Rabu, 14 Agustus 2019

Disrupsi Baru Standar Moneter


Kemunculan Libra bisa menjadi disrupsi baru pada sistem moneter dunia dan mengubah tatanan moneter yang berlaku saat ini.

Di ranah ekonomi, di bawah kolong langit ini, segala sesuatu selalu berkembang dan mengalami perbaikan. Perubahan selalu terjadi dan seringkali dipicu oleh guncangan di dalamnya yang bisa berupa stagnasi, krisis bahkan resesi. Di dalam kebijakan ekonomi global hal itu sudah hampir menjadi rumus tetap.
                Pada awal mulai mengenal perdagangan, logam mulia terutama emas dan perak dikenal sebagai alat transaksi yang diterima oleh hampir semua orang. Pada perkembangannya kemudian emas mulai dibentuk dan dijadikan mata uang. Beberapa mata uang berbahan emas dan perak dari negara yang cukup dominan dalam menjadi pemasok komoditas dagang bahkan dapat menjadi mata uang perdagangan internasional.
Mulai abad ke-18 ketika mulai muncul negara, pemerintah mulai turut campur dalam pengaturan mata uang ini, mulai pembuatan hingga peredaran. Tetapi hal itu tidak membuat pengaruh emas dan perak berkurang dalam lalu lintas perdagangan dunia
                Kebutuhan akan emas dan perak yang terus meningkat mengakibatkan kedua logam tersebut menjadi sesuatu yang langka serta mahal sehingga tidak sesuai lagi untuk menukarkannya dengan barang yang bernilai murah. Untuk itu pemerintah berusaha menanggulangi hal ini dengan menciptakan uang kertas yang tidak mengandung nilai intrinsik, tapi lebih kepada nilai nominal yang disahkan oleh negara.
                Kemudian guncangan besar pada ekonomi global pada tahun 1940-an membuat semua itu berubah. Singkat kata sistem Gold Exchange Standard dirasa sudah tidak bisa dipertahankan lagi dan pada 1944, ketika 44 negara bersepakat di Bretton Woods, New Hampshire lahirlah sistem moneter baru yang dinamkan sesuai kota itu.
                Dalam sistem Bretton Woods ditetapkan metode ‘Nilai Tukar Tetap’ (Fixed Exchange Rate), dimana dollar AS menggantikan standar emas dan menjadi mata uang cadangan utama. Penggunaan mata uang AS itu dilandasi oleh kondisi saat itu ketika perekonomian AS mendominasi ekonomi dunia. Namun saat itu penggunaan standar dollar AS tetap didukung dengan cadangan emas yang disimpan bank sentral. Disepakati bahwa setiap peredaran 35 dollar AS harus didukung dengan 1 ons emas. Kurs tetap (fixed rate) dapat diberlakukan.
Namun kesepakatan menjadikan dollar AS sebagai acuan dengan didukung cadangan emas itu berakhir pada awal 1970-an. Ketika itu AS yang tengah sibuk berperang kewalahan mengelola anggarannya dan selalu mengalami defisit besar yang membuat kurs dollar AS fluktuatif.
Karena AS kesulitan untuk menyimpan emas dalam jumlah yang sebanding dengan peredaran dollar AS, maka kesepakatan yang mengikat dollar AS dengan emas dihapus. Pemerintah AS pun melenggang untuk mencetak mata uangnya tanpa harus melihat cadangan emasnya. Tetapi hal itu justru membuat dollar AS semakin fluktuatif, seperti yang dirasakan selama ini.
Kini, setelah hampir 50 tahun berlalu, tampaknya sistem moneter sudah waktunya direvisi lagi. Perekonomian AS memang masih menjadi kekuatan terbesar di dunia, dengan produk domestik bruto yang mencapai 20,5 triliun dollar AS (2019).
Namun di bawahnya muncul pergolakan dari China. Negara Tirai Bambu yang 10 tahun lalu masih berada di bawah Jepang, kini mengalahkan Negeri Sakura itu di tempat ketiga dengan PDB mencapai 13,61 triliun dollar AS. Sejatinya China berada di tempat kedua, karena kawasan Euro yang memiliki PDB 13,67 triliun terdiri dari beberapa negara.
Akan tetapi, perubahan sistem moneter tampaknya tidak akan disebabkan oleh krisis, atau adanya perubahan komposisi yang drastis pada peringkat negara-negara yang berpengaruh dalam ekonomi global. Perubahan itu akan disebabkan oleh disrupsi.
Adalah rencana dari salah satu raksasa jejaring sosial yang akan menerbitkan mata uang digitalnya yang dinamakan Libra, mulai tahun depan. Mata uang berbasis blockchain atau cryptocurrency itu tak pelak telah mengganggu kemapanan moneter global karena akan diterbitkan oleh Facebook, media sosial yang memiliki pengguna miliaran orang di seantero dunia. 
Di era ketika data menjadi sesuatu yang sangat diperebutkan oleh semua pihak, keinginan atau rencana Facebook itu jelas menjadi kode keras bagi otoritas moneter di dunia, khususnya di AS. Dollar AS yang selama ini menjadi ‘raja’ yang diterima di seantero jagad, akan menghadapi ancaman serius dengan kehadiran Libra.
Libra disebut-sebut akan bisa digunakan untuk berbelanja, menabung, dan juga mengirimkan dana ke pihak lain dengan cara yang sama seperti mengirimkan pesan singkat. Yang masih belum bisa dilakukan bahkan dimiliki oleh Libra adalah kepercayaan.
Dengan berbasis pada blockchain –teknologi buku induk yang menyimpan semua transaksi dan bisa diakses oleh siapapun tanpa perantara pihak ketiga –otoritas moneter memang pantas khawatir. Dan sepertinya tidak sulit dan tidak akan membutuhkan waktu lama untuk memperoleh apa yang belum dimiliki oleh Libra itu.
Namun demikian, publik tentu masih terngiang bagaimana Facebook tersandung skandal penyalahgunaan data penggunanya tahun lalu. Ya, awal tahun 2018 lalu, Facebook tersandung skandal penyalahgunaan data pribadi yang konon mencapai 87 juta data yang berada di tangan firma analis data Cambridge Analytica. Hal itu pulalah yang membuat pimpinan Facebook berhadapan dengan pengadilan dan juga pembuat aturan, dan tentunya juga publik di AS.
                Dalam dunia horoskop, Libra adalah suatu rasi bintang yang redup dan tidak memiliki bintang dengan magnitudo pertama. Apakah ini bisa jadi pertanda Libra tidak jadi terbit dan akan redup sebelum bersinar?


Libra (Bakal) Mengguncang Dunia


Mata uang kripto yang akan diluncurkan Facebook tahun depan telah menyedot perhatian dunia. Kekhawatiran akan merebaknya dampak negatif dari alat pembayaran itu memaksa pelaku keuangan dan regulator untuk waspada.


Saat ini hampir semua pemerhati masalah keuangan menolehkan pandangannya ke Facebook, sebuah media sosial yang dimiliki hampir sepertiga orang di dunia. Bukan untuk memeloti status yang bersliweran di linimasa mereka, namun kepada rencana perusahaan jejaring sosial itu yang ingin membuat mata uang digital sendiri.
Facebook –bermula dari ‘mainan’ Mark Zuckerberg untuk menghubungkan teman-teman kampusnya dalam sebuah jaringan, telah berubah menjadi perusahaan raksasa yang pada 2019 bernilai 45 miliar dollar AS (setara dengan Rp630 triliun lebih, atau seperempat APBN 2019).
Setelah berhasil menempelkan beragam aplikasi pada Facebook, nampaknya Mark menginginkan sesuatu yang lebih besar lagi: alat pembayaran untuk digunakan pada aplikasi-aplikasinya. Disebut-sebut, bahwa Mark terinspirasi oleh perkembangan cryptocurrency setelah mata uang digital pertama, Bitcoin, dirilis pada 2009 dan dibayangkan sebagai jenis uang baru yang tidak dikendalikan oleh otoritas keuangan.
Meski menampiknya, kehadiran mata uang yang dinamakan Libra, bakal membuat Facebook dengan pengguna 2,6 miliar di seluruh dunia, menjadi lembaga penyedia jasa transaksi keuangan terbesar di jagad. Sebagai pembanding, pengguna mata uang dollar AS saat ini diprediksi tidak sampai 1 miliar orang, sementara pengguna yuan mungkin hanya sekitar 1,3 miliar orang lebih sesuai penduduk China. Dengan skenario paling pesimistis saja, yaitu hanya 10 persen dari jumlah anggota yang memanfaatkan Libra, maka Facebook akan menjadi ‘bank’ terbesar sejagad.
Untuk merealisasikan rencana ini, Facebook menggandeng puluhan entitas bisnis lain yang namanya sudah cukup mentereng. Di bidang saluran pembayaran global setidaknya ada Mastercard, Visa dan Paypal. Di sektor perdagangan elektronik ada e-Bay, Booking Holding, Uber Technologies. Di bidang telekomunikasi adal Vodafone dan Iliad. Di industri blockchain ada Anchorage, Bison Trails, Coinbase, Inc., Xapo Holdings Limited. Di modal ventura ada Andreessen Horowitz, Breakthrough Initiatives, Ribbit Capital, Thrive Capital, Union Square Ventures. Dan masih ada banyak lagi yang sedang dijajaki yang jumlahnya konon akan mencapai 100 entitas.
Semua entitas itu kemudian mendirikan asosiasi yang membawahi Libra, yang tujuannya memperkuat transaksi dan keamanan uang digital itu. Juga menjadi penyokong utama permodalan dari Libra.
Asosiasi ini akan mengatur Libra, termasuk melakukan tindakan yang diperlukan agar nilainya tetap stabil. Dengan jumlah anggota yang mencapai 100, bisa diharapkan tidak ada tindakan ilegal yang merusak dengan sebab semua anggota akan saling mengawasi.
Setiap kali orang menukarkan uang ke Libra, maka uang tersebut akan masuk ke dalam dana jaminan Libra dan sekian Libra (sesuai dengan jumlah uang yang ditukarkan) akan diterbitkan. Sebaliknya jika Libra ditukarkan ke mata uang biasa, maka Libra yang ditukarkan tersebut akan dihancurkan (dikeluarkan dari peredaran) sehingga jumlah Libra yang beredar akan selalu sesuai dengan dana jaminan yang disimpan.
Dengan adanya stabilitas maka pedagang tidak akan ragu untuk menerima pembayaran dengan Libra. Tidak seperti mata uang kripto lainnya, yang hari ini bisa bernilai 100 dan besok terjun bebas ke 20.

Resistensi Terbit
Akan tetapi, rencana dari Zuckerberg dan kawan-kawan untuk meluncurkan revolusi pembayaran online dinilai akan membawa banyak risiko. Kekhawatiran yang menyeruak di antaranya adalah kecenderungan monopoli hingga ancaman yang mungkin ditimbulkannya terhadap stabilitas keuangan.
Libra yang dinilai berpotensi jadi mata uang dunia, tentu akan mengancam bank-bank, pemerintahan, dan lembaga keuangan. “Ini benar-benar mengancam pemerintah yang mengeluarkan mata uang, bank-bank yang menyimpannya, dan jaringan transmisi yang sebenarnya," kata Tally Jason Brown, seorang CEO dari aplikasi pembayaran utang otomatis, dikutip dari CNBC, Rabu (26/6). “Orang-orang tidak mengerti bagaimana ini bisa mengganggu jika benar-benar diluncurkan,” lanjut Brown.
Dia memprediksi, setelah Libra resmi dirilis pada 2020, nanti tata cara pengiriman dan pembayaran uang tradisional, seperti membayar tagihan, akan bekerja lambat. Tapi kabar baiknya, peluncuran Libra membantu orang mendapatkan uang dengan cepat dari belahan dunia mana pun. "Libra akan dengan cepat menjadi cara utama orang mendapatkan uang dari negara-negara dunia," ungkap Brown.
Tidak cuma itu, keraguan mengenai proyek cryptocurrency milik Facebook juga muncul dari otoritas moneter negerinya sendiri. Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell di depan kongres pada pertengahan Juli lalu mengatakan Libra telah mengangkat sejumlah keprihatinan serius terutama terkait dampak negatif yang ditimbulkannya. “Libra menimbulkan banyak keprihatinan serius mengenai privasi, pencucian uang, perlindungan konsumen dan stabilitas keuangan," kata Powell kepada anggota parlemen di sidang Komite Jasa Keuangan di Washington. "Ini adalah masalah yang harus ditangani secara menyeluruh dan terbuka sebelum melanjutkan."
Powell melanjutkan bawah potensi penggunaan cryptocurrency Facebook yang sangat luas meningkatkan kemungkinan bahwa hal itu dapat menimbulkan ancaman bagi sistem keuangan yang lebih luas. “Jika ada masalah di sana terkait dengan pencucian uang atau pendanaan teroris - hal-hal yang kita semua fokuskan, termasuk perusahaan - mereka akan naik ke tingkat yang penting secara sistemik hanya karena ukuran jaringan Facebook semata," Kata Powell.
Dia mengatakan The Fed tidak ingin mencegah inovasi keuangan. "Kami hanya ingin itu terjadi dengan cara yang aman dan sehat," katanya.
Sementara itu nada yang keluar dari pemerintahan Presiden Trump juga tak kalah keras. Dalam sebuah pengarahan di Gedung Putih, Mentri Keuangan Steven Mnuchin mengatakan cryptocurrency menjadi ancaman keamanan nasional karena ia dapat digunakan untuk mendanai kegiatan ilegal. Dia juga mengatakan bahwa pemerintahanTrump tidak nyaman dengan rencana Facebook untuk memulai proyek mata uang digital.
Sebelumnya komentar serupa juga diutarakan oleh Presiden Trump, yang mengatakan dalam serangkaian posting Twitter awal Juli bahwa dia "bukan penggemar" cryptocurrency dan bahwa nilainya berfluktuasi dan "berdasarkan pada udara tipis." Bahkan Trump memperingatkan Facebook bahwa entitas itu harus menemukan aturan lembaga keuangan dan mengikuti semua peraturan bank jika ingin berada dalam bisnis mata uang digital.
Desty Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang baru terpilih, menyiratkan nada positif ketika diminta pendapatnya ketika uji kelayakan dan kepatutan di depan parlemen awal Juli. Mata uang virtual, ujar dia memang tidak bisa dihindari apalagi di tengah perkembangan teknologi saat ini. “Untuk cryptocurrency enggak bisa dihindari baik Bitcoin ataupun Libra. Bank sentral Eropa lihat Libra ini belum jelek posisinya," ujar Destry.
Pendapat itu berbeda dengan suara dari otoritas moneter itu beberapa waktu sebelumnya. Gubernur BI Perry Warjiyo, Juni, mengatakan akan meneliti dan mengkaji lebih lanjut soal Libra, tetapi dia menegaskan uang digital itu tidak bisa jadi alat pembayaran di Indonesia.

Belum Sempurna
Merebaknya kengerian mengenai Libra memang beralasan. Di samping memang menyimpan dampak negatif yang tak terelakkan, produk cryptocurrency itu juga diakui belum sempurna. Bahkan untuk isu yang kedua, pihak Facebook sendiri mengakuinya, meski berjanji akan melakukan serangkaian perbaikan untuk menangkal segala kontroversi dan kekhawatiran yang menyertainya.
"Kami tahu kami perlu meluangkan waktu untuk memperbaikinya," David Marcus, salah seorang eksekutif Facebook, mengatakan dalam kesaksian yang dirilis menjelang sidang Komite Perbankan Senat seperti dikutip di laman resmi New York Times. "Dan saya ingin menjadi jelas: Facebook tidak akan menawarkan mata uang digital Libra sampai kami sepenuhnya mengatasi masalah regulasi dan menerima persetujuan yang sesuai."
Facebook telah mendesain Libra yang akan dijalankan oleh asosiasi yang bermarkas di Swiss yang berisi setidaknya seratus perusahaan dan mitra lainnya, bukan hanya Facebook sendiri. Oleh sebab itulah, tidak seperti cryptocurrency yang pernah mencuat sebelumnya seperti Bitcoin, etherium dan sejenisnya, Libra akan lebih masif penyebarannya. Dan tentunya akan lebih besar dampaknya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 


Sekilas Libra

Berdasarkan dokumen registrasinya, tujuan dari penerbitan Libra Network adalah menyediakan layanan di bidang keuangan dan teknologi, serta mengembangkan dan memproduksi perangkat lunak dan infrastruktur terkait, terutama yang berkaitan dengan kegiatan investasi, operasi pembayaran, pembiayaan, manajemen identitas, analisis data, big data, blockchain dan teknologi lainnya.
Pada Mei 2019, dilaporkan bahwa Facebook telah merekrut dua mantan karyawan Coinbase. Keduanya bernama, Mikheil Moucharrafie dan Jeff Cartwright, yang merupakan pegawai-pegawai di bidang kepatuhan (compliance). Pada akhir Mei 2019, muncul kabar bahwa cryptocurrency Facebook itu akan diluncurkan pada kuartal pertama 2020, di 12 negara yang berbeda.
                Disebutkan juga bahwa tujuan dari Libra adalah sebagai stablecoin. Alih-alih hanya didukung oleh satu mata uang tunggal, cryptocurrency tersebut akan dipatok ke beberapa mata uang yang berbeda untuk mencegah fluktuasi harga. Libra diharapkan dapat ditransfer melalui produk-produk seperti Facebook Messenger dan WhatsApp, dengan biaya nol.
(dari berbagai sumber)