Satu dekade belakangan banyak perusahaan di industri
keuangan yang kini mengincar lulusan Bank Mandiri untuk dipinang menjadi salah
satu eksekutifnya. Mengapa fenomena itu bisa terjadi?
Bank Mandiri memang tengah menjadi fenomena di industri
keuangan Indonesia. Terutama karena ia bisa menjadi ‘pintu kemana saja’ bagi
para bankirnya yang ingin pindah ke lembaga lain. Ditunjuknya Kartika
Wirjoatmojo menjadi wakil menteri yang mengurus perusahaan-perusahaan pelat
merah, makin membenarkan anggapan yang sudah berkembang beberapa tahun
belakangan itu.
Tiko
–panggilan akrabnya, menambah daftar panjang Mandirian –sebutan untuk pegawai
Bank Mandiri, yang dipercaya menjadi eksekutif di perusahaan atau lembaga lain.
Sebelumnya para Mandirians ini sudah bercokol di beberapa perusahaan, baik
sektor keuangan dan sektor lain, atau yang lebih mencolok lagi di beberapa perusahaan
negara yang tergolong berukuran besar.
Citra bahwa
Mandirians adalah para profesional andal meski ditempatkan di perusahaan non
keuangan, memang tidak didapat Bank Mandiri dalam waktu singkat. Namun demikian
bank yang berdiri Oktober 1998 itu juga tidak mendapatkan dalam masa yang
terlalu lama, sesuatu yang sangat sulit terwujud.
Lazimnya, sebuah bank yang berhasil mendongkrak namanya ke level
atas industri keuangan membutuhkan jejak langkah yang cukup panjang. Citibank,
misalnya. Bank yang terkenal karena melahirkan banyak bankir andal (biasa
disebut Citibankers) mencapainya dalam waktu yang sangat panjang. Berdiri tahun
1817 dan meluaskan operasinya ke global pada awal Abad 20, masuk ke Indonesia
pada 1968, pegawai Citibank menjadi rebutan bank-bank di Indonesia di era 80-an
dan 90-an. Gelombang itu terakhir muncul ketika Batara Sianturi dipercaya
memimpin Bank CIMB Niaga pada 2017.
Akan tetapi dalam satu dekade ke
belakang Mandirians tampaknya mengambil panggung yang tadinya dikuasai
Citibankers. Sederet bankir lulusan Mandiri dipercaya mengisi jajaran direksi
bahkan menjadi orang nomor satu, sebuah perusahaan.
Gelombang tersebut, boleh
dibilang mulai muncul setelah Agus Dermawan Wintarto Martowardojo dipinang
menjadi Menteri Keuangan pada 2010 dan juga terpilih menjadi Gubernur BI pada
2013. Agus yang menjadi Dirut Bank Mandiri pada 2005-2010, boleh dibilang
adalah anak didik terbaik Robby Djohan, bankir legenda yang pernah ada di
Indonesia yang dibesarkan Citibank.
Robby pernah memimpin Bank
Mandiri yang merupakan gabungan empat bank milik negara yang terdiri dari Bank
Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank
Exim) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) pada 1999. Sedangkan Agus di tahun
yang sama adalah Direktur Utama Bank Exim, yang kemudian diboyong Robby untuk membantunya
menjadi direktur pelaksana.
Namun demikian, kemungkinan bukan
di Bank Mandiri, Agus menyerap ilmu manajemen dan leadership Robby, melainkan di Bank Niaga. Agus bergabung dengan Bank
Niaga pada 1986, ketika Robby menjadi direktur utamanya. Sembilan tahun di bawah
‘bimbingan’ Robby, Agus kemudian meloncat ke Bank Bumiputera untuk menjadi
direktur utama.
Robby yang berhasil meroketkan
Bank Niaga selama 1984-1996, kemudian ditunjuk untuk memimpin maskapai Garuda
Indonesia yang saat itu merugi dan terancam bangkrut. Dalam kurun waktu dua
tahun, dia dinilai sukses ‘menerbangkan’ kembali maskapai Garuda. Pada 1998,
Robby dipercaya memimpin Bank Mandiri yang baru saja dibentuk.
Setelah era Robby, praktis tidak
ada nakhoda yang bisa dibanggakan karena berbagai masalah bawaan internal dari
bank-bank pembentuknya serta penanganan restrukturisasi kredit yang sulit
ketika itu. Baru pada 2005, ketika Agus dipanggil kembali ke Bank Mandiri untuk
menjadi direktur utama, kondisi itu lambat laun membaik.
Pasca Agus, pucuk pimpinan Bank
Mandiri selalu dipilih dari internal bank, terutama yang sebelumnya menjadi
dewan direksi. Zulkifli Zaini adalah pengganti Agus yang sebelumnya menjabat
direktur teknologi dan operasional pada 2010.
Setelah itu muncul nama Budi
Gunadi Sadikin menjadi direktur utama, yang pada zaman Zulkifli Zaini menjadi
direktur mikro dan ritel. Kini, bank beraset sekitar Rp1.200-an triliun
dipimpin oleh Kartika Wirjoatmojo, yang menggantikan Budi pada 2016. Sebelumnya
pria yang akrab dipanggil Tiko ini menjabat sebagai direktur keuangan dalam
kabinet Budi.
Tiko boleh dibilang adalah sebuah
fenomena. Dirinya dipercaya sebagai Direktur mandiri Sekuritas saat usianya
masih 35 tahun dan menjadi direktur bank terbesar di Indonesia dalam usia 43
tahun. Jika mengacu teori yang menyatakan generasi milenial merupakan generasi
yang lahir pada era 1980-an, Tiko bisa disebut sebagai milenial pinggiran
sebagaimana joke yang dilontarkannya
pada Forum IBEX 2018 lalu. Dengan gap usia yang tidak begitu jauh, dirinya
tentu masih mampu memahami karakter dan gaya hidup generasi milenial.
Fakta itu tentu memberi
keuntungan tersendiri pada bank seperti Mandiri karena saat ini, lebih dari 75
persen Mandirians merupakan generasi milenial. Pemahaman terhadap kebutuhan
milenial bisa menjadi kunci keberhasilan bank Mandiri dalam mengelola dan
mengembangkan kapasitas kerja karyawannya.
Strategi Pro-Hire
Ali Damanik, praktisi dan
pengamat pengembangan SDM, mengatakan bahwa banyaknya eksekutif Bank Mandiri
yang menduduki posisi puncak di institusi lain adalah hasil dari investasi SDM
yang dilakukan bank itu. Sebagaimana diketahui, Bank Mandiri berdiri ketika
industri keuangan nasional ambruk karena krisis ekonomi 1998. Tetapi masa-masa
sulit itu tidak membuat bank yang masih berusia muda itu menafikan perihal
investasi SDM. “Bank Mandiri justru serius investasi di SDM ketika bank-bank
lain mengurangi dana pengembangan SDM-nya karena Indonesia masih terlilit
krisis ekonomi saat itu,” kata pria yang juga Direktur Kinerja-BlessingWhite,
sebuah perusahaan konsultan pengembangan SDM
Dia juga mengakui bahwa pada era
Dirut Agus Martowardojo lah, pondasi pengembangan SDM menemukan momentumnya. Saat
Agus memimpin, mantan bankir Bank of America ini, kata Ali, luar biasa serius
mengembangkan SDM dan membangun kultur baru, justru ketika bank lain menurunkan
perhatiannya pada soal SDM. Bahkan warisan Agus masih terlihat hingga kini
ketika bank bersimbol BMRI itu masih tetap agresif dalam mengembangkan karyawan
berbagai level di saat bank lain masih konvensional dalam berinvestasi SDM.
“Beliau menjadi milestone pengembangan SDM di Bank
Mandiri terutama pada strategi meng-hire
profesional-profesional yang memang dibutuhkan bank atau biasa disebut pro hire,” kata pria yang sempat
berkarier di Citibank ini.
Bank Mandiri memang cukup sering
memenangkan kompetisi di bidang pengembangan SDM yang dilakukan oleh beberapa
konsultan atau lembaga yang mengkhususkan diri di bidang tersebut. Sebut saja
ajang employee engagement, service of excellence, dan lainnya.
Tak pelak, Ali mengatakan bahwa
Bank Mandiri bisa disebut sebagai bank champion dalam soal pengelolaan SDM di
industri perbankan bahkan sektor keuangan nasional. “Saat ini Bank Mandiri
lewat Mandirians mengambil alih panggung yang sebelumnya disematkan kepada Citibank
lewat Citibankers,” kata dia.
Sementara
itu, menurut Direktur Kepatuhan dan SDM Agus Dwi Handaya, apa yang diraih Bank
Mandiri saat ini tidak terlepas dari strategi perusahaan dalam mengelola dan
membangun SDM. Di internal bank, manajemen memberlakukan konsep unik dalam
pengembangan SDM, yaitu apa yang disebut Mandiri 5 Cores Triangle yang terdiri
dari Capability, Culture & Ethic, Leadership, Mindset dan Purpose). “Konsep
ini menjadi platform fundamental
dalam pengembangan SDM yang memastikan kelima aspek tersebut dijalankan secara
berimbang dan menyeluruh,” kata Agus.
Konsep
tersebut sebagai pengembangan dari core values Bank Mandiri yaitu Trust, Integrity, Professionalism, Customer
Focus dan Excellence, Code of Conduct,
dan Business Ethics sebagai landasan
untuk membangun karakter Mandirian yang kuat.
Atas
konsep yang dijalankan tersebut, tahun lalu manajemen bank yang diwakili oleh
Agus diundang pada 21st Century Education Forum yang merupakan forum peneliti
dan praktisi pendidikan global yang dapat mempengaruhi pembentukan kebijakan
dan praktik pendidikan.
Bank Mandiri adalah satu-satunya
instituasi dari Indonesia yang mengisi acara yang diselenggarkan di Harvard
University dan melibatkan 50 pembicara dari berbagai negara. “Kami bersyukur
dapat membawa Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia di kancah
internasional,” kata Agus
Sebelumnya dalam sebuah publikasi
di Majalah Forbes yang didasarkan hasil survei lembaga riset Statista dalam ‘Global
2000 Best Employers 2018’, Bank Mandiri menduduki peringkat 11 dari 500
perusahaan dunia yang menjadi idaman. Yang menakjubkan, bank tersebut masih
berada di posisi 83 setahun sebelumnya. Bank Mandiri mengalahkan
perusahaan-perusahaan global seperti Siemens, IBM, Mastercard, dan General
Electric. Dibanding perusahaan nasional, peringkat Mandiri jauh di atas BCA
(32), Gudang Garam (109), Telkom Indonesia (112), Bank BNI (157), dan Bank BRI
(186).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar