Selasa, 19 Januari 2016

Antara Sentimen dan Fundamental

Malang benar nasib Bank Indonesia. Sejak tahun lalu otoritas moneter ‘disindir-sindir’ pemerintah, pengamat, serta pelaku pasar karena tidak mau menurunkan suku bunga acuan untuk mendorong perekonomian. Bahkan pada rapat dewan gubernur, beberapa kali menjelang akhir tahun lalu, ketika BI mengatakan ada ruang untuk pelonggaran moneter, suku bunga acuan alias BI Rate tidak juga diturunkan. Hal itu menambah tekanan kepada bank sentral yang dianggap tidak peduli mengenai sektor riil.
Januari lalu, giliran Bank Indonesia merealisasikan pernyataannya mengenai tersedianya room untuk pelonggaran dengan menurunkan BI Rate, publikasi itu ‘termakan’ hingar bingar berita mengenai teror yang menimpa Ibu Kota. Sejak menjelang siang hari, media –terutama televisi dan daring –tak henti-hentinya menyampaikan setiap detik perkembangan serangan teroris yang terjadi di kawasan bisnis dan pemerintahan, Jalan MH Thamrin, Jakarta.
Akan tetapi apakah ini berarti dampak kebijakan ini akan tertelan dengan kecemasan pelaku ekonomi atas serangan teroris itu? Jawabanya tidak. Ada setidaknya dua faktor yang menguatkannya. Pertama, seperti diungkapkan banyak pihak, teror bom di Indonesia tidak akan berdampak lama bagi ekonomi. Paling lama sentimen negatif dari teror bom dan serangan tersebut hanya bertahan satu minggu. Pengalaman saat peristiwa Bom JW Marriot dan Bom Bali 1 dan 2 sudah membuktikan hal itu.
Kedua, terkait dengan yang pertama, teror bom beserta dampak negatifnya itu hanya menciptakan sentimen negatif yang berarti hanya sementara, sedangkan penurunan BI Rate adalah fundamental. Mengapa fundamental, karena dengan turunnya bunga acuan maka pengenaan suku bunga kredit bank akan ikut turun, seharusnya. Turunnya suku bunga akan menekan biaya dana bank (cost of fund) dan juga biaya dana yang siap dipinjamkan (cost of loanable fund/COLF)
Cara yang paling sederhana dan mudah untuk menghitung biaya dana bank yaitu hanya menjumlahkan seluruh biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penghimpunan dana (funding) dibagi dengan total dana yang dihimpun bank pada tahun yang sama. Karena bunga untuk funding biasanya akan cepat menyesuaikan begitu ada perubahan BI Rate maka biaya dana otomatis juga akan turun.
Sementara itu, perhitungan COLF adalah dengan memasukan biaya penempatan dana pada giro wajib minimum di BI pada angka cost of fund. Setelah tahun angka biaya dana yang siap dipinjamkan maka bank akan menambahkan dengan biaya-biaya atau angka lainnya untuk kemudian menjadi suku bunga dasar kredit. Di antaranya adalah profit margin, pajak atas profit margin, cadangan, dan biaya overhead dan tenaga kerja.
Meskipun bank bisa saja berkilah bahwa penurunan BI Rate tidak akan menurunkan bunga kredit karena biaya-biaya lainnya meningkat, tetapi setidaknya kita tahu bahwa penurunan BI Rate telah menurunkan biaya dana bagi bank.
Jika ternyata suku bunga kredit masih tidak turun juga, sudah seharusnya pemerintah, pengamat, serta pelaku pasar beralih untuk menyindir pemilik bank. Karena kalau tidak begitu, malang benar nasib kebijakan BI.





‘Panas’ yang Belum Reda

Perekonomian Indonesia kembali mendapat tantangan dari kegaduhan politik di dalam negeri baik yang berasal dari parlemen maupun dari pemerintah. Sementara itu, di belahan dunia lain kondisinya juga tak kalah menantang terutama dari AS yang akan menggelar pemilu.

Risiko politik akan kian mengusik. Kalimat tersebut tidaklah berlebihan ketika menyaksikan rentetan peristiwa politik tahun lalu. Dimulai pengkriminalan mantan Ketua Komisi Pemberantasa Korupsi Abraham Samad, hingga polemik kontrak Freeport yang membuahkan drama majelis etik di parlemen. Pergantian menteri, pencopotan hingga pengunduran diri pejabat juga ikut menyita perhatian publik.
Bukanlah sebuah kebetulan jika kegaduhan politik yang terjadi pasca pemilu itu kemudian berimbas pada makin sulitnya Indonesia keluar dari jeratan pelemahan ekonomi tahun lalu. Sepanjang triwulan pertama 2015, anggaran belanja negara yang belum juga cair seperti yang diagendakan membuat pertumbuhan ekonomi terjerembab di angka 4,7 persen. Dan hingga tutup tahun 2015, diperkirakan angkanya tidak akan jauh dari angka tersebut.
Tahun ini gaduh politik tampaknya tidak akan mengendur. Beberapa faktor bisa menjadi pemicu. Isu pergantian menteri yang kembali mencuat, dampak lanjutan dari pemilihan kepala daerah langsung Desember lalu, hingga risiko carry over ketidakharmonisan pemerintahan dan legislatif sejak tahun lalu. Belum lagi fenomena maju-mundurnya kebijakan pemerintah, yaitu ketika seorang menteri menelurkan kebijakan lalu beberapa hari kemudian dianulir oleh Presiden.
Bagi pebisnis, kepastian hukum, aturan atau kebijakan merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Kegiatan ekonomi bisa melambat bahkan terhambat jika aturan atau kebijakan mulur-mengkeret seperti itu.
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Sri Adiningsih sudah mengingatkan bahwa inkonsistensi kebijakan bisa menghambat ekonomi. “Kami ingin supaya jangan sampai permasalahan hukum atau permasalahan ketidakkonsistenan dalam kebijakan di dalam koordinasi bisa menghambat pembangunan Indonesia," ujar Sri Adiningsih.
Pemerintah, kata ekonom UGM itu, harus memperkuat koordinasi kebijakan ekonomi juga ha-hal yang terkait meningkatkan pertumbuhan ekonomi ataupun juga bisa membangun Indonesia ke depan yang lebih baik.
Menurut Control Risk, sebuah konsultan risiko global independen, risiko politik umumnya memang meningkat di kawasan Asia termasuk Asia Tenggara dengan masalah korupsi yang menyeruak di beberapa negara. Khusus di Indonesia, hal itu juga ditambah dengan risiko pemberlakuan pembatasan dana asing dan permasalahan dengan investasi asing.
Lembaga itu juga mengeluarkan peta risiko politik dunia dan menempatkan Indonesia pada tingkat medium dalam hal risiko politik dan keamanan. Di kawasan ASEAN, tingkat risiko politik Indonesia masih lebih baik dari Thailand dan Myanmar dan berada di tingkat yang sama dengan Malaysia, Filipina, Vietnam, Kamboja dan Laos.
Penilaian risiko politik dari lembaga itu berdasarkan evaluasi kemungkinan aktor politik negara (pemerintah) atau non-negara secara negatif mempengaruhi operasi bisnis perusahaan di suatu negara.
Evaluasi juga menilai sejauh mana negara bersedia dan mampu menjamin kontrak dan sejauh mana aktor non-negara dapat mengancam kelangsungan hidup kegiatan bisnis. “Dampak dari risiko politik di perusahaan dapat mencakup kebijakan negatif pemerintah, ketidakamanan peradilan, peningkatan korupsi, kerusakan reputasi, pengambilalihan dan nasionalisasi, dan sanksi internasional. Hal itu menilai sejauh mana stabilitas politik, ekonomi dan kelembagaan dapat meningkatkan atau mengurangi kemungkinan risiko ini terjadi,” kata lembaga itu.
Sejatinya, meningkatnya risiko politik Indonesia sudah bisa diprediksi sejak pemilihan umum 2014 yang menghadirkan hanya dua kandidat yang bertarung. Saat itu, institusi asuransi global Aon, sudah menempatkan Indonesia dalam daftar lima negara yang politik dalam negerinya ‘panas’.
Berdasarkan laporan tersebut, Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok negara yang risiko politiknya masuk kategori medium. Indonesia dinilai menyimpan risiko hukum dan aturan (legal and regulatory), gangguan rantai pasokan (supply chain disruption), dan kekerasan politik (political violence)

Panas di Dunia
Sejatinya risiko politik tidak hanya makin menghangat di Indonesia ataupun di Asia. Di beberapa negara lain, memanasnya politik malah mengancam negara tersebut. Yunani, misalnya. Setelah memutuskan keluar dari zona Euro, kisruh di Negeri Seribu Dewa itu tidak lantas selesai karena pemerintahan baru hasil pemilu tahun lalu akan banyak mendapat tentangan.
Sementara itu di Inggris yang aka menggelar referendum mengenai keanggotaan mereka di Uni Eropa tahun ini akan membuat suhu politik di sana menghangat. Banyak pengamat mengatakan, meski Negeri Ratu Elizabeth itu diprediksi akan tetap bertahan dalam UE, namun akan ada proses yang dramatis. “Makin sulit keadaan yang dihadapi UE setahun ke depan, makin dekat Inggris pada ‘Brexit’ (keluarnya Inggris dari Zona Euro),” kata Redaktur Eksekutif majalah The Economist, Daniel Franklin.
Amerika Serikat juga tidak bebas dari risiko politik ketika pemilu akan digelar tahun ini dan akan mengakhiri kekuasaan Barack Obama yang sudah memimpin dua periode. Seperti biasanya, pemilu AS selalu memiliki dampak besar pada seluruh dunia, dan kali ini ada kandidat Donald Trump yang telah menjadi paket kejutan.
Siapapun yang menjadi pemenangnya yang pasti akan memberikan perubahan signifikan terutama pada politik luar negeri AS. Beberapa ahli kebijakan luar negeri AS menilai bahwa pendekatan soft power Obama telah mendorong saingan AS untuk mengeksploitasi kelemahan yang dirasakan. Oleh karena itu, siapapun yang menang tampaknya akan menjalankan kebijakan luar negeri yang lebih kuat untuk mengatasi hal itu tahun depan. “China dan Rusia melihat bagaimana Obama menolak aksi militer, dan mereka berdua mengambil keuntungan penuh,” kata Anders Corr, Ketua dari Corr Analytics, sebuah lembaga riset politik.
Dengan adanya ancaman dari kondisi politik luar negeri itu, maka makin besarlah tantangan ekonomi dan bisnis Indonesia pada tahun ini. Jadi, bersiaplah.


Bongkar Menteri, Pebisnis ‘Wait and See’

Risiko politik yang mungkin paling mengancam adalah soal penggantian menteri atau reshuffle. Pertengahan tahun lalu, Presiden Jokowi sudah melakukannya dan tahun ini tampaknya sasaran utama tertuju pada Kementerian BUMN, Kementerian ESDM. Bagaimana hal ini akan mempengaruhi keputusan bisnis?

Salah satu hambatan nyata bagi kelancaran roda perekonomian dan bisnis adalah kepastian hukum dan aturan. Buat pebisnis, apalagi mereka yang memiliki investasi yang besar dalam menjalankan usahanya, aturan yang pasti dan jelas merupakan tuntutan mereka yang paling utama. Dalam konteks Indonesia, tahun ini, risiko politik itu salah satunya berasal dari pergantian menteri-menteri dalam pemerintahan.
Tahun ini, ditengarai, Presiden Joko Widodo kembali akan mengganti beberapa menterinya demi mengkompromikan pemerintahannya demi mendapatkan dukungan politik lebih besar. spekulasi beberapa menteri yang akan diganti sudah banyak muncul di media, baik media resmi maupun media sosial. Di antara yang paling santer akan diganti adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara, Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said.
Rini dan Said dinilai banyak menyebabkan kegaduhan di pemerintahan. Rini memang telah lama tidak disukai oleh partai penyokong terbesar pemerintahan Jokowi yaitu PDIP, sementara Said dinilai banyak membuat kisruh terutama ketika menyulut persoalan kontrak Freeport lewat rekaman pembicaraan politisi dengan Bos perusahaan tambang milik AS itu.
“Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Sudirman Said adalah bagian dari episentrum kegaduhan. Apa yang mereka kerjakan tidak sesuai dengan Nawa Cita. Ini yang akan membawa Nawa Cita menjadi dukacita. Apa yang mau dipertahankan?” kata politikus PDIP, Masinton Pasaribu.
Masinton menerangkan, hal itu terjadi karena tidak semua menteri dalam Kabinet Kerja memahami konsep Nawa Cita yang diusung Jokowi. "Kalau dia memahami, Menteri ESDM tidak akan bernegosiasi dengan Freeport untuk perpanjangan kontrak. Kalau dia memahami, Menteri BUMN tidak mengizinkan kontrak pengelolaan peti kemas."
Secara politik pun, lanjut Masinton, Rini tidak memperoleh dukungan dari DPR. Hal itu dibuktikan dengan ditolaknya usulan Penyertaan Modal Negara (PMN) dalam APBN 2016 oleh DPR. Saat itu seluruh fraksi bulat menolak yang bisa diartikan Menteri Rini tidak mendapat dukungan politik.
Sementara itu, Sudirman Said, kata Masinton, sudah kehilangan legitimasi pasca kisruh sang menteri dengan parlemen terkait perpanjangan kontrak Freeport.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, wacana perombakan Kabinet Kerja yang mencuat beberapa waktu terakhir dinilai tepat untuk meminimalisir dominasi kekuatan parpol tertentu di dalam pemerintahan.
Menurut dia, dengan masuknya partai politik baru ke dalam pemerintahan, maka Presiden Jokowi akan memiliki lebih banyak peluang untuk mengendalikan pemerintahan yang ada. Sebab, jika parpol baru mendapatkan jatah kursi di kabinet, maka parpol yang sebelumnya merasa mendominasi pemerintahan akan berpikir ulang untuk macam-macam ke Jokowi.
"Dengan begitu, Jokowi memiliki banyak pilihan. Kalau bidak satu banyak, merasa dominan, ya tinggal dikurangi wewenangnya dengan memasukkan 'bidak baru'," kata Ray dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Tahun lalu Partai Amanat Nasional mengumumkan bergabung dengan pemerintahan yang artinya mengakhiri keberadaan partai tersebut dalam oposisi dalam Koalisi Merah Putih. Dan untuk mengapresiasi dukungan tersebut, Presiden Jokowi tampaknya akan mengakomodir orang-orang PAN untuk masuk dalam kabinet.
Ray yakin Presiden Jokowi akan belajar dari pengalaman perombakan kabinet jilid pertama, terutama, dari aspek politik dan efektivitas kinerja dari setiap kementerian yang ada.
"Jokowi nanti bisa melihat atau test case, ada perlawanan tidak saat reshuffle. Tapi yang jelas, dengan adanya reshuffle jilid dua ini Jokowi tidak memiliki halangan baik secara psikologis maupun politik. Karena itu tadi, pilihan ‘bidaknya’ banyak," kata dia.

Bisnis Wait and See

Tahun lalu, beberapa bulan setelah pemerintahannya berjalan, Presiden Jokowi juga telah mengganti lima menteri dan sekretaris kabinet.Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan mengantikan Rahmat Gobel, Darmin Nasution sebagai Menteri Kordinator Ekonomi menggantikam Sofyan Djalil, Pramono Anung sebagai Sekertaris Kabinet menggantikan Andi Widjajanto, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Polhukam menggantikan Tedjo Edhi Pudjianto, Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman menggantikan Indroyono Soesilo dan Sofyan Djalil menjadi Menteri PPN/Kepala Bapennas menggantikan Andrinof Chaniago.
Saat itu, Menteri BUMN ‘selamat’dari reshuffle dan hal itu sempat membuat partai penyokong pemerintah, PDIP, kecewa. Akibat keputusan tersebut, saat itu muncul spekulasi bahwa akan ada perombakan kabinet jilid selanjutnya.
Pergantian menteri, tidak bisa dipungkiri lagi akan berimbas pada perubahan kebijakan dalam kementerian tersebut. Hal itu tentu akan mempengaruhi rencana bisnis pelaku usaha yang sudah disiapkan sebelumnya, bahkan parahnya lagi bisa mengganjal ekspansi bisnisnya. Itulah risiko politik.
Albert Phung, seorang analis dan penulis di Investopedia.com menulis bahwa ada dua jenis risiko politik, risiko makro dan risiko mikro. Risiko makro mengacu pada kejadian atau tindakan merugikan dari sebuah negara atau pemerintahan yang akan mempengaruhi semua perusahaan. Sedangkan risiko mikro mengacu pada tindakan buruk yang hanya akan mempengaruhi sektor industri tertentu atau bisnis. Memang dia sedang mengaitkan risiko politik sebuah negara bagi perusahaan asing, namun tidak salah jika dikaitkan juga dengan pelaku bisnis domestik.
Pada saat reshuflle tahun lalu, beberapa pengusaha mengaku tidak puas dengan keputusan tersebut. Salah satunya adalah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia. Ismed Hasan Putro, ketua himpunan tersebut mempertanyakan sikap Presiden yang justru mengganti koordinator dan bukan mengganti menteri yang membidangi langsung.
“Pergantian itu jauh dari harapan pelaku pasar kalangan pengusaha dan investor. Kawan-kawan saya dari Korea, Hongkong, Jerman, menanyakan mengapa justru menteri bermasalah yang tampak di permukaan media internasional direspon justru tidak diganti. Yang diganti justru menko sehingga jauh panggang dari api,” kata Ismed.
Tak pelak kebijakan tersebut akhirnya membuat para pelaku usaha bersikap pasif yakni wait and see. Padahal, pasar tidak bisa menunggu terus dan harus ada kestabilan di pemerintahan.
Pergantian menteri di kabinet Jokowi, lanjut dia, tidak memberikan angin segar ke pasar. Pelaku usaha pun akhirnya bertanya-tanya, apakah persoalan ekonomi sebenarnya berada pada menteri yang membidangi, menteri koordinator atau justru di Presiden dan Wakil Presiden.
“Pasar tidak miliki kepastian tentang arah kebijakan Pemerintah terkait tata kelola ekonomi,” kata Ismed.
Perubahan atau pergantian pejabat juga akan berimbas pada melambatnya kebijakan yang seharusnya diambil karena adanya masa transisi dari pejabat baru ke pejabat lama. Hal ini tentu akan berujung pada melambatnya penyerapan anggaran yang sudah disiapkan.
Tahun lalu, transisi pemerintahan Jokowi ditambah dengan transisi kebijakan menteri-menteri yang baru menjabat membuahkan penyerapan anggaran yang lambat. Hingga September 2015, pemerintah hanya mampu menyerap anggaran belanja sebesar 62,9 persen dan anggaran pendapatan baru 56,2 persen. “Rendahnya target penerimaan negara akan menyebabkan pemerintah mengalami shortfall, di sisi lain masalah klasik penyerapan belanja pemerintah belum juga terselesaikan,” kata Direktur Indef, Enny Sri Hartati.
Jadi apakah perombakan menteri yang akan dilakukan pemerintah kali ini akan berimbas kepada pelambatan ekonomi seperti tahun lalu, atau justru sebaliknya? Menarik untuk kita simak.



Meratakan Jalan Kebangkitan

Pembenahan di perusahaan negara di bidang jasa keuangan mencuat kembali, yang didengungkan oleh pemerintah baru. Fenomena itu juga terjadi di belahan dunia lain dan bisa diambil pelajaran.

Sewaktu Dahlan Iskan menjabat Menteri Badan Usaha Milik Negara, bisa dibilang pembenahan perusahaan negara mencapai puncaknya. Ide-ide konsolidasi banyak yang terwujudkan, meski masih lebih banyak yang kandas. Setidaknya ada tiga perusahaan induk yang berhasil dibentuk, yaitu pupuk, semen, dan perkebunan. Akan tetapi, satu konsolidasi yang belum juga bisa menjadi kenyataan adalah perbankan.
Pemerintahan saat ini, yang Kementerian BUMN-nya dipimpin oleh Rini Soemarno, tampaknya akan mencoba lagi mengonsolidasikan bank-bank pelat merah. Ancaman dari sengitnya persaingan dengan bank swasta dan juga bank lain di kawasan ASEAN mau tidak mau memaksa pemerintah untuk mendorong penguatan bank-bank negara.
Keinginan menggabungkan bank-bank negara sudah muncul sejak 2006 tahun lalu, dengan Bank Tabungan Negara, penguasa sektor properti, sebagai obyeknya. BTN saat itu diincar oleh Bank BNI, bank yang handal di sektor korporasi, dan juga BRI, pemimpin di sektor pembiayaan mikro. Dalam tahun itu pula, wacana itu meredup.
Dua tahun setelahnya, drama itu muncul lagi dengan pemeran utama yang sama, namun dalam tahun itu pula tidak ada kelanjutannya. Meski saat itu, baik BNI maupun BRI sudah sama-sama menunjukkan keseriusannya ingin mengakuisisi BTN.
Menteri Rini, mungkin paham bahwa ego masing-masing bank –terutama yang akan menjadi obyek akuisisi– masih sangat besar. Karena itulah ide merger atau akuisisi akan mendapat tentangan dari bank yang akan diincar. Bahkan jika ditambah dengan tentangan dari sisi politik, keinginan itu tampak akan makin sulit.
Maka dari itu, dia –yang mantan CEO Astra, raksasa otomotif nasional –menggunakan strategi jalan belakang untuk mewujudkan ide konsolidasi. Akhir tahun lalu, bank-bank BUMN meluncurkan layanan mesin tarik tunai yang mengaitkan semua bank yang bebas biaya yang dinamakan
“Link ATM Himbara”.
Untuk tahap awal, konsolidasi akan mencakup 50 jaringan mesin ATM milik empat BUMN yang tersebar di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tahun ini, Himbara menargetkan konsolidasi 800 jaringan mesin milik semua bank-bank BUMN.
Asmawi Syam, Ketua Umum Himbara yang merangkap Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengatakan, pengelolaan ATM secara bersama tak hanya dapat menghemat biaya operasional perbankan, tetapi juga menghemat ongkos transaksi masyarakat pengguna ATM. Bagi bank pelat merah, konsolidasi ini akan menghemat biaya pengelolaan ATM hingga Rp6,8 triliun per tahun. Sementara bagi nasabah, operasional ATM Himbara akan memangkas biaya transaksi ATM sekitar Rp7,3 triliun per tahun.
Sebelumnya, Asmawi juga sempat mengungkapkan bahwa rencana konsolidasi akan dilakukan bukan dengan cara menggabungkan bank-bank, namun penyatuan dalam sistem operasional dan bisnis bank seperti dalam layanan ATM.
Achmad Baiquni, Direktur Utama BNI mengatakan, konsolidasi ATM adalah salah satu tujuan utama sinergi bank BUMN. Namun, tidak berhenti hanya sampai situ. “Bank BUMN akan melakukan konsolidasi dari bisnis yang lain. Misal, pembiayaan kredit untuk swasta atau BUMN. Konsolidasi juga akan berlanjut yakni dalam pengelolaan bisnis hedging valas,” kata dia.
Dengan demikian, agaknya konsolidasi yang akan terwujud dan berjalan lancar barulah akan berada dalam tataran kerjasama operasional. Konsolidasi bank-bank BUMN dalam hal penggabungan menjadi satu entitas bisnis masih akan membutuhkan waktu yang panjang. Persoalannya bukan saja pada tingkat kesulitan dan ego sentris masing-masing bank, aturan otoritas baru yang mengatur juga masih belum rampung.
Tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah berkali-kali mengungkapkan niatnya akan menerbitkan Master Plan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI). Rencana besar ini boleh dibilang sebagai penyempurnaan dari Arsitektur Perbankan Indonesia yang diluncurkan bank Indonesia lebih dari 10 tahun lalu. OJK akan mengenalkan konsep baru konsolidasi perbankan, asuransi, multifinance, dan sektor keuangan lain. Di dalamnya, OJK juga akan mendorong konsolidasi bank BUMN agar  bisa meningkatkan efisiensi.
Indonesia masih tertinggal perihal rangking bank-bank beraset tergemuk di Asia Tenggara. Dari daftar 20 perbankan terbesar di ASEAN yang di­publikasikan United Nations Con­ference on Trade and De­velopment (UNTACD), tampak ada tiga bank singapura, tiga bank asal malaysia dan em­pat bank dari thailand yang menempati 10 besar.
Ketiga bank asal Singapura adalah DBS Group, Oversea-Chinese Banking Corp dan Ma­layan Banking yang me­nempati urutan pertama hingga ketiga. DBS Group memiliki aset sebanyak 332 miliar dollar AS, Oversea-Chinese Banking Corp memiliki aset 302 miliar dollar AS dan UOB memiliki aset 231 miliar dollar AS.
Tiga bank dari Malaysia adalah Malayan Banking, dengan aset 182 miliar dollar AS, CIMB Group memiliki aset 118 miliar dollar AS dan Public Bank beraset 98 miliar dollar AS.
Empat bank dari Thailand adalah Bangkok Bank beraset 83 miliar dollar AS, Krung Thai Bank beraset 83 miliar dollar AS, Siam Commercial Bank beraset 82 miliar dollar AS, dan Kasikorn Bank beraset 72 miliar dollar AS.
Hanya ada empat perbankan asal indonesia yang masuk 20 besar yakni Bank Mandiri diurutan 11, dengan aset 68 miliar dollar AS, BRI mencapai 64 miliar dollar AS, BCA memiliki aset 44 miliar dollar AS, dan BNI yang memiliki aset 33 miliar dollar AS. Seandainya ketiga bank BUMN disatukan asetnya juga masih berada di level 165 miliar dollar AS, masuk tiga besar.

Fenomena Dunia
Pembenahan BUMN bukan cuma isu di Indonesia saja. Seperempat abad terakhir, dunia telah melihat beberapa letupan dari fenomena pembenahan BUMN baik di negara-negara maju dan berkembang. Pilihan yang paling sering diambil oleh negara-negara tersebut adalah privatisasi. Menurut catatan The Economist, majalah ekonomi terkemuka, gelombang privatisasi pertama, yang dibangun dari pertengahan 1980-an dan mencapai puncaknya pada tahun 2000, sebagian besar terjadi di Eropa. Awalnya dorongan untuk mengurangi intervensi negara pada perusahaan-perusahaan pelat merah muncul di Inggris di bawah Perdana Menteri Margaret Thatcher. Kebijakan itu kemudian segera menyebar ke benua Eropa. Gerakan itu mencapai puncak kecepatan setelah 1991, ketika Eropa Timur menjual ribuan BUMN karat. Gelombang kedua datang di pertengahan 2000-an, di saat ekonomi Eropa berusaha untuk mengumpulkan uang tunai untuk menutup utang-utang yang membengkak.
Meski demikian, di beberapa negara Eropa, pemerintahnya masih memiliki saham pada perusahaan-perusahaan yang diprivatisasi. Perancis, misalnya, masih memiliki saham besar dan kuat di GDF SUEZ, Renault, Thales dan Orange.
Sementara itu, China yang berubah menjadi pemain ekonomi dominan dunia juga memiliki pengalaman dalam membenahi BUMN. Kunci pertama perkembangan perusahaan negara di China karena pemerintahnya cenderung mempertahankan aset perusahaan negara yang bergerak di sektor strategis. Hal itu sangat dimungkinkan ketika pertumbuhan ekonomi China melesat hingga double digit satu dekade lalu sampai pada 2008.
Sementara untuk perusahaan negara yang mengalami penurunan keuntungan, khususnya di sektor tempat pasar bersaing begitu ketat, pemerintah China menerapkan strategi privatisasi. Untuk privatisasi, China banyak meniru apa yang dilakukan Singapura. 
Beberapa tahun lalu, Development Research Centre (DRC), lembaga think-tank Pemerintah China mulai mereformasi BUMN China yang tidak efisien. Lembaga itu kemudian menyebut Temasek, perusahaan induk BUMN di Singapura, sebagai model potensial yang bisa ditiru dalam hal privatisasi. Temasek adalah perusahaan yang didirikan pada 1974, ketika mewarisi 35 perusahaan dari Kementerian Keuangan Singapura. Portofolio perdananya termasuk beberapa perusahaan yang membuat Jurong, sebuah wilayah di Singapura menarik perhatian, termasuk galangan kapal.
Dalam empat dekade sejak itu, kedua portofolio Temasek itu telah naik dua kali lipat (sekarang senilai lebih dari 172 miliar dollar AS dan sebagian besar berada di luar Singapura, hanya 30 persen dari kepemilikannya yang tetap berada di Singapura. Kepemilikan domestiknya terkonsentrasi di apa yang disebut Singapura sebagai Government-Linked Companies (GLCs), seperti Singapore Airlines (dari yang memiliki 56 persen) dan SingTel, perusahaan telekomunikasi (52 persen).




Bangkit Lewat Bank Syariah

Konsolidasi perbankan milik negara akan segera terealisasi lewat pembentukan bank syariah. Namun demikian stake holder harus memitigasi setidaknya dua tantangan dari kebijakan mendorong perbankan syariah ini.

Kebangkitan perusahaan negara bidang keuangan bisa saja berawal dari perbankan syariah. Hal itu tidaklah berlebihan melihat rencana-rencana yang sudah disiapkan dan langkah-langkah yang sudah digulirkan, baik oleh pemerintah maupun stake holder syariah lainnya.
Sejak akhir 2006, sejatinya, dorongan untuk memajukan industri perbankan syariah sudah dirintis oleh Bank Indonesia, lewat sejumlah program akselerasi perbankan syariah. Mulai kampanye iB yang merupakan akronim dari Islamic Banking, hingga menyusun grand strategy pengembangan pasar syariah.
Namun demikian, hingga otoritas perbankan berganti tangan, rencana itu masih sedikit yang terealisasikan. Otoritas Jasa Keuangan, regulator perbankan yang mulai mengambil alih tugas BI sejak 2014, tentu tidak mau kehadirannya tidak memberikan dampak kepada sektor keuangan syariah.
Untuk itu sejak Juni tahun lalu, OJK menerbitkan Road Map Perbankan Syariah Indonesia (2015-2019). Di dalamnya berisi langkah-langkah yang akan dijalankan otoritas beserta target-targetnya, untuk mendongkrak sektor perbankan syariah.
Selain itu, OJK juga tengah memfinalisasi roadmap holding bank BUMN syariah agar bank syariah milik negara bisa lebih besar melalui merger dan bisa mendorong industri. Demi mempercepat proses merger bank-bank itu,  OJK mengaku melakukan koorodinasi intensif dengan Kementrian BUMN.
Bahkan rencana menyatukan bank syariah pelat merah ini juga sudah dimasukkan dalam Road Map Perbankan Syariah Indonesia. Berdasarkan peta jalan itu BNI Syariah, unit usaha syariah BTN, BRI Syariah dan Bank Syariah Mandiri (BSM) harus sudah menjadi bank umum paling lambat 2017. Merger tersebut harus diikuti dengan penambahan modal usaha, yang hal itu akan bisa dilakukan dengan penawaran saham perdana (IPO).
“Opsi IPO tengah dikoordinasikan dengan regulator yang membidangi pasar modal. Namun, skema merger dan penambahan modal masih menunggu putusan pihak Kementerian BUMN sebagai pemegang saham mayoritas induk usaha bank BUMN syariah,” Dhani Gunawan Idat, Direktur Penelitian, Pengembangan, Pengaturan, dan Perizinan Perbankan Syariah OJK.
Permodalan memang masalah genting bagi perbankan syariah karena hingga akhir tahun ini 10 dari 12 bank syariah yang ada memiliki modal inti kurang Rp2 triliun dan tidak ada yang bermodal inti melebihi Rp5 triliun.
Oleh karena itu pekerjaan rumah yang cukup penting bagi OJK adalah mendorong bank syariah khususnya yang sudah jadi Bank Umum Syariah (BUS) untuk meningkatkan permodalannya sehingga bisa masuk dalam kategori BUKU III yang mana sudah memiliki modal lebih dari Rp5 triliun. “Ada enam bank di BUKU II yang sedang berusaha untuk masuk dalam kategori BUKU III. Tahun ini mereka berusaha untuk mencapainya,” kata Dhani.

Komite Perbankan Syariah
Kabar baik juga datang awal tahun ini. Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang menurut OJK akan mempercepat pembentukan bank BUMN Syariah.
Komite yang langsung dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan memiliki beberapa anggota pengarah antara lain adalah BI OJK dan beberapa Kementerian. Menurut Kepala Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad Buchori, dengan adanya komite ini maka koordinasi antar kementerian lembaga dan otoritas seperti BI dan OJK akan semakin mudah. Sehingga, program pemerintah terkait dengan perbankan syariah diharapkan bisa dilaksanakan lebih cepat.
“Tahun lalu pembentukan bank BUMN Syariah ini masih terkendala konsolidasi internal beberapa bank syariah besar. Ke depan, dengan dibentuknya KNKS, diharapkan renana pemerintah ini akan lebih cepat,” ujar Buchori.
Selain itu, dengan adanya pembentukan komite ini, potensi dana yang dikelola oleh perbankan syariah juga akan semakin besar. Pasalnya, akan ada potensi lebih banyak dana APBN, ABPD, baitul maal dan gaji pegawai negeri yang masuk ke bank syariah seiring dengan pembentukan komite ini.
Buchori menambahkan, dengan adanya pembentukan komite ini maka kendala yang selama ini menghadang perbankan syariah akan bisa cepat terselaikan. Misalnya pajak ganda atau double tax yang selama ini membayangi industri syariah.
“Kami perkirakan pada Agustus 2016 seiring dengan selesainya konversi BPD Aceh ke bank syariah, akan ada tambahan aset bank syariah Rp 22 triliun. Hal ini akan meningkatkan pangsa pasar bank syariah dari jebakan pangsa pasar di bawah 5 persen,” ujar Buchori.

Tantangan
Perbankan syariah memang telah menjadi sektor yang digadang-gadang akan memberikan pengaruh signifikan kepada perekonomian Indonesia, mengingat potensi pasar sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Di mata internasional, Indonesia dipandang sebagai kekuatan yang memiliki peluang untuk mendorong berkembangnya keuangan syariah global.
Berdasarkan data OJK, negara kita termasuk dalam 10 besar negara dengan aktivitas dan aset keuangan syariah terbesar. Daftar 10 bank syariah terbesar di dunia berdasarkan aset adalah berasal dari Malaysia, Saudi Arabia, Iran, Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar, Bahrain, Turkey, Indonesia dan Bangladesh.
Menurut Gayatri Rawit Angreni, pengamat perbankan dan manajemen risiko, dalam sebuah forum OJK mengatakan bahwa Indonesia menargetkan diri masuk dalam posisi lima besar dunia. Secara potensi, perbankan syariah Indonesia yakin mampu menjadi pusat keuangan syariah di Asia, dan bahkan secara jangka panjang bisa menjadi acuan pusat keuangan syariah dunia. “Bahkan Indonesia sebagai bagian dari gabungan negara Qismut yaitu Qatar, Indonesia, Saudi Arabia, Malaysia, Uni Emirat Arab, dan Turki yang diharapkan menjadi pemimpin dan pendorong perkembangan syariah dunia,” kata dia. 
Meski demikian, lanjut Gayatri, ada setidaknya dua tantangan yang akan dihadapi pemangku kepentingan perbankan syariah untuk mewujudkan hal itu. Tantangan yang pertama adalah koordinasi dan hubungan antara pemerintah dan bank umum syariah. Tantangan kedua adalah persaingan global dan persaingan dengan perbankan konvensional yang tidak mengenal batas negara.


                                                                                                                                               

Gaduh Freeport

Kita harus naik ke bangunan yang lebih tinggi agar kita dapat melihat keadaan sekitar lebih baik dan lebih luas. Kita harus membuat sekat-sekat rumah yang tembus pandang agar kita bisa melihat gerak-gerik orang di dalamnya. Setelah semuanya terlihat jelas, akan mudah untuk membuat rencana atau skenario untuk memuluskan kepentingan kita.
Dua kondisi itu sepertinya terjadi di Indonesia, setidaknya itulah dugaan sementara saya. Lihat saja, banyak kegaduhan yang ada di Indonesia yang kerap kali membuat publik atau masyarakat menjadi alpa dan abai terhadap masalah besar yang sedang terjadi.
Mari kita tidak usah melihat kegaduhan yang lalu, lihat saja yang tampak di depan mata kita saat ini. Ketika drama ‘Papa Minta Saham’ menyedot perhatian publik sedemikian rupa hingga banyak energi tersalurkan ke sana, masalah utama pun jadi terlupakan. Seharusnya pada Oktober 2015 lalu, Freeport sudah harus melepas 10,64 persen sahamnya ke pemerintah sesuai dengan komitmen divestasi. Tetapi karena kegaduhan pada sidang Majelis Kehormatan Dewan, dan publik kemudian ikut gaduh, hal itu terabaikan.
Freeport, selalu isu besar di negeri ini. Dulu sewaktu Orde Baru masih memerintah, isu ini memang tak pernah muncul ke publik, sehingga kita tidak tahu banyak persetujuan yang tidak adil buat negara dan rakyat, khususnya rakyat Papua. Terima kasih untuk Orde Reformasi yang membuat isu ini bisa diketahui oleh khalayak banyak. Masyarakat jadi tahu bahwa perjanjian kita dengan Freeport sejatinya berat sebelah.
Pemerintahan sebelumnya, sejatinya sudah memberikan arah agar perusahaan yang berpusat di Phoenix, AS itu bisa lebih menguntungkan buat Indonesia, karena memang begitu seharusnya. Akan tetapi, segelintir orang yang berada di ‘dataran tinggi’ yang mampu melihat cakrawala dengan lebih lengkap, sekaligus orang yang bisa melihat Indonesia seperti melihat ke dalam rumah kaca, tampaknya punya keinginan lain. 
Karena lebih banyak informasi yang digenggamnya ditambah akses ke kekuasaan yang luar biasa, maka segelintir orang itu membuat skenario yang membuat publik menjadi tidak ‘ngeh’ dan teralihkan dari masalah itu. Seharusnya, publik memiliki orang-orang yang mengawasi hal-hal inti dari sebuah permasalahan. Namun saat ini, tampaknya, orang-orang itu malah sibuk untuk memperhatikan dan berkomentar pada persoalan yang justru menjadi pengalih-perhatian dari masalah sebenarnya.
Ke depan, kemungkinan besar distraction-scenario seperti ini akan tetap terjadi, terutama yang terkait uang dan kekuasaan yang besar.  Untuk itu publik mesti lebih cerdas dalam melihat masalah. Setiap masalah harus ditarik ke belakang hingga sampai pada sumber masalahnya. Dari situ, kita semua bisa memikirkan cara menyelesaikan masalahnya. Tentunya dengan tidak menabrak hukum dan aturan yang ada. Setidaknya itulah yang dikatakan banyak orang bijak.
Dan seharusnya orang bijaklah yang berada di ‘dataran tinggi’ dengan kemampuan melihat cakrawala yang lebih luas. Dan orang bijaklah yang dibolehkan melihat rumah kaca bernama Indonesia. Tetapi, apakah mungkin?


Jaminan Lembaga Penjamin Kredit

Perusahaan penjaminan kredit memiliki peran penting untuk mendorong pembiayaan usaha kecil yang selama ini belum berkembang optimal. Perlu upaya lebih keras dari pemerintah untuk meningkatkan peran lembaga penjaminan.
  
Usaha mikro kecil dan menengah setidaknya sudah sejak 18 tahun lalu dielu-elukan sebagai pelampung tahan uji di segala kondisi ekonomi. Sifatnya yang lentuk dan cepat beradaptasi dengan perubahan membuatnya memiliki kemampuan bertahan lebih besar dibanding perusahaan besar, terutama dalam kondisi ekonomi yang melemah.
Akan tetapi persoalan laten sektor ini yaitu akses pembiayaan ke lembaga keuangan masih menjadi masalah terbesar yang belum terpecahkan tuntas hingga kini. Bank masih enggan memberikan dana kepada UMKM karena terbentur peraturan kaku persyaratan kredit dari otoritas. Padahal, jika berhitung untung, menyalurkan kredit kepada sektor yang biasanya berisi para pedagang kecil, pengusaha kerajinan tangan dan lainnya lebih memberikan margin besar kepada bank.
Selama ini, memang ada pihak ketiga yang menjadi penolong usaha kecil dalam mendapatkan pinjaman yaitu lembaga penjamin kredit. Lembaga ini menjadi penjamin bagi dana yang diberikan bank kepada UMKM selayaknya perusahaan asuransi menggaransi kerugian nasabah.
Namun demikian, peran lembaga penjaminan kredit seperti Jamkrindo, Askrindo dan beberapa perusahaan penjaminan di daerah masih minim sehingga nasib UMKM belum bisa berubah banyak sejak dua dekade lalu.
Jamkrindo adalah salah satu perusahaan penjamin kredit bagi UMKM yang tertua. Berdiri sejak tahun 1970 dengan nama Lembaga Jaminan Kredit Koperasi, hingga kini Jamkrindo hanya mampu memberikan garansi tak lebih kepada 18 persen pengusaha mikro kecil dan menengah yang berjumlah 57,54 juta.
“Bahkan jika digabung dengan lembaga penjamin yang ada di daerah, potensi pasar yang bisa digarap tidak lebih dari 20 persennya. Apalagi sebagian besar Jamkrida baru berdiri beberapa tahun belakangan ini,” kata Diding S Anwar, Direktur Utama Perum Jamkrindo.
Terdapat 14 perusahaan penjamin kredit di daerah yang terbentuk pasca pemerintah
mengeluarkan aturan mengenai lembaga penjaminan dan membentuk Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) pada 2008. Aturan itu dibuat bersamaan dengan program linkage dan kredit usaha rakyat. Namun demikian, peran dan dampak lembaga tersebut bagi sektor UMKM masih belum terlihat.
Dibanding dengan Jamkrindo yang sudah berusia 45 tahun, kinerja keuangan lembaga penjaminan kredit di daerah itu memang masih semenjana. Hingga November, total volume penjaminan‎ yang dijamin oleh Jamkrindo mencapai Rp52,2 triliun, atau 67 persen dari target sekitar Rp77 triliun. Adapun sumber realisasi penjaminan tersebut dari komersial korporat Rp47,5 triliun, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Rp4,7 triliun.
Sementara itu, imbal jasa penjaminan (IJP) sampai November tercatat mencapai Rp1,3 triliun, terdiri dari IJP korporat Rp628,28 miliar, dan IJP KUR korporat Rp691,6 miliar.‎
“Laba sudah mencapai Rp505,5 miliar.‎ Pencapaian laba tahun ini minimal sama seperti tahun lalu sekitar Rp820 miliar,” kata Diding.
Tahun ini diperkirakan penjaminan yang dilakukan oleh seluruh perusahaan yang tergabung dalam Asippindo nilainya mencapai Rp 100 triliun. Jamkrindo sebagai perusahaan dengan modal terbesar menargetkan nilai penjaminan mencapai Rp 77 triliun, mencakup 4 juta UMKM dan menyerap 5,6 juta tenaga kerja.
“Di sini kami tidak rebutan kue yang sudah habis. Justru kami bahu-membahu menggarap potensi pasar yang masih sangat besar dan belum tergarap seluruhnya,” kata Diding yang juga menjabat Ketua Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (Asippindo) yang menjadi payung bagi semua lembaga penjaminan kredit di Indonesia.

UMKM Butuh Penjamin

Pentingnya kehadiran perusahaan penjamin kredit juga ditegaskan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Muliaman Darmansyah Hadad.
"Masalah uang bukanlah satu-satunya faktor yang menghambat pengembangan UMKM. Tetapi uang menjadi faktor yang bisa menentukan keberlangsungan UMKM," kata Muliaman dalam keterangan tertulis.
Oleh karena itu kehadiran lembaga penjamin mutlak diperlukan oleh pelaku UMKM untuk bisa berkembang. Hingga kini, hal yang paling dikeluhkan oleh UMKM adalah sulitnya mendapat kredit dan pendanaan, termasuk akses ke lembaga keuangan.
Jika masalah ini sudah terpecahkan maka perekonomian Indonesia akan berkembang lebih pesat terutama pada saat pasar bebas regional ASEAN sudah di depan mata. Lebih dari 40 persen pasar ASEAN berasal dari Indonesia yang memiliki 250 juta penduduk, dari 600 juta populasi manusia di Asia Tenggara. Dengan jumlah populasi yang besar maka akses keuangan juga lebih memungkinkan.
"Kita ingin kepastian bahwa integrasi akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat ASEAN. Kesejahteraan menjadi tujuan akhir, sementara terbentuknya integrasi menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan," ujarnya.
Regulator sadar betul bahwa UMKM memiliki potensi yang sangat besar menjadi penolong perekonomian di saat krisis dan pendorong perekonomian yang bisa mendongkrak pertumbuhan.
Oleh karena itu, otoritas tidak henti-hentinya meyakinkan bank agar lebih memperhatikan UMKM bahkan sudah diterbitkan aturan yang mewajibkan bank memiliki portofolio kredit UMKM minimum 20 persen di tahun 2018.  
Pada prinsipnya bank akan tetap berpedoman pada pemberian kredit yang sehat dan pruden seperti yang diminta oleh regulator dan pengawas, mengacu pada pasar sasaran dan risiko yang dapat dilayani, serta kelayakan pemberian kredit.
“Jadi sejatinya secara komersial, tanpa ada permintaan dari pemerintah bila UMKM layak diberi kredit pastilah akan diburu bank. Kenyataan membuktikan bahwa berdasarkan penelitian Bank Indonesia tahun 2010, ternyata mayoritas UMKM sudah feasible, namun belum bankable.  Ini yang kemudian menjadi tantangan kita bersama,” kata pakar manajemen risiko Gayatri Rawit Angreni.
Akan tetapi, dia mengingatkan bahwa keberadaan lembaga penjamin kredit tidak sepenuhnya akan berdampak positif bila tidak ditangani secara hati-hati. Terutama bagi bank yang memberikan kredit ke UMKM hanya sebagai program pemerintah tanpa proses seleksi dan standar analisis kredit. “Tentu bisa mengarah ke moral hazard, karena bank menyepelekan dan menutup mata atas proses manajemen risiko UMKM yang belum bankable dan menyerahkan sepenuhnya kepada penjamin kredit,” kata Gayatri.


Asal Usul Jamkrindo
Berawal dari melihat kondisi perkembangan koperasi yang tertinggal dibandingkan dengan dua pelaku ekonomi lainnya (BUMN dan Swasta), Pemerintah kemudian mendirikan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) pada tahun 1970. Dalam perkembangannya lembaga ini diubah menjadi Perusahaan Umum Pengembangan Keuangan Koperasi (Perum PKK) pada akhir 1981.
Perum PKK ini terbilang berhasil dalam mengembangkan koperasi melalui kegiatan Penjaminan Kredit. Untuk itu Pemerintah memperluas jangkauan pelayanan Perum PKK, tidak hanya terbatas hanya pada koperasi, tetapi juga meliputi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah melalui PP No. 95 tanggal 7 November Tahun 2000 dan sekaligus mengubah nama Perum PKK menjadi Perusahaan Umum (Perum) Sarana Pengembangan Usaha (SPU).
Kegiatannya pun diperluas tidak hanya menjamin kredit bank atau non bank, tetapi juga penjaminan atas pembiayaan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen dan pembiayaan pola bagi hasil, penjaminan atas pembelian barang secara angsuran, penjaminan atas transaksi kontrak jasa, pemberian pinjaman dengan pola bagi hasil, bantuan manajemen dan konsultasi, penerbitan surety bond dan kegiatan lain.
Selanjutnya pada Mei 2008, lembaga itu kembali diubah namanya menjadi Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo). Perubahan nama perusahaan tersebut terkait dengan perubahan bisnis perusahaan yang tidak lagi memberikan pinjaman secara langsung kepada UMKMK melalui pola bagi hasil, tetapi hanya terfokus pada bisnis penjaminan kredit UMKMK.

Pada tahun 2008 juga, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 2 tanggal 26 Januari 2008 tentang Lembaga Penjaminan. (Sumber: Wikipedia).

Optimisme Di Tengah Ketidakpastian

Ekonomi global tahun depan diperkirakan belum akan lebih baik dari tahun ini. Meski demikian pertumbuhan ekonomi nasional diprediksi akan lebih tinggi dari tahun ini karena faktor dampak kebijakan deregulasi.

Setiap pergantian tahun biasanya selalu ada harapan yang lebih baik dibandingkan tahun yang akan ditinggalkan. Demikian juga pada perekonomian Indonesia. Setelah melewati terowongan yang cukup gelap tahun ini, ekonomi Indonesia tampaknya akan menemukan ujungnya mulai tahun depan.
Ekspektasi tersebut tercermin dari target pertumbuhan tahun depan yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,3 persen, lebih tinggi dari tahun ini yang akan mencapai maksimal 4,7 persen. pemerintah juga optimistis inflasi akan bisa terjaga di level 4,7 persen dan nilai tukar Rp13.900 per dollar AS.
Akan tetapi ekspektasi pertumbuhan yang lebih tinggi tahun 2016 akan mendapat tantangan berat karena lingkungan ekonomi global belum akan mendukung. Menurut laporan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi global akan kembali mengecewakan. Pertumbuhan ekonomi dunia menurut lembaga kreditor tersebut diprediksi akan berkisar di level 3,3 persen, lebih pesimistis ketimbang proyeksi IMF sebesar 3,6 persen.
Perkiraan lembaga-lembaga dunia itu dilandaskan pada beberapa hal, terutama karena sektor komoditas belum akan beranjak dari penurunan harga yang sudah terjadi sejak 2012. Harga komoditas seperti batu bara, CPO, nikel, dan karet masih berada di bawah harga peak-nya pada tahun 2008 atau 2009. Mungkin hanya komoditas minyak bumi jenis brent yang harganya akan sedikit meningkat.
Selain harga komoditas yang akan masih rendah, perekonomian global juga akan terganjal oleh masih rendahnya pertumbuhan ekonomi China. Berdasarkan proyeksi dari Bank Dunia pertumbuhan Negeri Tirai Bambu itu akan mencapai 7 persen, lebih rendah dari 2015 yang akan mencapai 7,1 persen. Sementara menurut IMF, pertumbuhannya akan mencapai 6,3 persen, lebih rendah dari 2015 yaitu sebesar 6,3 persen.
“Ekonomi global ditahun 2015 masih belum pulih sepenuhnya, bahkan IMF telah dua kali merevisi pertumbuhan ekonomi global menjadi lebih rendah. Untuk tahun 2016, tampaknya masih juga belum ada perbaikan yang signifikan, kecuali di India,” kata Direktur Indef Enny Sri Hartati.
Menurut dia, tantangan yang akan dihadapi perekonomian Indonesia tahun depan terkait kondisi eksternal, sejatinya tidak jauh berbeda dengan tahun ini. Masalah harga komoditas dan kondisi ekonomi China memang menjadi masalah bawaan, ditambah lagi dengan ketidakpastian kebijakan kenaikan suku bunga The Federal Reserve.
Akan tetapi pada 17 November lalu, The Fed akhirnya menaikkan suku bunganya sebesar 0,25 persen yang merupakan kenaikan pertama sejak hampir satu dekade. Hal itu membenarkan pernyataan resmi Janet Yellen, Gubernur The Fed yang pada saat rapat dengan parlemen AS, memberikan sedikit petunjuk bahwa kemungkinan suku bunga akan dinaikkan menjelang akhir 2017.
Langkah The Fed ini tentu akan membuat perkembangan baru di tahun depan, meskipun jika dilihat respons pasar di Indonesia tidak terlalu berlebihan karena kemungkinan sudah mengantisipasinya sejak setahun ini.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia Rizal E. Halim mengatakan selain ketiga masalah di atas, yang akan menjadi tantangan perekonomian global dan juga akan berpengaruh ke Indonesia adalah masih tertekannya ekonomi Eropa. "(selain) harga minyak dunia, adanya volatilitas harga komoditas, perlambatan ekonomi Tiongkok dan (juga) masih tertekannya ekonomi zona Eropa," kata Rizal.
Berdasarkan pengamatannya, pertumbuhan ekonomi dunia melambat sejak 2010 dengan hanya tumbuh 5,1 persen, kemudian anjlok di tahun 2012 ke level 3,8 persen, turun lagi di tahun 2012 menjadi 3,1 persen, hingga setahun setelahnya menjadi 3 persen. Perekonomian dunia mulai beranjak naik ke 3,4 persen pada 2014 akibat pemulihan negara maju khususnya Amerika Serikat.
Tahun ini, pengajar yang juga Direktur Eksekutif Lingkar Studi Efokus itu mengatakan pada 2015, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan kembali melambat di level 3,0 persen sampai 3,1 persen. Tahun ini ekonomi dunia juga dihadapkan pada risiko geopolitik seperti krisis Timur Tengah, konflik Laut China Selatan, ketegangan di sejumlah perbatasan negara-negara termasuk kasus penembakan pesawat Rusia oleh tentara Turki di perbatasan Turki-Syria.
“Perekonomian global di tahun 2016 akan banyak dipengaruhi oleh rencana kenaikan The Fed rate, perkembangan geopolitik di sejumlah kawasan, volatilitas harga minyak mentah dunia, dan harapan pemulihan ekonomi Tiongkok dan Eropa,” kata Rizal.
Hal itu mempengaruhi ekonomi Indonesia yang diprediksi akan relatif stagnan dengan pertumbuhan ekonomi nasional dikisaran 4,6 persen sampai 4,8 persen. “Perlambatan ekonomi nasional sepanjang 2015 merupakan respon atas dinamika global, tekanan permintaan barang dan jasa dunia, tekanan nilai tukar, dan terus melemahnya daya beli masyarakat," katanya.

Ekspor dan Impor

Tahun ini pertumbuhan ekonomi nasional diprediksi tidak akan melampaui level 4,7 persen yang merupakan laju terendah sejak 2009. Tidak hanya itu, nilai tukar terhadap dollar AS juga sempat menyentuh level terendahnya sejak krisis tahun 1997. Kondisi itu menimbulkan kekhawatiran aliran modal asing akan keluar dengan deras sehingga membawa Indonesia kembali kepada krisis ekonomi.
Kekhawatiran itu tidaklah berlebihan ketika melihat angka perdagangan internasional sepanjang tahun ini. Pertumbuhan ekspor Indonesia terus berfluktuatif dan tergantung kondisi ekonomi global. Ketika perekonomian global melemah maka ekspor pun mengikuti yang akhirnya berimbas kepada pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam lima tahun terakhir ekspor Indonesia terus turun kecuali untuk tahun 2010 dan 2011. “Pertumbuhan ekspor yang tinggi pada 2010 dan 2011 karena diuntungkan oleh tingginya harga komoditas. Setelah harga komoditas mulai anjlok, maka berdampak pada ekspor Indonesia. Penurunan ekspor pada 2015 bisa jadi yang terparah sejak 2009,” kata Enny dari Indef.
Penurunan nilai ekspor sangat terkait dengan melemahnya pasar di beberapa negara tujuan utama. Pada Januari hingga Oktober 2005, ekspor lima negara tujuan utama mengalami penurunan. Ekspor ke China menurun 20,1 persen, ke Singapura menurun 12,6 persen, Jepang turun 9,5 persen, India turun 4,1 persen dan Amerika Serikat turun 2,9 persen.
Tahun depan kondisi eksternal diperkirakan tidak akan banyak berubah. Oleh karena itu pemerintah diminta untuk fokus membereskan masalah yang menghambat ekspor di dalam negeri.
“Pemerintah perlu mengoptimalkan paket kebijakan yang berkaitan dengan upaya mendorong ekspor dan penggunaan bahan baku domestik untuk dapat menekan defisit transaksi berjalan di bawah2 persen dari PDB,” jelas Enny.
Sementara itu ekonom DBS Group Research, Gundy Cahyadi mengatakan, pertumbuhan ekonomi 2016 bisa lebih tinggi jika pemerintah bisa merealisasikan penyerapan anggaran 90 - 95%. Termasuk 80 persen untuk anggaran belanja modal. Bila ini terjadi maka dampak tidak langsung bagi sektor swasta akan lebih besar dari perkiraan.
DBS, dalam laporan tertulisnya, memperkirakan pertumbuhan Indonesia tahun depan akan membaik dan bisa mencapai  5,2 persen. Hal itu  terjadi meski masih ada perlambatan ekonomi Tiongkok dan rencana kenaikan suku bunga Amerika lebih lanjut setelah Desember lalu naik 0,25 persen, tetap akan membawa ketidakpastian terhadap ekonomi global ke depan.



Proyeksi Harga Komoditas
Sumber OECD


Perkembangan Ekspor Indonesia

Tahun
Pertumbuhan
Migas
Non Migas
Total
1991
-1.59
24.95
13.50
1995
7.95
15.13
13.39
2000
46.71
22.85
27.66
2006
10.28
19.81
17.67
2007
4.14
15.61
13.20
2008
31.86
17.26
20.09
2009
-34.70
-9.64
-14.97
2010
47.43
33.08
35.42
2011
47.92
24.88
28.98
2012
-10.85
-5.54
-6.62
2013
-11.75
-2.04
-3.93
2014
-7.0
-2.6
-3.43
2015*
-39.08
-8.77
-14.07

Sumber BPS

Menyiapkan Milestone Baru

Perbankan syariah mulai bersiap menyambut tahap baru dalam perkembangan bisnisnya. Beragam dukungan otoritas dan pemerintah mulai tahun depan akan bisa mendongkrak peran bank agar mampu menjadi penggerak ekonomi.

Jika membandingkan potensi yang ada dengan realisasi yang tercipta, memang sudah sepatutnya Indonesia bersedih. Apalagi ini soal industri keuangan syariah. Sebagai negara dengan penduduk muslim lebih dari 84 persen, industri keuangan syariah Indonesia masih menjadi mengekor alih-alih menjadi penggerak ekonomi.
Dengan market share yang dalam sepuluh tahun belakangan masih di bawah 5 persen, memang sulit bagi industri keuangan syariah khususnya perbankan untuk menjadi pemain penting dalam perekonomian. Oleh karena itu otoritas telah menyiapkan berbagai langkah agar sektor keuangan syariah bisa menjadi pemain yang diperhitungkan dalam menggerakkan ekonomi nasional.
Langkah yang pertama adalah mendongkrak pangsa pasar perbankan syariah.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menetapkan target pangsa pasar bank syariah dapat mencapai 15 persen dalam empat tahun ke depan dan tahun ini setidaknya bisa menyentuh angka lima persen. Sampai September, berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia aset bank syariah masih berada di angka Rp273,48 triliun, atau berada di kisaran 4,6 persen dibanding total aset perbankan secara keseluruhan.
“Bank syariah penetrasinya masih kecil. Dari 2008, pangsa pasarnya masih 5 persen dibandingkan bank konvensional. Bahkan tren market share menurun dari 4,89 persen di 2013 menjadi 4,67 persen hingga Mei 2015," kata Dhani Gunawan Idat, Direktur Penelitian, Pengembangan, Pengaturan, dan Perizinan Perbankan Syariah OJK.
Pangsa pasar keuangan syariah tentu sangat minim jika dibandingkan dengan konsumen yang mencapai 200 juta orang lebih. Sehingga bisa dipahami jika perbankan syariah belum mampu menjadi penggerak ekonomi.
“Dengan membandingkan dengan pengalaman negara lain, ketika pangsa pasar bank syariah lebih dari 10 persen, baru dapat menjadi penggerak perekonomian. Setidaknya hal ini terlihat di Malaysia dengan pangsa pasar 24 persen,” kata Dhani.
Perbankan syariah di Malaysia sangat mendominasi pasar sukuk di negara jiran itu, bahkan bisa sampai mendikte pasar obligasi syariah di sana. Sementara itu, di Uni Emirat Arab pangsa pasarnya sudah lebih dari 16 persen dengan yang mendominasi pembiayaan sektor properti di negara Timur Tengah itu. 
“Kita ingin industri syariah lebih besar sehingga dapat menjadi penggerak sektor perekonomian nasional. Secara aset dan instrumennya harus lebih didorong agar semakin luas dan dalam. Koordinasi dengan pemerintah harus lebih baik (terutama) untuk penggunaan dana-dana pemerintah ke segmen syariah,” kata Dhani.
OJK –yang mengambil alih fungsi pengawasan dari Bank Indonesia sejak Januari 2014–tentu  menginginkan adanya perubahan signifikan pada industri perbankan syariah ketika berada di bawah mereka. Bahkan otoritas sudah menyiapkan segudang strategi untuk membuat industri syariah menjadi penggerak ekonomi.
Bulan ini OJK akan menerbitkan dua aturan yaitu terkait produk dan aktivitas perbankan syariah dan soal kelembagaan Badan Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Beleid soal produk akan memudahkan bank syariah dalam menerbitkan produk-produk. Selain itu, OJK juga akan menerbitkan kodifikasi produk perbankan syariah yang dipercaya akan mendorong kreativitas pelaku industri dalam menciptakan produk.
Saat ini industri perbankan syariah di Indonesia ‘hanya’ memiliki 17 produk, kalah jauh jika dibandingkan dengan Malaysia yang sudah memiliki lebih dari 40 produk. Apalagi jika dibandingkan Qatar, Uni Emirat Arab atau bahkan Pakistan dan Inggris.
“Setelah POJK keluar, nantinya bank syariah akan lebih mudah menerbitkan produk, tinggal lapor saja (ke OJK) jika produknya sudah siap,” kata Dhani.
Soal kelembagaan BPRS, seperti juga BPR konvensional, otoritas diperkirakan akan membuat aturan permodalan yang ketat sebagaimana bank umum dengan menggunakan jumlah modal untuk menentukan jenis kegiatan usaha atau BUKU.

Holding Syariah
Rencana besar lainnya dari OJK untuk mendongkrak pangsa pasar dan juga peran perbankan syariah terhadap ekonomi adalah dengan mendesak lagi konsolidasi bank-bank syariah milik bank negara menjadi sebuah bank umum syariah.
Saat ini, OJK tengah memfinalisasi roadmap holding bank BUMN syariah. Demi mempercepat proses merger,  OJK mengaku melakukan koorodinasi intensif dengan Kementrian BUMN. “Kami sudah beberapa kali menyurati Kementerian BUMN terkait dengan rencana pembentukan BUMN Syariah ini," kata Dhani.
Bahkan rencana menyatukan bank syariah pelat merah ini dimasukkan dalam Road Map Perbankan Syariah Indonesia (2015-2019) yang diterbitkan OJK Juni lalu. Berdasarkan peta jalan itu BNI Syariah, unit usaha syariah BTN, BRI Syariah dan Bank Syariah Mandiri (BSM) harus sudah menjadi bank umum paling lambat 2017. Dan merger tersebut harus diikuti dengan penambahan modal usaha, yang hal itu akan bisa dilakukan dengan penawaran saham perdana (IPO).
Opsi IPO tengah dikoordinasikan dengan regulator yang membidangi pasar modal. Namun, skema merger dan penambahan modal masih menunggu putusan pihak Kementerian BUMN sebagai pemegang saham mayoritas induk usaha bank BUMN syariah.
Permodalan memang masalah genting bagi perbankan syariah karena hingga akhir tahun ini 10 dari 12 bank syariah yang ada memiliki modal inti kurang Rp2 triliun dan tidak ada yang bermodal inti melebihi Rp5 triliun.
Oleh karena itu pekerjaan rumah yang cukup penting bagi OJK adalah mendorong bank syariah khususnya yang sudah jadi Bank Umum Syariah (BUS) untuk meningkatkan permodalannya sehingga bisa masuk dalam kategori BUKU III yang mana sudah memiliki modal lebih dari Rp5 triliun. “Ada enam bank di BUKU II yang sedang berusaha untuk masuk dalam kategori BUKU III. Tahun ini mereka berusaha untuk mencapainya,” kata Dhani.
Saat ini hanya Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri (BSM) yang mendekati level modal BUKU III, sedangkan sisanya masih berkutat di BUKU II. Bulan lalu, BSM telah masuk dalam BUKU III setelah induknya menyuntikkan modal Rp500 miliar sehingga modal intinya akan menjadi Rp 5,4 triliun dan total ekuitas Rp 5,61 triliun. Dengan tambahan itu juga rasio kecukupan modal (CAR) bank naik menjadi 12,97 persen.
Di sisi lain, BRI juga tengah memperkuat modalnya dengan menanti suntikan dana dari induknya. Sekretaris Perusahaan BRI Syariah Lukita T Prakasa mengatakan, pihaknya terus mempercantik kinerja kendati ada keinginan pemerintah menggabungkan bank pelat merah syariah dalam satu atap. "Kami terus memperkuat modal dan saat ini sedang proses sebagai bank syariah pertama yang melakukan Laku Pandai," kata dia.
Kondisi yang berat tahun ini memang membuat perbankan syariah agak terhuyung-huyung. Menurut Ikhwan Abidin Bashrie, pakar ekonomi syariah dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, hampir semua bank syariah mengalami penurunan kinerja keuangan tak terkecuali dua bank syariah terbesar. “Sebenarnya ini bukan hanya karena pelemahan ekonomi, namun juga dampak dari masalah SDM yang seperti bom waktu,” kata dia.
Menurut Ikhwan SDM syariah yang ada sekarang kebanyakan berasal dari bank-bank konvensional, termasuk dari induknya, terutama pada level manajer. Nah, banyak praktik-praktik konvensional yang tetap melandasi cara kerja mereka di bank syariah meski tidak semua sesuai dengan prinsip syariah.
Selain itu, beberapa bank syariah juga terlampau ekspansif tanpa memperhitungkan kekuatan sendiri dan juga faktor makroekonomi sehingga mengalami kerugian. “Beberapa bank syariah bahkan ketika mengajak saya rapat hanya menyediakan air putih saja sebagai bagian dari efisiensi. Padahal sebelum-sebelumnya menunya lumayan lengkap,” kata Ikhwan.

Sinergi
Sementara itu, untuk meningkatkan peran bank syariah pada perekonomian, otoritas juga menginginkan adanya dukungan dari pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan. Hingga saat ini sinergi antara otoritas dan pemerintah dirasa masih kurang yang bisa dilihat dari insentif-insentif dan dukungan kebijakan yang diberikan. “Kami ingin OJK dan Kementerian Keuangan membangun sinergi kasih insentif pajak,” ujar Dhani dari OJK.
Di Malaysia, sambung dia, pemerintahnya memberi dukungan dengan bentuk insentif pajak, tax holiday, riset, dan pengelolaan anggaran belanja negara, hingga kewajiban penyimpanan dana di bank syariah.
Untuk di Indonesia, pemerintah bisa memberikan memberi insentif untuk deposito dengan menurunkan pajaknya dari 20 persen saat ini menjadi 10 persen. Selain itu, insentif pajak lain yang dapat diberikan untuk mendorong pangsa pasar bank syariah adalah insentif pajak untuk spin off, giro, dan produk lainnya.
Selain dengan Kementerian Keuangan, OJK ingin bersinergi dengan Bank Indonesia untuk pembangunan aspek makro dan mikro perbankan syariah. Selanjutnya, sinergi yang ingin dibangun adalah dengan Kementerian BUMN untuk membangun bank BUMN syariah.
Dukungan lain yang diharapkan dapat terwujud adalah pemerintah bisa mewajibkan dana APBD atau APBN untuk dikelola dan ditempatkan di bank syariah, meski saat ini hal itu masih memerlukan kesiapan dari bank syariah. “Kalau (cuma) 20 persen (dana APBN) bank syariah bisa menyerap, kalau mau lebih butuh persiapan lebih lanjut," kata Dhani.
                                                                                                                         


7 Persoalan yang Harus Dituntaskan

  1. Belum selarasnya visi dan kurangnya koordinasi antar pemerintah dan otoritas dalam pengembangan perbankan syariah
  2. Modal yang belum memadai, skala industri yang masih kecil serta efisiensi yang rendah.
  3. Biaya dana yang mahal yang berdampak pada keterbatasan segmen pembiayaan.
  4. Produk yang tidak variatif dan pelayanan yang belum sesuai ekspektasi masyarakat.
  5. Kuantitas dan kualitas SDM yang belum memadai serta TI yang belum mendukung.
  6. Pemahaman dan kesadaran masyarakat yang masih rendah.
  7. Pengaturan dan pengawasan yang belum optimal

(sumber: Roadmap Perbankan Syariah Indonesia, OJK)

Jalan lain Kendalikan Freeport

Kemelut kontrak karya Freeport yang melebar hingga ke ranah politik membuat masalah yang sebenarnya terlupakan. Padahal ada cara cerdik untuk mengambil alih saham perusahaan tambang tembaga terbesar di dunia itu lewat ‘pintu belakang’
                                                             
Polemik yang berkepanjangan mengenai perpanjangan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia seakan membuat publik lupa mengenai masalah sebenarnya. Rekaman pertemuan pejabat negara dengan bos Freeport di Indonesia yang kemudian memunculkan sidang kode etik di parlemen seharusnya tidak membuat pemerintah lupa bahwa kekayaan negara harus digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Selain itu, polemik ini juga melupakan cara alternatif yang lebih cerdik dalam rangka mengambil alih kepemilikan Freeport.
Hingga menjelang tutup tahun, sidang etik DPR sudah menghadirkan puluhan drama namun tampaknya ujung-unjungnya adalah perpanjangan kontrak bagi perusahaan yang berbasis di Phoenix AS itu. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Panjaitan sepertinya menegaskan hal itu. Pada sidang yang digelar awal pekan kedua Desember, Luhut membeberkan panjang lebar mengenai hal itu.
Pembahasan perpanjangan kontrak karya itu diawali pada 16 Maret 2015 silam saat rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo. Bahasannya, perpanjangan Freeport perlu dikaji lebih dalam karena baru boleh dibahas tahun 2019. "Pada 15 Mei 2015, saya sebagai Kepala Staf Kepresidenan mengirim memo kepada Presiden, bahwa hanya perbolehkan perpanjangan kontrak dua tahun sebelum kontrak berakhir," kata Luhut.
Selanjutnya pada 8 Juni 2015 lanjut Luhut, adalah kejadian pertemuan antara Ketua DPR Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha M Riza Chalid.
Pada 17 Juni 2015, Luhut yang masih menjabat Kepala Staf Kepresidenan kembali mengirim memo kepada Presiden Jokowi bahwa perpanjangan kontrak perusahaan tambang emas asing itu baru dilaksanakan tahun 2019.
Terakhir pada 19 Oktober 2015, Presiden Jokowi mengatakan lima syarat tentang perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Syarat itu adalah pembangunan Papua, memerhatikan konten lokal, penambahan royalti, divestasi saham untuk Indonesia, dan pembangunan smelter. "Saya dengan tegas mendukung lima syarat yang diajukan (Presiden) Jokowi terhadap Freeport," tegasnya.
Kesaksian Luhut sepertinya menegaskan kembali bahwa kemungkinan pemerintah Indonesia akan memperpanjang kontrak Freeport pada negosiasi 2019, atau bahkan lebih cepat dari itu.
Akan tetapi, sebelumnya kolega luhut yaitu Rizal Ramli, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya menegaskan dirinya bersama Presiden menolak pembahasan perpanjangan kontrak karya sampai 2019 sesuai peraturan perundang-undangan.
Rizal mengatakan meski pemerintah belum akan membahas perpanjangan kontrak karya Freeport hingga 2019, Dia meminta pihak Freeport bersedia memenuhi syarat, terutama soal royalti yang diajukan pemerintah. “Kami ingin Freeport bersedia membayar royalti 6 sampai 7 persen. Sebab selama ini royalti sangat murah, inginnya naik sebagai kompensasi selama ini," jelas Rizal.
Selain itu syarat berikutnya, kata Rizal, Freeport harus memproses limbahnya.
"Selama ini Freeport menolak melakukan itu. Walaupun sesuai undang-undang, aturan tersebut sudah ada sejak 2009. Freeport itu takut ketahuan bahwa selain emas dan copper (tembaga) ada juga rare material. Mungkin ada juga uranium," jelas Rizal.
Freeport-McMoRan Inc, perusahaan penggali tambang dunia itu sudah menambang sejak tahun 1967 dan selalu menjadi salah satu isu besar di Tanah Air sejak itu. Perusahaan itu awalnya menambang tembaga dan belakangan emas di tambang Ertsberg dan tambang Grasberg yang terletak di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Papua.

Cara Cerdik
Sejatinya, jika mau berpikir dan berusaha lebih keras, Freeport bisa diambil alih pemerintah Indonesia dengan strategi hostile take over. Menurut pengamat ekonomi yang kritis, Yanuar Rizky megatakan bahwa saat ini saham induk perusahaan itu yaitu Freeport-McMoRan Inc tengah terjerembab karena terus merugi.
“Saat ini menganggap Freeport itu kuat, salah. Jadi sekarang mereka yang butuh kita bukan kita yang butuh mereka,” kata dia dalam sebuah tulisan di blog miliki pribadinya.
Freeport-McMoRan Inc membukukan kerugian pada kuartal kedua secara berturut sejak kuartal lalu. Perusahaan yang merupakan salah satu produsen tembaga terbesar di dunia, mengatakan memiliki kerugian kuartal kedua dari 1,85 miliar dollar AS, atau 1,78 dollar AS per saham, dibandingkan dengan keuntungan 482 juta dollar AS atau 46 sen, setahun sebelumnya.
Kerugian terakhir dikarenakan hapus buku sebesar 2 miliar dollar AS terkait dengan properti di minyak dan gas yang diakuisinya dua tahun lalu, serta komponen lainnya. Pendapatannya pun anjlok 23 persen menjadi 4,25 miliar dollar AS.
Hostile take over adalah suatu tindakan akuisisi yang dilakukan secara paksa yang biasanya dilakukan dengan cara membuka penawaran atas saham perusahaan yang ingin dikuasai di pasar modal dengan harga di atas harga pasar. Pengambilalihan secara paksa biasanya diikuti oleh pemecatan karyawan dan manajer untuk diganti orang baru untuk melakukan efisiensi pada operasional perusahaan.
“Pakai pasar untuk ambil pengendalian (hostile take over),” kata Yanuar. “Dan kalau Presiden atas nama negara bisa cerdik memanfaatkan bahasa pasar, maka kita akan dapat keseimbangan baru.”
Hingga akhir November, saat tulisan tersebut diunduh, nilai kapitalisasi saham Freeport McMoran di Bursa Saham New York terus menciut tinggal 9,4 miliar dollar AS.
“Jadi menurut saya agak lucu melihat kasus ‘Papa Minta Saham’ ini, atau upaya valuasi 20 persen saham Freeport yang bernilai Rp27 triliun (atau 1,97 miliar dollar AS dengan kurs Rp13.700 per dollar AS). Jadi kalau saya lebih baik beli saja saham holding Freeport di Bursa New York, maka kita sudah dapat 21 persen saham holding Freeport,” kata dia.
Langkah serupa pernah dijalankan pemerintah Malaysia pada saat mengambil alih perusahaan pengolah sawit terbesar milik kolonial Inggris, Sime Darby pada tahun 80-an. Saat ini secara diam-diam dan terencana pemerintah Malaysia di bawah komando Perdana Menteri Mahathir Muhammad membeli saham Sime Darby di London Stack Exchange. Pada 1983, kepemilikan Malaysia di perusahaan itu mencapai 54 persen yang menjadikannya pemegang saham terbesar. Margaret Tatcher, Perdana Menteri Inggris saat ini sempat terkaget-kaget namun tidak bisa berbuat apa-apa dan akhirnya menyebut pengambilalihan tersebut dengan Back Door Nationalisation.
Sime Darby adalah konglomerasi multinasional Malaysia berbasis utama yang terlibat dalam sektor 5 inti: perkebunan, properti, industri, motor dan energi & utilitas. Sime Darby saat ini tercatat di papan utama Bursa Malaysia Securities Berhad.
Awalnya pada akhir 1970-an hanya di bawah setengah ekuitas Sime Darby Holdings diakuisisi oleh investor Malaysia - terutama melalui Tradewinds (Malaysia) Sendirian Berhad. Pada bulan Desember 1979 dengan penggabungan dua entitas Malaysia baru, Sime Darby Berhad (SDB) dan Konsolidasi Perkebunan Berhad (CPB), Sime Darby memindahkan kantor pusatnya ke Kuala Lumpur dan menjadi perhatian terdaftar dan dikelola Malaysia.
Dan pada tahun 1981, kelompok ini menjadi perusahaan yang sepenuhnya milik Malaysia setelah strategi nasionalisasi pintu belakang berhasil.
Sebelumnya muncul skenario pengambilalihan saham Freeport dengan mendorong badan usaha milik negara untuk membeli saham yang dilepas oleh Freeport, sebagaimana perjanjian kontrak yang terakhir.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2014 ditegaskan bahwa Freeport harus melepas sahamnya sebesar 30 persen karena perusahaan ini memiliki kegiatan pertambangan yang dikategorikan ke dalam tambang bawah tanah (underground mining). Saat ini pemerintah Indonesia sudah memiliki saham sebesar 9,36 persen, itu artinya manajemen Freeport masih diharuskan melepas sahamnya sebesar 20,64 persen lagi. Namun pada tahapan kali ini, manajemen akan lebih dulu diwajibkan melepas sahamnya sebesar 10,64 persen, disusul 10 persen berikutnya pada 5 tahun mendatang yaitu 2019.



Berkurangnya Satu Ketidakpastian

Bank Sentral AS akhirnya mengerek suku bunga acuannya, mengakhiri harap-harap cemas pelaku pasar selama berbulan-bulan. Risiko pelarian modal, oleh karena itu, akan muncul kembali tahun depan, apalagi langkah itu kemungkinan akan diikuti oleh otoritas moneter negera lain.

Setelah hampir dua tahun penuh penantian yang bercampur kecemasan, akhirnya Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuannya menjadi di kisaran 0,25-0,5 persen naik seperempat persen dari level yang sudah bertahan lebih dari enam tahun.
Keputusan The Federal Reserve tersebut tampaknya tidak terlalu mengagetkan pasar mengingat pelaku ekonomi sudah lama memitigasi hal tersebut sejak berbulan-bulan lalu. Apalagi beberapa hari sebelum pengumuman Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo sudah mewanti-wanti akan kemungkinan tersebut. “Suku bunga di AS disebutkan dari hasil survey sebanyak 96 persen percaya bahwa akan naik pada17 Desember,” kata dia di Kantor BI, Jakarta, Senin pada 14 Desember.
Kenaikannya, lanjut Agus, diproyeksi akan terjadi secara berkala setiap tiga bulan. Hingga akhir tahun 2016, suku bunga Bank Setral AS diproyeksi 1,125 persen. “Jadi pada akhir 2017 bisa jadi 2,265 persen. Ini membuat ada satu rebalancing," kata Agus.
Minimnya kepanikan dari pelaku pasar tampak dari respons pasar yang tidak terlalu berlebihan. Pada tanggal 17 Desember, berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sedikit melemah bersama euro, Australia dan Inggris. Sementara mata uang lainnya malah menguat terhadap dollar AS. Hal itu menandakan pasar uang tidak terlalu bergejolak.
Boleh jadi, kenaikan suku bunga The Fed yang memang sudah dicemaskan berbulan-bulan merupakan blessing in disguise bagi sektor keuangan Indonesia. Kecemasan dan langkah antisipasi beberapa waktu belakangan ini akhirnya menemui kenyataannya sehingga bank bisa langsung bisa mengukur dampaknya secara riil. Bahkan banyak pelaku sektor keuangan lebih lega dengan kenaikan ini karena hal itu berarti berkurang satu ketidakpastian.
“Kondisi ekonomi kita sudah mature, dengan berapa lama ini kita di-excercise, kita tidak terlalu panik. Sekarang sudah ada kepastian, kenapa harus panik? Belum ada kepastian saja kita sudah jalan seperti biasa, waktu belum terjadi kita nggak tahu (The Fed) mau naikin berapa," Direktur Utama BRI Asmawi Syam.
Sebelum adanya kenaikan, menurut Asmawi yang muncul ke permukaan hanyalah spekulasi. Maka kemudian ada gejolak di pasar keuangan dalam beberapa bulan terakhir. Termasuk di Indonesia.
"Kadang-kadang impact-nya itu lebih tajam dibanding kalau itu sudah terjadi kan. Sekarang sudah terjadi artinya ini sudah pasti, jadi spekulasi sudah nggak ada lagi. Spekulasi kita, ini mau naik berapa naikinnya berapa kan kita nggak tahu. Kalau ini kan ada kepastian, dengan ini kita tinggal bekerja," jelas Asmawi.
Apa yang dilontarkan perbankan senada dengan otoritas. Keputusan The Fed akan mengakhiri rentetan kekahwatiran dan ketidakpastian dalam perekonomian global dua tahun belakangan ini. “Saya rasa secara umum kalau ada keputusan pasti mengurangi ketidakpastian,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas.
Hal inilah yang juga mendorong reaksi pasar keuangan pasca keputusan diumumkan menjadi positif, termasuk di Indonesia. Ada sinyal perbaikan ekonomi secara global dan berimbas kepada masing-masing negara.
BI sendiri telah mengantisipasi langkah The Fed ini, baik dari sisi waktu pengambilan keputusan, maupun besaran kenaikan yang ditetapkan 0,25 basis poin menjadi 0,50 persen. Ronald
menyebutkan antisipasi ini sudah dimulai sejak penyataan The Fed yang mengakhiri masa quantitative easing pada 2013. Terlihat, otoritas moneter AS memiliki keinginan untuk memompa kembali pertumbuhan ekonomi dan tentunya harus diimbangi dengan kebijakan moneter.
Hal itu membuat BI berkesimpulan bahwa kenaikan suku bunga The Fed hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja sambil melihat pertimbangan data ekonomi secara keseluruhan, khususnya inflasi dan tenaga kerja.
"Kalau soal (kenaikan pada) Desembernya kan udah lama dikasih sinyal oleh The Fed bahwa pasar sudah perkirakan itu akan naik di Desember dan makin lama mendekati Desember sinyal itu semakin kuat dan kita ikuti bersama-sama, beberapa jam lalu itu diputuskan di Desember," kata Ronald
Untuk besaran kenaikan, juga sudah dikomunikasikan beberapa waktu sebelumnya. Dimungkinkan akan berlangsung bertahap dalam beberapa periode. Artinya, secara keseluruhan antisipasi sudah dilakukan oleh BI dan pelaku pasar keuangan tidak perlu panik.
Meski demikian, Ronald menilai perlu ada kewaspadaan terhadap berbagai risiko lain yang dimungkinkan muncul. Salah satunya adalah perlambatan ekonomi China, karena langsung memukul sektor rill di berbagai negara, khususnya Indonesia. “Faktor-faktor yang menentukan ekonomi dunia selalu ada karena selama ini ukuran ekonomi AS, China menentukan dan Eropa juga menentukan," kata Ronald.
                                                   
Risiko Dana Keluar
Namun begitu bukan berarti kenaikan Fed Fund Rate tidak mengancam perekonomian Indonesia. Secara teori, kenaikan suku bunga AS akan membuat pemilik dana global akan menempatkan portofolionya ke dollar AS karena relatif lebih besar marjin keuntungannya. Namun demikian hal itu juga akan membuat pinjaman di sana berkurang, sebaliknya tabungan akan meningkat.
Oleh karena itu, Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengingatkan bahwa setelah ini akan ada aliran dana asing keluar dari negara berkembang seperti Indonesia karena membaiknya ekonomi AS. Kondisi ini diproyeksi bisa menekan perekonomian dalam jangka pendek terutama sebagai dampak bawaan dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Antisipasi kebijakan jika dana asing keluar seharusnya sudah mulai dilaksanakan mengingat tahun depan kemungkinannya akan makin besar mengingat keketatan akan terjadi di pasar global karena otoritas moneter lain bisa jadi mengikuti langkah The Fed.
Pada saat mengumumkan kenaikan suku bunga, Rabu (16/12) waktu AS, Gubernur The Fed Janet Yellen mengatakan bahwa kenaikan suku bunga akan berlanjut tahun depan dan akan dilakukan secara bertahap.
"Keputusan The Fed hari mencerminkan keyakinan kami akan ekonomi AS," kata Yellen, dalam konferensi pers setelah pertemuan dua hari FOMC. “Kami percaya kami telah melihat perbaikan substansial dalam kondisi pasar tenaga kerja dan ketika kondisinya mungkin tidak merata di seluruh wilayah negara, dan sektor industri yang berbeda, kita melihat perekonomian ada di jalur perbaikan berkelanjutan,” demikian dikutip dari WSJ.
Ketua The Fed wanita pertama itu melanjutkan dengan hati-hati. Dia mengisyaratkan akan menaikkan suku bunga secara gradual dengan menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian AS. “Kami memiliki suku bunga yang sangat rendah dan kami baru membuat langkah yang sangat kecil," kata Yellen.
Sementara itu, Dean Turner, seorang ekonom di UBS, mengatakan dia yakin dampak kebijakan itu kepada pasar akan sebagian besar positif, karena apa yang disukai paling minimal oleh sistem keuangan adalah pengelakan dan beberapa bulan terakhir dari ketidakpastian The Fed telah membuat investasi menjadi sulit.
“Pasar seharusnya menyambut keputusan kenaikan suku bunga AS karena sudah memindahkan ketidakpastian selama berbualan-bulan ke satu sisi," kata dia pada sebuah laporan analisis yang dikutip The Guardian. Turner, juga mengatakan bahwa, dia pikir tingkat kenaikan suku bunga lebih lanjut tidak akan menyakiti pertumbuhan ekonomi dalam negeri Inggris. "Kami berharap langkah pengetatan tahun depan dilakukan secara bertahap, dengan empat kenaikan lagi di 2016. Meskipun demikian, ini lebih hawkish dari ekspektasi pasar saat ini, kami percaya bahwa ekonomi AS akan terus berkembang.”

Turner juga mengatakan Inggris kemungkinan akan mengikutinya. " Kenaikan suku bunga AS tidak akan mempengaruhi waktu penentuan  keputusan Bank of England untuk menaikkan suku bunga," kata Turner. "Namun, masih terlihat seolah-olah BoE akan menjadi bank sentral pertama yang mengikuti AS, meskipun inflasi dan outlook upah selama beberapa bulan ke depan menunjukkan mereka punya waktu untuk menunggu. Saat ini kami memprediksi BoE menaikkan suku bunga pada Mei, diikuti oleh kenaikan lebih lanjut pada bulan November. "