Petunjuk bahwa ada masalah krusial di perekonomian sejatinya
sudah muncul terutama lima tahun belakangan ini. Kegagalan pemerintah mencapai
target pertumbuhan yang sudah disetorkan ke DPR adalah pertanda bahwa program
ekonomi yang selama ini dijalankan tidak mencapai tujuan akhirnya.
Pertanda lain adalah ketika daya
beli masyarakat melemah sehingga sektor ritel mulai limbung. Sederet pelaku
usaha ritel bahkan memutuskan untuk menutup usahanya beberapa tahun belakangan,
sebut saja 7-Eleven, Lotus, Debenhams dan yang terakhir adalah Giant.
Kini kode keras dari perekonomian
global muncul. AS, pemilik ekonomi terbesar di jagat ini hampir dipastikan akan
mengalami resesi. China, rival dari ekonomi AS pun mengalami perlambatan dan
menyentuh level terendah dalam tiga dekade terakhir.
Pengampu perekonomian Indonesia
nampaknya tidak bisa berbuat banyak menghindari turbulensi itu, yang bisa
dilakukan adalah memperkuat pegangan. Dalam pengertian sesungguhnya, pemerintah
tampaknya akan memperkuat pondasi ekonomi, memperkuat anggaran negara, dan
memperkuat sistem keuangan.
Untuk yang pertama, pemerintah
tampaknya akan kembali mengandalkan sektor usaha mikro kecil dan menengah agar
bisa menjadi bumper perekonomian. Ini
semacam template kebijakan ketika
perekonomian nasional tengah dihadapkan oleh suatu masalah serius.
Untuk yang kedua, tanda-tanda itu
sudah semakin terlihat dengan langkah pemerintah memangkas banyak pengeluaran
belanja. Sayangnya hal itu berimbas pada dinaikkannya iuran-iuran yang harus
dibayarkan masyarakat yang pada akhirnya akan mendongkrak beban rakyat. Sebut
saja kenaikan tarif BPJS, tarif listrik, tarif cukai rokok, dan tarif tol.
Tentu saja pada ujungnya situasi
itu akan makin menekan daya beli masyarakat. Padahal dalam porsi pembentukan
produk domestik bruto Indonesia, konsumsi masih menjadi faktor dominan, dengan
menyumbang lebih dari 56 persen. Jika hal itu terjadi tentu pertumbuhan ekonomi
akan makin melemah.
Sementara itu dalam hal
memperkuat sektor keuangan, otoritas memang sudah mulai memitigasi imbas resesi
yang sudah muncul di AS dan beberapa negara di Eropa. Otoritas Jasa Keuangan
sejatinya masih menggunakan cara lama dalam mengkomunikasin adanya ancaman
ekonomi. OJK mengatakan bahwa fundamental ekonomi masih cukup baik dalam
menangkal kisruh ekonomi.
Padahal kalau mau sedikit jujur,
ada masalah cukup serius di sektor keuangan. Di sektor keuangan non bank
misalnya, masih ada persoalan di industri asuransi ketika kisruh perusahaan
asuransi Bumiputera yang tak kunjung usai sampai kini. Ditambah lagi dengan
kasus Jiwasraya dan juga krisis yang terjadi di perusahaan Sunprima sejak tahun
lalu.
Di sektor perbankan, masalah
likuiditas masih tetap membayangi dan masalah kredit macet masih menghantui.
Ancaman kekeringan likuiditas selalu muncul ketika ekonomi mengalami persoalan
serius, karena saat itu muncul kecenderungan semua pihak untuk menggenggam
likuiditasnya erat-erat. Saat ini ancaman resesi muncul pada waktu bank harus
berebut dana masyarakat dengan pemerintah yang masih getol menerbitkan obligasi
untuk menambal anggaran.
Ancaman kredit macet, malah,
tahun ini harus diperhatikan serius karena beberapa waktu lalu ada debitur yang
gagal bayar dan terkait dengan beberapa bank besar. Penurunan kualitas kredit
biasanya akan menjadi akibat langsung dari turbulensi ekonomi.
Sejauh ini, OJK mengatakan bahwa
likuditas perbankan cukup untuk mencapai target pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 12 persen sampai
akhir tahun. Bank Indonesia juga memastikan bahwa kebijakan penurunan GWM dan
suku bunga acuan akan membantu melonggarkan likuiditas perbankan tersebut.
Terakhir, BI telah menurunkan
tingkat setoran wajib bank ke bank sentral atau GWM 50 basis poin seraya menurunkan
suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate yang saat ini berada di level 5,25
persen. Penurunan GWM tersebut, kata BI, secara otomatis menambah likuiditas
bank senilai Rp26,3 triliun. Sejatinya BI telah mempersiapkan sejumlah strategi
baru untuk menjaga likuiditas. Caranya masih menggunakan operasi moneter, namun
ada beberapa hal yang baru dilakukan tahun ini untuk menyesuaikan kondisi
global. Hal ini salah satunya disebabkan likuiditas yang tak merata di industri
perbankan.
Sampai sekarang resesi memang
belum sampai di rumah kita karena angka pertumbuhan masih positif di angka 5
persen. Meski begitu dari kacamata ekonomi kapitalisme, resesi adalah sebuah
keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam sebuah siklus bisnis. Kegiatan
usaha, atau secara umum perekonomian, ketika sudah membuka langkah awal maka
setelah melewati periode tertentu akan mencapai puncaknya dan kembali akan
turun.
Siklus ekonomi terbagi dalam
empat periode: pertama periode pada
waktu kegiatan ekonomi mencapai puncaknya (ekspansi). Kedua, periode pada waktu kegiatan ekonomi mengalami penurunan
(resesi dan atau krisis). Ketiga,
periode pada waktu kegiatan ekonomi mencapai titik terendah (depresi). Keempat, periode pada waktu kegitan
ekonomi mulai meningkat kembali.
Namun begitu, resesi sering
diasosiasikan dengan turunnya harga-harga (deflasi), atau, kebalikannya,
meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal
sebagai stagflasi. Dan seharusnya itu sudah cukup dijadikan petunjuk untuk
serius memitigasi risiko.