Selasa, 22 Oktober 2013

Krisis Ekonomi dan Posisi yang Berputar

Bumi selalu berputar, begitupun kehidupan yang ada di dalamnya. Karena putaran itulah suatu kejadian kerapkali berulang dan berulang. Begitu pula dengan krisis ekonomi dunia. Menurut Luthfi Hamidi dalam buku The Crisis (2012), jika konstelasi ekonomi yang ada sekarang ini terus dipertahankan maka krisis akan selalu berulang, bahkan siklusnya akan makin cepat.
Apa yang diungkapkan buku itu memang tidaklah berlebihan. Krisis di zaman ekonomi modern sepanjang abad 20 lalu, terjadi dalam siklus 20 tahunan. Misalnya krisis ekonomi yang terjadi tahun 30-an atau ternama dengan sebutan The Great Depresion, kemudian dua dekade berselang terjadi juga krisis pada tahun 50-an, dan disusul tahun 70-an. Krisis siklus 20 tahunan berikutnya adalah krisis ekonomi di akhir 90-an yang menjungkirbalikkan ekonomi RI.
Setelah itu, siklus krisis yang membawa angin resesi ekonomi tampaknya mulai berputar lebih cepat menjadi 10 tahun. Hal itu ditandai dengan krisis ekonomi dunia yang berawal dari pecahnya gelembung properti di Amerika Serikat pada tahun 2008.
Dan kini, seperti yang ditulis dalam buku The Crisis, siklus kejatuhan ekonomi terasa lebih cepat lagi. Pada tahun ini,  percik-percik krisis sudah mulai meletup yang ditandai dengan kembalinya aset-aset dollar ke rumahnya di AS sana. Perekonomian di banyak negara termasuk Indonesia mulai guncang. Pertumbuhan melemah, nilai tukar melorot, dan aset-aset domestik yang anjlok menjadi beberapa indikator yang bisa dilihat.
Meski begitu, krisis yang berada di depan mata saat ini sebenarnya membawa pesan positif karena itu adalah pertanda resesi dunia yang berlangsung sejak 2008 akan segera usai. Ya, berbeda dengan krisis 2008 yang disebabkan oleh ambruknya ekonomi AS, turbulensi tahun ini justru disebabkan membaiknya ekonomi negeri Paman Sam itu. Kendati demikian dua-duanya membawa kisruh ekonomi yang mengkhawatirkan dunia.
Akan tetapi, krisis tak melulu soal kesusahan dan kesedihan. Krisis juga membawa kelucuan dan keunikan tersendiri. Pada krisis 2008, di Kanada, muncul minuman beralkohol yang disebut ”Bailout Bitter” dengan tagline-nya ”bitter ale for bitter times” (minuman pahit di kala waktu yang pahit).
Kejadian unik juga sempat terjadi di India ketika muncul berita menghebohkan yang mengabarkan adanya pasangan muslim India yang melakukan ijab kabul melalui telepon. Prosesi suci tersebut dilakukan karena  pengantin pria yang tinggal di luar negeri tidak memiliki uang untuk pulang. Seluruh penduduk desa turut menyaksikan peristiwa itu. Penghulu mengaktifkan mode speaker phone dalam sesi itu.
Di Rusia, krisis finansial global 2008 berdampak pada penurunan tingkat konsumsi vodka yang cukup tajam. Menurut data Asosiasi Minuman Beralkohol Nasional, pasokan vodka saat ini enam kali lebih banyak dari biasanya. Vodka merupakan minuman yang dikategorikan sebagai minuman nasional yang ditemukan dan dikonsumsi sejak abad ke-14. Bahkan vodka dianggap sebagai “air kehidupan”.

Anak Buah jadi Komandan
Krisis kali ini juga membawa keunikan sendiri bagi otoritas di Tanah Air. Indonesia memang sudah lebih siap untuk menghadapi krisis 2013 ini –jika memang sudah disimpulkan demikian. Saat ini pemerintah memiliki Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), yang berisi semua otoritas perekonomian yang ada di negeri ini. Apalagi dengan berdirinya Otoritas Jasa Keuangan, Indonesia kini dianggap memiliki kemampuan lebih baik dalam menangkal risiko terburuk dari krisis keuangan.
Tiga otoritas utama di dalam forum penangkal krisis itu adalah Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Satu anggota lagi adalah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Nah, seperti juga roda ekonomi yang terus bergerak dan berputar, orang-orang di belakang kendali otoritas-otoritas itu juga berputar, bergeser dan berubah. Putaran itu menggeser orang-orang di dalamnya, bahkan membawa seseorang yang tadinya di bawah menjadi di atas.
Pada 2008, Agus DW Martowardojo masih menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri. Artinya, saat itu dia masih menjadi pihak yang diawasi oleh Bank Indonesia, masih sering dipanggil ke Thamrin terkait kegiatan pengawasan dan pengaturan perbankan.
Namun sejak Mei 2013, lelaki kelahiran Amsterdam, Belanda, 57 tahun lalu itu, telah menjadi orang nomor satu di Bank Indonesia. Dengan kalimat lain, lulusan Universitas Indonesia itu berputar dari yang tadinya diawasi bank sentral menjadi pihak yang mengawasi –setidaknya sampai 2014.
Bahkan, sebelumnya, sejak 2010, mantan direktur utama di beberapa bank nasional itu juga sempat menjabat sebagai Menteri Keuangan. Saat itu, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang OJK, Agus Martowardojo, selaku  Menteri Keuangan adalah koordinator dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan.
Sementara itu, Muliaman D Hadad, pada 2008 lalu masih mengawasi perbankan karena posisinya sebagai Deputi Gubernur BI. Kemudian pada 2012, mantan Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan di BI itu dipilih parlemen untuk menakhodai otoritas baru yang menjadi watchdog bagi seluruh lembaga keuangan dan juga pasar modal di Tanah Air. Posisinya meningkat dari hanya mengawasi bank saja, menjadi semua lembaga keuangan yang ada.
Chatib Basri lain lagi. Saat krisis global 2008 berkecamuk, dia ditunjuk sebagai penasehat khusus Menteri Keuangan. Artinya saat itu Chatib masih menjadi ‘orang luar’ di jajaran Kementerian Keuangan. Namun pada Mei 2013, mantan kepala lembaga penelitian ekonomi di UI ini ditunjuk menjadi Menteri Keuangan menggantikan Agus Martowardojo.
Chatib yang juga sempat memimpin Badan Koordinasi Pasar Modal, kini berubah dari anak buah menjadi komandan. Ya, Chatib, saat ini menjadi koordinator dalam forum penangkal dan mitigator krisis yang mana semua otoritas berkumpul untuk mengambil peran. Sebagai Menteri Keuangan, seperti diamanatkan dalam undang-undang, Chatib adalah koordinator forum tersebut yang di dalamnya ada Gubernur BI dan Ketua OJK serta LPS.
Pada saat memimpin forum itulah muncul kondisi yang boleh dibilang unik. Chatib, sebagai orang yang paling ‘muda dan junior’ justru menjadi ketua dalam forum pengendali sistem keuangan nasional itu. Di dalam forum itu Chatib harus berhadapan dengan senior-seniornya. Selain pernah menjadi subordinat dari salah satu seniornya itu, dalam soal umur, Chatib juga menjadi yang paling muda.
Chatib yang kini berusia 48 tahun lulus kuliah pada 1992. Sedangkan Agus Martowardojo yang berumur 57, lulus di tahun 1984, berbarengan dengan Muliaman D Hadad, 53 tahun. Ketiganya kuliah di kampus yang sama, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Oleh karena itu dalam rapat-rapat –dan tentunya dalam penentuan keputusan krisis keuangan di Indonesia– boleh  dibilang peran dan kedudukan Chatib Basri berada di atas dua seniornya itu.
Kita memang tak boleh menyimpulkan bahwa Chatib akan sedikit ‘minder’ saat berhadapan dengan dua seniornya itu di dalam ruang rapat FKSSK. Meski harus berhadap-hadapan dengan mantan atasan serta seniornya itu Chatib kemungkinan tidak akan merasa inferior dalam forum tersebut karena memiliki kompetensi kuat di bidang makroekonomi,
Bahkan Muliaman sempat memuji ‘juniornya’ itu ketika terpilih menjadi menteri keuangan. “Chatib memiliki kompetensi dan kapabilitas yang baik. Salah satunya, karena Chatib menguasai makroekonomi secara mendalam, yang menjadi peran utama Kementerian Keuangan dalam forum tersebut. Kerja antara OJK dan Kemenkeu dalam FKSSK bisa berjalan baik,” komentar dia.
Namun demikian, di Indonesia, tak bisa dinafikan begitu saja bahwa senioritas masih sangat kental berperan dalam proses menelurkan sebuah keputusan. Sikap ewuh pakewuh seringkali menjadi kerikil-kerikil penghalang dalam menghasilkan sebuah keputusan penting. Kondisi itu bisa mendorong kemungkinan terjadinya pengambilan keputusan di luar forum yang resmi.
Akan tetapi bolehlah kita berharap, bahwa ketiga otoritas itu (plus LPS) bisa mendahulukan kepentingan perekonomian nasional ketimbang harus tersandung persoalan senioritas dan ewuh pakewuh. Jadi, biarlah kondisi itu menjadi kisah unik saja bagi kita semua dalam menghadapi situasi turbulensi –yang mudah-mudah tidak menjadi krisis keuangan– ini.








Menguji Harapan Atas OJK

Otoritas Jasa Keuangan tengah menghadapi ujian sesungguhnya saat sektor keuangan menghadapi gejolak pada Agustus lalu. Dan semua respons yang dilakukan akan menentukan, apakah harapan yang disematkan kepada lembaga itu bisa terwujud atau tidak.

Di Pulau Nias, ada tradisi lompat batu, yang telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi yang disebut hombo batu atau fahombo oleh orang Nias ini lestari bersama budaya megalit di Pulau seluas 5.625 km² yang berada dalam Provinsi Sumatra Utara.
Awalnya lompat batu dilakukan sebagai tes akhir seorang pemuda untuk menjadi prajurit. Harapannya, saat berperang si pemuda dapat dengan mudah melompati pagar benteng yang tingginya sekitar 2 meter dan mengelilingi wilayah musuh. Namun kini tradisi yang persiapannya dilakukan seorang anak lelaki sejak kecil  ini dilakukan sebagai tes awal bahwa seorang lelaki dianggap dewasa dan matang secara fisik. Jika berhasil maka si pemuda dinilai sudah boleh menikah.
Ini bukanlah soal cerita budaya atau adat istiadat daerah, bukan pula kisah soal destinasi wisata. Ini adalah soal harapan dan cobaan. Ya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru berdiri awal Januari tahun ini mengantongi banyak harapan dari masyarakat dan juga pelaku di sektor jasa keuangan.  Dan baru saja lembaga itu didirikan dan mulai menyelesaikan aturan internal, ujian besar sudah menghadang.
OJK sejatinya sudah digadang-gadang untuk dihadirkan di Indonesia sejak tahun 1999. Undang-Undang Bank Indonesia No 23 tahun 1999, menetapkan bahwa OJK harus sudah berdiri paling lambat 31 Desember 2002.
Namun hingga tahun 2002 berakhir lembaga itu belum juga muncul. Bukannya mempercepat kehadiran OJK yang memang sudah telat, pemerintah bersama DPR kompak mengamendemen UU BI dengan mengeluarkan UU No. 3/2004. Di dalamnya ada tengat waktu pembentukan OJK yang baru yaitu  harus dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Lagi-lagi target meleset. Dan baru pada tahun 2012, setelah hadirnya aturan mengenai Otoritas Jasa Keuangan, kepastian pendirian lembaga itu muncul. Dan pada awal Januari tahun ini OJK berdiri dan memulai tugasnya.
Meski kehadiran OJK di Indonesia nyaris berbarengan dengan berakhirnya masa operasi Financial Services Authority (FSA) di beberapa negara, pembuat UU tetap optimistis peran otoritas itu sangat diperlukan.
Konsep pengawasan terpadu yang diadopsi OJK memang meniru apa yang diterapkan pada FSA di negara-negara seperti Inggris, Australia, dan Korea Selatan. Kendati telah berjalan lebih dulu, FSA di sana masih menghadapi  kelemahan, baik dari sisi kelembagaan, koordinasi maupun tata kelola yang baik. Kelemahan-kelemahan itulah yang katanya sudah ditutup oleh kehadiran OJK di Indonesia
Sementara itu bagi publik, pendirian otoritas itu dianggap sebagai jawaban dari banyaknya lubang-lubang dalam pengawasan sektor keuangan selama ini. Bagaimana pengawas perbankan lepas tangan atas kasus penipuan reksadana yang dilakukan sebuah bank dan menganggap itu wewenang otoritas pasar modal, adalah buktinya. Sehingga wajar kalau konsumen dan masyarakat berharap banyak pada otoritas baru itu.
Nah, situasi turbulensi dua bulan lalu ibarat ujian awal bagi kehadiran OJK di industri keuangan Tanah Air. Ketika gejolak sektor keuangan yang disebabkan wacana penghentian stimulus di AS itu muncul, OJK baru saja kelar menyelesaikan prosedur standar operasi internal.
Artinya tidak ada waktu buat santai sejenak. Beberapa hari setelah pasar keuangan mengalami pemburukan Agustus lalu ditandai oleh anjloknya indeks saham dan merosotnya nilai tukar rupiah atas dollar AS, pejabat OJK langsung mengadakan rapat. Pertemuan itu juga dihadiri otoritas lain yang masuk dalam anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Sebelumnya juga telah digelar pertemuan forum yang sama namun dihadiri oleh pejabat setingkat deputi.
Guncangan ini memang ibarat ujian awal bagi kehadiran OJK. Oleh karena itu otoritas tak mau main-main dan gegabah dalam memitigasi risiko yang bisa terjadi dari kisruh tersebut. Semua pikiran tercurah untuk mengantisipasi kemungkinan yang muncul dari pelemahan tersebut.
“Pak Muliaman sampai-sampai membatalkan rencana umrohnya,” kata sumber yang dekat dengan Muliaman D Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK.
Meski demikian, pasca mengamati situasi kondisi dan rapat yang digelar oleh forum, Muliaman menyimpulkan bahwa guncangan itu tidak berpotensi menimbulkan krisis keuangan. Kata mantan Deputi Gubernur BI ini, krisis terjadi apabila pasar keuangan terus menurun dalam jangka waktu tertentu. “Ada ukuran-ukuran internal, kalau dia turun di atas 10 persen dalam 3 hari sebetulnya kita harus mengantisipasi. ...tapi karena saham turun naik kita masih terus antisipasi secara dekat,” kata dia.
Benar saja, sebulan setelahnya pemerintah AS mengumumkan akan meneruskan langkah penyuntikan dana besar-besaran kepada sektor keuangan melalui program quantitative easing. Namun hal itu bukan berarti mengurangi kewaspadaan otoritas. Menurut Muliaman krisis masih terus mengancam sektor keuangan RI karena belum kuatnya struktur sektor tersebut. Namun forum penangkal krisis, kata dia sudah siap dalam memitigasi jika krisis tersebut benar-benar terjadi. Terlebih lagi Indonesia sudah memiliki pengalaman penanganan krisis keuangan tahun 2008.
Apa yang dikatakan Muliaman segendang sepenarian dengan penilaian Rahmat Waluyanto. Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK ini bahkan menilai bahwa potensi krisis masih mengintai sektor keuangan RI.
Pasalnya pembalikan modal yang menjadi penyebab guncangan kemarin itu masih akan terjadi jika situasi perekonomian global masih seperti sekarang. “Risk taking behaviour investor-investor sekarang ini meningkat setelah melihat yang terjadi di Amerika,” kata Rahmat.
Setelah pemerintah menggelontarkan dana besar-besaran sejak 2008 dalam program pelonggaran kuantitatif, investor menyerap semua instrumen investasi yang ada di pasar modal AS. Hal itu berlangsung dalam kurun waktu setahun sebelum akhirnya semua instrumen itu dianggap tidak lagi mencukupi hasrat mendapatkan return lebih tinggi. “Untuk memenuhi berinvestasi yang risk taker tadi maka investor td mulai menempatkan dana ke emerging market termasuk kita,” kata Rahmat.
Itulah penjelasan kenapa aset-aset dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat dan dinilai bubble oleh sebagian kalangan. Ketika aset-aset RI dinilai overvalue itulah, capital reversal sejatinya sudah mulai terjadi yaitu mulai tahun lalu. Dan sepanjang Juli-Agustus pembalikan modal itu membesar dan membuat pasar modal terbatuk-batuk. “Capital reversal yang belakangan ini membesar dan mencapai puncaknya bukanlah terjadi secara tiba-tiba,” kata Rahmat.

Pengalaman Krisis
Kendati tetap mewanti-wanti timbulnya krisis, namun otoritas optimistis bahwa Indonesia lebih siap menghadapi kemungkinan tersebut. Selain aturan-aturan terkait prudensial pada sektor keuangan sudah lebih lengkap, kini sektor keuangan sudah memiliki lembaga superbodi dalam diri OJK.
Pada 2008, sektor keuangan sempat terhuyung-huyung akibat ambruknya sektor properti di AS. Pada saat itu indeks saham dan nilai tukar juga sempat melorot dari nilai sebelumnya. Saat itu indeks harga saham gabungan turun 22 persen dari 1.426,94 pada ke level terendah 1.111,39 hanya dalam waktu sepekan.
Sementara itu, rupiah juga mengalami nasib serupa. Nilai tukar terdepresiasi dari Rp 9.161 menjadi Rp 9.506 per dolar AS sepanjang September. Pelemahan itu berlangsung tiga bulan dan pada 24 November menjadi Rp 12.650 per dollar AS. Walhasil rupiah terdepresiasi 38 persen selama tiga bulan.
Meski memastikan bahwa guncangan pada 2013 ini tidak seperti 2008 dan tidak berpotensi menyebabk krisis, OJK tetap menganggap hal itu sebuah ancaman serius buat sektor keuangan nasional. Bahkan untuk menanggulangi krisis kecil Agustus lalu, OJK sudah menerbitkan aturan buyback saham oleh emiten tanpa melewati proses rapat umum pemegang saham.  
Selain itu OJK akan memperketat pengawasan pada seluruh lembaga keuangan yang ada. Ujian krisis kecil kemarin juga seperti mengingatkan membuat pengambil kebijakan bahwa kerentanan selalu ada, dan mereka harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Indonesia pernah mengalami guncangan krisis ekonomi 1998 dan 2008. Dari situ banyak pelaku ekonomi terutama dari kalangan industri jasa keuangan mampu menghadapi krisis tersebut dengan baik. Oleh karena itu, Muliaman sang nakhoda OJK berharap bahwa ujian di sektor keuangan dua bulan lalu tak akan membuat industri labil dan bisa melewatinya. “Saya berharap industri keuangan kita masih bisa bekerja. Ibarat naik pesawat, kita sedang kena turbulensi, sehingga perlu pakai sabuk pengaman," kata Muliaman.
Begitu juga masyarakat yang berharap agar OJK mampu membawa sektor keuangan melewati segala macam turbulensi yang kemungkinan dihadapi di masa mendatang.
                                                                                                                                             
=========================================================== 


Perbandingan Krisis 2008 dan ‘Krisis’ 2013

2008, IHSG
Dalam satu pekan, indeks turun 22 persen dari 1.426,94 pada 20 Oktober ke level terendah 1.111,39 di 28 Oktober. Jika dihitung selama tiga bulan, telah terjadi pelemahan sebesar 40 persen. Indeks terus mengalami fluktuasi dan berada level 1.355,41 pada penutupan akhir 2008, atau turun 51 persen dari posisi awal tahun.

2013, IHSG
Pada Selasa (20/8), IHSG ditutup 4.174,98, turun 11 persen atau 524,75 poin selama sepekan. Indeks pernah mencapai rekor tertinggi 5.214,97 pada 20 Mei. Jika dibandingkan dengan posisi tertinggi tersebut atau selama tiga bulan, IHSG telah merosot 19,94 persen. Namun jika dilihat sejak awal tahun, indeks hanya turun 3,28 persen.

Rupiah, 2008
Rupiah mulai terdepresiasi pada awal September 2008 dari Rp 9.161 menjadi Rp 9.506 per dolar AS pada akhir September. Per 31 Oktober, rupiah kembali melemah menjadi Rp 11.050 per dolar AS. Puncak pelemahan rupiah terjadi pada 24 November menjadi Rp 12.650 per dolar AS, atau terdepresiasi 38 persen selama tiga bulan.

2013
Nilai tukar rupiah atas dollar yang terdalam berada di level 11.495 pada awal September, melemah 19 persen dari posisi terkuatnya tahun ini di 9.586. posisi ini juga merupakan posisi terendah sejak 14 tahun terakhir

Neraca Perdagangan
Pada 2008, neraca perdagangan Indonesia masih mengalami surplus US$ 7,8 miliar, meski mengalami penurunan sekitar 80 persen dibandingkan surplus tahun sebelumnya. Ini disebabkan meningkatnya impor sebesar 73 persen dari US$ 74,5 miliar menjadi US$ 129,2 miliar. Penurunan surplus disebabkan melemahnya harga komoditas global akibat krisis di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa.

2013
Sepanjang semester I, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$ 3,31 miliar. Total ekspor Indonesia sebesar US$ 91,05 miliar, turun 6,09 persen dibandingkan semester I-2012. BPS menyebutkan, penurunan ekspor terutama akibat turunnya nilai ekspor nonmigas, terutama batubara dan minyak sawit. Padahal keduanya merupakan kontributor terbesar masing-masing mencapai 17 persen dan 13 persen terhadap total ekspor.

Cadangan devisa
Pada awal 2008, cadangan devisa tercatat sebesar US$ 56,9 miliar setara dengan 5,3 bulan impor. Di akhir tahun, jumlahnya melorot menjadi US$ 51,6 miliar atau setara 4,8 bulan impor. Cadangan devisa sempat naik ke US$ 60,6 pada Juli, dan mencapai level terendah pada November sebesar US$ 50,2 miliar atau turun 17 persen akibat melemahnya nilai rupiah dan naiknya harga minyak mentah dunia.  Penurunan bulanan tertinggi terjadi pada Oktober sebesar 11 persen dari US$ 57,1 miliar pada September menjadi US$ 50,6 miliar.

2013
Dalam dua bulan, cadangan devisa Indonesia terkuras hingga US$12,5 miliar atau berkurang 12 persen menjadi US$ 92,99 pada akhir Agustus. Jumlah itu setara dengan 5,9 bulan impor. Sepanjang tahun ini, cadangan devisa berkurang lebih dari 18 persen dari posisi akhir 2012 sebesar US$112,8 miliar (7,2 bulan impor). Berkurangnya cadangan devisa itu digunakan untuk penyelamatan rupiah, selain pembayaran impor dan utang luar negeri.

Neraca Transaksi Berjalan
2008: Kecuali pada kuartal I yang mengalami surplus US$ 2,7 miliar, neraca transaksi berjalan Indonesia pada 2008 mengalami defisit. Pada kuartal II, defisit mencapai US$ 1 miliar atau 0,77 persen terhadap PDB. Pada kuartal berikutnya, defisit berkurang menjadi US$ 967 juta (0,69 persen) pada kuartal III dan US$ 637 juta (0,55 persen) di kuartal IV. Defisit tidak berlanjut di 2009 karena harga minyak mentah dunia mulai turun yang mengurangi beban impor minyak.

2013

Bank Indonesia menyebutkan, neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2013 mengalami defisit US$ 9,9 miliar atau sekitar 4,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlah ini mengalami peningkatan 69 persen dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 5,8 miliar. Defisit tersebut sekaligus melanjutkan defisit transaksi berjalan selama tujuh kuartal terakhir sejak kuartal IV-2011. 

Kembali Masuk Jalur Lambat

Guncangan di sektor keuangan sepanjang Juli-Agustus lalu ternyata membawa konsekuensi yang cukup besar buat perbankan. Bersamaan dengan pengetatan yang dilakukan otoritas sebelumnya dan pasca turbulensi, kinerja perbankan dinilai akan melambat.

“Nilai tukar adalah gorden,” kata ekonom senior Hartojo Wignyowijoto suatu kali di awal krisis 1998 lalu. “Begitu ia dibuka, kelihatanlah seisi rumahnya.”
Kalimat dari ekonom nyentrik itu kembali menemukan momentumya tahun ini ketika sejak Juni lalu, nilai tukar rupiah atas dollar AS mulai terguncang. Dan Ketika ‘tirai penutup jendela’ dibuka tampak jelas kerentanan perekonomian Indonesia terpapar dari luar.
Sampai pekan kedua September nilai rupiah terus merosot hingga 16 persen lebih rendah dari posisinya di awal tahun. Meski sempat menguat saat pengumuman The Federal Reserve, rupiah kemudian kembali ke posisi Rp11.400-an per dollar AS. Dan level itu tampaknya menjadi keseimbangan baru bagi sang tirai, nilai tukar rupiah.
Ketika tirai dibuka akan terlihatlah sektor keuangan yang mulai menyesuaikan diri dengan posisi tersebut. Yang pertama terlihat bisa jadi adalah industri perbankan. Guncangan di sektor keuangan pada Agustus lalu menambah panjang daftar ujian-ujian yang dihadapi perbankan. Sebelumnya, beberapa aturan otoritas di sektor properti dan otomotif sudah cukup untuk menohok perbankan yang selama satu dasawarsa ini selalu mencatat pertumbuhan bisnis yang menawan.
Oleh karena itu banyak pihak yang memprediksi bahwa mulai saat ini perbankan nasional akan mulai mengurangi kecepatan dalam menjalankan bisnis demi menghindari risiko yang bisa mengancam kinerjanya. Dan hal itu tentu akan membuat laba perbankan juga akan sedikit melambat.
Berdasarlan data dari statistik perbankan milik Bank Indonesia, pertumbuhan laba bersih bank per Juli 2013 tercatat Rp59,39 triliun, atau tumbuh 16,19 persen dibandingkan sebulan sebelumnya. Ini adalah pertumbuhan laba terendah sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini. dalam periode Januari- Mei laba perbankan tumbuh di atas 20 persen bahkan sempat di atas 50 persen. Laba bersih bank umum pada Juli 2013 juga hanya tumbuh 12,31 persen dibanding Juli 2012. Sementara pada periode setahun sebelumnya laba bank secara industri tumbuh 24,74 persen.
Turbulensi yang terjadi sepanjang Juli-Agustus lalu memang menjadi pukulan terbesar bagi perbankan. Perbankan harus berhadapan dengan risiko pasar yang lebih besar terkait melemahnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya suku bunga. Sebelumnya bank sudah tertekan oleh aturan otoritas terkait pengetatan di sektor properti dan otomotif lewat skema regulasi loan to value (LTV).
Oleh karena itu tidaklah mengheranka jika pada paro pertama tahun ini, rata-rata pertumbuhan laba lima bank besar terlihat menurun. Hingga Juli laba bank-bank itu tercatat 17,96 persen. Angka itu lebih rendah dibanding pertumbuhan semester pertama  tahun lalu sebesar 19,74 persen.
Jika mau ditelaah lebih dalam lagi, pelemahan laba itu juga sudah terlihat pada Bank Rakyat Indonesia. Bank yang selama ini selalu mencatatkan laba terbesar di industri, pada semester pertama tahun ini sebesar Rp10 triliun atau tumbuh 16,3 persen. Pertumbuhan labanya lebih rendah jika dibanding pertumbuhan laba semester yang sama tahun lalu yaitu Rp8,61 triliun dengan pertumbuhan laba 26,83 persen.
Juga pada bank milik investor mancanegara macam CIMB Niaga. Pertumbuhan laba bank yang dikuasai raksasa keuangan Malaysia ini turun paling dalam, yaitu dari tumbuh 28 persen pada semester pertama 2012 menjadi tumbuh hanya 8 persen pada enam bulan pertama tahun ini.
Meski demikian, bank lain terutama milik negara masih membukukan pertumbuhan laba lebih tinggi dibanding tahun lalu. Seperti Bank Mandiri. Bank beraset terbesar itu mencatatkan pertumbuhan laba 16 persen paro pertama tahun ini dengan nilai Rp8,3 triliun, sedangkan periode lalu hanya sebesar 13 persen. Pertumbuhan laba paling tinggi diduduki BNI yang mencapai 30,2 persen pada tahun ini sebesar Rp4,28 triliun. Sedangkan tahun lalu, labanya tumbuh 20,4 persen sebesar Rp3,29 triliun.

Konservatif
Menurut pelaku perbankan, melambatnya laba ini disebabkan beberapa faktor seperti perlambatan ekonomi, tingginya inflasi, kenaikan BI Rate, dan ketidakpastian ekonomi global yang membuat rupiah melemah.
Untuk itu para pengelola bank akan menerapkan strategi meningkatkan pencadangan kredit sebagai langkah konservatif menghadapi penurunan ekonomi. “Untuk kondisi ekonomi seperti saat ini, konservatif merupakan langkah terbaik," ujar Direktur Utama Bank Mandiri, Budi G Sadikin.
Sementara itu, bankir lain memperkirakan bahwa pertumbuhan laba perbankan pada akhir tahun akan lebih rendah dibanding semester pertama tahun ini. Direktur Keuangan BRI Achmad Baiquni memperkirakan perolehan laba akhir tahun diperkirakan hanya tumbuh 14-15 persen. “Kedepannya pertumbuhan laba Semester II akan lebih menurun," ujar dia.
Kondisi perekonomian yang agak melandai dan beberapa pengetatan aturan akan membuat penyaluran kredit agak tertahan bahkan cenderung menurun. Menurut data Bank Indonesia rata-rata pertumbuhan kredit enam bulan pertama tahun ini mencapai 21,8 persen, lebih rendah dibanding tahun lalu sebesar 23,64 persen.
Pertumbuhan bisnis bank yang menurun itu merupakan imbas dari melemahnya ekonomi Indonesia setelah dua bulan diterjang krisis mini. Guncangan ekonomi Agustus lalu membuat perekonomian hanya tumbuh di kisaran 5,9 persen, lebih rendah dari target pemerintah sebesar 6,3 persen. Inflasi juga telah melonjak 8,6 persen pada Juli dan akan membuat tekanan pada konsumsi masyarakat. Sementara itu nilai tukar terdepresiasi 14 persen lebih dan dan indeks saham juga merosot 7 persen lebih. Hal itu sebagai imbas dari hengkangnya dana-dana asing di instrumen saham dan obligasi negara.
Turbulensi ekonomi yang terjadi dua bulan lalu itu seperti sebuah rambu bagi bank bahwa sudah saatnya mereka mengurangi kecepatan dan kembali masuk jalur lambat. Trauma krisis akhir 1990-an kembali terngiang ketika sektor perbankan Indonesia runtuh setelah rupiah kehilangan sekitar 85 persen dari nilainya terhadap dollar AS. Hal itu menyebabkan pinjaman luar negeri meroket dan membuat banyak utang menjadi default.
Pada 2008, RI juga sempat terhujam krisis global yang sempat membuat perbankan terhuyung. Pada saat itu nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 38 persen sepanjang tiga bulan September hingga November. Rupiah mulai terdepresiasi pada awal September 2008 dari Rp 9.161 menjadi Rp 9.506 per dollar AS pada akhir September. Per 31 Oktober, rupiah kembali melemah menjadi Rp 11.050 per dollar AS. Puncak pelemahan rupiah terjadi pada 24 November menjadi Rp 12.650 per dollar AS.
Dan baru-baru ini penurunan mata uang rupiah terhadap dollar AS telah mencapai 14 persen dibanding posisinya pada awal tahun dan defisit transaksi berjalan yang besar telah menghidupkan kembali kenangan tidak nyaman pada masa-masa itu.

Lebih Ketat
Namun demikian banyak orang yang akan berpendapat bahwa ini bukan tahun 1990-an lagi. Kini bank-bank di Indonesia memiliki rasio modal yang tinggi yang rata-rata mencapai hampir 18 persen pada Juli. Di sisi lain pertumbuhan kredit telah melaju pada tingkat tahunan sekitar 20 persen dalam beberapa tahun terakhir dan banyak dibiayai oleh deposito daripada utang dengan mata uang dollar AS. Kredit yang tak bagus, sementara itu,  angkanya hanya 2 persen dari total kredit.
Sementara itu, Bank Indonesia sudah lebih siap dalam mengantisipasi kondisi terburuk guna menghindari pengalaman pahit krisis 97-98. Bank sentral sejak awal 2000-an sudah menerbitkan beragam aturan ketat dan pruden untuk lebih memperkokoh industri perbankan dalam negeri.
Bahkan untuk pengelolaan pinjaman luar negeri yang dilakukan perbankan, BI dianggap sudah jauh lebih baik. Bank dapat menerima dana dari luar negeri baik yang berjangka pendek maupun berjangka panjang namun harus menerapkan prinsip kehati-hatian. Bank yang akan masuk pasar untuk memperoleh utang jangka panjang wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari BI dan rencana wajib dicantumkan dalam rencana bisnis bank. Bank wajib membatasi posisi saldo harian utang jangka pendek paling tinggi 30 persen dari modal.
Pengetatan itu kembali menjadi perhatian otoritas setelah gejolak pasar modal Agustus lalu. Dalam dua bulan, BI telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin menjadi 7,25 persen. malahan BI sempat menaikkannya dalam suatu rapat dewan gubernur yang dilakukan di luar jadwal normal.
Bank sentral juga menginginkan agar sektor perbankan mengurangi laju penyaluran kreditnya agar bisa menghindari risiko munculnya kredit macet dalam jangka pendek. “Seluruh negara di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat. Oleh karena itu wajar kalau kita tidak bisa berlari terlalu kencang sementara yang lain melambat," kata Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo.
Apa yang sudah dilakukan BI dalam rangka merespons kondisi yang berlangsung belakangan ini, dinilai bukanlah tindakan pengetatan yang berlebihan. Hal itu dilakukan untuk mengamankan perekonomian terutama neraca transaksi berjalan. “Masalah kita sekarang ini adalah defisit current account yang besar, itu harus turun. Impor-impor harus turun karena kita tidak bisa mendorong ekspor terlalu lanjut," kata dia.
Selain itu, Perry menilai jika kenaikan BI Rate merupakan hal yang wajar karena kebijakan yang dilakukan tak lain salah satunya untuk kembali menggairahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Dan wajar memang berbagai policy yang kita lakukan memang karena domestic demand melambat. Dengan suku bunga, nilai tukar, pengendalian kredit dan lain-lain. Kita juga berpegangan dengan erat dengan pemerintah untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian ini, agar kita menuju kepada soft landing,” kata Perry.
Tahun lalu, kredit perbankan pada kuartal pertama tumbuh 24 persen dan pada kuartal pertama tahun ini, kredit hanya tumbuh 22,2 persen. BI mencatat perlambatan terjadi di sektor kredit modal kerja menjadi 23,7 persen lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai 25,2 persen. Kredit investasi juga melambat menjadi 23,2 persen, dari tahun lalu sebesar 30,6 persen. Dari kredit konsumsi menjadi 18,9 persen dari tahun lalu sebesar 20,5 persen.
Kucuran kredit ke sektor korporasi, juga mengalami perlambatan dan terjadi di beberapa sektor industri. Untuk industri pertambangan tahun lalu kredit berhasil tumbuh 34,4 persen, sedangkan realisasi kredit ke sektor pertambangan kuartal pertama tahun ini sebesar 19 persen. Kredit ke sektor pertanian tahun lalu mencapai 30,7 persen, sedangkan tiga bulan pertama tahun ini hanya 26,6 persen.
Kredit ke sektor konstruksi juga mengalami penurunan menjadi 17,6 persen dari 22 persen pada kuartal pertama tahun lalu. Beberapa sektor mengalami penurunan kucuran kredit secara drastis, seperti sektor jasa sosial menurun drastis dari 21,6 persen menjadi 9,6 persen. Listrik menurun dari 77,3 persen menjadi 4,6 persen.
Perlambatan tersebut, kendati demikian, dinilai BI mengarah kepada pertumbuhan yang lebih normal setelah dalam beberapa tahun terakhir melaju sangat kencang. “Ini justru mengarah dari yang dulu lebih cepat ini mengarah ke yang lebih normal,” kata Perry.
Perubahan memang akan datang untuk industri perbankan nasional. Sektor yang dalam beberapa tahun terakhir selalu menjadi sektor yang paling menguntungkan di dunia ini kini harus sedikit memperlambat lajunya dan kembali ke jalur lambat.



             Jan            Feb               Mar               Apr                     Mei              Jun                     Jul
CAR            19,31        19,29            19,08            18,74                 18,68            18,08                18,08
Laba              8.727        16.085         25.132          32.647             42.699            51.118            59.395
Kredit 2.705.601         2.736.684        2.787.372     2.844.812        2.909.085      2.982.436      3.045.511

CAR dalam persen
Laba dan Kredit dalam triliun rupiah.



Bubble or not Bubble

Tingginya permintaan dan melonjaknya harga perumahan membuat otoritas khawatir bahwa sektor itu tengah menggelembung. Namun demikian bagi pengembang dan perbankan hal itu bukanlah sesuatu yang menakutkan.

Dalam sebuah drama terkenal karya William Shakespeare, Hamlet, mengatakan ungkapan terkenal: to be or not to be. Pangeran Denmark, itu mempertanyakan makna hidup, dan apakah berguna atau tidak untuk tetap hidup ketika hidup mengandung begitu banyak kesulitan.
Bicara soal kesulitan dan masalah, perekonomian Indonesia tak pernah sepi dari hal itu. Namun demikian otoritas telah banyak mengambil pelajaran dari kesulitan-kesulitan itu, terutama kesulitan ekonomi yang terjadi pada 1998.
Pengalaman pahit krisis ekonomi 97-98, tidak hanya membekas tetapi juga telah mengukir di dalam pikiran dan benak para pengambil kebijakan. Oleh karena itu setiap kemungkinan atau simptom yang akan membawa perekonomian Indonesia ke lembah kekisruhan seperti 15 tahun lalu itu, buru-buru akan diredam, tak peduli bagaimanapun sulitnya, berapapun biayanya.
Kebijakan pemerintah yang menyuntikkan dana kepada Bank Century bisa dijadikan contoh nyata. Para pemilik otoritas bidang ekonomi memutuskan untuk menolong bank yang dinilai akan memberi efek domino pada sektor keuangan jika dibiarkan mengalami default, meski belakangan kebijakan tersebut menuai kritik bahkan hingga ke ranah politik.
Dan kini, di mata otoritas perbankan gejala itu mulai terlihat pada sektor properti. Harga-harga perumahan, apartemen maupun tempat usaha terus melenting. Harga properti residensial di Jakarta dalam lima tahun terakhir mencapai pertumbuhan hingga 80 persen. Sementara itu, konsultan properti, Cushman & Wakefield dalam risetnya menyatakan harga rumah di Jakarta sudah naik sekitar 100 persen dalam tiga tahun terakhir. Bandingkan dengan tingkat inflasi Jakarta yang pada periode yang sama hanya 16,3 persen. Kondisi ini membuktikan bahwa Indonesia, khususnya Jakarta merupakan salah satu lokasi investasi properti paling menarik di Emerging Market
Karena itu pulalah Ibukota negara Indonesia dinobatkan sebagai lokasi investasi prospektif nomor satu di Asia Pasifik. Dalam pemeringkatan tahunan yang dilakukan Pricewaterhouse Coopers dan Urban Land Institute, posisi Jakarta – Indonesia melonjak drastis dari ranking 11 pada tahun 2012 menjadi jawara nomor satu di tahun 2013.
Alih-alih membuat jumawa, peringkat nomor wahid itu justru membuat otoritas semakin khawatir bahwa kondisi tersebut berpotensi akan membawa Indonesia kembali ke masa krisis. Kenaikan harga-harga properti yang terus menerus mendekatkan perekonomian pada kemungkinan gelembung (bubble) di sektor itu. Indonesia pernah mengalami bubble properti pada pertengahan tahun 1997 yang kemudiaan pecah dan mengakibatkan krisis ekonomi di sepanjang tahun 1998-2000.
Kenaikan harga properti yang drastis saat itu tercermin dari melesatnya penyaluran kredit properti dalam bentuk kredit pemilikan rumah (KPR) atau sejenisnya. Pada tahun 1995 atau di saat harga properti sedang melonjak, laju kredit sektor properti mencapai 29 persen sedangkan rata-rata pertumbuhan kredit berbankan nasional waktu itu 24 persen. Setahun berikutnya, harga properti semakin meroket dan mendongkrak kredit yang disalurkan ke sektor ini menjadi diatas 30 persen. Pada masa itu, tingkat inflasi sebesar 8,6 persen.
Kemudian pada 1997, berbarengan dengan nilai tukar rupiah yang anjlok, gelembung tersebut pecah dan membuat kredit di sektor properti menjadi macet sehingga membuat Indonesia terperosok ke dalam krisis. Perekonomian pun harus tertatih-tatih terlebih dahulu selama lebih hampir lima tahun sebelum akhirnya benar-benar bangkit. Ketika itu, kredit macet sektor properti di perbankan nasional yang kemudian dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mencapai Rp 70 triliun.
Trauma itu terus membekas di benak otoritas hingga kini dan mereka bertekad hal itu tidak boleh terulang. Melalui sebuah survei, Bank Indonesia memberi sinyal bahwa sektor properti tengah berjalan dengan penutup maka ke arah bubble.
Berdasarkan Survei Properti Komersial yang dikeluarkan oleh BI, penyaluran kredit properti hingga Juni 2013, mencapai Rp433,31 triliun. Jumlah tersebut tumbuh sekitar 12,78 persen dibanding kuartal sebelumnya atau 20,89 persen dibanding 12 bulan sebelumnya.
Kredit properti tersebut memberikan kontribusi sebesar 14,47 persen dari total outstanding kredit bank umum atau sekitar Rp2.993,6 triliun. Secara triwulanan, pertumbuhan terbesar dialami oleh kredit konstruksi yang tumbuh sebesar 17,07 persen. Lalu diikuti perumahan dan apartemen (KPR dan KPA) yang tumbuh 12,30 persen.
Sementara proporsi dalam kredit properti tidak mengalami perubahan signifikan dari triwulan terakhir. Kredit perumahan masih merupakan pangsa terbesar dalam kredit properti yakni sebesar 59,97 persen, diikuti dengan kredit kontruksi sebesar 25 persen dan kredit real estate sekitar 15,03 persen.
Hal itu cukup membuat BI khawatir bahwa sektor perumahan akan mengalami bubble jika tidak segera dimitigasi. Apalagi sebelumnya pada Juni tahun lalu, BI sudah memperketat aturan pembelian rumah dengan mengeluarkan regulasi loan to value (LTV). Akan tetapi tampaknya aturan itu tidak mempan sehingga BI merasa perlu memperketatnya kembali. “Untuk jenis (tipe rumah) tertentu mungkin, kemungkinannya besar itu bubble,” ujar Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah beberapa waktu lalu.
Menurut laman investopedia, bubble sektor perumahan adalah sebuah kondisi melonjaknya harga perumahan yang didorong oleh permintaan dan spekulasi. Gelembung sektor perumahan biasanya dimulai dengan peningkatan permintaan. Spekulan kemudian memasuki pasar, dan mencoba memancing keuntungan melalui pembelian jangka pendek untuk dijual kembali. Hal ini semakin memicu permintaan. Pada titik tertentu, permintaan menurun atau mandeg pada saat pasokan meningkat, dan hal itu mengakibatkan penurunan tajam pada harga dan gelembung pun pecah.
Berdasarkan pengertian itu, tidak salah jika bank sentral menilai busa di sektor perumahan memang tengah menggelembung. Bahkan indikator maraknya aksi spekulasi yang muncul di sektor itu ditemukan oleh BI dalam sebuah survei.
Dalam survey yang diumumkan dua bulan lalu, BI menemukan bahwa saat ini banyak orang yang berinvestasi di sektor properti. Bahkan ada ribuan orang yang bisa membeli 9 rumah sekaligus melalui kredit di perbankan.
BI mencatat nasabah KPR yang membeli lebih dari dua rumah berjumlah 35,2 ribu orang dengan portofolio kredit mencapai Rp 31,8 triliun. Kemudian yang tengah mencicil dua rumah melalui skema KPR itu sekitar 31,3 ribu orang dengan nilai Rp 29 triliun. Sementara yang mencicil dua hingga sembilan rumah melalui KPR terdapat 35,2 ribu orang. Terdapat juga 3.884 debitur yang mencicil 3 bahkan sampai 9 rumah melalui skema KPR di bank. “Ada juga yang mencicil 9 sampai 12 bahkan 12 sampai 15 rumah. Dan jumlahnya juga ribuan,” kata Halim Alamsyah.

Masih Jauh
Meski demikian tidak semua pihak sepakat dengan kesimpulan otoritas. Yang paling menolak tentu adalah para pengembang properti. Kendati harga-harga terus naik konsisten setiap bulannya, mereka tetap tidak menerima kesimpulan bahwa sektor properti mulai menggelembung.
Potensi gelembung (bubble) ekonomi di sektor properti, menurut mereka masih jauh. Kenaikan harga rumah di lokasi-lokasi tertentu dalam beberapa tahun terakhir memang bergerak cepat, namun kenaikan tidak merata di semua lokasi. Lalu adanya kontrol yang cukup ketat dari otoritas perbankan juga turut menjaga stabilitas pasar properti terutama di Jakarta, yang makin menjauhkan adanya potensi bubble dalam jangka pendek.
Olivia Surodjo, Sekretaris Perusahaan PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) menyebutkan kondisi pasar properti di dalam negeri jauh berbeda dari Amerika Serikat. Dia menilai campur tangan Bank Indonesia dengan menaikkan uang muka kredit pemilikan rumah (KPR) menjadi minimal 30 persen dianggap positif, karena sedikit menahan laju penjualan.
Tahun lalu, tepatnya pada Juni 2012, BI mengeluarkan aturan yang mewajibkan setiap nasabah yang membeli rumah bertipe 70 meter persegi atau lebih besar dari itu dengan menggunakan kredit bank, wajib menyiapkan uang muka sebesar 30 persen dari harga rumah.
Sementara itu menurut pengembang yang lain, masih jauhnya potensi bubble properti di Indonesia karena kenaikan harga yang terjadi belum masif dan besar-besaran seperti yang terjadi di AS sebelum 2008 atau Jepang sebelum 1995.
Hal itu diungkapkan oleh Presiden Direktur PT Bakrieland Development Tbk Hiramsyah S Thaib. Menurut dia lagi, kenaikan harga yang terjadi di Indonesia juga belum berlangsung terlalu lama, setelah terjerembab krisis ekonomi 97-98. Negara-negara di kawasan ASEAN rata-rata pulih dari krisis ekonomi 1997 pada tahun 2000 dan masalah kredit macet sudah bisa diatasi.
Berbeda dengan Indonesia yang baru selesai mengatasi krisis 1998 pada tahun 2004. Harga properti pun cenderung datar sepanjang 1997-2004. Setelah itu, tahun 2006 baru mulai naik. Tapi terkena dampak krisis ekonomi 2008, kenaikan harga pun berhenti lagi dan mulai bergerak pelan lagi pada 2010. “Artinya, sebetulnya kita di properti Indonesia sudah menahan harga dari tahun 1997," ujar Hiramsyah.

Over Value bukan Bubble
Apa yang diyakini oleh pengembang mendapat dukungan dari pengamat properti Panangian Simanungkalit. Menurut dia, untuk saat ini gelembung properti sulit terjadi di Indonesia. Selain karena kondisi makro ekonomi relatif baik, secara keseluruhan kredit perbankan untuk sektor properti masih di bawah rata-rata kredit nasional.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hingga kini masih berada pada level 6 persen dengan tingkat inflasi 4,5 persen plus minus 1. Sedangkan kredit yang disalurkan perbankan ke sektor properti hanya 14 persen, sementara rata-rata kredit perbankan 21 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang konsisten selama lima tahun terakhir juga membuat lapisan kelas menengah terus bertambah. Menurut McKinsey Global Institute, saat ini jumlah kelas menengah di Indonesia sekitar 50 juta orang, dan pada tahun 2030 diperkirakan akan meningkat jadi 170 orang. Kelas menengah di sini adalah penduduk dengan pendapatan bersih per tahun di atas 3.600 dollar AS.
Dengan potensi itu tak pelak, kata sebagian besar pengamat, pasar properti Indonesia akan terus mengalami kenaikan. Ali Tranghanda adalah pengamat properti yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) mengatakan dalam sebuah artikel bahwa sejak 2009 siklus properti Indonesia memasuki tahap percepatan dan diperkirakan tahun ini mencapai titik tertinggi.
Saat ini besarnya permintaan KPR, kata dia, merupakan gambaran permintaan pasar konsumen yang tinggi, khususnya end user yang menguasai 75 persen pengguna KPR. “Dengan demikian, pasar konsumen relatif lebih nyata dibandingkan pasar investor (spekulan) yang merupakan pasar semu,” kata Ali.
Peranan konsumen investor, oleh karena itu, sangat mempengaruhi peningkatan pasar properti yang tinggi. Namun, diakui memasuki tahun 2013, pasar relatif sudah menunjukkan kejenuhan karena harga yang sudah mulai terlalu tinggi. “ (Tetapi) yang terjadi adalah over value, bukan bubble,” kata Ali.
Kenaikan harga yang signifikan hanya terjadi di segmen menengah atas dan terjadi khususnya di sektor hunian tapak (landed residential), apartemen, dan harga sewa perkantoran. Itupun hanya terjadi di beberapa lokasi, sehingga tidak menggambarkan pasar properti secara keseluruhan.
“Dari sisi perbankan kredit, rasio kredit bermasalah pun masih dibawah 3 persen dengan rasio kredit properti terhadap keseluruhan kredit masih dibawah 15 persen sehingga terlalu dini menyebutkan pasar properti sudah mengalami bubble,” jelas Ali.
Bagi pengembang dan perbankan selama permintaan tetap tinggi maka sektor properti masih jauh dari bubble. Apalagi hingga saat ini ada kesenjangan antara kebutuhan rumah bagi masyarakat Indonesia dan pasokan dari pengembang. Selain itu porsi kredit KPR terhadap yang masih minim dibandingkan dengan produk domestik bruto membuat optimisme itu membesar.
Berdasarkan catatan dari Bank Tabungan Negara (BTN), permintaan rumah mencapai 800.000 unit setiap tahunnya, sedangkan pasokannya hanya mencapai separonya saja. “Selisih kebutuhan itu terus membesar karena adanya backlog perumahan yang belum terselesaikan,” kata Direktur Utama BTN Maryono. "Kami yakin Indonesia masih jauh dari bubble.”
Menurut dia, porsi KPR dan PDB Indonesia masih di kisaran di bawah 5 persen, jauh di bawah AS yang mencapai 88 persen atau Malaysia yang hampir 30 persenan, Australia sekitar 80 persen dan Thailand 15 persen.
Boleh jadi apa yang dikatakan pengembang, perbankan dan pengamat memang benar bahwa bubble belum akan datang dalam waktu dekat ke perekonomian Indonesia. Namun seperti dalam drama Hamlet, di mana dia sampai pada kesimpulan bahwa alasan utama manusia tetap hidup adalah ketakutan akan kematian, boleh dibilang para pengembang dan perbankan juga demikian. Artinya optimisme mereka bahwa tidak akan terjadi gelembung sektor properti bukan berarti mereka berani menghadapi risiko bubble, melainkan karena mereka takut menghadapinya.
Jadi, bubble or not bubble...




Harga Properti Residensial di Pasar Sekunder Jakarta
Triwulan I-2013
Wilayah
Harga Rumah (Rp/Unit)
Pertumbuhan (% yoy)
Harga Tanah (Rp/m2)
Pertumbuhan (% yoy)
Jakarta Barat




  - Kelas Menengah
  1.347.735.682
15,39%
           7.343.916
17,53%
  - Kelas Atas
  3.107.688.633
15,72%
           7.794.799
19,15%
Jakarta Utara




  - Kelas Menengah
  1.281.436.042
16,59%
        10.695.769
18,66%
  - Kelas Atas
  3.925.662.698
17,76%
           9.388.905
21,83%
Jakarta Pusat




  - Kelas Menengah
      878.077.974
16,45%
           5.496.621
19,12%
  - Kelas Atas
  7.947.840.149
18,79%
        16.421.537
22,42%
Jakarta Timur




  - Kelas Menengah
  1.016.720.282
15,78%
           4.878.434
17,03%
  - Kelas Atas
  1.885.482.414
16,61%
           5.532.022
19,10%
Jakarta Selatan




  - Kelas Menengah
  1.490.612.989
15,83%
           7.526.167
17,22%
  - Kelas Atas
  7.196.043.493
18,14%
           9.501.813
21,70%
Sumber: Bank Indonesia/diolah
Keterangan:
Harga rumah mencakup harga tanah dan bangunan. Harga rumah merupakan harga rata-rata menurut pengelompokannya; Harga tanah merupakan harga rata-rata menurut pengelompokannya


Pertumbuhan Tahunan Indeks Harga Properti Residensial
Triwulan I-2013
Kota
Tipe Bangunan
Kecil
Menengah
Besar
Total
Bandung
6,11%
10,91%
2,61%
5,78%
Bandar Lampung
16,37%
3,22%
6,93%
8,78%
Banjarmasin
5,53%
3,36%
3,19%
4,03%
Denpasar
8,82%
10,16%
18,73%
12,54%
Palembang
8,40%
11,97%
5,10%
8,47%
Semarang
3,88%
5,00%
5,39%
4,76%
Yogyakarta
5,56%
3,73%
2,77%
4,02%
Padang
12,24%
5,70%
1,66%
6,55%
Medan
22,22%
8,30%
9,88%
13,41%
Makassar
18,49%
14,40%
6,97%
13,25%
Manado
10,41%
10,86%
2,28%
7,84%
Surabaya
16,28%
11,47%
19,47%
15,75%
Pontianak
11,29%
10,29%
0,00%
7,13%
Jabodebek-Banten
19,96%
10,79%
6,56%
12,39%
Gabungan 14 Kota
16,27%
10,03%
7,34%
11,19%

Sumber: Bank Indonesia

Berakhirnya Era Pelonggaran

Sinyal berakhirnya kebijakan stimulus moneter bank sentral AS telah mengguncang pasar keuangan dunia. Dan apabila rencana tersebut benar-benar terwujud maka hal itu menjadi pertanda bahwa era pengetatan moneter dimulai.

Mungkin pertanyaan yang paling banyak muncul di dalam benak para pelaku ekonomi saat ini adalah, kapankah The Fed benar-benar mengakhiri kebijakan stimulusnya. Karena jawaban dari pertanyaan itu bisa menjadi titik awal sebuah era baru dalam perekonomian global.
Tak pernah dalam sejarah ekonomi modern suku bunga di beberapa negara sudah sangat rendah dalam jangka waktu yang cukup lama. Lihat saja Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan kawasan Eropa di mana suku bunganya sudah sangat rendah, bahkan ada yang kurang dari 1 persen. Indonesia juga termasuk negara yang mengikuti tren itu sejak bank sentral dipimpin oleh Darmin Nasution yang membawa bunga acuan ke level terendah sepanjang masa, 5,75 persen.
Pebisnis, investor, dan perbankan benar-benar memanfaatkan peluang tersebut. Di AS misalnya, langkah The Fed untuk mengguyur dana lewat pasar obligasi digunakan pelaku ekonomi untuk meminjam uang di pasar obligasi, mengunci pembiayaan murah dalam beberapa tahun ke depan. Di Indonesia pun demikian, meski hanya tampak di sebagian sektor saja. Kebijakan suku bunga rendah Bank Indonesia yang direspons dengan makin murahnya bunga kredit perumahan membuat sektor ini mulai booming. Pasar properti dalam negeri sangat bergairah hingga memaksa bank sentral beberapa kali mengingatkan akan bahaya bubble.
Akan tetapi semua itu tidak lama lagi akan berakhir, dan sinyal yang ditunggu adalah sirene berakhirnya kebijakan quantitatave easing The Fed. Kebijakan stimulus ekonomi dengan mengguyur dana ke perekonomian lewat pembelian obligasi langsung di pasar ini telah berlangsung empat tahun. Dan menurut beberapa analis dan ekonom, bank sentral AS tengah bersiap untuk mengurangi secara bertahap kebijakan stimulusnya karena melihat beberapa indikator keuangan mulai memperlihatkan tanda-tanda perbaikan.
Bank sentral AS sudah menggelontarkan triliunan dollar untuk mempertahankan ekonominya agar tidak ambruk akibat krisis 2008 dalam tiga kali periode pemberian stimulus. Kebijakan pertama keluar pada akhir 2008 untuk menyelamatkan ekonominya dari krisis dengan menyuntikkan likuiditas sebanyak 1,75 triliun dollar AS atau lebih dari Rp16.625 triliun. Kebijakan ronde kedua keluar pada November 2010 dengan memberi infus sebesar 600 miliar dollar AS atau sebesar Rp5.700 triliun karena ekonomi dinilai masih lambat dan angka pengangguran hampir berjumlah 10 persen. Dan kebijakan stimulus ketiga mulai pada September 2012 yang berisi dana 40 miliar dollar AS atau sekitar Rp380 triliun dan empat bulan kemudian meningkat menjadi 85 miliar dollar AS.
Lalu pada awal tahun ini tanda-tanda bahwa kebijakan itu akan diakhiri muncul. Imbal hasil obligasi dan suku bunga KPR di negeri Paman Sam itu mulai merangkak naik, menjauhi posisi terendah dalam sejarah. “Jika data-data selanjutnya konsisten dengan prediksi ini, Komite akan  mengantisipasi bahwa hal itu akan menjadi saat yang tepat untuk menormalkan laju pembelian (obligasi) bulanan pada akhir tahun ini,” kata Gubernur The Fed Ben Bernanke dalam pertemuan dengan parlemen pada Juni lalu.
Pernyataan itu dibaca oleh pasar sebagai pertanda bahwa kebijakan stimulus keuangan AS akan segera berakhir. Akhirnya investor pun meresponsnya dengan memindahkan aset-aset mereka dari negara-negara seperti Indonesia kembali ke dollar AS yang telah menjadi safe haven lagi.
Perekonomian Indonesia kemudian mengalami turbulensi selama dua bulan ini. Nilai tukar rupiah dan indeks saham anjlok di tengah masih defisitnya neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan. Dan ketidakpastian kapan pluit resmi tanda berakhirnya kebijakan pelonggaran kuantitatif itu ditiup oleh The Fed makin membuat perekonomian dengan 240 juta orang ini makin berguncang.
Bank Indonesia dan pemerintah secara hampir bersamaan mengeluarkan kebijakan untuk mengantisipasi agar pelemahan perekonomian tidak berlanjut. BI memberikan ruang yang lebih luas bagi pelaku ekonomi untuk menyimpan dollar AS di dalam negeri, sementara pemerintah menekan impor (barang mewah) sekaligus mendorong ekspor serta memastikan tidak ada korban pemutusan kerja dari sektor industri.
Meski begitu, persoalan tidak selesai begitu saja. Dewan Gubernur BI menilai ketidakpastian pengurangan bertahap (tapering) stimulus moneter oleh the Fed terus akan terus memberikan tekanan pada pasar keuangan di berbagai negara. Penarikan modal dan meningkatnya risiko investasi menyebabkan penurunan harga saham, meningkatnya yield obligasi, dan pelemahan nilai tukar. Dan itu terjadi di hampir semua emerging market.
Tekanan yang tinggi pada pasar keuangan global ini terjadi di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dan kawasan Asia, termasuk China dan India, serta terus menurunnya harga komoditas primer, kecuali harga minyak. “Kondisi ini akan terus memberikan tekanan pada kinerja perdagangan dan pasar keuangan Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah dalam siaran persnya.
BI juga melakukan langkah tak biasa dengan menaikkan suku bunga acuan dua kali dalam periode kurang dari satu bulan, yaitu pada awal dan akhir Agustus. Otoritas menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps dari 6,5 persen menjadi 7 persen. BI juga menaikkan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 7 persen dan suku bunga deposit facility sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen.

Jaga Inflasi
Langkah menaikkan BI Rate itu diharapkan dapat memperkuat pengendalian ekspektasi inflasi dan memitigasi risiko pengaruh pelemahan rupiah terhadap inflasi dan sebaliknya. “Kebijakan ini juga sebagai bagian dari langkah untuk menekan defisit transaksi berjalan menuju pada tingkat yang sehat dan berkesinambungan,” kata BI lagi.
Level suku bunga 7 persen terakhir kali terjadi empat tahun lalu, tepatnya pada Juni 2009. Saat itu, suku bunga turun dari tingkat 7,25 persen yang ditetapkan sebulan sebelumnya. BI sendiri sejak 9 Februari 2012, tidak pernah menaikkan tingkat suku bunga. Mereka mempertahankan suku bunga di posisi 5,75 persen dalam 15 bulan hingga Mei 2013. Adapun suku bunga tertinggi terjadi pada periode 6 Desember 2005 sampai dengan 5 April 2006, yaitu di angka 12,75 persen.
Di sisi lain sampai 28 Agustus 2013 lalu, rupiah ditutup pada Rp10.945 per dolar AS, atau terdepresiasi sebesar 11,9 persen secara point-to-point dari posisi akhir Desember 2012.
Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengatakan kebijakan menaikkan suku bunga acuan dilakukan demi menjaga inflasi dan nilai tukar. Langkah tersebut juga sudah mempertimbangkan kondisi global yaitu kemungkinan bank sentral AS akan melakukan pengurangan quantitative easing  pada September dan kemungkinan melonjaknya harga minyak karena gejolak di Suriah dan Mesir. “Ini adalah kondisi yang kita perlu respons karena kita tidak ingin (inflasi) ini menjadi dua digit,” ujar Agus yang memprediksi bahwa inflasi akan berada di level 9-9,8 persen dengan kenaikan BI Rate ini.
Berdasarkan survei yang dilakukan Wall Street Journal terhadap 50 ekonom pada Maret lalu didapati sebuah prediksi mengenai kapan kebijakan stimulus The Fed akan berakhir. Ekonom-ekonom tersebut memprediksi bahwa kebijakan pembelian obligasi masih akan berlangsung setidaknya setahun lagi. sementara suku bunga jangka pendek rendah akan bertahan dalam dua tahun ke depan.
Para ekonom yang disurvei juga menyimpulkan bahwa pada November 2013, Mei 2014, dan Juni 2015 akan berlangsung peristiwa penting. Mereka memprediksi pada waktu-waktu itu, The Fed akan mulai mengurangi pembelian obligasi bulanannya, menghentikan pembelian obligasi dan mulai mempertimbangkan secara serius untuk menaikkan suku bunga jangka pendek.
Maka dari itu mata para investor dan regulator di seluruh dunia saat ini tengah tertuju pada bank sentral AS tak terkecuali Bank Dunia. Jika The Fed menaikkan suku bunga maka tak pelak hal itu akan diikuti oleh lebih banyak otoritas di negara lain. Oleh karena itu lembaga donor itu mengkhawatirkan dampak ekonomi yang terjadi jika bank sentral di berbagai negara mulai menghentikan kebijakan pelonggaran moneter.
Maka dari itu Bank Dunia kini memonitor secara ketat segala kemungkinan dari kebijakan-kebijakan moneter tersebut, terutama implikasinya bagi dana bantuan pembangunan. Selama hampir lima tahun belakangan bank-bank sentral negara maju telah melancarkan sejumlah pelonggaran moneter yang bertujuan merangsang ekonomi mereka. Langkah yang diambil mencakup suku bunga yang sangat rendah serta program pembelian obligasi guna menjaga bunga kredit jangka panjang tetap rendah.
 “Salah satu kehawatiran kami adalah apa yang akan terjadi jika kelonggaran ini mendadak dihentikan dan apa dampaknya bagi permodalan untuk negara-negara berkembang,” kata Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim.

Ekonomi Mengetat
Di lain pihak, keputusan bank sentral yang menaikkan BI Rate menjadi 7 persen dinilai beberapa kalangan tidak efektif untuk mengatasi inflasi dan menghambat merosotnya nilai rupiah terhadap dollar AS. Langkah itu hanya akan meningkatkan suku bunga kredit dan menurunkan daya beli masyarakat.
Menurut Rektor Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII), Anthony Budiawan kebijakan menaikkan suku bunga tidak tepat diambil. "Sebetulnya inflasi yang terjadi di Indonesia ini bukan karena moneter, sehingga tidak tepat apabila kebijakan moneter yang diambil," kata dia.
Inflasi yang terjadi, kata Anthony, disebabkan karena dua hal, yaitu kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan kelangkaan barang. Pemerintah sudah menaikkan harga BBM bersubsidi sejak Juni dan hampir bersamaan dengan itu terjadi kelangkaan pada beberapa komoditas kebutuhan pokok masyarakat . “Jadi, mau naik berapapun BI Rate itu, tetap saja inflasi,” kata Anthony.
Senada dengan itu, pengamat ekonomi dari STIE Prasetya Mulya, Djoko Wintoro menerangkan, keputusan menaikkan BI Rate sebesar 50 basis poin dalam satu bulan adalah langkah yang kurang pas diambil di masa seperti saat ini.
Menurut dia, dinaikkannya BI Rate berpotensi memberikan dampak domino yang pada akhirnya justru akan membebani kalangan usaha dan pemerintah sendiri dari sisi pajak. “Dengan adanya BI Rate ini dipandang perbankan sebagai minimum rate yang harus ditanggung untuk dinaikkan. Kalau bunga kredit dinaikkan maka beban bunga utang yang ditanggung pengusaha juga meningkat," kata Djoko.
Jika beban bunga meningkat, lanjut Djoko, beban pokok usaha juga akan ikut meningkat. Sementara beban pokok usaha meningkat, pengusaha juga sulit melakukan penaikan harga jual produk lantaran daya beli masyarakat menurun.
Sementara itu pelaku usaha menilai bahwa langkah menaikkan BI Rate sebagai sinyal penjelas kepada pasar setelah otoritas mengeluarkan beberapa paket kebijakan yang dinilai belum jelas. “Begitu terjadi pelemahan rupiah tidak ada action dari otoritas moneter pasar mulai merasa takut. Ya takut, ini arahnya mau ke mana. Sementara, kita tahu lelang pemerintah kemarin SUN sudah hampir 8,7 persen untuk yang sepuluh tahun, sementara BI Rate masih 6,5 persen. Nah, disparitasnya terlalu jauh, pasar bingung, ini mau kemana,” kata pengusaha Chairul Tanjung yang juga Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN).