa jadi tidak membuat semua startup bertahan. Namun satu atau dua startup yang bertahan itu nantinya bisa mengompensasi keseluruhan biaya ‘pupuk’ yang disebarkan.
Bank yang memiliki dana yang paling melimpah, tentu menjadi lembaga yang diharapkan untuk bisa memupuk banyak startup di Indonesia. Tetapi lembaga itu pula yang paling banyak memilik barriers yang menghalanginya memberikan pendanaan bagi startup.
Harapan beralih ke modal ventura, sebagai lembaga yang paling berpotensi membiayai perusahaan startup, seperti yang dipraktikkan negara-negara maju. Namun karena lembaga ini dinilai masih minim pengalaman, maka peran itu akhirnya banyak dijalankan oleh perusahaan asing.
Lihat saja di jajaran Unicorn Tanah Air. Berdasarkan data Tech-Crunch, GoJek dimiliki oleh beberapa penyandang dana seperti Google, JD.com, dan Tencent.Hanya ada dua perusahaan dari dalam negeri, yakni Astra International Tbk (Indonesia) dan Global Digital Niaga, anak perusahaan modal ventura Global Digital Prima (GDP) milik Djarum Group.
Kemudian Tokopedia, hanya ada satu investor lokal, yaitu Indonusa Dwitama, di antara sembilan perusahaan yang terdata oleh crunchbase.com. Startup ini disuntik dana oleh Alibaba Group (China) dan Softbank Vision Fund (Inggris).
Unicorn lokal lain, Traveloka, juga berkembang dengan kucuran dana dari investor AS, China, Jepang, dan India. Tak tercatat satu pun investor lokal di perusahaan agregasi jasa perjalanan online ini.
Sementara itu, untuk saham Bukalapak masih dikuasai PT Emtek, melalui anak perusahaannya, PT Kreatif Media Karya (KMK). Investor lainnya adalah Batavia Incubator, perusahaan join Corfina Group dengan mitranya, Rebright Partners, spesialis inkubator dari Jepang. Dari lima investor asing Bukalapak, tiga perusahaan dari Jepang, satu dari AS, dan satu perusahaan Korea Selatan.
Maka tidak heran kalau beberapa waktu lalu, pejabat pemerintah ‘keceplosan’ kalau deretan Unicorn itu sejatinya milik asing bukan milik Indonesia. Jika sudah begitu, apakah kita tidak khawatir kalau nanti seribuan startup yang mulai kita pupuk saat ini pada akhirnya justru dipanen oleh asing. Dan yang tersisa buat kita cuma mimpi atau cerita pengantar tidur.




Benih Minim di Ladang 'Startup'


Jalan terjal masih akan dihadapi para pelaku bisnis rintisan di Indonesia mengingat dukungan modal kepada mereka masih minim. Sementara harapan yang ada di pundak mereka sangat besar.

Tiga dekade lalu, perusahaan-perusahaan di bidang industri dan sumber daya alam masih mendominasi jajaran 10 bisnis global teratas. Namun menjelang masuk milenium baru, beberapa perusahaan di bidang teknologi mulai masuk ke dalam daftar, yang ditandai oleh hadirnya Microsoft dan Cisco.
Setelah itu, teknologi seolah menjadi idola, dan korporasi yang mengusungnya menjadi penguasa kapitalisasi pasar global mengungguli sektor lainnya. Nama-nama seperti Intel, IBM dan dua nama yang disebut di awal terus mempertahankan posisinya hingga awal dekade di tahun 2000-an.
Kondisi itu tidak bertahan lama, karena muncul apa yang dinamakan gelombang new technology akibat merangseknya internet dan maraknya penggunaan teknologi digital. Perusahaan-perusahaan semacam Facebook, Alibaba, Twitter, Pinterest, Whatsapp, dan Xiaomi kemudian muncul mengambil alih panggung. Mulanya perusahaan-perusahaan ini tidak diperhitungkan namun seiring meningkatnya praktik digital, mereka kemudian menjadi perusahaan raksasa.
Di Indonesia, keadaannya tidak jauh berbeda. Sebagai negara pengguna internet kelima terbanyak di dunia, kehadiran perusahaan-perusahaan di bidang teknologi mendapat perhatian besar. Sebut saja Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka dan lainnya. Keempat perusahaan rintisan di bidang teknologi digital (startup) itu bahkan sudah mendapatkan julukan Unicorn, karena nilai pasarnya sudah melebihi 1 miliar dollar AS.
Lalu bagaimana bisnis ini bisa berkembang? Beragam analisis telah menyimpulkan bahwa bisnis-bisnis yang baru dirintis selalu mengandung risiko namun risiko startup di bidang teknologi lebih besar lagi. Sebagaimana usaha-usaha pemula lainnya, startup teknologi selalu dihindari bank dengan alasan belum bankable dan peluangnya untuk berkembang tidak jelas.
“Saya awalnya sudah mencoba mendatangi bank untuk meminjam atau mengajukan kredit tetapi ditolak,” kata Febbie Hadidalas, Founder Indoris, sebuah aplikasi kesehatan dan kedokteran.
Akhirnya aplikasi yang digagasnya pada 2010 itu pun ditawarkan kepada investor individual yang berasal dari perusahaan swasta. Sementara itu, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro hanya mendapat 15 persen dari kepemilikan aplikasi yang dia temukan.
Akan tetapi, demi tetap memegang kendali merek yang dia miliki, Indoris telah didaftarkan kepada lembaga paten yang mana hak cipta merek itu akan menjadi miliknya selama 50 tahun. “Memang keuntungan atau kebanggan agak berkurang, tapi minimal royaltinya tetap kuat,” ujar dia.
Kini aplikasi yang memungkinkan pasien untuk mengakses CT Scan dan MRI lewat aplikasi di telepon androin itu sudah diunduh oleh seribuan orang.
Pengalaman senada juga diungkapkan oleh M. Tesar Sandikapura, CEO dan juga Founder liteBIG, aplikasi pesan singkat buatan Indonesia. Dia mengaku tidak mendapat pendanaan dari lembaga keuangan sejak memperkenalkan aplikasinya hingga kini yang sudah berjalan sekitar lima tahun.
Namun menurut dia, hal itu adalah sebuah kondisi yang wajar mengingat startup teknologi memang sebuah bisnis yang sangat berisiko dan tentunya unbankable. Oleh karena itu yang biasanya mendekati pebisnis rintisan adalah para angel investor atau lembaga modal ventura (Venture Capital/VC).
Seperti di negara-negara maju, di Indonesia peran pemodal malaikat dan VC juga sudah mulai terasa bahkan juga mendominasi pendanaan untuk para startup. Meski demikian pemodal ventura lokal belum banyak bergerak mendanai startup di Indonesia, dibanding dengan pemodal asing.
Kedewasaan pemodal lokal yang belum setara investor asing memang bisa dipahami karena kebanyakan memang belum memahami startup solution. Kondisi itu juga bisa diartikan bahwa ekosistem pendanaan startup di Indonesia belum dewasa. “Pemahaman kebanyakan VC Indonesia adalah kalau menyuntikkan modal ke startup itu cuma ‘bakar duit’,” kata Tesar.
Dalam pandangan dia, siklus pertumbuhan startup yang unik memang membutuhkan pemahaman khusus dari investor. Disebutkan bahwa pada tahap awal ketika perintis usaha mulai mengerjakan proyek startup dan mulai melakukan prototiping bisnis dibutuhkan dana Rp200 juta-500 juta. “Untuk tahap ini tidak akan ada bank yang tertarik mendanai, karena itu biasanya startup dibiayai oleh angel investor,” jelas Tesar.
Tahap berikutnya adalah market validation untuk memastikan bisnisnya bisa jalan dan diterima publik. Tahap ini juga sering disebut market and customer development. Pada bagian ini perusahaan membutuhkan suntikan dana Rp1 miliar sampai Rp3 miliar, dan kata Tesar, hal itu biasanya hanya ‘diminati oleh angel investor.
Tahap selanjutnya adalah menuju growth yang artinya bisnis mulai dijalankan secara massal. Pada tahap ini maka dana angel investor sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan startup. “Di tahap ini investor yang berasal dari venture capital mulai masuk atau menjajaki kemungkinan memberikan pendanaan,” kata Tesar.
Ada perbedaan mencolok yang bisa terlihat ketika investor akan menyuntikkan modal. Pemodal asing, karena ekosistemnya mapan dan pengalamannya panjang, terlihat lebih longgar dalam pendanaan kepada startup. Perusahaan itu bisa saja menggelontorkan dana besar pada startup yang dipilihnya tanpa ada peraturan yang ketat soal kepemilikan.
“Sementara pemodal modal ventura lokal, saat ini baru berani mengucurkan dana jika sudah ada pemodal asing yang masuk terlebih dahulu, atau mereka memang sejak awal sudah menggandeng asing,” ujar Tesar.
Pemodal ventura lokal juga terbilang lebih ‘ganas’. Jika mereka sudah memutuskan unutk memodali startup yang dipilihnya, maka, lanjut Tesar, mereka harus menguasai seluruh kepemilikan dari startup tersebut, sedangkan penemunya hanya disisakan sedikit saham saja. “Bisa dilihat dari kasus pembelian blibli.com dan tiket.com atau kaskus,” kata dia.

Dana Pasar Modal
Ketatnya aturan yang membebat perbankan ditambah besarnya risiko yang dikandung bisnis rintisan membuat keduanya sulit dipertemukan. Akan tetapi, pemerintah yang sudah kadung berjanji akan mencetak 1.000 startup, tentu tidak ingin program tersebut gagal.
Ya, sudah sejak 2016 lalu Presiden Joko Widodo meluncurkan sebuah program ambisius, Gerakan Nasional 1000 Startup Digital. Dengan program tersebut, pemerintah berharap bisa melahirkan 1.000 startup pada tahun 2020, dengan total valuasi yang mencapai 10 miliar dollar AS (sekitar Rp133 triliun).
Oleh karena itu dicari solusi agar startup bisa memperoleh pendanaan dari saluran lain selain bank. Salah satunya lewat pasar modal. Seperti dikatakan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso pada penutupan perdagangan bursa akhir 2018 lalu, pihaknya akan mendorong startup untuk memanfaatkan pasar modal. “Kami mempermudah startup company memperoleh pendanaan dari pasar modal melalui equity crowdfunding,” kata dia.
OJK sejak tahun lalu sudah meluncurkan aturan mengenai skema tersebut, di mana pengusaha startup bisa menawarkan saham perusahaannya secara langsung kepada pemodal melalui jaringan internet. Dalam aturan itu disebutkan bahwa penawaran saham melalui perusahaan crowdfunding atau disebut sebagai Layanan Urun Dana, bukan merupakan Penawaran Umum untuk IPO pada umumnya di Bursa Efek Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, tentu saja tetap diharapkan bahwa tahun depan akan muncul 1.000 startup dengan bisnisnya yang diterima oleh pasar dan kemudian akan menjadi Unicorn beberapa tahun setelah itu. Dan dalam satu dekade ke depan mereka kemudian akan bertengger dalam daftar 10 besar perusahaan-perusahaan terbesar di Indonesia.





Grafis