Bumi selalu berputar, begitupun
kehidupan yang ada di dalamnya. Karena putaran itulah suatu kejadian kerapkali
berulang dan berulang. Begitu pula dengan krisis ekonomi dunia. Menurut Luthfi
Hamidi dalam buku The Crisis (2012), jika konstelasi ekonomi yang ada sekarang
ini terus dipertahankan maka krisis akan selalu berulang, bahkan siklusnya akan
makin cepat.
Apa yang diungkapkan buku itu memang tidaklah
berlebihan. Krisis di zaman ekonomi modern sepanjang abad 20 lalu, terjadi
dalam siklus 20 tahunan. Misalnya krisis ekonomi yang terjadi tahun 30-an atau ternama
dengan sebutan The Great Depresion, kemudian dua dekade berselang terjadi juga
krisis pada tahun 50-an, dan disusul tahun 70-an. Krisis siklus 20 tahunan
berikutnya adalah krisis ekonomi di akhir 90-an yang menjungkirbalikkan ekonomi
RI.
Setelah itu, siklus krisis yang
membawa angin resesi ekonomi tampaknya mulai berputar lebih cepat menjadi 10
tahun. Hal itu ditandai dengan krisis ekonomi dunia yang berawal dari pecahnya
gelembung properti di Amerika Serikat pada tahun 2008.
Dan kini, seperti yang ditulis dalam
buku The Crisis, siklus kejatuhan ekonomi terasa lebih cepat lagi. Pada tahun
ini, percik-percik krisis sudah mulai
meletup yang ditandai dengan kembalinya aset-aset dollar ke rumahnya di AS sana.
Perekonomian di banyak negara termasuk Indonesia mulai guncang. Pertumbuhan
melemah, nilai tukar melorot, dan aset-aset domestik yang anjlok menjadi
beberapa indikator yang bisa dilihat.
Meski begitu, krisis yang berada di
depan mata saat ini sebenarnya membawa pesan positif karena itu adalah pertanda
resesi dunia yang berlangsung sejak 2008 akan segera usai. Ya, berbeda dengan
krisis 2008 yang disebabkan oleh ambruknya ekonomi AS, turbulensi tahun ini
justru disebabkan membaiknya ekonomi negeri Paman Sam itu. Kendati demikian
dua-duanya membawa kisruh ekonomi yang mengkhawatirkan dunia.
Akan tetapi, krisis tak melulu soal
kesusahan dan kesedihan. Krisis juga membawa kelucuan dan keunikan tersendiri.
Pada krisis 2008, di Kanada, muncul minuman beralkohol yang disebut ”Bailout
Bitter” dengan tagline-nya ”bitter
ale for bitter times” (minuman pahit di kala waktu yang pahit).
Kejadian unik juga sempat terjadi di
India ketika muncul berita menghebohkan yang mengabarkan adanya pasangan muslim
India yang melakukan ijab kabul melalui telepon. Prosesi suci tersebut
dilakukan karena pengantin pria yang
tinggal di luar negeri tidak memiliki uang untuk pulang. Seluruh penduduk desa
turut menyaksikan peristiwa itu. Penghulu mengaktifkan mode speaker phone dalam sesi itu.
Di Rusia, krisis finansial global 2008
berdampak pada penurunan tingkat konsumsi vodka yang cukup tajam. Menurut data
Asosiasi Minuman Beralkohol Nasional, pasokan vodka saat ini enam kali lebih
banyak dari biasanya. Vodka merupakan minuman yang dikategorikan sebagai
minuman nasional yang ditemukan dan dikonsumsi sejak abad ke-14. Bahkan vodka
dianggap sebagai “air kehidupan”.
Anak Buah jadi Komandan
Krisis kali ini juga membawa keunikan
sendiri bagi otoritas di Tanah Air. Indonesia memang sudah lebih siap untuk
menghadapi krisis 2013 ini –jika memang sudah disimpulkan demikian. Saat ini
pemerintah memiliki Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), yang
berisi semua otoritas perekonomian yang ada di negeri ini. Apalagi dengan
berdirinya Otoritas Jasa Keuangan, Indonesia kini dianggap memiliki kemampuan
lebih baik dalam menangkal risiko terburuk dari krisis keuangan.
Tiga otoritas utama di dalam forum
penangkal krisis itu adalah Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI) dan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Satu anggota lagi adalah Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS).
Nah,
seperti juga roda ekonomi yang terus bergerak dan berputar, orang-orang di
belakang kendali otoritas-otoritas itu juga berputar, bergeser dan berubah.
Putaran itu menggeser orang-orang di dalamnya, bahkan membawa seseorang yang
tadinya di bawah menjadi di atas.
Pada 2008, Agus DW Martowardojo masih
menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri. Artinya, saat itu dia masih
menjadi pihak yang diawasi oleh Bank Indonesia, masih sering dipanggil ke
Thamrin terkait kegiatan pengawasan dan pengaturan perbankan.
Namun sejak Mei 2013, lelaki kelahiran
Amsterdam, Belanda, 57 tahun lalu itu, telah menjadi orang nomor satu di Bank
Indonesia. Dengan kalimat lain, lulusan Universitas Indonesia itu berputar dari
yang tadinya diawasi bank sentral menjadi pihak yang mengawasi –setidaknya
sampai 2014.
Bahkan, sebelumnya, sejak 2010, mantan
direktur utama di beberapa bank nasional itu juga sempat menjabat sebagai
Menteri Keuangan. Saat itu, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang OJK,
Agus Martowardojo, selaku Menteri
Keuangan adalah koordinator dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan.
Sementara itu, Muliaman D Hadad, pada
2008 lalu masih mengawasi perbankan karena posisinya sebagai Deputi Gubernur
BI. Kemudian pada 2012, mantan Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan di
BI itu dipilih parlemen untuk menakhodai otoritas baru yang menjadi watchdog bagi seluruh lembaga keuangan dan
juga pasar modal di Tanah Air. Posisinya meningkat dari hanya mengawasi bank
saja, menjadi semua lembaga keuangan yang ada.
Chatib Basri lain lagi. Saat krisis
global 2008 berkecamuk, dia ditunjuk sebagai penasehat khusus Menteri Keuangan.
Artinya saat itu Chatib masih menjadi ‘orang luar’ di jajaran Kementerian
Keuangan. Namun pada Mei 2013, mantan kepala lembaga penelitian ekonomi di UI
ini ditunjuk menjadi Menteri Keuangan menggantikan Agus Martowardojo.
Chatib yang juga sempat memimpin Badan
Koordinasi Pasar Modal, kini berubah dari anak buah menjadi komandan. Ya,
Chatib, saat ini menjadi koordinator dalam forum penangkal dan mitigator krisis
yang mana semua otoritas berkumpul untuk mengambil peran. Sebagai Menteri
Keuangan, seperti diamanatkan dalam undang-undang, Chatib adalah koordinator
forum tersebut yang di dalamnya ada Gubernur BI dan Ketua OJK serta LPS.
Pada saat memimpin forum itulah muncul
kondisi yang boleh dibilang unik. Chatib, sebagai orang yang paling ‘muda dan
junior’ justru menjadi ketua dalam forum pengendali sistem keuangan nasional
itu. Di dalam forum itu Chatib harus berhadapan dengan senior-seniornya. Selain
pernah menjadi subordinat dari salah satu seniornya itu, dalam soal umur,
Chatib juga menjadi yang paling muda.
Chatib yang kini berusia 48 tahun
lulus kuliah pada 1992. Sedangkan Agus Martowardojo yang berumur 57, lulus di
tahun 1984, berbarengan dengan Muliaman D Hadad, 53 tahun. Ketiganya kuliah di
kampus yang sama, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Oleh karena itu dalam rapat-rapat –dan
tentunya dalam penentuan keputusan krisis keuangan di Indonesia– boleh dibilang peran dan kedudukan Chatib Basri
berada di atas dua seniornya itu.
Kita memang tak boleh menyimpulkan
bahwa Chatib akan sedikit ‘minder’ saat berhadapan dengan dua seniornya itu di
dalam ruang rapat FKSSK. Meski harus berhadap-hadapan dengan mantan atasan
serta seniornya itu Chatib kemungkinan tidak akan merasa inferior dalam forum
tersebut karena memiliki kompetensi kuat di bidang makroekonomi,
Bahkan Muliaman sempat memuji ‘juniornya’
itu ketika terpilih menjadi menteri keuangan. “Chatib memiliki kompetensi dan
kapabilitas yang baik. Salah satunya, karena Chatib menguasai makroekonomi
secara mendalam, yang menjadi peran utama Kementerian Keuangan dalam forum
tersebut. Kerja antara OJK dan Kemenkeu dalam FKSSK bisa berjalan baik,” komentar
dia.
Namun demikian, di Indonesia, tak bisa
dinafikan begitu saja bahwa senioritas masih sangat kental berperan dalam
proses menelurkan sebuah keputusan. Sikap ewuh
pakewuh seringkali menjadi kerikil-kerikil penghalang dalam menghasilkan
sebuah keputusan penting. Kondisi itu bisa mendorong kemungkinan terjadinya
pengambilan keputusan di luar forum yang resmi.
Akan tetapi bolehlah kita berharap,
bahwa ketiga otoritas itu (plus LPS) bisa mendahulukan kepentingan perekonomian
nasional ketimbang harus tersandung persoalan senioritas dan ewuh pakewuh. Jadi, biarlah kondisi itu menjadi
kisah unik saja bagi kita semua dalam menghadapi situasi turbulensi –yang mudah-mudah
tidak menjadi krisis keuangan– ini.