Kemunculan Libra bisa
menjadi disrupsi baru pada sistem moneter dunia dan mengubah tatanan moneter
yang berlaku saat ini.
Di ranah ekonomi, di bawah kolong langit ini, segala sesuatu
selalu berkembang dan mengalami perbaikan. Perubahan selalu terjadi dan
seringkali dipicu oleh guncangan di dalamnya yang bisa berupa stagnasi, krisis
bahkan resesi. Di dalam kebijakan ekonomi global hal itu sudah hampir menjadi
rumus tetap.
Pada
awal mulai mengenal perdagangan, logam mulia terutama emas dan perak dikenal
sebagai alat transaksi yang diterima oleh hampir semua orang. Pada
perkembangannya kemudian emas mulai dibentuk dan dijadikan mata uang. Beberapa
mata uang berbahan emas dan perak dari negara yang cukup dominan dalam menjadi
pemasok komoditas dagang bahkan dapat menjadi mata uang perdagangan
internasional.
Mulai abad ke-18 ketika mulai
muncul negara, pemerintah mulai turut campur dalam pengaturan mata uang ini,
mulai pembuatan hingga peredaran. Tetapi hal itu tidak membuat pengaruh emas
dan perak berkurang dalam lalu lintas perdagangan dunia
Kebutuhan
akan emas dan perak yang terus meningkat mengakibatkan kedua logam tersebut
menjadi sesuatu yang langka serta mahal sehingga tidak sesuai lagi untuk
menukarkannya dengan barang yang bernilai murah. Untuk itu pemerintah berusaha
menanggulangi hal ini dengan menciptakan uang kertas yang tidak mengandung
nilai intrinsik, tapi lebih kepada nilai nominal yang disahkan oleh negara.
Kemudian
guncangan besar pada ekonomi global pada tahun 1940-an membuat semua itu
berubah. Singkat kata sistem Gold Exchange Standard dirasa sudah tidak bisa
dipertahankan lagi dan pada 1944, ketika 44 negara bersepakat di Bretton Woods,
New Hampshire lahirlah sistem moneter baru yang dinamkan sesuai kota itu.
Dalam
sistem Bretton Woods ditetapkan metode ‘Nilai Tukar Tetap’ (Fixed Exchange
Rate), dimana dollar AS menggantikan standar emas dan menjadi mata uang
cadangan utama. Penggunaan mata uang AS itu dilandasi oleh kondisi saat itu
ketika perekonomian AS mendominasi ekonomi dunia. Namun saat itu penggunaan
standar dollar AS tetap didukung dengan cadangan emas yang disimpan bank
sentral. Disepakati bahwa setiap peredaran 35 dollar AS harus didukung dengan 1
ons emas. Kurs tetap (fixed rate)
dapat diberlakukan.
Namun kesepakatan menjadikan
dollar AS sebagai acuan dengan didukung cadangan emas itu berakhir pada awal
1970-an. Ketika itu AS yang tengah sibuk berperang kewalahan mengelola
anggarannya dan selalu mengalami defisit besar yang membuat kurs dollar AS
fluktuatif.
Karena AS kesulitan untuk
menyimpan emas dalam jumlah yang sebanding dengan peredaran dollar AS, maka kesepakatan
yang mengikat dollar AS dengan emas dihapus. Pemerintah AS pun melenggang untuk
mencetak mata uangnya tanpa harus melihat cadangan emasnya. Tetapi hal itu
justru membuat dollar AS semakin fluktuatif, seperti yang dirasakan selama ini.
Kini, setelah hampir 50 tahun
berlalu, tampaknya sistem moneter sudah waktunya direvisi lagi. Perekonomian AS
memang masih menjadi kekuatan terbesar di dunia, dengan produk domestik bruto
yang mencapai 20,5 triliun dollar AS (2019).
Namun di bawahnya muncul
pergolakan dari China. Negara Tirai Bambu yang 10 tahun lalu masih berada di
bawah Jepang, kini mengalahkan Negeri Sakura itu di tempat ketiga dengan PDB
mencapai 13,61 triliun dollar AS. Sejatinya China berada di tempat kedua,
karena kawasan Euro yang memiliki PDB 13,67 triliun terdiri dari beberapa
negara.
Akan tetapi, perubahan sistem
moneter tampaknya tidak akan disebabkan oleh krisis, atau adanya perubahan
komposisi yang drastis pada peringkat negara-negara yang berpengaruh dalam
ekonomi global. Perubahan itu akan disebabkan oleh disrupsi.
Adalah rencana dari salah satu
raksasa jejaring sosial yang akan menerbitkan mata uang digitalnya yang
dinamakan Libra, mulai tahun depan. Mata uang berbasis blockchain atau cryptocurrency
itu tak pelak telah mengganggu kemapanan moneter global karena akan diterbitkan
oleh Facebook, media sosial yang memiliki pengguna miliaran orang di seantero
dunia.
Di era ketika data menjadi
sesuatu yang sangat diperebutkan oleh semua pihak, keinginan atau rencana
Facebook itu jelas menjadi kode keras bagi otoritas moneter di dunia, khususnya
di AS. Dollar AS yang selama ini menjadi ‘raja’ yang diterima di seantero
jagad, akan menghadapi ancaman serius dengan kehadiran Libra.
Libra disebut-sebut akan bisa
digunakan untuk berbelanja, menabung, dan juga mengirimkan dana ke pihak lain
dengan cara yang sama seperti mengirimkan pesan singkat. Yang masih belum bisa
dilakukan bahkan dimiliki oleh Libra adalah kepercayaan.
Dengan berbasis pada blockchain –teknologi buku induk yang
menyimpan semua transaksi dan bisa diakses oleh siapapun tanpa perantara pihak
ketiga –otoritas moneter memang pantas khawatir. Dan sepertinya tidak sulit dan
tidak akan membutuhkan waktu lama untuk memperoleh apa yang belum dimiliki oleh
Libra itu.
Namun demikian, publik tentu
masih terngiang bagaimana Facebook tersandung skandal penyalahgunaan data
penggunanya tahun lalu. Ya, awal tahun 2018 lalu, Facebook tersandung skandal
penyalahgunaan data pribadi yang konon mencapai 87 juta data yang berada di
tangan firma analis data Cambridge Analytica. Hal itu pulalah yang membuat
pimpinan Facebook berhadapan dengan pengadilan dan juga pembuat aturan, dan
tentunya juga publik di AS.
Dalam
dunia horoskop, Libra adalah suatu rasi bintang yang redup dan tidak memiliki bintang
dengan magnitudo pertama. Apakah ini bisa jadi pertanda Libra tidak jadi terbit
dan akan redup sebelum bersinar?