Rabu, 19 Mei 2010

Dynamic Provisioning

Provisi Kredit Akan Dilonggarkan


JAKARTA – Bank Indonesia mungkin akan menerbitkan aturan baru yang melonggarkan ketentuan pencadangan kredit bermasalah perbankan untuk memperkuat permodalan.

Bank dinilai bisa menggunakan dana yang sebelumnya digunakan sebagai Penyisihan Pencadangan Aktiva Produktif (PPAP) untuk ditempatkan pada sisi permodalan. Untuk itu, BI harus menyesuaikan ketentuan besaran provisi kredit dengan kondisi krisis keuangan saat ini.

“Di beberapa negara memang sudah diterapkan, sekarang sedang kami kaji sebenarnya dynamic provisioning bukanlah hal yang aneh, konsepnya simpel. Ini akan menjadi salah satu topik pembuatan regulasi, tentang provisioning,” kata Deputi Gubernur Muliaman Darmansyah Hadad di Jakarta, Kamis (14/5).

Dynamic provisioning adalah ketentuan pencadangan, yakni perbankan diminta meningkatkan persentasenya di saat kondisi perekonomian normal. Akan tetapi, di saat kondisi ekonomi melambat karena krisis, provisi diminimalisasi, bahkan tidak perlu dilakukan.

Pencadangan kredit yang ditempatkan ketika kondisi ekonomi normal dinilai dapat menambal potensi kerugian kredit perbankan karena meningkatnya kredit macet atau nonperforming loan (NPL).

Kepala Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara mengatakan memang sudah seharusnya bank memupuk pencadangan ketika perekonomian normal karena profit bank masih tinggi sehingga sebagian dapat disisihkan untuk pencadangan NPL.

Namun, perbankan bisa saja tidak membentuk pencadangan ketika kondisi ekonomi sulit jika memang provisi yang telah dilakukan cukup untuk menjadi bantalan NPL ketika kondisi ekonomi tidak normal.

Lagi pula, kata Mirza, pencadangan ini merupakan salah satu penilaian investor terhadap kinerja perbankan.

“Investor dan credit rating meminta bank memiliki pencadangan yang cukup, yaitu sebaiknya coverage rasio di atas 100 persen (dari yang diwajibkan BI). Kalau bank sudah punya pencadangan tinggi, bisa saja di masa sulit bank itu mengurangi provisi,” jelasnya.

Dampak Kebijakan
Otoritas perbankan mewajibkan bank-bank untuk membentuk provisi sesuai dengan level kualitas kredit. Bank harus menyisihkan dana 1 persen dari kredit jika kredit tersebut berkualitas lancar dan 5 persen jika kreditnya masuk kualitas dalam perhatian khusus.

Kualitas kredit kurang lancar harus mendapatkan penyisihan dana sebesar 15 persen dan kualitas diragukan sebesar 50 persen. Jika kredit dikategorikan macet, bank harus menyisihkan dana sejumlah kredit yang diberikan atau 100 persen.

Beberapa bank bahkan melakukan provisi lebih tinggi dari yang diwajibkan BI.
“Seharusnya yang diatur bukan timing pencadangan, tetapi rasio pencadangan, yaitu harus selalu di atas 100 persen coverage,” kata Mirza.

Sementara itu, Kepala Ekonom Danareksa Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan, jika kebijakan ini ingin diterapkan, sebaiknya BI memperhitungkannya karena justru berpotensi menghalangi perbankan melakukan ekspansi.

“BI sebaiknya harus mengantisipasi itu (ekspansi kredit mandek), jangan sampai terlambat mengantisipasi,” tandasnya. aph/E-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar