Perbankan syariah mulai bersiap menyambut tahap baru dalam
perkembangan bisnisnya. Beragam dukungan otoritas dan pemerintah mulai tahun
depan akan bisa mendongkrak peran bank agar mampu menjadi penggerak ekonomi.
Jika membandingkan potensi yang ada dengan realisasi yang
tercipta, memang sudah sepatutnya Indonesia bersedih. Apalagi ini soal industri
keuangan syariah. Sebagai negara dengan penduduk muslim lebih dari 84 persen,
industri keuangan syariah Indonesia masih menjadi mengekor alih-alih menjadi
penggerak ekonomi.
Dengan market share
yang dalam sepuluh tahun belakangan masih di bawah 5 persen, memang sulit bagi
industri keuangan syariah khususnya perbankan untuk menjadi pemain penting dalam
perekonomian. Oleh karena itu otoritas telah menyiapkan berbagai langkah agar
sektor keuangan syariah bisa menjadi pemain yang diperhitungkan dalam
menggerakkan ekonomi nasional.
Langkah yang pertama adalah mendongkrak pangsa pasar
perbankan syariah.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menetapkan target pangsa
pasar bank syariah dapat mencapai 15 persen dalam empat tahun ke depan dan
tahun ini setidaknya bisa menyentuh angka lima persen. Sampai September,
berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia aset bank syariah masih berada
di angka Rp273,48 triliun, atau berada di kisaran 4,6 persen dibanding total
aset perbankan secara keseluruhan.
“Bank syariah penetrasinya masih kecil. Dari 2008, pangsa
pasarnya masih 5 persen dibandingkan bank konvensional. Bahkan tren market share menurun dari 4,89 persen di
2013 menjadi 4,67 persen hingga Mei 2015," kata Dhani Gunawan Idat,
Direktur Penelitian, Pengembangan, Pengaturan, dan Perizinan Perbankan Syariah
OJK.
Pangsa pasar keuangan syariah
tentu sangat minim jika dibandingkan dengan konsumen yang mencapai 200 juta
orang lebih. Sehingga bisa dipahami jika perbankan syariah belum mampu menjadi
penggerak ekonomi.
“Dengan membandingkan dengan
pengalaman negara lain, ketika pangsa pasar bank syariah lebih dari 10 persen,
baru dapat menjadi penggerak perekonomian. Setidaknya hal ini terlihat di
Malaysia dengan pangsa pasar 24 persen,” kata Dhani.
Perbankan syariah di Malaysia
sangat mendominasi pasar sukuk di negara jiran itu, bahkan bisa sampai mendikte
pasar obligasi syariah di sana. Sementara itu, di Uni Emirat Arab pangsa
pasarnya sudah lebih dari 16 persen dengan yang mendominasi pembiayaan sektor
properti di negara Timur Tengah itu.
“Kita ingin industri syariah
lebih besar sehingga dapat menjadi penggerak sektor perekonomian nasional.
Secara aset dan instrumennya harus lebih didorong agar semakin luas dan dalam.
Koordinasi dengan pemerintah harus lebih baik (terutama) untuk penggunaan dana-dana
pemerintah ke segmen syariah,” kata Dhani.
OJK –yang mengambil alih fungsi pengawasan dari Bank
Indonesia sejak Januari 2014–tentu menginginkan adanya perubahan signifikan pada
industri perbankan syariah ketika berada di bawah mereka. Bahkan otoritas sudah
menyiapkan segudang strategi untuk membuat industri syariah menjadi penggerak
ekonomi.
Bulan ini OJK akan menerbitkan dua aturan yaitu terkait
produk dan aktivitas perbankan syariah dan soal kelembagaan Badan Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS). Beleid soal produk akan memudahkan bank syariah dalam
menerbitkan produk-produk. Selain itu, OJK juga akan menerbitkan kodifikasi
produk perbankan syariah yang dipercaya akan mendorong kreativitas pelaku
industri dalam menciptakan produk.
Saat ini industri perbankan syariah di Indonesia ‘hanya’
memiliki 17 produk, kalah jauh jika dibandingkan dengan Malaysia yang sudah
memiliki lebih dari 40 produk. Apalagi jika dibandingkan Qatar, Uni Emirat Arab
atau bahkan Pakistan dan Inggris.
“Setelah POJK keluar, nantinya bank syariah akan lebih mudah
menerbitkan produk, tinggal lapor saja (ke OJK) jika produknya sudah siap,”
kata Dhani.
Soal kelembagaan BPRS, seperti juga BPR konvensional, otoritas
diperkirakan akan membuat aturan permodalan yang ketat sebagaimana bank umum
dengan menggunakan jumlah modal untuk menentukan jenis kegiatan usaha atau
BUKU.
Holding Syariah
Rencana besar lainnya dari OJK
untuk mendongkrak pangsa pasar dan juga peran perbankan syariah terhadap
ekonomi adalah dengan mendesak lagi konsolidasi bank-bank syariah milik bank
negara menjadi sebuah bank umum syariah.
Saat ini, OJK tengah
memfinalisasi roadmap holding bank
BUMN syariah. Demi mempercepat proses merger,
OJK mengaku melakukan koorodinasi intensif dengan Kementrian BUMN. “Kami
sudah beberapa kali menyurati Kementerian BUMN terkait dengan rencana
pembentukan BUMN Syariah ini," kata Dhani.
Bahkan rencana menyatukan bank
syariah pelat merah ini dimasukkan dalam Road Map Perbankan Syariah Indonesia
(2015-2019) yang diterbitkan OJK Juni lalu. Berdasarkan peta jalan itu BNI
Syariah, unit usaha syariah BTN, BRI Syariah dan Bank Syariah Mandiri (BSM)
harus sudah menjadi bank umum paling lambat 2017. Dan merger tersebut harus diikuti
dengan penambahan modal usaha, yang hal itu akan bisa dilakukan dengan penawaran
saham perdana (IPO).
Opsi IPO tengah dikoordinasikan
dengan regulator yang membidangi pasar modal. Namun, skema merger dan
penambahan modal masih menunggu putusan pihak Kementerian BUMN sebagai pemegang
saham mayoritas induk usaha bank BUMN syariah.
Permodalan memang masalah genting
bagi perbankan syariah karena hingga akhir tahun ini 10 dari 12 bank syariah
yang ada memiliki modal inti kurang Rp2 triliun dan tidak ada yang bermodal
inti melebihi Rp5 triliun.
Oleh karena itu pekerjaan rumah
yang cukup penting bagi OJK adalah mendorong bank syariah khususnya yang sudah
jadi Bank Umum Syariah (BUS) untuk meningkatkan permodalannya sehingga bisa
masuk dalam kategori BUKU III yang mana sudah memiliki modal lebih dari Rp5
triliun. “Ada enam bank di BUKU II yang sedang berusaha untuk masuk dalam
kategori BUKU III. Tahun ini mereka berusaha untuk mencapainya,” kata Dhani.
Saat ini hanya Bank Muamalat dan
Bank Syariah Mandiri (BSM) yang mendekati level modal BUKU III, sedangkan sisanya
masih berkutat di BUKU II. Bulan lalu, BSM telah masuk dalam BUKU III setelah
induknya menyuntikkan modal Rp500 miliar sehingga modal intinya akan menjadi Rp
5,4 triliun dan total ekuitas Rp 5,61 triliun. Dengan tambahan itu juga rasio
kecukupan modal (CAR) bank naik menjadi 12,97 persen.
Di sisi lain, BRI juga tengah
memperkuat modalnya dengan menanti suntikan dana dari induknya. Sekretaris
Perusahaan BRI Syariah Lukita T Prakasa mengatakan, pihaknya terus mempercantik
kinerja kendati ada keinginan pemerintah menggabungkan bank pelat merah syariah
dalam satu atap. "Kami terus memperkuat modal dan saat ini sedang proses
sebagai bank syariah pertama yang melakukan Laku Pandai," kata dia.
Kondisi yang berat tahun ini
memang membuat perbankan syariah agak terhuyung-huyung. Menurut Ikhwan Abidin
Bashrie, pakar ekonomi syariah dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, hampir
semua bank syariah mengalami penurunan kinerja keuangan tak terkecuali dua bank
syariah terbesar. “Sebenarnya ini bukan hanya karena pelemahan ekonomi, namun
juga dampak dari masalah SDM yang seperti bom waktu,” kata dia.
Menurut Ikhwan SDM syariah yang
ada sekarang kebanyakan berasal dari bank-bank konvensional, termasuk dari
induknya, terutama pada level manajer. Nah,
banyak praktik-praktik konvensional yang tetap melandasi cara kerja mereka di
bank syariah meski tidak semua sesuai dengan prinsip syariah.
Selain itu, beberapa bank syariah
juga terlampau ekspansif tanpa memperhitungkan kekuatan sendiri dan juga faktor
makroekonomi sehingga mengalami kerugian. “Beberapa bank syariah bahkan ketika
mengajak saya rapat hanya menyediakan air putih saja sebagai bagian dari
efisiensi. Padahal sebelum-sebelumnya menunya lumayan lengkap,” kata Ikhwan.
Sinergi
Sementara itu, untuk meningkatkan peran bank syariah pada
perekonomian, otoritas juga menginginkan adanya dukungan dari pemerintah,
khususnya Kementerian Keuangan. Hingga saat ini sinergi antara otoritas dan
pemerintah dirasa masih kurang yang bisa dilihat dari insentif-insentif dan
dukungan kebijakan yang diberikan. “Kami ingin OJK dan Kementerian Keuangan
membangun sinergi kasih insentif pajak,” ujar Dhani dari OJK.
Di Malaysia, sambung dia, pemerintahnya memberi dukungan
dengan bentuk insentif pajak, tax holiday,
riset, dan pengelolaan anggaran belanja negara, hingga kewajiban penyimpanan
dana di bank syariah.
Untuk di Indonesia, pemerintah bisa memberikan memberi
insentif untuk deposito dengan menurunkan pajaknya dari 20 persen saat ini
menjadi 10 persen. Selain itu, insentif pajak lain yang dapat diberikan untuk
mendorong pangsa pasar bank syariah adalah insentif pajak untuk spin off, giro, dan produk lainnya.
Selain dengan Kementerian Keuangan, OJK ingin bersinergi
dengan Bank Indonesia untuk pembangunan aspek makro dan mikro perbankan
syariah. Selanjutnya, sinergi yang ingin dibangun adalah dengan Kementerian
BUMN untuk membangun bank BUMN syariah.
Dukungan lain yang diharapkan dapat terwujud adalah pemerintah
bisa mewajibkan dana APBD atau APBN untuk dikelola dan ditempatkan di bank
syariah, meski saat ini hal itu masih memerlukan kesiapan dari bank syariah. “Kalau
(cuma) 20 persen (dana APBN) bank syariah bisa menyerap, kalau mau lebih butuh
persiapan lebih lanjut," kata Dhani.
7 Persoalan yang Harus Dituntaskan
- Belum selarasnya visi dan
kurangnya koordinasi antar pemerintah dan otoritas dalam pengembangan perbankan
syariah
- Modal yang belum memadai,
skala industri yang masih kecil serta efisiensi yang rendah.
- Biaya dana yang mahal yang
berdampak pada keterbatasan segmen pembiayaan.
- Produk yang tidak variatif
dan pelayanan yang belum sesuai ekspektasi masyarakat.
- Kuantitas dan kualitas SDM
yang belum memadai serta TI yang belum mendukung.
- Pemahaman dan kesadaran
masyarakat yang masih rendah.
- Pengaturan dan pengawasan
yang belum optimal
(sumber: Roadmap Perbankan
Syariah Indonesia, OJK)