Kamis, 10 Januari 2019

Alarm Krisis dari George Soros


Ekonomi dunia tidak henti-hentinya berada dalam ancaman krisis keuangan. Kini ketika otoritas moneter negara maju mulai menaikkan bunga acuan mereka, dan kondisi Eropa masih labil, spekulan kawakan George Soros mengatakan krisis keuangan besar bisa saja terjadi.


George Soros memang momok bagi para pelaku di industri keuangan. Tindak tanduk dan perkataannya terkait pasar keuangan seringkali menjadi acuan para investor, dan bahkan otoritas moneter.
Akhir Mei, George Soros berbicara di Paris, Prancis di hadapan anggota Dewan Uni Eropa bidang Hubungan Luar Negeri. Pidato, dari orang yang bisa menggerakkan pasar keuangan, yang mengguncang pasar keuangan dunia, tentu berpengaruh. Apalagi dalam pidatonya yang berjudul “How to Save Europe” Soros mengungkapkan hal yang kemudian dikutip media-media di seluruh dunia bahwa kita semua kemungkinan menuju krisis keuangan lainnya. 
Mengutip Bloomberg, pemutusan kesepakatan nuklir dengan Iran dan ‘kehancuran’ aliansi transatlantik antara Uni Eropa dan AS akan berdampak negatif pada ekonomi Eropa dan menyebabkan masalah lainnya, termasuk pelemahan mata uang di emerging market. “Kita kemungkinan tengah menuju krisis keuangan besar lainnya,” kata dia yang kemudian menjadi headline media-media di Eropa dan global.
                Peringatan keras dari Soros ini tidak serta merta muncul karena vested interest-nya pada pasar keuangan dan investasi global. Maklum dia dikenal sebagai investor global yang langkahnya bisa menggerakkan investor-investor kakap lainnya dan membuat goncang sebuah negara.
                Peringatan dari Soros itu muncul karena imbal hasil obligasi Italia telah melonjak ke posisi tertinggi beberapa tahun terakhir. Selain itu, negara-negara berkembang utama -termasuk Turki dan Argentina- sedang berjuang untuk menahan kejatuhan ekonomi akibat inflasi yang tinggi.
Dalam kesempatan yang sama, Soros juga menawarkan tiga poin proposal untuk mempertahankan status Uni Eropa. Seperti dilaporkan CNBC, aliansi negara-negara Eropa telah berada di bawah tekanan karena negara yang lebih besar dan lebih kuat menuntut agar mereka mengencangkan ikat pinggang untuk mengurangi utang. Hal ini telah menyebabkan tingginya angka pengangguran di negara-negara seperti Yunani dan Italia. Kondisi ini diperparah dengan tingginya angka migrasi dari Timur Tengah dan Afrika ke sejumlah negara yang saat ini tengah berjuang mengatasi krisis keuangan.
Aliansi Eropa telah berada di bawah tekanan karena negara-negara yang lebih besar dan lebih kuat menuntut agar mereka yang bergumul mengekang pengeluaran mereka untuk mengurangi utang. Penegakan yang diberlakukan ini telah menyebabkan tingginya angka pengangguran di negara-negara seperti Yunani dan Italia. Ditambahkan ke campuran adalah lonjakan migrasi dari Timur Tengah dan Afrika ke banyak negara yang sudah berjuang di belakang krisis keuangan.
                Masalah yang tak kalah krusial yang bisa merusak ekonomi Eropa adalah disintegrasi wilayah. Dalam kesempatan yang sama di Paris, Soros menggambarkan keluarnya Inggris dari Uni Eropa sebagai hal yang "sangat merusak" dan "berbahaya bagi kedua belah pihak". Dia berpendapat, Brussels harus mengubah citra Uni Eropa sebagai sebuah asosiasi bahwa negara-negara ingin bergabung.
                Tak pelak pidato Soros itu menjadi sorotan negara-negara di Eropa dan dunia. Soros adalah investor kawakan yang disebut-sebut bertanggung jawab atas gejolak yang dialami Bank of England yang terkenal akan peristiwa "Hari Rabu Hitam" pada tahun 1992. Waktu itu, dia membeli poundsterling dalam jumlah besar dan kemudian menjualnya hingga membuat nilai mata uang Negeri Ratu Elizabeth itu ambruk dan ekonominya terguncang hebat.
                Soros juga disebut-sebut sebagai biang keladi krisis moneter di Asia 1997-1998 yang akhirnya meluluhlantakkan ekonomi Indonesia. Adalah Mahathir Mohamad, perdana menteri Malaysia saat itu –yang kini menjabat lagi, menuduh pria Hunggaria-Amerika itu sebagai penyebab krisis ekonomi Asia karena tindakan spekulasi di pasar uang. Indonesia adalah negara yang paling parah terdampak dari depresiasi nilai tukar itu hingga mengalami resesi beberapa tahun.

Normalisasi Kebijakan
                Indonesia, sebagai negara terbuka dan juga mengadopsi kebijakan devisa bebas tentu akan selalu terpengaruh dengan gejolak Eropa dan global. Bahkan tantangan otoritas moneter serta fiskal akan lebih berat lagi ketika berhadapan dengan perubahan kebijakan yang terjadi pada Bank Sentral AS dan juga Bank Sentral Eropa.
                The Federal Reserve dan Europe Central Bank tengah melakukan normalisasi kebijakan moneter setelah dalam beberapa tahun belakangan cenderung memompa likuiditas ke pasar untuk menggerakkan ekonomi yang tersandera pelemahan. The Fed diprediksi akan menaikkan bunga acuannya empat kali pada tahun ini, dan sampai Juni sudah dilakukan dua kali. Sementara proses normalisasi kebijakan moneter ECB dilakukan dengan mengurangi penjualan aset mulai September mendatang.
“Risiko di pasar keuangan juga masih tinggi. BI siap untuk melakukan langkah-langkah pre-emtive front loading, dan ahead of the curve dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang akan datang,” kata Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, Juni lalu.
"Bentuknya dapat berupa kenaikan suku bunga, dan juga dalam bentuk relaksasi kebijakan makro prudensial yaitu untuk mendorong sektor perumahan. Itu yang akan kami lakukan pada RDG mendatang.”
Nilai tukar rupiah yang berfluktuasi dalam tren pelemahan dan menembus rekor tertinggi dalam dua tahun terakhir di level Rp14.400-an awal Juli lalu, menjadi fokus utama BI dalam menangkal gejolak ekonomi. Akan tetapi langkah preemptive BI yang menaikkan suku bunga 7 Day Repo Rate tiga kali berturut-turut dalam dua bulan di mana salah satunya melalui rapat gubernur di luar jadwal, akan sulit membawa rupiah menguat kembali.
                Faktor global bisa jadi penghambat keinginan itu yang salah satunya disebabkan instabilitas politik dan ancaman krisis keuangan di Italia. Selain Italia ada Turki dan Argentina yang dikhawatirkan memicu krisis sistemik global, serta negosiasi AS dan China yang belum menemui titik terang dan berpotensi melanjutkan perang dagang kedua negara itu.
                Bahkan kebijakan-kebijakan dari otoritas moneter dunia bisa menjadi pemicu krisis lainnya. Seperti dilaporkan The Economist, berdasarkan sebuah riset dari Deutsche Bank, kecenderungan bank-bank sentral memangkas suku bunga sejak 2008 untuk membeli aset secara langsung, akan memicu krisis. “Langkah ini membawa krisis ke penghentian sementara tetapi setiap siklus tampaknya menghasilkan tingkat utang dan harga aset yang lebih tinggi,” kata tulisan yang dipublikasikan akhir 2017 itu.
                Langkah menurunkan suku bunga disebabkan kecenderungan dari peningkatan utang dari swasta dan negara. Utang digunakan untuk membiayai pembelian aset, dan ketersediaan kredit yang lebih besar mendorong harga aset lebih tinggi. Namun, dari waktu ke waktu, pemberi pinjaman kehilangan kepercayaan pada kemampuan peminjam untuk membayar dan menghentikan pemberian pinjaman; penjualan aset gila-gilaan kemudian menjadi akibatnya dan semakin melemahkan keyakinan dalam kelayakan kredit.
                Hal inilah yang dinilai Deutsch akan memicu krisis. Menurut studi itu, terkait pengembalian aset jangka panjang menunjukkan bahwa krisis di negara-negara maju telah menjadi lebih umum dalam beberapa dekade terakhir. Bahkan siklusnya terjadi dalam waktu yang lebih singkat.
                Deutsche mendefinisikan krisis sebagai periode ketika suatu negara menderita salah satu dari hal berikut. Pertama, penurunan ekuitas tahunan sebesar 15 persen; kedua, jatuhnya mata uang atau obligasi pemerintahnya sebesar 10 persen; ketiga, gagal bayar atas utang nasionalnya; atau suatu periode di mana inflasi terjadi dua digit. “Sejak tahun 1980-an, dalam beberapa tahun lebih dari setengah negara-negara maju mengalami krisis keuangan,” kata tulisan itu.
                Kini bank-bank sentral negara-negara maju mulai menarik diri dari kebijakan moneter yang sangat longgar. Di AS, Fed telah meningkatkan suku bunga dan mulai melepaskan neraca keuangannya, di zona euro ECB mulai memperkecil kebijakan quantitative easing, dan di Inggris, Bank of England bisa berada di ambang kenaikan suku bunga pertama di lebih dari sepuluh tahun.
(DITERBITKAN JULI-AGS 2018)




Risiko Global Mulai Merebak


Beberapa ancaman yang berasal dari faktor global sudah mulai menghadang perekonomian nasional, sesuai perkiraan beberapa pihak. Kondisi ini membuat target pertumbuhan ekonomi kembali akan menghadapi jalan terjal.

Sejak akhir tahun lalu, para peramal ekonomi, baik yang berasal dari otoritas, lembaga keuangan, dan dari kampus-kampus ternama, sudah mewanti-wanti kondisi global yang lebih menantang yang harus dihadapi oleh perekonomian Indonesia pada 2018. Menjelang paro pertama tahun ini terlewati, prediksi-prediksi itu mulai muncul di hadapan para pengelola ekonomi.
                Di antara risiko itu adalah perang dagang global dan proteksi yang meningkatkan tekanan pada neraca pembayaran dan juga risiko dari peningkatan utang luar negeri Indonesia. Keduanya sudah membuat nilai tukar rupiah terpuruk yang memunculkan kekhawatiran akan adanya letupan krisis seperti 20 tahun lalu.
                Kondisi itu, dinilai sebagian pengamat, akan memaksa Bank Indonesia memilih untuk lebih fokus pada stabilitas keuangan ketimbang risiko inflasi. Radhika Rao, ekonom dari Bank DBS untuk wilayah Eurozone dan India, mengatakan kondisi itu juga akan memaksa BI mulai mengerek suku bunga paling cepat pada semester kedua. “BI cenderung lebih fokus pada stabilitas keuangan daripada risiko inflasi, meningkatkan risiko bahwa kenaikan suku bunga mungkin dibawa ke depan ke kuartal kedua 2018,” kata dia dalam rilis yang diterima Stabilitas.
                Pilihan untuk lebih memberikan perhatian kepada stabilitas keuangan bukannya tanpa alasan, terutama ketika melihat indikator-indikator yang mulai dan akan muncul di 2018 ini. Pertama, adalah indikator pada defisit transaksi berjalan. Menurut siaran pers yang sama, dikatakan bahwa setelah adanya perbaikan antara tahun 2013-2017, defisit transaksi berjalan tampaknya akan kembali di atas 2 persen dari PDB pada tahun ini.
Harga komoditas yang lebih tinggi telah mengangkat ekspor tetapi ini sebagian diimbangi oleh defisit perdagangan minyak dan gas yang melebar. Impor dan arus keluar yang lebih tinggi di bawah segmen pendapatan primer juga dinilai menambah stres perekonomian.
"Terlepas dari kestabilan ini, ekonomi menghadapi berbagai tantangan – harga minyak tinggi, mata uang dolar AS menguat, dan kenaikan tajam pada suku bunga AS. Ini membawa implikasi negatif bagi posisi neraca pembayaran ekonomi (BOP), fiskal, inflasi, persyaratan pembiayaan, dan arah kebijakan,” jelas Duncan Tan, Bank DBS FX & Rates Strategist – ASEAN.
                Yang kedua, indikator utang luar negeri. Saat ini angkanya jika dibandingkan dengan PDB telah mencapai kurang lebih 30 persen dalam beberapa tahun terakhir. “Dengan rincian, cakupan cadangan untuk pembayaran utang eksternal jangka panjang lebih rendah di 0,4 kali tetapi melebihi 2,0 kali jika dibandingkan dengan utang jangka pendek (asli dan sisa jatuh tempo),” kata Duncan.
Sektor swasta menyumbang lebih dari separuh jumlah total utang luar negeri, lebih dari 80 persen di antaranya dimiliki oleh entitas non-bank. Kombinasi dari suku bunga yang lebih tinggi dan dollar AS yang terus menguat menimbulkan risiko pendanaan potensial. Kondisi itu menitikberatkan perlunya pihak berwenang untuk terus membangun cadangan guna melindungi setiap risiko penurunan terhadap neraca pembayaran dan atau kenaikan lebih lanjut dalam stok utang luar negeri.
                Dengan kondisi itu, menurut para analis dari DBS, ruang untuk stimulus fiskal menjadi semakin terbatas dan membuat prospek pertumbuhan menjadi kian menantang. Selain itu, aturan ketat membatasi defisit anggaran hingga 3 persen dari PDB dan potensi penurunan pendapatan cenderung menahan kapasitas untuk kebijakan fiskal akomodatif. “Defisit anggaran diperkirakan akan melebar hingga di atas 2,5 persen dari PDB untuk empat tahun berturut-turut, lebih tinggi dari target defisit resmi pemerintah sebesar 2,2 persen,” kata siaran pers.
                Pemerintah bukannya tidak menyadari tantangan dan risiko yang dihadapi tersebut, di saat nilai tukar rupiah terus melemah. Dalam beberapa waktu terakhri, nilai tukar rupiah sudah melewati level psikologis Rp14.000 per dollar AS. Dalam rapat yang digelar di kantor Kepresidenan, pertengahan Juni lalu, Presiden Joko Widodo meminta jajarannya mewaspadai risiko ketidakpastian global dan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia.
Beberapa risiko dimaksud Presiden antara lain volatilitas keuangan global yang dipicu normalisasi moneter Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. Lalu ada pula faktor lain seperti meningkatnya harga minyak, perang dagang Amerika-Tiongkok, hingga kondisi geopolitik.
“(Volatilitas keuangan) banyak mengakibatkan depresiasi mata uang dunia, termasuk Indonesia,” kata Jokowi dalam rapat terbatas mengenai kebijakan ekonomi makro dan pokok kebijakan fiskal 2019.
Menurut dia, momentum pertumbuhan ekonomi kuartal pertama sebesar 5,06 persen harus ditingkatkan. Caranya, dengan menjaga daya beli, meningkatkan investasi, serta daya saing ekspor nasional. Karenanya, hambatan ekspor harus diperbaiki antara lain terkait perizinan, akses perbankan dan pembiayaan, perpajakan, serta kepabeanan.
                Ari Kuncoro, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, mengungkapkan risiko global yang berasal dari perkembangan yang terjadi di Amerika Serikat berpotensi menahan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu kebijakan Presiden Trump yang menuai kritik adalah rencana kenaikan bea impor baja sebesar 25 persen dan alumunium sebesar 10 persen.
Jika ekonomi dunia terganggu, Indonesia akan ikut terpengaruh. “Kalau pertumbuhan ekonomi dunia kurang, potensi China dan India untuk membeli barang (ekspor) Indonesia akan turun, jadi tambahannya sekarang yang harus kita lihat juga adalah kondisi luar negeri juga,” ujar Ari.

Rekomendasi IMF
Sebelumnya dalam sebuah pertemuan Musim Semi dengan World Bank, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde memberikan sinyal bahwa perjalanan tahun ini memang akan berat. Di antaranya karena adanya ancaman ancaman perang dagang China dan AS, kebijakan ekonomi yang ketat dari banyak negara, serta naiknya utang publik dan swasta. “Dalam jangka pendek, global ekonomi masih akan terang, hanya di sisi lain, kami juga melihat ada akumulasi hambatan di masa depan,” ujar Lagarde kepada jurnalis di Spring Meeting IMF-World Bank di Washington DC April lalu.
Menurut bos IMF itu, pemerintah di banyak negara harus memperhatikan kenaikan risiko utang. Cataan IMF, utang global saat ini naik 225 persen dari gross domestic product global yakni mencapai 164 triliun dollar AS. Ini adalah rekor utang tertinggi sejak tahun 2016. Bahkan di negara-negara maju kenaikan level utang tertinggi sejak perang dunia kedua, artinya mayoritas utang dilakukan oleh negara-negara maju. Di negara-negara dengan pendapatan rendah juga berhadapan dengan kenaikan utang.
Dengan tantangan berat yang harus dihadapi itu, IMF mengeluarkan beberapa rekomendasi. Pertama, meningkatkan reformasi struktural. Saat ekonomi membaik, segera perbaiki ekonomi, segera indentifikasi apa saja yang bisa mendorong ekonomi dalam jangka menengah, mencegah pemburukan ekonomi. “Untuk negara-negara maju bisa membantu negara-negara dengan pendapatan rendah menuju pembangunan berkelanjutan di 2030,” ujar Lagarde.
Kedua, persiapakan bantalan ekonomi. IMF menyarankan agar pemerintah di banyak negara menyiapkan ruang untuk bisa tetap mendorong ekonomi saat risiko keuangan naik. Rekomendasi IMF adalah dengan menurunkan defisit anggaran secara gradual, termasuk fleksibilitas nilai tukar.
Ketiga, menjauhi semua proteksi perdagangan. “Saya percaya semua negara bisa melakukan lebih untuk melindungi perdagangan di negaranya dari pengaruh global yang muncul sebagai akibat perubahan teknologi dan perdagangan. Hanya perlu diingat, tak ada manfaat dari perang dagang,” kata Lagarde.
Dalam sejarahnya, kata Lagarde, IMF tidak melihat bukti bahwa pembatasan perdagangan secara sepihak terbukti membantu. “Jadi, dalam pandangan IMF, lebih baik kita bekerja sama untuk menyelesaikan ketidaksepahaman perdagangan untuk mengatasi hambatan ekonomi di masa depan,” ujar Lagarde.
Pada akhir tahun lalu, Bank Indonesia sudah memprediksi bahwa ekonomi Indonesia akan menghadapi sederet tantangan global. Di antaranya adalah berlanjutnya tren pengetatan kebijakan moneter di beberapa negara maju yang berisiko memengaruhi arah pergerakan likuiditas dunia. Selanjutnya adalah pertumbuhan ekonomi global yang tidak sekuat perkiraan dan juga risiko memanasnya geopolitik yang disebabkan oleh krisis semenanjung Korea. Selain itu juga tantangan dari kembalinya gejala proteksionisme dari negara utama perdagangan global yang dapat memperlambat pertumbuhan perdagangan dunia.
(DITERBITKAN MEI-JUNI 2018) 


GCG: Akar Masalah yang Terlupakan


Kualitas praktik tata kelola perusahaan yang baik di industri keuangan di Indonesia terlihat mulai menurun, berdasarkan sebuah riset. Selain itu, dibutuhkan pula aturan baru terkait perkembangan baru di bisnis terkait perubahan teknologi.


Krisis ekonomi tahun 1998 memang menjadi tonggak pembenahan bagi banyak hal dalam pengelolaan perekonomian Indonesia. Banyak aturan  yang muncul setelah pengalaman paling pahit dalam sejarah ekonomi setelah era pembangunan yang tentunya tidak ingin terulang itu. Satu aturan yang paling monumental adalah soal tata kelola perusahaan yang baik atau sering disebut good corporate governance (GCG).
                Ya, tata kelola perusahaan (yang buruk) memang menyeruak menjadi salah isu krusial karena dianggap menjadi salah satu penyebab runtuhnya ekonomi Indonesia 20 tahun lalu. Lebih banyak bank yang saat itu ambruk karena pengelolaan yang buruk, ketimbang karena serangan nilai tukar rupiah yang anjlok.
                Agar keadaan seperti itu tidak terulang, sejak 2006, otoritas perbankan yang waktu itu dipegang oleh Bank Indonesia, sudah menerbitkan aturan pelaksanaan GCG bagi bank umum. Dalam Peraturan  Bank Indonesia (PBI) No.8/4 tahun 2006 itu bank diwajibkan melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
Namun kini penerapan GCG tampaknya mulai mengendur. Berdasarkan riset dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), dalam 10 tahun sejak 2007, nilai komposit dari penerapan GCG yang dilakukan industri perbankan masih berada dalam kisaran baik. “Rata-rata nilai GCG industri perbankan adalah 2,02 yang didapat dari 90 bank yang mengirimkan laporan dalam jangka waktu 2007-2016,” kata Kepala Divisi Riset dan Pengembangan LPPI, Lando Simatupang.
Bank diwajibkan untuk mengisi penilaian GCG dengan metode self assessment pada 11 aspek yang sudah ditetapkan oleh otoritas. Isian tersebut nantinya akan menghasilkan nilai akhir 1 sampai 5, yang mana, makin tinggi angkanya berarti makin buruk penerapan GCG di bank tersebut.
Dengan nilai rata-rata di kisaran 2 maka secara tidak langsung industri perbankan di Indonesia mengungkapkan bahwa manajemen mereka telah melakukan penerapan GCG yang secara umum dinilai baik. Apabila terdapat kelemahan dalam penerapan prinsip GCG, maka secara umum kelemahan tersebut dinilai oleh perbankan kurang signifikan dan dapat diselesaikan dengan tindakan normal oleh manajemen.
Akan tetapi jika telusuri tahun demi tahun sejak kewajiban penerapan GCG tersebut diberlakukan, terlihat adanya penurunan kualitas governance. Dalam riset LPPI tersebut ketika pertama kali diterapkan pada 2006, nilai rata-rata GCG industri perbankan berada di kisaran 1, yang berarti sangat baik (lihat grafik).
Baru setahun sejak diterapkan, nilai GCG perbankan terlihat memburuk. Malah, setelah sepanjang 2008-2010 penerapan GCG perbankan terlihat ada perbaikan, peringkatnya kembali memburuk dan mencapai puncaknya pada 2015.
Jika ditengok ke belakang, sepanjang 2011 sampai 2015 industri perbankan memang menghadapi persoalan yang tidak ringan terkait maraknya praktik kecurangan (fraud) yang mengerogoti beberapa bank umum. Dimulai ketika industri perbankan dikagetkan dengan terkuaknya pembobolan bank (internal fraud) yang dilakukan Malinda Dee, Relationship Manager Citibank pada 2011. Aksi yang dilakukannya terlihat sederhana, memindahkan dana nasabah ke rekening lain dengan menggunakan blanko kosong. Lalu ada pula pembobolan dana yang dilakukan pegawai Bank Mega terhadap simpanan dari Elnusa, perusahaan sektor minyak dan gas milik negara, yang kasusnya berlarut-larut hingga 2013.
Pada 2014 ada kasus pembobolan dana dan juga skimming kartu debit dan kredit yang menimpa Bank Mandiri. Total dana yang dicuri berjumlah puluhan miliar rupiah.
Kemudian pada 2015, mencuat kasus besar yang menimpa Bank BTPN ketika dana Rp22 miliar milik Pemerintah Kota Semarang raib dari deposito yang dikelola bank itu. Pemkot menyimpan uang sebesar Rp 22 miliar yang didepositokan ke BPTPN sejak tahun 2007 lalu dalam bentuk rekening Koran. Setelah tujuh tahun berjalan, yakni tahun 2014 lalu Pemkot mendapat rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Jawa Tengah untuk menarik deposito tersebut. Namun saat ditarik ternyata dana yang tersisa dalam deposito tinggal Rp 80 juta.

Akar Masalah
                Tata kelola perusahaan adalah subyek yang penting bagi jalannya institusi keuangan, bahkan bagi perekonomian. Mas Achmad Daniri, Ketua Komisi Nasional Kebijakan Governance (KNKG), mengatakan bahwa inti permasalahan dari bangsa yang tak kunjung tuntas. “Jika kita tidak mengobati akar persoalannya, jangan pernah berharap kita akan mengatasinya secara tuntas,”kata dia. Ia mengingatkan krisis multi dimensi pada 1998, 2008 dan saat ini, tak lepas dari persoalan governance.
Penyebab memburuknya penerapan tata kelola perusahaan di perbankan seperti yang terlihat di riset LPPI sepanjang 2011-2015, kata Daniri, biasanya disebabkan oleh intervensi terutama dari pemegang saham.
Sementara itu ketika industri perbankan menghadapi perubahan dahsyat terkait teknologi informasi, penerapan GCG dinilai akan menghadapi tantangan berat. Meski demikian, Daniri, optimistis terkait perkembangan tersebut. “Secara teori dengan dukungan IT, mestinya transparansi dan akuntabilitas lebih baik,” kata dia.
Perkembangan teknologi hanya salah satu dari perubahan dunia bisnis yang sering dikompilasi dalam istilah VUCA, yang merupakan singkatan dari Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity.
Terkait hal itu, pengamat GCG Wilson Arafat, mengatakan bahwa seharusnya aturan-aturan dalam penerapan tata kelola perusahaan juga harus dinamis mengikuti perkembangan tantangan bisnis. meski begitu, aturan-aturan itu tetap harus mengacu pada prinsip-prinsip dan framework dengan GCG yang telah ada. “Pastinya tantangan terbesar adalah mewujudkan integrated GRC (governance, risk management, compliance),” kata dia.
Menurut dia, aturan yang bisa mengadopsi perkembangan terkini yang dihadapi perbankan medesak untuk segera dirumuskan karena sesungguhnya untuk melakukannya relatif sederhana karena prinsip GCG penerapannya juga sama. “Namun begitu, aturan itu harus memahami benar proses bisnis (baru) dalam penerapannya. Sehingga viable fit dengan bisnis, bukan jadi penghambat,” kata Wilson.
Penurunan kualitas penerapan GCG di Indonesia juga terlihat ketika dibandingkan dengan negara-negara di Kawasan ASEAN. Hal itu diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, hanya dua emiten dari Indonesia yang masuk dalam daftar 50 Emiten Terbaik dalam Praktik GCG di ASEAN dalam ajang penganugerahan ASEAN Corporate Governance Awards 2015 yang diselenggarakan oleh ASEAN Capital Markets Forum (ACMF) di Manila, Filipina. Kedua emiten tersebut yaitu PT Bank Danamon Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.
“Pencapaian (Indonesia) ini tentu masih tertinggal jauh dari Thailand yang mampu menempatkan 23 emiten, Filipina 11 emiten, Singapura delapan emiten dan Malaysia enam emiten. Besar harapan saya bahwa akan banyak lagi emiten-emiten Indonesia yang mampu menembus Top 50 ASEAN Companies pada ajang ASEAN Corporate Governance Awards berikutnya," tutur Wimboh.


Prinsip-prinsip GCG

1. Transparansi
Untuk menjaga obyektifitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi
yang material dan relevan secara tepat waktu, dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh
pemangku kepentingan, tidak hanya yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan
namun hal penting dalam pengambilan keputusan pemegang saham, dan pemangku kepentingan
lain.
2. Akuntabilitas
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk
itu perlu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban setiap organ perusahaan.
3. Responsibilitas
Peusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggungjawab
terhadap masyarakat dan lingkungan untuk menjada kesinambungan usaha dalam jangka panjang.
4. Independensi
Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan
kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan
Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.




Gugup Ekonomi

Tahun 2018 memang dimulai dengan kekhawatiran yang cukup tinggi  meskipun pemerintah berupaya keras menunjukkan optimismenya kepada publik. Bayang-bayang siklus krisis 10 tahunan yang diperingatkan banyak ekonom membuat pemerintah sangat berhati-hati dalam setiap tindakan. Upaya menunjukkan optimisme itu pun sedikit terbantu dengan melajunya indeks saham ke posisi tertingginya sepanjang masa pada Februari lalu.
                Namun begitu kekhawatiran itu tidak bisa ditutupi. Pasalnya indikator-indikator ekonomi utama belum menunjukkan angka yang menggembirakan, bahkan ketika lembar kalender tahun ini tersisa sehelai. Pertumbuhan ekonomi misalnya, hingga kini belum memberikan kebanggaan kepada pemerintah, ketika pencapaiannya setiap tahun selalu lebih rendah dari target yang tertera di anggaran negara. Neraca transaksi pembayaran yang menjadi saluran penting bagi pergerakan nilai tukar juga masih defisit.
                Kegugupan itu bertambah deras ketika nilai tukar rupiah merosot ke level terendahnya sejak krisis 1998 karena beredar di level 15.200-an per dollar AS pada Oktober. Banyak yang menilai saat itu alarm krisis telah berbunyi. Pemerintah dan otoritas terkait hal itu selalu mengatakan bahwa ekonomi tetap baik-baik saja, belum bisa mengubah arah pelemahan nilai tukar. Jurus yang dipakai adalah bahwa kondisi ini tak terelakkan karena faktor eksternal, ditambah dengan jurus bahwa masih ada negara lain yang mengalami hal serupa bahkan lebih parah.
                Kemudian pada November kurs rupiah berangsur-angsur mulai menguat dan meninggalkan level Rp15.000 per dollar AS. Beberapa kebijakan Bank Indonesia di pasar moneter disebut-sebut memiliki andil terhadap penguatan itu.
Ketika nilai tukar rupiah tengah menguat, pemerintah dengan cepat meresponsnya dengan menerbitkan paket kebijakan baru yang berisi tentang penghapusan pajak, kemudahan investasi asing, dan insentif untuk devisa ekspor. Hal itu itu meneruskan lagi barisan paket kebijakan yang terhenti lebih dari setahun lalu.
Namun demikian, waktu setahun rupanya tidak cukup untuk menghilangkan masalah koordinasi dan menghilangkan kesan terburu-buru pemerintah. Pasalnya tidak sampai sehari semalam setelah Paket Kebijakan nomor 16 yang diumumkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution itu diumumkan, sudah ada revisi dan tarik menarik dari kebijakan tersebut. Kesan bahwa kebijakan tersebut belum siap untuk diluncurkan tidak bisa disembunyikan.
Pada 16 November lalu, paket tersebut diumumkan dan belum sampai 24 jam berlalu diberitakan bahwa pemerintah akan meng-update paket kebijakan itu. Adalah paket kebijakan penghapusan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang kemudian menuai kontra. Awalnya pemerintah mengumumkan akan menghapus 54 sektor usaha dari DNI dan membukanya untuk digarap oleh investor asing.
Kontra pun terbit karena pemerintah dinilai mempermudah asing dalam menggarap UMKM dan tidak melindungi sektor tersebut. Darmin kemudian mengumumkan bahwa pemerintah menunda pelaksanaan pelonggaran investasi asing. Penundaan dilakukan setelah mendengarkan masukan dari kalangan dunia usaha yang merasa keberatan dan butuh penjelasan mengenai pelonggaran tersebut. meskipun pada akhirnya ada pengumuman bahwa hal itu akan dipastikan Desember ini, tetap saja kegugupan dan ketergesaan dalam mengumumkan kebijakan itu sudah terlanjur terlihat publik.
Kini tahun 2018 tinggal menyisakan beberapa hari lagi. Mudah-mudahan tidak ada lagi kegugupan yang menjadikan ketidakpastian bisnis mengemuka. Tahun depan, adalah tahun politik. Kegugupan dan ketergesaan akan cepat dibaca publik sebagai kegagalan.
(diterbitkan Desember 2018)